Oleh :
Novianti Paseru 19340275
Ayu Gustiana 19340276
Hendra Afriyando 19340277
Novi Oktavia Hutagaol 19340278
Perawati Burun 19340279
Renita Noviani Purba 19340280
Wahyudi Anggrian 19340281
Asri Yani 19340282
Suci Anugrahati 19340283
I Gusti Lanang Bagus Suhartana 19340284
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah Compounding and Dispensing dengan judul “KETERSEDIAAN HAYATI
OBAT” .
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen Apoteker Institut Sains Dan Teknologi
Nasional Jakarta. Selanjutnya penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada Ibu Dra. Nurul Akhatik, M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah
Compounding and Dispensing yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama
penulisan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan dalam penulisan
makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................4
1.1 Latar Belakang.........................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................5
1.3 Tujuan .....................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................6
2.1 Definisi Ketersediaan Hayati ..................................................................6
2.2 Ketersediaan Hayati Absolut dan Relative .............................................6
2.3 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Ketersediaan Hayati .......................6
2.4 parameter Ketersediaan Hayati ...............................................................7
2.5 perhitungan Ketersediaan Hayati ............................................................8
2.6 pengaruh ketersediaan hayati pada terapi ...............................................14
2.7 bioavailabilitas relative dan bioekivalensi ..............................................18
BAB III PEMBAHASAN.....................................................................................20
BAB IV PENUTUP...............................................................................................23
4.1 Kesimpulan..............................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan ketersediaan hayati obat?
2. Apa saja faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ketersediaan hayati obat?
3. Bagaimana compounding dan dispensing dapat mempengaruhi ketersediaan
hayati obat?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi ketersediaan hayati obat.
2. Mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ketersediaan hayati obat.
3. Mengetahui pengaruh compounding dan dispensing terhadap ketersediaan
hayati obat.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ada 2 unsur penting dalam absorpsi obat yang perlu dipertimbangkan, yaitu :
1) kecepatan absorpsi obat
2) jumlah obat yang diabsorpsi
Dengan mengetahui jumlah relatif obat yang diabsorpsi dan kecepatan obat berada
dalam sirkulasi sistemik, dapat diperkirakan tercapai tidaknya efek terapi yang
dikehendaki menurut formulasinya. Dengan demikian, bioavailabilitas dapat digunakan
untuk mengetahui faktor formulasi yang dapat mempengaruhi efektivitas obat.
6
2. Subjek : karakteristik subjek (umur, bobot badan), kondisi patologis, posisi, dan
aktivitas tubuh (pada subjek yang sama).
3. Rute pemberian
Interaksi obat/makanan : misalnya grisovulvin sukar larut dalam air. Apabila diberikan
bersama makanan berlemak jadi mudah larut. Di dalam tubuh, digunakan surfaktan
alami sehingga baik diabsorbsi. Pemberian vitamin B12 dengan coca cola menghasilkan
absorbsi yang lebih baik.
7
4. Pengamatan Klinik
Perubahan respons klinik ditentukan oleh perbedaan farmakokinetik dan
farmakodinamik obat antar individu. Asumsi: produk dengan bioekivalen
diperkirakan mempunyai respon obat yang sama. Perbedaan respon klinik pada
produk bioekivalen mungkin disebabkan oleh faktor farmakodinamik (ikatan obat
dengan reseptor). Faktor yang berpengaruh pada farmakodinamik: Umur, toleransi
obat, interaksi obat dan faktor-faktor patopsiologik yang tidak diketahui. Pada obat
yang diberikan sama dapat memberikan respon berbeda, misal :
a. kegagalan terapeutik
b. respon terapi baik
c. toksisitas
Tabel rute pemberian, ketersediaan hayati, dan sifat-sifat umum :
Ketersediaan
Rute Sifat-sifat
hayati
Intravena 100 (dengan Kebanyakan dengan mula kerja cepat
ketentuan)
Intramuskular ≤ 100 volume yang besar mungkin sering ada; mungkin
dengan rasa nyeri
Subkutan ≤ 100 Volume lebih kecil dibandingkan IM; mungkin
dengan rasa nyeri
Oral < 100 Kebanyakan sesuai; efek first-pass mungkin berarti
Rektal < 100 Efek first-pass lebih kecil dibandingkan oral
Inhalasi < 100 Mulai kerja sering sangat cepat
Transdermal ≤ 100 Absorbsi selalu sangat lambat; digunakan untuk
tidak adanya efek first-pass, memperlama kerja
8
- AUCoo = AUC dari waktu 0 sampai waktu tidak terhingga = AUC t + Ct / ke
menggambarkan jumlah obat yang bioavailabel
- Cmax = kadar puncak (maksimal) obat (atau metabolit) dalam plasma (atau
serum atau darah) Yang teramati.
