Anda di halaman 1dari 30

Pada dasarnya, ada tiga macam strategi pertahanan tubuh: 1) Barier fisikal (kulit dan

mukosa yang utuh) dan kimia (asam lambung); 2) Respons imun alami
(innate/nonspesifik), misal fagositosis; 3) Respons imun adaptif (didapat/ spesifik).
Pada se bagian besar kasus, pertahanan terhadap patogen penyerang yang merusak
dapat dilakukan oleh barier fisikal dan respons imun alami, tetapi bila tidak berhasil,
respons imun adaptif akan diaktivasi.

GARIS PERTAHANAN TUBUH PERTAMA

Kulit utuh merupakan proteksi utama yang penting dan ber peran sebagai
barier fisik untuk menghentikan invasi mikro organisme dan substansi lain. Sekret
kulit, seperti asam keringat dan asam lemak dari kelenjar lemak, berperan dalam
meng hancurkan dan mengurangi pertumbuhan bakteri pada per mukaan kulit.
Populasi mikro!ora normal yang berkolonisasi pada permukaan kulit akan
menghambat pertumbuhan mikro organisme patogen potensial dengan cara
mengompetisi ruang dan makanan yang tersedia.

Membran mukosa, seperti mukosa pencernaan, pernapasan, urinari, dan


reproduksi, berfungsi untuk melindungi tubuh dari invasi mikroorganisme asing. Urin
dan sekret mukosa akan mendorong dan mengeluarkan mikroorganisme ke arah luar
tubuh. Barier kimia dilakukan, misal oleh enzim antimikroba, lisosim, dalam
pernapasan, air mata, saliva, hidung, dan asam lambung.

Setiap hari tubuh manusia dapat terkontaminasi dengan beratus-ratus bakteri


yang dapat memasuki tubuh melalui ber bagai cara, misalnya melalui konsumsi
makanan, tetapi ham pir semuanya dimatikan oleh mekanisme pertahanan tubuh.
Begitu pun tiap hari manusia mengonsumsi beratus-ratus bakteri dan lagi-lagi hampir
semuanya mati dalam saliva atau asam lambung. Dalam keadaan ini, saliva atau asam
lambung me rupakan media pertahanan tubuh. Namun, kadang-kadang satu bakteri
dapat lolos dan me nyebabkan keracunan makanan. Dalam hal ini, suatu efek yang
sangat nyata dari kegagalan sistem imun, yang dapat terlihat adalah mual dan diare,
ke duanya merupakan dua gejala yang sangat umum terjadi.

Selain itu, setiap hari manusia menghirup ribuan bakteri dan virus yang ada di
udara. Sistem imun memerangi bahan patogen ini tanpa masalah. Kadang bakteri
dapat mengalahkan sistem imun dan tubuh terserang demam, f!u, atau keadaan yang
lebih buruk lagi. Demam atau f!u merupakan suatu tanda yang dapat terlihat dari
kegagalan kerja sistem imun untuk menghentikan agen penyebab. Bila tubuh
kemudian sembuh dari demam atau f!u, ini menjadi tanda bahwa sistem imun tubuh
mampu menghilangkan agen penyerang sesudah men dapatkan pengalaman dari
kekalahan sebelumnya. Sebaliknya, bila sistem imun tidak melakukan sesuatu, tubuh
tidak akan sembuh dari demam atau apapun juga.
RESPONS IMUN

Sistem imun bekerja setiap saat dengan beribu cara yang ber beda, tetapi tidak
terlihat. Suatu hal yang menyebabkan tubuh benarbenar menyadari kerja sistem imun
adalah di saat sistem imun gagal karena beberapa hal. Tubuh juga menyadari saat
sistem imun bekerja dengan menimbulkan efek samping yang dapat dilihat atau
dirasakan. Contohnya, saat bagian tubuh ada yang terluka, bakteri dan virus
memasuki tubuh melalui luka. Sistem imun mengadakan respons dan menghilangkan
agen penyerang sementara bagian tubuh yang terluka menjadi sembuh. Pada kasus
yang jarang terjadi, sistem imun gagal dan luka meradang, terinfeksi, dan biasanya
terisi nanah (pus). Radang dan nanah merupakan efek samping dari kerja sistem
imun. Contoh lain, saat digigit nyamuk, timbul merah, bengkak, dan gatal.
Kesemuanya ini merupakan tanda-tanda yang dapat terlihat dari kerja sistem imun.

Sistem imun merupakan kumpulan mekanisme dalam suatu mahluk hidup


yang melindunginya terhadap infeksi dengan mengidentifikasi dan membunuh
substansi patogen. Sistem ini dapat mendeteksi bahan patogen, mulai dari virus
sampai parasit dan cacing serta membedakannya dari sel dan jaringan normal.
Deteksi merupakan suatu hal yang rumit karena bahan patogen mampu beradaptasi
dan melakukan cara-cara baru untuk menginfeksi tubuh dengan sukses.

Sebagai suatu organ kompleks yang disusun oleh sel-sel spesifik, sistem imun
juga merupakan suatu sistem sirkulasi yang terpisah dari pembuluh darah yang
kesemuanya bekerja sama untuk menghilangkan infeksi dari tubuh. Organ sistem
imun terletak di seluruh tubuh, dan disebut organ limfoid.

Pembuluh limfe dan kelenjar limfe merupakan bagian dari sistem sirkulasi
khusus yang membawa cairan limfe, suatu cairan transparan yang berisi sel darah
putih terutama limfosit. Kata lymph dalam bahasa Yunani berarti murni, aliran yang
bersih, suatu istilah yang sesuai dengan penampilan dan kegunaannya. Cairan limfe
membasahi jaringan tubuh, sementara pembuluh limf mengumpulkan cairan limfe
serta membawanya kembali ke sirkulasi darah. Kelenjar limfe berisi jala pembuluh
limfe dan menyediakan media bagi sel sistem imun untuk mempertahankan tubuh
terhadap agen penyerang. Limfe juga merupakan media dan tempat bagi sel sistem
imun memerangi benda asing.

Sel imun dan molekul asing memasuki kelenjar limfe melalui pembuluh darah
atau pembuluh limfe. Semua sel imun keluar dari sistem limfatik dan akhirnya
kembali ke aliran darah. Begitu berada dalam aliran darah, sel sistem imun, yaitu
limfosit dibawa ke jaringan di seluruh tubuh, bekerja sebagai suatu pusat penjagaan
terhadap antigen asing.

REGULASI SISTEM IMUN


Sistem imun meningkat saat tidur dan istirahat, dan melemah oleh stres. Diet
dapat memengaruhi sistem imun, contohnya buah segar, sayuran, dan makanan kaya
asam lemak tertentu dapat memelihara kesehatan sistem imun. Asupan nutrisi yang
kurang pada janin dapat menyebabkan penurunan sistem imun untuk seumur
hidupnya. Dalam pengobatan tradisional, beberapa tanaman herbal seperti bawang
putih, elderberry, jamur sitake, dan lingzhi, serta madu dipercaya dapat menstimulasi
sistem imun. Penelitian menunjukkan bahwa bahan-bahan tersebut dapat
menstimulasi sistem imun meskipun cara kerjanya kompleks dan sulit untuk dikenali.

Hormon dapat mengatur kepekaan sistem imun. Contohnya, hormon pada


wanita diketahui dapat menstimulasi baik respons imun innate maupun adaptif.
Sebaliknya, androgen seperti testosteron agaknya menekan sistem imun. Hormon lain
yang tampaknya juga meregulasi sistem imun adalah prolaktin dan hormon
pertumbuhan. Selain itu, vitamin D juga dapat meregulasi sistem imun. Diperkirakan
bahwa penurunan progresif dari kadar hormon seiring bertambahnya usia ikut
bertanggung jawab terhadap melemahnya respons imun di usia tua. Sebaliknya,
beberapa hormon diregulasi oleh sistem imun, misalnya aktivitas hormon tiroid.
Beberapa penyakit autoimun, seperti lupus erite matosus lebih banyak mengenai
wanita dan serangannya sering kali bersamaan dengan masa pubertas.

RESPONS IMUN INNATE/NON-SPESIFIK/ALAMI

Respons imun innate atau respons imun non-spesifik atau respons imun alami
sudah ada sejak lahir dan merupakan komponen normal yang selalu ditemukan pada
tubuh sehat. Respons ini meliputi: pertahanan fisik/mekanik, pertahanan biokimia,
pertahanan humoral, dan pertahanan selular. Dinamakan non-spesifik karena tidak
ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada, dan siap berfungsi sejak lahir.
Respons ini merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan mikroba
dan dapat memberikan respons langsung, siap mencegah mikroba masuk tubuh dan
dengan cepat menyingkirkannya. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi, misal sel
leukosit meningkat selama fase akut penyakit. Respons imun innate dimediasi oleh
rangkaian kompleks dari peristiwa selular dan molekular termasuk fagositosis,
radang, aktivasi komplemen, dan sel NK. Berbeda dengan respons imun adaptif yang
meningkat pada tiap paparan selanjutnya dengan antigen yang sama, respons imun
innate tidak berubah saat paparan berikutnya.

Imunitas nonspesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh, selalu


ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk ttubuh dan
dengan cepat menyingkirkannya. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi,
misalnya jumlah sel darah putih meningkat selama fase akut pada banyak
penyakit. Disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu,
teh ada dan siap berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukan
spesifisitas terhadapa bahan asing dan mampu melindungi tubuh terhadap
banyak patogen potensial. Sistm tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam
menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung.
Imunitas bawaan (non spesifik) meliputi kulit dan mukosa sebagai barrier, cara
kimia & fisik, asam lemak (kulit, folikel rambut), lisozim (air mata, saliva),
mukus,asam lambung gerak silia, batuk / bersin.

Komponen-komponen respons imun non-spesifik terdiri atas :

A. Pertahanan fisik/mekanik.

Dalam sisitem pertahanan fisik atau mekanik, kulit, selaput lendir, silia
saluran napas, batuk dan bersin, merupakan garis pertahanan terdepan
terhadap infeksi. Keratinosit dan lapisan epidermis kulit sehat dan epitel
mukosa yang utuh tidak dapat ditembus kebanyakan mikroba. Kulit yang
rusak akibat luka bakar dan selaput lendir saluran napas yang rusak oleh
asap rokok akan meningkatkan risiko infeksi. Tekanan oksigen yang tinggi
di paru bagian atas membanu hidup kuman obligat aerob seperti tuberkulosis.

