Anda di halaman 1dari 24

KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH SEDUHAN TEH (Camellia sinensis) TERHADAP


FARMAKOKINETIKA PARASETAMOL YANG DIBERIKAN BERSAMA
SECARA ORAL

Dosen pembimbing :

Dr. Lestari Sudaryanti, dr., M.kes

Disusun oleh : kelompok 7

Nama :

1. Indiarti Lestari Mauidiyah Mawadah (151911913035)

2. Talitha Nabilla Firdaus ( 151911913059)

3. Yenny Aviyanti NurFitriani ( 151911913002)


4. Shandy Fajar Rizkiyanto (1519119130

PROGRAM STUDI D-3 KEPERAWATAN


FAKULTAS VOKASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatka kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan KARYA TULIS ILMIAH “PENGARUH SEDUHAN TEH
TERHADAP FARMAKOKINETIKA PARASETAMOL YANG DIBERIKA
SECARA ORAL”.

Kami sangat berharap KARYA TULIS ILMIAH ini dapat berguna dalam
rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai
PENGARUH SEDUHAN TEH TERHADAP FARMAKOKINETKA
PARASETAMOL YANG DIBERIKAN SECARA ORAL. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan
kekurangan. Untuk itu kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan di masa yang akan dating, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa sarana yang membangun.

Terima kasih KEPADA DOSEN PENGAJAR DAN juga kami ucapkan


kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-
idenya sehingga KARYA TULIS ILMIAH ini bisa terselesaikan tepat waktu.

Semoga KARYA TULIS ILMIAH sederhana ini dapat dipahami bagi


pembaca. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Lamongan,5 April 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................4
1.1 LatarBelakang............................................................................4
1.2 RumusanMasalah......................................................................5
1.3 TujuanPenulisan........................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................6
2.1 Parasetamol............................................................................6
2.2 Tanaman Teh..........................................................................7
2.3 Farmakokinetika......................................................................8
1. Absorpsi..........................................................................9
2. Distribusi........................................................................10
3. Biotransformasi..............................................................11
4. Ekskresi.........................................................................12
2.4 Model farmakokinetika...........................................................13
2.5 Model kompartemen..............................................................13
1. Model satu kompartemen..............................................13
2. Model dua kompartemen...............................................14
2.6 Orde Reaksi............................................................................15
1. Reaksi orde nol..............................................................15
2. Reaksi orde satu...........................................................16
2.7 Parameter farmakokinetika....................................................17
2.8 Interaksi obat..........................................................................18
1. Induksi.............................................................................19
2. Inhibisi (penghambatan)..................................................20
D. Landasan Teori.............................................................................21
BAB III PENUTUP................................................................................22
KESIMPULAN......................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................24

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris dengan hamparan
lahan yang luas, keragaman hayati yang melimpah, serta kondisi
alam dan iklim yang mendukung. Kondisi iklim di Indonesia dengan
iklim tropisnya sangat mendukung bagi petani untuk bisa menanam
sepanjang tahun karena ketersediaan sinar matahari sepanjang
tahun. Ditambah lagi dengan struktur tanah yang ada
memungkinkan bagi petani untuk menanam segala jenis tumbuhan.
Salah satu komoditas pertanian di Indonesia yang banyak
ditemukan dan berkembang cukup pesat yaitu teh (Camellia
sinensis). Fenomena cara minum obat yang terjadi di sebagian
besar masyarakat Indonesia yaitu mencari makanan atau minuman
yang dapat membantu mengurangi rasa pahit saat mengkonsumsi
obat, seperti teh, susu, nasi, pisang dan sebagainya. Padahal
makanan atau minuman yang dikonsumsi bersamaan dengan obat
bisa menimbulkan interaksi makanan dengan obat yang dapat
mempengaruhi efek obat terhadap tubuh.
Teh merupakan salah satu minuman yang biasa dikonsumsi
bersama obat. Seduhan teh dikenal masyarakat sebagai minuman
yang menyegarkan dan telah lama diyakini memiliki khasiat bagi
kesehatan tubuh. Berdasarkan cara atau proses pengolahannya,
teh dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu teh hijau, teh
oolong, dan teh hitam (Rohdiana, 2009). Ketiga jenis teh tersebut
mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dalam kandungan
polifenolnya walaupun berasal dari tanaman yang sama (Camellia
sinensis). Kandungan polifenol sebagai senyawa antioksidan
tertinggi terdapat pada teh hijau, kemudian teh oolong, lalu disusul
teh hitam. Teh hijau merupakan teh yang diproses tanpa
fermentasi, teh oolong diproses setengah fermentasi, sedangkan

