Anda di halaman 1dari 88

MODUL

FARMAKOLOGI

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN

UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA

2023
VISI MISI TUJUAN DAN SASARAN

PROGRAM STUDI PROFESI BIDAN FKK UNPRI 2030

Visi “Menghasilkan Lulusan Bidan yang Profesional, Berwawasan

Sociotechnopreneurship dan unggul pada Farmakologi.”

Misi 1. Menyelenggarakan pendidikan kebidanan berkualitas tinggi, mengintegrasikan

praktik terbaik dan kolaborasi dengan mitra kesehatan serta industri, demi

menghasilkan Bidan yang profesional, siap berkarir, dan handal dalam prinsip

Farmakologi

2. Mendorong inovasi melalui penelitian fokus dalam Kebidanan, khususnya pada

Farmakologi, yang sejalan dengan aspirasi Sociotechnopreneurship untuk

memberikan solusi konkret pada tantangan kesehatan di Indonesia.

3. Mengedepankan pengabdian masyarakat yang berdampak positif dengan

pendekatan Farmakologi memfasilitasi pertukaran ilmu Sociotechnopreneurship,

dan memperkuat sinergi dengan mitra industri, organisasi profesi, dan sektor

kesehatan.

4. Mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan tata kelola yang optimal

dan kerja sama institusional yang luas, demi meningkatkan kontribusi dalam

Kebidanan dan memajukan layanan kesehatan berbasis Farmakologi


Tujuan 1. Dihasilkannya lulusan yang beretika, bermutu, berbudi luhur, memenuhi standar

kompetensi bidan Indonesia serta mampu memecahkan masalah pada bidang

kebidanan khususnya Farmakologi

2. Dihasilkannya IPTEK yang unggul pada Farmakologi melalui penelitian yang

memperhatikan etika penelitian dan inovasi.

3. Terwujudnya pengabdian masyarakat berbasis penalaran dan karya penelitian

Farmakologi yang bermanfaat untuk derajat kesehatan ibu dan bayi.

4. Dihasilkannya kerjasama yang saling mengutungkan dengan berbagai institusi

baik nasional maupun internasional.

Sasaran 1. Dihasilkannya lulusan kebidanan yang memiliki pendidikan berkualitas tinggi,

melalui integrasi praktik terbaik dan kolaborasi dengan mitra kesehatan serta

industri, sehingga menjadi Bidan yang profesional, siap berkarir, dan handal dalam

prinsip Farmakologi

2. Dihasilkannya inovasi melalui penelitian fokus dalam Kebidanan, terutama pada

Farmakologi, yang sejalan dengan aspirasi Sociotechnopreneurship, untuk

memberikan solusi konkret atas tantangan kesehatan di Indonesia.

3. Dihasilkannya program pengabdian masyarakat yang memberikan dampak

positif, dengan pendekatan Farmakologi, memfasilitasi pertukaran ilmu

Sociotechnopreneurship, dan memperkuat hubungan dengan mitra industri,

organisasi profesi, dan sektor kesehatan.


4. Dihasilkannya implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi yang optimal,

didukung oleh kerja sama institusional yang luas, untuk meningkatkan kontribusi

dalam bidang Kebidanan dan memajukan layanan kesehatan berbasis Farmakologi.


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga Modul Ajar Mata Kuliah

Farmatologi ini telah dapat diperbuat. Mudah-mudahan modul ini bermanfaat bagi kemajuan

pendidikan bidan di Indonesia umumnya, serta dapat digunakan oleh para mahasiswa dan staf

pengajar dalam menjalankan dan menyelenggarakan proses belajar-mengajar di Fakultas

Keperawatan dan Kebidanan Universitas Prima Indonesia.

Modul ini disusun dengan tujuan untuk memudahkan proses pembelajaran, yang

diharapkan mahasiswa banyak membaca dan berlatih untuk materi Farmatologi

Setelah mempelajari dan membaca modul ini, diharapkan tujuan dan kompetensi

pembelajaran dapat tercapai dengan baik, Semoga pembaca mendapatkan hasil yang maksimal

dari modul ini.

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
KONSEP DASAR DAN PRINSIP FARMATOLOGI

1. ILMU YANG MEMPELAJARI MASALAH PENGGUNA- AN OBAT

a. Ilmu Farmakologi
adalah ilmu yang mempelajari cara dalam mana fungsi sistem hidup dipengaruhi obat.
Salah satu dasar prinsip farmakologi adalah molekul obat harus berusaha mempengaruhi
secara kimia pada satu atau lebih isi sel agar dapat menghasilkan respon farmakologik.
Dengan kata lain molekul obat harus mendekati molekul-molekul yang membentuk sel
dalam jumlah yang cukup untuk menutup rapat sehingga fungsi molekul sel menjadi
berubah. (anief moh,2018)

b. Ilmu Farmakokinetik
adalah ilmu yang mempelajari tentang absorpsi, distribusi, metabolisme atau
biotransformasi dan ekskresi obat (ADME). Secara singkat artinya pengaruh tubuh
terhadap obat.

c. Ilmu Farmakodinami
adalah ilmu yang mempelajari cara kerja obat, efek obat terhadap fungsi berbagai organ
dan pengaruh obat terhadap reaksi biokimia dan struktur organ. Secara singkat artinya
pengaruh obat terhadap sel hidup.

d. Ilmu Farmakoterapi
adalah ilmu yang mempelajari penggunaan obat untuk menyembuhkan penyakit. Ilmu
Khemoterapi, adalah ilmu yang mempelajari pengobatan penyakit yang disebabkan oleh
mikroba patogen termasuk peng- obatan neoplasma.

e. Ilmu Toksikologi
adalah ilmu yang mempelajari keracunan oleh berbagai bahan kimia terutama obat.
2. AKSI OBAT
Umumnya obat bekerja menimbulkan stimulasi atau depresi aktivitas dan tidak
menimbulkan suatu fungsi baru dari self. Sebagai contoh sel-sel beta dari pulau
Langerhans yang mengeluarkan Insulin. sel tersebut tidak dapat distimulasi oleh obat
agar mengeluarkan zat lain misalnya Adrenalin.

Cara obat menimbulkan efek adalah sebagai berikut:

a. Mengadakan stimulasi atau depresi fungsi spesifik dari sel.


b. Mempengaruhi atau menghambat aktivitas seluler dari sel-sel asing terhadap tuan rumah
(host), yaitu bukan sel dari organ tubuh, tetapi sel bakteri dan mikroba lain termasuk sel
kanker.
c. Merupakan terapi pengganti, sebagai contoh pemberian hormon untuk mencapai dosis
fisiologik agar diperoleh suatu efek. Atau pemberian Kalium Klorida sebagai pengganti
Kalium ion yang hilang melalui diuresis.
d. Menimbulkan aksi nonspesifik seperti reaksi kulit terhadap obat yang menimbulkan
iritasi.

Menggambarkan aksi obat dapat dinyatakan dengan mekanisme proksimat (terdekat)


pada tingkat fisiologik atau mekanisme ultimat (terakhir) pada tingkat kimia hayat.

a. Menggambarkan aksi proksimat suatu obat sesungguhnya juga menggambarkan efek


obat, Mekanisme proksimat dapat menjawab di mana obat itu beraksi dan apakah obat itu
mengadakan stimulasi atau depresi. Penggolongan obat dalam kategori farmakologik
dapat digunakan untuk menggambarkan mekanisme proksimat, sebab kategori tersebut
dapat menjelaskan di mana terjadi aksi obat dan apakah terjadi stimulasi atau depresi.
b. Menggambarkan mekanisme ultimat dari obat dapat dinyatakan adanya aksi antara
molekul obat dan molekul dari sel dan dibedakan antara apakah obat itu bereaksi spesifik
atau non spesifik

INDIKASI SUATU OBAT (PENGGUNAAN TERAPI)

Dalam menyatakan indikasi suatu obat perlu dinyatakan kondisi patologik spesifik di mana
obat itu denakan Sebagai contoh aksi proksimat Alucol adalah mengurangi keasaman
lambung karena Alucol adalah suatu antasid, jadi indikasi untuk Alucol adalah mengobati
hiperasiditas lambung atau sebagai tambahan untuk mengobati borok
Contoh lain ialah Digitalis, adalah suatu obat yang mempunyai aksi banyak pada jantung,
aksinya antara lain adalah menaikkan kekuatan kontraksi jantung, memperlambat konduksi
A-V, menaikkan periode refrakter simpul A-V dan mengurangi simpul S-A. Maka itu
Digitalis digunakan dalam pengobatan payah jantung (congestive heart failure), fibrilasi
atrium, atrial flutter, dan paroxymal atrial tachycardia.

Kontra indikasi yaitu keadaan yang berlawanan terhadap penggunaan terapi obat. Misalnya
pada penggunaan Kemicetine (ada pasien sangat peka terhadap Kemicetin), dan pada pasien
dengan gangguan faal hati yang berat.

3. SELEKTIVITAS DAN KEAMANAN OBAT

Substansi aktif biologik yang mempengaruhi sangat kuat terhadap sel tertentu tanpa
menimbulkan perubahan pada sel lainnya meskipun kedua sel adalah bertetangga langsung
disebut molekul selektif. Substansi aktif biologik yang digunakan untuk mengobati penyakit
disebut obat.

Ada tiga prinsip kontrol selektivitas.


a. Selektivitas berdasarkan distribusi adalah agen beracun baik terhadap sel ekonomis
maupun sel tak ekonomis dan agen tadi hanya berkumpul pada sel yang tak ekonomis.
Contoh: Fenotiazin suatu obat cacing hanya berkumpul pada cacing di usus tidak pada sel
lapisan usus domba, tapi diinjeksikan, Fenotiazin meracuni kedua macam sel.

b. Selektivitas berdasarkan perbandingan bio kimia adalah dalam proses sintesa. Sebagai
contoh: Selektivitas yang tinggi dari sulfo- namida sebagai antibakteri tergantung pada
kenyataan bahwa bakteri patogen tidak dapat menyerap Asam folat atau derivatnya tetapi
mensintesa mereka dari Asam paraaminobenzoat dan merupakan suatu proses yang
dirintangi oleh sulfonamida.

c. Selektivitas berdasarkan perbandingan sitologi, hal ini disebabkan adanya perbedaan


dalam struktur sel. Bila setiap tipe organel, misalkan nukleus diperiksa secara mendalam
terlihat adanya perbedaan tidak hanya dalam bentuk hidup ke bentuk hidup lain, bahkan
antara jaringan dari suatu bentuk hidup. Perbedaan fisis yang menonjol dalam organ
internal mitokhondria manusia dari ginjal, hati dan otak menunjukkan adanya
kesempatan untuk terapi selektif. Kesempatan lain terdapat adanya derajat perbedaan,
sebagai contoh kebanyakan sel kanker kelihatan normal, tetapi merupakan sel sangat
khusus yang kehilangan beberapa atau banyak perbedaan, sebagai hasilnya kebanyakan
dari mereka akan mensintesa D.N.A. dan mengalami mitosis sangat cepat dibanding sel-
sel sekelilingnya yang normal. Pengobatan dengan hormon akan mengendalikan mitosis
yang liar, tetapi hormon ini tidak merusak sel-sel jahat.
Sebagai contoh penggunaan estrogen dalam pengobatan kanker setelah menopause pada
dada dan hilangnya selektivitas menim- bulkan keadaan resistensi terhadap obat.

Timbulnya resistensi terhadap obat dapat disebutkan dengan lima cara:

a. Resistensi terjadi karena perkecualian dari agen. Sebagai contoh terjadi


penghapusan mekanisme akumulasi Tetrasiklin menyebabkan bakteri
Stafilokokus aureus menjadi resisten terhadap Tetrasiklin.

b. Resistensi terjadi karena organisma membawa enzim perusak. Sebagai contoh


adanya enzim penisilinase yang menghidrolisa Penisilin menjadi Asam
penisiloik yang tidak mampu membunuh rantai Staphylococcus aureus.

c. Resistensi terjadi karena organisme mengambil enzim yang memodifikasi obat.


Banyak nyawa purin dan pirimidin analog tidak dapat bereaksi terhadap kanker
sebelum enzim intraseluler memetabolisasi mereka menjadi Ribonukleotida.

d. Resistensi dalam bentuk sekresi suatu substansi oleh organisma dalam jumlah
berlebihan dan merupakan metabolit yang antagonis bagi suatu obat. Contoh
bakteri Pneumokokkus menjadi resisten terhadap sulfonamida karena terbentuk
sejumlah zat tambahan seperti Asam paraaminobenzoat.

e. Resistensi terjadi karena perubahan materi genetik di antara bakteri. Bakteri


gram negatip dalam usus banyak yang dapat menularkan DNA ke bakteri lain,
hingga memindahkan resistensi terhadap obat. Bakteri tersebut ialah bakteri
penyebab penyakit disentri, kolera, Activate Windows tifoid dan plaque. Obat
tersebut ialah Tetrasiklin, Khloramfenikol yang diubah menjadi substansi yang
inert.

Dikenal beberapa jenis resistensi terhadap bakteri yaitu:

a. Resistensi primer atau bawaan, yaitu resistensi alamiah terdapat pada kuman, misalkan
Stafilokoki mengandung penisilinase yang dapat menguraikan Penisilin da Sefalonidin

b. Resistensi sekunder atau yang diperoleh, yaitu resistensi akibat adanya kontak antara
kuman c'in khemoterapetika terbentuk secara spontan jenis bakteri dengan ciri-ciri yang
berlainan. Mutan-mutan ini memperbanyak diri dan menjadi suku yang baru yang
resisten. Adakalanya terbentuk mutan yang cepat seperti pada kontak dengan
Streptomisin, INH dan Rifampisin. Adakalanya resistensi terjadi Windows lambat, yaitu
terjadi resistensi banyak tingkat seperti Penisillin, Eritromisin dan Tetrasiklin.

c. Resistensi episomal. Resistensi ini membawa faktor genetika dari luar khromosom
(rangkaian pendukung sifat genetika). Episoma atau plasmid, terdiri dari D.N.A. dan
dapat ditularkan pada bakteri lain dengan penggabungan atau kontak antar sel. Penularan
faktor R-resistensi terjadi terutama di usus dengan penularan gen-gen dan tidak antar
jenis bakteri tetapi antar bermacam-macam bakteri seperti E. coli dengan Salmonella,
Klebsiella, vibro dan lainnya. Masuknya faktor R menambah daya memperbanyak diri
bakteri yang besar. Mutasi berikut dari mutan bakteri yang resisten dapat menggunakan
khemoterapetika sebagai zat tumbuh sebagai contoh Penisilin, Streptomisin, INH dan
Khloramfenikol. Hal ini disebut ketergantungan bakteri terhadap antibiotika tertentu.

d. Resistensi silang yaitu bakteri resisten terhadap suatu antibiotik dengan semua
derivatnya, sebagai contoh

a. Penisilin dengan Ampisilin, Amoksilin.

b. Rifampisin dengan Rifamisin.

c. berbagai jenis sulfonamida.

4. MACAM-MACAM EFEK:

Faktor formulasi dan cara penggunaan obat akan menentukan kecepatan dan banyaknya
obat dapat diabsorpsi dan efek yang diperoleh yaitu:

1. efek sistemik, ialah obat beredar ke seluruh tubuh melalui aliran darah.

2. efek lokal, ialah efek hanya setempat di mana obat digunakan.

Cara-cara penggunaan obat yang memberi efek sistemik ialah:

a. Oral, yaitu penggunaan obat melalui mulut dan masuk perut.


b. Sublingual, yaitu tablet diletakkan di bawah lidah.
c. Bukal, yaitu tablet diletakkan di antara gusi dan pipi.
d. Injeksi atau parenteral.
e. Implantasi subkutan, yaitu tablet (pellet) kecil steril
dimasukkan di bawah dengan alat trokar.
f. Rektal, yaitu tablet khusus atau supositoria dimasukkan ke dalam- dubur.
Cara penggunaan obat yang memberi efek lokal, ialah:
a. Inhalasi, yaitu larutan obat disemprotkan ke dalam mulut atau hidung dengan suatu alat
seperti inhaler, vaporizer, nebulizer atau aerosol.
b. Penggunaan obat pada mukosa seperti mata, telinga, hidung, vagina, dan sebagainya
dengan obat tetes, busa, dan sebagainya.
c. Penggunaan pada kulit dengan salep, krim, losion dan sebagainya.

5. EFEK OBAT:
Umumnya obat mempunyai efek atau aksi lebih dari satu, maka dengan itu efek dapat berupa:

1. Fotosensitasi, ialah efek kepekaan yang berlebihan terhadap cahaya yang timbul akibat
penggunaan obat. Contoh ialah akibat penggu- naan Bithionol sebagai antiseptika lokal.
a. terapi kausal, ialah obat yang meniadakan penyebab penyakit.
b. terapi simtomatik, ialah obat yang menghilangkan atau meringan- kan gejala
penyakit.
c. terapi substitusi, ialah obat yang menggantikan zat yang lazim dibuat oleh orang yang
sakit
2. Efek samping, ialah efek obat yang tidak diinginkan untuk tujuan efek terapi dan tidak ikut
pada kegunaan terapi.
3. Efek teratogen, ialah efek obat yang pada dosis terapetik untuk ibu mengakibatkan cacat pada
janin, misalnya fokomelia (kaki dan ta- ngan bayi seperti kepunyaan anjing laut).
4. Efek toksis, ialah aksi tambahan dari obat yang lebih berat diban- ding efek samping dan
merupakan efek yang tidak diinginkan. Tergantung besarnya dosis obat dapat diperoleh efek
terapi atau efek toksis.
5. Idiosinkrasi, ialah efek suatu obat yang secara kwalitatif berlainan sekali dengan efek terapi
normalnya.
6. Fotosensitasi, ialah efek kepekaan yang berlebihan terhadap cahaya yang timbul akibat
penggunaan obat. Contoh ialah akibat penggu- naan Bithionol sebagai antiseptika lokal.

6. EFEK PENGULANGAN ATAU PENGGUNAAN OBAT YANG LAMA:

1. Reaksi hipersensitif = suatu reaksi alergik merupakan respon abnormal terhadap obat atau
zat di mana pasien sebelumnya telah kontak dengan obat tersebut hingga berkembang
timbulnya antibodi.
2. Kumulasi : suatu fenomena pengumpulan obat dalam badan = sebagai akibat
pengulangan penggunaan obat, di mana obat dieks- kresikan lebih lambat dibanding
kecepatan absorpsinya.
3. Toleransi = suatu fenomena berkurangnya respon terhadap dosis obat yang sama. Untuk
memperoleh respon yang sama perlu dosisnya diperbesar. Ada tiga macam toleransi:
a. Toleransi primer, ialah toleransi bawaan yang terdapat pada sebagian orang dan
binatang.
b. Toleransi sekunder, ialah toleransi yang diperoleh akibat penggu- naan obat yang
sering diulangi.
c. Toleransi silang, ialah toleransi yang terjadi akibat penggunaan obat-obat yang
mempunyai struktur kimia yang serupa, dapat pula terjadi antara zat-zat yang
berlainan, misalnya alkohol dan barbital.
4. Takhifilaksis = suatu fenomena berkurangnya kecepatan respon terhadap aksi obat
pada pengulangan penggunaan obat dalam dosis yang sama. Respon mula-mula tidak
terulang meskipun dengan dosis yang lebih besar.

5. Habituasi suatu gejala ketergantungan psikhologik terhadap suatu obat (psychological


dependence). Menurut WHO:

a. selalu ingin menggunakan obat.


b. tanpa atau sedikit kecenderungan untuk menaikkan dosis.
c. timbul beberapa ketergantungan psikhik.
d. memberi efek yang merugikan pada suatu individu.

Habituasi terjadi melalui beberapa cara, yaitu:

a. Induksi enzim, yaitu obat menstimulasi suatu enzim untuk menguraikan obat
tersebut.
b. Reseptor-reseptor sekunder, yang dibentuk khusus oleh obat Windows tertentu
misalkan Morfin.
c. Penghambatan resorpsi pada penggunaan obat per oral.

6. Adiksi = suatu gejala ketergantungan psikhologik dan fisis terhadap obat.


Menurut WHO.:
a. ada dorongan untuk selalu menggunakan suatu obat.
b. ada kecenderungan untuk menaikkan dosis.
c. timbul ketergantungan psikhik dan biasanya diikuti ketergantung- an fisik.
d. merugikan terhadap individu maupun masyarakat.

7. Resistensi terhadap bakteri.


Pada penggunaan antibiotik untuk penyakit infeksi dapat terjadi obat tidak mampu
bekerja lagi untuk membunuh, menghambat perkembangan bakteri tertentu.
7. EFEK PENGGUNAAN OBAT CAMPURAN

1. Adisi = campuran obat atau obat yang diberikan bersama-sama menimbulkan efek yang
merupakan jumlah dari efek masing- masing obat secara terpisah pada pasien.
2. Sinergis: campuran obat atau obat yang diberikan bersama-sama dengan aksi proksimat
yang sama, menimbulkan efek, yang lebih besar dari jumlah efek masing-masing obat
secara terpisah pada pasien.
3. Potensiasi: campuran obat atau obat yang diberikan bersama-sama dengan aksi-aksi yang
tidak sama diberikan pada pasien, menim- bulkan efek lebih besar daripada jumlah efek
masing-masing secara terpisah pada pasien.
4. Antagonis: campuran obat atau obat yang diberikan bersama-sama pada pasien yang
menimbulkan efek yang berlawanan aksi dari salah satu obat, mengurangi efek dari obat
yang lain.
5. Interaksi obat = fenomena yang terjadi bila efek suatu obat dimodifikasi oleh obat lain
yang tidak sama atau sama efeknya, dan diberikan sebelum atau bersama-sama. Interaksi
obat dapat berlang- sung dengan beberapa cara antara lain:

a. interaksi kimia, contoh: Fenitoin diikat oleh Kalsium, Tetrasiklin oleh logam
valensi dua.
b. Kompetisi untuk protein plasma, contoh: Salisilat, Fenilbutazon dan Indometazin
mendesak ikatan obat lain pada protein, hingga memperkuat khasiat obat tersebut.
c. induksi enzim Obat menstimulasi pembentukan enzim hati, lalu menimbulkan
obat tersebut cepat dieliminasi dan juga mempercepat perombakan obat lain.
Contoh: Hipnotika memperlancar biotransformasi antikoagulansia dan
antidepresif trisiklis hingga memperlemah efek obat tersebut.
d. inhibisi enzim
Obat mengganggu fungsi hepar dan enzim-enzimnya. Contoh: alkohol dapat
memperkuat obat lain.