B. Pertahanan biokimia
Kebanyakan mikroba tidak dapat menembus kulit yang sehat, namun
beberapa dapat masuk tubuh melalui kelenjar sebasue dan folikel rambut.
pH asam keringat sekresi sebasues, berbagai asam lemak yang dilepas kulit
mempunya efek denaturasi terhadap protein membran sel sehingga dapat
terjadi melalui kulit Lisozim dalam keringat, ludah air mata dan air susu
ibu, melindungi tubuh terhaadap berbagai kuman positif-Gram oleh karena
dapat menghancurkan lapisan peptidoglikan dinding bakteri. Air susu juga
mengandung laktooksidase dan asam neuranminik yang mempunyai sifat
antibakterial terhadap E.koli dan stafilokok. Saliva mengandung enzim
seperti laktooksidase yang merusak dinding sel mikroba dan menimbulkan
kebocoran sitoplasma dan juga mengandung antibodi serta komplemen yang
dapat berfungsi sebagai opsonin dalam lisis sel mikroba.
Asam hidroklorida dalam lambung enzim proteolitik, antibodi dan
empedu dalam usus halus membantu menciptakan lingkungan yang dappat
mencegah infeksi banyak mikroba. pH yang rendah dalam vagina spermin
dalam semen dan jaringan lain dapat mencegah tumbuhnya bakteri Gram
positif. Pembilasan oleh urin dapat menyingkirkan kuman patogen.
Laktoferin dan transferin dalam serum mengikat besi yang merupakan
metabolit esensial untuk hidup beberapa jenis mikroba seperti Pseudomonas.
Bahan yang disekresi mukosa saluran napas (enzim dan antibodi) dan
telinga berperan dalam pertahanan tubuh secara biokimia. Mukus yang
kental melindungi sel epitel mukosa dapat menangkap bakteri dan bahan
lainnya yang selanjutnya dikeluarkan oleh gerakan silia. Polusi, asap rokok,
alkohol dapat merusak mekanisme tersebut sehingga memudahkan terjadinya
infeksi oportunistik.
Udara yang kita hirup, kulit dan saluran cerna, mengandung banyak
mikroba, biasanya berupa bakteri dan virus, kadang jamur atau parasit.
Sekresi kulit yang bakterisidal, asam lambung, mukus dan silia di saluran
napas membantu menurunkan jumlah mikroba yang masuk tubuh, sedang
epitel yang sehat biasanya dapat mencegah mikroba masuk kedalam tubuh.
Dalam darah dan sekresi tubuh, enzim lisosom memusnahkan banyak
banyak bakteri dengan merusak dinding selnya. IgA juga pertahanan
permukaan mukosa, memusnahkan banyak bakteri dengan meruak dinding
selnya. IgA juga pertahanan permukaan mukosa. Flora normal (biologis)
terbentuk bila bakteri nonpatogenik menempati permukaan epitel. Flora
tersebut dapat melindungi tubuh melalui kompetisi dengan patogenuntuk
makanan dan tempat menempel pada epitel serta produksi bahan
antimikrobial. Penggunaan antibiotik dapat mematikan flora normal sehingga
bakteri patogenik dapat menimbulkan penyakit.
Mekanisme imunitas nonspesifik terhadap bakteri pada tingkat sawar
fisik seperti kulit atau permukaan mukosa adalah sebagai berikut :
 Bakteri yang bersifat simbiotik atau komensal yang ditemukan di
kulit pada daerah terbatas hanya menggunakan sedikit nutrien,
sehingga kolonisasi mikroorganisme patogen sulit terjadi.
 Kulit merupakan sawar fisik efektif dan pertumbuhan bakteri
dihambat sehingga agen patogen yang menempel akan dihambat oleh
pHrendah dari asam laktat yang terkandung dalam sebum yang
dilepas kelenjar keringat
 Sekret dipermukaan mukosa mengandung enzim destruktif sepertin
lisozim yang menghancurkan dinding sel bakteri
 Saluran napas dilindungi oeh gerakan mukosiliarsehingga lapisan
mukosa secara terusmenerus digerakkan menuju arah nasofaring
 Bakteri ditangkap oleh mukus sehingga dapat disingkirkan dari
saluran napas
 Sekresi mukosa saluran napas dan saluran cerna mengandung peptida
antimikrobial yang dapat memusnahkan mikroba pathogen
 Mikroba patogen yang berhasil menembus sawar fisik dan masuk ke
jaringan dibawahnya dapat dimusnahkan dengan bantuan komplemen
dan dicerna oleh fagosit
C. Sistem imun non spesifik seluler
Fagosit Profesional adalah sel yang berperan pada proses fagositosis
yaitu polimorfonuklear (PMN) dan monosit. Monosit yang berada dalam
jaringan disebut makrofag. Makrofag mempunyai beberapa nama sesuai
dengan jaringan yang ditempati.Makrofag pada kulit disebut langerhans, pada
syaraf disebut dendrit, pada hati disebut kupfer, pada otak disebut
makroglia, pada lung disebut alveolar makrofag.
Sel-sel ini berasal dari promonosit sumsum tulang yang, setelah
diferensiasi menjadi monosit darah, akhirnya tinggal di jaringan sebagai
makrofag dewasa dan membentuk system fagosit mononukleus. Mereka
ditemukan di seluruh jaringan ikat dan di sekitar membran dasar di
pembuluh darah kecil dan terbanyak di dapat di paru-paru (makrofag
alveolar), hati (sel-sel Kupffer), dan di permukaan sinusoid-sinusoid limpa
dan sinus-sinus meduler kelenjar getah bening pada posisi yang strategis
untuk menyaring bahan-bahan asing. Contoh-contoh lainnya adalah sel
mesangial dalam glomerulus ginjal, mikroglia otak dan osteoklas dalam
tulang. Tidak seperti polimorf, mereka adalah sel-sel berumur panjang dengan
retikulum endoplasmik berpermukaan kasar dan mitokondria. Walaupun sel
polimorf menyusun pertahanan utama melawan bakteri piogenik
(pembentukan pus). Namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa
makrofag berada di posisi yang terbaik melawan bakteri, virus dan protozoa
yang mampu hidup di sel-sel tuan rumah.
Makrofag sebagai fagosit intra sel juga berfungsi sebagai Antigen
Presenting Cell (APC) dan produksi sitokin. Sebagai APC jika antigennya
eksogen maka peptida akan digendong oleh MHC kelas II yang selanjutnya
direspon oleh limfosit T helper sedangkan jika antigennya endogen maka
peptida akan digendong oleh MHC kelas I yang selanjutnya direspon oleh
limfosit T sitotoksik.
Pengaturan intra sel dan proses antigen dapat dijelaskan melalui gambar
di bawah ini :
Sel yang berperan sebagai antigen presenting cell antara lain makrofag.
Pada proses tersebut melibatkan 3 organel sel yaitu retikulum endoplasma,
golgi dan endosom. Pada retikulum endoplasma terdapat Major
Histocompatibility Complex (MHC) kelas I & II. Jika ada antigen endogen
maka akan masuk ke dalam retikulum endoplasma dan akan dipecah menjadi
peptida yang kemudian digendong oleh MHC kelas I kemudian masuk ke golgi
dan dipresentasikan ke permukaan sel yang selanjutnya akan di respon oleh
sel T sitotoksik. MHC kelas II dari retikulum endoplasma akan masuk ke
golgi kemudian ke endosom. Di endosom MHC kelas II akan melepaskan
variannya.
Jika ada antigen eksogen maka akan masuk ke dalam endosom dan
akan dipecah menjadi peptida yang kemudian digendong oleh MHC kelas II
dan dipresentasikan ke permukaan sel yang selanjutnya akan di respon oleh
T helper.
a) Sel Natural Killer (sel NK)
Sel NK adalah limfosit bergranula besar dengan suatu morfologi
khas. Mereka diperkirakan dapat mengenal struktur-struktur
glikoprotein dengan berat molekul tinggi yang muncul pada
permukaan sel terinfeksi virus sehingga dapat dibedakan dari sel-sel
normal. Pengenalan ini mungkin terjadi melalui reseptor serupa lektin
(yaitu pengikatan karbohidrat) pada permukaan sel NK yang
menghantar sel pembunuh dan sasaran saling berhadapan pada jarak
yang dekat.Pengaktifan sel NK berlanjut dan membawa kepada
polarisasi granul diantara inti dan sasaran dalam beberapa menit dan
pelepasan kandungan sel ke ekstraseluler di antara dua sel.
Granula sel NK mempunyai perforin atau sitolisin yang memiliki
beberapa struktur homolog dengan C9; mirip dengan protein, namun
tanpa bantuan apapun selain dari Ca2+, ia bisa menyusup atas
kemampuan sendiri ke dalam membrane yang menjadi sasaran, jelas
sekali dengan cara mengikat fosforilkolin melalui domain amfipatik
yang dipunyainya. Kemudian terjadi polimerisasi membentuk pori
tembus membrane (transmembran) dengan struktur seperti cincin,
seperti komples komplemen penyerang membran. Sel NK membunuh
dengan apoptosis dimana terjadi fragmentasi inti yang terjadi dengan
cepat diakibatkan oleh suatu endonuklease yang bergantung dari
kalsium yang bekerja terhadap DNA yang mudah diserang, terletak
diantara nukleosom dan menghasilkan fragmen ‘nucleosome ladder’
200 kb.
Granula-granula juga mengandung tumor necrosis factor β dan
suatu golongan protease serin disebut granzyme, diantaranya
fragmentin, dapat berfungsi sebagai faktor sitotoksik NK. Cara
pembunuhan ekstraseluler dari sel terinfeksi oleh sel natural killer
(NK), yaitu begitu reseptor NK mengikat permukaan sel terinfeksi
virus maka granula sel NK melepas perforin keluar dari sel
kemudian memproses penggabungan molekul untuk membentuk
saluran tembus membran yang memberikan kemudahan terjadinya lisis
sel yang menjadi sasaran dengan cara memberi jalan masuknya
fragmentin, tumor nekrosis factor dan factor sitotoksik potensial
lainnya yang berasal dari granula. Fragmentasi nukleosom DNA
menjadi 200 kb fragmen ‘ladder' setelah kematian sel didapat dengan
cara memecah λ DNA oleh Hind III sehingga terjadi kerusakan yang
karakteristik dari DNA yang mengalami apoptosis.
Fungsi :
 Killing ( Sel Tumor, Intra Cellular Pathogens Langsung ) Peran sel
NK pada sel tumor dilakukan dengan cara mengeluarkan zat yang
ada pada granulanya yang menyebabkan sel tumor menjadi apoptosis
(kematian sel yang terprogram)
 Produksi Toksin
b) Eosinofil
Parasit berukuran besar seperti halnya cacing tidak dapat secara
fisik difagositosis dan pembunuhan di luar sel oleh eosinofil
tampaknya berkembang secara bertahap dalam mengatasi situasi ini.
Eosinofil mempunyai granula-granula yang jelas yang mengambil
warna yang jelas pada pengecatan dengan cat asam dan mempunyai
suatu gambaran khas pada mikroskop elektron. Suatu protein dasar
utama (major basic protein = MBP) ditemukan dalam inti granula
sementara protein kation eosinofilik bersama-sama dengan suatu
peroksidase dapat diidentifikasi dalam matriks granula. Enzim-enzim
lainnya yang dipunyai adalah arylsulfatase B, fosfolipase dan
histaminases D.
Mereka mempunyai reseptor permukaan untuk C3b dan dalam
keadaan aktif menghasilkan suatu letupan respiratori yang hebat
bersamaan dengan terbentuknya metabolit oksigen aktif. Tidak cukup
dengan ini, alam juga mempersenjatai sel dengan protein-protein
granula yang mampu menghasilkan suatu penyumbat transmembran
dalam membran sasaran seperti C9 dan perforin NK.
Sebagian besar cacing dapat mengaktifkan jalur komplemen
alternatif, namun walaupun tahan terhadap serangan C9,
pembungkusan tubuh mereka oleh C3b memungkinkan melekatnya
eosinofil melalui reseptor C3b. Apabila kontak tersebut berlanjut ke
tahap pengaktifan, eosinofil akan mengawali serangan ekstraselulernya
termasuk pelepasan MBP dan khususnya protein kation yang merusak
membrane parasit.
D. Sistem imun non spesifik humoral
1) Protein fase akut (Acute Phase Reactant / Protein)
Selama fase akut infeksi, terjadi perubahan pada kadar beberapa
protein dalam serum yang disebut APP. Yang akhir merupakan bahan
antimikrobial dalam serum yang meningkat dengan cepat setelah
sistem imun nonspesifik diaktifkan. Protein yang meningkat atau
menurun selama fase akut disebut juga APRP yang berperan
dalam pertahanan dini. APRP diinduksi oleh sinyal yng berasa dari
tempat cedera atau infeksi melalui darah. Hati merupakan tempat
sintesis APRP. Sitokin TNF-α, IL-1, {L-6 merupakan sitokin
proinflamasi dan berperan dalam induksi APRP.
a) C-Reactive Protein
CRP yang merupakan salah satu PFA termasuk golongan
protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi
akut sebagai respons imunitas nonspesifik. Sebagai opsonin,
CRP mengikat berbagai mikroorganisme, protein C
pneumokok yang membentuk kompleks dan mengaktifkan
komplemen jalur klasik. Pengukuran CRP digunakan untuk
menilai aktivitas penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat
100x atau lebih dan berperan pada imunitas nonspesifik yang
dengan bantuan Ca⁺⁺ dapat mengikat berbagaimolekul antara
lain fosforilkolin yang ditemkan pada permukaan bakteri/jamur.
Sintesis CRP yang meningkat meninggikan viskositas plasma
dan laju endap darah. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan
infeksi yang persisten.
b) Lektin
Lektin/kolektin merupakan molekul larut dalam plasma yang dapat
mengikat manan/manosa dalam polisakarida, (karenya disebut
MBL) yang merupakan permukaan banyak bakteri seperti galur
pneumokok dan banyak mikroba, tetapi tidak pada se vertebrata.
Lektin berperan sebagai opsonin, mengaktifkan komplemen (lihat
BAB 7: komplemen , aktivasi melalui jalur lektin). SAP mengikat
lipopolisakarida dinding bakter dan berfungsi sebagai reseptor
untuk fagosit.
c) Protein fase akut lain
Protein fase akut yang lain adalah α1-antitripsin, amiloid serumA,
haptoglobin, C9, faktor B dan fibrinogen yang juga berperan pada
peningkatan laju endap darah akibat infeksi, namun jauh lebih
lambat dibanding dengan CRP. Secara keseluruhan, respons fase
akut memberikan efek yang menguntungkan melalui peningkatan
resistensi pejamu, mengurangi cedera jarngan dan meningkatkan
resolusi dan perbaikan cedera inflamasi.
d) Mediator asal fosfolipid
Metabolisme fosfolipid diperlukan untuk produksi PG dan LTR.
Keduanya meningkatkan respons inflamasi melalui peningkatan
permeabilitas vaskuler dan vasodilatasi (lihat pada bab Mekanisme
efektor, Inflamasi dan Reaksi hipersensitivitas).
2) Komplemen ( Opsonisasi, Sitolisis )
Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang bila diaktifkan
akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respon
inflamasi. Komplemen dengan spektrum aktivitas yang luas diproduksi
oleh hepatosit dan monosit dan dapat diaktifkan secara langsung oleh
mikroba atau produknya (jalur alternatif, klasik dan lektin). Komplemen
berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, sebagai faktor
kemotaktik dan juga menimbulakn destruksi/lisis bakteri dan parasit.
Komplemen rusak pada pemanasan 56°C selama 30 menit.
Serum normal dapat memusnahkan dan menghancurkan beberapa
bakteri Gram negatif atas kerja sama antara antibodi dan komplemen
yang ditemukan dalam serum normal. Antibodi diinduksi oleh infeksi
subklinis (antara lain flora normal) dan kompoen dalam diit yang
imunogenik. Antibodi dengan bantuan komplemen dapat menghancurkan
membran lapisan LPS dinding sel Bila lapisan LPS menjadi lemah,
lisozim, mukopeptida dalam serum dapat menembus membran bakteri dan
menghancurkan lapisan mukopeptida. MAC dari istem komplemen dapat
membentuk lubang-lubang kecil dalam sel membran bakteri sehingga
bahan sitoplasma yang mengandung bahan-bahan vital keluar sel dan
menimbulkan kematian mikroba.
3) Sitokin
Sitokin berbagai molekul yg berfungsi memberi sinyal antara
Limfosit, Fagosit & Sel-Sel lain untuk membangkitkan respon imun.
Contoh sitokin antara lain adalah interferon, interleukin, Coloni
Stimulating Factor (CSF), Tumor Necrosis Factor (TNF).

Sitokin IL-1, -6, TNF- α

Selama terjadi infeksi, produkbakteri seperti LPS mengaktifkan


makrofag dan sel lain untuk memproduksi dan melepas berbagai sitokin
seperti IL-1 yang merupakan pirogen endogen, TNF-α dan IL-6. Pirogen
adalah bahan yang menginduksi demam yang dipacu baik oleh faktor
eksogen (endotoksin asal bakteri negatif-Gram) atau endogen seperti IL-1
yang diproduksi makrofag dan monosit. Ketiga sitokin tersebut disebut
sitokin proinflamasi, merangsang hati untuk mensintesis dan melepas
sejumlah protein plasma seperti protein fase akut antara lain CRP yang
dapat meningkat 1000x, MBL dan SAP.

Respon Imun Spesifik

Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik


mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi
dirinya. Benda asing yang pertama kali terpajan dengan tubuh segera dikenal
oleh sistem imun spesifik. Pajanan tersebut menimbulkan sensitasi, sehingga
antigen yang sama dan masuk tubuh untuk kedua kali akan dikenal lebih cepat
dan kemudian dihancurkan. Oleh karena itu, sistem tersebut disebut spesifik.
Untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi tubuh, sistem imun
spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun nonspesifik. Namun pada
umumnya terjalin kerjasama yang baik antara sistem imun nonspesifik dan
spesifik seperti antara komplemenfagosit-antibodi dan antaramakrofag-sel T.

Ada 2 tipe respons imun adaptif, yaitu AMI dan CMI. Sel paling penting dalam
respons imun adaptif adalah limfosit (25- 30% dari populasi sel darah putih). Ada 2
macam limfosit, yaitu limfosit B dan limfosit T dengan perbandingan 1:5. Limfosit B
ber tanggung jawab terhadap respons imun yang dimediasi antibodi.

a) AMI (antibody mediated immune responsse)


Limfosit B berkembang menjadi sel imunokompeten dewasa dalam
sumsum merah tulang. Tiap limfosit B mengekspresikan reseptor antigen
tunggal spesifik (misalnya, antibodi) pada permukaan sel. Pada imunitas
dimediasi antibodi (AMI), ikatan antigen dengan reseptor antigen
(misalnya, antibodi) pada sel B menyebabkan aktivasi dan diferensiasi sel
B menjadi sel plasma pembentuk antibodi. Namun, aktivasi penuh dan
diferensiasi sel B menjadi sel plasma sebagai respons terhadap sebagian
besar antigen membutuhkan sinyal ko-stimulator yang dibentuk oleh
interaksi sel B dengan CD4+ sel T-helper (sel T mengekspresi molekul
CD4). Ikatan molekul CD154 pada CD4+ sel T ke molekul CD40 pada sel
B bersama pem bentukan sitokin (IL-4 dan IL-5) oleh sel CD4+ T-helper
menyebabkan aktivasi penuh dari sel B dan diferensiasi sel B menjadi sel
plasma pembentuk antibodi.
Tiap sel plasma menyekresi sekitar 2000 antibodi/detik untuk
melawan antigen asal dan proses ini berlanjut sekitar 4-5 hari.
Pembentukan antibodi oleh sel plasma meningkat oleh aktivasi sitokin IL-
6. Antibodi yang disekresi beredar dalam sirkulasi darah dan limfatik,
terikat pada antigen asal dan menandainya untuk dimusnahkan oleh
beberapa mekanisme, termasuk aktivasi sistem komplemen, memicu
fagositosis via opsonisasi dan memediasi ADCC (Antibody Dependent
Cell Mediated Citotoxicity) dengan sel efektor seperti sel makrofag, NK,
dan neutrofil.
b) CMI (cell-mediated immune responsse)
Kontras dibandingkan dengan AMI, CMI melawan patogen penyerang
dengan dimediasi oleh limfosit T. Limfosit T bertanggung jawab terhadap
imunitas dimediasi sel (CMI) dalam melawan antigen asing.
Mengembangkan respons imun dimediasi sel T ter hadap antigen spesik
untuk melawan antigen tumor merupakan tujuan vaksinasi kanker.
Sel T berkembang dari pra-sel T dalam sumsum tulang dan menjadi
dewasa dalam timus menjadi sel T pengekspresi CD4+ atau sel T
pengekspresi CD8+. Seperti sel B, aktivasi sel T yang berhasil
membutuhkan keberadaan 2 sinyal, sinyal pengenalan dan sinyal ko-
stimulator. Sinyal pengenalan adalah pengenalan antigen oleh reseptor
antigen pada permukaan sel T yang dinamakan reseptor sel T (TCR = T-
cell receptors) yang meng hasilkan pergerakan sel T dari fase istirahat (Go
) ke fase G1 dari siklus sel. Namun, berbeda dengan sel B yang dapat
langsung terikat pada antigen dengan reseptor antigen yang unik
(antibodi), TCRs pada sel T CD4+ dan sel T CD8+ hanya dapat mengenali
suatu fragmen antigen yang telah diproses dan disajikan dalam hubungan
dengan antigen self yang unik pada permukaan sel yang dinamakan
antigen MHC (Major Histocomptability Complex).
CD8+ sel T yang mengenali antigen target, berproliferasi dan
diferensiasi menjadi sel T-sitotoksik CD8+ (Tc), yang membunuh antigen
target dengan mengirimkan sitokin berdosis letal (limfotoksin dan
perforin) atau langsung menyebabkan apoptosis. Sel T pengekspresi
CD4+ antigen disebut sel T-helper (TH 0). Ikatan antigen pada sel T-
helper CD4+ menyebabkan proliferasi dan diferensiasi sel menjadi 2
turunan sel T-helper CD4+ , yaitu sel TH 1 dan TH 2. Sel TH 1
membentuk sitokin (IL-2 dan TNF) yang menstimulasi respons imun
dimediasi sel (CMI) melawan patogen intraselular dan sel tumor.
Pembentukan sitokin oleh sel TH 1 akan membantu pemusnahan antigen
target oleh sel makrofag dari sistem imun non-spesifik. Hal ini
menunjukkan bahwa sel T-helper CD4+ merupakan tulang punggung
sistem imun. Sel TH 2 membentuk sitokin (IL-4, IL-5, IL-6) yang
berperan sentral dalam regulasi respons imun dimediasi antibodi (AMI)
dalam melawan antigen ekstra-selular dan patogen.
Peran sel T-helper CD4+ menjadi kritis pada AIDS dimana sel ini
merupakan target dari virus. Pada inidividu normal, jumlah sel T-helper
CD4+ dalam darah berkisar 800-1.200 sel/mm3 . Bila jumlahnya
berkurang sampai di bawah 200/mm3 berarti kondisi pasien sudah
mengarah ke stadium akhir dari infeksi HIV dan pasien menjadi rentan
terhadap infeksi oportunistik oleh mikroba dan juga kanker seperti
sarkoma Kaposi atau limfoma, yang secara normal tidak terjadi pada
individu sehat. Kasus AIDS mendukung pendapat yang menyatakan
bahwa imunosupresi dapat meningkatkan insidensi kanker. Juga
mendukung konsep bahwa imunosurveilance tubuh berperan dalam sistem
pertahanan tubuh Di samping sel T-helper CD4+ dan sel T-sitotoksik
CD8+, ter dapat populasi lain dari sel limfosit T yang menghambat
respons imun dengan melepaskan inhibitor sitokin. Sel ini dinamakan sel
T supresor (Ts).

Sistem imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem selular. Pada
imunitas humoral, sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba
ekstraselular. Pada imunitas selular, sel T mengaktifkan makrofag sebagai
efektor untuk menghancurkan mikroba atau mengaktifkan sel CTC/Tc sebagai
efektor yang menghancurkan sel terinfeksi.

A. SISTEM IMUN SPESIFIK HUMORAL

Pemeran utam dalam sistem imun spesifik humoral adlah limfosit B atau
sel B. Humor berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari sel asal multipoten di
sumsum tulang. Pada unggas, sel yang disebut Bursal cell atau sel B akan
berdiferensiasi menjadi sel B yang matang dalam alat yang disebut Bursa
Fabricius yang terletak dekat kloaka. Pada manusia diferensiasi tersebut
terjadi dalam sumsum tulang. Sel B yang dirangsang oleh benda asing akan
berproliferas, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang
memproduksi antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum.
Fungsi utama antibodi ialah pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus
dan bakteri serta menetralkan toksinnya.

B. SISTEM IMUN SPESIFIK SELULER


Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular. Sel
tersebut juga berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. Pada orang
dewasa sel T dibentuk didalam sumsum tulang, tetapi proliferasi dan
diferensiasinya terjadi didalam kelenjar timus atau pengaruh berbagaifaktor
asal timus. 90-95% dari semua sel T dala timustersebut mati dan hanya 5-
10% menjadi matang dan selanjutnya meninggalkan timus untuk masuk
kedalam sirkulasi.
Faktor timus yang disebut timosin dapat ditemukan dalam peredaran darah
sebagai hormon asli dan dapat mempengaruhi diferensiasi sel T di perifer.
Berbeda dengan sel B, sel t terdiri atas beberapa subsset dengan fungsi yang
berlainan yaitu sel CD4⁺ (Th1, Th2), CD8⁺ atau CTL atau Tc dan Ts atau sel Tr
atau Th3. Fungsi utama sistem imun spesifik selular ialah pertahanan terhadap
bakter yang hidup intraselular, virus, jamur, parasit dan keganasan. Sel
CD4⁺mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya mengaktifkan makrofag untuk
menghancurkan mikroba. Sel CD8⁺ memusnahkan sel terinfeksi. Perbedaan
imunitas speifik humoral dan selular.

ORGAN DAN SISTEM LIMFATIK

A. Organ limfatik
Sejumlah organ limfoid dan jaringan yang morfologis dan fungsional berlainan
berperan dalam respons imun. Organ limfoid tersebut dapat dibagi menjadi organ
primer dan sekunder. Timus dan sumsum tulang adalah organ primer yang
merupakan organ limfoid tempat pematangan limfosit.

 Organ limfoid primer

Organ limfoid primer atau sentral terdiri atas sumsum tulang dan timus.
Sumsum tulang merupakan jaringan kompleks tempat hematopoiesis dan
depot lemak. Lemak merupakan 50% atau lebih dari komprtemen rongga
sumsum tulang. Organ limfoid primer diperlukan untuk pematangan,
diferensiasi dan proliferas sel T dan B sehingga menjadi limfosit yang
dapat mengenal antigen. Karena itu organ tersebut berisikan limfosit
dalam berbagai fase diferensiasi. Sel hematopoietik yang diproduksi di
sumsum tulang menembus dinding pembuluh darah dan masuk ke dalam
sirkulasi dan didistribusikan ke berbagai bagian tubuh. Sumsum Tulang
merupakan tempat pembentukan dan pematangan limfosit B dan tempat
pembentukan Limfosit Tsedangkan timus merupakan tempat pematangan
limfost T.

 Organ limfoid sekunder

Organ Limfoid Sekunder terdiri dari limpa dan kelenjar limfe disebut juga
organ sistemik karena memberi respon terhadap antigen yang ada dalam
sirkulasi darah dan limfe yang berasal dari seluruh tubuh. Dan Sistem
Mukosa (Malt) Jaringan limfoid yang terdapat pada permukaan yang
melapisi saluran cerna (Galt) dan saluran napas (Balt). Mekanisme utama
adalah melalui s Ig A. Pada saluran cerna terdapat sebagai Peyers Patches.
Disamping sistem Malt, sejumlah besar limfosit terdapat dalam Jaringan
Ikat Lamina Propria (Lamina Propria Lymphocyte, LPL) Dan Dalam
Lapisan Epitel (Intra-Epitel)

Limpa dan kelenjar getah bening (KGB) merupakan organ limfoid


sekunder yang teroganisasi tinggi. Yang akhir ditemukan sepanjang sistem
pembuluh limfe. Jarigan limfoid yang kurang terorganisasi secara
kolektif disebut mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) yang
ditemukan di berbagai tempat di tubuh. MALT meliputi jaringan
limfoid ekstranodul yang berhubungan dengan mukosa di berbagai
lokasi, seperti skin-associated lymphoid tissue (SALT) di kulit,
bronchus-associated lymphoid tissue (BALT) di bronkus, gut-
associated lymphoid tissue (GALT) di saluran cerna yang meliputi
Plak Peyer di usus kecil, apendiks, berbagai folikel limfoid dalam
lamina propria usus, mukosa hidung, tonsil, mame, serviks uterus,
membran mukosa saluran napas atas, bronkus dan saluran kemih.
Organ limfoid sekunder merupakan tempat sel darah
mempresentasikan antigen yang ditangkapnya di bagian lain tubuh ke
sel T yang memacunya untuk proliferasi dan diferensiasi limfosit.

FUNGSI KOMPONEN SISTEM IMUN

Ada 2 tipe utama dari sel-sel sistem imun spesik, yaitu sel T dan sel B.
Keduanya berasal dari sel-sel prekusor sumsum tulang embrionik yang kemudian
dimodikasi secara spesifik; yang melalui timus menjadi sel T, yang melalui bursa
limfatikus dalam sumsum tulang, hati, limpa, atau usus menjadi sel B.

Baik sel T maupun sel B beredar dalam darah dan jaringan limfoid seperti
kelenjar limfe. Ada beberapa sel T, termasuk sel T-helper, supresor, dan killer. Sel B
berkembang menjadi sel plasma yang membentuk antibodi. Sel T-helper mengontrol
dan menjalankan sistem imun spesifik dan memerintah sel-sel lain.

Sesudah antigen dihasilkan oleh makrofag, sel T akan menerima atau


mengikat antigen dengan suatu reseptor spesifik pada permukaan sel. Sel T yang
terstimulasi akan mengeluarkan mediator kimiawi yang dinamakan limfokin,
interleukin, dan interferon. Mediator ini akan mendorong proliferasi sel imun.
Pelepasan mediator kimiawi menyebabkan sel B menjadi sel plasma. Sel plasma
membentuk antibodi, suatu protein spesifik yang terikat pada bahan penyebab.

Antibodi dinamakan imunoglobulin, dijumpai dalam serum dan merupakan


komponen cairan humoral utama. IgG yang merupakan 80% dari antibodi tubuh,
merupakan imunoglobulin yang paling banyak. Antibodi yang disekresi oleh kelenjar
liur adalah IgA (13%) dan sangat berperan dalam pertahanan permukaan mukosa.
IgM (6%) merupakan antibodi yang mengaktifkan sistem komplemen. IgD (1%)
terlibat dalam immune tolerance. IgE (1%) terlibat dalam reaksi hipersensitivitas
imediat, antibodi ini menyebabkan sel mast melepaskan hitamin dalam jumlah besar,
menyebabkan vasodilatasi berat.

Interferon yang dilepaskan oleh sel T, akan menyebabkan makrofag diaktivasi


sedemikian rupa sehingga dapat memfagosit lebih baik dan mematikan benda asing
dengan lebih efisien. Pada saat bersamaan, sel B dan sel T-sitotoksik diaktivasi. Sel-
sel ini menjadi banyak dan dapat mengenali antigen pada permukaan sel yang
terinfeksi oleh benda asing. Sel T-sitotoksik menginjeksi protein ke dalam membran
sel yang akan membentuk lubang dalam membran, menyebabkan bagian dalam sel
terbuka dan mematikan sel. Di samping mematikan sel-sel yang terinfeksi dengan
organisme terutama virus, sel T-sitotoksik dapat mematikan selsel tumor. Tumor
dapat mempunyai antigen yang berbeda dari dirinya sendiri dan sel T-sitotoksik dapat
menyerang sel-sel tumor.
Sistem imun pada saat serangan organisme yang pertama akan mencapai
aktivitas seluler dan humoral yang hebat dalam periode sekitar 1 minggu dan berakhir
selama beberapa minggu. Dengan terbunuhnya organisme, terjadi penurunan
serangan oleh sistem imun ini. Sel T-supresor menghentikan sistem ini dengan
mengirimkan tanda untuk menekan aktivitas sitotoksis dan aktivitas pembentukan
antibodi. Sel T-supresor ini juga menekan terjadinya perubahan sel T menjadi
sitotoksik dan mencegah tubuh menyerang dirinya sendiri. Sebelum sel T dan sel B
hilang, terbentuk sel-sel memori yang beredar dalam darah dan sistem limfatik untuk
bertahun-tahun lamanya. Kemudian bila organisme menyerang lagi, sel-sel memori
ini segera mengenali antigen tersebut dan segera menyerangnya, termasuk di
dalamnya adalah antibodi dalam serum, mukus, saliva, dan air mata sehingga
penyerang dapat mengenalinya dari semua pintu masuk.

Peran sentral pada semua tipe respons imun dilakukan oleh CD4+ sel T-
helper. CD4+ sel T-helper yang terstimulasi oleh antigen, berdiferensiasi menjadi
turunan CD4+ sel T-helper, yaitu sel TH 1 dan TH 2. Sitokin yang dilepaskan oleh
sel TH 1 membantu respons imun selular dengan meningkatkan populasi sel T-
sitotoksik CD8+ dan aktivasi makrofag yang merupakan faktor yang berperan dalam
respons imun innate/non-spesi!k. Pembentukan sitokin oleh makrofag juga
mengaktivasi proliferasi dan diferensiasi sel T-helper.

FUNGSI KOMPONEN SISTEM IMUN

1) Fungsi Leukosit
a. Kemotaksis
Begitu leukosit memasuki jaringan ikat, sel ini harus mampu ber migrasi dan
menempati jaringan yang terluka. Hal ini terlaksana dengan baik oleh
kemotaksis yang bergantung pada kemampuan leukosit untuk merasakan
gradien kimiawi yang melintasi badan sel dan bermigrasi ke arah yang lebih
tinggi konsentrasi kimiawinya. Fagosit hanya merasakan sejumlah kecil bahan
kimiawi yaitu kemotaksin karena mempunyai reseptor kemotaksin. Reseptor
untuk kemotaksis adalah protein yang tergolong dalam famili protein-G.
b. Fagositosis
Contoh sel fagosit adalah sel neutrofil, monosit, dan makrofag. Seperti tipe
lain dari sel darah putih, sel fagosit berasal dari sel pumca (stem) pluripoten
dalam sumsum merah tulang. Neutrofil dan monosit/makrofag merupa kan sel
yang cukup efisien dalam fagositosis sehingga dinamakan fagosit profesional.
Fagositosis oleh neutrofil lebih bersifat primitif dari pada fagositosis oleh
makrofag dalam sistem imun. Sel fagosit tertarik ke tempat infeksi oleh proses
kemotaksis. Contoh faktor kemotaksis adalah produk dari mikrobial, sel
jaringan dan leukosit yang rusak, komponen komplemen (misal C5a), dan
sitokin tertentu. Fagositosis merupakan proses multitahap dengan sel fagosit
memakan dan merusak agen infeksius.
Fagositosis merupakan proses pencernaan partikel (dalam ukuran yang dapat
terlihat oleh mikroskop cahaya) oleh sel. Fagositosis dilakukan dalam
fagosom, suatu vakuola yang struktur membrannya tidak jelas dan berisi
bahan patogen.
Sistem imun melakukan opsonisasi, yaitu mekanisme melapisi patogen
dengan suatu molekul antibodi atau protein komplemen yang membuat fagosit
dapat mengikat dan mencerna patogen itu. Selanjutnya proses dilanjutkan
dengan penyatuan membran plasma sel fagosit dengan permukaan
mikroorganisme. Kemudian terjadi perluasan membran plasma (pseudopodia)
dan sel fagosit menelan patogen. Terbentuk fagosom (vakuol fagosistik) yang
menyatu dengan lisosom sehingga patogen dapat dicerna oleh enzim
pencernaan yang sesuai (misalnya lisosim) dan bahan kimiawi bakterisidal.
Saat mikroba dapat dicerna, mikroba ini akan dapat dibunuh. Fagosit
membunuh bakteri dengan 2 mekanisme, yaitu mekanisme berdasarkan
reduksi oksigen yang dinamakan mekanisme oksidatif dan mekanisme
nonoksidatif. Mekanisme oksidatif membutuhkan keberadaan oksigen, potensi
oksidasi reduksi. Mekanisme ini tidak optimal dilakukan di daerah krevikular
gingiva. Jadi, fagosit juga harus me miliki mekanisme pembunuh bakteri
dengan mekanisme non-oksidatif. Neutrofil tidak membutuhkan oksigen
untuk energi dan dapat berfungsi dalam kondisi anaerob. Mekanisme non-
oksidatif membutuhkan penyatuan fago som dan lisosom membentuk
fagolisosom yang menghasilkan sekresi komponen lisosom ke dalam fago
lisosom. Neutrofil mempunyai 2 macam lisosom atau granula. Granula yang
pertama adalah granula spesifik untuk sekresi ekstraselular dan
intrafagolisosom dan yang ke dua adalah granula azurol terutama untuk
sekresi in trafagolisosom. Bahan yang dicerna dikeluarkan dari sel
(eksositosis).
c. Pemprosesan dan penyajian antigen
Molekul MHC
Molekul MHC merupakan suatu tempat pada lengan pendek kromosom 6
(6p21.3) yang mengode sejumlah molekul termasuk molekul MHC kelas I, II,
dan III yang terlibat dengan pengikatan antigen, pemprosesan, dan
penyajiannya. Ada 2 tipe utama molekul self-MHC yang juga dinamakan
HLA (Human Leucocyte Antigen), yaitu molekul MHC kelas I dan molekul
MHC kelas II.
Semua sel memproses dan menyajikan antigen yang berasal dari sel (antigen
intrasel) pada molekul MHC kelas I. Molekul MHC kelas I ditemukan pada
semua sel tubuh kecuali pada sel eritrosit. Molekul MHC kelas I menyajikan
antigen intrasel TCR pada sel T CD8+, dan sel NK. Molekul MHC kelas III
meliputi faktor komplemen B, C2, dan C4.
Antigen yang berasal dari sumber di luar sel disajikan oleh sel penyaji antigen
khusus (APC, Antigen Precenting Cell) pada molekul MHC kelas II. Ada 3
APC khusus, yaitu sel dendritik periferal, derivat monosit, dan sel B. Molekul
MHC kelas II ditemukan hanya pada permukaan sel penyaji antigen (APC,
Antigen Presenting Cell) seperti sel makrofag, sel B, dan sel dendritik.
Molekul MHC kelas II berperan penting dalam penyajian antigen eksogen ke
reseptor sel T pada sel T-helper CD4+. Sel-sel ini khusus menyajikan antigen
ke sel T CD4+yang mengenali antigen pada molekul MHC kelas II. Ini
merupakan hal penting karena CD4+ sel T mengontrol proliferasi sel T lain
dan sel B. Sel penyaji antigen khusus memroses antigen dan
mengekspresikannya pada molekul MHC kelas II (misal, HLA-DP,
HLA=DQ, HLA-DR). Antigen ekstrasel ini diproses oleh fagositosis dan
menghasilkan molekul peptida pada molekul MHC kelas II di permukaan sel.
Molekul MHC kelas I, II dan III pada manusia bersifat pleomorfik
berdasarkan adanya variasi gen tertentu. Ini menyebabkan antigen yang terikat
pada molekul MHC kelas I dan II seseorang belum tentu terikat pada individu
lain. Adanya pleomorfik merupakan faktor pertimbangan ada tidaknya
penolakan yang signifikan dalam transplantasi sehingga ada istilah histokom
patibilitas. Bila jaringan donor tidak cocok dengan MHC, akan terjadi
bermacam-macam antigen baru yang dikenali sebagai benda asing dan
jaringan donor ditolak oleh respons imun.
Sesudah pengikatan fragmen komplek antigen MHC pada TCR, sel T menjadi
aktif hanya bila me nerima sinyal kedua (sinyal ko-stimulator). Sinyal kedua
ini penting untuk aktivasi penuh sel T dengan cara: membuat sel T resisten
terhadap apoptosis (ke matian sel yang terprogram), meningkatkan regulasi
reseptor faktor pertumbuhan pada sel T sehingga men stimulasi proliferasi sel
T, dan mengurangi jumlah waktu yang diperlukan untuk menstimulasi
proliferasi sel T.
Molekul ko-stimulator umumnya merupakan molekul adhesi sel yang
membuat 2 sel melekat satu dengan yang lain untuk periode lama dan
menyebabkan proliferasi dan diferensiasi sel T. Contoh: aktivasi dan
diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel T-helper membutuhkan ikatan molekul
CD28 pada CD4+ sel T ke molekul CD80/CD86 yang tersaji pada APC,
menghasilkan pembentukan IL-2, ekspresi Il-2, progresi siklus sel, dan
proliferasi sel T teraktivasi. Pengenalan antigen oleh reseptor antigen pada sel
limfosit dalam absennya sinyal ko-stimulator menyebabkan tidak
terbentuknya sitokin yang menghasilkan suatu keadaan yang dinamakan
anergi (keadaan tidak adanya respons imunologi) atau menyebabkan
meningkatnya apoptosis.
Berbeda dengan sel T-helper CD4+, aktivasi penuh sel T-sitotoksik melawan
sel target dicetuskan oleh ikatan molekul CD2 pada CD8+ sel T dengan
molekul CD58 sel target dan dengan interaksi LFA-1 (Lymphocyte
Functional Antigen-1) pada sel T dengan molekul adhesi interselular-1
(ICAM-1, Intercellular Adhesion Molecule 1) pada sel target.
2) Neutrofil dan Monosit/Makrofag
Neutrofil dan monosit merupakan sel fagositik dari leukosit. Perbedaan mendasar
dari keduanya adalah neutrofil mengalami diferensiasi hampir lengkap dalam
sumsum tulang selama 14 hari, sedangkan monosit keluar dari sumsum tulang
sesudah 2 hari dalam keadaan yang relatif tidak dewasa dan berdiferensiasi dalam
jaringan. Keduanya berukuran sama (diameter 10µm) dan berada dalam darah.
Neutrofil berumur pendek (1-5 hari). Neutrofil juga dikenal dengan nama PMN
(leukosit polimorfonuklear) dan merupakan sel leukosit terbanyak dalam darah,
yaitu sekitar dua per tiga populasi leukosit (4000-8000 sel/mm3 ). Neutrofil
memiliki lisosom dalam sitoplasmanya. Oleh karena neutrofil tidak perlu
mengalami diferensiasi untuk melakukan fungsinya, sel ini cocok untuk respons
segera. Neutrofil mengadakan respons sangat cepat terhadap infeksi. Dalam
merespons infeksi, sumsum tulang membentuk neutrofil 1-2x1011 per hari. Jumlah
neutrofil tidak berkurang dengan bertambah usia. Ketika neutrofil meninggalkan
darah, sel ini selalu mempertahankan ukurannya yang kecil dan karenanya
dinamakan mikrofag. Neutrofil hanya memfagosit patogen yang kecil seperti
virus atau bakteri. Neutrofil memiliki reseptor untuk metabolit dari molekul
komplemen C3 dan membentuk reseptor komplemen 1,3,4 (CR1, CR3, CR4).
Reseptor-reseptor ini membuat neutrofil dapat berpartisipasi dalam respons
radang dan mencerna molekul asing dan sel asing dalam proses fagositosis.
Makrofag merupakan bagian non-spesifik dari sistem imun yang memusnahkan
dan merusak secara tidak selektif atau berusaha untuk merusak organisme asing
atau debris. Telah disepakati bahwa monosit dianggap sebagai makrofag saat sel
ini meninggalkan darah. Monosit menyem purnakan diferensiasinya dalam
jaringan lokal dan dia meter nya menjadi lebih besar dari 22 µm, didesain sebagai
makrofag. Kontras dengan neutrofil, makrofag dalam jaringan yang berasal dari
darah, merespons lebih lambat terhadap rangsang kemotaktik, tetapi lebih efisien
dalam mefagosit sisa jaringan patogen yang masih hidup dan yang sudah mati.
Makrofag membunuh agen infeksi melalui beberapa mekanisme, seperti sekresi
mo lekul yang sangat banyak, misalnya interferon (antivirus) atau lisosim
(antibakteri) dan membentuk radikal oksigen, asam nitrat, serta produk yang
mengandung klorin. Makrofag yang teraktivasi membentuk sejumlah sitokin (IL-
1, IL-8, TNF dan IFN) yang menstimulasi respons in!amasi dan menambah
tentara dari sel imun dan molekul ke tempat infeksi agar lebih efektif
memusnahkan patogen pe nyerang
Makrofag hidup menetap dalam jaringan tertentu (sel kupffer dalam hati,
mikroglia dalam otak) atau bergerak ke seluruh tubuh untuk mencari patogen
(makrofag patroli). Karena makrofag mengalami diferensiasi dan hidup dalam
jaringan lokal, sel ini cocok untuk berkomunikasi dengan limfosit dan sel lain di
sekitarnya. Makrofag hidup bulanan atau tahunan, cukup panjang untuk
menyajikan antigen ke sel T. Sangat penting dalam aktivasi respons imun adaptif
melawan patogen dengan menyajikan fragmen antigen yang diproses pada
permukaan selnya yang berkaitan dengan molekul MHC-II, ke CD4+ limfosit-T,
menyebabkan aktivasi CD4+ limfosit T-helper, sehingga terjadi stimulasi respons
imun selular dan humoral melawan agen infeksius.
Makrofag dan limfosit membentuk respons in!amasi kronis. Monosit/makrofag
mempunyai reseptor CR1, CR3, CR4, CR5a, beberapa kelas dari reseptor Fc dan
molekul penting dalam penyajian antigen (reseptor MHC kelas I dan CD1).
Begitu makrofag mencerna organisme, bagian dari organisme yang teridentifikasi
(sebagai antigen), tampak pada permukaan makrofag pada MHC. Antigen ini
berfungsi sebagai marker yang kemudian memberi tanda pada sel T yang secara
spesifik mengenal penyerangnya.
3) Limfosit
Tiga tipe utama limfosit dibedakan berdasarkan pada reseptor antigennya,
menjadi limfosit-T, limfosit-B, dan sel pembunuh alami (NK, natural killer).
Dalam darah, sel B dan sel T bersifat tidak aktif dan berukuran kecil (8-10 µm).
Sel NK dapat berdiferensiasi secara luas dalam sumsum tulang dan tampak dalam
darah sebagai suatu limfosit besar bergranular. Dengan diameter >15 µm, sel
menjadi lebih besar dari sel leukosit lainnya dalam darah.
a. Limfosit-T (sel T)
Limfosit-T merupakan 80-90% limfosit darah tepi. Juga dijumpai di
daerah parakorteks kelenjar limfe. Pengaktifan limfosit-T sama dengan
limfosit-B. Limfosit ini mempunyai reseptor permukaan untuk antigen,
membentuk sel T-memori dan limfokin (untuk merespons rangsangan
antigen), dan mempunyai imunoglobulin permukaan dalam jumlah lebih
sedikit. Limfosit-T mengenali berbagai antigen dengan mengguna kan
kompleks transmembran beranitas lemah yaitu reseptor antigen sel T
(TCR, T-cell antigen receptor). Antigen dikenali oleh sel T dalam
kaitannya baik dengan molekul MHC kelas I maupun MHC kelas II. Sel T
dibagi berdasarkan adanya ko-reseptor CD4 atau CD8. Ko-reseptor CD4
terikat secara reversibel untuk molekul MHC kelas II (HLA-DR, HLA-
DP, HLA-DQ) yang ditemukan pada sel dendritik, makrofag, dan sel B.
CD4+ sel T mengawali dan membantu respons imun dalam melakukan
proliferasi dan membedakan sinyal. Koreseptor CD8 untuk molekul MHC
kelas I yang berada pada semua sel. CD8+ sel T terutama adalah sel T
sitotoksik yang terlibat dalam pengontrolan antigen intrasel (misal,
bakteri, fungi, hifa jamur, dan virus).
b. Limfosit-B (sel B)
Limfosit-B ditemukan dalam sumsum tulang, folikel limfoid, pulpa putih
dari limpa, dan merupakan 10-20% limfosit darah perifer. Namanya
berasal dari bursa of fabricus (organ burung yang bertanggung jawab
untuk pembentukan produksi limfosit-B). Limfosit-B membantu
mengontrol antigen ekstraselular, seperti bakteri, jamur, dan virion.
Limfosit-B mengenali antigen yang bervariasi dengan menggunakan
reseptor antigen sel B (BCR, B-cell antigen receptor) yang merupakan
reseptor antigen beranitas kuat. Sel B berikatan dengan reseptor
permukaan IgM, IgD untuk mengikat antigen sehingga terjadi proliferasi
limfosit-B, membentuk ekspansi klonal. Interaksi anitas kuat antara
BCR dan antigen mampu membuat sel B mengikat dan mencerna antigen
tanpa menyajikan antigen. Dengan kata lain, antigen terikat kuat tanpa
terekspresi. Sebelum antigen terekspresi, sel B mengekspresikan IgM
sebagai bagian dari BCR. Antigen yang dicerna didegradasi dan disajikan
pada sel T. Sesudah paparan antigen, limfosit-B berdiferensiasi mem
bentuk sel plasma yang terdidik untuk membentuk dan menyekresi
antibodi dari isotipe IgM. Limfosit-B lainnya, dengan adanya sel T dapat
berdiferensiasi melalui jalur memori, membentuk limfosit B-memori. Sel
B memori bertanggung jawab untuk serangan cepat dari respons antibodi
sekunder. Sel B memori meningkatkan populasi sel plasma saat paparan
kedua dari antigen dan menghasilkan antibodi berafinitas kuat dengan
isotipe yang sesuai.
4) Antibodi
Antibodi merupakan protein (imunoglobulin). Dihasilkan oleh sel plasma yang
berasal dari proliferasi dan diferensiasi sel B yang terjadi setelah kontak dengan
antigen. Diklasikasikan berdasarkan kegunaannya, yang utama adalah antibodi
netralisasi yang berfungsi untuk melawan toksin, melapisi bakteri dengan opsonin
untuk membantu proses fagositosis antibodi dengan mengikat bakteri. IgA
merupakan antibodi utama dalam saliva, berfungsi menghalangi perlekatan
bakteri ke epitel mulut, faring, dan gastrointestinal. IgD, berperan sebagai
reseptor antigen di permukaan limfosit. IgE ditemukan dengan jumlah sangat
sedikit dalam serum, berpartisipasi dalam reaksi hipersensitivitas tipe I. IgG
merupakan pertahanan utama terhadap mikroorganisme dan toksin. IgM adalah
antibodi pertama yang disekresikan untuk merespons rangsangan antigen.
5) Sel Pembunuh Alami (NK)
Sel NK merupakan subpopulasi limfosit yang berperan penting dalam respons
imun alami dengan memediasi efek sitotoksis dalam sel target dan dengan
melepas sitokin (IFN dan TNF). Sel NK mengenali dan membunuh sel tumor
tertentu dan sel yang terinfeksi virus. Jumlah NK meningkat dengan
meningkatnya usia, tetapi kapasitas toksisitasnya menurun, yang menyebabkan
menurunnya respons sitotoksisitas ter hadap antigen pada agen infeksi atau
terhadap sel tumor pada usia tua Tidak seperti limfosit-T atau limfosit-B, sel NK
kurang spesik dan kurang memori, tetapi dapat menginduksi lisis spontan dari
sel terinfeksi virus dan sel tumor dengan menyekresi perforin dan enzim litik
lainnya. Sel NK dapat menginduksi ADCC (antibody-dependent cell
mediatedcytotoxicity) pada sel target dengan mengikatnya pada bagian Fc
antibodi. Contohnya, protozoa dan cacing terlalu besar untuk dimakan oleh sel
fagosit sehingga perlu diliputi oleh antibodi saat sisi antigen dari antibodi (misal,
IgG1 dan IgG3 manusia) terikat pada antigen tersebut sehingga bagian Fc
antibodi yang bebas dapat terikat pada reseptor Fc dari sel NK dan terjadi
pembunuhan sel secara langsung oleh ADCC. Sel NK mempunyai beberapa kelas
reseptor antigen, termasuk KIR (Killer Inhibitory Receptors) dan KAR (Killer
Activating Receptors). Reseptor-reseptor ini akan mengenali antigen yang
berhubungan dengan molekul MHC kelas I, molekul MHC kelas I sendiri, atau
suatu glikoprotein permukaan lainnya. Sel normal mempunyai molekul MHC
kelas I yang menyajikan antigen yang dikenali sebagai self yang berinteraksi
dengan KIR dan melindungi sel dari pembunuhan yang dimediasi sel NK.
Perubahan antigen yang disajikan oleh molekul MHC kelas I terjadi pada sel
tumor dan sel yang terinfeksi virus, menyebabkan aktivasi sel NK karena KIR
tidak mendeteksi cukup self antigen. Selain itu, sel dapat menyajikan self antigen
sebagai respons terhadap stres atau perubahan lainnya, yang dikenali oleh KAR.
Aktivasi KAR dapat mengacuhkan inhibisi KIR dan menyebabkan sel NK
membunuh sel target.
6) Komplemen
Komplemen merupakan suatu rangkaian interaksi dari sekitar 30 membran yang
berhubungan dengan reseptor sel dengan glikoprotein serum yang larut.
Komponen larut dari sistem ini berjumlah sekitar 5% (3-4 mg/mL) dari total
protein serum. Sebagian besar komponen yang larut disintesis dalam hati, namun
banyak juga yang dibentuk oleh makrofag (misal, C1, C2, C3, C4, C5, Faktor B,
C1-INA, Faktor D, dan Faktor H). C3 merupakan komponen penting dari
komplemen, merupakan komponen terbesar, yaitu sekitar sepertiga total kom
plemen. Komponen larut dari sistem komplemen pertama kali dilihat ketika
menyebabkan bakteriolisis dan sitolisis dalam hubungannya dengan antibodi
(suatu komplemen dari antibodi) dan kemudian dalam hubungannya dengan tidak
adanya antibodi. Efek litik ini menjadi terkenal dan mewakili hanya 1 fungsi dari
komplemen. Sistem komplemen berperan penting dalam memusnahkan mikroba
selama respons imun innate dan adaptif. Komplemen merupakan protein yang bila
diaktifkan akan melindungi terhadap infeksi dan berperan dalam fase in!amasi
dengan berperan sebagai: opsonin untuk meningkatkan fagositosis; faktor
kemotaksis; melisis bakteri dan parasit. Ada 3 jalur utama aktivasi komplemen,
dua di antaranya diinisiasi oleh mikroba dalam keadaan tidak adanya antibodi,
jalur ini dinamakan jalur alternatif atau jalur lectin. Jalur ketiga diinisiasi oleh
isotipe antibodi tertentu yang melekat pada antigen, pengaktifan jalur ini
dinamakan jalur klasik. Beberapa protein dalam sistem komplemen berinteraksi
dalam sekuen yang tepat. Protein komplemen yang dalam jumlah besar di dalam
plasma dinamakan C3, berperan sentral dalam ketiga jalur pengaktifan di atas. C3
secara spontan terhidrolisis dalam plasma dengan kadar rendah namun produknya
tidak stabil dan cepat hancur serta menghilang. Jalur alternatif terpicu saat produk
pecahan hidrolisis C3 yang dinamakan C3b dideposit pada permukaan mikroba.
Di sini, C3b membentuk ikatan kovalen yang stabil dengan protein atau
polisakarida mikroba yang melindunginya dari pengrusakan selanjutnya. C3b
dicegah untuk berikatan stabil dengan sel hospes normal oleh beberapa protein
regulator yang berada pada sel hospes dan tidak ditemukan pada mikroba.
Mikroba yang terikat dengan C3b menjadi substrat bagi pengikatan protein lain,
dinamakan faktor B, yang dipecahkan oleh protease plasma untuk membentuk
fragmen Bb. Fragmen ini tetap melekat pada C3b dan kompleks C3bBb secara
enzimatik memecahkan lebih banyak C3 sebagai suatu jalur alternatif konvertasi
C3 sehingga aktivitas konvertasi ini membentuk lebih banyak molekul C3b dan
C3bBb. Sistem komplemen merupakan komponen pusat dari respons in!amasi
yang mampu membuat endotel dan leukosit mengenali dan mengikat substansi
asing dalam keadaan kekurangan reseptor. Sistem komplemen mengandung
rangkaian protein tidak aktif dalam darah dan dapat diaktivasi sesudah pengikatan
antibodi pada bakteri dan sel asing lain atau dengan jalur alternatif dengan
melibatkan kapsul polisakarida bakteri. Sekali diaktivasi, sistem komplemen
membentuk sejumlah protein aktif yang dapat meningkatkan in!amasi dan
fagositosis serta memicu lisis sel.
7) Sitokin
Sitokin merupakan protein hormon yang kurang spesik dan lebih terlokalisasi
dibanding hormon endokrin serta dapat menstimulasi atau menghambat fungsi
normal sel. Baik sistem imun selular maupun humoral dikoordinasi oleh sitokin
(60 sitokin). Sitokin terbagi dalam beberapa famili, termasuk interleukin,
interferon, tumor necrosis factor, colony stimulating factor, dan kemokin yang
mengatur migrasi sel di antara dan di dalam jaringan.
8) Interleukin
Ada 22 interleukin (IL-1 sampai IL-22). IL-1, disekresi oleh makrofag dan
monosit, menstimulasi respons in!amasi dan mengaktivasi limfosit. IL-2,
diproduksi oleh limfosit T-helper, menstimulasi proliferasi dari T-helper, T-
sitotoksik dan limfosit-B, serta mengaktivasi sel NK. IL-10 dan TGF, merupakan
imunosupresan, menghambat respons sitotoksis sistem imun (sel T dan sel
makrofag) terhadap antigen tumor dan agen infeksi. Obat yang memblok aksi
imunosupresi IL-10 dan TGF pada sistem imun merupakan substansi yang
berperan penting dalam terapi kanker manusia. Obat yang menstimulasi fungsi
IL-10 dan TGF, ber guna untuk menekan respons imun patologis seperti pada
penyakit autoimun, alergi, dan penolakan transplantasi.
9) Interferon
Interferon merupakan sitokin berupa glikoprotein yang dipro duksi oleh:
makrofag yang diaktifkan, sel NK, berbagai sel tubuh yang mengandung inti dan
dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. INF berperan dalam antivirus,
menginduksi sel di sekitar sel terinfeksi virus, menjadi resisten terhadap virus,
mengaktifkan sel NK untuk memusnahkan sel terinfeksi virus, dan
menyingkirkan sumber infeksi

Respon Imunologis : COVID-19

1) Gambaran Radiologis

Gambaran radiologis (CT- scan) pasien yang terinfeksi SARS- CoV- 2 beragam
dan berkembang secara cepat. Gambaran yang paling umum didapatkan adalah
ground glass appearance (GGO) dan bercak konsolidasi yang terutama
ditemukan pada zona paru bagian dalam dan luar. Garis fibrosa dapat ditemukan
saat kondisi telah membaik. Sebuah studi menyatakan terdapat 4 tahap
perubahan gambaran CT- scan pasien COVID- 19. Pada fase awal, GGO adalah
gambaran utama yang dapat ditemukan, terutama pada lobus bawah paru, baik
unilateral ataupun bilateral. Pada fase progresif ditemukan gambaran GGO difus
dan bilateral dan konsolidasi pada lebih dari dua lobus paru- paru. Pada fase
puncak, gambaran tersebut lebih prevalen. Dan pada fase perbaikan, konsolidasi
akan terserap secara bertahap.

2) Gambaran Patologis
Gambaran patologis pada pasien yang terinfeksi SARS- CoV- 2 sangat terbatas
oleh karena sangat jarang dilakukan otopsi. Xu et  al. melaporkan sebuah studi
kasus tentang seorang pasien laki- laki berusia 50 tahun yang meninggal 14 hari
setelah dirawat di rumah sakit karena gagal nafas dan henti jantung. Gambaran
utama yang ditemukan pada biopsi adalah kerusakan difus alveolar bilateral
dengan eksudat sel fibromiksoid dan sebukan sel radang dominan limfosit. Sel
sinsitial berinti banyak dengan pembesaran pneumosit atipikal yang ditandai
dengan nukleus yang besar, sitoplasma granular amfofilik, dan nukleus prominen
ditemukan di intraalveolar. Tidak tampak adanya virus intranuklear atau
intrasitoplasmik. Gambaran ini menyerupai biopsi pasien yang terinfeksi SARS-
CoV dan MERS- CoV.
3) Imunopatologis
COVID-19 Infeksi SARS- CoV- 2 dapat dibagi menjadi 3 fase. Tahap I yaitu
masa inkubasi asimptomatik, dengan atau tanpa terdeteksi adanya virus (karier);
tahap II terdeteksinya virus di darah dengan gejala yang tidak parah; dan tahap III
yaitu saat terjadi gangguang pernafasan yang berat dengan viral load yang
tinggi. Peranan karier di sini sangat penting karena virus dapat ditularkan
secara tidak sadar. Penularan oleh karier pertama kali dilaporkan di Jerman.
Setelah masa inkubasi, virus SARS- CoV- 2 akan menimbulkan gejala ringan dan
merangsang respon imunitas penderita. Terdapat studi yang menyatakan pada
infeksi SARS- CoV- 2, sama dengan infeksi SARS- CoV, terjadi penurunan
signifikan kadar CD4+ dan CD8+ pada darah perifer, sebagai bukti tingginya
proporsi HLA- DR (CD4 3,47%), dan CD38 (CD8 39,4%). Keberhasilan
eliminasi virus bergantung pada status kesehatan penderita secara umum dan pada
HLA haplotype. Pada periode ini, pendekatan terapi untuk meningkatkan respon
imunitas penderita dapat dipertimbangkan.
Virus SARS- Cov- 2 menginfeksi sel melalui reseptor ACE2, seperti pada
penyakit SARS. RNA virus, sebagai pathogen associated molecular patterns
(PAMPs), akan dikenali oleh pattern recognition receptors (PRRs). Toll-like
receptors (TLR) 3, TLR7, TLR8, dan TLR9 akan mendeteksi adanya RNA dan
DNA virus pada endosom. Sementara viral RNA receptor retinoic acid inducible
gene I (RIG-I), RIG-I), dan cytosolic receptor melanoma differentiation-
associated gene 5 (MDA5) berperan dalam mengenali RNA virus di sitoplasma.
Respon imun host merupakan kunci dalam proses eradikasi virus, sekaligus
memegang peranan terjadinya imunopatogenesis yang menyebabkan terjadinya
respon inflamasi yang tidak terkontrol atau dikenal dengan badai sitokin. Yang
menyebabkan COVID- 19 berbahaya adalah minimnya sel T memori untuk
menghasilkan respon imunitas yang adekuat dan tepat waktu untuk mengatasi
infeksi di tahap awal. Hal ini yang mungkin menyebabkan adanya pasien yang
jatuh pada tahap kritis, akibat terjadinya pneumonitis alveolar, atau pneumonia
insterstisial berat yang berakibat kerusakan jaringan paru masif dan berkurangnya
kadar oksigen dalam darah, dan gagal nafas yang berujung pada gagal jantung dan
gagal ginjal.
Terdapat berbagai hal mengenai COVID- 19 yang membingungkan dan sulit
dijelaskan. 85% pasien yang terinfeksi mengalami gejala ringan hingga sedang,
10% mengalami gejala berat, dan 5% lainnya jatuh pada tahap kritis dan
kematian. Selain itu, mengapa infeksi SARS- Cov- 2 pada dewasa muda dan
anak- anak jauh lebih ringan, bahkan asimptomatik dibandingkan dengan kasus
dewasa dan orang tua hingga saat ini masih dipelajari lebih jauh.
Anak- anak lebih rentan terhadap segala virus yang menyebabkan infeksi
pernafasan dibandingkan dewasa. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti, cabang bronkus yang lebih pendek, sistem kekebalan tubuh yang belum
matur, jumlah sel T memori spesifik yang jauh lebih sedikit pada anak- anak,
yang mengakibatkan virus akan lebih mudah mencapai alveoli dan menimbulkan
pneumonia.
Terdapat banyak kemiripan antigen yang dihasilkan SARS-CoV-2 dengan
human coronavirus lainnya. Salah satu perbedaan SARS- CoV- 2 dengan virus
corona lainnya adalah protein S, yang ketika berhasil menginfeksi tubuh manusia,
respon imun adaptif dan humoral belum cukup kompeten untuk menyembuhkan
infeksi di tahap awal.2,9 Penjelasan yang memungkinkan mengenai interaksi
imun pada COVID- 19 kemungkinan sebagai berikut: Pertama, pasien dewasa
sehat memiliki imunitas humoral dan adaptif yang baik, yang dapat mencegah
progresifitas penyakit dan menyebabkan keadaan akan membaik 2- 3 minggu
sejak terjadi gejala. Hal ini merupakan faktor yang mencegah virus mencapai
alveoli dalam jumlah besar, sehingga pasien akan membaik setelah mengalami
gejala ringan sampai sedang. Selanjutnya, pasien usia tua, baik tanpa atau dengan
komorbiditas tidak memiliki respon imun yang kompeten sehingga virus dapat
mencapai alveoli dalah jumlah besar dan memicu proses peradangan. Sistem
imun akan semakin agresif oleh karena alveoli merupakan tempat terakhir
sebelum virus menuju sirkulasi sistemik. Alveoli memiliki cell mediated
immunity yang diperantarai oleh limfosit dan makrofag. Sel epitel saluran nafas
juga bertindak sebagai sel efektor terhadap respon stimulus eksogen. Di tahap
inilah cell mediated immunity berperan penuh untuk mengeliminasi virus secara
ekstensif, bersamaan dengan lonjakan sitokin lokal dan sistemik, yang
menyebabkan peradangan alveoli dan inflamasi interstisial, dan akan berujung
pada kerusakan jaringan paru- paru. Proses inilah yang akan menyebabkan
ARDS, gagal nafas, dan pada akhirnya menimbulkan multiorgan failure.
Salah satu faktor yang berkaitan dengan terjadinya ARDS adalah hyaluronan
(HA). Tingginya kadar sitokin (IL- 1, TNF) berpengaruh pada meningkatnya
sintesis HA- synthase- 2 (HAS2) pada endotel CD31+, sel epitel alveoli
EpCAM+, dan pada fibroblas. HA memiliki peranan penting dalam mengabsorpsi
air hingga 1000 kali lipat berat molekulnya. Studi menunjukkan hewan yang
kesulitan bernafas membaik setelah pemberian hyaluronidase intranasal. Klinisi
juga menggunakan obat yang bekerja menghambat HAS2, yaitu
Hymecromone (4- Methylumbelliferone, 4-MU). Derivatif kimia obat tersebut
dapat ditemukan pada obat- obat herbal tradisional di Cina.
Pada pasien SARS yang telah sembuh, sel T memori bertahan selama empat
tahun pasca infeksi, dan dapat berproliferasi, menimbulkan reaksi
hipersensitifitas tipe lambat, dan memproduksi IFN- γ. Sel T CD8+ spesifik
terhadap MERS juga terdeteksi dalam darah pada percobaan pada tikus. Oleh
karena baru ditemukan, kekebalan jangka panjang terhadap COVID- 19 belum
dapat dipahami sepenuhnya. Terdapat sebuah laporan kasus mengenai pasien
yang sembuh mengalami reinfeksi COVID- 19 untuk kedua kalinya. Dabio et  al
melaporkan seorang perempuan berusia 46 tahun yang telah terkonfirmasi
COVID- 19 dari hasil usap orofaringeal. RNA virus kembali terdeteksi sebanyak
4,56  × 102 setelah 2 kali pemeriksaan usap orofaringeal negatif, dan dalam
keadaan gejala pasien telah membaik. Spekulasi peneliti antara lain, belum ada
penelitian yang dapat menentukan masa penularan COVID- 19 secara pasti.
Selain  penularan oleh karier, pasien dalam masa kovalesen juga mungkin dapat
menularkan virus. Reseptor ACE2 terdapat jauh lebih banyak pada jalur respirasi
bagian bawah, sehingga hasil usap orofaringeal dapat menimbulkan hasil negatif
palsu. Pasien yang telah dinyatakan sembuh diharapkan dapat dimonitoring viral
load dan respon sel B dan sel T secara berkala, dan dianjurkan tetap
dikarantina di rumah selama 14 hari.

Ketahanan virus SARS-CoV-2

SARS- CoV- 2 viabel pada aerosol selama 3 jam, dengan reduksi titer virus dari
103.5 ke 102.7 TCID50 per liter udara. Kendati demikian, penularan dari
manusia ke manusia melalu aerosol belum dapat dipastikan.13 SARS- CoV- 2
lebih stabil pada plastik dan besi dibandingkan pada tembaga dan kardus.
Ketahanan pada plastic adalah sekitar 72 jam, dan pada besi sekitar 48 jam. Virus
tidak bertahan setelah 4 jam pada tembaga, dan pada kardus virus tidak terdeteksi
setelah 24 jam.
Ketahanan SARS- CoV- 2 pada aerosol dan permukaan benda mirip dengan
ketahanan SARS- CoV- 1. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan pada
karakteristik epidemiologis dari infeksi kedua virus ini mungkin disebabkan oleh
faktor lain, seperti tingginya jumlah penularan SARS- CoV- 2 dari karier
asimptomatik, atau tingginya vira load pada saluran respirasi.
1. Uji Validitas
Menurut Sugiyono (2014:24) validitas menunjukan derajat ketepatan antara data
yang sesungguhnya terjadi pada obyek dengan data yang dapat dikumpulkan oleh
peneliti. Uji validitas diambil berdasarkan data yang didapat dari hasil kuesioner,
dengan menggunakan korelasi Pearson Product Moment yaitu korelasi antar item
dengan skor total dalam satu variabel, dan pengukuran yang diperoleh dengan
menggunakan software SPSS 22.0 dengan tingkat signifikansi (α) = 0,05 karena
dinilai cukup mewakili, dan merupakan tingkat signifikansi yang umum
digunakan pada penelitian ilmu sosial. Jumlah sampel (n) = 30 responden,
sehingga diperoleh nilai rtabel sebesar 0,361.
2. Uji Reliabilitas
Menurut Indrawati (2015:155) reliabilitas adalah menyangkut tingkat
keterpercayaan, keterandalan, konsistensi, atau kestabilan hasil suatu pengukuran.
Menurut Riduwan (2010:125) uji reliabilitas instrumen penelitian menggunakan
rumus Cronbach’s Alpha. Cronbach’s Alpha adalah rumus matematis yang
digunakan untuk menguji tingkat reliabilitas ukuran, dimana suatu instrumen
dapat dikatakan handal (reliabel) bila memiliki koefisien keandalan atau alpha
sebesar 0,6 atau lebih. Menurut Sugiyono (2012:220), Instrumen dinyatakan
reliabel bila koefisien reliabilitas minimal 0,6.

Daftar Pustaka

Baratawidjaya, K. G. (2012). Imunologi Dasar Edisi ke 10. Jakarta: Badan Penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Marliana, N., & Widhyasih, R. M. (2018). Imunoserologi. Jakarta: Departemen
Kesehatan R.

Sudiono, J. (2014). Sistem Kekebalan Tubuh. Jakarta: EGC.

Sugitha, K. L. (2020). COVID-19: Respon imunologis, ketahanan pada permukaaan


benda dan pilihan terapi klinis. Intisari Sains Medis, 11, 791-797.

Zahra, R. R., & Rina, N. (2018, JANUARI-JUNI). PENGARUH CELEBRITY


ENDORSER HAMIDAH RACHMAYANTI TERHADAP KEPUTUSAN
PEMBELIAN PRODUK ONLINE SHOP MAYOUTFIT DI KOTA
BANDUNG. JURNAL LONTAR, 43-57.

Anda mungkin juga menyukai