- tmax = waktu sejak pemberian obat sampai dicapai Cmax
- t1/2 = waktu paruh obat (atau metabolit ) dalam plasma (serum atau darah)
AUCoo dan AUC max merupakan parameter yang paling relevan untuk penilaian
BE.AUC paling dapat di percaya untuk menggambarkan besarnya absorpsi (jumlah obat
yang bioavailabel)
BA untuk sediaan farmasi yang dipengaruhi oleh BUD/ED obat tersebut, rumus BUD
sebagai berikut berdasarkan tipe sediaan :
Berikut ini akan dirinci langkah-langkah penetapan BUD baik untuk produk obat pabrik
maupun obat racikan.
1. Produk Obat Pabrik
Tidak jarang dijumpai tablet dan kapsul yang sensitif terhadap kelembaban.
Stabilitas obat-obat yang dikemas dalam jumlah banyak (satu wadah) sering kali perlu
dipertimbangkan secara khusus. Pasien akan membuka–tutup wadah setiap kali akan
menggunakan obat untuk setiap dosis pemakaian. Hal ini menyebabkan obat akan
terpapar oleh udara dan dengan demikian akan mengurangi shelf-life atau mempercepat
ED.
1) Bentuk Sediaan Padat
9
Produk obat pabrik bentuk sediaan padat yang membutuhkan BUD misalnya
produk repacking (contoh: CTM kemasan 1000 tablet dikemas ulang dalam wadah yang
lebih kecil dengan jumlah yang lebih sedikit dalam masing-masing wadah barunya) dan
obat yang dikemas dalam wadah multi-dose (contoh: Sistenol®). Seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya, saat wadah dibuka maka batas waktu penggunaannya pun ikut
berubah. Langkah-langkah penetapan BUD:
a. Mencari informasi BUD dari pabrik obat yang bersangkutan
b. Jika informasi dari pabrik tidak tersedia, gunakan pedoman umum dari USP:
- Cek ED dari pabrik yang tertera pada kemasan asli
- Jika ED1 tahun, BUD maksimal = 1 tahun.
2) Bentuk Sediaan Semipadat
Contoh sediaan semipadat adalah salep, krim, lotion, gel dan pasta. Langkah-
langkah penetapan BUD: a. Mencari informasi BUD dari pabrik obat yang bersangkutan
b. Jika informasi dari pabrik tidak tersedia, gunakan pedoman umum dari USP:
- Cek ED dari pabrik yang tertera pada kemasan asli
- Jika ED1 tahun, BUD maksimal = 1 tahun.
3) Bentuk Sediaan Cair
Untuk produk obat yang harus direkonstitusi sebelum digunakan, informasi BUD
ditetapkan berdasarkan informasi yang tertera pada kemasan asli obat. Untuk produk
obat nonrekonstitusi (termasuk produk repacking) langkah-langkah penetapan BUD-nya
yaitu:
a. Mencari informasi BUD dari pabrik obat yang bersangkutan
b. Jika informasi dari pabrik tidak tersedia, gunakan pedoman umum dari USP:
- Cek ED dari pabrik yang tertera pada kemasan asli
- Jika ED1 tahun, BUD = 1 tahun
Contoh: 1. Obat merek X pertama kali digunakan pada bulan November 2011. ED obat
yaitu Juni 2012, berarti sisa masa penggunaan = 8 bulan (1 tahun), maka BUD
maksimal = 1 tahun sejak digunakan, yaitu Desember 2012.
10
Gambar 1. Penentuan BUD sediaan padat/semipadat
11
2. Obat Racikan Penetapan BUD
Obat racikan harus dilakukan secermat mungkin. Hal ini disebabkan karena obat
racikan memiliki karakteristik fisika kimia dan stabilitas tertentu yang dipengaruhi oleh
masingmasing bahan obat yang ada di dalamnya.
