Anda di halaman 1dari 5

Prosedur kerja kali ini pertama yaitu memperbaiki kadar salisilat dalam urin

dengan larutan Feri nitrat dalam HCl Ditambahkan 5 ml pereaksi Feri nitrat
pada 1 ml sampel urin bertujuan agar terbentuk ion Fe3+ lalu divortex hingga
homogen, kemudian disentrifuge 2500 rpm selama 5 menit. Kemudian dipisahkan
filtrat dan diamati pada panjang gelombang maksimum untuk penentu
serapan maksimal salisilat dalam urin dengan menggunakan 1 ml urin sebagai
kosong, blanko ditambahkan 5 ml pereaksi Feri nitrat untuk membentuk
kompleks dengan asam salisilat sehingga kadarnya diketahui (Matias et al ., 2014).
Prosedur kedua yaitu pembuatan pereaksi feri nitrat dengan Dilarutkan
Feri nitrat sebanyak 20 gram dalam 500 ml larutan HCl 0,1 N agar. Tujuan
dilarutkannya feri nitrat dalam HCl 0,1 N dikarenakan feri nitrat tidak bisa
penonton langsung dengan asetosal jadi diperlukan HCL untuk menghidrolisis
asetosal menjadi asam salisilat dan asam asetat sehingga asam salisilat dapat
membentuk kompleks dengan feri nitrat dan menghasilkan perubahan warna
(Alviani dkk., 2022).
Prosedur ketiga pembuatan larutan baku kerja salisilat dengan Bagus
larutan baku induk dengan konsentrasi 1000 ƒÊg/mL dari 116 mg natrium salisilat
dilarutkan dalam 100 ml udara suling. Selanjutnya, Bagus larutan baku kerja
salisilat dengan cara mengencerkan larutan baku induk dengan udara suling sampai
diperoleh konsentrasi 20; 50; 100; 150; 200 dan 300 ƒÊg/mL. Pembuatan seri
konsentrasi bertujuan untuk membentuk kurva baku dengan analisis menggunakan
spektrofotometri Uv-Vadalah (Ulfa dan Nofita, 2018)
Prosedur keempat lokasi panjang gelombang maksimum dengan
Ditentukan Panjang gelombang maksimum menggunakan larutan baku kerja 100
dan 200 mg/mL. Lalu, Direaksikan larutan baku kerja 100 dan 200 mg/mL sesuai
dengan prosedur memperbaiki kadar salisilat dan amati nilai absorban pada panjang
gelombang antara 510 - 560 nm. Selanjutnya Bagus kurva perbandingan absorban
terhadap panjang gelombang dari larutan baku kerja 100 dan 200 mg/mL pada
kertas grafik waktu sama. Takhir ditentukan panjang gelombang maksimum.
Panjang geombanh yang digunakan ini agar dapat dilakukan analisis dimana suatu
zat memberikan penyerapan pagar tinggi yang disebut λmaks. Apabila terjadI pada panjang
gelombang yang sama, maka data yang diperoleh membuat akurat dan
kesalahan yang muncul semakin kecil (Warono danAb, 2013)
Prosedur kelima yaitu pembuatan kurva baku dengan Dilakukan
observasi absorban dari larutan baku kerja pada beberapa konsentrasi yang
telah dibuat pada poin 2 yang telah direaksikan seperti pada metode memperbaiki
kadar salisilat dalam urin dengan metode Feri nitrat pada panjang gelombang
maksimum yang telah diperoleh dari poin 3. Sebagai blanko digunakan 1 ml udara
suling ditambah 5mL pereaksi feri nitrat. Lalu, dibuat tabel hasil observasi dan
kurva perbandingan kadar larutan baku kerja terhadap absorban pada kertas grafik
waktu sama. Kemudian, Dihitung koefisien korelasi dan dibuat jual beli
garisnya.
Prosedur keenam yaitu Penetapan kembali kadar salisilat yang
ditambahkan dalam urin (pemulihan), dengan Bagus larutan baku induk 1000
ƒÊg/mL dari 116 mg natrium salisilat dilarutkan dalam 100 ml urin blanko. Lalu,
dibuat larutan baku kerja salisilat dengan cara mengencerkan larutan baku induk
dengan urin blanko sampai diperoleh larutan dengan kadar 20; 50; 100; 150; 200
dan 300 mg/mL untuk membuat kurva baku. Selanjutnya, Dilakukan observasi
Absorban dari larutan baku kerja dengan beberapa konsentrasi tadi setelah
direaksikan seperti pada metode memperbaiki kadar salisilat dalam urin dengan
metode Feri nitrat, pengukuran dilakukan pada panjang gelombang maksimum
yang telah diperoleh sebelumnya. Sebagai blanko adalah 1 ml urin blanko
ditambah 5 ml pereaksi Feri nitrat bertujuan agar terbentuk kompleks yang
memberikan warna yang dapat terabsorbansi. Kemudian, Bagus tabel hasil
observasi dan buat kurva perbandingan kadar larutan baku kerja terhadap
absorban pada kertas grafik waktu sama. Hitung persen pemulihan bertujuan agar
diketahui kadar salisilat yang ditambahkan dalam urin (Alviani dkk., 2022)..
Prosedur ketujuh yaitu pertemuan sampel urin dengan Bagus jadwal
penyimpanan sampel urin (dengan mempertimbangkan waktu paro eliminasi
salisilat yang diperoleh dari pustaka) selama ± 7 X T . Bertujuan agar diperoleh
data yang akurat terkait eliminasi salisilat dalam tubuh. Lalu, dilakukan penyimpanan kencing,
catat secara tepat volume dan waktu penyimpanannya. (Shargel dkk., 2017).
Prosedur terakhir atau delapan yaitu memperbaiki kadar salisilat dalam urin
yaitu dengan Ditetapkan kadar salisilat dalam sampel urin menggunakan metode
Feri nitrat dan amati absorbansinya pada panjang gelombang maksimum.
Kemudian, Dimasukkan data absorban ke jual beli garis pemulihan untuk
mendapatkan data kadar salisilat dalam urin dari setiap waktu pengambilan
bertujuan agar dapat dihitung profil farmakokinetika salisilat melalui beberapa
parameter (Matias et al ., 2014)

