Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Metode Flow Injecrion, Cara Penetapan Kadar, Serta Keunggulan dan
Kelemahan-Nya Dalam Analisis Obat Golongan Sulfonamida ?
2. Bagaimana Metode Kromatografi, Cara Penetapan Kadar, Serta Keunggulan dan
Kelemahan-Nya Dalam Analisis Obat Golongan Sulfonamida?
3. Bagaimana Metode Elektroforesis Kapiler, Cara Penetapan Kadar, Serta Keunggulan dan
Kelemahan-Nya Dalam Analisis Obat Golongan Sulfonamida?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Metode Flow Injecrion, Cara Penetapan Kadar, Serta Keunggulan dan
Kelemahan-Nya Dalam Analisis Obat Golongan Sulfonamida
2. Untuk Mengetahui Metode Kromatografi, Cara Penetapan Kadar, Serta Keunggulan dan
Kelemahan-Nya Dalam Analisis Obat Golongan Sulfonamida
3. Untuk Mengetahui Metode Elektroforesis Kapiler, Cara Penetapan Kadar, Serta
Keunggulan dan Kelemahan-Nya Dalam Analisis Obat Golongan Sulfonamida
BAB II
ISI
A. Flow Injection Analysis ( FIA)
FIA dengan detektor spektofotometer digunakan untuk analisis sulfatiazol berdasarkan pada
pembentukan kompleks berwarna antara sulfatiazol dengan Pd ( II) dengan pH 5,0 pada suhu
55 0C. Dengan menggunakan parameter tinggi puncak, sulfatiazol ditentukan pada gelombang
410 nm pada kisaran 5,0 x 10 -5 - 3 x 10 -4 M ( Gacia dkk, 1997)
-3
Larutan PdCl2 5 x 10 M disiapkan dengan melarutkan 0,2216 g PdCl2 dalam 5 ml
air, lalu ditambah dengan o,5 ml HCl pekat dan campuran dipanaskan pada penangas air
hangat. Larutan dibiarkan dingin dan dibuat sampai 250 ml dengan akuades. Larutan induk
-3
sulfatiazol 1x 10 M disiapkan dengan melarutkan 0,0511 g sulfatiazol dalam 1 ml NaOH
1M dan diencerkan sampai 100 ml dengan air. Larutan baku kerja disiapkan dengan
mengencerkan larutan baku induk ini.
Prosedur kalibrasi : Gambar 3.17 menunjukan sistem FIA yang digunakan.
Sebanyak 72 µL larutan sulfatiazol diinjeksikan ke cairan pembawa yang dihubungkan
dengan PdCl2 3 x 10 -3 M pada ph 5,0. Tinggi puncak diukur pada gelombang 410 nm. Suatu
kurva kalibrasi disiapkan dengan membuat plot hubngan antara absorbansi puncak versus
konsentrasi sulfatiazol pada kisaran 5,0 x 10 -5 - 3 x 10 -4 M.
Untuk analisis sediaan farmasetik ; sejumlah serbuk tablet yang setara dengan 50 mg
sulfatiazol ditimbang secara saksama lalu ditambahkan dengan 10 ml akuades dan 1 ml
NaOH 1 M. Campuran selanjutnya dimasukan ke penangas ultarasonik selama 5 menit dan
ditambah dengan akuades sampai batas tanda ( 100 ml ). Larutan ini selanjutnya dikenai
prosedur sebagaimana diatas.
GAMBAR

