Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI II

PERCOBAAN III
PENGUJIAN AKTIVITAS OBAT ANTIINFLAMASI, ANALGETIKA, DAN
ANTIPIRETIKA

DOSEN PENGAMPU
Apt. Nurul Qiyaam, M.Farm.Klin
Di susun oleh :
Nadia pradita sari
2020E1C037

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM
SEMESTER GENAP TAHUN AJARAN 2022
III.A UJI ANTIINFLAMSI

A. TUJUAN
Setelah menyelesaikan praktikum ini maka :
1. Mahasiswa mampu memahami daya antiinflamasi obat golongan steroid dan non
steroid pada binatang dengan radang buatan.

B. DASAR TEORI
Inflamasi merupakan respon terhadap cedera jaringan dan infeksi. Ketika
proses inflamasi berlangsung, terjadi reaksi vaskular dimana cairan, elemen-elemen
darah, sel darah putih (leukosit) dan mediator kimia berkumpul pada tempat cedera
jaringan atau infeksi. Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme perlindungan
dimana tubuh berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen-agen yang berbahaya
pada tempat cidera dan untuk mempersiapakan keadaan untuk perbaikan jaringan.
Meskipun ada hubungan antara inflamasi dan infeksi, tetapi tidak boleh
dianggap sama. Infeksi disebabkan oleh mikroorganisme yang menyebabkan
inflamasi, tetapi tidak semua inflamasi disebabkan oleh infeksi. Inflamasi adalah satu
dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi
oleh faktor kimia (histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang
dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang didalam sistem kekebalan
untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi.
Terjadi inflamasi akibat dilepaskannya mediator-mediator kimia,contohnya :
histamin, kinin dan prostaglandin.
a. Histamin : mediator pertama dalam proses inflamasi menyebabkan dilatasi arteriol
dan meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga cairan dapat meninggalkan
kapiler dan mengalir ke daerah cedera.
b. Kinik (bradikinin) : meningkatkan permeabilitas kapiler dan rasa nyeri.
c. Prostaglandin : dilepaskannya prostaglandin menyebabkan bertambahnya
fasodilatasi permeabilitas kapiler, nyeri dan demam.
Radang mempunyai tiga peranan penting dalam perlawanan terhadap infeksi:
1. Memungkinkan penambahan molekul dan sel elektron ke lokasi infeksi untuk
meningkatkan perfoma makrofag.
2. Menyediakan rintangan untuk mencegah penyebab infeksi.
3. Mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak.
Tanda-tanda utama inflamasi:
1. Eritema (kemerahan)
Merupakan tahap pertama dari inflamasi. Darah berkumpul pada daerah cedera
jaringan akibat pelepasan mediator kimia tubuh.
2. Edema (pembengkakan)
Tahap ke dua dari inflamasi. Plasma merembes ke dalam jaringan interstial pada
tempat cedera. Kinin mendilatasi arteriol dengan meningkatkan permeabilitas
kapiler.
3. Kolor (panas)
Panas pada tempat inflamasi dapat disebabkan oleh bertambahnya penggumpalan
darah dan juga dikarenakan pirogen (substansi yangmenimbulkan demam) yang
menggangu pusat pengaturan panas dan hipotalamus.
4. Dolor (nyeri)
Disebabkan peningkatan dan pelepasan mediator-mediator kimia.
5. Function laesa (hilangnya fungsi)
Disebabkan karena penumpukan cairan pada tempat cedera jaringan dan karena
rasa nyeri, yang mengurangi mobilitas pada daerah yang terkena.

Obat-obat antiinflamasi contohnya obat antiinflamasi non steroid (NSAID) dan


steroid (preparat konstison) yang bekerjanya dengan cara menghambat
mediatormediator kimia sehingga mengurangi proses inflamasi.

Obat-obat anti radang dibagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan kortikosteroid


dan non steroid. Argumen yang diterima mengenai mekanisme kerja obat-obat
tersebut adalah bahwa obat-obat anti radang berkaitan dengan penghambatan
metabolisme asam arakidonat. Asam arakidonat adalah substrat untuk enzim-enzim
siklooksigenase dan lipooksigenase. Siklooksigenase mensintesa siklik endoperoksida
(prostaglandin G-2 dan H-2) yang kemudian akan diubah menjadi prostaglandin
stabil, tromboksan and prostasiklin. Ketiga produk tersebut berasal dari leukosit, dan
senyawa-senyawa itu dijumpai pada keadaan radang. Di dalam leukosit asama
arakidonat oleh lipooksigenase asam-asam mono dan dihiroksi (HETE) yang
merupakan prekursor dari leukotrin (senyawa yang dijumpai pada keadaan
anafilaksis). Dengan adanya rangsang mekanis atau kimia, produksi enzim
lipooksigenase akan dipacu sehingga menigkatkan produksi leukotrien dari asam
arakidonat.

