Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Inflamasi atau peradangan merupakan suatu respon fisiologis tubuh terhadap suatu gangguan dari faktor eksternal. Respon inflamasi berhubungan erat dengan proses penyembuhan, karena inflamasi menghancurkan agen penyebab jejas dan menyebabkan rangkaian kejadian yan bertujuan untuk menyembuhkan atau memperbaiki jaringan yang rusak (Kumar et al.,2005). Inflamasi terbagi menjadi dua pola dasar, yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronis. Inflamasi akut adalah radang yang berlangsung relative singkat , dari beberapa menit sampai beberapa hari, dan ditandai dengan perubahan askuler, eksudasi cairan dan protein plasma serta akumulasi neutrofil yang menonjol. Inflamasi akut dapat berkembang menjadi inflamasi kronis jika agen penyebab injuri masih tetap ada. Inflammasi kronis adalah respon proliferasi dimana terjadi proliferasi fibroblast, endothelium vaskuler, dan infiltrasi sel monokuler. Respon peradangan meliputi suatu perangkat kolmpleks. Setiap manusia pasti pernah mengalami peradangan pada tubuhnya. Saat tergores benda tajam, saat terbentur, atau saat timbul jerawat. Hal itu menumbulkan rasa yang tidak nyaman, seperti timbul rasa nyeri, luka memerah, timbul benjolan, terasa panas dan tidak berfungsinya anggota tubuh yang terluka seperti biasanya. Dari hal-hal yang muncul tersebut diatas memiliki berbagai faktor yang menyebabkan inflamasi itu terjadi. Proses yang dijalani dari pembentukkan luka sampai terjadi inflamasi tersebut juga patut kita selidiki. Kita patut menyelidiki tentang penyebab, mekanisme terjadinya inflamasi, penanganan serta

pengobatannya agar dapat menanganinya dengan baik.

1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah definisi inflamasi itu? 2. Apa yang menyebabkan inflamasi? 3. Bagaimana tanda-tanda inflamasi?

4. Apa saja mediator inflamasi ? 5. Apa saja sel yang berperan dalam proses inflamasi? 6. Bagaimana mekanisme inflamasi?

1.3 Tujuan 1. Mengetahui dan memahami definisi inflamasi. 2. Mengetahui dan memahami penyebab inflamasi. 3. Mengetaui tanda-tanda inflamasi. 4. Mengetahui mediator inflamasi. 5. Mengetahui sel yang berperan dalam proses inflamasi. 6. Mengetahui dan memahami mekanisme inflamasi.

1.4 Manfaat Menambah pengetahuan tentang inflamasi, penyebab inflamasi, tanda -tanda terjadinya inflamasi, mediator yang menyebabkan inflamasi, sel yang berperan dalam proses inflamasi dan memahami mekanisme inflamasi baik akut maupun kronis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Inflamasi menurut Ahli Radang atau inflamasi adalah Radang ialah respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. (Kamus Kedokteran Dorland). Menurut Katzung (2002):Radang ialah suatu proses yang dinamis dari jaringan hidup atau sel terhadap suatu rangsang atau injury (jejas) yang dilakukan terutama oleh pembuluh darah (vaskuler) dan jaringan ikat (connective tissue). Tujuan inflamasi yaitu untuk memperbaiki jaringan yang rusak serta mempertahankan diri terhadap infeksi (Soesatyo, 2002). Tanda-tanda inflamasi adalah berupa kemeraham (rubor), panas (kalor), nyeri (dolor), pembengkakan (tumor) (Soesatyo, 2002), dan function laesa (Chandrasoma dan Tailor, 1995). Secara garis besar proses inflamasi dibagi menjadi 2 tahap :Inflamasi akut menurut (Soesatyo, 2002) adalah inflamasi yang terjadi segera setelah adanya rangsang iritan. Pada tahap ini terjadi pelepasan plasma dan komponen seluler darah ke dalam ruang-ruang jaringan ekstraseluler. Termasuk didalamnya granulosit neutrofil yang melakukan pelahapan (fagositosis) untuk membersihkan debris jaringan dan mikroba. Inflamasi kronis (Ward, 1985) adalah Inflamasi kronis terjadi jika respon inflamasi tidak berhasil memperbaiki seluruh jaringan yang rusak kembali ke keadaan aslinya atau jika perbaikan tidak dapat dilakukan sempurna.