4
teH hitam adalah teh yang difermentasi sempurna (Nindyasari,
2012). Manfaat teh terhadap kesehatan berhubungan dengan sifat
antioksidan dan aktivitas penghambatan radikal bebas dari teh
yang kaya akan kandungan fenolik dan flavonoid (Komes et al.,
2010).
Dengan pertimbangan tersebut perlu dikaji bagaimana
interaksi antara teh dengan parasetamol sebagai obat analgetik-
antipiretik. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
bagaimana pengaruh seduhan teh terhadap parameter
farmakokinetika parasetamol.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
apakah seduhan teh yang diberikan bersama dengan parasetamol
secara oral dapat mempengaruhi farmakokinetika parasetamol?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
seduhan teh yang diberikan bersamaan dengan parasetamol
secara oral dapat mempengaruhi farmakokinetika parasetamol.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Parasetamol
Analgetik adalah obat yang menghilangkan rasa nyeri dengan
cara meningkatkan nilai ambang nyeri di Sistem Syaraf Pusat
tanpa menekan kesadaran. Antipiretik adalah obat yang
menekan suhu tubuh pada keadaan demam. Karena kedua efek
ini didapatkan dalam satu obat, istilah analgetikantipiretik
dipakai sebagai satu kesatuan, meskipun belum tentu satu obat
tersebut memiliki kedua khasiat secara seimbang (Agus, 1994).
Contoh obat yang antipiretiknya paling besar daripada
analgetiknya adalah parasetamol atau asetaminofen (Anief,
1997). Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit
fenasetin yang penggunaannya makin banyak. Efek antipiretik
maupun analgetik parasetamolsama dengan salisilat, dengan
mekanisme kerja yang mungkin juga sama. Yang
menguntungkan dari obat tersebut adalah tidak mengiritasi
lambung dan tidak mengakibatkan perdarahan. Parasetamol
tidak memiliki khasiat anti – inflamasi. Indikasi pemakaian para-
amino-fenol sama dengan salisilat, tetapi jangan digunakan
untuk jangka panjang. Batas keamanan dosisnya cukup luas
hingga maksimum 4 gram sehari, tetapi pemberiannya cukup
dengan 4 x 500 mg sehari.Toksisitas para-amino-fenol berupa
kerusakan sel darah, kerusakan hati dan ginjal, stimulasi sistem
syaraf pusat hingga konvulsi (Agus, 1994).
Parasetamol (asetaminofen) adalah metabolit aktif yang
bertanggung jawab untuk menghambat prostaglandin lemah
dalam jaringan perifer dan tidak memilki efek inflamasi yang
signifikan. Parasetamol diberikan secara oral.Penyerapan
dihubungkan dengan tingkat pengosongan perut dan

6
konsentrasi darah puncak biasanya tercapai dalam 30-60 menit.
Parasetamol sedikit terikat pada protein plasma dan sebagian di
metabolisme oleh enzim mikrosomal hati dan diubah menjadi
sulfat dan glukoronida acetaminophen, yang secara
farmakologis tidak aktif. Kurang dari 5% diekskresikan dalam
keadaan tidak berubah. Metabolit minor tetapi sangat efektif (N-
acetyl-P-benzoquinone) adalah penting dalam dosis besar
karena efek toksiknya terhadap hati dan ginjal. Dengan
kuantitas toksik atau penyakit hati, waktu paruhnya dapat
meningkat dua kali lipatnya atau lebih (Katzung, 2002).
2. Tanaman Teh
Tanaman teh (Camellia sinensis) dapat tumbuh dengan baik di
daerah pegunungan beriklim sejuk pada ketinggian lebih dari
1.800 meter di atas permukaan laut (dpl). Daun teh berbentuk
mangkuk panjang dengan gerigi halus pada pinggirannya.
Bunga teh berwarna putih dengan serbuk sari berwarna kuning.
Teh diproses dengan cara khusus. Setelah dipetik, daun teh
akan mengalami pengasapan. Proses ini akan mengeringkan
daun teh, namun tidak sampai mengubah warna daun. Kondisi
inilah yang menyebabkan air seduhan daun teh tetap terlihat
berwarna hijau muda. Proses ini kemudian terbukti dapat
mempertahankan berbagai kandungan nutrisi, antara lain zat
antioksidan polyphenols pada daun teh (Anonima, 2009).
Namun demikian teh diketahui memiliki antioksidan alami yang
disebut polifenol yang dapat membantu menghalangi
pertumbuhan sel kanker kulit. Selain alkaloid dan kafein, teh
hijau mengandung polifenol antioksidan. Kebanyakan manfaat
positif dari daun teh berasal dari EGCG yang terkandung di
dalamnya (Renyaan dan Ngili, 2005). Penggunaan teh hijau
dengan dosis lebih dari 300 miligram kafein (lima cangkir teh
hijau) menimbulkan efek samping, di antaranya gelisah, mudah
tersinggung, insomnia atau sulit tidur, vertigo, diare, hilangnya