Obat-obat yang dikenal menghambat siklosigenase secara spesifik (indometasin


dan salisilat) mampu mencegah mediator inflamasi : PGE-2 dan prostasiklin. Karena
prostaglandin bersifat sinergik dengan mediator inflamasi lainnya yakni (bradikinin
dan histamin) maka pencegahan pembentukan prostaglandin akan mengurangi
siklooksigenase dan bersifat kompetitif terhadap arakidonat. Secara in vivo
kortikosteroid mampu menghambat pengeluaran prostaglandin pada tikus, kelinci, dan
marmut. Penghambatan pengeluaran asam arakidonat dari fosfolipida juga akan
mengurangi produk-produk siklooksigenase dan lipookseigenase sehingga akan
mengurangi mediator peradangan. Kedua enzim, tersebut dapat dihambat oleh
benoksaprofen.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat antiinflamasi terbagi dalam 2 golongan


yaitu :

1. Golongan steroid : bekerja dengan cara menghambat pelepasan prostaglandin dari


sel-sel sumbernya, contoh : kortikosteroid
2. Golongan non steroid : bekerja melalui mekanisme lain seperti inhibisi
siklooksigenase yang berperan pada biosintesa prostaglandin, contoh : aspirin,
indometasin, fenilbutason, dll.

Metode Uji Daya Anti Inflamasi

Metode uji yang digunakan adalah metode Winter yang dimodifikasi (Turner,
1965). Udem buatan ditimbulkan dengan menginjeksikan larutan karagenin secara
subplantar pada telapak kaki tikus, sedangkan bahan uji diberikan secara peroral.
Kaki belakang tikus ditandai sebatas mata kaki dan diukur volumenya dengan
plestimograf.Aktivitas anti inflamasi obat uji ditunjukkan oleh kemampuan
mengurangi udema yang diinduksi pada kaki tersebut.
C. ALAT DAN BAHAN
Alat :
Pletysmometer air raksa yang prinsip kerjanya berdasarkan Hukum Archimedes
Bahan :
a. Deksametason dosis 0,75 mg/70kgBB
b. Na. diklofenak dosis 50 mg/70kgBB
c. Larutan karagenan 1 %

D. CARA KERJA
a. Sebelum mulai percobaan, tikus ditimbang berat badannya kemudian diberi 28
tanda untuk tiap- tiap tikus.
b. Dengan spidol berikan tanda batas pada sendi kaki belakang kiri/kanan untuk
setiap tikus. Hal ini bertujuan agar pemasukan kaki ke dalam air raksa setiap kali
selalu sama.
c. Pada tahap awal, volume kaki setiap tikus diukur dan digunakan sebagai volume
dasar untuk setiap tikus (volume kaki saat t=0). Pada setiap kali pengukuran
volume tinggi cairan pada alat diperiksa dan dicatat sebelum dan sesudah
pengukuran.
Diusahakan jangan sampai ada air raksa yang tumpah.
d. Penyuntikan dapat dilakukan dengan 2 cara :
Cara A :
1) Karagenan disuntikkan secara intraplantar sebanyak 0,1 ml pada telapak
kaki kiri/kanan tikus yang telah ditandai, dibiarkan selama 10 menit
setelah itu obat disuntikkan secara intraperitoneal.
2) Volume kaki yang disuntik karagenan diukur pada menit ke-5 dan 10
untuk mengamati pembentukan edema.
3) Setelah penyuntikan obat, volume kaki pada menit ke-10, 15, 30, 45, dan
60 diukur untuk menghitung persentase inhibisi edema.

Cara B :

1) Setelah disuntik obat langsung suntikkan karagenan secara intraplantar


sebanyak 0,1 ml pada telapak kaki kiri / kanan tikus yang telah ditandai. 2)
Lakukan pengukuran volume kaki yang disuntik karagen setiap 10, 15, 30,
45, dan 60 menit setelah penyuntikan obat, untuk menghitung prosentase
inhibisi edema. Catat perbedaan volume kaki untuk setiap pengukuran
e. Selanjutnya untuk setiap kelompok dihitung presentase inhibisi edema dan
bandingkan hasil yang diperoleh untuk kelompok A dan B. Kemudian bahas
apakah terjadi perbedaan hasil
Rumus yang digunakan untuk % inhibisi edema adalah sebagai berikut :

f. Tabel volume edema, persentase volume edema, dan persentase inhibisi edema

g. Gambarkan grafik variasi % inhibisi udem yang tergantung pada waktu

III.B UJI ANALGETIKA


A. TUJUAN
Setelah menyelesaikan praktikum ini maka :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan instrument dan metode pengujian aktivitas obat
analgetic
2. Mahasiswa mampu menerapkan prinsip pengujian aktivitas obat analgetik pada
hewan coba yang sesuai dan prinsip pengolahan data hasil percobaan.