Bahas farmakokinetika asetosal oral (Kel.5)


Farmakokinetik asetosal dimulai melalui absorpsi hingga eliminasi,
serta ketergantungan pada jenis sediaan dan cara persembahan. Asetosal
sediaan tablet bisa menyerap dengan sangat cepat di Iambung dan
usus duabelas jari. Tablet diperpanjang melepaskan menyerap lebih lambat dan
tergantung adanya makanan serta pH gaster. Bioavailabilitas
asetosal adalah 50-75%. Volume distribusi asetosal adalah
170ml/kgBB. Asetosal juga banyak terdistribusi pada jaringan.
Pada konsentrasi rendah, sekitar 90% asetosal ikatan albumin.
Semakin tinggi konsentrasi asetosal, proporsi yang berikatan
dengan protein semakin rendah, begitu pula pada kasus insufisiensi
ginjal dan pada kehamilan. Pada kasus overdosis asetosal, hanya
30% yang berikatan dengan albumin. Metabolisme asetosal
berlangsung hampir segera setelah konsumsi. Asetosal utamanya
dihidrolisis menjadi salisilat oleh enzim esterase yang terdapat di
mukosa saluran cerna, eritrosit, cairan sinovial, dan plasma darah.
Hasil hidrolisis kemudian berikatan dengan glisin, menjadi
salicyluric asam. Waktu setengah asetosal adalah 15-20 menit,
sedangkan waktu setengah salisilat akan lebih lama sesuai dengan
dosis persembahan. Pada dosis 300—650 mg waktu setengah berkisar 3
selai, sedangkan pada dosis 1 gram waktu setengah adalah 5 selai dan 2 gram waktu setengah 9
selai. Eliminasi asetosal utamanya melalui
air seni, 75% dalam bentuk salicyluric asam dan 10% dalam bentuk
asam salisilat (Abidin dan Mardiyantoro, 2020).