7
nafsu makan, dan sakit kepala. Jika berinteraksi dengan obat
sintetik, teh hijau dapat memperlambat penyerapan obat ke
tubuh (Anonimb, 2009).
3. Farmakokinetika
Pada fase farmakokinetika, obat mengalami proses ADME yaitu
absorpsi, distribusi, biotransformasi (metabolisme) dan ekskresi
yang berjalan secara stimulant langsung atau tak langsung
meliputi perjalanan suatu obat melintasi sel membran. Berbagai
proses farmakokinetika obat dalam di dalam tubuh ditampilkan
pada (Gambar 1), dalam diagram terlihat bahwa obat harus
mengadakan penetrasi beberapa sawar sebelum tercapai
konsentrasi efektif pada letak aksi (Anief, 1997). Ilmu
biofarmasetik dan farmakokinetika obat dan produk obat
bermanfaat untuk memahami hubungan antara sifat-sifat
fisikokimia dari produk obat dan efek farmakologi atau efek
klinik. Studi biofarmasetika memerlukan penyelidikan berbagai
faktor yang mempengaruhi laju dan jumlah obat yang mencapai
sirkulasi sistemik. Hal ini berarti, biofarmasetika melibatkan
faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari suatu
produk obat, laju pelarutan dan akhirnya bioavailibilitas obat
tersebut. Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari
penyerapan, penyaluran dan pengurangan obat. Deskripsi
tentang penyaluran dan pengurangan obat sangat penting untuk
merubah permintaan dosis pada individu dan kelompok pasien.
Ukuran farmakokinetik bersifat tetap untuk obat yang
diperkirakan dari data eksperimen. Contohnya, perkiraan ukuran
farmakokinetik tergantung pada metode contoh penyerapan,
waktu percontohan, analisis obat, dan prediksi model yang
dipilih. Pengukuran tersebut berdasarkan pada data eksperimen
yang disebut variabel, yang dihitung dan dikembangkan dengan
metode matematika dan statistik (Shargel & Yu, 2005).
Dalam tubuh obat melakukan beberapa proses sebagai berikut:

8
a. Absorpsi
Absorpsi merupakan transfer obat melintasi membran.
Dalam melintasi sel membran obat melakukan dengan dua
cara, yaitu transfer pasif dan transfer aktif khusus. Pada
transfer pasif membran tidak berperan aktif dalam obat
melalui membran tersebut. Sedangkan transfer aktif
memerlukan energi. Pengangkutan dilakukan dengan
mengikat obat zat hidrofil (makromolekul atau ion) pada
enzim spesifik (alat pengangkut, misalkan ATP). Setelah
melintasi membran obat lepas lagi. Zat yang diresorpsi
dengan proses aktif adalah: glukosa, asam amino, asam
lemak, vitamin (B1, B2, B12), dan lain-lain (Anief, 1997).
Sistem penyerapan obat dari gastrointestinal menurut atau
berasal dari berbagai sumber ekstravaskular lain tergantung
pada kandungan fisik kimia dari obat, formula dosis yang
digunakan, anatomi dan fisiologi dari pusat penyerapan.
 TEMPAT KEDUDUKAN AKSI
 RESEPTOR
 BEBAS TERIKAT
 DEPOT JARINGAN
 TERIKAT BEBAS
 OBAT PLASMA
 BEBAS OBAT TERIKAT
 METABOLIT
 BIOTRANSFORMASI
 EKSKRESI
 ABSORPSI
Faktor-faktor seperti luas permukaan dinding usus
kecepatan pengosongan lambung, pergerakan saluran cerna
dan aliran darah ketempat absorpsi, semuanya
mempengaruhi laju dan jumlah absorpsi obat (Shargel & Yu,
2005).