1) Beyond use date obat racikan terhitung sejak tanggal peracikan. Ketika akan
menetapkan BUD, harus dipertimbangkan ED semua obat yang dicampurkan dalam
formulasi. Obat racikan ini tentunya akan memiliki BUD yang lebih singkat
daripada ED masingmasing bahan dalam formulasi. Jika dalam satu racikan
terdapat lebih dari satu macam obat, gunakan BUD yang paling singkat.
2) Langkah-langkah dalam menetapkan BUD obat racikan adalah1-4:
a. Gunakan informasi BUD berdasarkan penelitian spesifik pada obat racikan yang
bersangkutan.
b. Jika tidak tersedia penelitian spesifik, maka carilah informasi penetapan BUD dari
pabrik masing-masing obat yang digunakan dalam racikan (pilih BUD yang paling
singkat).
c. Jika tidak tersedia informasi dari pabrik, maka carilah informasi stabilitas dari buku
referensi atau literatur primer, seperti: - Trissel’s Stability of Compounded
Formulations - AHFS Drug Information - Remington: The Science and Practice of
Pharmacy - USP Dispensing Information - Journal of Pharmaceutical Sciences -
American Journal of Health-System Pharmacy - International Journal of
Pharmaceutical Compounding.
d. Sering ditemukan bahwa referensi yang dipublikasikan tidak mengevaluasi
formulasi yang sama dengan formulasi obat racikan yang dimaksud, atau penelitian
yang dilakukan tidak menguji stabilitas sediaan untuk periode waktu yang cukup
panjang. Dengan kata lain, informasi stabilitas dari buku referensi maupun literatur
primer tidak cukup memadai. Untuk mengatasi hal ini, USP Bab memberikan
petunjuk umum penetapan BUD untuk obat racikan non steril seperti yang dapat
dilihat pada tabel berikut.
12
Berdasarkan petunjuk umum ini, maka dapat dibuat ketentuan penetapan BUD
berdasarkan bentuk sediaan obat racikan, antara lain sebagai berikut:
a. Puyer/Kapsul2 Cek ED masing-masing obat: ED6 bulan maka hitunglah 25% dari
sisa waktu penggunaan obat sebelum ED, jika hasilnya 6 bulan, maka BUD
maksimal = 6 bulan. Contoh perhitungan: Obat merek X diracik pada bulan
Desember 2012. ED obat yaitu Desember 2013. Perhitungan BUD: = 25% x 12
bulan = 3 bulan (6 bulan maka hitunglah 25% dari sisa waktu penggunaan obat
sebelum ED, jika hasilnya perhitungan tersebut. Jika >6 bulan, maka BUD
maksimal = 6 bulan.
b. Larutan Oral (Oral Solution), Suspensi Oral, Emulsi Oral2 1. Larutan yang
mengandung air, BUD maksimal = 14 hari. 2. Larutan yang tidak mengandung air:
Cek ED masing-masing obat: ED 6 bulan maka hitunglah 25% dari sisa waktu
penggunaan obat sebelum ED, jika hasilnya perhitungan tersebut. Jika >6 bulan,
maka BUD maksimal = 6 bulan.
13
c. Sediaan Semipadat (Salep, Krim, Gel, Pasta)2,3 BUD maksimal untuk obat racikan
sediaan semipadat adalah 30 hari.
Suatu zat kimia baru yang ditujukan untuk bekerja sistemik, availabilitas
sistemiknya harus ditentukan dengan membandingkannya terhadap Sediaan intravena
(bioavailabilitas absolut). Jika tidak memungkinkan (karena alasan teknis atau
keamanan), maka bioavailabilitas relatif terhadap larutan atau suspensi oral harus
ditentukan. Dalam hal prodrug, larutan intravena pembanding harus terbuat dari zat
aktifnya.