4. bahas Panjang gelombang acetosal


lubang panjang gelombang maksimum sangat berpengaruh
terhadap analisis kuantitatif dengan menggunakan
spektrofotometer, karena perubahan konsentrasi yang kecil dapat
penyebab perubahan besar absorbansi. Hasil pengukuran
panjang gelombang maksimum untuk asetosal adalah 237 nm
(Kuntari dkk., 2017)
5. Prinsip kerja spektro (Kel.3)
Prinsip keja dari spekrtofotometri adalah suatu cahaya
monokromatik akan melalui suatu media yang memiliki suatu
konsentrasi tertentu, maka akan membentuk spektrum cahaya,
namun ketika melewati monokromator, cahaya yang keluar hanya
akan terdapat satu cahaya yaitu sesuai dengan pengaturan awal,
misalnya warna hijau. Setelah keluar dan monokromator, cahaya
akan menembus sampel yang kemudian akan terbaca hasil pada
membacakan (memantau) (Yunlinastuti dan Fatimah, 2016).

6. Hasil pengamatan parameter farmakokinetika urine tikus dengan


pemberian asetosal (Kel.2) Belum fiks ya SABAR kalo dah perbaiki
kabarin. Udah nih PERBAIKI okeeee
Farmakokinetika pertunjukan kinetika absorpsi obat, distribusi
dan eliminasi, yakni ekskresi dan metabolisme. Kecepatan dan tingkat
obat diekskresikan melalui urin menggambarkan kecepatan dan tingkat
absorpsi obat dalam sirkulasi sistemik (Shargel dkk., 2017). Hasil data
yang dilakukan diperoleh kadar asetosal pada t0 sebanyak 0
mikrogram/mL, t1 sebanyak 235.789 mikrogram/mL, t2 sebanyak
220.000 t3mikrogram/mL, t3 sebanyak 214,211 mikrogram/mL, t4
sebanyak 177.368 mikrogram/mL. Hasil data profil farmakokinetik
kecepatan eliminasi asetosal dihitung menggunakan metode sigma
minus dimana diperoleh data kecepatan eliminasi pada t1 sampai t3
mengalami penigkatan kecepatan eliminasi dalam jumlah obat dengan
diperoleh hasil masing-masing sebesar 471.578 µg dan 471.264 µg
sedangkan pada t2 dan t4 mengalami penurunan kecepatan eliminasi
dari jumlah obat yaitu masing-masing 396.000 µg dan 266.052 mg, dan
kemudian diperoleh kecepatan eliminasi dari obat yaitu 2,3258 macet-1.
Metode Sigma-Minus membutuhkan lokasi akurat Du~ dari urin
sampai ekskresi obat selesai (Wibowo dkk., 2012). Hasil data
Kecepatan absorbsi obat dihitung menggunakan metode sisa
mengalami penurunan kadar obat dalam air seni ditandai pada t0 sampai
t1 dengan diperoleh hasil Ka sebanyak 2,1213 selai -1. Metode sisa
adalah metode yang umum digunakan untuk mengestimasi
parameter-parameter farmakokinetik dari data konsentrasi obat dalam
plasma dan data urin. Metode ini disebut juga metode berbulu
(Nasution, 2015). Tikus dengan perlakuan persembahan asetosal
menghasilkan penurunan data absorbsi obat asetosal pada urin karena
absorbsi obat asetosal secara lisan akan terhidrolisis menjadi asam
salisilat dalam 1 selai pertama setelah ditelan dengan enzim esterase
yang ditemukan di dalam saluran cerna. konsentrasi puncak plasma
salisilat terjadi antara 1-2 selai konsumsi pada hewan coba tikus. Hal ini
penyebab penurunan kecepatan eliminasi pada waktu t3 sampai t4
(Miladiyah, 2012).
7. reaksi ferri nitrat dan asam salisilat knp jd warna ungu (Kel.1)
Terbentuknya warna ungu pada reaksi feri nitrat dan asam
salisilat karena asam salisilat yang terbentuk di komplek dengan
feri nitrat yang akan penonton dengan gugus fenol dari asam salisilat yang menghasilkan warna
ungu dari hasil kompleksasi (Matias et al ., 2014)
8. mengapa saat running memakai seri konsentrasi 100 ppm dan 200 ppm
(Kel.5)
PENentuan panjang gelombang maksimum reagen feri nitrat.
Panjang gelombang tersebut digunakan untuk mengukur serapan
dari sampel uji. Menggunakan seri konsentrasi 100 ppm dan 200
ppm untuk pertunjukan peningkatan hasil absorbansi yang cukup
berbeda. Dilihat dari hasil absorbansi yang telah diperoleh dari
setiap pengenceran, semakin besar konsentrasi yang diberikan
maka semakin besar nilai absorbansi yang diperoleh. Hal ini
pertunjukan bahwa absorbansi berbanding lurus dengan
konsentrasi larutan yang dikarakterisasi. Sehingga pada konsentrasi
200 ppm memiliki absorbansi yang lebih tinggi dari pada
konsentrasi 100 ppm (Sayuti, 2017).