9
b. Distribusi
Distribusi adalah proses dimana obat menjadi berada dalam
cairan tubuh
dan jaringan tubuh (Joyce dan Evelyn, 1996). Setelah obat
diabsorpsi ke dalam aliran darah untuk mencapai tepat pada
letak dari aksi harus malalui membran sel. Distribusi obat
dilakukan di dalam susunan syaraf pusat dan melalui sawar
darah-darah otak. Distribusi obat ke dalam susunan syaraf
pusat mengikuti prinsipprinsip
sama seperti perjalanan obat melintasi sel membran lainnya.
Sawar darahotak
merupakan istilah untuk menggambarkan secara kuantitatif
perbedaan dalam
permeabilitas pembuluh kapiler di otak dengan pembuluh
darah lain dari badan. Letak sawar darah-otak adalah antara
plasma dengan ruangan ekstra seluler dari otak (Anief,
1997).
Distribusi obat ke berbagai kompartemen cairan dan jaringan
dibatasi oleh
ikatan obat dalam protein plasma, karena molekul besar
seperti kompleks protein sukar melewati membran sel.
Sebaliknya, obat bebas yang tidak terikat dan aktif mudah
melewati membran sel. Semakin besar prosentase
pengikatan semakin rendah kadar obat bebas. Namun,
apabila prosentase pengikatan melebihi 80% pengurangan
distribusi menjadi sangat nyata. Apabila kadar obat bebas
dalam semua jaringan telah sama rata, distribusi obat terikat
telah mencapai keadaan seimbang (Tjay dan Rahardja,
2002).
c. Biotransformasi
Dalam proses ini umumnya obat menjadi inaktif, sehingga
biotransformasi

10
berperan dalam mengakhiri kerja obat. Namun, terdapat
beberapa obat yang
metabolitnya sama aktif, misalnya klorpromazin, efedrin dan
banyak senyawa
benzodiazepine; obat yang metabolitnya lebih aktif, misalnya
fenasetin dan
kloralhidrat (menjadi parasetamol dan dikloroetanol); atau
lebih toksis. Selain
itu, terdapat juga obat yang merupakan calon obat (prodrug)
diaktifkan oleh
enzim biotransformasi. Sebagian besar obat mengalami
biotransformasi di hati.
Selain hati sebagai organ transformasi utama, dapat juga
terjadi pada beberapa
organ lain, seperti di paru-paru, ginjal, dinding usus
(asetosal, salisilamid,
lidokain) dalam darah (succinylcholine) serta didalam
jaringan (catecholamine)
(Tjay dan Rahardja, 2002).
Reaksi biokimia yang terjadi dapat dibedakan atas reaksi
fase I dan reaksi
fase II. Reaksi fase I (reaksi fungsionalisasi) meliputi
oksidasi, reduksi, hidrolisis,
hidrasi, isomerasi. Reaksi fase II (reaksi konjugasi) meliputi
glukoronidasi/glukorosidasi, sulfasi, metilasi, asetilasi,
konjugasi asam amino,
konjugasi glutation, konjugasi asam lemak, kondensasi
(Gibson & Skett, 1991).
d. Ekskresi
Ekskresi adalah pengeluaran obat dari dalam tubuh dalam
bentuk

11
metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya.
Obat dan metabolit
yang polar diekskresikan lebih cepat dari pada obat larut
lemak, kecuali ekskresi
melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang
terpenting. Dimana ekskresiterdiri dari tiga proses yaitu
filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksima,
dan reabsorpsi aktif di tubuli proksima dan distal. Metabolit
obat yang terbentuk
dihati diekskresikan kedalam usus oleh empedu kemudian
dibuang melalui feses.
Namun, lebih sering diserap kembali didalam saluran cerna
dan akhirnya
diekskresikan melalui ginjal (Setiawati, 1995).
Berkurangnya kadar obat dalam plasma dan lamanya efek
tergantung pada
kecepatan metabolisme dan ekskresi. Kedua faktor ini
menentukan kecepatan
eleminasi obat yang dinyatakan dengan plasma half-life
eliminasi (waktu paruh
atau t1/2) yaitu rentang waktu dimana kadar obat dalam
plasma pada fase eliminasi
menurun sampai separuhnya. Plasma half-life juga
tergantung dari kecepatan
biotransformasi dan ekskresi obat. Obat dengan
metabolisme cepat maka halflifenya
pendek. Sedangkan obat yang tidak mengalami proses
bitransformasi, obat
dengan siklus enterohepatik, obat yang diresorpsi kembali
oleh tubuli ginjal, obat
dengan presentase pengikatan pada protein yang tinggi
mempunyai plasma halftime