Determinasi sekelompok sulfanamid ( sulfanamid, sulfasetamid, sulfatiazol,


sulfadimidin, sulfapurazol, sulfametoksipridazin dan sulfaguanidin) dengan teknik FIA juga
dilakukan oleh Pasekova dkk. (2001). Sinyal kemilumisensi yang diemisikan selama oksidasi
sulfonamid dengan kalium permanganat dalam medium asam sulfat dijadikan sebagai dasar
FIA sulfonamid dengan detektor fluorosensi.
FIA dengan sistem kemilumisensi peroksi-oksalat telah diaplikasikan untuk
determinasi sulfadiazin menggunakan bis [ 2,4,6 triklorofeni oksalat ] ( TCPO) sebagai
prosedur kemilumisensi, hidrogen peroksida sebgaai oksidan, imidazol sebagai katalis dan
fluoresamin sebagai agen penderivat menghasilkan senyawa yang berfluorosensi. Metode ini
menunjukan kisaran linier 126- 2000 ng/ ml dengan batas kuantifikasi sebesar 379 ng/ml, dan
telah sukses digunakan untuk analisis pil manusia ( Lattanzio dkk, 2008)
B. Metode Kromatografi
Metode kromatografi telah digunakan untuk analisis obat golonngan sulfonamid, baik dalam
tanggal atau campuran dengan obat golongan sulfonamid yang lain atau dalam campuran
dengan obat golongan lain.
1. Kromatografi Lapis Tipis
KLT kinerja tinggi ( high perfomance thin layer chromatography, HPTLC) telah
digunakan untuk analisis kombinasi sulfametoksazol dengan trimetoprim ( Tammileho,
1985) . Pada pemisahan HPTLC dilakukan pada lempeng silika gel 60F254 . Sebelum
dilakukan analisis, lempeng dikembangkan dengan kloform-etanol ( 9 : 1 v/v ) dan
dilanjutkan dengan metanol untuk menjamin pengukuran fotometri dengan backgorund
yang rendah. Lempeng dikeringkan pada suhu kamar dan segera digunakan untuk
analisis. Standar / sampel ditotolkan, dan lempeng dielusi dengan kloform- metanol ( 9 :1
, jarak migrasi adalah 40 mm). pengukuran bercak secara fotometri dilakukan dengan
bentuk reflektans pada panjang gelombang 284 nm.
Penyiapan kurva kalibrasi : larutan induk yang mengandung sulfametoksazol dan
trimetropim 1 mg/ ml, serta standar internal yang mengandung 3 mg/ ml sulfanilamid
disiapkan dalam aseton-kloroform ( 7 : 3 v/v ). Sejumlah tertentu alikuot ditotolkan dan
dikromatografi dengan kondisi sebagaimana diatas. Kurva kalibrasi dibuat dengan
membuat plot antar rasio tinggi puncak sulfametoksazol atau trimetoprim terhadap tinggi
puncak standar internal versus konsentrasi analit. Data kalibrasi dianalisis dengan
persamaan regresi log-log.
Logg y = A log x + B, yang mana y adalah rasio tinggi puncak dan x adalah konsentrasi.
Penyiapan sampel ( tablet) : satu tablet digerus halus dan sejumlah serbuk yang setara
dengan 5 mg trimetoprim dan 25 mg sulfametoksazol disuspensikan dalam 15 ml
kloroform dan disonikasi selama 5 menit. Selanjutnay, sebanyak 5,0 ml larutan standar
internal ditambahkan dan campuran diencerkan sampai 50,0 ml dengan aseton (larutan
sampel). Larutan standar yang mengandung 5 mg trimetoprom, 25 mg sulfametoksazol
dan 15,0 mg sulfanilamid 9 SEBAGAI STANDAR INTERNAL ) dalam 50,0 ml aseton-
kloroform ( 7 : 3 v/v ) disiapkan dengancara yang serupa. Sejumlah alikuot standar dan
larutan sampel ditotolkan pada lempeng HPTLC yang sama.

2. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi


Larutan natrium sulfasetamid dengan berbagai konsentrasi merupakan obat yang sering
diresepkan untuk pengobatan infeksi mata. Larutan optalmik sulfasetamid disterilkan
dengan autoklav ini, sebnayak 1 % sulfasetamid dapat terhidrolisis menghasilkan
sulfanilamid ( gambar 3.18 ). Berdasarkan hal ini, maka Rao dkk, ( 1999)
mengembangkan KCKT pasangan ion untuk determinasi kedua obat.
Gambara

Pemisahan dilakukan dengan kolom fase terbalik Nucleosil C-18 ( 125 mm x 5 mm


i.f; s µm ) menggunakan fase gerak campuran air-metanol-asam asetat-garam natrium-
asam 1-heksan sulfonat ( 890 : 100 :10 :2 v/v/v) dan disaring dengan penyaring membran
0,45 mikron, dan dihantarkan secara isokratik pada kecepatab alir 1,3 ml/menit.
Pemisahan dilakukaan pada suhu ruangan. Detektor yang digunakan adalah photo-diode
array yang diatur pada panjang gelombang 254 nm.
Penyiapan larutan standar sulfasetamid : sebnayak 50 mg Na sulfasetamid ditimbang
saksama dan dilarutkan dalam 50 ml metanol. Dari larutan induk ini, sebanyak 5,0 ml
larutan diambil dan diencerkan sampai 50 ml dengan fase gerak untuk memberikan
konsentrasi larutan baku kerja 10 µm/ml.