BAB 2
FARMAKODINAMIKA

PENDAHULUAN

Farmakodinamik merupakan cabang ilmu farmakologi yang mengkaji mekanisme


suatu obat hingga timbul suatu efek termasuk efek yang diinginkan maupun efek samping
yang tidak diinginkan. Efek yang terjadi akibat interaksi obat juga dipelajari di
farmakodinamik. (dkk,2022)

MEKANISME KERJA OBAT

Obat dapat memberikan efek apabila berikatan dengan target kerjanya. Target kerja
obat dapat berupa enzim, kanal ion, dan yang terbanyak adalah dengan reseptor. Sebagai
contoh obat yang berikatan dengan enzim adalah neostigmine atau organofosfat yang
dapat menghambat asetilkolinesterase, begitu juga dengan obat anti inflamasi non-steroid
(OAINS) yang dapatmenghambat enzim siklooksigenase. Obat juga dapat menghambat
pembukaan atau penutupan kanal ion, seperti verapamil, diltiazem, dan nifedipine yang
menghambat kanal kalsium, atau fenitoin, karbamazepin, dan lidokain yang dapat
menghambat kanal natrium/sodiumReseptor merupakan molekul spesifik dalam sistem
biologis yang berupa protein atau makromolekul berinteraksi dengan ligan atau obat
untuk menghasilkan suatu respons biologi.

Reseptor bersifat spesifik berikatan dengan ligan sehingga dapat menghasilkan sinyal
kimia yang sesuai. Reseptor juga dapat dimodifikasi ketika mengikat molekul obat.
Banyak reseptor yang telah diidentifikasi secara kimiawi, dan juga dapat disintesis.
Dalam ikatannya dengan ligan, reseptor memiliki afinitas yang selektif yang merupakan
dasar awal kerja suatu obatEfektor adalah molekul yang meneruskan interaksi antara
ligan dan reseptor sehingga terjadi aktivitas seluler. Salah satu contoh molekul efektor
adalah enzim adenilat siklase di membran sel yang diaktifkan oleh protein G pada
reseptor adrenergik B. Contoh efektor lainnya adalah enzim tirosin kinase pada reseptor
insulin, dan protein kanal natrium dan kalium pada reseptor asetilkolin nikotinik.

AFINITAS DAN POTENSI

Hubungan antara pengukuran persentase reseptor yang terikat oleh obat terhadap log
konsentrasi obat berupa kurva sigmoid. Kadar obat yang dibutuhkan untuk menempati
50% reseptor dilambangkan dengan konstanta disosiasi (Kd) sedangkan 1/KD
menunjukkan afinitas obat terhadap reseptor, Afinitas ini menunjukkan kemampuan suatu
obat berikatan dengan reseptornya membentuk kompleks obat-reseptor yang aktif.
Semakin kecil Kd, semakin besar afinitas obat terhadap reseptornya.

Potensi suatu obat menunjukkan jumlah obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan
suatu efek. Potensi ditentukan terutama oleh afinitas reseptor terhadap obat dan jumlah
reseptor yang tersedia. Dalam pengukuran dosis- respons kuantal, ED50, TD50, dan
LD50 merupakan variabel potensi. Dalam pengukuran dosis-responss bertingkat, efek
yang umum digunakan adalah 50% dari efek maksimal. Kadar atau dosis obat yang
menyebabkan efek 50% ini disebut EC50 atau ED50. Dengan demikian, ukuran potensi
dapat ditentukan menggunakan kurva dosis-responss bertingkat atau kuantal namun
angka yang diperoleh tidak identik dan memiliki arti yang berbeda.

HUBUNGAN DOSIS DAN RESPONS

Hubungan antara kadar obat atau dosis dan besarnya efek terlihat sebagai kurva kadar-
intensitas respons atau sering disebut sebagai graded dose-effect curve yang berbentuk
hiperbola. Jika kadar obat dalam log, hubungan antara log dosis dengan besarnya efek
terlihat sebagai kurva log dosis-intensitas efek yang berbentuk sigmoid. Emaks
menunjukkan aktivitas intrinsik untuk menimbulkan efek farmakologik. Dalam
pengukuran dosis-respons bertingkat, efek yang umum digunakan adalah 50% dari efek
maksimal. Kadar atau dosis obat yang menyebabkan efek 50% ini disebut EC50 atau
ED50. Parameter efikasi (Emaks) dan potensi (EC50 atau ED50) dapat diperoleh dari
kurva tersebut. Semakin kecil EC50, maka obat tersebut semakin poten: dan semakin
besar respons yang dihasilkan suatu obat, maka efikasi suatu obat semakin besar.

Untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi diperlukan satu
kisaran dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari individu yang responsif (dalam %)
pada kisaran dosis tersebut (dalam log dosis), akan diperoleh kurva distribusi normal.
Jika distribusi frekuensi tersebut dibuat kumulatif maka akan diperoleh kurva berbentuk
sigmoid yang disebut kurva log dosis-persen responsif (log DPR). Karena respons pasien
di sini bersifat kuantal (all or none), maka kurva sigmoid ini disebut juga kurva log dosis-
efek kuantal. Jadi, log DPR menunjukkan variasi individual dari dosis yang diperlukan
untuk menimbulkan suatu efek tertentu.
RESEPTOR CADANGAN

Efek suatu obat sebanding dengan jumlah reseptor yang diduduki oleh ligan. Efek
maksimum suatu obat (Emaks) juga bisa terjadi meskipun tidak semua reseptor diduduki
oleh ligan. Keadaan seperti ini menunjukkanadanya reseptor cadangan. Pada analisis
farmakodinamik, reseptor cadangan ini diidentifikasi jika konsentrasi efek 50% (EC50)
lebih kecil dari pada konsentrasi saat 50% jumlah reseptor terduduki (Kd). Reseptor
cadangan meningkatkan sensitivitas terhadap agonis. Reseptor cadangan mengakibatkan
interaksi obat dan reseptor yang terjadi singkat menghasilkan respons yang bermakna.

AGONIS PENUH DAN ANTAGONIS

Agonis penuh mengaktivasi reseptor melalui suatu ikatan (afinitas) yang kuat dan
menghasilkan suatu respons maksimum. Sementara agonis parsial merupakan agonis
lemah yang menghasilkan aktivitas intrinsik suatu sel yang rendah sehingga efek yang
dihasilkan lebih rendah dari pada efek agonis penuh. Keberadaan agonis parsial bertindak
sebagai penghambat agonis penuh. Respons agonis bekerja sesuai dengan organ dan
reseptornya, misalnya agonis epinefrin menyebabkan relaksasi otot bronkus melalui
aktivasi reseptor adrenergik ẞ2 namun menyebabkan kontraksi otot polos pembuluh
darah melalui aktivasi reseptor adrenergik a1.

Antagonis merupakan ligan yang memiliki kemampuan berikatan dengan suatu sisi
reseptor namun tidak menimbulkan respons intrinsik. Antagonis menghambat respons
agonis. Antagonis yang bekerja pada organ yang sama namun berikatan pada reseptor
yang berlainan dan menghasilkan efek yang berlawan. Antagonis yang demikian disebut
antagonis fisiologis. Contoh antagonis fisiologis adalah histamin menyebabkan
bronkokonstriksi sedangkan adrenalin menyebabkan bronkodilatasi. Antagonis yang
bekerja pada sisi reseptor yang sama dengan agonisnya dinamakan antagonis
farmakologi. Contohnya, histamin dan antihistamin. Antagonis farmakologi ini
menghalangi ikatan agonis dengan reseptor. Ikatan antagonis dengan reseptor yang lemah
dapat digeser oleh agonis yang konsentrasinya cukup banyak. Antagonisme yang
demikian bersifat reversible atau disebut sebagai antagonis kompetitif. Penambahan
agonis dapat menggeser ikatan hingga mencapai efek maksimum.

Antagonis yang berikatan kuat dan tidak dapat diatasi efeknya dengan penambahan
agonis disebut sebagai antagonis non-kompetitif atau irreversible. Antagonisme non-
kompetitif ini juga dapat terjadi pada sisi reseptor yang berbeda dari agonis pada sistem
reseptor yang sama. Antagonisme ini disebutkan antagonis alosterik. Antagonis non-
kompetitif ini menyebabkan penurunan efek maksimum agonis namun tidak menggeser
efekasi 50% (ED50). Antagonis yang berinteraksi langsung dengan target secara kimia
tanpa melalui reseptor seperti dimerkaprol berkelasi dengan timbal dan beberapa logam
disebut sebagai antagonis kimia. Contoh lainnya adalah pralidoksim yang berikatan
dengan fosfor pada kompleks kolinesterase organofosfat.

THERAPEUTIC INDEX DAN THERAPEUTIC WINDOW

Keamanan suatu obat dapat dinyatakan dalam therapeutic index (TI) atau indeks
terapeutik dan therapeutic windows (TW). TI merupakan rasio LD50 terhadap ED50
yang didapat dari kurva quantal dose-responsse. Misalnya, ED50 suatu obat adalah 4 mg
sedangkan LD50 yang didapat dari penelitian pre klinik pada hewan adalah 60 mg, maka
indeks terapeutik adalah 15 mg. Indeks terapeutik ini menunjukkan perkiraan keamanan
suatu obat. Obat yang sangat aman memiliki ciri dosis toksiknya (LD50) yang sangat
tinggi sedangkan dosis efektifnya (ED50) jauh lebih kecil. Obat-obatan yang memiliki TI
sempit adalah digoksin, warfarin, antibiotic aminoglikosida, obat antiepilepsi seperti
karbamazepin, fenitoin, fenobarbital, dan sebagainya.

Therapeutic window (TW) merupakan parameter keamanan pengguanaan obat yang


menggunakan data konsentrasi terapeutik minimum dan konsentrasi toksik minimum.
Therapeutic window ini juga disebut sebagai range batas keamanan. Misalnya, obat
fenitoin memiliki konsentrasi terapeutik minimum 10mg/dL dan konsentrasi toksik
minimum 20mg/dL. Maka therapeutic window obat fenitoin adalah 10-20 mg/dL.

SINYAL TRANSDUKSI

Setelah obat agonis terikat pada reseptornya, beberapa mekanisme efektor diaktifkan.
Sistem reseptor-efektor dapat berupa enzim dalam ruang intraseluler, misalnya,
siklooksigenase, atau dalam membran atau ruang ekstraseluler, misalnya,
asetilkolinesterase. Sebagian besar obat berinteraksi dengan reseptor di ruang
ekstraseluler, sedangkan mekanisme efektor terjadi di dalam sel dan memodifikasi proses
intraseluler. Interaksi obat-reseptor klasik ini melibatkan sinyal transduksi.

Saat ini terdapat 4 jenis reseptor, empat di antaranya reseptor yang terdapat di
permukaan sel, sedangkan yang lainnya terdapat dalam sitoplasma. Reseptor di
permukaan sel yang berinteraksi dengan ligan akan menghasilkan sinyal ke dalam
sitoplasma dan inti sel. Tipe-tipe reseptor terangkum.
RESEPTOR KANAL LON

Ligan untuk reseptor kanal ion merupakan transmitor sinaps yang menyampaikan
pesannya dengan mengubah membran pontensial atau komposisi ion transmembran.
Ligan yang berikatan dengan reseptor kanal ion ini adalah asetilkolin, benzodiazepam,
glisin, aspartat, glutamat, serotonin. Interaksi antara ligan dengan reseptor kanal ion
menyebabkan pembukaan kanal ion sehingga ion tertentu masuk ke dalam sel, dan
menimbulkan efek fisiologik. Asetilkolin yang berikatan pada reseptor kolinergik
menyebabkan masuknya ion natrium dalam jumlah besar ke dalam sel, sehingga terjadi
depolarisasi membran yang merupakan penghantaran sinyal melalui sinaps.
Benzodiazepin mengaktivasi kanal klorida yang menyebabkan peningkatan ion klorida
dalam sel yang mensupresi potensial aksi pada bangkitan kejang.

1. Asetilkolin aktivasi reseptor nikotinik yang menyebabkan pembukaan kanal Na+/K+


2. Serotonin aktivasi reseptor 5-HT3 yang menyebabkan pembukaan kanal Na+/K+
3. Benzodiazepin, barbiturate dan beberapa oabt sedative hipnotik aktivasi kanal Cl
melalui reseptor GABA
4. Obat obat simpatomimetik modulasi kanal Ca2+

RESEPTOR BERIKATAN DENGAN ENZIM

Reseptor yang berhubungan dengan enzim di bagian intrasel menghasilkan sinyal yang
dihantarkan oleh hormon-hormon trofik misalnya transforming growth factor-B (TFG-B),
epidermal growth factor (EGF), platelet-derived growth factor (PDGF), atrial natriuretic
factor (ANF). Reseptor ini memiliki tiga struktur utama. Bagian pertama merupakan
tempat ikatan ligan yang terdapat di permukaan ekstrasel. Bagian kedua merupakan
katalitik bisa berupa enzim fosforilase, kinase atau siklase. Kedua bagian ini
dihubungkan oleh suatu rantai protein transmembran peptida yang hidrofob. Jika suatu
ligan berikatan dengan reseptor ini, maka terjadi sinyal transduksi yang akan
dikonduksikan ke bagian enzimatik sehingga terjadi proses selanjutnya, misalnya
fosforilasi.

Jenis reseptor lain yang berikatan dengan enzim adalah reseptor sitokin dengan ligand
hormon pembuhan, eritropoeitin, dan interferon. Saat ligan berikatan dengan reseptor,
maka akan terjadi dimerisasi reseptor, sehingga proses fosforilasi antara dua protein
kinase Janus-kinase (JAK) yang terikat secara nonkovalen pada reseptor bagian intrasel
dapat terjadi. Protein JAK ini akan menimbulkan fosforilasi protein signal transducers
and activation of Windows transcription (STAT) dan selanjutnya menembus nukleus
untuk induksi proseso atrevidas transkripsi suatu gen tertentu.
RESEPTOR TERHUBUNG PROTEIN G/G PROTEIN-COUPLED RECEPTOR
(GPCR)

Sebagian besar reseptor untuk ligan amin biogenik, eikosanoid, dan hormon lainnya
mengaktifkan suatu yang berhubungan dengan guanosin trifosfat (GTP) atau disebut
sebagai protein G. Protein G terdiri dari struktur kompleks heterotrimerik yang terdiri
atas 3 subunit (a, ẞ, dan y). Jika suatu ligan menempati reseptor ini, maka akan subunit a
terdisosiasi dengan subunit ẞ dan y. Protein G subunit a ini selanjutnya akan
mengaktifkan efektor enzim, transpoter, atau protein misalnya adenilat siklase,
fosfolipase A2 dan C, kanal kalium atau natrium.

Sinyal transduksi diteruskan oleh molekul protein second messenger siklik- AMP
(CAMP), ion kalsium, 1,4,5-inositol trifosfat (IP3), diasilgliserol (DAG), dan nitrit oksida
(NO). Siklik-AMP (CAMP) merupakan second messenger yang dihasilkan melalui
hidrolisis ATP akibat stimulasi enzim adenilat siklase oleh protein Gs. Adenilat siklase
juga distimulasi oleh ion kalsium, toksin kolera, atau ion fluorida. Enzim adenilat siklase
ini dihambat oleh protein Gi. CAMP mengaktifkan protein kinase A yang megulasi
molekul sinyal transduksi intrasel melalui fosforilasi. cAMP didegradasi melalui proses
hidrolisis yang dikatalisis oleh fosfodiesterase menjadi 5-AMP.

Second messenger ion kalsium mengaktifkan berbagai enzim yang menyebabkan


kontraktilitas sel otot. Inositol trifosfat (IP3) dan diasilgliserol (DAG), merupakan second
messenger hasil dari hidrolisis fosfatidil inositol 4,5- bifosfat (PIP2) oleh enzim membran
sel fosfolipase C (PLC) pada transmisi sinyal di reseptor adrenergik α,

RESEPTOR DALAM SITOPLASMA/INTRASELULER

Reseptor berhubungan dengan reseptor untuk sinyal mengatur transkripsi gen berada
dalam sitoplasma. Ligan reseptor ini memiliki karakteristik lipofilik yang memiliki
kemampuan menembus membran sel, seperti vitamin A, vitamin D, estrogen, hormon
tiroid, glukokortikoid, dan mineralokortikoid. Reseptor yang terdapat dalam sitoplasma
ini bekerja pada DNA yang mengatur transkripsi gen karena sifat lipofiliknya, ligan dapat
melewati membran sel, memasuki sitoplasma, dan berikatan dengan reseptornya.
Komplek ligan-reseptor ini kemudian ditranslokasikan ke dalam nukleus dan berikatan
dengan elemen respons-nya pada DNA atau dengan faktor transkripsi lainnya. Ikatan ini
mendorong transkripsi dari mRNA yang kemudian ditranslasikan menjadi protein.
Karena sifat alaminya inilah, maka ligan membutuhkan waktu untuk memberikan efek
dan juga memerlukan waktu untuk menghilangkan efeknya.
REGULASI RESEPTOR

Ekspresi reseptor diatur secara dinamis sesuai dengan jumlah lokasi, dan interaksi
dengan molekul lain. Paparan terus menerus terhadap agonis atau aktivasi reseptor dalam
jangka panjang dapat menyebabkan penurunan respons. Perubahan dapat terjadi dalam
waktu singkat (detik hingga menit) dan periode yang lebih lama (hari). Perubahan yang
terjadi dalam waktu singkat disebut dengan desensitisasi atau takifilaksis. Hal disebabkan
oleh perubahan konformasi protein dari reseptor atau fosforilasi dari reseptor, sehingga
walaupun agonis berikatan pada reseptor, namun tidak ada efek yang dihasilkan

Contohnya adalah inaktivasi dari reseptor terhubung protein G melalui forforilasi.


Aktivasi reseptor secara terus menerus juga mengaktifkan G protein-coupled receptor
kinases (GRKS), memfosforilasi ujung sitoplasma dari GPCR dan meningkatkan afinistas
ikatan dengan B-arrestin. B-arrestin ini mencegah akses protein penghubung Gs sehingga
tidak terjadi aktivasi reseptor adrenergik-B. Reseptor yang terikat agonis mengalami
internalisasi endositosis dan menyebakan penurunan respons

Istilah toleransi digunakan apabila penurunan respons terjadi secara perlahan karena
adanya pengurangan jumlah reseptor (downregulation). Contoh toleransi adalah
penurunan reseptor adrenergik ẞ, karena penggunaan agonis dalam waktu lama, seperti
pada pasien asma. Sebaliknya, peningkatan jumlah reseptor (upregulasi) terjadi ketika
aktivasi reseptor dihambat dalam jangka waktu yang lama.
BAB III
FARMAKOKINETIKA

PENDAHULUAN

Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai nasib dan respons obat dalam tubuh
manusia. Ilmu ini terbagi menjadi farmakokinetik dan farmakodinamik. Secara garis besar,
farmakokinetik adalah ilmu yang mempelajari nasib obat dalam tubuh, bagaimana tubuh
memengaruhi konsentrasi obat yang dikonsumsi. Proses yang terjadi dimulai dari absorpsi yaitu
penyerapan obat ke pembuluh darah, distribusi yaitu penyebaran obat ke jaringan tubuh,
metabolisme yaitu perubahan struktur kimia obat, dan ekskresi yaitu dibuangnya obat ke luar
tubuh manusia Seperti parasetamol tadi, tablet parasetamol akan diliberasi menjadi molekul yang
lebih kecil, diabsorpsi di usus, masuk ke pembuluh darah, didistribusikan ke seluruh tubuh
termasuk hepar dan mengalami metabolisme glukoronidasi, sulfasi, dan oksidasi menjadi zat
tidak aktifnya yang kemudian dieksresikan melalui ginjal. (dkk, 2020)

Tentunya zat aktif parasetamol ini akan berikatan dengan reseptornya dan juga dapat
menghambat proses enzimatik dalam tubuh Anda, sehingga dapat memengaruhi proses
molekuler dan menurunkan suhu tubuh. Selain itu, metabolit parasetamol yaitu N-acetyl-p-
benzoquinone imine (NAPQI) bersifat hepatotoksik dan dapat menyebabkan kerusakan hepar.
Bagaimana obat, baik zat aktif maupun metabolitnya, memengaruhi tubuh kita disebut sebagai
farmakodinamik.