12
panjang (Tjay dan Rahardja, 2002).
4. Model Farmakokinetika
Model farmakokinetik bisa menjelaskan mengenai pergerakan
obat dalam
tubuh. Contohnya, sebagian besar model farmakokinetik
menerima bahwa
konsentrasi obat di plasma mencerminkan konsentrasi obat
dalam semua bagian
tubuh.
Model farmakokinetik digunakan untuk (a) memprediksi tingkat
obat
dalam plasma, penyerapan, dan urin dengan berbagai dosis
yang diberikan (b) menghitung dosis optimal yang diberikan
untuk setiap individu pasien (c)
memperkirakan akumulasi obat dan metabolisme (d)
menghubungkan konsentrasi
obat dengan aktivitas pengobatan dan keracunan (e)
mengevaluasi perbedaan
dalam rentang atau tingkat ketersediaan antara formula (f)
menjelaskan perubahan
fisiologi atau efek penyerapan, penyaluran atau pengurangan
obat (g) menjelaskan
hubungan obat (Shargel dan Yu, 2005).

5. Model Kompartemen
Model kompartemen dibagi menjadi dua yaitu:
a. Model satu kompartemen
Pada model satu kompartemen ini diumpamakan bahwa semua
kompartemen tubuh berada dalam keseimbangan yang cepat
dengan kompartemen
pusat (biasanya adalah darah), dan bahwa konsentrasi obat
diseluruh tubuh adalah

13
konstan. Korelasi sebenarnya dari kompartemen
farmakokinetika dengan jaringan
anatomis nyata atau organ adalah sedikit pelik dan bahkan
kadang-kadang
mustahil. Jadi efek terapi obat harus dihubungkan dengan
konsentrasi obat dalam
darah.Ke Obat masuk obat keluar Menurut model kompertemen
satu tubuh dianggap sebagai satu kompartemen tempat
menyebar dengan seketika dan merata keseluruh cairan dan
Volume jaringan tubuh. Model ini terlalu disederhanakan
sehingga untuk kebanyakan obat kurang tepat (Setiawati,1995).
b. Model dua kompartemen
Tubuh dianggap terdiri atas dua kompartemen, yaitu
kompartemen sentral
dan kompartemen perifer. Kompartemen sentral meliputi darah
dan berbagai
jaringan yang banyak dialiri darah seperti jantung, paru, hati,
ginjal dan kelenjarkelenjar endokrin. Obat tersebar dan
mencapai kesetimbangan dengan cepat dalam kompartemen
ini. Kompartemen perifer adalah berbagai jaringan yang kurang
dialiri darah misalnya otot, kulit, dan jaringan lemak sehingga
obat lambat masuk kedalamnya. Model dua kompartemen ini
pada prinsipnya sama dengan model satu kompartemen,
bedanya terdapat dalam proses distribusi karena adanya
kompartemen perifer; eliminasi tetap dari kompartemen sentral.
Model ini sesuai untuk banyak obat (Setiawati, 1995).
-kompartemen
-perifer
-volume
-konsentrasi
Distribusi konstanta
Kecepatan

14
Obat dalam output obat dalam
bentuk urin,
Sediaan tertentu Feses, keringat, air
Pada situs pemberian susu & saliva
-kompartemen sentral
-volume
c. model tiga kompartemen