Ke dua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek terapeutik yang diinginkan
dengan toksisitas yang minimal. Atas dasar kedua faktor ini dapat diperkirakan
bagaimana seharusnya definisi tentang bioavailabilitas. Dua definisi berikut ini
merupakan definisi yang relatif lebih sesuai dengan kedua faktor di atas adalah:
14
Definisi 1 : Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi
obat dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh, dan
masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Definisi 2 : Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi
obat dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi
Dengan mengetahui jumlah relatif obat yang diabsorpsi dan kecepatan obat berada
dalam sirkulasi sistemik, dapat diperkirakan tercapai tidaknya efek terapi yang
dikehendaki menurut formulasinya. Dengan demikian, bioavailabilitas dapat digunakan
untuk mengetahui faktor formulasi yang dapat mempengaruhi efektivitas obat. Beberapa
manfaat studi bioavailabilitas yang berkaitan dengan mutu produk obat yaitu :
1) Bagi apoteker dalam bidang penelitian kefarmasian, bioavailabilitas merupakan uji
yang penting dalam penelitian peningkatan mutu obat
2) Bagi dokter dan apoteker di apotek, bioavailabilitas merupakan pertimbangan kritis
yang digunakan untuk pemilihan obat yang bermutu baik
Dalam menaksir ketersediaan hayati ada 3 parameter yang biasanya diukur yang
menggambarkan profil konsentrasi obat dalam darah dan waktu dari obat yang
diberikan.
Konsentrasi puncak ( Cmaxs ) menggambarkan konsentrasi obat tertinggi dalam
sirkulasi sistemik. Konsentrasi ini tergantung pada konstanta absorbsi, dosis ,
volume distibusi dan waktu pencapaian konsentrasi obat maksimum dalam darah.
Konsentrasi puncak sering kali dikaitkan dengan intensitas respons biologis dan
harus di atas konsentrasi efektif minimum dan tidak melebihi konsentrasi toksik
minimum.
Waktu untuk konsentrasi puncak ( t maks ), menggambarkan lamanya waktu tersedia
untuk mencapai konsentrasi puncak dari obat dalam sirkulasi sistemik. Parameter
ini tergantung pada konstanta absorbs yang menggambarkan permulaan dari level
puncak dari respons biologis dan bias digunakan sebagai perkiraan kasar untuk laju
absorbsi.
Luas daerah di bawah kurva ( AUC ), merupakan total area di bawah kurva
konsentrasi vs waktu yang menggambarkan perkiraan jumlah obat yang berada
15
dalam sirkulasi sistemik. Bila membandingkan suatu formulasi untuk acuan,
parameter ini menggambarkan jumlah ketersediaan hayati dan bias digunakan
sebagai perkiraan kasar jumlah obat diabsorbsi.
Ketersediaan hayati merupakan suatu penerapan baru yang kegunaannya tidak perlu
diragukan lagi. Penerapan ketersediaan hayati berkembang dalam dua arah yaitu :
1. Farmasi Klinik yang berkaitan dengan rasionalisasi keadaan individu penderita,
artinya penyesuaian patologi yang tepat pada setiap penderita, dengan
mempertimbangkan perubahan farmakokinetika in vivo, baik karena interaksi obat
maupun karena perubahan fungsi fisiologik.
2. Farmasetika yang berkaitan dengan rasionalisasi pengembangan suatu obat, yaitu
penyesuaian optimal jalur pemberian obat dan bentuk sediaan terhadap karakteristik
farmakokinetika zat aktif.
16
Bioavailabilitas mutlak membandingkan bioavailabilitas obat aktif dalam sirkulasi
sistemik setelah non-intravena administrasi (yaitu, setelah mulut , dubur, transdermal ,
subkutan , atau sublingual administrasi), dengan bioavailabilitas obat yang sama setelah
pemberian intravena. Ini adalah sebagian kecil dari obat diserap melalui non-intravena
dibandingkan dengan pemberian intravena sesuai dari obat yang sama. Perbandingan
harus dosis normal (misalnya akun untuk dosis yang berbeda atau bobot berbagai mata
pelajaran), akibatnya, jumlah diserap dikoreksi dengan membagi dosis yang sesuai
diberikan. Dalam farmakologi, dalam rangka untuk menentukan bioavailabilitas mutlak
obat, sebuah farmakokinetik penelitian harus dilakukan untuk mendapatkan obat
konsentrasi plasma vs plot untuk obat setelah keduanya intravena (iv) dan
ekstravaskuler (non-intravena, yaitu, lisan) administrasi. Ketersediaan hayati absolut
adalah daerah-dosis dikoreksi di bawah kurva (AUC) non-intravena dibagi dengan AUC
intravena. Misalnya, rumus untuk menghitung F untuk obat yang diberikan melalui rute
oral (po) diberikan di bawah ini.