Penyiapan larutan standar sulfanilmid : sebanyak 50 mg sulfanilamid ditimbang saksama dan


dilarutkan dalam 50 ml metanol. Dari larutan induk ini, sebanyak 1,0 ml larutan diambil dan
diencerkan sampai 100 ml dengan fase gerk unuk memberikan konsentrasi larutan baku kerja 10
µg/ml.

Prosedur analisis sulfasetamid dn sulfanilamid dalam salep mata : sejumlah salep yang
setara dengan 0,25 g natrium sulfasetamid diambil lalu dimasukan kedalam corong psah yang
mengndung 20 ml perleum eter ( 40-60 0C ), 30 ml eter dan 10 ml HCl 2 M. Setelah dilakukan
penggojokan kuat, lapisan asam diambil dan laapisan organik diekstrasi 2 kali lagi dengan 30 ml HCl
2 M. Semua lapisan asam dipinndahkan kedalam labu takar 100 ml, dan volume dibuat sampai batas
tanda ( 100 l ) dengan HCl 2M. Setelah dilakukkan penyarigan, larutan ini diencerkan lebih lanjut
dengan fase gerak untuk memproleh konsentrasi sebesar kurang lebih 100 µg/ml.Sebanyak 20 µL
larutan standar dan larutan sampel dinjeksi kedalam sistem KCKT.

gambar: Kromatogram yang menunjukan pemisahan sulfasetamid ( II ) da sulfalamid ( II ) dalam :


(A) campura sintetik (I) dan ( II), (B) tetes mata sulfasetamid 20 % yang berumur 3 bulan, (C) tetes
mata sulfasetamid 20 % yang berumur 6 bulan, kondisi percobaan sebagaimana dalam teks diatas (
sumber : Rao dkk, 1999).

Jenis kromatogram yang diproleh dengan menggunakan kondisi diatas ditunjukan pada
gambar 3.19. Untuk sulfanilamid, waktu resistensinya sulfasetamid kurang lebih 7,3 dengan faktor
kapasitas 6,3.

Campuran sulfametoksazol dan trrimetoprim juga sukses dianalisis dengan KCKT


menggunakan kolom fase terbalik Spherisorb ODS ( 250 mm x 4,6 i.d µm) pada suhu kamar. Fase
gerak untuk analisis sulfametokszol adalah mestanol-air-asam asetat ( 40 : 60 :1 v/v/v ) ( Ph 3,2 ) pada
kecepatan alir 2 ml/menit. Deteksi dilakukaan dengan UV pada panjang gelombang 254 nm ( Bury
and Mashhord, 1979 )

Proedur kromtografi cairr dengan derivatisasi sebelum kolom untuk membentuk derivat zat
warna azo antara sulfonamid dengan N-(1-naftil) etilendiamid dihidroklorida telah diusulkan untuk
analisis obat golongan sulfonamida ( natrium sulfasetamid, sulfadiazin, sulfaguanidin, sulfamerazin,
sulfametazol, sulfametokszol, sulfanilamid dan sulfatiazol ) dalam berbagai sediaan farmasetik (
tablet, pil, kapsul, suspensi ). Reaksi derivatisasi yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 3.20
.Pemisahan dilakukan dengan natrium dodesil sulfat 0,05 M 2,4 % dalam metanol ph 7 sebagai eluen.
Dengan derivatisasi ini, selektivitas obat sulfonamid ini ditingkatkan, yang mana adanya obat selain
golongan sulfonamid tidak mengganggu analisis, kecuali obat tersebut mempunyai gugus amin
aromatis primer ( Garcia – Alvares-Coque dkk, 1995 ). Pemisahan dilakukan dengan kolom
Spherisorb ODS-2 (12,5 cm x 4,6 mm i.d ; µm) yang dilengkapi dengan kolom c18 ( 3,5 cm x 4,6 mm
i.d ). Deteksi dilakukan dengan UV pada panjang gelombang 550 nm atau 490 nm ( tergantung
sulfonamid yang dianalisis ).

GAMBAR : Reaksi derivatisasi obat golongan sulfonamid dengan naftil etilen diamin menghasilkan
senyawa azol yang berwarna .