Pengobatan yang sesuai untuk pasien, mengembalikan fungsi fisiologis tubuh, dan tentunya
menghentikan/mengurangi proses patofisiologi penyakit. Selain itu, kita juga akan mempelajari
dan mendiskusikan obat-obatan yang dapat mengeradikasi mikroorganisme yang menimbulkan
penyakit pada manusia. Anda akan mempelajari farmakokinetik, farmakodinamik, efek
terapeutik, efek samping, dosis obat, hingga interaksinya dalam perkuliahan ini. Ilmu ini
diharapkan dapat menjadi bekal Anda dalam memilih pengobatan rasional, yang tepat dan sesuai
untuk kondisi masing-masing pasien.

FARMAKOKINETIK

Seperti yang sudah disinggung di awal, farmakokinetik adalah proses bagaimana nasib obat
dalam tubuh. Proses ini diawali dengan absorpsi, distribusi, metabolisme, hingga ekskresi.
Sebelum kita membahas proses ini satu per satu, kita harus memahami terlebih dahulu proses apa
saja yang memengaruhi konsentrasi obat di dalam sirkulasi sistemik atau yang biasa disebut
sebagai bioavailabilitas.
Konsentrasi obat dalam tubuh sangat bergantung terhadap (1) rute pemberian obat, (2) dosis
obat, dan (3) karakteristik dari obat itu sendiri seperti kelarutannya dalam lemak, ukuran
molekul, dll. Obat dapat diberikan melalui berbagai macam rute yaitu secara per oral, inhalasi,
membran mukosa, injeksi, maupun transdermal.

RUTE PEMBERIAN OBAT

Rute pemberian obat sangat berpengaruh terhadap konsentrasi obat dalam darah. Tentunya
karena pemberian yang berbeda, akan melewati organ yang berbeda pula dengan perbedaan
anatomis dan fisiologis yang dapat menyebabkan perbedaan absorpsi dari obat-obatan. Pada
bagian ini akan dijelaskan beberapa rute pemberian obat dan pengaruhnya terhadap konsentrasi
obat dalam darah.

PER ORAL

Pemberian per oral tentunya diberikan melalui mulut yang kemudian akan masuk ke sistem
pencernaan yang kemudian akan diabsorpsi untuk dapat masuk ke alirah darah. Proses absorpsi
ini banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kematangan organ, pH lambung, waktu
pengosongan lambung, pergerakan usus, transporter, ada tidaknya makanan, sifat obat, dll.
Faktor inilah yang kemudian menyebabkan bervariasinya konsentrasi obat yang masuk ke
plasma jika diberikan secara per oral, walaupun pemberian secara per oral sangatlah nyaman
untuk pasien, namun bioavailabilitas atau ketersediaan hayati obat dalam plasma berkisar 5-
<100%. Selain itu, beberapa obat mengalami first pass hepatic effect, yaitu kondisi dimana obat
yang telah diabsorpsi akan memasuki sistem vena porta sebelum masuk ke sirkulasi sistemik
faktor yang memengaruhi absorpsi akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Per oral:

Biovailabilitas bervariasi (5-<100%)

Keasaman lambung, enzim pencernaan, mikrobiota, proses absorpsi, first pass metabolisme
sangat berpengaruh pada jumlah obat yang mencapai sirkulasi

Sublingual:

Langsung memasuki sirkulasi, terhindar dari absorpsi dan first-pass metabolisme


Intravena:

Biovailabilitas 100% Terhindar dari absorpsi dan first pass metabolisme, onset paling cepat,
resiko terjadinya reaksi simpang paling besar

Transdermal:

Biovailabilitas 80-<100% Langsung masuk ke dalam sirkulasi, absorpsi lambat, digunakan untuk
memperpanjang waktu kerja obat

Inhalasi:

Biovailabilitas 5-100% Tergantung cara pemakaian, besar molekul. Onset kerja cepat

Intramuskular:

Biovailabilitas 75-100% Lebih mudah diberikan dari i.v, namun nyeri dan kadang membutuhkan
jumlah yang lebih besar dari pemberian intravena

PER INHALASI

Pemberian obat secara inhalasi terutama ditujukan untuk obat-obatan pada sistem respirasi,
seperti misalnya pemberian uap, gas, asap, hingga aerosol. Bioavailabilitas obat secara inhalasi
juga bervariasi (5-< 100%), tergantung cara penggunaan. Ukuran partikel obat juga
memengaruhi konsentrasi obat yang sampai ke titik kerjanya, juga ke dalam plasma. Ukuran
partikel yang besar (> 10 µ) biasanya akan masuk ke dalam esofagus, alih-alih masuk ke sistem
respirasi. Ukuran yang terlalu kecil (< 2 µ) akan masuk kedalam saluran respirasi bagian bawah,
50-60% kemudian akan mencapai alveolus. Ukuran yang utamanya terlalu kecil tidak
memberikan efek maksimal jika target adalah bronkus dan bronkiolus. Ukuran berkisar 4-6 µ
biasanya akan terdeposisi di bronkus dan kemudian bisa berikatan dengan reseptor yang
diperlukan, biasanya reseptor B2, seperti pada obat-obatan asma yaitu short acting B2 agonist
atau antimuskarinik seperti ipratropium bromide, beberapa sediaan dapat diberikan, baik secara
aerosol dengan menggunakan meter-dosed inhalers atau turbuhaler; atau melalui nebulasi, yaitu
mengubah obat cair menjadi uap yang kemudian dihirup oleh pasien. Oleh karena obat dapat
langsung mencapai target dan bekerja dengan cepat atau rapid onset Namun, pada obat-obatan
yang mudah menguap atau volatile, seperti eter dan juga obat larut lemak seperti isoprenalin
dapat diabsorpsi dengan cepat oleh sel epitel alveoli.

PER REKTAL:

Biovailabilitas 30-<100% Absorpsi lebih cepat dibandingkan per oral. first pass metabolisme
lebih sedikit, onset lebih cepat, tidak nyaman pada pasien

PER MEMBRAN MUKOSA

Membran mukosa adalah per rektal, sublingual, and intranasal. Pada pemberian ini, molekul
obat akan diserap oleh pembuluh darah yang berada di membran mukosa. Rute ini biasanya
memiliki onset yang lebih cepat dibandingkan secara per oral karena tidak harus melewati
saluran pencernaan yang panjang, termasuk dapat melewati first pass hepatic effect. Dengan
demikian, bioavailabilitas obat yang diberikan melalui rute ini berkisar 30-< 100% saat obat
diberikan secara per rektal, obat akan masuk ke sirkulasi sitemik melalui vena rectal
inferior/vena hemorrhoid inferior. Sementara jika secara sublingual, obat akan masuk ke
sirkulasi sistemik melalui vena lingualis sebelum akhirnya masuk ke vena jugularis interna. Rute
ini memiliki beberapa kelebihan, termasuk memberikan efek yang cepat, pasien yang tidak bisa
menerima obat secara per oral (muntah, pedarahan) au tidak memungkinkan diberikan secara
injeksi karena kesulitan mencari vena, risiko patahan jarum, dll. Contoh yang paling sering
terjadi misalnya pemberian isosorbid dinitrat atau nitrogliserin dapat diberikan secara sublingual
dalam kasus sindroma koroner akut. Begitu juga pemberian diazepam secara per rektal pada
kasus kejang. Kedua kasus ini memerlukan penanganan yang cepat untuk mengurangi risiko
kematian dan kerusakan permanen.

PER INJEKSI

Rute ini adalah rute yang menghasilkan bioavailabilitas paling tinggi, sekitar 70-100%,
tergantung injeksi yang diberikan, baik intramuskular, intradermal, subkutan, dan intravena.
Secara teori, injeksi intravena menghasilkan 100% bioavailabilitas dan memberikan onset yang
paling cepat di antara rute pemberian yang. Namun, pemberian secara intravena kurang nyaman
bagi pasien karena harus menembus vena, dapat mengiritasi pembuluh darah, serta kemungkinan
terjadinya infeksi pada tempat pemberian. Obat juga dapat diberikan secara intramuskular, yaitu
disuntikkan ke dalam otot. Penyuntikan ke dalam otot memungkinkan pemberian yang besar,
namun terkadang menimbulkan rasa nyeri. Setelah disuntikkan, molekul akan masuk ke
peredaran darah sistemik dan mencapai bioavailabilitas berkisar 75-100%. Pemberian secara
injeksi juga dapat dilakukan secara subkutan atau di bawah kulit, sebelum mencapai otot.
Diperlukan jarum yang lebih kecil juga volume yang lebih kecil dibandingkan intramuskular,
namun dengan bioavailabilitas yang sama selain itu, injeksi intradermal yaitu diantara epidermis
dan hipodermis. Injeksi ini jarang digunakan untuk pengobatan, biasanya digunakan untuk
penegakan diagnosis seperti tes tuberkulin atau untuk tes alergi obat.

RUTE LAINNYA

Rute lainnya adalah secara transdermal, dimana senyawa obat aktif menembus kulit untuk
kemudian masuk ke dalam peredaran darah sistemik. Biasanya absorpsi obat dengan rute ini
berjalan dengan sangat lambat dan dapat menghindari first pass hepatic effect sehingga biasanya
digunakan untuk memperlama durasi aksi obat. Kecepatan absorpsi pada pemberian obat ini juga
tergantung pada bagian kulit yang diaplikasikan, karena beberapa bagian kulit adalah epitelium
berlapis, kecepatan absorpsi terjadi lebih lambat, begitu juga dengan jumlah yang diabsorpsi
lebih sedikit. Pada rute transdermal, absorpsi dapat meningkat jika terjadi peningkatan suhu,
sehingga dapat terjadi juga peningkatan toksisitas jika digunakan oleh pasien dengan kondisi
demam

Nasal mukosa juga merupakan salah satu rute pemberian obat dengan area permukaan yang
cukup luas, kaya akan pembuluh darah menyebabkan kecepatan absorpsi yang cukup cepat.
Selain itu, rongga hidung juga berhubungan dengan sistem saraf pusat, yang menjadikan rute ini
mulai digunakan untuk obat-obat yang memiliki target sistem saraf pusat. Namun, perlu
diperhatikan besarnya molekul obat, karena epitel di rongga hidung memiliki silia yang dapat
mengeluarkan molekul yang terlalu besar.

DOSIS OBAT

Tentunya obat dapat diberikan dosis tunggal, dosis berulang, dan juga infus kontinu yang
diberikan secara konstan dengan dosis tunggal, konsentrasi obat akan meningkat tajam kemudian
turun seiring dengan proses metabolisme dan ekskresi. Tanpa pemberian ulangan, maka
konsentrasi obat akan terus menurun dan hilang dari peredaran darah sistemik sesuai dengan
waktu paruhnya. Namun, dengan pemberian dosis berulang, konsentrasi obat kembali mencapai
puncak dan kembali turun. Diharapkan dosis berulang ini akan terus berada dalam rentang efek
terapeutik namun tidak sampai efek toksik. Jika pengulangan terlalu lama dan konsentrasi obat
jauh di bawah konsentrasi efek terapeutik, pemberian obat tidak akan terlalu efektif, seperti pada
pemberian antibiotik. Biasanya pada pemberian antibiotik, kita memerlukan loading dose yaitu
dosis tinggi yang langsung mencapai konsentrasi efek terapeutik pada pemberian pertama.
Pemberian berulang tanpa loading dose juga biasa diberikan. Pada pemberian ini, konsentrasi
obat perlahan meningkat hingga mencapai konsentrasi efek terapeutik setelah beberapa kali
penggunaan. Setelah pemberian obat dihentikan, konsentrasi obat akan mulai menurun sesuai
waktu paruhnya. Sementara pada pemberian infus kontinu, obat diberikan secara intravena dalam
kurun waktu yang konstan selama beberapa jam. Biasanya pemberian ini menggunakan alat yang
dapat mengatur volume obat yang masuk ke dalam tubuh. Secara perlahan, obat mulai
terakumulasi di dalam plasma dan hingga waktu tertentu dapat mencapai konsentrasi terapeutik.
Setelah mencapai konsentrasi terapeutik, konsentrasi obat tidak lantas menurun karena
pemberian masih berjalan, efek toksik pun dapat diminimalisir karena lambatnya pemberian
obat.

SIFAT/FORMULASI OBAT

Sifat obat sangatlah memengaruhi konsentrasi obat dalam plasma, terutama obat yang
diberikan secara per oral. Obat-obatan yang mudah diabsorpsi adalah obat-obatan ukuran yang
bersifat lipofilik (suka lemak), nonpolar, tidak terionisasi, dan yang kecil. Karena membran sel
tubuh manusia terdiri dari lemak/ lipid bilayer, maka semakin larut lemak, senyawa obat ini
semakin mudah melewati membran ini. Lain halnya jika senyawa obat bersifat larut air, maka
akan semakin sulit diabsorpsi, kecuali dengan transporter tertentu. Molekul yang larut lemak
cenderung bersifat nonpolar dengan hidrokarbon yang cukup besar di sisi luar sehingga tidak
larut dalam air

Karena kebanyakan obat adalah asam lemah atau basa lemah, obat- obatan ini akan
terdisosiasi dan terionisasi pada cairan tubuh. Obat yang terionisasi bersifat polar dan tidak larut
lemak sehingga sulit berdifusi. Berkebalikan dengan molekul yang bermuatan (terionisasi),
molekul yang tidak bermuatan (tidak terionisasi) akan lebih mudah melewati membran sel
karena bersifat non-polar dan larut lemak. Derajat ionisasi dapat diartikan sebagai perbandingan
antara zat yang terionisasi dengan zat awal. Derajat. disosiasi sebuah obat tergantung pada pKa
obat dan pH cairan

TRANSPORTASI MOLEKUL

Untuk dapat diabsorpsi, ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh molekul obat melewati
sel membran. Namun sebelumnya, perlu diingat bahwa sel membran mamalia, termasuk manusia
terdiri dari lipid bilayer, yang terdiri dari dua lapis fosfolipid dengan protein diantaranya.
Protein-protein ini salah satunya berperan dalam transportasi molekul agar dapat masuk ke dalam
sel. Ada beberapa cara transportasi molekul obat sebagai berikut:

1. Transport pasif atau yang biasa disebut sebagai difusi sederhana (simple diffusion)

Pada transportasi ini, molekul obat dapat dengan bebas melewati membran sel. Kecepatan difusi
dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel, luas area membran,
dan permeabilitas membran. Semakin besar perbedaan konsentrasi pada kedua sisi membran,
semakin luas area membran, dan semakin besar permeabilitas membran, maka semakin cepat
proses difusi. Namun proses ini berbanding terbalik dengan ketebalan membran, semakin tebal
membran sel, maka semakin lambat proses difusi. Kebanyakan obat ditransportasikan melalui
difusi sederhana. Bagi obat yang lebih larut lemak atau hidrofilik, akan lebih mudah melewati
lipid bilayer, lebih banyak yang ditransportasikan, lebih cepat juga kecepatan difusinya. Namun,
karena di kedua sisi membran sel kebanyakan terdiri dari air, obat juga perlu larut dalam air
untuk dapat mencapai target yang diinginkan

Beberapa karakteristik difusi sederhana adalah mengikuti gradien konsentrasi suatu obat ketika
konsentrasi yang lebih tinggi akan berdifusi ke konsentrasi lebih rendah, solubilitas obat ketika
obat yang non-polar dan larut lemak akan mudah berdifusi, dan derajat disosiasi dan ionisasi
obat ketika molekul yang tidak bermuatan atau tidak terionisasi akan mudah berdifusi.
Karakteristik lainnya adalah proses ini tidak memerlukan energi, tidak memerlukan karier
protein, serta tidak terdapat inhibitor kompetitif.

Selanjutnya, proses transportasi obat secara pasif adalah filtrasi. Proses transportasi pasif ini
terjadi melalui aqueous channels. Molekul dengan ukuran lebih kecil dari kanal atau pori, dapat
melewati kanal ini karena perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik. Molekul akan
ditransportasikan dari tekanan yang lebih tinggi ke yang lebih rendah. Salah satu contoh dari
filtrasi adalah proses filtrasi di glomerulus dan di pembuluh darah kapiler

2. Menggunakan protein carriers

Banyak protein transmembran pada membran sel yang mengatur keluar masuknya molekul
seperti ion, metabolit, neurotransmitter, dan sebagainya ke dalam dan dari dalam sel. Obat dapat
berikatan dengan protein ini dan kemudian terjadilah perubahan struktur yang memungkinkan
obat untuk melewati protein ini dan kemudian masuk ke dalam sitoplasma. Ciri khas dari
transportasi ini adalah sifatnya yang selektif dan kompetitif. Protein transmembrane ini dapat
diibaratkan seperti perahu yang membawa penumpang menyeberang dari satu sisi sungai ke sisi
yang lain. Kecepatan dan jumlah molekul yang ditransportasikan tergantung pada protein carrier
dan juga jumlah obatnya, atau jumlah perahu dan juga jumlah penumpang

3. Transportasi Aktif

Berbeda dengan transport pasif, transport aktif membutuhkan energi untuk memindahkan
molekul dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Ciri khas lainnya adalah saturabilitas dan
penghambatan kompetitor. Berdasarkan arah transportasinya, transport aktif dibagi menjadi
transportasi efflux (keluar dari sel) dan transportasi influx (masuk ke dalam sel), keduanya
difasilitasi oleh protein yang disebut sebagai transporter
Pada proses absorpsi dan ekskresi, transporter efflux yaitu p-glycoprotein (P-gp) berperan untuk
mengeluarkan obat yang telah diabsorpsi untuk kembali ke dalam lumen. Secara fisiologis,
transporter efflux ini untuk melindungi organ-organ tubuh dari zat asing yang masuk ke dalam
tubuh, termasuk obat. Pada proses absorpsi, setelah obat mampu menembus sel epitelium usus,
p-gp kemudian mengeluarkannya kembali. Begitu pula saat obat menembus sel endothelium
pembuluh darah otak, P-gp kemudian mengeluarkannya sehingga obat tidak mencapai cairan
cerebrospinal. Pun di ginjal, saat proses re-absorpsi, obat yang seharusnya diambil kembali oleh
sel epitel tubulus distal, kembali dikeluarkan ke dalam urine oleh p-gp. Transporter ini juga
didapatkan di hepar, plasenta, testis, dan juga organ lainnya. Protein yang merupakan bagian dari
ATP-binding cassette family (ABC) dikenal juga dengan nama multiple drug resistant protein
tipe 1 (MDRI). Gen ini berperan dalam berbagai macam resistansi obat-obatan seperti antibiotik
dan antikanker. Beberapa obat-obatan juga telah diketahui dapat menginduksi maupun
menginhibisi ekspresi dan produksi transporter ini sehingga beberapa interaksi obat telah
ditemukan terkait hal

Sementara transporter influx memfasilitasi translokasi nutrisi, xenobiotik, obat, termasuk


vitamin, glukosa, asam amino, dan zat lainnya untuk masuk ke dalam sel. Beberapa tipe
transporter influx telah ditemukan, termasuk organic cation transporters polypeptide (OCTP) dan
organic anion transporters polypeptide (OATP). OATP ini banyak diekspresikan di sel epitel,
termasuk hepar, usus, paru-paru, ginjal, serta otak. Sebagai contoh adalah transport ini
memfasilitasi masuknya obat golongan statin untuk masuk ke dalam hepar yang kemudian akan
mengalami metabolisme. Obat golongan sisklosporin A, rifampisin, rifamisin SV, klaritromisin,
and indinavir termasuk penghambat transporter ini, sehingga menghambat ambilan dan juga
metabolisme dari obat golongan statin. Walaupun efektivitasnya menurunkan kadar kolesterol
menjadi meningkat, namun efek samping rabdomiolisisnya ikut meningkat, sehingga perlu
menjadi perhatian

Eliminasi akan tetap. Misalnya adalah pada etanol, fenitoin dosis tinggi, aspirin dan salisilat
dosis tinggi, cisplatin, omeprazol, fluoksetin, warfarin, serta heparin. Hal ini biasanya terjadi saat
konsentrasi obat mencapai 100% enzim saturasi. Dan saat dimasukkan ke dalam kurva CT, akan
didapatkan garis lurus, karena jumlah yang dieliminasi selalu sama. Namun, apabila dimasukkan
dalam kurva semilogaritmik, akan didapatkan garis lengkung sehingga dikenal juga sebagai non-
linear kinetic.
BAB IV
KLASIFIKASI OBAT

DEFINISI DAN CAKUPAN

Farmakologi secara harfiah berasal dari istilah yunani farmakon dan logos, yang berarti ilmu
tentang obat. Oleh sebab itu, perlu dipahami pengertian dari obat yang menjadi objek sentral
dalam farmakologi. Obat adalah suatu senyawa kimia yang telah diketahui strukturnya, tidak
termasuk nutrisi atau bahan pangan esensial, yang bila diberikan kepada organisme hidup, dapat
menghasilkan efek biologis tertentu. (dkk, 2020)

Vitamin mineral yang dikonsumsi untuk pemenuhan kebutuhan gizi harian tidak menjadi topik
bahasan dalam farmakologi. Tentu definisi ini tidaklah rigid. Beberapa vitamin mineral yang
diberikan dengan tujuan pengobatan atau ajuvan obat tetap dibahas dalam farmakologi. Sebagai
contoh pemberian vitamin D pada kasus osteoporosis atau Fe pada anemia. Ekstrak herbal
dengan sekian banyak kandungan zat aktif di dalamnya tidak dikategorikan sebagai obat, namun
zat isolatnya yang telah dioptimasi dan melalui serangkain uji praklinis dan klinis dan telah
disetujui oleh badan otoritas seperti US Food and Drug Administration (USFDA) dikategorikan
sebagai obat. Sebagai contoh ipratoropium, obat bronkodilator untuk mengatasi sesak pada asma
bronkial berasal dari alkaloid Atropa belladonna, analgesik opioid morfin dan kodein dari
alkaloid Papaver somniverum. Dapat dikatakan bahwa Sebagian besar obat yang ditemukan dan
dikembangkan pada abad

Sebagian besar obat yang ditemukan dan dikembangkan pada abad 20 berasal dari tanaman, yang
secara tradisional telah dimanfaatkan untuk pengobatan selama berabad-abad lamanya. Efek
biologis yang dihasilkan oleh interaksi obat dengan organisme dapat berupa khasiat terapi
maupun efek toksik yang dialami pasien, maupun efek toksik terhadap organisme patogen yang
menjadi penyebab penyakit. Efek toksik terhadap sistem dan fungsi organ, menjadi pembahasan
sentral toksikologi medis, yang merupakan bagian dari toksikologi, yang awalnya merupakan
cabang ilmu farmakologi. Meski demikian, toksikologi saat ini berkembang lebih luas, tidak
hanya mempelajari efek toksik dari senyawa kimia terhadap sistem biologis, namun juga agen
fisik misalnya radiasi dan perspektifnya juga meluas ke pengaruh dan mekanisme agen toksik
terhadap ekosistem

Obat dapat berupa senyawa kimia sintetik contohnya parasetamol (N-asetil-p-aminofenol) yang
disintesis dari 4-nitrofenol yang awalnya ditemukan dari produk limbah zat pewarna. Obat juga
dapat berasal dari senyawa alamiah tumbuhan, misal vinkristin dan vinblastin yang berasal dari
alkaloid daun tapak dara. Antikoagulan heparin yang diproduksi dari mukosa usus babi atau paru
sapi adalah contoh obat yang berasal dari hewan. Fungi juga merupakan sumber obat yang
penting, seperti halnya Penicillum notatum yang menjadi sumber penisilin. Bakteri sebagai
contoh Nocardia mediterranei juga merupakan sumber obat yaitu antituberculosis rifampisi.
Sejak ditemukan pada era 1970an, tekonologi rekayasa genetik telah banyak berkontribusi bagi
pengembangan dan produksi obat, seperti human insulin untuk terapi diabetes melitus,
eritropoietin untuk anemia, maupun faktor koagulasi VIII dan IX untuk hemofilia

KLASIFIKASI OBAT

Dalam lingkup farmakologi medis, sebagai perspektif utama dalam pembahasan buku ajar ini,
obat diartikan sebagai senyawa yang dipergunakan untuk diagnosis, pencegahan dan terapi
penyakit. Contoh obat yang digunakan untuk tujuan diagnosis penyakit adalah medium
radiokontras yang disuntikkan secara intravena, yang bila mencapai target organ yang diperiksa
akan membantu memperjelas gambaran radiologis. Sebagai contoh pemeriksaan CT-scan atau
MRI kepala untuk melihat gambaran massa tumor di otak. Sedangkan untuk pencegahan,
misalnya penggunaan antibiotik profilaksis sebelum pembedahan. Penggunaan obat untuk terapi
dapat dikategorikan terapi simtomatik dan etiologis. Obat untuk terapi simtomatik adalah obat
yang efek klinisnya meredakan tanda atau gejala penyakit, sedangkan terapi etiologis artinya
dapat mengatasi dasar patologis penyebab penyakit. Terapi simtomatik antara lain antipiretik
(pereda demam), analgesik (antinyeri), antiemetik (anti muntah), dan sebagainya. Terapi
etiologis misalnya antibiotik, antivirus, antijamur, antikanker, dan sebagainya. Sebagai contoh,
pada pasien yang mederita demam tifoid, antipiretik parasetamol adalah obat simtomatik,
sedangkan terapi etiologisnya adalah yang dapat mengatasi agen penyebab penyakit dalam hal
ini adalah antibiotik terhadap Salmonella

Peraturan menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 tentang
standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit menyebutkan definisi obat yakni adalah bahan
atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk memengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.
Obat yang beredar di pasaran dapat mengandung satu senyawa aktif atau paduan beberapa
senyawa aktif sebagaimana yang anda temukan pada obat flu yang dapat mengandung
antipiretik, antihistamin dan dekongestan nasal dalam satu tablet. Sebenarnya sediaan obat tidak
semata mengandung zat aktif, terdapat zat pembawa (vehikulum), penstabil, zat tambahan
perasa, ataupun pengawet yang berfungsi untuk meningkatkan kestabilan zat aktif serta
kenyamanan dalam konsumsinya. Dalam pengertian permenkes tersebut agen kontrasepsi yang
mengandung hormon reproduksi dapat dikategorikan sebagai obat. Sebagai contoh kontrasepsi
oral yang mengandung kombinasi etinil estradiol dan progestin yang merupakan turunan dari
estradiol dan progresteron alami yang dihasilkan ovarium. Pemberian estrogen dan progesteron
dari luar dapat memberikan umpan balik untuk menurunkan kadar follicle stimulating hormone
(FSH), yang pada akhirnya dapat mencegah ovulasi dan mencegah kehamilan

Dalam pengertian ini, beberapa obat memang berasal dari senyawa endogen tubuh y yang
dihasilkan secara fisiologis. Didefinisikan sebagai obat bila senyawa endogen tersebut secara
sengaja diberikan dari luar misalnya untuk mengatasi defisiensi seperti halnya pemberian
hormon insulin atau tiroksin atau mengatur fungsi reproduksi sebagaimana kontrasepsi
hormonal. Beberapa obat yang dibahas dalam buku ini tidak dipergunakan untuk kepentingan
medis sebagaimana definisi di atas. Penggunaannya semata untuk kepentingan penelitian,
sebagai contoh asetilkolin dan histamin. Tetap dibahas sebagai dasar pemahaman
farmakodinamik untuk obat yang bekerja pada reseptor yang sama

Ada anggapan yang keliru dari sebagian masyarakat yang menganggap bahwa obat generik
adalah obat yang dijual dengan harga murah sehingga kemanjurannya dipertanyakan, sedangkan
obat paten harganya mahal dan lebih manjur. Food and Drug Administration (FDA)
mendefinisikan obat generik sebagai produk farmasetikal, yang dipersyaratkan memiliki
kesamaan dalam hal senyawa aktif, keamanan, efektivitas, kekuatan, kualitas, dan manfaat
dengan produk inovator atau yang dikatakan sebagai obat paten sehingga dapat mensubstitusi
produk inovator tersebut, serta dapat diproduksi tanpa lisensi dari perusahaan yang pertama kali
mengembangkan dan memproduksi produk inovator/ originator, dan dapat dipasarkan setelah
masa patennya habis. Idealnya obat generik memilki kualitas setara atau bioekuivalen dan
ekuivalen terapetik dengan obat paten, namun lebih murah karena persaingan bisnis dari banyak
perusahaan farmasi yang memproduksinya. Sedangkan obat paten yang mahal tentunya
disebabkan biaya yang dikeluarkan untuk proses penemuan dan pengembangan obat

Istilah generik juga merujuk pada nama generik atau international nonproprietary name yang
berarti nama untuk senyawa aktif obat yang telah ditentukan oleh komite ahli dan dikenali secara
internasional di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 085/Menkes/Per/1989
ditetapkan bahwa obat generik adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam
Farmakope Indonesia dan International Nonproprietary Names dari WHO untuk zat berkhasiat
yang dikandungnya. Dalam Permenkes RI No. 988/Menkes/SK/VIII/2004 tentang nama generik
pada label obat disebutkan bahwa pada label obat harus memuat nama generik dan nama dagang,
yang mana nama generik ditampilkan tepat di atas nama dagang dengan ukuran huruf yang satu
nomor lebih besar daripada nama dagang. Dalam pembelajaran farmakologi, nama obat yang
perlu dihafalkan adalah nama generik, mengingat satu jenis obat dapat diproduksi oleh sekian
banyak perusahaan farmasi dengan nama dagang yang berbeda saat paten dari suatu produk
originator habis.

Berdasarkan sifat molekulnya obat dikategorikan sebagai obat konvensional yang molekulnya
sederhana, contohnya aspirin yang merupakan molekul asam asetil salisilat dan produk biologis
yang memiliki struktur kompleks. Berdasarkan Perka BPOM RI No 17 TAHUN 2015 tentang
pedoman penilaian produk biosimilar, yang dimaksud produk biologis adalah vaksin,
immunosera, antigen, hormon, enzim, produk darah dan produk hasil fermentasi lainnya
(termasuk antibodi monoklonal dan produk yang berasal dari teknologi rekombinan DNA) yang
digunakan untuk memengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penyembuhan, pemulihan dan peningkatan kesehatan. Contoh produk biologis adalah
insulin, dan yang baru saja disetujui oleh FDA pada 2022 adalah CARVYKTI (ciltacabtagene
autoleucel), terapi sel-T dengan chimeric antigen receptor (CAR) autolog yang dimodifikasi
secara genetik yang mentarget B-cell maturation antigen (BCMA). Obat ini diindikasikan untuk
myeloma multipel relaps atau refrakter tampaknya tren pengembangan obat pada abad 21 adalah
dari kelompok produk biologi atau biofarmasetikal

Perbedaan utama produk biologis dengan obat konvensional terletak pada kompleksitas
struktur molekul dan proses produksi. Produk biologis dihasilkan oleh mikroorganisme atau sel
mamalia, sedangkan obat konvensional melalui sintesis kimiawi. Dan perkembangan saat ini
pada organisme sumber produk biologis tersebut, dilakukan manipulasi genetik. Karena
bersumber dari organisme hidup, isu utama produk biologis ada pada penjagaan kualitas dan
konsistensi produk. Produk biologis lebih mudah rusak atau berubah dan membutuhkan kondisi
penyimpanan yang lebih rumit. Kemunculan generiknya, yang disebut biosimilar membutuhkan
pendekatan yang berbeda dengan obat konvensional karena reprodusibilitas dalam proses
produksi yang sulit dicapai. Oleh sebab itu, proses pemeriksaan ekuivalensinya terhadap produk
originator jauh lebih kompleks

Penggolongan obat berdasarkan mekanisme kerjanya, baik pada level organ atau jaringan,
misal bronkodilator (obat yang melebarkan bronkus) dan vasodilator (melebarkan pembuluh
darah), maupun level sel atau molekular, seperti agonis B ₂ dan inhibitor fosfodiesterase.
Terkadang obat digolongkan berdasarkan struktur molekulnya, misalkan obat simpatomimetik
katekolamin dan non-katekolamin yang menunjukkan keberadaan cincin katekol pada
strukturnya. Memahami penggolongan obat akan membantu anda untuk menghafal nama obat
berikut profil farmakologisnya. Dalam tiap golongan tersebut terdapat kemiripan dalam hal nama
obat, mekanisme kerja dan struktur molekulnya, sehingga terdapat kemiripan farmakokinetik dan
farmakodinamik. Anda selanjutnya dapat mempelajari karakteristik khas dari tiap obat yang
membedakan dengan obat lain dalam satu golongan yang sama. Sebagai contoh antihipertensi
inhibitor ACE, ada kaptopril, lisinopril, enalapril dsb, tentu farmakodinamika obat tersebut sama,
maka yang membedakan adalah aspek farmakokinetik dan posologinya. Berdasarkan Permenkes
No. 917/MENKES/PER/X/1993,

Penggolongan obat antara lain obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, psikotropika dan
narkotika. Untuk pengertian dari golongan obat tersebut akan dibahas pada bab tersendiri. pada
prinsipnya penggolongan ini bertujuan untuk meregulasi peredaran obat demi keamanan
masyarakat sebagai konsumen obat. Peraturan ini diperbarui dengan adanya tambahan golongan
obat wajib apotik.
Farmakologi secara luas diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari senyawa yang
berinteraksi dengan sistem kehidupan, dari yang terendah yaitu virus hingga manusia, dari level
molekuler hingga organisme. Senyawa yang secara umum disebut "obat" adalah objek kajian
dalam farmakologi. Dalam hal ini yang dipelajari adalah sifat fisikokimia, aspek pembuatan
sediaan, farmakokinetik, farmakodinamik, posologi dan penggunaan klinis. Dengan demikian,
farmakologi adalah ilmu pengetahuan yang perkembangannya ditunjang oleh ilmu lainnya
seperti ilmu kimia, ilmu biomedik seperti fisiologi, biokimia, biomolekular, patologi dan
mikrobiologi serta ilmu farmasi. Ruang lingkup utama farmakologi adalah farmakokinetik dan
farmakodinamik (definisi keduanya akan dibahas pada bab berikutnya), namun tanpa melupakan
aspek fisikokimia obat yang banyak menentukan farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat
tersebut. Sebagai contoh perbedaan struktur molekul antara epinefrin dan norepinefrin hanya
terletak pada tambahan 1 gugus metil pada epinefrin, namun ini menyebabkan aktivitas epinefrin
terhadap reseptor adrenergik B2 jauh lebih besar dan berkontribusi terhadap efek bronkodilator
yang dimiliki epinefrin dalam hal pembuatan sediaan sebenarnya merupakan ruang lingkup ilmu
farmasi, namun dalam keterampilan penulisan resep, pengetahuan ini sangat penting bagi dokter
agar dapat meresepkan bentuk sediaan obat yang tepat.

Sebenarnya, telah lama manusia mengenali adanya senyawa yang terkandung dalam tanaman
yang dapat memengaruhi fungsi biologis, yang dapat dimanfaatkan sebagai pengobatan atau
dipandang sebagai racun. Beberapa masih dimanfaatkan untuk pengobatan modern, contohnya
efedrin dari tanaman efedra yang dikenal sebagai ma huang dalam pengobatan tradisional Cina.
Meski demikian, farmakologi mulai dikembangkan pada abad 18. Materia medica-ilmu
pengetahuan mengenai preparasi obat dan penggunaannya di bidang medis, menjadi cikal bakal
farmakologi. Pengembangan ilmu ini terkendala oleh belum adanya metode isolasi senyawa aktif
dari material tanaman. Kemajuan di bidang ilmu kimia dan fisiologi pada abad 18-20 menjadi
peletak pondasi dari studi mekanisme kerja obat pada level organ dan jaringan. Pada era 1940-
1950-an, terjadi kemajuan pesat penelitian di semua bidang biologi, yang menunjang
perkembangan farmakologi dengan bertambahnya pengetahuan mengenai mekanisme kerja obat,
serta substrat biologis yang menjadi targetnya, yang kita kenal

Farmakologi molekular terus berkembang dengan banyaknya ditemukan reseptor "orphan"


yang terus dicari molekul ligannya untuk dikembangkan sebagai kandidat obat. Bioteknologi
juga berperan dalam pengembangan farmakologi untuk produk biologis. Dan saat ini kajian
farmakologi berkembang menjadi kajian tersendiri seperti farmakogenomik,
farmakogenetik ,farmakoepidemiologi dan bahkan beririsan dengan ilmu ekonomi kesehatan
dalam farmakoekonomi

Farmakologi medis adalah ilmu kedokteran yang menjembatani bidang kedokteran pre-klinik
dengan kedokteran klinik. Pengetahuan farmakologi dasar dan farmakologi klinis penting dalam
upaya membangun penalaran klinis mahasiswa dalam penatalaksanaan masalah pasien, terutama
pemilihan obat yang tepat. Dengan mempelajari farmakologi, diharapkan mahasiswa mampu
memilih obat yang rasional berdasarkan kondisi pasien, Baik tepat jenis, dosis, bentuk sediaan,
waktu dan pemberian obat. Untuk mencapai kompetensi tersebut, mahasiswa terlebih dulu perlu
memahami penggolongan jenis obat, farmakokinetik, famakodinamik, dan efek klinis yang
meliputi efek terapi dan efek samping yang mungkin terjadi. Pengetahuan tersebut merupakan
dasar pembentukan keterampilan penulisan resep secara rasional dan bijak, yang merupakan
bagian dari pilar kompetensi dokter berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia (SKDI)

Berdasarkan obat yang bekerja pada sistem organ, prinsip dasar farmakologi yaitu
farmakokinetik dan farmakodinamik sebagai dasar dari respons obat, kemudian juga akan
dibahas obat-obatan yang bekerja pada sistem saraf otonom yang menginervasi sebagian besar
organ viseral, termasuk kordiovaskular dan respirasi. Secara khusus dibahas obat yang
digunakan untuk penyakit sistem kardiovaskular dan sistem respirasi. Obat antitrombosis dan
hemostatik, antinyeri, dan anti inflamasi non steroid, serta antihistamin akan dibahas juga pada
buku pertama ini. Variasi dalam respons obat berdasarkan variasi genetik dipaparkan dalam
topik farmakogenomik. Interaksi obat dipaparkan pada bagian akhir dari buku ajar ini. Materi
lain yang belum tercakup pada buku pertama buku ajar farmakologi ini, akan tercakup pada buku
selanjutnya. Untuk meningkatkan pemahaman peserta didik, buku ini dilengkapi dengan gambar,
bagan, dan tabel. Selain itu, latihan soal diberikan sebagai bahan evaluasi pemahaman peserta
didik. Peserta didik dapat mengevaluasi jawabannya pada pembahasan latihan soal dan kasus
yang disediakan.
BAB V
PERTIMBANGAN FARMAKOLOGI DALAM
PEMBERIAN TERAPI INTRAVENA

A. TERAPI INTRAVENA

1. Pengertian

Terapi intravena merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan dengan cara memasukkan
cairan melalui intravena dengan bantuan infus set yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
cairan dan elektrolit tubuh (Tamsuri,2008). Pemasangan infuse adalah tindakan pemasangan
kateter intravena pada vena tertentu untuk memberikan terapi intravena. Terapi intravena
digunakan untuk mengoreksi berbagai kondisi pasien, terutama dalam hal pemasukan peroral
tidak adekuat, ketidakseimbangan elektrolit, kurangnya nutrient tubuh, untuk medikasi secara IV
dan untuk memasukkan produk darah (Craven &Hirnle, 2000).

Selain itu terapi intravena diberikan untuk memperbaiki atau mencegah ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit pada penyakit akut dan kronis dan juga digunakan untuk pemberian obat
intravena (Potter dan Perry, 2005).

2. Tujuan Terapi Intravena

Tujuan utama terapi intravena diberikan pada pasien menurut Sugiarto (2006) adalah:

a. Mengembalikan dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.


b. Memberikan obat-obatan dan kernoterapi.
c. Transfusi darah dan produk darah.
d. Memberikan nutrisi parenteral dan suptemen nutrisi.
3. Indikasi Terapi Intravena

Selain untuk pemberian cairan, pemasangan intravena juga berfungsi untuk pemberian obat IV
dengan indikasi yaitu:

a. Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung masuk ke
dalam jalur peredaran darah. Misalnya, pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah
(sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun
sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius,
rumah sakit rnemberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral pada
kebanyakan pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika
intravena, dan lebih menguntungkan dan segi kemudahan administrasi RS, biaya perawatan. dan
lamanya perawatan.

b. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui
mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalarn sediaan intravena (sebagai obat suntik).
Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan kimiawinya “polications” dan
sangat polar, sehingga tidak dapat diserap rnelalui jalur gastrointestinal di usus hingga Maka
harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.

c. Pasien tidak dapat minum obat karena rnuntah, atau memang tidak dapat menelan obat (ada
sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu dipertirnbangkan pemberian
rnelalui jalur lain sepe rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan
intramuscular (disuntikkan di otot).

d. Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak atau obat masuk ke pernapasan),
sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.

e. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus
(suntikan langsung ke pembuluh balik atau vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam
darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam
nyawa, pada penderita diabetes melitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian
antibiotika melalui infus atau suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki
bioavailabilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk
membunuh bakteri.
Dari uraian di atas dapat diketahui hahwa pemberian atau pemasangan terapi intravena harus
sesuai indikasi pada keadaan-keadaan tertentu dan berfungsi untuk pemberian obat intravena.
Secara garis besar, Sugiarto (2006) menyimpulkan bahwa indikasi pemasangan terapi intravena,
yaitu:

1) Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).

2) Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah terbatas.

3) Pemberian kantong darah dan produk darah.

4) Pemberian obat yang terus-menerus (continiu).

5) Upaya profilaksis (tindakan pencegahan sebelum prosedur (misalnya pada operasi besar
dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga
untuk memudahkan pemberian obat).

6) Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya resiko dehidrasi (kekurangan
cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba). sehingga
tidak dapat dipasang jalur infus.

4. Keuntungan dan Kerugian Terapi Intravena

a. Keuntungan

Menurut Sugiarto (2006), terapi intravena mempunyai keuntungan sebagai berikut :

1) Efek terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat target berlangsung
cepat.

2) Absorsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat diandalkan.

3) Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik dapat dipertahankan maupun
dimodifikasi.

4) Rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuscular atau subkutan dapat
dihindari.

5) Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena molekul yang besar,
iritasi atau ketidak stabilan dalam traktus gastrointestinalis.

b. Kerugian

Sugiarto (2006) mengatakan hahwa terapi intravena mempunyai kerugian sebagai berikut:

1. Tidak bisa dilakukan “drug recall” dan rnengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas
dan sensitivitas tinggi.
2. Kontrol pemberian yang tidak baik bisa rnenyebabkan “speed shock”.

3. Komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi
dalam periode tertentu, iritasi vascular seperti flebitis mekanik dan kimia, inkompabilitas obat
dan interaksi dari berbagai obat tambahan.

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terapi Intravena

a. Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Sisi Penusukan Vena

Menurut Sharon dalam Sugiarto (2006) ada beherapa faktor yang mempengaruhi pemilihan sisi
penusukan vena, yaitu:

1) Umur pasien; misalnya pada anak kecil. pemilihan sisi adalah sangat penting dan
mempengaruhi berapa larna IV perifer berakhir.

2) Prosedur yang diantisipasi; misalnya jika pasien harus menerirna jenis terapi tertentu atau
mengalami beberapa prosedur seperti pembedahan. pilih sisi yang tidak terpengaruhi apapun.

3) Aktivitas pasien; misalnya gelisah, bergerak. tak bergerak dan perubahan tingkat kesadaran.

4) Terapi IV sebelumnya; flebitis sebelumnya membuat vena tidak baik untuk digunakan.
Kemoterapi juga dapat membuat vena menjadi buruk (mudah pecah).

5) Sakit sebelumnya, misalnya jangan digunakan ekstrimitas yang sakit pada pasien stroke.

6) Kesukaan pasien; jika mungkin pertimbangkan kesukaan alami pasien untuk sebelah kiri atau
kanan.

7) Torniquet; gunakan 4 sampai 6 cm di atas titik yang diinginkan.

8) Membentuk genggaman; minta pasien membuka dan menutup genggaman berulang-ulang.

9) Posisi tergantung; gantung lengan pada posisi menggantun (rnisalnya dibawah batas jantung).
b. Pemilihan Kanula untuk Infus Perifer

Menurut Prajitno dalam Sugiarto (2006), pemilihan kanul dapat mempengaruhi terapi infus
perifer, antara lain:

1) Kanula plastik boleh digunakan untuk IV secara rutin, pemasangan tidak boleh Iebih dan 48-
72 jam.

2) Kanula logam digunakan bila kanula plastik tidak mungkin diganti secara rutin setiap 48-72
jam, namun untuk kasus tertentu yang memelihara fiksasi yang baik harus digunakan kanula
plastik.

c. Pemilihan Lokasi Pemasangan IV

Pemilihan lokasi pemasangan infus menurut Sharon dalam Sugiarto (2006) adalah :

1) Pada orang dewasa pemasangan kanula lebih baik pada lengan atas dan pada lengan bawah,
bila perlu pemasangan dilakukan di daerah sub klavikula atau jugularis.

2) Vena tangan paling sering digunakan untuk terapi IV yang rutin.

3) Vena lengan, periksa dengan teliti kedua lengan sebelum keputusan dibuat

4) Vena lengan atas, juga digunakan untuk terapi IV.

5) Vena ekstremitas bawah, digunakan hanya menurut kebijaksanaan institusi.

6) Vena kepala, digunakan sesuai kebija institusi, sering dipilih pada bayi dan anak.

d. Persiapan Psikologis pada Pasien

Persiapan psikologis pada pasien juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pemasangan intravena (Sharon dalarn Sugiarto, 2006), yaitu:

1. Jelaskan prosedur sebelum melakukan dan berikan penyuluhan jika diperlukan.

2. Berikan instruksi tentang perawatan dan keamanan IV.

3. Gunakan terapi bermain untuk anak kecil.

4. Dorong pasien untuk mengajukan pernyataan atau masalah.


e. Persiapan Pemasangan IV

Adapun persiapan pemasangan IV menurut Prajitno dalam Sugiarlo (2006) adalah:

1) Tempat yang akan dipasang kanula terdahulu didesinfeksi dengan antiseptik.

2) Gunakan Yodium Tinture 1-2 % atau dapat juga menggunakan Klorheksidine, lodofer atau
alkohol 70 %. Antiseptik secukupnya dan ditunggu sampai kering minimal 30 detik sebelum
dilakukan pemasangan kanula.

3) Jangan menggunakan heksalurofen atau campuran semacam benzalkonium dalam air untuk
desinfeksi tempat tusukan.

f. Prosedur Pemasangan Infus

Prosedur pemasangan terapi intravena menurut Sharon dalam Sugiarto (2006) adalah:

1) Lakukan pemilihan sisi dan pakai sarung tangan.

2) Pasang tourniquet di atas sisi pemasangan untuk meningkatkan pengisian vena yang lebih baik
(jika aliran arteri tidak teraba dapat disebabkan karena tourniquet terlalu ketat).

3) Siapkan kulit sesuai kebijaksanaan institusi yang diterima.

4) Pastikan kelengkapan produk misalnya jarum, kateter atau starter pack.

5) Tusukkan alat infus ke kulit, sisi potongan jarum ke arah atas dengan sudut kira kira 45 derajat
terhadap kulit. Turunkan batang jarum sarnpai menjadi sejajar dengan kulit dan dorong jarum
sarnpai vena tertembus. Aliran balik darah umumnya memastikan masuk kedalam vena.

6) Dengan perlahan angkat keseluruhan batang dan dorong ke dalam vena.

7) Untuk kateter ketika jarum introdukter, dorong kateter plastik melewati jarum ke dalam
pembuluh sementara jarum tidak bergerak. Cabut jarum introdukter, patahkan, dan buang ke
tempat yang aman. Setelah mernastikan bahwa darah mengalir.

8) Hubungkan set pemberian dan tentukan kecepatan aliran yang diinginkan.

9) Fiksasi jarum atau kateter.

10) Adalah sangat membantu untuk memberi label pada sisi IV dengan tanggal dan ukuran alat
yang digunakan dalam upaya untuk mempermudah keputusan mengenai infus atau darah.
g. Prosedur Setelah Pemasangan

Prosedur setelah pemasangan IV line menurut Prajitno dalarn Sugiarto (2006) yaitu:

1. Beri antiseptik pada tempat pemasangan terutama pada teknik insisi.

2. Kanula difiksasi sebaik-baiknya.

3. Tutuplah dengan kasa steril.

4. Cantumkan tanggal pemasangan di tempat yang rnudah dibaca (misalnya plester, penutup pipa
infus) serta pada catatan pasien yang bersangkutan tuliskan tanggal dan lokasi pemasangan.

h. Perawatan Tempat Pemasangan Infus

Adapun cara perawatan tempat pernasangan IV line menurut Prajitno dalarn Sugiarto (2006)
adalah :

1) Tempat tusukan diperiksa setiap hari untuk melihat kemungkinan timbulnya komplikasi tanpa
membuka kasa penutup yaitu dengan cara meraba daerah vena tersebut, Bila ada demarn yang
tidak bisa dijelaskan dan ada nyeri tekan pada daerah penusukan, barulah kasa penutup dibuka
untuk melihat kemungkinan komplikasi.

2) Cek setiap 8 jam apakah ada tanda-tan flebitis atau infeksi.

3) Pindahkan pemasangan IV line setiap 72 jam untuk mengurangi resiko flebitis atau infeksi
lokal.

4) Bila kanula harus dipertahankan untuk waktu lama, maka setiap 48-72 jam kasa penutup harus
diganti dengan yang baru dan steril.

5) Bila pada pemasangan kanula, tempat pemasangan diberi antiseptic maka setiap penggantian
kasa penutup, tempat pemasangan diberi antise kembali.

i. Penyulit Terapi Intra Vena

Terapi intravena dapat menyebabkan beberapa penyulit yang ringan dan dapat menyebabkan
kerusakan vena sampai yang fatal sehingga dapat menyebabkan kematian. Adapun gangguan
yang dapat terjadi pada saat terapi intravena seperti flebitis tromboflebitis, purulenta, bakteri
(Prajitno dalam Sugiarto, 2006). Selain penyakit, ada beherapa hal yang perlu diperhatikan pada
pemasangan infus melalui jalur pembuluh darah vena. Pemasangan jalur intravena memiliki
kontraindikasi sebagai berikut:
1) Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.

2) Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk
pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah).

3) Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat
(misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).

j. Komplikasi Pemasangan Infus

Ada beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan terapi IV menurut Sugiarto
(2006), yaitu:

1) Flematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah
arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum,
atau “tusukan” berulang pada daerah yang sama.

2) Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukanpernbuluh darah),
terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh

darah.

3) Flebitis, tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pernbuluh vena, terjadi akibat infus
yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar.

4) Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah. Terjadi akibat masuknya udara
yang ada dalarn cairan infus ke dalam pembuluh darah.

5) Ekstravasasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan ekstrasel

BAB VI
PERTIMBANGAN FARMAKOLOGI DALAM
PEMBERIAN TERAPI INTRAMUSCULER DAN
INTAKUTAN

Pemberian Terapi Intramusculer Dan Intakutan

A. Terapi Intra Muskular

Pengertian
TerapiIntra muscular adalah tindakan memasukan obat atau sediaan biofarmasi cair, seperti
kontrasepsi hormonal atau vaksin Cara memasukan obat ke dalam jaringan otot.

Tujuan
Pemberian obat dengan intramuscular bertujuan agar absorpsi obat lebih cepat disbanding dengan
pemberian secara subcutan karena lebih banyaknya suplai darah di otot tubuh . Agar obat dapat di
absorpsi tubuh dengan cepat

1. Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Terapi Intra Muskular


a. Tempat injeksi
b. Jenis spuit dan jarum yang digunakan
c. Dosis yang diberikan harus tepat harus benar
d. Cara pemberian obat harus tepat dan benar

2. Alat dan Bahan


a. Daftar buku obat/catatan dan jadwal pemberian obat
b. Obat dalam tempatnya
c. Spuit dan jarum. Ukuran dewasa 2,5-3 cm, untuk anak-anak 1,25 -2,5 cm
d. Kapas alkohol dalam tempatnya.
e. Cairan pelarut (aquades)
f. Bak injeksi
g. Bengkok

3. Prosedur Kerja Terapi Intra Muskular

a. Cuci tangan dan jelaskan prosedur yang akan dilakukan.


b. Ambil obat pada tempatnya sesuai dosis yang telah ditentukan Letakkan dalam bak
injeksi
c. injeksiPeriksa tempat yang akan di lakukan penyuntikan
d. Desinfeksi dengan kapas alkohol pada tempat yang akan dilakukan injeksi
e. Lakukan penyuntikan, jika daerah paha dengan cara anjurkan pasien untuk berbaring telentang.
Posisi jarum tegak.
f. Lakukan aspirasi, bila sudah ada darah lepaskan karet pembendung dan langsung
semprotkan hingga habis
g. Setelah selesai ambil spuit dengan menarik secara perlahan dan lakukan masase pada
daerah penusukan dengan pas alkohol, spuit yang telah digunakan di masukkan kedalam
bengkok.
h. Catat hasil pemberian, tanggal, waktu, dan dosis pemberian obat. Serta cuci tangan.

B. Terapi Intra kutan

Pengertian
Terapi Intra kutan adalah cara memberikan obat ke dalam jaringan kulit. Intra kutan biasanya
digunakan untuk mengetahui sensiitivitas tubuh terhadap obat yang disuntikkan.

Tujuan
Terapi Intrakutan adalah memasukkan obat ke dalam lapisan dermal kulit tepat di bawah epidermis
dengan menggunakan jarum suntik khusus. Pemberian obat intra kutan bertujuan untuk melakukan
skin test alergi jenis obat yang akan digunakan. Selain untuk tes alergi, injeksi intrakutan juga
dapat digunakan untuk tes Mantoux dan uji sensitivitas obat (misalnya terhadap antibiotik).

1.Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Terapi Intra Kutan


1. Tempat injeksi
2. Jenis spuit dan jarum yang digunakan
3. Dosis yang diberikan harus tepat.harus benar
4. Cara pemberian obat harus tepat dan benar

2. Alat dan Bahan


1. Daftar buku obat/catatan dan jadwal pemberian obat
2. Obat dalam tempatnya
3. Spuit 1 cc/spuit insulin
4. Cairan pelarut (aquades)
5. Bak injeksi dilapisi kasa steril
6. Bengkok
7. Perlak dan alasnya

3. Prosedur Kerja Terapi Intra Kutan


1. Cuci tangan dan jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
2. Buka pakaian pada daerah penyuntikan, apabila tertutup.
3. Pasang perlak/pengalas di bawah bagian yang akan disuntik
4. Ambil obat untuk tes alergi kemudian larutkan dengan aquades. Kemudian ambil kurang
lebih 1 cc dan siapkan pada bak injeksiatau steril.
5. Desinfeksi dengan kapas alkohol. Tegangkan dengan tangan kiri daerah yang akan disuntik
6. Lakukan penusukan dengan lubang jarum suntik menghadap ke atas dengan sudut 15-20 derajat
di permukaan kulit
7. Suntikkkan sampai terjadi gelembung
8. Tarik spuit dan tidak boleh dilakukan masase
9. Cuci tangan dan catat hasil pemberian obat/tes obat, waktu, tanggal dan jenis obat

BAB VII
PERTIMBANGAN FARMAKOLOGI DALAM PEMBERIAN TERAPI ORAL DAN REKTAL

1. Oral
Adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai, karena ekonomis,
paling nyaman dan aman. Obat dapat juga diabsorpsi melalui rongga mulut (sublingual
atau bukal) seperti tablet ISDN. Beberapa jenis obat dapat mengakibatkan iritasi
lambung dan menyebabkan muntah (misalnya garam besi dan salisilat). Untuk
mencegah hal ini, obat dipersiapkan dalam bentuk kapsul yang diharapkan tetap utuh
dalam suasana asam di lambung, tetapi menjadi hancur pada suasana netral atau basa di
usus. Dalam memberikan obat jenis ini, bungkus kapsul tidak boleh dibuka, obat tidak
boleh dikunyah dan pasien diberitahu untuk tidak minum antasida atau susu sekurang-
kurangnya satu jam setelah minum obat.
Metode pemberian obat per oral

1.)Persiapkan alat
a. Baki berisi obat
b. Kartu atau buku berisi rencana pengobatan
c. Pemotong obat (bila diperlukan)
d. Martil dan lumpang penggerus (bila diperlukan)
e. Gelas pengukur (bila diperlukan)
f. Gelas dan air minum
g. Sedotan
h. Sendok
i. Pipet
j. Spuit sesuai ukuran untuk mulut anak-anak

2. Prosedur kerja
1. Siapkan peralatan dan cuci tangan.
2. Kaji kemampuan klien untuk dapat minum obat per oral (menelan, mual, muntah,
adanya program tahan makan atau minum, akan dilakukan pengisapan lambung dll)
3. Periksa kembali perintah pengobatan (nama klien, nama dan dosis obat, waktu dan
cara pemberian) periksa tanggal kedaluarsa obat, bila ada kerugian pada perintah pengobatan

laporkan pada perawat/bidan yang berwenang atau dokter yang meminta.

4. Ambil obat sesuai yang diperlukan (baca perintah pengobatan dan ambil obat
yangdiperlukan)
5. Siapkan obat-obatan yang akan diberikan. Siapkan jumlah obat yang sesuai dengan

dosisyang diperlukan tanpa mengkontaminasi obat (gunakan tehnik aseptik

untuk menjagakebersihan obat)

1) Tablet atau kapsul


a) Tuangkan tablet atau kapsul ke dalam mangkuk disposibel tanpa menyentuh obat.
b) Gunakan alat pemotong tablet bila diperlukan untuk membagi obat sesuai dengan dosisyang
diperlukan.
c) Jika klien mengalami kesulitan menelan, gerus obat menjadi bubuk dengan
menggunakanmartil dan lumpang penggerus, kemudian campurkan dengan menggunakan air.
Cek dengan bagian farmasi sebelum menggerus obat, karena beberapa obat tidak boleh digerus
sebabdapat mempengaruhi daya kerjanya.

2) Obat dalam bentuk cair


a) Kocok /putar obat/dibolak balik agar bercampur dengan rata sebelum dituangkan, buangobat
yang telah berubah warna atau menjadi lebih keruh.
b) Buka penutup botol dan letakkan menghadap keatas. Untuk menghindari kontaminasi pada
tutup botol bagian dalam.
c) Pegang botol obat sehingga sisa labelnya berada pada telapak tangan, dan tuangkan
obatkearah menjauhi label. Mencegah obat menjadi rusak akibat tumpahan cairan obat,
sehinggalabel tidak bisa dibaca dengan tepat.
d) Tuang obat sejumlah yang diperlukan ke dalam mangkuk obat berskala.
e) Sebelum menutup botol tutup usap bagian tutup botol dengan menggunakan
kertas tissue.Mencegah tutup botol sulit dibuka kembali akibat cairan obat yang mengering pada
tutup botol.
f) Bila jumlah obat yang diberikan hanya sedikit, kurang dari 5 ml maka gunakan spuitsteril
untuk mengambilnya dari botol.
g)Berikan obat pada waktu dan cara yang benar.

Yang perlu diperhatikan:

1) Identifikasi klien dengan tepat.


2) Menjelaskan mengenai tujuan dan daya kerja obat dengan bahasa yang mudahdimengerti oleh
klien.
3) Atur pada posisi duduk, jika tidak memungkinkan berikan posisi lateral. Posisi inimembantu
mempermudah untuk menelan dan mencegah aspirasi.
4) Beri klien air yang cukup untuk menelan obat, bila sulit menelan anjurkan klienmeletakkan
obat di lidah bagian belakang, kemudian anjurkan minum. Posisi inimembantu untuk menelan
dan mencegah aspirasi.
5) Catat obat yang telah diberikan meliputi nama dan dosis obat, setiap keluhan, dan tandatangan
pelaksana. Jika obat tidak dapat masuk atau dimuntahkan, catat secara jelasalasannya.
6) Kembalikan peralatan yang dipakai dengan tepat alat disposibel kemudian cuci tangan.
2. Rektal
Obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria yang akan mencair
pada suhu badan. Pemberian rektal dilakukan untuk memperoleh efek lokal seperti
konstipasi (dulcolax supp), hemoroid (anusol), pasien yang tidak sadar/kejang (stesolid
supp). Pemberian obat melalui rektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan
pemberian obat dalam bentuk oral, namun sayangnya tidak semua obat disediakan
dalam bentuk supositoria.

Perbandingan Rute Pemberian Rektal dengan Bagian Lain Saluran Pencernaan

Untuk mendapatkan gambaran yang seimbang mengenai pemberian obat melalui rektal
dalam keadaan klinis, penting untuk membandingkan rute pemberian obat ini dengan bagian lain
dari saluran pencernaan. Secara umum, rute oral adalah yang paling disukai oleh pasien, karena
kelebihannya seperti kemudahan penggunaan, non-invasif, dan kemudahan pemberian sendiri
( Shreya et al., 2018 ; Homayun et al., 2019 ). Tempat utama penyerapan obat setelah pemberian
oral adalah usus kecil, yang memiliki luas permukaan jauh lebih besar dibandingkan rektum
( Marieb dan Hoehn, 2010 ; Reinus dan Simon, 2014 ). Meskipun usus halus diperkirakan
memiliki luas permukaan 200 m 2 pada orang dewasa, laporan terbaru menunjukkan luas
permukaan ini lebih dekat yaitu sekitar 32 m 2 untuk bagian dalam saluran cerna, dengan sekitar
2 m 2 mewakili usus besar. usus ( Helander dan Fandriks, 2014 ). Namun, obat yang diberikan
secara oral dapat terasa tidak enak, menyebabkan iritasi lambung, dan mengalami proses
eliminasi obat lintas pertama yang tinggi di usus dan/atau hati ( Martinez dan Amidon,
2002 ; Homayun dkk., 2019 ). Lingkungan fisiologis di saluran cerna juga dapat mempengaruhi
stabilitas, kelarutan, dan permeabilitas obat, termasuk pH lambung yang asam, waktu transit
gastrointestinal, lendir gastrointestinal, dan metabolisme melalui degradasi enzimatik atau
mikroba (Martinez dan Amidon, 2002; Shreya et al . ., 2018 ; Homayun dkk., 2019 ). Selain itu,
pemberian obat oral dapat menjadi tantangan karena fisiologi saluran pencernaan manusia dapat
menunjukkan variabilitas intra-individu dan antar-individu ( Martinez dan Amidon, 2002 ). Oleh
karena itu, rute pemberian oral kurang menarik untuk obat-obatan yang sangat dipengaruhi oleh
kondisi ini.

BAB IX

CARA MENGATASI EFEK SAMPING OBAT

I. Berbagai Jenis Obat Yang Menimbulkan Efek Samping Mudah Jatuh

1. Antidepresan

Beberapa jenis antidepresan memiliki efek samping tubuh tremor atau gemetar. Salah
satunya adalah selective serotonin re-uptakes inhibitors (SSRI). Dilansir dari Verywell, sebanyak
20 persen pasien yang mengonsumsi SSRI mengalami tremor dan gangguan keseimbangan
sesaat setelah minum obat. SSRI bekerja mengatur hormon serotonin, suatu zat kimia di dalam
otak yang berperan untuk memperbaiki mood dan siklus tidur. Inilah yang menyebabkan
beberapa orang menjadi mudah lelah dan mudah jatuh 8 sampai 10 jam pertama setelah minum
obat SSRI.

Faktanya, wanita lebih mudah depresi dibandingkan pria. Menurut para ahli, hal ini
disebabkan oleh perubahan hormon dan tingkat aktivitas yang lebih tinggi, sehingga wanita jadi
lebih mudah stres. Itulah mengapa wanita berisiko dua kali lebih mungkin untuk mengonsumsi
obat antidepresan, seperti disebutkan oleh National Center for Health Statistics.

2. Antihistamin

Obat flu dan alergi pada umumnya termasuk golongan antihistamin yang membuat Anda
cepat mengantuk. Pada dasarnya, histamin bermanfaat untuk membantu fungsi otak bekerja
secara normal. Ketika Anda minum obat antihistamin, gejala flu memang akan berkurang secara
perlahan. Namun pada saat yang bersamaan, fungsi normal otak menjadi terhambat akibat
pengaruh antihistamin. Itu sebabnya minum obat flu bisa membuat tubuh lemas dan mudah
goyah karena Anda lebih mudah mengantuk.

Kalau Anda takut mengantuk pada siang hari dan berisiko menghambat aktivitas Anda,
minumlah obat flu atau antihistamin lainnya di malam hari. Pasalnya, selain meredakan gejala
flu dan alergi, hal ini juga bisa membuat Anda lebih mudah dan cepat tertidur. Alhasil, tubuh jadi
lebih stabil dan lebih aman dari risiko jatuh.
3. Obat hipertensi

Sebuah studi yang diterbitkan pada JAMA Internal Medicine tahun 2014, lansia yang
mengonsumsi obat hipertensi mengalami peningkatan risiko mudah jatuh hingga cedera serius
hingga 30 sampai 40 persen. Pasalnya, obat penurun tekanan darah memiliki efek samping
pusing bahkan pingsan – terlebih jika seseorang tiba-tiba berdiri setelah duduk.

Obat hipertensi yang mengandung beta-blocker dapat menghambat produksi adrenalin,


hormon yang menyebabkan jantung berdebar dengan cepat. Ketika denyut jantung melambat,
aliran darah ke seluruh tubuh ikut menurun sehingga membuat tekanan darah rendah (hipotensi).
Ini sebabnya, orang yang minum obat hipertensi menjadi lebih mudah lelah, pusing, dan
mengalami gangguan keseimbangan.

Untuk mengatasinya, dokter biasanya meresepkan inhibitor ACE yang berfungsi untuk
melebarkan pembuluh darah. Dengan demikian, aliran darah menjadi lebih lancar dan
mengurangi gejala pusing akibat tekanan darah rendah.

4. Benzodiazepines

Benzodiazepine adalah jenis obat yang umum diresepkan untuk mengobati kecemasan.
Menurut Nancy Simpkins, MD, seorang ahli kesehatan wanita di Livingston, benzodiazepine
memberikan efek samping utama berupa kelelahan.
Obat benzodiazepine bekerja dengan mengikat reseptor di otak yang melepaskan zat kimia
bernama GABA. Ketika GABA dilepaskan, otak dan tubuh cenderung lebih rileks dan tenang
sehingga mengurangi gejala kecemasan. Namun secara bersamaan, pelepasan GABA tersebut
juga membuat Anda menjadi lebih mudah mengantuk atau bahkan cepat tertidur.

Jika Anda butuh obat anticemas di saat-saat genting, misalnya saat harus mempersiapkan
presentasi atau ujian, segera konsultasikan ke dokter untuk mendapatkan benzodiazepine yang
dosisnya lebih rendah.

II. Mengatasi Efek Samping Ringan

Obat-obatan bekerja dalam keseimbangan yang rumit dengan tubuh Anda dan satu sama lain.
Terkadang keseimbangannya terganggu, dan ini dapat menyebabkan efek samping atau interaksi
obat. Jangan tiba-tiba berhenti minum obat. Selalu bicarakan dengan dokter Anda terlebih
dahulu. Berhenti tiba-tiba dapat menyebabkan gejala Anda muncul kembali atau menyebabkan
masalah kesehatan lainnya.

Berikut beberapa tip untuk membantu Anda mengelola beberapa efek samping umum dari obat-
obatan.

1. Sembelit.

 Makanlah dedak dan sereal gandum utuh lainnya serta buah dan sayuran berserat
tinggi, seperti apel, plum, kacang-kacangan, dan brokoli.
 Minum banyak cairan.
 Berolahragalah.

2. Kantuk di siang hari.

 Masalah ini biasanya hilang seiring tubuh Anda menyesuaikan diri dengan
obatnya.
 Tanyakan kepada dokter Anda apakah Anda boleh minum obat sebelum tidur.
 Jangan mengemudi atau mengoperasikan alat berat saat Anda merasa mengantuk.

3. Diare.

 Makanlah makanan ringan dan rendah serat, seperti saus apel, nasi, dan yogurt.
 Hindari makanan pedas dan tinggi lemak sampai Anda merasa lebih baik.

4. Pusing.

 Bangun perlahan dari duduk atau berbaring.


5. Mulut kering.

 Kunyah permen karet tanpa gula atau isap permen tanpa gula.
 Sering-seringlah minum air sepanjang hari.

6. Sakit kepala.

 Ini biasanya akan hilang saat tubuh Anda menyesuaikan diri dengan obatnya.
 Tanyakan kepada dokter Anda obat apa yang bisa Anda minum untuk sakit
kepala.

7. Kehilangan selera makan.

 Cobalah untuk makan lebih sering. Miliki camilan sehat di antara waktu makan.
 Sertakan makanan favorit setiap kali makan.
 Berjalan-jalanlah sebelum makan. Hal ini mungkin membuat Anda semakin lapar.

8. Mual.

 Makanlah beberapa kali dalam porsi kecil sehari daripada dua atau tiga kali
makan besar.
 Cobalah permen atau permen karet pepermin. Peppermint dapat membantu
menenangkan perut Anda.
 Makanlah makanan hambar, seperti kerupuk kering atau roti tawar. Hindari
makanan yang digoreng, berminyak, manis, dan pedas.
 Tanyakan kepada dokter Anda apakah Anda boleh meminum obat dengan
makanan.

9. Merasa gugup atau gelisah.

 Ini mungkin akan segera hilang.


 Jika berlangsung lama, tanyakan kepada dokter Anda apakah Anda dapat
menurunkan dosis Anda.

10. Masalah seksual.

 Tanyakan kepada dokter Anda apakah Anda dapat mengambil dosis yang lebih
rendah.
 Tanyakan kepada dokter Anda apakah ada obat lain yang bisa Anda coba.

11. Masalah tidur.


 Hindari kafein, nikotin, dan alkohol.
 Jangan berolahraga pada sore atau malam hari.
 Jagalah kamar tidur Anda tetap tenang, gelap, dan sejuk. Gunakan masker tidur
dan penutup telinga.
 Ubah waktu minum obat menjadi pagi hari.
 Jika masalah ini tidak kunjung hilang, tanyakan kepada dokter Anda tentang
penurunan dosis Anda.

III. Merasakan Efek Samping Obat

Siapapun bisa merasakan efek samping dari suatu obat. Tidak ada cara untuk mengetahui
secara pasti apakah suatu obat akan menimbulkan efek samping bagi Anda. Ini mungkin
tergantung pada berapa banyak obat yang Anda minum, berapa usia Anda, dan berapa berat
badan Anda. Hal ini juga mungkin tergantung pada jenis kelamin Anda dan masalah kesehatan
lain yang Anda miliki. Orang dewasa yang lebih tua lebih mungkin mengalami efek samping
dibandingkan orang dewasa yang lebih muda.

Anda mungkin merasakan efek samping saat mulai minum obat, mengubah dosis, atau berhenti
menggunakan obat. Dan obat yang sering Anda minum tanpa menimbulkan efek samping bisa
saja tiba-tiba menimbulkan efek samping. Atau efek sampingnya mungkin berhenti.

Berikut beberapa hal penting yang perlu diperhatikan saat mengonsumsi obat:

 Biasanya manfaat obat lebih penting dibandingkan efek samping ringannya.


 Efek samping mungkin akan hilang setelah Anda meminum obat beberapa saat.
 Jika efek samping terus mengganggu Anda dan Anda bertanya-tanya apakah sebaiknya
tetap minum obat, hubungi dokter Anda. Dokter Anda mungkin dapat menurunkan dosis
atau mengganti obat Anda. Jangan tiba-tiba berhenti minum obat kecuali dokter Anda
memerintahkannya.

IV. Jangan Ubah Dosis Sembarangan

Untuk menentukan apakah gangguan keseimbangan Anda benar disebabkan oleh efek
samping obat atau karena hal lainnya, konsultasikan dengan dokter. Dokter akan melakukan
pemeriksaan fisik dan melihat riwayat kesehatan Anda, termasuk jenis obat yang sedang Anda
konsumsi. Seluruh informasi ini sudah cukup untuk menentukan apakah obat tersebut memang
menjadi penyebab gangguan keseimbangan yang Anda alami.

Apabila Anda diresepkan obat-obatan di atas oleh dokter tapi takut mengalami efek samping
kegoyahan dan mudah jatuh, konsultasikan ke dokter untuk kemungkinan menurunkan dosis atau
mengganti jenis obatnya. Jangan mengubah dosis tanpa sepengetahuan dokter karena hal ini
justru bisa berbalik merugikan kesehatan Anda.
BAB X

PENGELOLAAN OBAT (MEKANISME PENYIMPANAN, PERINSIP PEMBERIAN, KODE


OBAT,PEMBUANGAN OBAT/VAKSIN,DLL)

I. Pengelolaan Obat

Pengelolaan obat merupakan salahsatu segi manajemen rumah sakit yang sangat penting
dalam penyediaan pelayanan kesehatan secara keseluruhan, karena ketidak efisienan dan ketidak
lancaran pengelolaan obat akan memberi dampak negatif terhadap rumah sakit, baik secara
medik, sosial maupun secara ekonomi. Instalasi farmasi rumah sakit adalah salah satu unit di
rumah sakit yang bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya pada pengelolaan semua aspek
yang berkaitan dengan obat / perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan di rumah sakit
(Siregar and Amalia, 2003)

Pelayanan farmasi Rumah Sakit merupakan salah satu kegiatan di Rumah Sakit yang
menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas dalam (Permenkes, 2016)
tentang Standar pelayanan Rumah Sakit, disebutkan bahwa pelayanan farmasi Rumah Sakit
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan pasien, penyediaan obat yang
bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.
Bahwa kebijakan di Indonesia mengatur Standar Pelayanan Kefarmasian merujuk pada peraturan
terbaru Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 (Permenkes,
2016)

Manajemen obat di Rumah Sakit dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS).
Instalasi Farmasi adalah Unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Instalasi Farmasi harus memiliki Apoteker dan tenaga
teknis kefarmasian yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai
sasaran dan tujuan Instalasi Farmasi. Ketersediaan jumlah tenaga Apoteker dan Tenaga Teknis
Kefarmasian di Rumah Sakit dipenuhi sesuai dengan ketentuan klasifikasi dan perizinan Rumah
Sakit yang ditetapkan oleh Menteri (Permenkes, 2016).

Penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan yang baik bertujuan untuk memelihara mutu
obat, menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, menjaga kelangsungan persediaan
dan memudahkan pencarian dan pengawasan (Kementerian Kesehatan, 2012).

Menurut Pedoman Standar NasionalAkreditasi Rumah Sakit (SNARS) menyatakan bahwa


Perbekalan farmasimerupakan produk yang perlu pengelolaankhusus, oleh karena itu dibuat
kriteria-kriteria penyimpanan obat. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan persyaratan
kefarmasian (Permenkes, 2016).

Penelitian (Munawaroh, 2020) menyatakan penyimpanan obat sudah sesuai dengan


ketentuan tentang standar pelayanan di rumah sakit (Permenkes, 2016). Bahwa apoteker
bertanggung jawab terhadap pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis
pakai di rumah sakit yang menjamin seluruh rangkaian pembekalan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku untuk memastikan kualitas, manfaat dan keamanannya.

Penelitian lain dilakukan oleh (Puslitbang Biomedis, 2006) diketahui masih banyak gudang
penyimpanan obat dipuskesmas dan rumah sakit di Indonesia yang kurang memenuhi
persyaratan seperti tidak menggunakan sistem alfabetis dalam penataannya, tidak menggunakan
sistem FIFO atau FEFO dan penggunaan kartu stok yang belum memadai.

Penelitian yang dilakukan (Muhlis, 2019) permasalahan yang banyak ditemukan ialah proses
obat LASA yang kurang baik karena penyimpanananya belum memerikan pelabelan dan
pemisahan oat yang penamaanya mirip tetapi dosis berdeda. Sesuai data yang diperoleh
sebanyak 40.9% kesalahan pemberian obat dikarenakan penamaannya sama, akan tetapi dosisnya
berdeda.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan sebelumnya didalam jurnal (Purnawiarti, 2018) pada
bulan Desember 2017 yang dilakukan di Logistik Farmasi Rumah Sakit Umum Aminah Blitar
ditemukannya Piracetam 1 gr injeksi yang telah kadaluarsa berada pada rak bersama obat-obatan
lain yang masih baik. Hal ini dikarenakan penataan yang tidak tepat, tidak disiplin menggunakan
metode FIFO/FEFO dan kurang teliti waktu pengecekan tanggal kadaluarsa.
II. Penyimpanan Obat yang Benar

Penyimpanan obat adalah suatu kegiatan pengaturan obat agar terhindar dari kerusakan fisik
maupun kimia, agar aman dan mutunya terjamin. Penyimpanan obat merupakan suatu kegiatan
menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan obat dan perbekalan kesehatan yang
diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak
mutu obat dan perbekalan kesehatan. Dalam pengobatan suatu penyakit, ada beberapa jenis obat
yang berbeda, baik dalam bentuk sediaan atau kemasan sehingga perlu diperhatikan cara
menyimpan obat yang baik dan benar. Jika cara penyimpanan obat tidak memenuhi persyaratan,
maka akan terjadi perubahan sifat obat, merusak obat sehingga zat berkhasiat dalam obat tersebut
juga ikut rusak. Keadaan tersebut dapat mempengaruhi proses pengobatan suatu penyakit hingga
penyembuhannya.

Penyebab Obat Rusak

1. Udara yang lembab


2. Sinar matahari
3. Suhu
4. Goncangan fisik

Penyimpanan Obat Harus Mempertimbangkan Berbagai Hal

1. Bentuk dan jenis sediaan.


2. Mudah atau tidaknya meledak / terbakar.
3. Stabilitas, narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari khusus.

Tujuan Penyimpanan Obat

1. Memelihara mutu obat.


2. Menghindari penyalahgunaan dan penggunaan yang salah.
3. Menjaga kelangsungan persediaan.
4. Memudahkan pencarian dan pengawasan .

Dampak Penyimpanan Obat yang Salah

1. Obat dapat mengalami kerusakan fisik maupun kimia.


2. Mutu obat tidak dapat terpelihara.
3. Terjadi penggunaan yang tidak bertanggung jawab.
4. Tidak terjaganya ketersediaan.
5. Mempersulit pengawasan

Penyimpanan Obat di Rumah Sakit

Penyimpanan obat / bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal
pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah
terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru.

Untuk perbekalan farmasi disimpan berdasarkan bentuk sediaan (tablet, injeksi, sirup
disimpan terpisah), berdasarkan farmakologi, stabilitas obat, tanggal kadaluarsa (FEFO yang
kadaluarsa pendek diletakkan paling depan sehingga keluar lebih dulu).

Penyimpanan Obat Khusus

1. Narkotika & psikotropika : lemari khusus dua pintu dengan dilengkapi kunci ganda.

2. Obat mudah terbakar (aseton, eter, & alkohol) : lemari yang berventilasi baik, jauh dari
bahan yang mudah terbakar dan peralatan elektronik.

3. Suhu penyimpanan obat terbagi menjadi :


a. Lemari pembeku

Lemari pembeku menunjukkan ruangan dengan suhu dipertahankan secara termostatik


antara -25º dan -10ºC, misal untuk menyimpan vaksin.

b. Dingin

Dingin adalah kondisi suhu tidak lebih dari 8ºC, lemari pendingin mempunyai suhu antara
2ºCdan 8ºC, misal Insulin.

c. Sejuk

Adalah kondisi suhu antara 8ºC dan 15ºC.

d. Suhu ruang terkendali

Adalah suhu yang dipertahankan secara termostatik antara 15º dan 30ºC.

III. Bagaimana cara menyimpan obat di rumah?

1. Ikuti petunjuk penyimpanan pada label / kemasan.

2. Simpan obat dalam kemasan asli dan dalam wadah tertutup rapat. Jangan pernah
mengganti kemasan botol ke botol lain. Tidak melepas etiket pada wadah obat, karena tercantum
nama, cara penggunaan, dan informasi penting lainnya.

3. Simpan obat pada suhu kamar dan hindari sinar matahari langsung.

4. Jangan menyimpan obat di tempat panas atau lembab.

5. Jangan menyimpan obat bentuk cair dalam lemari pendingin agar tidak beku, kecuali
jika tertulis pada etiket obat.

6. Jangan menyimpan obat yang telah kadaluarsa atau rusak.

7. Jangan meninggalkan obat di dalam mobil untuk jangka lama.

8. Dijauhkan dari jangkauan anak-anak.

9. Perhatikan tanda-tanda kerusakan obat dalam penyimpanan, seperti perubahan warna,


bau, penggumpalan.

10. Periksa secara rutin tanggal kadaluarsa dan kondisi obat.


IV. Cara penyimpanan obat jika disesuaikan dengan bentuk sediaannya

1. Tablet dan kapsu

Hindari menyimpan tablet atau kapsul di tempat yang panas atau lembab.

2. Sediaan obat cair (sirup dan suspense)

Hindari menyimpan obat dalam bentuk cair di dalam lemari pendingin ( freezer) agar tidak
beku, kecuali jika ditentukan pada etiket atau kemasan obat.

3. Sediaan vagina dan anus

Sediaan obat yang digunakan dengan memasukkan ke dalam vagina (Ovula) atau anus
(Suppositoria) disimpan dalam lemari es karena dalam suhu kamar akan mencair.

4. Sediaan aerosol atau spray

Hindari menyimpan di tempat suhu tinggi untuk sediaan bentuk aerosol atau spray
karena dapat menyebabkan ledakan. Penyimpanan obat yang tepat sangat penting untuk menjaga
efektifitas obat. Umumnya obat harus disimpan di tempat sejuk dan kering. Beberapa obat
memerlukan penyimpanan dengan suhu khusus seperti di lemari es atau bahkan freezer. Tidak
semua obat perlu diletakkan pada lemari es. Baca ketentuan pada kemasan obat atau menanyakan
pada apoteker untuk penyimpanan obat.

Pemberian Obat

Menerapkan pada prinsip 7 Benar dalam Pemberian Obat. Pemberian obat kepada pasien
terdapat beberapa cara, yaitu melalui rute oral, parenteral, rektal, vaginal, kulit, mata, telinga dan
hidung.

Dalam pemberian obat, RSU Aminah Blitar menerapkan 7 Prinsip Benar. Tujuannya, obat
yang diberikan sesuai dengan prosedur bisa memberikan efek penyembuhan terhadap suatu
penyakit atau keluhan yang dirasakan oleh pasien.

Prinsip 7 Benar meliputi:

a. Benar Pasien
b. Benar Obat
c. Benar Dosis
d. Benar Cara Pemberian
e. Benar Waktu
f. Benar Informasi
g. Benar Dokumentasi

Kode Obat

Nomor Izin Edar (NIE) atau Nomor Registrasi Obat

Lanjutan dari artikel Mengenali Obat, Informasi dan Golongan Obat. Nomor Izin Edar
(NIE) atau Nomor Registrasi Obat penting untuk diperhatikan untuk memastikan obat telah
terdaftar di Badan POM sehingga obat dijamin aman, berkhasiat dan bermutu.

Obat adalah obat jadi yang merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan termasuk produk
biologi dan kontrasepsi, yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan dan peningkatan kesehatan.

lzin edar adalah bentuk persetujuan registrasi obat untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia.
Registrasi adalah prosedur pendaftaran dan evaluasi obat untuk mendapatkan izin edar

Nomor Izin Edar (NIE) atau Nomor Registrasi Obat terdiri dari 15 digit, contoh :

Digit Pertama

D = Nama Dagang

G = Generik

Digit Kedua

B = Obat Bebas

T = Obat Bebas Terbatas

K = Obat Keras

P = Psikotropika

N = Narkotika
Digit ketiga

L = Lokal

I = Impor

Digit ke-4 dan 5

Digit ke-4 dan 5 menunjukkan tahun registrasi atau persetujuan obat tersebut oleh BPOM.
Contohnya: 09 berarti obat tersebut telah disetujui pada periode tahun 2009

Digit ke-6, 7, dan 8

Digit ke-6, 7, dan 8 menunjukkan nomor urut pabrik, dengan persyaratan nomor urut pabrik
harus lebih besar dari 100 dan lebih kecil dari 1000.

Digit ke-9, 10, dan 11

Digit ke-9, 10, dan 11 menunjukkan nomor urut obat yang disetujui untuk masing-masing pabrik,
dengan persyaratan nomor urut obat harus lebih besar dari 100 dan lebih kecil dari 1000.

Digit ke-12 dan 13

Digit ke-12 dan 13 menunjukkan bentuk sediaan obat. Beberapa contoh sediaan obat antara lain:

01 = Kapsul

23 = Powder/Serbuk Oral

43 = Injeksi

02 = Kapsul Lunak

24 = Bedak/Talk

44 = Injeksi Suspensi Kering

04 = Kaplet

28 = Gel

09 = Kaplet Salut Film

29 = Krim, Krim Steril


46 = Tetes Mata

10 = Tablet

30 = Salep

47 = Tetes Hidung

11 = Tablet Effervescent

31 = Salep Mata

48 = Tetes Telinga

12 = Tablet Hisap

32 = Emulsi

49 = Infus

14 = Tablet Lepas Terkontrol

33 = Suspensi

53 = Supositoria, Ovula

34 = Elixir

56 = Nasal Spray

15 = Tablet Salut Enterik

36 = Drops

58 = Rectal Tube

16 = Pil

37 = Sirup/Larutan

62 = Inhalasi

17 = Tablet Salut Selaput

38 = Suspensi Kering
63 = Tablet Kunyah

22 = Granul

41 = Lotion/Solutio

81 = Tablet Dispersi

Digit ke-14

menunjukkan kekuatan sediaan obat, misalnya:

1. menunjukkan kekuatan obat jadi yang pertama di setujui


2. menunjukkan kekuatan obat jadi yang kedua di setujui
3. menunjukkan kekuatan obat jadi yang ketiga di setujui, dst.

Digit ke-15

Digit ke-15 menunjukkan kemasan berbeda untuk tiap nama, kekuatan, dan bentuk sediaan
obat (untuk satu nama, kekuatan, dan bentuk sediaan obat diperkirakan tidak lebih dari 10
kemasan), misalnya:

1. menunjukkan kemasan utama


2. menunjukkan beda kemasan yang pertama
3. menunjukkan beda kemasan yang kedua, dst.

Membuang Obat

Sebelum anda membuang sisa obat, sebaiknya baca label obat terlebih dahulu dan jika ada
petunjuk pembuangan khusus yang tertempel, ikuti petunjuknya.

Berikut ini adalah cara membuang obat kedaluwarsa dengan benar yang wajib diketahui:

• Tablet, puyer, pil, salep, dan krim:

1. Keluarkan obat dari kemasan aslinya.


2. Hancurkan obat
3. Obat yang sudah hancur dicampur dengan air, ampas kopi, atau tanah
4. Campuran tersebut disimpan dalam wadah yang bisa ditutup agar tidak bocor atau tumpah
5. Buang ke tempah sampah.

• Sirup dan cairan obat luar:

1. Jika terdapat endapan di dalam botol, tambahkan air dan kocok sampai larut
2. Tuang obat langsung ke dalam saluran pembuangan air atau ke dalam plastik
3. Tambahkan ampas kopi atau tanah ke dalam plastik
4. Tutup plastik dengan rapat
5. Buang plastik ke tempat sampah.

• Wadah atau kemasan obat:

1. Hilangkan semua informasi pribadi dari wadah atau kemasan obat untuk melindungi data
pribadi;
2. Sobek atau hilangkan semua label pada wadah atau kemasan obat;
3. Rusak botol atau wadah obat dengan cara digunting atau dipecah, buang di tempat
sampah;
4. Wadah berupa dus atau tube digunting lebih dulu lalu dibuang ke tempat sampah.

Obat Yang Butuh Perhatian Khusus:

1. Antibiotik

Sisa antibiotik yang dibuang langsung ke saluran air atau ditimbun di tanah akan membuang
lingkungan terpapar antibiotik sehingga mencemari air dan tanaman. Cara membuang obat
antibiotik sama dengan cara pembuangan obat di rumah tangga untuk menghindari efek
buruknya.

2. Inhaler atau aerosol

Wadah inhaler tidak boleh dilubangi, digepengkan, atau dibakar karena bisa meledak. Pastikan
wadahnya sudah kosong dan langsung dibuang ke tempat sampah. Bila isi inhaler masih tersisa
tetapi sudah kedaluwarsa, sebaiknya dikembalikan ke puskesmas, klinik, atau rumah sakit agar
bisa dibuang dengan aman.

3. Obat kanker

Obat kanker yang diminum di rumah harus diperhatikan cara membuangnya agar sisa obat tidak
berbahaya. Sisa obat, sisa kemasan, dan sarung tangan yang bersentuhan dengan obat kanker
harus dikumpulkan dalam wadah tertutup. Kemudian, kembalikan obat tersebut ke rumah sakit
tempat mendapatkan obat agar bisa dibuang dengan aman.

Membuangan Vaksin

Pengelolaan Limbah Medis Dari Aktivitas Vaksinasi


Sejumlah fasilitas kesehatan di Indonesia telah mengadakan kembali vaksinasi booster ke 2
untuk mengurangi penyebaran covid 19. Vaksinasi yang digunakan melahirkan limbah medis
yang jika tidak terkelola dengan baik akan berbahaya untuk lingkungan dan kesehatan dalam
masyarakat. Menurut WHO sekitar 8 miliar dosis vaksin secara global telah menghasilkan
144.000 ton limbah botol kaca, jarum suntik, dan kotak pengaman.

Menurut Permenkes No 18 Tahun 2020, adalah hasil buangan dari aktifitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan. Memiliki bahaya utama yaitu risiko infeksi dari
mikroorganisme yang terdapat dilimbah tersebut, infeksi terjadi dikarenakan terkena tusukan
benda tajam.

(a) 1. Infeksi

Pembuangan limbah medis yang sembarangan menyebakan berbagai macam infeksi karena
mengandung patogen penyebab berbagai infeksi seperti Infeksi saluran pernapasan (tuberculosis
dan Streptococcus pneumonia) dan virus campak. Selain itu medis juga meningkatkan risiko
hepatitis A, B, atau C, hingga HIV dan Aids yang menular melalui barang yang terkontaminasi
darah atau cairan tubuh.

(b) 2. Bahan kimia berbahaya

Pembuangan limbah medis yang tidak tepat juga dapat memicu keracunan karena bahan kimia
dalam limbah medis meningkatkan risiko penyakit pernapasan atau kulit.

(c) 3. Zat genotoksik

Riset dari Finlandia menemukan bahwa zat genotoksik pada limbah medis dapat meningkatkan
risiko keguguran dan meningkatkan senyawa mutagenik pada tubuh yang memicu kanker pada
sel somatik.
(d) 4. Zat Radioaktif

Limbah medis yang tidak terkelola dengan baik menimbulkan zat radioaktif yang menyebabkan
sakit kepala, pusing, mual, muntah, menyebabkan luka bakar pada kulit atau sindrom radiasi
akut. Zat radioaktif juga dapat mengakibatkan efek kesehatan jangka panjang seperti kanker dan
penyakit kardiovaskular.

Kementerian Lingkungan Hidup memberikan Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dan


pengumpulan limbah dari aktivitas vaksinasi, sebagai berikut :

1. Menyiapkan plastik kuning, tempat sampah dan safety box


2. Melapisi tempat sampah dengan plastik kuning atau plastik lain dengan label/ logo
limbah medis/infeksius
3. Masukkan spuit dan jarum ke dalam safety box, maks ¾ penuh sdh diganti
4. Masukkan limbah botol vaksin/vial, alkohol swab, masker, sarung tangan, APD lainnya
ke dalam plastik kuning atau plastik lain dengan label/logo limbah medis/infeksius, maks
¾ penuh, diikat ganti yg baru
5. Cairan sisa vaksin yang masih berada didalam botol vaksin/ ampul/ vial menjadi kategori
limbah dan dimasukkan dalam plastik kuning atau plastik lain dengan label/logo limbah
medis/ infeksius
6. Menempatkan limbah medis/infeksius yang ada di Fasyankes dan seluruh pos pelayanan
vaksinasi di Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) Limbah B3 yang dilengkapi dengan
lemari pendingin (suhu <0oC) bila menyimpan lebih dari 48 jam
7. Pengangkutan limbah medis/ infeksius ke TPSLB3 dilakukan secara hati-hati sehingga
tidak terjadi tumpahan atau ceceran
8. Melakukan pencatatan dalam log book TPSLB3 dan pelaporan pengelolaan limbah
medis vaksinasi sebagai bagian dari pelaporan pelaksanaan vaksinasi Covid-19

Pengolahan limbah vaksinasi Covid-19 dilakukan dengan beberapa alternatif, yaitu:

1. Mengolah limbah medis vaksinasi Covid-19 menggunakan incinerator/


autoclave/microwave milik Fasyankes.
2. Untuk daerah yang tidak terjangkau perusahaan pengangkut dan pengolah limbah B3,
dapat dilakukan penguburan dengan konstruksi sesuai PermenLHK P.56/2015 (ukuran
minimal 1 meter kubik) dan berkoordinasi dengan DLH/pihak berwenang setempat
3. Mengolah limbah medis vaksinasi bekerja sama dengan perusahaan pengolah limbah B3
berizin
BAB 12

ETIKA PEMBERIAN OBAT

UTEROTONIKA DAN OBAT ANTI PERDARAHAN

A. Uterotonika

Uterotonik adalah zat yang meningkatkan kontraksi uterus. Uterotonik banyak digunakan untuk
induksi, penguatan persalinan, pencegahan serta penanganan perdarahan post partum, pengendapan
perdarahan akibat abortus Inkompletikus dan penanganan aktif pada Kala persalinan. Macam macam
obat:

Berdasarkan efek dan struktur kimla alkaloid ergot dibagi menjadi 2:

1. Alkaloid ergot

Alkaloid asam amino (ergotamin)

Merupakan obat yang paling kuat dari kelompok alkaloid asam amino Derivat dihidro alkaloid asam
amino (dihiro ergotamin)

2.Alkaloid amin

Mempengaruhi otot uterus berkontraksi terus-menerus sehingga memperpendek kala III (kala uri).

Menstimulsi otot-otot polos terutama dari pembuluh darah perifer dan rahim. Pembuluh darah
mengalami vasokonstriksi sehingga tekanan darah naik dan terjadi efek oksitosik pada kandungan
mature.

B. Indikasi

Induksi partus aterm. Mengontrol perdarahan dan atoni uteri pasca persalinan. Merangsang
konstraksi setelah operasi Caesar/operasi uterus lainnya.

c. Kontra Indikasi

Persalinan kala dan 11 Hipersensitif Penyakit vascular, Penyakit jantung parah, Fungsi paru menurun,
Fungsi hati dan ginjal menurun, Hipertensi yang parah, Eklampsia

d. Dosis yang digunakan

Oral: mulai kerja setelah sepuluh menit. Injeksi intravena mulai kerja 40 detik. IM mulai kerja 7-8
menit. Hal ini lebih menguntungkan karena efek samping lebih sedikit. Dosis Oral 0,2-0,4 mg 2-4 kali
sehari selama 2 hari. IV/IM 0,2 mg, IM boleh diulang 2-4 jam bila perdarahan hebat. Contoh obat Nama
generic: metal ergometrin, metal ergometrina, hydrogen maleat. Nama paten: methergin, metбhernial,
methorin, metilat, myomergin.

e. Efek samping dan cara mengatasinya


1) Efek pada uterus:

Dosis kecil menyebabkan kontraksi, dosis besar menyebabkan tetani. Kepekaan uterus tergantung
maturitas dan kehamilan. ➤ Semua alkaloid ergot→ meningkatkan kontraksi uterus secara nyata.

2) Efek pada kardiovaskuler:

> Menyebabkan vasokontriksi perifer.

> Pembendungan dan trombosis pada gangren dapat terjadi akibat vasokontriksi.

3) Efek samping:

Ergotamine merupakan ergotamin merupakan alkaloid yang paling toksik. Dosis besar dapat
menyebabkan mual, muntah, diare, gatal, kulit dingin, nadi lemah dan cepat, bingung dan tidak sadar
Dosis keracunan fatal: 26 mg per oral selama beberapa hari, atau dosis tunggal 0,5-1,5 mg parenteral.
Gejala keracunan kronik: perubahan peredaran darah ( tungkai bawah, paha, lengan dan tangan jadi
pucat), nyeri otot, denyut nadi melemah, gangren, angina pectoris, bradikardi, penurunan atau kenaikan
tekanan darah. Keracunan biasanya disebabkan takar lajak dan peningkatan sensitivitas

2. Oksitosin

Oksitosin merupakan hormone peptide yang disekresi olah pituitary posterior yang menyebabkan
ejeksi air susu pada wanita dalam masa laktasi. Oksitosin diduga peran pada awal kelahiran.

a. Cara kerja obat

Bersama dengan faktor-faktor lainnya oksitosin memainkan peranan yang sangat penting dalam
persalinan dan ejeksi ASI. Oksitosin bekerja pada reseptor oksitosik untuk menyebabkan

1) Kontraksi

Uterus pada kehamilan aterm yang terjadi lewat kerja langsung pada otot polos maupun lewat
peningkatan produkdsi prostaglandin

2) Konstriksi

Pembuluh darah umbilicus 3) Kontraksi Sel-sel miopital (refleks ejeksi ASI) Oksitosin bekerja pada
reseptor hormone antidiuretik (ADH) untuk menyebabkan: Peningkatan atau penurunan yang
mendadak pada tekanan darah 9 diastolik) karena terjadinya vasodilatasi Retensin air.

b.Indikasi
> Induksi partus aterm Mengontrol perdarahan dan atuni uteri pasca persalinan. Merangsang
konstraksi uterus setelah operasi Caesar

➤ Uji oksitoksik Menghilangkan pembengkakan payudara

c. Kontra Indikasi

Kontraksi uterus hipertonik Distress janin Prematurisasi Letak bayi tidak normal Disporposi sepalo
pelvis predisposisi lain untuk pecahnya Rahim obstruksi mekanik pada jalan lahir > Preeklamsi atau
penyakit kardiovaskuler dan terjadi pada ibu hamil yang berusia 35 tahun Resistensi dan mersia uterus.
Uterus yang starvasiGawat janin

d. Dosis yang digunakan

Untuk induksi persalinan intravena 1-4 m U permenit dinaikkan menjadi 5-20 mU/menit sampai
terjadi pola kontraksi secara fisiologis. Untuk perdarahan uteri pasca partus, ditambahkan 10-40 unit
pada 1 L dari 5 % dextrose, dan kecepatan infuse dititrasi untuk mengawasi terjadinya atonia uterus.
Kemungkinan lain adalah, 10 unit dapat diberikan secara intramuskuler setelah lahirnya plasenta. Untuk
menginduksi pengaliran susu, 1satu tiupan ( puff) disemprotkan ke dalam tiap lubang hidung ibu dalam
posisi duduk 2-3 menit sebelum menyusui.

e. Efek samping

1) Efek pada uterus

Merangsang frekuensi dan kontraksi uterus. Efek pada uterus menurun jika estrogen menurun.
Uterus imatur kurang peka thd oksitosin. infus oksitoksin perlu diamati → menghindari tetani → respon
uterus meningkat 8 x lipat pada usia kehamilan 39 minggu.

2) Efek pada mamae

Menyebabkan kontraksi otot polos mioepite! → susu mengalir (ejeksi susu) Sediaan oksitosin
berguna untuk memperlancar ejeksi susu, serta mengurangi pembengkakan payudara pasca persalinan.
Efek Kardiovaskuler Relaksasi otot polos pembuluh darah (dosis besar). Penurunan tekanan sistolik.
warna kulit merah, aliran darah ke ekstremitas menurun, takikardi dan curah jantung menurun.

3. Misoprostol/Prostagladin

Misoprostol adalah suatu analog prostaglandin Elsintetik yang menghambat sekresi asam lambung
dan menaikkan proteksi mukasa lambung.

a. Cara kerja obat


Setelah penggunaan oral misprostol diabsobrsi secara ekstensif dan cepat dide-esterifikasi menjadi
obat aktif: asam misoprostol. Kadar puncak serum asam misoprostol direduksi jika misoprostol diminum
bersama makanan.

b. Indikasi

Indikas partus aterm mengontrol perdarahan dan atoni uteri pasca persalinan. Merangsang
kontraksi uterus post sc atau operasi uterus lainya. Induksi abortus terapeutik.

c. Kontra indikasi

Untuk proteksi Gl, misoprostol dikontraindikasikan pada kehamilan karena resiko aborsi. Pasien-
pasien harus diberi tahu untuk tidak memberikan misoprostol kepada orang lain. Pasien pasien yang
menerima terapiu jangka lama AINSS untuk reumatoid arthritis, misoprostol 200ug qid lebih baik
daripada antagonis reseptor H2 atau sukralfat dalam mencegah gastric ulcer yang indusinya oleh AINS
Walaupun demikian misoprostol tidak menghilangkan nyeri G1 atau rasa tidak enak yang dihubungkan
dengan pengunaan AINS

d. Dosis yang digunakan

Peroral untuk proteksi Gi selama terapi AINS 200 uggid. Diberiksan bersama makanan, jika dosis ini
tidak ditolerir: 100ug gid dapat digunakan. Bentuk sediaan tablet 100,200ug Misoprostol juga tersedia
dalam kombinasi dengan diklofenak

Contoh obat

Gastrul misoprostol 200 mcg/tablet Efek samping dan cara mengatasinya Dapat menyebabkan kontraksi
uterin. Diare dilaporkan terjadi dalam 2 minggu pada terapi inisiasi dalam 14-40% pasien dengan AINS
yang menerima 800ug/han. Diare biasanya akan membaik dalam kurang lebih satu minggu terapi.
Wanita-wanita yang menggunakan misoprostol kadang-kadang mengalami gangguan ginekologi
termasuk kram atau perdarahan vaginal

3.2 Obat Anti Perdarahan

Obat anti perdarahan disebut juga hemostatik, Hemostatis merupakan proses penghentian perdarahan
pada pembuluh darah yang cedera Jadi, Obat haemostatik (Koagulansiay adalah obar yang digunakan
untuk menghentikan pendarahan. Obat hemostatik sendiri terbagi dua yaitu, hemostatik serap dan
hemostatik sistemik.

1. Hemostatik serap

a. Mekanisme kerja

Menghentikan perdarahan dengan pembentukan suatu bekuan buatan atau memberikan jalan serat-
serat yang mempermudah bila diletakkan langsung pada permukaan yang berdarah. Dengan kontak
pada permukaan asing trombosit akan pecah dan membebaskan factor yang memulai proses
pembekuan darah.

b. Indikasi

Hemostatik golongan ini berguna untuk mengatasi perdarahan yang berasal dari pemubuluh darah kecil
saja misalnya kapiler dan tidak efektif untuk menghentikan perdarahan arteri atau vena yang tekanan
intra vaskularnya cukup besar.

c. Contoh obat

Spon gelatin, dan oksisel dapat digunakan sebagai penutup luka yang akhirnya akan diabsorpsi. Hal ini
menguntungkan karena tidak memerlukan penyingkiran yang memungkinkan perdarahan ulang seperti
yang terjadi pada penggunaaan kain kasa. Untuk absorpsi yang sempurna pada kedua zat diperlukan
waktu 1- 6 jam. Selulosa oksida dapat mempengaruhi regenerasi tulang dan dapat mengakibatkan
pembentukan kista bila digunakan jangka panjang pada patah tulang. Selain itu karena dapat
menghambat epitelisasi, selulosa oksida tidak dianjurkan untuk digunakan dalam jangka panjang. Busa
fibrin insani yang berbentuk spon setelah dibasahi dengan tekanan sedikit dapat menutupi dengan baik
permukaan yang berdarah.

1) Astringen

Mekanisme kerja

a) Zat ini bekerja local dengan mengendapkan protein darah sehingga perdarahan dapat dihentikan,
sehubungan dengan cara penggunaannya zat ini dinamakan juga stypic.

b) Indikasi Kelompok ini digunakan untuk menghentikan perdarahan kapiler tetapi kurang efektif bila
dibandingkan dengan vasokontriktor yang digunakan local.

c) Contoh obat Antara lain feri kloida, nitrasargenti, asam tanat.

2) Koagulan

a) Mekanisme kerja

Obat kelompok ini pada penggunaan lokal menimbulkan hemostatis dengan 2 cara yaitu dengan
mempercepat perubahan protrombin menjadi trombin dan secara langsung menggumpalkan fibrinogen.

b) Contoh obat

Russell's viper venom yang sangat efektif sebagai hemostatik local dan dapat digunakan umpamanya
untuk alveolkus gigi yang berdarah pada pasien hemofilia. Untuk tujuan ini kapas dibasahi dengan
larutan segar 0,1 % dan ditekankan pada alveolus sehabis ekstrasi gigi, zat ini tersedia dalam bentuk
bubuk atau larutan untuk penggunaaan lokal. Sediaan ini tidak boleh disuntikkan IV, sebab segara
menimbulkan bahaya emboli.

3) Vasokonstriktor

a) Mekanisme kerja

Epinefrin dan norepinefrin berefek vasokontriksi, dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan
kapiler suatu permukaan.

b) Cara pemakaian

Penggunaanya ialah dengan mengoleskan kapas yang telah dibasahi dengan larutan 1: 1000 tersebut
pada permukaan yang berdarah.

2. Obat Hemostatik Sistemik

Dengan memberikan transfuse darah, seringkali perdarahan dapat dihentikan dengan segera. Hasil ini
terjadi karena penderita mendapatkan semua faktor pembekuan darah yang terdapat dalam darah
transfusi. Keuntungan lain transfusi ialah perbaikan volume sirkulasi. Perdarahan yang disebabkan
defisiensi faktor pembekuan darah tertentu dapat diatasidengan mengganti/ memberikan faktor
pembekuan yang kurang. Faktor anti hemoflik (faktor VIII) dan cryoprecipitated anti Hemophilic Factor

a. Indikasi

Kedua zat ini bermanfaat untuk mencegah atau mengatasi perdarahan pada penderita hemofilia A
(defisienxi faktor VIII) yang sifatnya herediter dan pada penderita yang darahnya mengandung inhibitor
factor VII. b. Efek samping

Cryoprecipitated antihemofilik factor mengandung fibrinogen dan protein plasma lain dalam jumlah
yng lebih banyak dari sediaaan konsentrat faktor IIIV. sehingga kemungkinan terjadi reaksi
hipersensitivitas lebih besar pula. Efek samping lain yang dapat timbul pada penggunaan kedua jenis
sediaan ini adalah hepatitis virus, anemi hemolitik, hiperfibrinogenemia,menggigil dan demam.

Cara pemakaian

Kadar faktor hemofilik 20-30% dari normal yang diberikan IV biasanya digunakan untuk mengatasi
perdarahan pada penderita hemofilia. Biasanya hemostatik dicapai dengan dosis tunggal 15-20 unit/kg
BB. Untuk perdarahan ringan pada otot dan jaringan lunak, diberikan dosis tunggal 10 unit/kg 88. Pada
penderita hemofilia sebelum operasi diperlukan kadar anti hemofilik sekurang-kurangnya 50% dari
normal, dan pasca bedah diperlukan kadar 20-25 % dari normal untuk 7-10 hari.