9. Kesimpulan
dari data hasil observasi (Kel.4)
Berdasarkan data yang didapat dari pengujian dapat penyelesaian bahwa
parameter farmakokinetika dari asetosal dapat ditentukan melalui urin
tikus yang diberikan asetosal. Dari urin tersebut dapat ditentukan kadar
asetosal yang terekskresi menggunakan spektrofotometer untuk dihitung
kadarnya. Dari hasil perhitungan yang diperoleh bahwa obat asetosal
yang diamati memiliki profil farmakokinetika yang kurang baik yang
ditandai dengan nilai kecepatan eliminasi dari asetosal lebih cepat
dibandingkan dengan kecepatan absorbsinya. Hal ini bisa terjadi karena
beberapa faktor antara lain bentuk sediaan, sifat fisika-kimia obat, faktor
biologis, dan faktor lain-lain (umur, makanan, interaksi obat dengan
senyawa lain)

Kesimpulan ( Berdasarkan Tujuan ) ( Kel.3 )


Berdasarkan percobaan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
1. Data ekskresi obat dalam urin dapat digunakan untuk penentu
parameter farmakokinetika obat dikarenakan data urin mengukur
langsung jumlah obat yang berada di dalam badan dan kadar obat
dalam urin lebih besar daripada dalam darah. Kecepatan dan
tingkat obat diekskresikan melalui urin menggambarkan kecepatan
dan tingkat absorpsi obat dalam sirkulasi sistemik.
2. Parameter farmakokinetik dapat dihitung berdasarkan data ekskresi
urin yaitu dengan menghitung tetapan laju eliminasi dengan
metode sigma minus atau dengan metode pertengahan titik waktu dan
menghitung tetapan laju absorbsi pada data urin yang diperoleh

GILAAR PUTIHAKA
Abidin, Z. Z., dan Mardiyantoro, F. 2020. Diagnosa dan Tata Laksana Perdarahan
Rongga mulut. Malang : UB Press.

Hartianingsih., Puspitasari, A. D., Putri, N. D., dan Arifah, N. 2016. Kombinasi


Kalsitrol dan Etinil Etil Estradiol Meningkatkan Eksresi Kalsium Urin dan
Risiko Urolitiasis pada Tikus Ovariektomi. Jurnal Veteriner, 18 (2), 239-246.

Haryani, F., Irianto, B. G., & Pudji, A. 2020. Analisis Pengaruh Penggunaan Jenis
dan Tipe Spuit Terhadap Ketepatan dan Keakurasian Hasil Kalibrasi Pada Jarum suntik
Pompa . Jurnal Seminar Nasional Kesehatan, 1 (1): 189-194.

Howard . 2015. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Jakarta :


Penerbit Universitas Indonesia.

Juvitasari, P. T., melati, H. A., & Lestari, SAYA. 2018. Deskripsi Pengetahuan Alat
Praktikum Kimia dan Kemampuan Psikomotorik Siswa PRIA 1 Pontianak. Jurnal
Pendidikan dan Pembelajaran. 7 (7): 1-13.

Kuntari, T., Aprianto, Hadiyati.RN, Baruji. 2017.VERIFIKASI METODA


PENENTUAN ASETOSAL DALAM OBAT SAKIT KEPALA DENGAN
METODA SPEKTROFOTOMETRI UV. Jurnal Sains dan TeknologiTeknologi
6(1): 31-40

Anda mungkin juga menyukai