B. DASAR TEORI
Nyeri sebenarnya berfungsi sebagai tanda adanya penyakit atau kelainan
dalam tubuh dan merupakan bagian dari proses penyembuhan (inflamasi) (Goodman,
2016). Nyeri perlu dihilangkan jika telah mengganggu aktifitas tubuh. Analgetik
merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan
kesadaran. Ada dua jenis analgetik yaitu analgetik narkotik dan analgetik non
narkotik. Golongan narkotik/ opioid meliputi alkaloid opium, derivat semisintetik
alkaloid opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologi menyerupai opium
(Dewoto, 2007). Reseptor opioid terdistribusi luas dalam sistem saraf pusat dan sudah
diklasifikasikan menjadi tiga tipe utama, yaitu reseptor μ, δ, κ. Reseptor μ mempunyai
konsentrasi yang paling tinggi dalam daerah otak yang terlibat dalam antinosiseptif
dan merupakan reseptor yang berinteraksi dengan sebagian besar analgesik opioid
untuk menghasilkan analgesia.
Reseptor μ memperantarai efek analgesik mirip morfin, euforia, depresi napas, miosis,
berkurangnya motilitas saluran cerna. (Dewoto, 2007).
Analgesik nonopioid adalah obat yang mampu meredakan atau menghilangkan
rasa nyeri tidak menyebabkan adiksi. Obat-obat ini merupakan suatu kelompok obat
yang heterogen secara kimia. Walaupun demikian, obatobat ini memiliki banyak
persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototip obat golongan ini adalah
aspirin, karena itu obat golongan ini sering disebut sebagai obat mirip aspirin
(Wilmana & Gan, 2007).
Selain berdasarkan struktur kimianya, pembagian di atas juga didasarkan pada
nyeri yang dapat dihilangkan. Analgetik narkotik dapat menghilangkan nyeri dari
derajat sedang sampai hebat, seperti karena infark jantung, operasi, visceral, dan nyeri
karena kanker. Analgetik non narkotik berasal dari golongan antiinflamasi non steroid
(AINS) yang menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Disebut AINS karena selain
sebagai analgetik, sebagian anggotanya mempunyai efek antiinflamasi dan penurun
panas (antipiretik), dan secara kimiawi bukan steroid. Oleh karena itu, AINS sering
disebut analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi.
Mekanisme terjadinya nyeri nosiseptif dapat dijelaskan dengan empat proses
yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Transduksi adalah suatu proses
rangsangan yang mengganggu, menyebabkan depolarisasi nosiseptor dan memicu
stimulus nyeri. Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran impuls nyeri dari
tempat transduksi melewati saraf perifer hingga sampai ke otak. Modulasi nyeri
melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dari otak yang dapat
mempengaruhi transmisi nyeri. Modulasi juga melibatkan factor-faktor kimiawi yang
menimbulkan atau meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri aferen primer. Persepsi
nyeri adalah pengalaman subjektif nyeri yang dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri
oleh saraf (Hartwig & Wilson, 2006).
Ambang nyeri adalah tingkat stimulus yang pertama kali dipersepsikan sebagai
nyeri. Secara umum, manusia memiliki ambang nyeri yang sama. Ambang nyeri
individu sedikit bervariasi sepanjang waktu (Corwin, 2009). Toleransi nyeri adalah
kemampuan individu untuk menahan stimulus nyeri tanpa memperlihatkan tanda fisik
nyeri. Toleransi nyeri bergantung pada pengalaman sebelumnya, harapan budaya,
keluarga, dan peran, serta keadaan emosi dan fisik individu saat ini. Faktor yang
menurunkan toleransi nyeri antara lain adalah pajanan berulang nyeri, kelelahan,
kekurangan tidur, rasa cemas, dan ketakutan. Keadaan hangat, dingin, konsumsi
alkohol, dan hipnosis meningkatkan toleransi nyeri (Corwin, 2009; Hartwig &
Wilson, 2006).
Macam-macam Metode Eksperimen
1. Metode Plat Panas
Metode ini dimodifikasi dari metoda Eddy dan Leimbach (1953) yang menggunakan
lantai kandang yang panas (55-560C).
2. Metode Stimulasi Kimiawi (Metode Siegmund)/ Metode Writhing Test
Pada prinsipnya senyawa uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau
menghilangkan rasa nyeri yang diinduksikan secara kimia pada hewan coba.
C. ALAT DAN BAHAN
Alat :
a. Spuite 1 ml
b. Basile plantar test
c. Timbangan.

Bahan :

a. Asam mefenamat dosis 500 mg / 70 kgBB


b. Ibuprofen dosis 400 mg /70 kgBB
c. Larutan asam asetat 0,60%, dosis 10 ml / kgBB

Hewan Percobaan :

a. Tikus jantan (metode plantar test)


b. Mencit jantan (metode Writhing Test)

D. CARA KERJA
- Metode Plantar Test
a. Tikus diletakkan dalam wadah plantar dan dibiarkan beradaptasi selama 5
menit (terlihat tikus mulai tenang, tidak banyak bergerak).
b. Dilakukan uji pada tikus dan dicatat waktu yang diperlukan sampai tikus
mengangkat dan menjilat kaki depan sebagai waktu respon. Catat sebagai
respon normal atau respon sebelum perlakuan.
c. Tikus diambil dari wadah plantar dan berikan obat secara intraperitoneal
kepada tikus kemudian letakkan lagi pada wadah.
d. Tikus dibiarkan selama 15 menit untuk memberikan mula kerja dari obat.
e. Dilakukan kembali uji pada tikus dan dicatat waktu responnya pada menit
ke15, 30, 45, 60 setelah pemberian obat.
f. Dibuat grafik dari hasil pengamatan masing – masing untuk obat A dan B

g. Data kontrol negatif dibandingkan terhadap obat A dan B

- Metode Writhing Test


a. Mencit diimbang dan dilakukan penghitungan dosis.
b. Larutan obat disuntikkan secara intraperitoneal pada mencit.
c. Ditunggu selama 15 menit untuk memberikan mula kerja obat.
d. Larutan asam asetat 0,60 % disuntikkan secara intraperitoneal.
e. Frekuensi geliatan mencit dihitung pada menit ke-10 , 15, 20, 45, 60
setelah pemberian asam asetat.
f. Dibuat grafik hasil pengamatan untuk obat A dan B

g. Data yang diperoleh dari kontrol negatif dibandingkan terhadap obat A dan
obat B dan dihitung persentase inhibisi nyeri masing-masing obat.