Oleh karena itu, obat yang diberikan melalui rute intravena akan memiliki
bioavailabilitas absolut dari 100% (f = 1), sedangkan obat yang diberikan oleh rute lain
biasanya memiliki bioavailabilitas mutlak kurang dari satu. Jika kita membandingkan
dua bentuk sediaan yang berbeda memiliki bahan aktif yang sama dan membandingkan
bioavailabilitas obat kedua disebut bioavailabilitas komparatif. Meskipun mengetahui
tingkat sebenarnya dari penyerapan sistemik (disebut sebagai bioavailabilitas absolut)
jelas berguna, dalam prakteknya tidak ditentukan sesering sebagai salah satu mungkin
berpikir. Alasan untuk ini adalah bahwa penilaian yang membutuhkan referensi
intravena, yaitu, rute administrasi yang menjamin bahwa semua obat yang diberikan
mencapai sirkulasi sistemik. Studi tersebut datang pada biaya yang cukup besar, tidak
sedikit di antaranya adalah perlunya untuk melakukan uji toksisitas praklinis untuk
menjamin keamanan yang memadai, serta ada menjadi potensi masalah karena
keterbatasan kelarutan.
Keterbatasan ini dapat diatasi, bagaimanapun, dengan pemberian dosis yang
sangat rendah (biasanya beberapa mikrogram) dari obat isotopically berlabel bersamaan
17
dengan dosis non-berlabel terapi oral. Memberikan dosis isotopically berlabel intravena
cukup rendah agar tidak mengusik konsentrasi obat sistemik dicapai dari dosis oral
diserap, maka farmakokinetik intravena dan oral dapat deconvoluted berdasarkan
konstitusi berbeda isotop dan dengan demikian menentukan oral dan intravena
farmakokinetik dari pemberian dosis yang sama. Teknik ini menghilangkan masalah
farmakokinetik non-setara izin serta memungkinkan dosis intravena untuk diberikan
dengan minimal toksikologi dan formulasi.Teknik ini pertama kali diterapkan dengan
menggunakan isotop stabil-seperti C-13 dan spektrometri massa-untuk membedakan
isotop oleh perbedaan massa. Baru-baru ini, C-14 obat berlabel diberikan secara
intravena dan akselerator spektrometri massa (AMS) yang digunakan untuk mengukur
obat isotopically berlabel bersama dengan spektrometri massa untuk obat berlabel.
Tidak ada persyaratan peraturan untuk menentukan farmakokinetik intravena atau
bioavailabilitas mutlak namun pihak berwenang kadang-kadang meminta informasi
bioavailbility mutlak rute ekstravaskular dalam kasus di mana bioavailabilitas ini
rupanya rendah atau variabel dan ada hubungan terbukti antara farmakodinamik dan
farmakokinetik pada dosis terapi. Dalam semua kasus tersebut, untuk melakukan studi
bioavailabilitas mutlak mensyaratkan bahwa obat harus diberikan secara intravena.
Intravena obat perkembangan dapat memberikan informasi berharga pada parameter
farmakokinetik dasar volume distribusi (V) dan pembersihan (CL).
Bioavailabilitas relatif adalah salah satu langkah yang digunakan untuk menilai
bioekivalensi (BE) antara dua produk obat. Untuk persetujuan FDA, produsen generik
harus menunjukkan bahwa 90% interval kepercayaan untuk rasio respon rata-rata
(biasanya AUC dan konsentrasi maksimum, C maks) dari produk dengan yang ada pada
18
"obat Nama Merek" OB [>] berada dalam batas dari 80% sampai 125%. Sementara
AUC mengacu pada tingkat bioavailabilitas, C max mengacu pada tingkat
bioavailabilitas. Ketika T max diberikan, mengacu pada waktu yang diperlukan untuk
obat untuk mencapai C maks.
Sedangkan mekanisme yang formulasi mempengaruhi bioavailabilitas dan
bioekivalensi telah dipelajari secara ekstensif dalam obat-obatan, formulasi faktor yang
mempengaruhi bioavailabilitas dan bioekivalensi dalam suplemen gizi sebagian besar
tidak diketahui. [13] Akibatnya, dalam ilmu gizi, ketersediaan hayati relatif atau
bioekivalensi adalah yang paling umum ukuran bioavailabilitas, membandingkan
bioavailabilitas dari salah satu formulasi dari bahan makanan yang sama yang lain.