Prosedur derivatisasi : alikuot larutan yang mengandung 1-20 µg/ml, bersama-sama dengan
10 ml natrium dodesil sulfat 0,05 M HCl 0,15 M dan 1 ml larutan natrium nitrit 0,1 M.. Setelah 5
menit, sebanyak1 ml asam sulfamat ditambahkan dan campuran dibiarkan untuk bereaksi selamaa 10
menit. Akhirnya, sebanyak 0,5 ml naftil etilen diamin 0,03 M ditambahkan, dan volume dibuat sampai
batas tanda dengan akuades. Larutan berwarna merah yang dihasilkan selanjutnya diinjeksikan ke
sistem KCKT diatas.

Penyiapan sampel : sebanyak 5 tablet atau 5 pil ditmbang, diserbuk dan dilarutkan dalam 5
ml metanol. Sejumlah alikuot larutan ini diambil dan dienceran dengan natrium dodesil sulfat 0,05 M
– HCl 0,15 M. Prosedur analisis dilanjutkan sebagaimana diatas ( derivatisasi )

Metode KCKT dengan detektor fluorosensi telah dikembangkan dan divalidasi oleh Maudens
dk, 2004 untuk penentuan 12 sulfonamid (sulfasetamid, sulfadiazin, sulfaguanidin, sulfamerazin,
sulfametazol, sulfametokszol, sulfanilamid dan sulfatiazol ) dalamm madu dengan melakukan
derivatisasi post-column menggunakan fluorosamin. Perlakuan sampel meliputi hidrolisis dengan
asam diikuti dengan ekstrasi cair-cair dan ekstrasi fase padat pada penukar kation yang kuat.
Pemisahan kromatografi cair dilakukan selama 45 menit dengan total waktu analisis selama 60 menit.
Identifikasi dan kuantifikasi sulfonamid didasarkan pada waktu retensi dan intensitas fluorosensinya.
Rasio luas puncak analit target dan standar internal sesuai dengan garis regresi linear kaadrat terkecil
dengan faktor 1/x. Nilai batas deteksi sulfonamid masing-masing sebesar 1 atau 2 dan 2 atau 5 ng/g.
Lineritas diproleh dengan koefisien determinasi (r2) yang lebih besar dari 0,997 pada kisaran dinamis
dari nilai batas kuantifikasi sampai 100 ng/g. Metode ini menunjukan presisi dan akurasi yang bagus.
Pemisahan kromatografi dilakukan dengan kolom Purospher Star RP-18 ( 15 cm x 0,46 cm
i.d, dengan ukuran artikel 5 mikron ) yang dilengkapi dengan kolom pengaman ( 0,4 cm x 0,4 cm,
dengan ukuran artikel 15 mikron ). Elusi dilakukan secara gradien dengan menggunakan campuran
bufer asetat 0,0819 % b/v 0,020 M, natrium asetat dalam air yang ph-nya diatur sampai 4,75 dengan
asam asetat-asetonitril ( 98:2 v/v ) (pelarut A) dan suatu campuran bufer asetat yang sama dengan
diatas asetonitril ( 68 : 2 v/v ) (pelarut B) dengan kecepatan alir 0,7 ml/menit. Kondisi elusi gradien
awal adalah : pelarut B 2 % lalu meningkat hingga pelarut B-nya 35 % dalam 31 menit dengan
komposisi akhir pelarut B 75% dalam waktu 10 menit. Kolom dibilas selama 7 menit dengan
konsentrasi pelarut B 95%. Kondisi awal gradien harus dbangun kembali dengan segera dan kolom
dikondisikan selama 12 menit. Reagen post-column merupakan campuran fluoresamin -2-
merkaptoetanol-asetonitril-bufer fosfat 0,021 M (natrium dihidrogen fosfat monohidrat dalam air
0,276 % b/v yang ph-nya diatur dengan asam ortofosfat 85%) dengan perbandingan campuran ( 0,025
0
: 0,2: 25 : 75 b/v/v/v ) yang disimpan pada tempat gelap pada suhu 4 C. Deteksi dilakukan pada
panjang gelombang eksitasi 420 nm dan panjang gelombang emisi 485 nm.