6. Orde Reaksi
Laju suatu reaksi kimia atau proses kimia diartikan sebagai
kecepatan
terjadinya suatu reaksi kimia. Order reaksi dapat ditunjukkan
dengan cara
bagaimana konsentrasi obat atau pereaksi itu dapat
mempengaruhi laju suatu
reaksi kimia (Shargel & Yu, 2005).
a. Reaksi Orde Nol
Reaksi order nol ini terjadi apabila jumlah obat A berkurang
dalam jarak
waktu tertentu yang tetap, t, maka laju hilangnya obat A
dinyatakan sebagai
berikut:
dA/dt = -Ko t + Ao
……………………………………………………………… (1)
Ao adalah jumlah obat A pada t = 0
(Shargel & Yu, 2005).
b. Reaksi Orde Satu
Reaksi order satu ini terjadi apabila jumlah obat A dengan laju
yang
sebanding dengan jumlah obat A tersisa, maka laju hilangnya
obat A dinyatakan

15
sebagai berikut : dA/dt = - Ka. K adalah tetapan laju reaksi order
ke satu dan
dinyatakan dalam satuan waktu-1 (misal : jam-1).
Persamaaan diatas dapat mengahsilkan : Ln A = - Kt + ln Ao
…………(2)
A = Ao . e-Kt …………….(3)
Bila Ln = 2,3 ; maka persamaan menjadi :
Log A = - Kt / 2,3 + log Ao ……………………………………..(4)
Waktu paruh (t1/2) merupakan waktu yang diperlukan oleh
sejumlah obat
atau konsentrasi obat untuk berkurang menjadi separuhnya.
Waktu paruh untuk
reaksi orde kesatu dapat diperoleh dari persamaan berikut:
t1/2 =0,693/K ...............................................................................
(5)
Dari persamaan diatas harga t!/2 adalah konstan.
Sedangkan untuk reaksi orde nol persamaan waktu paruhnya
sebagai
berikut:
t1/2 = 0,5 .
Ao/Ko ..................................................................................(6)
Harga t1/2 untuk order nol ini berjalan tidak tetap dan berubah
secara
berkala dengan berkurangnya konsentrasi obat, maka t1/2
untuk order nol ini
kegunaannya hanya sedikit (Shargel & Yu, 2005).
7. Parameter Farmakokinetika
Parameter farmakokinetika adalah besaran yang diturunkan
secara
matematis dari model berdasarkan hasil pengukuran kadar obat
utuh atau

16
metabolitnya dalam darah, urin atau cairan hayati lainnya.
Adapun fungsi dari
penetapan parameter farmakokinetika suatu obat adalah untuk
memperoleh
gambaran yang dapat dipergunakan untuk mengkaji kinetika
absorpsi, distribusi
dan eliminasi didalam tubuh (Shargel & Yu, 2005).
Pada prinsipnya ada tiga jenis parameter farmakokinetika yaitu
parameter
primer, sekunder dan turunan. Parameter primer adalah
parameter
farmakokinetika yang harganya di pengaruhi oleh adanya
perubahan salah satu
atau lebih perubahan fisiologi. Yang termasuk dalam parameter
tersebut ialah Ka
(konstanta kecepatan absorpsi), Fa (fraksi obat terabsorpsi), Vd
(volumedistribusi), ClT (clirens hepatic). Parameter sekunder
adalah parameter
farmakokinetika yang harganya tergantung pada harga
parameter primer.
Perubahan harga parameter sekunder disebabkan oleh
berubahnya harga
parameter farmakokinetika primer tertentu sebagai cerminan
adalah pergeseran
nilai suatu ubahan fisiologi. Yang termasuk parameter
faramakokinetika sekunder
adalah t1/2 (waktu paruh eliminasi), ke (konstanta kecepatan
eliminasi) dan Fe
(fraksi obat yang terekskresi). Sedangkan parameter turunan
adalah parameter
yang harganya semata-mata tidak tergantung dari harga
parameter