19
BAB III
PEMBAHASAN
Ketersediaan hayati atau bioavaibilitas adalah persentase dan kecepatan zat aktif
dalam suatu produk obat yang mencapai / tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam
bentuk utuh/ aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam
darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin. Artinya ketersediaan hayati
menunjukkan jumlah dan kecepatan zat aktif obat yang sudah dibsorpsi di dalam tubuh.
Ada beberapa pembagian istilah untuk ketersediaan hayati / bioavaibilitas ini, ada
bioavaibilitas absolut bila dibandingkan dengan sediaan intravena yg bioavaibilitasnya
100%, dan bioavabibilitas relatif bila dibandingkan dengan sediaan bukan intravena
(Perka BPOM, 2005).
Ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi nilai ketersediaan hayati atau
avaibilitas suatu obat. Dalam penilaian bioavabilitas, ada beberapa parameter yang perlu
diukur. Untuk pengukuran sampel darah, AUC (Area Under Curve) merupakan
parameter yang paling relevan sedangkan untuk pengukuran sampel urin Ae (jumlah
obat maskimal yang diekresi dalam urin) (Perka BPOM, 2005). Dari parameter AUC,
nilai AUC ditentukan oleh waktu dan konsentrasi plasma (Shargel, 1993). Artinya
semakin tinggi konsentrasi plasma semakin tinggi nilai biovaibilitas, semakin cepat obat
diabsorpsi semakin tinggi nilai bioavaibiltasnya. Kedua hal ini sangat dipengaruhi oleh
absorpsi obat. Dan absoprsi obat dipengaruhi oleh bentuk sediaan, rute pemberian,
kelarutan, zat aktif,. Bentuk sediaan bisa mempengaruhi mekanisme pelepasan zat aktif.
Bentuk sediaan larutan akan lebih cepat mengalami absorpsi bila dibandingkan dengan
bentuk sediaan yang lain karean mekanisme pelepasan zat aktif paling cepat. Rute
pemberian akan mempengaruhi kecepatan absoprsi. Rute pemberian secara intravena
yang paling cepat karena zat aktif langsung masuk ke pembuluh darah (intravaskuler),
bahkan tidak perlu mengalami absoprsi, oleh sebab itu sediaan intravena dijadikan
pembanding untuk mengkukur bioavaibilitas absolutnya. Rute pemberian juga bisa
mempengaruhi proses eliminasi lintas pertama suatu obat, misalnya melalui rute
sublingual. Rute sublingual akan memberikan dampak peningkatan biaovaibilitas obat
yang mengalami eliminasi lintas pertama oleh hati (Fist Fast Effect). Kelarutan juga
bisa mempengaruhi nilai bioavaibilitas. Semakin baik kelarutan suatu obat, maka
20
bioavaibilitasnya akan meningkat juga. Selain dari fase absoprsi, bioavaibilita juga
dipengaruhi proses eliminasi obat. Semakin cepat obat mengalami eliminasi ¸waktu
paruh (t ½ ) eliminasi pendek, maka bioavaibilitas obat akan menurun. Eliminasi terdiri
dari metabolisme dan eksresi. Pada proses metabolisme, banyak dipengaruhi oleh faktor
aktivitas enzim. Apabila tidak ada yang mempengaruhi enzim ini , (biasanya karena
interaksi obat) maka proses metabolisme akan berjalan normal. Semakin cepat obat
dimetabolisme, semakin rendah nilai bioavaibilitas suatu obat. Namun, bila obat bersifat
prodrug, atau yang aktif adalah metabolitnya, maka semakin cepat dimetabolisme
semakin tinggi nilai bioavaibilitas metabolitnya. Pada proses ekresi, semakin cepat
proses ekresi semakin rendah bioavaibilitasnya. Ada beberapa fakor yang
mempengaruhi laju eksresi, yaitu interaksi obat dan GFR. GFR dipengaruhi oleh
kondisi ginjal pasien.