1) Kompleks Faktor X

a) Indikasi

Sediaan ini mengandung faktor II, VII, IX,X serta sejumlah kecil protein plasma lain dan digunakan untuk
pengobatan hemofilia 8. atau bila diperlukan faktor-faktor yang terdapat dalam sediaan tersebut untuk
mencegah perdarahan. Akan tetapi karena ada kemungkinan timbulnya hepatitis preparat ini sebaiknya
tidak diberikan pada pendrita nonhemofilia.

b) Efek samping

Trombosis,demam, menggigil, sakit kepala, flushing, dan reaksi hipersensivitas berat (shok anafilaksis).

c) Dosis

Kebutuhan tergantung dari keadaan penderita. Perlu dilakukan pemeriksaan pembekuan sebelum dan
selama pengobatan sebagai petunjuk untuk menentukan dosis. 1 unit/KgBB meningkatkan aktivitas
factor IX sebanyak 1,5%, selama fase penyembuhan setelah operasi diperlukan kadar factor IX 25-30%
dari normal.

2) Vitamin K

a) Mekanisme kerja

Pada orang normal vitamin K tidak mempunyai aktivitas fariñakodinamik, tetapi pada penderita
defisiensi vitamin K, vitamin ini berguna untuk meningkatkan biosintesis beberapa faktor pembekuan
darah yang berlangsung di hati. Sebagai hemostatik, vitamin K memerlukan waktu untuk dapat
menimbulkan efek, sebab vitamin K harus merangsang pembentukan faktor-faktor pembekuan darah
lebih dahulu.

b) Indikasi

Digunakan untuk mencegah atau mengatasi perdarahan akibat defisiensi vitamin K.

c) Efek samping

Pemberian filokuinon secara intravena yang terlalu cepat dapt menyebabkan kemerahan pada muka,
berkeringat, bronkospasme, sianosis, sakit pada dada dan kadang menyababkan kematian.

d) Perhatian Defisiensi vit. K dapat terjadi akibat gangguan absorbsi vit.K, berkurangnya bakteri yang
mensintesis Vit. K pada usus dan pemakaian antikoagulan tertentu. Pada bayi baru lahir
hipoprotrombinemia dapat terjadi terutama karena belum adanya bakteri yg mensintesis vit. K. e)
Sediaan

Tablet 5 mg vit. K (Kaywan) f) Dosis:

1-3 x sehari untuk ibu menyusui untuk mencegah pendarahan pada bayinya.

3-4 x sehari untuk pengobatan hipoprotrombinemia.

3) Asam aminokaproat

a) Mekanisme kerja

Asam aminokaproat merupakan penghambat bersaing dari activator plasminogen dan penghambat
plasmin. Plasmin sendiri berperan menghancurkan fibrinogen/ fibrin dan faktor pembekuan darah lain.
Oleh karena itu asam amikaproat dapat mengatasi perdarahan berat akibat fibrinolisisyang berlebihan.

b) Indikasi

Pemberian asam aminokaproat, karena dapat menyebabkan pembentukan thrombus yang mungkin
bersifat fatal hanya digunakan untuk mengatasi perdarahan fibrinolisis berlebihan. Asam aminokaprot
digunakan untuk mengatasi hematuria yang berasal dari kandung kemih. Asam aminokaproat dilaporkan
bermanfaat untuk pasien homofilia sebelum dan sesudah ekstraksi gigi dan perdarahan lain karena
troma didalam mulut. Asam aminokaproat juga dapat digunakan sebagai antidotum untuk melawan
efek trombolitik streptokinase dan urokinase yang merupakan activator plasminogen.

c) Dosis

Dosis dewasa dimulai dengan 5-6 per oral atau infuse IV, secara lambat, lalu 1 gram tiap jam atau 6 gram
tiap 6 jam bila fungsi normal, dengan dosisi tersebut dihasilkan kadar terapi efektif 13 mg/dl plasma.
Pada pasien penyakit ginjal atau oliguria diperlukan dosis lebih kecil. Anak- anak 100 mg/kg BB tiap 6
jam untuk 6 hari. Bila digunakan IV asam aminokaproat harus dilarutkan ringer. Namun masih
diperlukan bukti lebvih lanjut mengenai keamanan penggunaan obat ini jangka panjang untuk dosis di
atas.

d) Efek samping

Asam aminokaproat dapat menyebabkan prutius,eriterna konjungtiva, dan hidung tersumbat. Efk
samping yang paling berbahaya ialah trombosis umum, karena itu penderita yang mendapat obat ini
harus diperiksa mekanisme hemostatik.

4) Asam traneksamat
a) Mekanisme kerja

Sebagai anti plasmin, bekerja menghambat aktivitas dari aktivator plasminogen dan plasmin. Sebagai
hemostatik, bekerja mencegah degradasi fibrin, meningkatkan agregasi platelet memperbaiki kerapuhan
vaskular dan meningkatkan aktivitas factor koagulasi.

b) Indikasi

Hipermenorrhea Pendarahan pada kehamilan dan pada pemasangan AKDR Mengurangi pendarahan
selama dan setelah operasi

c) Perhatian

Bila diberikan IV dianjurkan untuk menyuntikkan perlahan-lahan (10 ml/1-2 menit)

Efek samping.

Gangguan gastrointestinal (mual, muntah, sakit kepala, anoreksia). gangguan penglihatan, gejala
menghilang dengan pengurangan dosis atau penghentian pengobatan.

e) Sediaan

➤ Kapsul 250 mg, 500 mg

> Injeksi 5 ml/250 mg dan 5 ml/500 mg

f) Dosis

Dosis yang dianjurkan 0.5-1 gram diberiklan 2-3 kali sehari secara IV lambat sekurangnya dalam waktu 5
menit. Cara pemberian lain perorang 1-1.5 gram, 2-3 kali/hari. Pada pasien gagal ginjal dosis dikurangi.

5) Tranexamic Acid

Nama Dagang: KALNEX (kalbe), Plasminex (sanbe), Trasamin (otto).

a) Cara kerja obat

Aktifitas antiplasminik Menghambat aktifitas dari aktifaktor plasmonogen dan plasmine. Aktifitas anti
plasminik telah dibuktikan dengan berbagai percobaan in vitro" penemuan aktifitas plamin dalam darah
dan aktifitas plasma setempat, setelah diberikan pada tubuh manusia. Aktifitas Hemostatis Mencegah
degradasi fibrin, pemecahan trombosit, peningkatan kerapuan faskuler dan pemecahan factor koagulasi.
Efek ini terlihat secara klinis dengan berkurangnya waktu pendarahan dan lama pendarahan.

b) Indikasi:
Untuk fibrinolosis local seperti: epistaksi, prostaktetomi, konisasi servik Edema angioneurotonik
herediter Pendarahan abnormal sesudah operasi Pendaragan sesudah operasi gigi dan penderita
hemophilia

c) Dosis dan cara pemberian :

Klanex kapsul 250 mg Dosis lazim secara oral untuk dewasa: 3-4 kali sehari, 1-2 kapsul.

Klanex tablet 500 mg Dosis lazim secara oral untuk dewasa: 3-4 kali sehari, 1 tablet.

Kalnex 50 mg injeksi Sehari 1-2 ampul (5-10ml) disuntikan secara intravena atau intramuscular, dibagi
dalam 1-2 dosis.

Pada waktu atau setelah operasi, bila diperlukan dapat diberikan 2-10 ampul (10-50 ml) dengan infuse
intravena.

Kalnex 100 mg injeksi 2.5 5 ml perhari disuntikan secara intravena atau intra muscular dibagi dalam 1-2
dosisi. Pada waktu atau setelah operasi bila dperlukan dapat diberiklan sebanyak 5-25 ml dengan cara
infuse intravena.

d) Efek samping

Gangguan-gangguan gastrointestinal, mual, muntah, anaroreksia, pusing, ekstantema dan sakit kepala
dapat timbul pada pemberian secara oral. Gejala-gejala ini menghilang dengan pengurangan dosis atau
penghentian pengobatannya. Dengan injeksi intravena yang cepat dapat menyebabakan pusing dan
impotensi

6) Karbazokrom Na Sulfonat (ADONA)

a) Mekanisme kerja

> Menghambat peningkatan permeabilizas kapiler.

> Meningkatkan resistensi kapiler.

b) Indikasi

Pendarahan disebabkan menurunnya resistensi kapiler dan meningkatnya permeabilizas kapiler.

> Pendarahan abnormal selama/pasca operasi akibat penurunan resistensi kapiler.

Pendarahan otak.

c) Sediaan

Tablet 10 mg/ Forte 30 mg.


Injeksi 2 ml/10 mg dan 5 ml/25 mg.

7) Methyergometrin

Nama dagang bledstop (sanbe), Methergin (Novartis), Pospargin (kalbe farma).

a) Cara kerja obat

Methyergometrine adalah derivate semisintetik dari alkaloid alami yaitu ergometrine dan senyawa
spesifik uterotenik. Dibandingkan dengan golongan alkaloid ergotamine, efek pada pembuluh darah
perifer lemah.

b) Indikasi

Penangan aktif pada tahap 3 kelahiran.

Pendarahan uterin yang terjadi setelah pemisahan plasenta, uterin antony.

Subinvolusi dari puerperal uterus, lochiometra.

Pendarahan uterin karena aborsi.

c) Kontra Indika

Tahap pertama dan kedua kelahiran bayi sebelum munculnya kepala. Inersia uterin primer dan
sekunder, hipertensi, toksemia, penyakit pembuluh darah oklusif, sepsis dan hipersensivitas, kerusakan
fungsi hati dan ginjal.

Dosis

Peningkatan uterin involusi: 0.125 mg 3 kali sehari, umumnya untuk 3 atau 4 hari.

Pendarahan puerperium, subinvolusi, lochiometra : 0.125 mg atau 0.25 m, 3 kali sehari.

d) Efek samping

Mual, muntah dan sakit abdominal dapat terjadi pada dosis besar Telah ditemui laporan mengenai
erupsi kulit, berkeringan, pusing. penglihatan kabur, sakit kepala atau reaksi kardiovaskuler, vertigo,
takikardia atau bradikardia, sakit dada dan reaksi vasopatik perifer. Reaksi anafilaksis sangat jarang
Tekanan darah naik (terutama pada penderita hipertensi kronik atau preeklamsia).

OBAT ANALGETIK, OBAT ANTIPIRETIKA, DAN OBAT IMUNOLOGI


4.1 Obat Analgetik

1. Pengertian

Analgetik adalah istilah yang digunakan untuk mewakili sekelompok obat yang digunakan sebagai
penahan sakit, tanpa menghilangkan kesadaran.

2. Macam-macam obat analgetik

a. Asam mefenamat

1) Nama dagang Mefinal (Sanbe), Mefentan (Kalbe).

2) Komposisi Tiap tablet salut asam mefenamat 500 mg.

b.Natrium diklopenak

1) Nama dagang

Voltadex (Dexa Medika), Redinack (Fahrenhaid).

2) Komposisi

Tiap salut enteric natrium diklopenak 25 mg berisi: Natrium diklopenak 25 mg.

Tiap salut enteric natrium diklopenak 50 mg berisi:

Natrium diklopenak 50 mg.

3. Cara kerja/khasiat obat analgetik

Merupakan kelompok anti inflamasi non steroid, bekerja dengan cara menghambat sintesa
prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat enzym siklooksigenase sehingga mempunyai
efek analgesik.

4. Indikasi

a. Asam mefenamat
Meredakan nyeri ringan sampai sedang sehubungan dengan sakit kepala, sakit gigi, dismenore primer,
termasuk nyeri karena trauma, nyeri otot, dan nyeri karena operasi

b. Natrium diklopenak

Pengobatan jangka pendek untuk kondisi akut dan kronis.

5. Kontra indikasi

Pasien yang hipersensitif terhadap asam mefenamat dan hipersensitif terhadap natrium penderita
dengan tukak lambung dan usus, penderita dengan gangguan ginjal yang berat.

6. Dosis

a. Asam mefenamat

Dewasa dan anak-anak > 14 tahun.

Dosis awal 500 mg, selanjutnya 250 mg setiap 6 jam sesuai kebutuhan

b. Natrium diklopenak

Dewasa 50 mg 2-3 kali sehari atau 75 mg 2 kali sehari.

7. Efek samping

a. Sistem pencernaan: mual, muntah,gangguan saluran pencemaan lainnya, dan rasa sakit pada
abdominal.

b. Sistem saraf: rasa mengantuk, pusing, penglihatan kabur dan insomnia.

c. Kulit, kadang-kadang ruam atauerupsi kulit.

8. Cara mengatasi efek samping

a. Sebaiknya diminum sesudah makan.


b. Jangan digunakan > dari 7 hari atau melebihi dosis yang dianjurkan kecuali atas petunjuk dokter.

c. Perhatian khusus harus digunakan pada penderita gangguan fungsi ginjal atau jantung.

d. Hati-hati jika digunakan pada wanita hamil dan menyusui.

e. Bila terjadi perdarahan atau ulkus pemberian harus dihentikan.

4.2 Obat Antipiretika

1. Pengertian

Adalah obat yang dapat menurunkan panas atau untuk mengurangi suhu tubuh (suhu tubuh yang
tinggi).

2. Macam-macam obat antipiretika

a. Paracetamol

1) Nama dagang Sanmol (Sanbe), Pamol (Interbat), Panadol (Glaxo).

2) Komposisi

Tiap teh (5 ml mengandung paracetamol 120 mg).

Tiap tablet mengandung paracetamol 500 mg.

b.Asam asetilsalisilat (acetosal)

1) Nama dagang

Aspilet (Medifarma), Farmasal (Fahrenhaid) 2) Komposisi

Tiap tablet mengandung asam asetilsalisilat 100 mg.

c. Ibu profen

Nama dagang: Bufect (Sanbe farma), Proris (Pharos), Ibuprofen (Indo farma).

3. Cara kerja/khasiat obat antipiretika

a. Paracetamol
Sifat antipiretik deisebabkan oleh gugus aminobenzen dan mekanismenya diduga berdasarkan nefek
sentral. Pada penggunaan oral diserap cepat melalui saluran cerna dan dapat diekskresikan melalui
ginjal.

b.Asam asetilsalisat

Asam asetilsalisilat dengan buffer, bekerja mempengaruhi pusat pengaturan suhu di hipotalamus
sehingga dapat menurunkan demam dan menghambat pembentukan prostaglandin sehingga dapat
menurunkan rasa sakit.

c. Ibuprofen

Bekerja dengan menghambat enzim yang memproduksi hormon prostaglandin sehingga inflamasi dapat
mengurangi inflamasi dan rasa sakit, demam dan nyeri.

4. Indikasi

Untuk nyeri dan demam.

5. Kontra indikasi

Tidak boleh digunakan pada gangguan ginjal dan fungsi hati,hipersensifitas terhadap paracetamol, asam
asetilsalisilat dan ibuprofen.

6. Dosis

a. Paracetamol

Oral: Dibawah 1 tahun :-1 sendok teh atau 60-120 mg tiap 4-6 jam.

1-5 tahun :1-2 sendok teh atau 120-250 mg tiap 4-6 jam.

6-12 tahun :2-4 sendok teh atau 250-500 mg tiap 4-6 jam.

Diatas 12 tahun :%-1 gram tiap 4 jam, maksimum 4 gram/hari.

b.Akam asetilsalisilat (asetosal)

> Dewasa :4 kali 0,5-1 gram maksimum 4 gram sehari.

Anak-anak-1 tahun:10 mg/kg 88 3-4 kali sehari.

1-12 tahun :4-6 kali.

Diatas 12 tahun : 4 kali 320-500 mg maksimum 2 gram/hari.


c. Ibuprofen

Anak 1-2 tahun : 3-4 kali 50 mg.

5-7 tahun :3-4 kali 100 mg

8-12 tahun :3-4 kali 200 mg.

Dewasa :3-4 kali 200 mg.

7. Efek samping

Dosis besar dapat menyebabkan kerusakan fungsi hati, iritasi lambung, mual, muntah. Pemakaian
jangka panjang dapat terjadi perdarahan lambung dan tukak lambung.

8. Cara mengatasi

a. Sebaiknya obat ini diminum setelah makan atau bersamaan dengan makanan.

b.Jauhkan dari jangkauan anak-anak guna mencegah salah penggunaan obat

c. Hati-hati untuk penggunaan fungsi ginjal dan hati.

Pengertian

Imunologi adalah suatu cabang yang luas dari ilmu biomedis yang mencakup kajian mengenai semua
aspek sistem imun (kekebalan) pada semua organisme 2 Imunisasi aktif Adalah kekebalan tubuh yang
didapat seseorang karena tubuh yang aktif membentuk zat antibodi. Ada 2 macam:

a. Imunisasi aktif alamiah

Adalah kekebalan tubuh yang secara otomatis diperoleh setelah sembuh dari suatu

b.Imunisasi aktif buatan

Adalah kekebalan tubuh yang didapat dari vaksinasi yang diberikan untuk mendapatkan perlindungan
dari suatu penyakit.

3. Imunisasi pasif
Adalah kekebalan tubuh yang bisa diperoleh seseorang yang zat kekebalan tubuhnya didapatkan dari
luar. Ada 2 macam :

a. Imunisasi pasif alamiah

Adalah antibodi yang didapatkan seseorang karena diturunkan oleh ibu yang merupakan orang tua
kandung langsung ketika berada dalam kandungan.

b.Imunisasi pasif buatan

Adalah kekebalan tubuh yang diperoleh karena suntikan serum untuk mencegah penyakit tertentu.

4. Jenis-jenis vaksin

a. Vaksin Polio

Vaksin ini berguna sebagai pencegahan poliomyelitis. Vaksin polio diberikan 4 kali untuk usia 0, 2, 3, dan
4 bulan.

b.Vaksin Campak

Vaksin ini berguna sebagai pencegahan terhadap penyakit campak. Vaksin campak di berikan untuk usia
anak 9 bulan.

c. Vaksin Flubio

Vaksin ini berguna sebagai pencegahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus influenza. Maksin
flubio di berikan untuk usia diatas 12 tahun, serta di rekomendasikan pemberian 1 tahun sekali.

d.Vaksin Hepatitis B Rekombinan

Vaksin ini berguna sebagai pencegahan terhadap penyakit hepatitis B. vaksin hepatitis B diberikan untuk
usia kurang dari 10 tahun sebanyak 0,5 ml, sedangkan untuk usia lebih dari 10 tahun sebanyak 1 ml.
Jadwal pemberian vaksin ialah 0-1-6 bulan atau 0-1-2 bulan.

e. Vaksin Pentabio

Vaksin ini berguna sebagai pencegahan terhadap penyakit dipteri, tetanus, pertusis, hepatitis B dan
infeksi haemophilus influenza tipe B serta meningitis pada anak berusia kurang dari 5 tahun.

f. Vaksin BCG
Berguna sebagai pencegahan terhadap penyakit tuberculosis. Diberikan 1 kali untuk usia 0-2 bulan.

g. Vaksin jerap DT

Berguna sebagai pencegahan terhadap penyakit dipteri dan tetanus. Diberikan untuk usia kurang dari 7
tahun h. Vaksin jerap TD berguna sebagai pencegahan penyakit tetanus dan dipteri. Diberikan 1 kali
sebagat booster atau lanjutan untuk usia diatas 7 tahun.

i. Vaksin TT

Berguna sebagai pencegahan terhadap penyakit tetanus dan neonatal tetanus. Vaksin TT diberikan
untuk WUS, wanita hamil dan dewasa.

J. Vaksin DTP

Berguna sebagai pencegahan terhadap penyakit dipteri, tetanus dan pertusis. vaksin diberikan 3 kali
untuk usia 2,3,dan 4 bulan.

k. Vaksin DTP/HB

Berguna sebagai pencegahan terhadap penyakit dipteri, tetanus, pertusis dan hepatitis B. diberikan 3
kali untuk usia 2,3,dan 4 bulan, namun didahului 1 dosis vaksin hepatitis B pada saat lahir.

5. Immunosupresif

Adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan reaksi pembentukan zat kekebalan tubuh atau antibodi
akibat kerusakan organ limfoid. Dengan adanya penurunan jumlah antibodi dalam tubuh, maka
penyakit-penyakit akan lebih leluasa masuk dan menginfeksi bagian tubuh. Hal tersebut akan
menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan dan produksi.

a. Indikasi utama:

Transplantasi organ.

Penyakit autoimmun.

Pencegahan hemolisis rhesus pada neonatus.

b.Manfaat

Obat dan terapi immunosupresif banyak dimanfaatkan pada operasi transplantasi organ. Obat dan
terapi immunosupresif akan mampu menekan kerja sistem immun sehingga penolakan tubuh terhadap
organ yang baru akan dapat ditekan. Radang usus besar dapat diobati dengan menggunakan obat
immunosepresif kortikosteroid dan sitotoksik.

c. Dampak negatif
Obat immunosupresif dapat menyebabkan meningkatnya resiko infeksi oleh bakteri,virus dan jamur.
Kelas obat immunosupresif yang baru siklosporin, dapat memberikan efek samping berupa keracunan
pada sel saraf, keracunan pada ginjal, keracunan pada hati dan hiperkalemia untuk mengamati dampak-
dampak yang ditimbulkan agar dapat dievaluasi lebih lanjut,pemakaian obat dan terapi immunosupresif
harus terus diawasi.

Anda mungkin juga menyukai