III.C UJI ANTIPIRETIKA


A. TUJUAN
Setelah menyelesaikan praktikum ini maka :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan instrument dan metode pengujian aktivitas obat
antipiretika
2. Mahasiswa mampu menerapkan prinsip pengujian aktivitas obat antipiretika pada
hewan coba yang sesuai dan prinsip pengolahan data hasil percobaan

B. DASAR TEORI
Antipiretik adalah obat yang menurunkan suhu tubuh dalam keadaan demam.
Namun, hal itu itu tidak tidak mempengaruhi sumempengaruhi suhu hu tubuh tubuh
normal normal jika jika ada ada demam. demam. Antipiretik Antipiretik bertindak atas
hipotalamus untuk mengurangi kenaikan suhu telah diluncurkan oleh interleukin.
Setelah itu, tubuh akan beroperasi pada suhu yang lebih rendah, yangmengakibatkan
pengurangan demam. Antipiretik yang umum digunakan seperti aspirin, parasetamol,
dan lain-lain.
Antipiretika adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh pada keadaan
demam. Antipiretik mempunyai suatu efek pada termostat hipotalamus yang
berlawanan dengan zat pirogen. Penurunan demam oleh antipiretik seringkali melalui
pengurangan pembuangan panas daripada pengurangan produksi panas.
Sintesis PGE2 tergantung pada peran enzim siklooksigenase. Asam
arakhidonat merupakan substrat siklooksigenase yang dikeluarkan oleh membran sel.
Antipiretik berperan sebagai inhibitor yang poten terhadap siklooksigenase. Potensi
bermacammacam obat secara langsung berkaitan dengan inhibisi siklooksigenaseotak.
Asetominophen merupakan penghambat siklooksigenase yang lemah di jaringan
perifer dan aktivitas antiinflamasinya tidak begitu berarti. Di otak,
asetominofendioksidasi oleh sistem sitokrom p450 dan bentuk teroksidasinya
menghambat enzim siklooksigenase.

C. ALAT DAN BAHAN


Alat :
a. Alat suntik 1 ml
b. Ear thermometer b-braun
c. Jarum suntik
d. Timbangan

Bahan :

a. Parasetamol 2,6 mg/ml


b. Pepton 5%

Hewan Percobaan :

Mencit jantan galur swiss Webster

D. CARA KERJA
a. Mencit ditimbang berat badannya.
b. Dilakukan pengukuran suhu tubuh mencit sebelum perlakuan (T=0) dengan cara
memasukkan ear thermometer pada telinga bagian dalam (gendang telinga)
mencit.
c. Pepton disuntikkan secara s.c. pada bagian tengkuk mencit sebagai induktor panas.
d. Setelah 1 jam suhu tubuh mencit diukur. Apabila terjadi peningkatan suhu sebesar
20C, diberikan paracetamol sesuai dosis tiap kelompok secara per oral.
e. Dilakukan pengukuran suhu tubuh mencit setelah pemberian paraseramol, yaitu
pada menit ke- 15’, 30’, 45’, 60’ dan 90’.
f. Data ditabulasikan dan dibuat grafik suhu mencit setiap waktu
E. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
1. Na. diklofenak dosis : 50 mg/70kgBB

FK : 0,0026 (H.U mencit)


Rute pemberian : P.O dengan volume maksimal 1ml
Jumlah : 3 ekor Bobot : 20 gram Ketentuan :

VAO =

= 0,5 ml
- konversi dosis
- Konversi dosis = dosis manusia x F.K
= 50 mg / 70 KgBB x 0,0026
= 0,13mg/ 20 gram
- Stok pemberian =

Stok =

= 0,39 mg/mL
- Penimbangan bahan

Stok = 3x (

x 1 ml)

= 1,5 ml jumlah CMC Na


- Jumlah obat ditimbang :
0,39 mg / ml x 1,5 ml = 0,585 mg
(jumlah Na Diklofenak) - Sediaan yang dibuat :
0,585 mg Na diklofenak
1,5 ml CMC Na

VAO =
= 0,5 ml
- Jadi sesuai ketentuan VAO =

= 0,5 ml

2. Prednisone

Diketahui :
Berat mencit = 27 gram
Faktor konversi = 0,0026
Dosis Na. Diklofenak = 5mg/70kgBB
Jumlah mencit = 3 ekor
Vol. Maksimum pemberian rute peroral (po) = 1,0 ml
Ditanya :
VAO = ... ?
Penyelesaian :
a) Konversi dosis manusia ke mencit :
Dosis manusia x faktor konversi = 5mg/70kgBB x 0,0026
=0,013/20
b) Larutan stok :

Untuk 3 ekor mencit = 3 x 0,017/0,5


= 0,051/1,5
c) VAO

DATA PENGAMATAN
1. Data Uji Antiinflamasi
Kelompok Volume Udem (ml) / 30 menit selama 3 jam
0’ 30’ 60’ 90’ 120’ 150’ 180’ Ratarata