Proses compounding adalah proses penyiapan dan peracikan obat. Tablet
ibuprofen konvensional utuh digerus dan diblender menjadi sediaan pulveres dan
dilakukan uji disolusi menggunakan alat disolusi USP tipe II yaitu metode paddle
dengan medium dapar fosfat pH 7,2. Pengungkapan hasil uji disolusi meliputi nilai Q30,
DE45, konstanta laju disolusi (k). Hasil disolusi menunjukkan bahwa perubahan bentuk
sediaan dari sediaan tablet menjadi sediaan pulveres meningkatkan kecepatan dan profil
disolusi dari 0,0627 menit-1 menjadi 0,3466 menit-1 dan 0,2981 menit-1 (p=0,029)
serta nilai DE45 dari 66,52% menjadi 96,76% dan 96,17% (p=0) (Bestari et al, 2017).
Hasil studi ini menunjukkan bahwa penggerusan tablet menjadi sediaan pulveres
meningkatkan laju disolusi dan meningkatkan bioavaibilitasnya. Penelitian pemberian
racikan vaslsartan dalam bentuk larutan dan suspensi dibandingkan dengan tablet
oralnya pernah dilakukan. Valsartan dalam bentuk sediaan cair (racikan larutan dan
suspensi) lebih cepat diabsorpsi bila dibandingkan dengan pemberian dalam bentuk
tablet oral, sehingga bioavaibilitasnya lebih tinggi (Sunkara, 2013). Biovaibilitas relatif
antara Aprepitant suspensi yang diracik langsung (extemporaneous suspension) dengan
Aprepitant capsul pabrikan adalah 82,3%, hasil ini menunujukkan bahwa sediaan
racikan Aprepitant suspensi bisa memberikan efikasi yang sama dengan Aprepitant
capsul pabrikan (Patel et al, 2019).
Berdasarkan beberapa uraian diatas, kesimpulannya adalah proses peracikan bisa
mempengaruhi bioavaibilitas suatu obat. Proses peracikan obat biasanya dilakukan
21
merubah bentuk sediaan dari tablet menjadi serbuk, maupun sediaan cair (larutan atau
suspensi). Hal ini untuk memudahkan penggunaan pada pasien tertentu seperti pasien
pediatrik maupun geriatric yang kesulitan menelan tablet. Jadi proses peracikan obat
(perubahan bentuk sediaan) dapat meningkatkan nilai ketersediaan hayati atau
biovaibilitas obat. Namun akan berbeda bila dalam peracikan obat dicampur dengan
obat bahan aktif lainnya, kemungkinan biovaibilitas bisa meningkat atau menurun
karena adanya potensi interaksi obat yang terjadi.
22
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Ketersediaan Hayati atau Bioavaibilitas adalah persentase dan kecepatan zat aktif
dalam suatu produk obat yang mencapai / tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam
bentuk utuh/ aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya
dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavaibilitas adalah bentuk sediaan, rute
pemberian, kelarutan, interaksi obat, kondisi fisiologis pasien (organ pencernaan,
hati, dan ginjal)
3. Compounding dan Dispensing sediaan farmasi dapat mempengaruhi keteresediaan
hayati suatu obat. Peracikan dalam hal perubahan bentuk sediaan dapat
meningkatkan ketersediaan hayati atau bioavaibilitasnya.
23
DAFTAR PUSTAKA
Anief, MOH. 2007. Perjalanan dan Nasib Obat Dalam Badan. Yogyakarta : UGM
Press
Badan Pom RI, 2005, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.00.05.3.08.1818. Tahun 2005 Tentang Pedoman Uji
Bioekivalensi. Jakarta : BPOM
Bestari, A.N. et al. 2013. Pengaruh Pengecilan Ukuran Partikel pada Kasus Pembuatan
Pulveres dari Tablet Ibuprofen Terhadap Kecepatan dan Profil Disolusi Serta
Stabilitasnya. Majalah Farmaseutik Vol. 13 No. 1 : 45 – 55
Burch, J., 2017. Compounding Pharmacists Provide Customized Care. N. C. Med. J. 78,
191–194. https://doi.org/10.18043/ncm.78.3.191
Minghetti, P., Pantano, D., Gennari, C.G.M., Casiraghi, A., 2014. Regulatory
framework of pharmaceutical compounding and actual developments of
legislation in Europe. Health Policy (New. York). 117, 328–333.
https://doi.org/10.1016/j.healthpol.2014.07.010
24