Pemisahan 12 senyawa sulfonamid dan standar internal diproleh dalam waktu 45 menit.
Semua senyawa berbeda waktu retensinya paling sedikit dalam 0,9 menit, sehingga menghasilkan
pemisahan yang bagus ( baselin separation ) kecuali sulfametazin yang bergabung dengan
sulfametoksipiridazin dengan sedikit ada tumpang tindih antar 2 puncak keduanya. Karena ada
pencucian dan pengkondisian kolom, maka penyuntikan sampel dilakukan setiap 60 menit.
Derivatisasi post-column digunakan untuk meningkatkan sensitifitas dan selektfiftas, serta
memaksimalkan efisiensi pemisahan senyawa ( yang terakhir ini berbeda dengan pre-column).
Stabilitas kromatogafi cair dievaluasi dengan menghitung variasi waktu retensi. Nilai simpangan baku
relatif (RSD) waktu retensi dari 25 kali injeksi kurang dari 0,9% untuk semua senyawa. Hal ini
menunjukan bahwa stabilitas sistem kromatografi sangat baik.

Metode KCKT dengan kolom C18 telah digunakan untuk analisis sulfonamid dan
metabolitnya (N4-asetil sulfonamid) pada konsentrasi rendah dengan menggunakan deteksi
amperometri pada elktroda karbon gelas dan dibandingkan dengan spektofotometri UV pada panjang
gelombang 258 nm. Sulfonamid dideteksi pada potensial +1,00 V, sementara metabolitnya (N4-asetil
sulfonamid) dideteksi pada potensial +1,25 V setelah dipisahkan dengan kromatografi cair. Adanya
gangguan yang umumnya ada di dalam serum dan urin yang terelusi secara bersama-sama dengan
analit dideteksi pada +1,25 V. Hal ini dapat diatasi dengan penyiapan sampel, yang mana sebanyak
150 µL serum dan 75 µL urin pertama kali diencerkan dengan 1,5 buffer fosfat 0,2 M Ph 3,0 (Von
Baer dkk, 1991)

Sebanyak 1,0 ml larutan ini selanjutnya dilewatkan pada kolom Extrelut. Analit selanjutnya
dielusi dengan diklorometan yang selanjutnya diuapkan dibawah vakum, dan analit dilarutkan
kembali dengan sejumlah volume fase gerak ( metanol-bufer fosfat 0,067 M Ph 6,7 dengan
perbandingan 25 : 7 v/v ). Sulfametokzasol dan sulfametoksipiridazin serta metabolitnya N4-asetil
-7 -6
linear pada konsentrasi 1,5 x 10 sampai 8 x 10 M. Nilai perolehan kembali berkisar antara 92,6
sampai 97,6 % dalam serum, dan antara 80,5 sampai 99,4 % dalam urin.

Beberapa kondisi KKT lain yang digunakan untuk analisis sulfonamid adalah sebagaimana
berikut :

Matriks Plasma
Analit Sulfadiazin bersama-sama dengan
sulfamerazin dan sulfameridin
Kolom Spherisorb ODSI
Fase gerak Natrium dihidrogen fosfat 20 mm dalam air-
metanol-asetonitril ( 91 : 4 :5 v/v/v)
Kecepatan alir 1,5 ml/menit
Volume injeksi 5-50 µL
Detektor Elektrokimia potensial +1,0 V
Kisaran linear 1-100 µg/ml
Standar internal sulfadimidin
Penyiapan sampel : sebanyak 1 ml plasma ditambah dengan standar internal, ditambah
dikalium hidrogen fosfat 10 mm (Ph diatur 6,8 dengan asam fosfat ) dan 10 ml isopropil alkohol 2 %
dalam etil asetat (v/v). Setelah divorteks selama 10 detik, tabung disentrrifus selama 10 menit pada
kecepatan 1000 xg. Fase organik dipidahkan dan diuapkan sampai kering pada suhu 60 0C dibawah
aliran gas nitrogen. Residu dilarutkan kembali dalam metanol, disaring dan diinjeksikan ke sistem
KCKT.