I 0 0,2 0,158 0,117 0,123 0,138 0,105


II 0 0,107 0,178 0,125 0,106 0,115 0,120
III 0 0,167 0,132 0,235 0,150 0,246 0,250

Keterangan:

1. Kelompok I : Natrium Diklofenak

2. Kelompok II : Prednisone
3. Kelompok III : CMC-Na
4.
HASIL PERHITUNGAN
1. Na. Diklofenak

%KVU =

= 20 %

2. Prednisone

%KVU =

=7%

2. Data uji antipiretik


Kelompok Suhu Terinduksi 300C 600C 900C 1200C
awal pepton

CMC- 37,1 38,4 38,2 38,2 38 38


Na
Paracetamol 36,7 38,8 38,2 37,4 37,2 37

Ibuprofen 37,2 39,1 38,7 38,4 38 37.7

Grafik penurunan suhu terhadap waktu :

3. Data uji analgetika

Kelompok Jumlah geliat mencit (pada menit ke-)

5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’ 35’ 40’ 45’ 50’ 55’ 60’
Kontrol 22 21 14 8 7 10 9 14 6 10 11 6

Asetosal 1 3 4 1 2 2 2 1 1 0 1 1

Paracetamol 0 5 14 15 19 16 15 11 10 4 3 1

Bandingkan % proteksi asetosal dan parasetamol?

Dihitung % proteksi terhadap asam asetat dengan rumus :

% Proteksi = 100 – ( P / K x100)


dimana :

P = Jumlah kumulatif geliat mencit diberi obat analgetika

K = Jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi CMC Na


(kontrol)

% Proteksi Asetosal = 100 – (P/K x 100)

= 100 - (19/148 x 100)

= 100 – (12,83)

= 87,17%

%Proteksi Paracetamol = 100 – (P/K x 100)

= 100 - (113/148 x 100)

= 100 – (76,35)

= 23,65%
F. PEMBAHASAN
1. Uji Analgetik
Pada praktikum ini analgetik yang digunakan adalah Paracetamol, asam
mefenamat, Dengan kontrol menggunakan CMC Na 1%. Praktikum ini
menggunakan metode geliat akibat induksi kimia. Induksi kimia pada praktikum
ini diberikan Asam Asetat Glasial 3% sebanyak 0,5 ml. Selain itu dalam
praktikum ini hewan uji yang digunakan yaitu 3 ekor mencit jantan dengan bobot
tubuh yang berbeda. Mencit digunakan sebagai hewan uji karena mudah disimpan
dan dipelihara serta bisa beradaptasi baik dengan lingkungan baru.
Pada percobaan ini pemberian cairan pada mencit harus disesuaikan dosis
serta volumenya, hal ini dilakukan supaya supaya tidak terjadi overdosis dan
pemberian volume yang berlebihan kepada hewan uji. Konversi dosis pada
praktikum ini yaitu dosis manusia kepada hewan uji yaitu mencit. Konversi dosis
manusia ke mencit dikalikan 0,0026 dari dosis manusia 70 kg ke mencit 20 g yang
kemudian disesuaikan dengan berat badan mencit.
Langkah kerja dari percobaan ini adalah pengujian dilakukan dengan tahap
pertama yaitu pada mencit pertama, yaitu sebagai kontrol disuntik secara per oral
dengan larutan CMC 1% sebanyak 0,5 ml kemudian mencit kedua secara per oral
diberi asetosal sebanyak 0,5 ml dan pada mencit ketiga secara per oral diberi
paracetamol sebanyak 0,5 ml. Setelah 15 menit pemberian kemudian ketiga
tersebut mencit diinjeksi secara intra peritonial dengan larutan asam asetat glasial
1% sebanyak 0,25 ml. Kemudian dilakukan pengamatan pada ketiga mencit
dilihat dari geliatan mencit dan dicatat kumulatif geliatan mencit selama 30 menit.
Hasil pengamatan menunjukkan mencit yang diberi CMC Na memiliki
aktivitas geliat lebih banyak yaitu 138 geliat dalam 60 menit, karena CMC Na
sebagai kontrol bukan sebagai analgesik sehingga tidak memiliki kemampuan
meredakan nyeri. Berbeda dengan mencit ke 2 yaitu dengan asetosal, memiliki
akivitas geliat lebih sedikit yaitu 19 geliat dalam 60 menit, karena asetosal
merupakan analgesik sehingga dapat meredakan nyeri yang diakibatkan induksi
asam asetat glasial. Kemudian mencit ke 3 yaitu dengan paracetamol memiliki
aktivitas geliat lebih banyak dari asetosal yaitu 113 geliat dalam 60 menit, karena
paracetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat
menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara
berbeda
Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin,
inilah
yang menyebabkan parasetamol menjadi obatantipiretik yang kuat melalui efek
pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada
siklooksigenase perifer, Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang, berbeda hal nya
dengan Asetosal merupakan kelompok anti inflamasi non steroid, bekerja dengan
menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat
enzim siklooksigenase, sehingga mempunyai efek analgesik, anti inflamasi dan
antipiretik. Cara Kerja Asetosal adalah seperti OAINS (Obat Anti- Inflamasi
NonSteroidatau NSAID) lain yaitu menghambat sintesa prostaglandin dengan
menghambat kerja enzim cyclooxygenase (COX-1 & COX-2). Asetosal
mempunyai efek antiinflamasi, analgetik (antinyeri) dan antipiretik. Aspirin
bekerja dengan cara menginhibisi enzim siklooksigenase 1 dan 2 (COX-1 dan 2)
sehingga menurunkan produksi prostaglandin dan derivatnya, yaitu thromboxan
A2. Hal inilah yang memberikan efek antiinflamasi dan anti agregasi platelet.