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Definisi Inflamasi Peradangan atau inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal (Mitchel & Cotran, 2003). Inflamasi melaksanakan tugas pertahanannya dengan mengencerkan, menghancurkan atau menetralkan agen berbahaya (misalnya mikroba atau toksin). Inflamasi kemudian menggerakkan berbagai kejadian yang akhirnya

menyembuhkan dan menyusun kembali tempat terjadinya jejas. Dengan demikian, inflamasi juga terkait serta dengan proses perbaikan, yang mengganti jaringan yang rusak dengan regenerasi sel parenkim, dan atau dengan pengisian setiap defek yang tersisa dengan jaringan parut fibrosa (Kumala et al., 1998; Mitchel & Cotran, 2003). Inflamasi adalah respon fisiologis tubuh terhadap suatu injuri dan gangguan oleh faktor eksternal. Inflamasi terbagi menjadi dua pola dasar. 1. Inflamasi akut adalah radang yang berlangsung relatif singkat, dari beberapa menit sampai beberapa hari, dan ditandai dengan perubahan vaskular, eksudasi cairan dan protein plasma serta akumulasi neutrofil yang menonjol. Inflamasi akut dapat berkembang menjadi suatu inflamasi kronis. 2. Inflamasi kronis jika agen penyebab injuri masih tetap ada. Inflamasi kronis adalah respon proliferatif dimana terjadi proliferasi fibroblas, endothelium vaskuler, dan infiltrasi sel mononuklear (limfosit, sel plasma dan makrofag). Respon peradangan meliputi suatu perangkat kompleks yang mempengaruhi perubahan vaskular dan selular.

3.2 Penyebab Inflamasi Inflamasi dapat disebabkan oleh mekanik (tusukan), Kimiawi (histamin, menyebabkan alergi, asam lambung berlebih bisa menyebabkan iritasi), Termal (suhu), dan Mikroba (infeksi penyakit).

3.3 Tanda-tanda Inflamasi Pada bentuk akutnya ditandai oleh tanda klasik: nyeri (dolor), panas (kolor), kemerahan (rubor), bengkak (tumor), dan hilangnya fungsi (fungsiolesa). Secara histologis, menyangkut rangkaian kejadian yang rumit, mencakup dilatasi arteriol, kapiler, dan venula, disertai peningkatan permeabilitas dan aliran darah; eksudasi cairan, termasuk protein plasma; dan migrasi leukositik ke dalam focus peradangan. (Kumala et al., 1998; Spector, 1993). Tanda-tanda cardinal inflamsi : 1. Rubor Rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Dengan demikian, lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah local karena peradangan akut. Timbulnya hyperemia pada permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh baik secara neurogenik maupun secara kimia, melalui pengeluaran zat seperti histamine (Abrams, 1995; Rukmono, 1973). 2. Kalor Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 37C yaitu suhu di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya sebab darah yang disalurkan tubuh kepermukaan daerah yang terkena lebih banyak daripada yang disalurkan kedaerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada daerah-daerah yang terkena radang jauh di dalam tubuh, karena jaringanjaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti 37C, hyperemia local tidak menimbulkan perubahan (Abrams, 1995; Rukmono, 1973). 3. Dolor (nyeri) Dolor atau rasa sakit, dari reaksi peradangan dapat dihasilkan dengan berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat seperti histamine atau zat

bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang. Pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit(Abrams, 1995; Rukmono, 1973). 4. Tumor Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat meradang. Pada keadaan dini reaksi peradangan sebagian besar eksudat adalah cair, seperti yang terjadi pada lepuhan yang disebabkan oleh luka bakar ringan. Kemudian sel-sel darah putih atau leukosit meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai bagian dari eksudat. (Abrams, 1995; Rukmono). 5. Functio Laesa Berdasarkan asal katanya, function laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland, 2002). Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang meradang (Abrams, 1995).

3.4 Mediator Inflamasi dan Peranannya a. Prostaglandin Prostaglandin hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau inflamasi. Prostaglandin menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Jadi prostaglandin menimbulkan keadaan hiperalgesia mediator inflamasi dan nyeri. Juga menyebabkan vasodilatasi dan edema (pembengkakan). Pada nyeri inflamasi yang memegang peranan sangat penting adalah terdapatnya mediator inflamasi turunan dari asam arachidonat. Pada jaringan yang rusak membrana pospolipid sel dengan katalisator enzyme pospolipase akan membentuk asam arachidonat. Dan selanjutnya asam arachidonat ini dengan bantuan enzyme cyclooksigenase akan membentuk substansi nyeri

berupa

prostaglandin

(PGE-2,

PGD-2,

PGF-2,

PGI-2)

(yang

akan

mempengaruhi reseptor prostaglandin yang terdapat pada saraf sensoris perifer dan medulla spinalis) dan thromboxane.

Gambar Prostaglandin

1:

Mekanisme

Dan ternyata Prostaglandin E-2 yang mempunyai peranan utama pada mekanisme nyeri inflamasi yang mendukung terjadinya aktivasi nosiseptor secara langsung berupa sensitisasi pada neuron primer aferen. Dengan demikian menghambat enzyme cyclooksigenase (COX-1 dan COX-2) dan menghambat reseptor prostanoid adalah penting untuk mengurangi nyeri inflamasi.

Gambar 2: Mekanisme Nyeri

b. Sitokin Sitokin adalah senyawa-senyawa endogen yang dilepaskan sel untuk saling berkomunikasi (cross-talk). Contoh sitokin adalah interleukin (IL-1; IL2, dst), tumor nekrosis alfa (TNF-), interferon gamma (IFN-), dll. Sitokin berperan dalam berbagai peristiwa biologis terutama pada inflamasi. Sama dengan reseptor EGF tadi, jika sitokin berikatan dengan reseptornya maka akan terjadi serangkaian peristiwa yang berujung pada transkripsi gen, lalu akan

menginduksi sintesis protein tertentu misalnya produksi antibody IgF oleh limfosit.

Gambar 3: Mekanisme Sitokin

Seperti telah disebutkan bahwa sitokin banyak terlibat pada proses inflamasi, maka banyak obat yang telah dikembangkan dengan sitokin sebgai target aksi obatnya. Contohnya antagonis IL-5 yang telh dicobakan untuk mengurangi rekrutmen eusinofil kejaringan nafas yang terinflamasi oleh pasien penyakit asma. Pada penyakit asama kronis lain seperti rhematoid arthritis atau penyakit Crohns, telah dikenbangkan obat dengan target aksi TNF- yaitu infliksimab, dimana TNF- ini meupakan salah astu faktoe patoligis dari penyakti Crohns in. c. Neurotrophins. Mediator inflamasi golongan ini mempunyai peran meningkatkan sintesis neuropeptide (subtans P) dan meningkatkan eksitabilitas neuron saraf sensoris. Faktor neurotrophins disintesis untuk memfasilitasi reparasi dan menstimulasi regenerasi neuron. Pertumbuhan dan deferensiasi sel neuron diatur oleh protein yaitu neurotropins, yang bekerja secara endogenous disingnaling, mengatur long-term survival dan deferensiasi neuron selama perkembangan, dan mempertahankan viabilitas sel neuron serta neuroplastisitas saat dewasa. BDNF termasuk golongan neurotrophins yang berperan tidak hanya pada sinaptik plasticity, tetapi juga pada learning process. Bahkan reseptor dari BDNF yaitu tropomeiosin related kinase B (TrkB) berperan dalam plastisitas dan regenerasi sel saraf. BDNF disekresi oleh neuron maupun sel glia, tetapi astrosit tidak memiliki kemampuan untuk mensintesisnya. Di otak BDNF terdistribusi hampir di seluruh jaringan otak dengan konsentrasi berbeda, yaitu

di korteks frontalis, parietalis, cingulatus, infralimbik, thalamus, nucleus basalis, hipotalamus, lokus cerelous, koteks occipital, temporal, retroplenial, perirhinal, hipokampus daan batang otak serta cerebellum. Konsentrasi tertinggi terdapat di hipokampus. BDNF berperan potensial untuk meningkatkan fungsi dan survival neurodopaminergik, gabaergik, noradrenergic dan serotonergik serta sebagai neurotransmitter yang memodulasi long-term potentiation sebagai respon sinaptik dari hipokampus dalam proses belajar dan memori. BDNF berasal dari bentuk immature yaitu proBDNF. Bila terjadi cedera otak maka proBDNF dikeluarkan dari ke ruang ekstraseluler dengan bantuan plasmin dan enzim ekstraseluler protease berubah menjadi BDNF. Gambar Neurotrophin 4: Mekanisme

d. Serotonin Serotonin (5-hidroksitriptamin) juga merupakan mediator kimia yang sefungsi dengan histamin, namun dihasilkan oleh trombosit, sel

enterokromafin, dan sel mast. Serotonin akan dilepaskan ketika terjadi reaksi koagulasi (pembekuan darah), di mana keping darah akan beragregasi setelah bersentuhan langsung dengan kolagen, thrombin, ADP, dan komplek antigenantibodi. Ini merupakan salah satu hubungan antara pembekuan dan peradangan. Stimulus pelepasan serotonin dan histamin dari granula trombosit langsung ketika terjadi aktivasi thrombosit oleh serabut kolagen subendotel vascula, thrombin, kompleks Ag-Ab. Daya kerja serotonin meningkatkan permeabilitas vasculer. Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi

eksudasi cairan, penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem dan pembengkakan. Gambar 5: Struktur Serotonin

e. Adenosin. Adenosin diduga berperan dalam nyeri yang bekerja melalui reseptor purinergik, yang dapat mempermudah terjadinya transmisi sinaptik . Adenosin adalah nukleosida yang dibentuk dari ribosa (suatu gula pentose) dan adenin; dengan tambahan satu, dua, atau tiga kelompok fosfat, akan membentuk : 1) Adenosin Difosfat Adenosin Difosfat (ADP) adalah metabolit seluler penting yang terlibat dalam pertukaran energi didalam sel. Energi kimia disimpan dalam sel, melalui fosforilasi oksidatif ADP menjadi ATP, terutama di dalam mitokondria, sebagai ikatan fosfat yang berenergi tinggi. 2) Adenosin Monofosfat Adenosin Monofosfat (AMP) terlibat dalam perlepasan energi untuk digunakan oleh sel. Pembentukan siklik adenosin monofosfat memiliki fungsi penting sebagai utusan kedua bagi banyak hormon (mis., glukagon) dan dalam proses biokimia saat banyak reaksi di katalis secara bersamaan (kaskade enzim). 3) Adenosin Trifosfat Adenosin Trifosfat (ATP) adalah senyawa berenergi tinggi yang pada hidrolisis menjadi ADP, melepaskan energi yang berguna secara kimia. ATP dihasilkan selama katabolisme molekul bahan bakar organik, seperti glukosa. Molekul ATP dihasilkan selama glikolisis, dalam reaksi siklus asam sitrat Krebs, tetapi sebagaian besar dihasilkan selama fosforilasi oksidatif ADP dalam rantai transfer-elektron. Energi dari ATP digunakan

10

untuk menggerakan proses metabolik, seperti transpor aktif zat dalam melintasi membran sel, sintesis molekul, dan kontraksi serat otot.

Gambar 6: Struktur Adenosin

f. Cannabinoids. Merupakan substansi neuroaktif (physiological antagonism) yang diproduksi oleh jaringan yang mengalami inflamasi atau jaringan sekitarnya. Substansi ini bekerja pada reseptor cannabinoid baik yang terdapat pada system saraf perifer maupun sentral sehingga menyebabkan degranulasi mast cells tidak terjadi dan eksitabilitas nosiseptor terhambat . Gambar 7: Mekanisme Cannabinoids

g. Histamin. Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh mast cells akibat terjadinya degranulasi dari mast cells, yang selanjutnya akan mensensitisasi aferen nosiseptor dan merupakan mediator yang bersifat vasoaktif sehingga menimbulkan respon inflamsi berupa edema. Histamin dikeluarkan dari tempat pengikatan ion pada kompleks heparin-heparin dalam sel mast sebagai hasil reaksi antigen-antibodi bila ada rangsangan senyawa allergen. Senyawa allergen dapat berupa spora, debu rumah, sinar UV, cuaca, racun, tripsin, dan

11

enzim proteolitik lain, deterjen, zat warna, obat makanan dan beberapa turunan amina. Histamin merupakan produk dekarboksilasi dari asam amino histidin. Pelepasan histamin terjadi akibat : Rusaknya sel Histamin banyak dibentuk di jaringan yang sedang berkembang dengan cepat atau sedang dalam proses perbaikan, misalnya luka. Senyawa kimia Banyak obat atau zat kimia bersifat antigenik, sehingga

akan melepaskan histamin dari sel mast dan basofil. Contohnya adalah enzim kemotripsin, fosfolipase, dan tripsin.

Reaksi hipersensitivitas Pada orang normal, histamin yang keluar dirusak oleh enzim histamin dan diamin oksidase sehingga histamin tidak mencapai reseptor Histamin. Reseptor histamin dibagi menjadi histamin 1 (H-1) dan histamin 2 (H-2).

Pengaruh histamin terhadap sel pada berbagai jaringan tergantung pada fungsi sel dan rasio reseptor H-1 : H-2. Stimulasi reseptor H-1 menimbulkan:

Vasokonstriksi pembuluh-pembuluh yang lebih besar Kontraksi oto bronkus, otot usus dan otot uterus Kontraksi sel-sel otot polos Kenaikan aliran limfe Stimulasi reseptor H-2 menimbulkan :

Dilatasi pembuluh paru-paru Meningkatkan frekuensi jantung dan kenaikan kontraktilitas jantung Kenaikan sekresi kelenjar terutama dalam mukosa lambung

Gambar 8: Mekanisme Histamin

12

h. Leucotrines Produk-produk turunan dari asam arachidonat selain prostaglandin adalah leucotrines yang menyebabkan sensitisasi reseptor perifer

dan meningkatkan responsibilitas terhadap stimuli-stimuli lainnya. Mekanisme kerja : LRA : antagonis kompetitif pada reseptor leukotriene Contoh : zileuton LI : mengahambat pembentukan leukotrien melalui penghambatan enzim 5lipoksigenase yang berfungsi mengkatalis asam arakidonat menjadi leukotrien. Contoh : zafirlukast, montelukast Merupakan alternatif inhalasi glukokortikoid dosis rendah untuk mengontrol asma kronik ringan.

Gambar Leucotrines

9:

Struktur

i. Kinin Mediator golongan kinin ini dilepaskan pada jaringan yang cedera dan mempunyai kontribusi terhadap terjadinya inflamasi. Efeknya

sangat komplek pada neuron aferen primer termasuk aktivasi dan sensitisasi langsung pada reseptor. Aktivasi sistem kinin pada akhirnya menyebabkan pembentukan bradikinin. Bradikinin merupakan polipeptida yang berasal dari plasma sebagai prekursor yang disebut HMWK. Prekursor glikoprotein ini diuraikan oleh enzim proteolitik kalikrein. Kalikrein sendiri berasal dari prekursornya yaitu prekalikrein yang diaktifkan oleh faktor XIIa. Seperti halnya histamin, bradikinin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula

13

dan kontraksi otot polos bronkial. Bradikinin tidak menyebabkan kemotaksis untuk leukosit, tetapi menyebabkan rasa nyeri bila disuntikkan ke dalam kulit. Bradikinin dapat bertindak dalam sel-sel endotel dengan meningkatkan celah antar sel. Kinin akan dibuat inaktif secara cepat oleh kininase yang terdapat dalam plasma dan jaringan, dan perannya dibatasi pada tahap dini peningkatan permeabilitas pembuluh darah.

Gambar 10: Struktur Kinin

3.5 Sel yang berperan dalam Proses Inflamasi Sel-sel yang berperan dalam inflamasi: 1. Neutrofil Neutrofil (Polimorf), sel ini berdiameter 1215m memilliki inti yang khas padat terdiri atas sitoplasma pucat di antara 2 hingga 5 lobus dengan rangka tidak teratur dan mengandung banyak granula merah jambu (azuropilik) atau merah lembayung. Granula terbagi menjadi granula primer yang muncul pada stadium promielosit, dan sekunder yang muncul pada stadium mielosit dan terbanyak pada neutrofil matang. Kedua granula berasal dari lisosom, yang primer mengandung mieloperoksidase, fosfatase asam dan hidrolase asam lain, yang sekunder mengandung fosfatase lindi dan lisosom. (Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996)

Gambar 11: Neutrofil

2. Makrofag Makrofag berasal dari sel-sel pada sumsum tulang, dari promonosit kemudian membelah menjadi monosit dan beredar dalam darah. Pada perkembangannya monosit ini berimigrasi ke jaringan ikat, kemudian menjadi matang dan berubah menjadi makrofag. Bentuk sel-sel makrofag dalam darah

14

adalah berupa monosit, dalam jaringan ikat longgar berupa makrofag (histiosit), dalam hati berupa sel Kupffer, dan pada SSP (Susunan Saraf Pusat) sebagai mikroglia. Makrofag adalah sel besar dengan kemampuan fagositosis, yang berarti sel makan dapat disamakan dengan pinositosis yang berarti sel minum. Fagositosis yaitu kemampuan untuk mengabsorbsi dan menghancurkan mikroorganisme (bakteri atau benda asing). Cara makrofag untuk

menghancurkan (memakan) bakteri atau benda asing tersebut ialah dengan membentuk sitoplasma pada saat bakteri atau benda asing melekat pada permukaan sel makrofag, lalu sitoplasma tersebut melekuk ke dalam membungkus bakteri atau benda asing, tonjolan sitoplasma yang saling bertemu akan melebur menjadi satu sehingga bakteri atau benda asing akan tertangkap di dalam vakuola. Lisosom yang memiliki kemampuan untuk memecah materi yang berasal dari dalam maupun dari luar akan menyatu dengan vakuola sehingga bakteri atau benda asing tersebut akan musnah. Makrofag memiliki fungsi atau peran utama untuk memakan partikel dan mencernanya bersama-sama dengan lisosom yaitu berkaitan dengan fungsi pertahanan dan perbaikan, fungsi lainnya adalah menghasilkan IL (Inter Leukin) yang mengatur tugas sel-B dan sel-T dari limfosit dan memobilisasi sistem pertahanan tubuh lainnya, makrofag juga merupakan sel sekretori yang dapat menghasilkan faktor nekrosis tumor (TNF = Tumor Nekrosis Faktor) yang dapat membunuh sel tumor, juga menghasilkan beberapa substansi penting termasuk enzim-enzim (lisozim, elastase). Sel makrofag ini terdapat sebagai makrofag bebas dan makrofag tetap. Makrofag bebas merupakan sel yang mampu bergerak bebas, ditemukan pada jaringan interstisial berupa makrofag dan histiosit. Sedangkan makrofag tetap, tidak mampu bergerak seleluasa makrofag bebas, ditemukan pada jaringan interstisial limpa, kelenjar limfe, dan dalam hepar.

Gambar 12: Makrofag

15

3. Miscellaneous Agents Miscellaneous agents mempengaruhi proses inflamasi, meliputi: a. Toksik bakteri b. Faktor komplemen C3a dan C5a c. Prostalglandins d. Leukotriens (leukosit) e. Enzim lisosomal (leukosit) f. Interleukin (makrofaga) g. Faktor permeabilitas globukin h. Faktor permeabilitas kelenjar getah bening i. Breakdown produk DNA dan RNA j. Kompleks antigen-antibodi k. TNF (Tumor Necrosis Factor) l. Nitric oksida (oleh sel endotelial) 4. Limfosit Limfosit sikerahkan di kedua reaksi imun humoral dan seluler dan bahkan dalam peradangan non imun. Antigen distimulasi (efektor dan memori) dan berbagai jenis limfosit (T, B) menggunakan berbagai molekul adhesi pasangan (terutama yang integrins dan ligan) dan kemokin untuk bermigrasi ke situs peradangan. Sitokin dari makrofag diaktifkan, terutama TNF, IL-1, da kemokin. Sel ini mempersiapkan proses peradangan. Limfosit dan makrofag berinteraksi dakan cara dua arah, dan reaksireaksi ini memainkan peran penting dalam peradangan kronis. Limfosit T aktif akan mengaktifkan makrofag serta mengeluarkan mediator radang untuk mempengaruhi sel lain, saat makrofag aktif, dia akan mengaktifkan limfosit T dan tak lupa mengeluarkan mediator radang untuk mempengaruhi sel disekitarnya. Gambar 13: Limfosit

16

5. Eusinofil Eusinofil berlimpah dalam reaksi kekebalan yang diperantarai oleh IgE dan infeksi parasit. Salah satu kemokin yang terutama penting bagi perekrutan eusinofil adalah eotaxin, Eusinofil memiliki granula yang mengandung protein dasar utama, yang sangat kationik protein yang beracun bagi parasit tetapi juga menyebabkan lisis sel epitel mamalis. Itulah sebabnya ia sangat berperan dalam memerangi infeksi parasit tetapi juga berkontribusi pada kerusakan jaringan dalam reaksi kekebalan.