Matriks Plasma
Analit Sulfametoksazol
Kolom Purospher® star C18
(125 mm x 4 mm i.d ukuran partikel 5
µm);
Kolom pengaman : ( 4 mm x 3 mm i.d,
ukuran partikel 5 µm); suhu 400C
Fase gerak Buffer natrium hidrogen fosfat 20 Mm (
ph diatur 3,0 dengan asam fosfat ) –
asetonitril ( 89 : 11 v/v)
Kecepatan alir 2,0 ml/menit
Volume injeksi 15 µL
Detektor UV 280 nm
Kisaran linear 0,5-60 µg/ml ( dalam asetoniril 1 :1 )
Standar internal Ciprofloxacin

Penyiapan sampel : 0,25 ml sampel plasma dimasukan kedalam tabung polipropilen dan
ditambah 50 µL larutan standar internal 80 µg/ml dalam air, divvorteks dan ditambah dengan 0,2 ml
aasam fosfat 0,25%, dan campuran yang dihasilkan dimasukan ke cartridge SPE yang sebeelumnya
telah dikondisikan dengan 1 ml metanol an 1 ml air. Cartridge dicuci dengan 1 ml air dan analit
dielusi dengan 0,5 ml asetonitril. Eluat diuapkan, dan residunya dilarutkan kembali dalam fase gerak,
disaring , dan diinjeksikan ke sistem KCKT.

Matriks Sediaan farmasetik


Analit Sulfametoksazol
Kolom Bondapak C18 yang dikemas dengan
dimetil oktadesil-silan 10 mikron ( 300
mm x 3,9 mm i.d )
(125 mm x 4 mm i.d ukuran partikel 5
µm);
Kolom pengaman : ( 4 mm x 3 mm i.d,
ukuran partikel 5 µm); suhu 400C
Fase gerak Metanol-air ( 60 : 40 v/v) yang pH-nya
diatur 3,0 dengan asam orto-fosfat 10 %
secara isokratik
Kecepatan alir 1,8 ml/menit
Volume injeksi 20 µL
Detektor Photo diaode-array 213 nm
Standar internal Asam asetilsalisilat
Dengan sistem ini, sulfametoksazol, trimetooprim, dan standar internal terpisah dengan baik.

C. Elektroforesis kapiler

Metode yang sederhana, reliable dan reprodusibel berdasarkan pada elektroforesis kapiler
dengan deteksi amperometri telah digunakan untuk pemisahan dan determinasi bahan aktif
sulfonamid dalam sedian tablet. Elektroda lempeng karbon vs Ag /AgCl pada + 1275 mV
memberikan respon yaang bagus. Dibawah kondisi yang optimum, ketiga analit ( sulfadiazin,
sulfametazin, dan trimetoprim) terpisah satu sama lain dengan baik, serta menunjukan lineritas yang
sangat baik pada kisaran 3,0 x 10 -6 – 5,0 x 10 -4M ( Wang dkk,1999)

Pemisahan dilakukan kapiler elektroforesis silika lebur yang dilapisi poliimida dengan
panjang gelombang 75 cm, dengan diameter internal 25 µm menggunakan voltase 30 kV . Buffer
untuk running adalah buffer fosfat 20 mmol /L (pH 6,2). Elektroda injektor dijaga pada suatu voltase
positif , sementara detektor sel elektrokimia pada dasar. Saampel diinjeksikan secara elekrokinetik
menggunakan voltase 28 kV selama 10 detik.

Prosedur analisis : sejumlah sulfadiazin, sulfametazin, dan trimetoprim dilarutkan secara


terpisah dalam 10 ml metanol, lalu diencerkan sampai 50 ml dengan buffer fosfat pH 6,20 untuk
memproleh sampel tablet, sebanyak 10 tablet digerus halus, lalu sejumlah serbuk yang setara dengan
seperlima berat 1 tablet ditimbang saksama dan dilarutkan dengan cara yang sama. Konsentrasi obat
masing-masing adalah sekitar 0,001 M. Semua larutan disaring dengan penyaring polipropilen 0,22
mkron. Gambar 3.21 menunjukan elektroferogram campuran sulfadiazin, sulfametazin, dan
trimetoprim yang diproleh pada kondisi sebagaimana diatas. Nampak bahwa ketiga obat ini terpisah
secara sempurna dalam waktu 16 menit.

Gambar 3.21

Elektroferogram yang diproleh pada kondisi optimum yang dipilih sebagaimana dalam teks.
Konsentrasi trimetoprim = 0,01 mM ; konsentrasi sulfadiazin = 0,05 mM dan sulfametazin = 0,05mM
. Voltase pemisahan = 28 kV; injeksi : 28 kV; selama 10 detik, potensial kerja = +1275 mV ; buffer
running adalah buffer fosfat 20 mM (pH 6,20) (Wang dkk, 1999)

Anda mungkin juga menyukai