2. Uji Antiinflamasi
Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi
yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan pembebasan mediator inflamasi
seperti histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin, dan lain lain yang
menimbiulkan reaksi radang berupa: panas, nyeri dan bengkak dan gangguan
fungsi.
Pada praktikum kali ini kita menggunakan 3 ekor tikus putih yang disuntikkan
dengan bahan uji yaitu pada tikus 1 diberikan aquades sebagai kontrol negatif,
tikus 2, 3 diberikan Na- diklofenat dan prednison sebagai kontrol positif yang
artinya tikus tersebut memberikan respon, Bahan uji tersebut diberikan secara IP
(intra peritonial) semua, setelah pemberian bahan uji, tikus-tikus tersebut
diberikan penginduksi udem berupa larutan karagenik 1% sebanyak 0,1 ml secara
subplantar pada bagian dorsal kaki kanan dan kiri.
Metode pengujian aktivitas anti inflamasi suatu bahan obat dilakukan
berdasarkan pada kemampuan obat uji mengurangi atau menekan derajat udema
yang diinduksi pada hewan percobaan. Inflamasi merupakan gangguan yang
sering dialami oleh manusia maupun hewan yang menimbulkan rasa sakit di
daerah sekitarnya. Sehingga perlu adanya pencegahan ataupun pengobatan untuk
mengurangi rasa sakit, melawan ataupun mengendalikan rasa sakit akibat
pembengkakan (Katzung, 2002).
Percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari daya anti inflamasi
obat pada binatang dengan radang buatan. Pada praktikum kali ini digunakan
mencit karena pada kaki mencit lebih besar dan mudah disuntik secara sublantar.
Percobaan ini dimulai dengan menyiapkan obat yang mau diuji dan hewan coba
(mencit), setelah itu mencit ditimbang untuk mendaptkan berat badanya guna
menghitung dosis yang akan diberikan. Selajutnya mencit disuntik secara
sublantar, tetapi sebelumnya kedua kaki tikus harus ditandai sebatas mata kaki
untuk menyamakan peresepsi pembacaan saat dicelupkan pada alat pletismometer.
Dalam praktikum ini yang digunakan untuk mengiduksi inflamasi adalah
karagenin 1 % dalam aquades karena ada beberapa keuntungan yang didapat
antara lain tidak menimbulkan kerusakan jaringan, tidak menimbulkan bekas,
memberikan respon yang lebih peka terhadap obat antiinflamasi. Karagenin
sebagai senyawa iritan menginduksi terjadinya cedera sel melalui pelepaskan
mediator yang mengawali proses inflamasi. Dengan adanya enzim
siklooksigensae maka asam arakidonat akan dirubah menjadi prostaglandin.
Siklooksigenase mensintesa siklik endoperoksida yang akan dibagi menjadi dua
produk COX 1 dan COX 2. COX 1 berisi tromboksan, protasiklik (yang dapat
menghambat produksi asam lambung yang berfungsi untuk melindugi mukosa
lambung). COX 2 (asam meloksikam) berisi prostaglandin (penyebab
peradangan). Sedangkan lipooksigenase akan mengubah asam hidroperoksida
yang merupakan precursor leukotrien LTA (senyawa yang dijumpai pada keadaan
antifilaksis) kemudian memproduksi LBT 4 (penyebab peradangan) dan LTC4,
LTD4 dan LTE4 (Adeyemi, 2010).
Sebagai control Sebagai kontrol negative digunakan aquadest yang tidak
memberikan efek farmakologi apapun dalan proses inflamasi. Sedangkan kontrol
positif digunakan obat yang telah teruji mempunyai efek daya antiinflamasi,
dalam penelitian ini digunakan Na diklofenak dan prednison. Na diklofenak
merupakan obat golongan non sterooid (AINS), NA diklofenak mempunyai efek
farmakologi adalah penghambat siklooksigenase yang kuat dengan efek
antiinflamasi, analgetik dan antipiretik sehingga obat ini dapat menghambat
prostaglandin yang merupakan mediator penting dalam proses terjadinya
inflamasi, nyeri dan demam . sehingga Na diklofenak dalam praktikum kali ini
digunakan sebagai standar obat paling kuat yang mempunyai sifat antiradang.
Prednison merupakan obat golongan kortikosteroid (glukokortikoid).
Glukokortikoid bersifat paliatif, digunakan untuk menekan berbagai gejala klinis
pada proses radang yang disebabkan dilatasi kapiler, udem, migrasi leukosit,
aktivitas fagosit dan sebagainya. Selain itu glukokortikoid dapat mencegah
terjadinya perubahan-perubahan lanjutan seperti proliferasi kapiler, fibroblast dan
kolagen. Glukokortikoid juga dapat diberikan sebagai imunosupresan untuk
menekan gejala klinis pada reaksi imun. Pada penyakit yang disebabkan infeksi
bakteri glukokortikoid hanya diberikan bersama antibiotika atau
khemoterapeutika. Sebagai antiradang glukokortikoid digunakan pada penyakit
reumatik (demam reumatik akut dengan karditis, artritis reumatoid, poliartritis,
osteo- artritis serta kolagenosis), reaksi alergi, udem otak, tumor ganas, radang
pada kulit, mata, telinga dan sebagainya (Reynolds, 1982).
Mekanisme kerja obat yang digunakan dalam praktikum uji inflmasi kali ini:
1. Natrium diklofenak
Natrium diklofenak mempunyai aktivitas analgesik, antipiretik dan
antiinflamasi. Diklofenak mempunyai kemampuan melawan COX-2 lebih baik
dibandingkan dengan indometasin, naproxen, atau beberapa NSAIA lainnya.
Sebagai tambahan, diklofenak terlihat/dapat mereduksi konsentrasi intraselular
dari AA bebas dalam leukosit, yang kemungkinan dengan merubah pelepasan
atau pengambilannya. (GG Ed.11, hal 698)
Mekanisme kerja farmakologi secara pasti belum jelas, namun banyak
aksi/aktivitas pada dasarnya adalah menginhibisi sintesis prostaglandin.
Diklofenak menginhibisi sintesis prostaglandin di dalam jaringan tubuh
dengan menginhibisi siklooksigenase; sedikitnya 2 isoenzim, siklooksigenase-
1 (COX1) dan siklooksigenase-2 (COX-2) (juga tertuju ke sebagai
prostaglandin G/H sintase-1 [PGHS-1] dan -2 [PGHS-2]), telah
diidentifikasikan dengan mengkatalis/memecah formasi/bentuk dari
prostaglandin di dalam jalur asam arakidonat. Walaupun mekanisme pastinya
belum jelas, NSAIA berfungsi sebagai antiinflamasi, analgesik dan antipiretik
yang pada dasarnya menginhibisi isoenzim COX-2; menginhibisi COX-1
kemungkinan terhadap obat yang tidak dihendaki (drug’s unwanted) pada
mukosa GI dan agregasi platelet. (AHFS 2010, hal.2086).