17
farmakokinetika primer tetapi tergantung dari pemberian dosis
atau kecepatan
pemberian obat terkait (Rowland dan Tozer, 1994).
Bioavailabilitas obat ialah jumlah relatif obat atau zat aktif suatu
produk
obat yang diabsorpsi, serta kecepatan obat itu masuk ke dalam
sirkulasi sistemik.
Obat dinyatakan “available” bila setelah diabsorpsi obat tersebut
tersedia untuk
bekerja pada organ/jaringan/sel yang dituju dan memberikan
efek farmakologis
setelah sampai pada reseptor sel/jaringan/organ tersebut.
Evaluasi jumlah obat dan
kecepatan bioavailabilitas obat dilakukan dari pemberian dosis
tunggal, atau dosis
ganda yang mengikuti dosis tunggal. Tiga parameter yang
menetukan
bioavailabilitas obat, yaitu waktu yang diperlukan sampai
tercapai kadar puncak
(tmaks), kadar puncak / tertinggi dalam darah yang
sesungguhnya (Cpmaks), dan area
di bawah kurva (AUC) (Joenoes, 1998).
8. Interaksi Obat
Obat dapat berinteraksi dengan makanan dan zat kimia yang
masuk dari
lingkungan atau obat lain. Interaksi ini dapat mempercepat atau
memperlambat metabolisme obat, Interaksi obat dan makanan
merupakanmasalah yang penting dan perlu mendapatkan
perhatian karena dapat menimbulkan reaksi efek samping dan
juga meningkatkan ataupunmenurunkan tujuan terapi. Sebuah
studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa insidensiinteraksi
obat yang mengakibatkan reaksi efek samping sebesar 7,3%

18
sering terjadi di Rumah Sakit dan lebih dari 88% terjadi pada
pasien geriatri. Sedangkan di Indonesia, data insidensi interaksi
obat masih belum diketahui secara pasti karena belum banyak
studi epidemiologi yang dilakukan terkait hal tersebut (Gitawati,
2008). Interaksi obat dapat menjadi faktor kontribusi utama
untuk terjadinya Adverse Drug Interactions (Sonu et al, 2015).
Kadar obat yang terlalu tinggi dalam plasma dapat
mengakibatkan efek samping yang merugikan. Sebaliknya,
kadar obat yang terlalu rendah dapat menyebabkan kegagalan
terapi. Adanya interaksi obat dengan makanan dapat bersifat
positif maupun negatif. Risiko interaksi obat dan makanan
meningkat jika dikonsumsi dalam waktu bersamaan(Helmyati et
al, 2014). Interaksi obat dan makanan merupakan konsekuensi
fisik, kimia atau hubungan fisiologis antara obat dan makanan
atau zat gizi yang dikonsumsi baik berasal dari makanan atau
suplementasi (Santos & Boullata, 2005). Interaksi makanan
terhadap obatmerupakan suatu kondisi dimanafaktor zat gizi
yang terkandung dalam makanan berpengaruh signifikan pada
terapi suatu obat(Helmyati et al, 2014). interaksi ini dapat
berupa :
a. Induksi
Banyak obat-obat yang saat ini digunakan dengan struktur kimia
dan
farmakologi yang berbeda dikenal sekali menginduksi
metabolismenya sendiri /
biotransformasi dari obat lain pada manusia. Hati merupakan
organ utama yang
bertanggung jawab untuk memetabolisme obat dalam banyak
spesies, dan sejauh
mengenai manusia, masalah yang besar ialah bagaimana
menaksir luasnya induksi

19
metabolisme obat hepatic. Beberapa cara telah dikemukakan
untuk mengkaji
induksi pada manusia dan ini termasuk (1) meningkatnya klirens
obat, (2)
menurunnya waktu paruh obat dalam plasma, (3) peningkatan
γ-glutail transferase
dalam plasma, (4) peningkatan 6β- hidroksikortisol dalam urin,
dan (5) level
bilirubin dalam plasma. Walaupun tidak satu pun dari metode ini
dapat
membenarkan secara samar-samar induksi metabolisme obat
pada manusia,
diambil secara kolektif mereka memberikan indikasi induksi
yang layak.
Walaupun mekanisme-mekanisme yang terlibat dalam induksi
metabolisme obat
pada manusia belum ditentukan secara jelas, induksi dari
enzim-enzim hati yang
spesifik (terutama enzim-enzim oksidase fungsi campur dari
reticulum
endoplasma) memegang peran penting dan mempunyai
implikasi-implikasi yang
besar dalam farmakologi klinis (Gibson dan Skett, 1991).
b. Inhibisi (penghambatan) enzim bisa menyebabkan interaksi
obat yang
tidak diharapkan. Interaksi ini cenderung terjadi lebih cepat
daripada yang
melibatkan induksi enzim karena interaksi ini terjadi segera
setelah obat yang
dihambat mencapai konsentrasi yang cukup tinggi untuk
berkompetisi dengan

20
obat yang mempengaruhi. Obat bisa menghambat berbagai
bentuk sitokrom P-450
sehingga hanya mempengaruhi metabolisme obat yang
dimetabolisme oleh
isoenzim tertentu (Neal, 2006).
D. Landasan Teori
Salah satu minuman yang berpotensi dikonsumsi bersama
parasetamol adalah teh. Daun teh yang diseduh dengan air panas
telah dikenal masyarakat sebagai minuman yang menyegarkan dan
telah lama diyakini memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh. Teh
mengandung zat teina (sejenis alkaloid seperti kafein) (Renyaan
dan Ngili, 2005). Zat-zat yang terkandung dalam teh hitam dan teh
hijau hampir sama dan sedikit perbedaan. Menurut Mason, 2001
bahwa teh hijau dapat berinteraksi dengan obat yang memberikan
efek antikoagulan atau platelet (aspirin, warfarin, dan clopidogrel).
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Kurniawati, 2004;
membuktikan bahwa praperlakuan dengan teh hitam yang
diberikan secara bersamaan dengan parasetamol mempengaruhi
parameter farmakokinetik. Parameter yang dipengaruhi antara lain
ka dan t1/2 mengalami penurunan secara bermakna sedangkan
ClT dan tmaks mengalami penurunan secara bermakna.

21
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Besarnya masalah interaksi obat, terutama yang dapat berakibat


timbulnya efek samping (adverse drug reaction), dapat meningkat secara
bermakna pada populasi masyarakat tertentu sejalan dengan bertambah
banyaknya jumlah obat yang dikonsumsi secara bersamaan setiap hari.
Populasi masyarakat yang berisiko tinggi terhadap terjadinya interaksi
obat yang tidak dikehendaki adalah kelompok usia lanjut, pasien kritis
dalam perawatan intensif, dan pasien yang sedang menjalani prosedur
bedah rumit.
Meskipun cukup banyak efek samping obat yang terdeteksi selama
uji-uji klinik, namun untuk mengetahui profil keamanan suatu obat
seringkali baru didapatkan setelah obat tersebut sudah digunakan cukup
lama dan secara luas di masyarakat, termasuk oleh populasi pasien yang
sebelumnya tidak terwakili dalam uji klinik obat tersebut. Diharapkan data
tersebut dapat diperolah dari laporan pharmacovigilance dan post-
marketing surveillance yang dilakukan secara periodik setelah obat
dipasarkan dan digunakan secara luas di masyarakat. Hanya interaksi
secara farmakodinamik yang dapat diprediksi, dan umumnya efek berlaku
untuk segolongan obat dari klas terapi yang sama (class effect),
sedangkan interaksi farmakokinetik tidak dapat diramalkan atau
diekstrapolasikan untuk obat dalam klas terapi yang sama, disebabkan
adanya perbedaan dalam sifat-sifat fisiko-kimia obat yang menyebabkan
perbedaan profil farmakokinetik. Untuk mencegah atau mengurangi
terjadinya interaksi obat yang tidak dikehendaki dan mungkin dapat
bersifat fatal, beberapa hal berikut dapat dipertimbangkan:
1. usahakan memberikan jumlah obat sesedikit mungkin pada tiap-
tiap penderita, termasuk pemberian obat-obat OTC, dan obat-obat
herbal

22
2. dalam memberikan obat, perhatian terutama pada pasien usia
lanjut, pasien dengan penyakit yang sangat berat, pasien dengan
adanya disfungsi hati atau ginjal
3. sangat berhati-hati jika menggunakan obatobat dengan batas
keamanan sempit (antikoagulan, digitalis, antidiabetik, antiaritmia,
antikonvulsan, antipsikotik, antidepresan, imunosupresan,
sitostatika), dan obat-obat inhibitor kuat CYP (ketokonazol,
itrakonazol, eritromisin, klaritromisin)
4. Melakukan monitoring terhadap kejadian interaksi (misal,
terhadap tanda, gejala, uji laboratorik) sehingga dapat cepat
terdeteksi dan diambil tindakan yang memadai, seperti
menyesuaikan dosis atau menghentikan salah satu atau semua
obat yang digunakan
minum obat dengan air tawar tidak dengan sari buah/jus, teh, susu

23
DAFTAR PUSTAKA

Gitawati R. 2008. Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya. Media


Litbang Kesehatan 18 (4) : 175-184.

FAJAR DKK. Jurnal Rekayasa dan Manajemen Agroindustri ISSN : 2503-


488X Vol. 6, No.3, 196-202, September 2018

24

Anda mungkin juga menyukai