Gambar 14: Eusinofil

6. Sel Mast Sel ini didistribusikan secara luas di jaringan ikat dan berpartisipasi dalam reaksi peradangan akut dan kronis. Pada reaksi akut, antibodi IgE yang terikat pada Fc reseptor khusus mengenali antigen, dan sel-sel degranulate dan melepaskan mediator seperti histamin dan produksi oksidasi AA, Jenis respon terjadi selama reaksi anafilaksis makanan, racun serangga atau obat-obatanm sering dengan hasil becana. Bila diatur dengan benar, respon ini dapat bermanfaat bagi tuan rumah. Sel mast juga hadir dalam reaksi peradangan kronis, dan mungkin menghasilkan sitokin yang berkontribusi terhadap fibrosis.

Gambar 15: Sel Mast

3.6 Mekanisme Inflamasi Mekanisme terjadinya Inflamasi dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu: 1. Perubahan vaskular Respon vaskular pada tempat terjadinya cedera merupakan suatu yang mendasar untuk reaksi inflamasi akut. Perubahan ini meliputi perubahan aliran

17

darah

dan

permeabilitas

pembuluh

darah.

Perubahan

aliran

darah

karena terjadi dilatasi arteri lokal sehingga terjadi pertambahan aliran darah (hypermia) yang disusul dengan perlambatan aliran darah. Akibatnya bagian tersebut menjadi merah dan panas. Sel darah putih akan berkumpul di sepanjang dinding pembuluh darah dengan cara menempel. Dinding pembuluh menjadi longgar susunannya sehingga memungkinkan sel darah putih keluar melalui dinding pembuluh. Sel darah putih bertindak sebagai sistem pertahanan untuk menghadapi serangan benda-benda asing. 2. Pembentukan cairan inflamasi Peningkatan permeabilitas pembuluh darah disertai dengan keluarnya sel darah putih dan protein plasma ke dalam jaringan disebut eksudasi. Cairan inilah yang menjadi dasar terjadinya pembengkakan. Pembengkakan

menyebabkan terjadinya tegangan dan tekanan pada sel syaraf sehingga menimbulkan rasa sakit (Mansjoer, 1999). Penyebab inflamasi dapat disebabkan oleh mekanik (tusukan), Kimiawi (histamin menyebabkan alerti, asam lambung berlebih bisa menyebabkan iritasi), Termal (suhu), dan Mikroba (infeksi Penyakit).

Gambar 16: Mekanisme Terjadinya Inflamasi

18

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Dari serangkaian penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa inflamasi atau peradangan merupakan suatu respon fisiologis tubuh terhadap suatu gangguan dari faktor eksternal. Secara garis besar proses inflamasi dibagi menjadi 2 tahap yaitu Inflamasi akut dan Inflamasi kronis. Inflamasi dapat disebabkan oleh mekanik (tusukan), kimiawi (histamin, menyebabkan alergi, asam lambung berlebih bisa menyebabkan iritasi), Termal (suhu), dan Mikroba (infeksi penyakit). Tanda-tanda inflamasi ada lima, yaitu, Rubor, Dollor, Kallor, Tumor, Functio Laessa. Mediator inflamasi adalah Prostaglandin, Sitokin, Neurotrophins, Serotonin, Adenosin, Cannabinoids, Histamin, Leukotrine, Kinin. 4.2 Saran Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, karena ilmu kedokteran sangatlah luas. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran guna penyempurnaan dalam membuat makalah dikemudian hari. Dengan membaca kita dapat menambah ilmu pengetahuan kita, jangan pernah malas untuk membaca meski hanya satu kalimat yang berisi suatu ilmu pengetahuan.

19

DAFTAR PUSTAKA Robbins, S.L dan Kumar, V. 1994. Patologi, Edisi IV, 28, 29, 30, 33. Surabaya : Penerbit Buku Kedokteran, EGC Mitchell, R.N dan Cotran, R.S. 2003. Acute and Cronic Inflammation. Dalam S.L. Robbins Guyton, Arthur C dan John E.Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 11 th ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC Baratawidjaja, Karnengama dan Iris Rengganis. 2012. Imunologi Dasar, Edisi 10. Jakarta : Badan Penerbit : FK UI Brocker, Chris. 2008. Ensiklopedia Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC Roger, Watson. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC Weller, Barbara F. 2005. Kamus Saku Perawat, Edisi 22. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC Kasper, Fanci, Marfin, Wilson, Brainwald, Isselbacher. 1999. Prinsipprinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC Robbin dan Cotran. 2009. Buku Saku, Dasar Patologis Penyakit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC

20

Anda mungkin juga menyukai