2. Prednison
Prednisone adalah hormon kortikosteroid (glukokortikoid). Ini
mengurangi respon sistem kekebalan Anda terhadap berbagai penyakit untuk
mengurangi gejala seperti pembengkakan dan reaksi alergi tipe. Hal ini
digunakan untuk mengobati kondisi seperti radang sendi, gangguan darah,
masalah pernapasan, kanker tertentu, masalah mata, penyakit sistem kekebalan
tubuh, dan penyakit kulit.
Efek utamanya sebagai glukokortikoid. Glukokortikoid alami
(hidrokortison dan kortison), umumnya digunakan dalam terapi pengganti
(replacement therapy) dalam kondisi defisiensi adrenokortikal. Sedangkan
analog sintetiknya (prednison) terutama digunakan karena efek imunosupresan
dan anti radangnya yang kuat. Glukokortikoid menyebabkan berbagai efek
metabolik. Glukokortikoid bekerja melalui interaksinya dengan protein
reseptor spesifik yang terdapat di dalam sitoplasma sel-sel jaringan atau organ
sasaran, membentuk kompleks hormonreseptor. Kompleks hormon-reseptor
ini kemudian akan memasuki nukleus dan menstimulasi ekspresi gen-gen
tertentu yang selanjutnya memodulasi sintesis protein tertentu. Protein inilah
yang akan mengubah fungsi seluler organ sasaran, sehingga diperoleh,
misalnya efek glukoneogenesis, meningkatnya asam lemak, redistribusi lipid,
meningkatnya reabsorpsi natrium, meningkatnya reaktivitas pembuluh
terhadap zat vasoaktif, dan efek anti radang. Apabila terapi prednison
diberikan lebih dari 7 hari, dapat terjadi penekanan fungsi adrenal, artinya
tubuh tidak dapat mensintesis kortikosteroid alami dan menjadi tergantung
pada prednison yang diperoleh dari luar. Oleh sebab itu jika sudah diberikan
lebih dari 7 hari, penghentian terapi prednison tidak boleh dilakukan secara
tiba-tiba, tetapi harus bertahap dan perlahan-lahan. Pengurangan dosis
bertahap ini dapat dilakukan selama beberapa hari, jika pemberian terapinya
hanya beberapa hari, tetapi dapat memerlukan berminggu-minggu atau bahkan
berbulan-bulan jika terapi yang sudah diberikan merupakan terapi jangka
panjang. Penghentian terapi secara tiba-tiba dapat menyebabkan krisis
Addisonian, yang dapat membawa kematian. Untuk pasien yang mendapat
terapi kronis, dosis berseling hari kemungkinan dapat mempertahankan fungsi
kelenjar adrenal, sehingga dapat mengurangi efek samping ini. Pemberian
prednison per oral diabsorpsi dengan baik. Prednison dimetabolisme di dalam
hati menjadi prednisolon, hormon kortikosteroid yang aktif.
Mekanisme prednison menghambat enzim fosfolipase A2 secara tidak
langsung dengan menginduksi sintesis protein G/lipokortin G. Selain
menghambat pembebasan asam arakidonat yang mengakibatkan terhambatnya
sintesis prostaglandin dan leukotrien, glukokortikoid juga menghambat PAF,
tumor nekrosis faktor (TNF) clan interleukin-1 (IL-1). IL-1 mempunyai
peranan penting pada aksi radang antara lain menstimulasi PGE2 dan
kolagenase, mengaktivasi limfosit T, menstimulasi proliferasi fibroblast,
kemotraktan leukosit dan menyebabkan neurofilia. Glukokortikoid juga
menghambat pembentukan aktivator plasminogen oleh neutrofil (Campbell,
1991).

3. Uji Antipiretika
Mahasiswa melakukan praktikum farmakologi dengan materi
analgetik. Tujuan dari praktikum ini adalah mempelajari dan mengetahui
efektivitas analgetika sedian obat (paracetamol dan ibuprofen). Pada
praktikum ini dilakukan uji antipiretik dengan tujuan untuk menganalisis efek
antipiretik dari paracetamol dan ibuprofen pada hewan uji mencit. Digunakan
parasetamol dan ibuprofen karena telah diketahui kemampuan antipiretiknya.
Demam mungkin adalah tanda utama penyakit yang paling umum
diketahui. Demam terjadi tidak hanya pada mamalia saja tetapi pada unggas,
reptile, amfibi dan ikan. Peningkatan suhu pada hewan yang disuntik suatu
pirogen sebagian besar disebabkan oleh peningkatan pembentukan panas
apabila berada dalam lingkungan yang hangat. Toksin dan bakteri misalnya
endotoksin bekerja pada monosit, makrofag dan sel-sel kopffer untuk
menghasilkan berbagai macam sitokin yang bekerja sebagai pirogen endogen
(Soegijanto dkk., 2016).
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih oleh
pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi atau reaksi imun.
Pirogen eksogen dan endogen akan merangsang endotelim hipotalamus untuk
membentuk prostaglandin. Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan
meningkatkan patokan thermostat di pusat termoregulasi hipotalamus.
Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan
yang baru sehingga memicu mekanisme vounter seperti memakai selimut. Hal
ini menyebabkan peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan
panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan
yang baru tersebut.
Parasetamol dan ibuprofen adalah obat antipiretik yang sering
digunakan. Secara farmakologis pemberian parasetamol dan ibuprofen secara
bersamaan dapat ditoleransi dengan baik karena jalur metabolisme kedua obat
tersebut berbeda. Selain itu kisaran dosis kedua antipiretik tersebut cukup
lebar, sehingga dianggap aman untuk digunakan (Nagrani dan Prayitno, 2015).
Antipiretik yang digunakan yaitu parasetamol sebagai kontrol positif.
Kontrol positif digunakan untuk menggambarkan penurunan suhu yang terjadi
akibat pemberian obat antipiretik. Harapannya mencit yang diberi kontrol
positif memperlihatkan penurunan suhu setelah pemberian obat antipiretik.

G. KESIMPULAN
1. Uji Analgetik
Dari percobaan yang telah dilakukan diambil kesimpulan dengan potensi
analgesic terbaik urutannya adalah Asetosal lalu Paracetamol. Asetosal bekerja
dengan menghambat sintesa prostaglandin dengan menghambat kerja isoenzym
COX-1 dan COX-2, reseptor ini memiliki peran sebagai mediator. Karena nilai
proteksi asetosal lebih tinggi dari paracetamol maka terbukti bahwa mekanisme
kerjanya lebih cepat di lambung. Jadi Asetosal lebih efektif dan spesifik sebagai
analgesic dibandingkan Paracetamol.
2. Uji Antiinflamasi
• Inflamasi terjadi karena adanya rangsangan mekanis, fisika dan kimia yang
akan menyebabkan kerusakan membran sel sehingga terjadi rasa nyeri,
panas, bengkak dan keterbatasan gerak.
• Na diklofenak digunakan sebagai obat antiinflamasi, sedangkan karagenin
sebagai penyebab peradangan.
• Obat antiinflamasi dibagi menjadi nonsteroid dan steroid.
• Hasil dari praktikum kali ini didapatkan urutan obat anti inflamasi paling
tinggi yaitu natrium diklofenak, prednison, dan CMC-Na.
• Literatur menunjukan bahwa obat yang paling analgetik adalah natrium
diklofenak kemudian prednison, dan CMC-Na.
• Obat anti inflamasi non steroid lebih banyak digunanan karena lebih aman
dan mempunyai efek yg lebih kecil dari pada obat anti inflamasi steroid
3. Uji Antipiretika
Antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan demam (kenaikan suhu tubuh dari
suhu normal) dengan mekanisme menghambat prostaglandin. Contoh obat
antipiretik yang dipakai pada percobaan ini adalah paracetamol.

DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 1990. Perjalanan dan Nasib Obat dalam Badan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Anonim. 2010. Farmakologi untuk SMK Farmasi. Jakarta: DEPKES RI
Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Universitas. Jakarta: Indonesia
Press

Diphalma, J. R., Digregorio, G. J. 1986. Basic Pharmacology in Medicine 3the


dition . New York: Mcgraw-hill Publishing Company
Ganiswara, S. G (Ed. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta: Balai
Penerbit Falkultas Kedokteran Universitas Indonesia
Adeyemi, 2010. Analgesic and Anti-inflammatory Effects Of The Aqueous Extract Of
Leavesof Persea Americana Mill. (Lauraceae)

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai