Anda di halaman 1dari 29

STUDI LITERATUR PENEKANAN PROFIL OBAT

YANG MENGALAMI INTERAKSI, GRADE INTERAKSI,


KLASIFIKASI INTERAKSI FARMAKOKINETIK DAN
DINAMIKA (JIKA MEMUNGKINKAN PENGARUHNYA
TERHADAP OUTCOME KLINIS PASIEN)

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh
Noor Afyah Yulia Putri
NPM: 1648201110085

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Peraturan

Menteri Kesehatan, 2016). Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau

dokter gigi, kepada Apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic

untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang

berlaku (Peraturan Menteri Kesehatan, 2016).

Pemberian obat yang tidak tepat dengan kondisi pasien

mengakibatkan dampak negatif baik dari segi kesehatan karena dapat

memperburuk kondisi pasien serta dari segi ekonomi yaitu pemborosan.

Penggunaan obat karena dosis lebih dan dosis kurang karena kesalahan dalam

penentuan dosis dan pemilihan obat merupakan salah satu faktor utama

penyebab terjadinya interaksi obat, terlebih pada penderita ISPA karena pada

kasus penyakit anak dengan ISPA pemberian obat-obat dengan antibiotik

adalah salah satu terapi pengobatannya. Obat-obatan antibiotik sangat mudah

berinteraksi dengan obat-obat lain pada penggunaanya sehingga ada dua

kemungkinan terjadinya interaksi yang tidak diinginkan (DRPs), yaitu

meningkatnya efek toksik atau efek samping obat atau berkurangnya efek

klinis yang diharapkan (Cipolle et al, 1998). Oleh karena itu pentingnya
pendidikan untuk dokter atau tenaga medis tentang farmakologi dan

farmakokinetik pada anak-anak harus diterapkan untuk peresepan obat

(Rashed et al, 2012). Selain itu farmasis juga harus memiliki pengetahuan

tentang penggunaan obat pada anak-anak agar dapat memberikan saran yang

tepat bagi dokter, perawat, ataupun tenaga medis lainnya maupun orang tua

dan anak (Prest, 2003).

Peresepan obat terkadang tidak hanya dengan satu macam obat,

melainkan dengan kombinasi berbagai macam obat dan digunakan secara

bersamaan tergantung dari kebutuhan penyakit pasien. Kombinasi ini

berpotensi terjadinya interaksi. Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai

penggunaan obat yang dilakukan secara bersamaan (Kee and Hayes, 1996).

Interaksi obat dianggap penting secara klinis bila berakibat meningkatkan

toksisitas dan atau mengurangi efektifitas obat yang berinteraksi, sehingga

terjadi perubahan efek terapi (Ganiswara, 1995). Pada pasien pediatri penting

dilakukan analisis terhadap adanya interaksi obat. Interaksi obat pasien

pediatri sifatnya unpredictable tidak seperti pada pasien dewasa (Price and

Gwin, 2014). Potensi interaksi obat ini dikarenakan belum sempurnanya

fungsi sistem organ pada pediatri (Ascbenbrenner and Venable, 2009).

lnteraksi obat didefinisikan ketika obat bersaing satu dengan yang

lainnya, atau yang terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang

lainnya (Stockley, 2008). lnteraksi obat adalah kerja atau efek obat yang

berubah, atau mengalami modifikasi sebagai akibat interaksi dengan satu obat

atau lebih (Swamy et al, 2014).


Kejadian interaksi obat pada pasien pediatri banyak ditemukan di

berbagai negara baik negara berkembang maupun negara maju. Penelitian

yang dilakukan di Rumah Sakit Pakistan dengan menganalisis 400 data rekam

medik pasien pediatri diperoleh hasil bahwa 260 resep berpotensi terjadi

interaksi obat, setelah dianalisis terdapat 86 interaksi obat. Diantaranya

interaksi mayor 10,7%, moderat 15,2%, dan minor 12,5% (Ismail et al, 2013).

Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Anak di Amerika Serikat terjadi

potensi interaksi obat mayor 41%, moderat 28%, dan minor 11% (Feinstein et

al, 2014).

Kejadian interaksi obat ini penting untuk dilakukan mengingat

banyaknya kejadian interaksi yang merugikan pasien terutama pada pasien

pediatri. Pediatri adalah cabang ilmu pengobatan yang dapat dihubungkan

dengan perkembangan dan kekacauan terhadap suatu penyakit. Variasi organ,

sistem tubuh, dan enzim adalah yang menentukan jenis pengobatan pada

pediatri karena untuk setiap individu akan terjadi perbedaan dosis, formula,

respon efek, dan adverse drug effect (Buidler and Howry, 2007).

Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait

obat (drugrelated problem) yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien,

dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam

pengobatan saat ini dan kecenderungan terjadinya praktik polifarmasi, maka

kemungkinan terjadinya interaksi obat semakin besar (Sari, 2012).

Sebagian besar informasi diperoleh dari laporan-laporan kasus

terpisah, uji-uji klinik, dan/atau studi-studi farmakokinetik pada subyek sehat


dan usia muda yang tidak sedang menggunakan obat-obat lainnya, sehingga

untuk menetapkan risiko efek samping akibat suatu interaksi obat pada

seorang pasien tertentu seringkali tidak dapat secara langsung. Profil

keamanan suatu obat seringkali baru didapatkan setelah obat tersebut sudah

digunakan cukup lama dan secara luas di masyarakat, termasuk oleh populasi

pasien yang sebelumnya tidak terwakili dalam uji klinik obat tersebut.

Konsekuensinya, diperlukan beberapa bulan atau bahkan tahun sebelum

diperoleh data yang memadai tentang masalah efek samping akibat interaksi

obat.

Namun, studi pharmacovigilance dan post marketing surveilance yang

antara lain di kelola oleh industri farmasi diharapkan berperan cukup besar

guna mendapatkan data interaksi dan efek samping obat, terutama nntuk obat-

obat baru yang semakin banyak muncul dan beredar di pasaran. Informasi

mengenai seberapa sering seseorang mengalami risiko efek samping karena

interaksi obat, dan seberapa jauh risiko efek samping dapat dikurangi

diperlukan jika akan mengganti obat yang berinteraksi dengan obat alternatif.

Dengan mengetahui bagaimana mekanisme interaksi antar obat, dapat

diperkirakan kemungkinan efek samping yang akan terjadi dan melakukan

antisipasi.

Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi,

metabolisme dan ekskresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun menurunkan

kadar plasma obat. Interaksi obat secara farmakokinetik yang terjadi pada

suatu obat tidak dapat diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk obat lainnya
meskipun masih dalam satu kelas terapi, disebabkan karena adanya perbedaan

sifat fisikokimia, yang menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda.

Contohnya, interaksi farmakokinetik oleh simetidin tidak dimiliki oleh H2-

bloker lainnya; interaksi oleh terfenadin, aztemizole tidak dimiliki oleh

antihistamin non-sedatif lainnya.

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja

pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga

terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan

kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi

farmakodinamik umumnya dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang

segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah

berdasarkan efek farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi

farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya jika

diketahui mekanisme kerja obat.

Aspek klinis merupakan hal yang dipertimbangkan dalam pemilihan

jenis obat untuk terapi, namun yang tidak kalah penting adalah pertimbangan

segi biaya, terlebih bila bukti klinis (evidence based) perbedaan efektivitas

obat yang akan dibandingkan belum diketahui atau kurang signifikan.

Outcome klinis adalah perubahan terukur dalam kesehatan, fungsi atau

kualitas hidup yang dihasilkan dari perawatan. Outcome klinis yang dilakukan

untuk menilai keberhasilan pengobatan pasien melalui pemeriksaan

laboratorium.
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Studi Literatur Penekanan Profil Obat yang

Mengalami Interaksi, Grade Interaksi, Klasifikasi Interaksi Farmakokinetik

dan Dinamika (jika Memungkinkan Pengaruhnya terhadap Outcome Klinis

Pasien)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah apakah ada pengaruh penekanan profil obat yang

mengalami interaksi, grade interaksi, klasifikasi interaksi farmakokinetik dan

dinamika terhadap outcome klinis pasien?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh penekanan profil obat yang mengalami

interaksi, grade interaksi, klasifikasi interaksi farmakokinetik dan dinamika

terhadap outcome klinis pasien.

D. Manfaat Penelitian

Secara aplikatif, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan

informasi untuk dokter dan tenaga kefarmasian dalam peresepan obat di

instalasi rawat inap sehingga diperoleh terapi yang efektif, aman dan efisien

sehingga keberhasilan terapi dapat ditingkatkan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Penekanan Profil Obat Yang Mengalami Interaksi

Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan.

Penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari

tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Berbagai pilihan obat saat

ini tersedia, sehingga diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang cermat

dalam memilih obat untuk suatu penyakit. Tidak kalah penting, obat harus

selalu digunakan secara benar agar memberikan manfaat klinik yang

optimal. Terlalu banyaknya jenis obat yang tersedia ternyata juga dapat

memberikan masalah tersendiri dalam praktek, terutama menyangkut

bagaimana memilih dan menggunakan obat secara benar dan aman. Para

pemberi pelayanan (provider) atau khususnya para dokter (prescriber)

harus selalu mengetahui secara rinci, obat yang dipakai dalam pelayanan.

Di banyak sistem pelayanan kesehatan, terutama di negara-negara

berkembang, informasi mengenai obat maupun pengobatan yang sampai

ke para dokter seringkali lebih banyak berasal dari produsen obat.

Informasi ini seringkali cenderung mendorong penggunaan obat yang

diproduksi oleh masing-masing produsennya dan kurang obyektif.

Dalam sistem pelayanan kesehatan nasional, mutlak diperlukan

sumber informasi profil obat yang netral, agar para dokter dapat
memperoleh informasi yang obyektif setiap saat memerlukannya. Salah

satu bentuk informasi profil obat yang komprehensif adalah buku

informatorium nasional. Pada dasarnya, pengertian formatorium obat

adalah kumpulan informasi dari produk-produk obat yang telah diijinkan

untuk digunakan dalam suatu sistem pelayanan kesehatan.

Informatorium Obat Nasional Indonesia atau disingkat IONI,

memuat informasi mengenai produk-produk obat yang disetujui beredar di

Indonesia. Sesuai ketentuan yang berlaku, sebelum disetujui beredar di

Indonesia, obat harus melalui penilaian khasiat, keamanan dan mutu,

sehingga obat yang beredar telah memenuhi 3 kriteria tersebut. Informasi

tersebut mencakup informasi mengenai farmakodinamik dan

farmakokinetik obat, indikasi dan cara penggunaannya, keamanannya dan

informasi lainnya. Pengembangan IONI tidak terlepas dari prinsip

kedokteran berdasarkan bukti (evidence-based medicine), dengan

informasi yang dicantumkan adalah yang paling banyak didukung oleh

bukti-bukti ilmiah yang berkaitan dengan kemanfaatan dan keamanan

penggunaan obat. Informasi yang dimuat dalam suatu informatorium

merupakan informasi yang telah ditelaah secara cermat berdasarkan data

penelitian.

Kepentingan dan manfaat informasi profil obat yang mengalami

interaksi dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:

 Mencakup produk-produk obat yang telah mendapat izin edar (legal)


 Memuat informasi obat, terutama mengenai indikasi, penggunaan dan

cara penggunaan, serta informasi keamanan obat yang resmi disetujui

(approved).

 Menghindari pemberian infomasi obat yang salah (tidak berimbang,

bias, tidak lengkap).

 Mendorong penggunaan obat yang efektif, aman dan rasional.

Terdapat tiga jenis golongan obat yaitu obat bebas, obat bebas

terbatas dan obat keras.

a. Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli

tanpa resep dokter. Tanda khusus untuk obat bebas adalah berupa

lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam.

b. Obat bebas terbatas adalah obat yang dijual bebas dan dapat dibeli

tanpa dengan resep dokter, tapi disertai dengan tanda peringatan.

Tanda khusus untuk obat ini adalah lingkaran berwarna biru dengan

garis tepi hitam.

Khusus untuk obat bebas terbatas, selain terdapat tanda khusus

lingkaran biru, diberi pula tanda peringatan untuk aturan pakai obat,

karena hanya dengan takaran dan kemasan tertentu, obat ini aman

dipergunakan untuk pengobatan sendiri. Tanda peringatan berupa

empat persegi panjang dengan huruf putih pada dasar hitam yang

terdiri dari 6 macam.

c. Obat Keras adalah obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep

dokter. Ciri-cirinya adalah bertanda lingkaran bulat merah dengan


garis tepi berwarna hitam, dengan huruf K ditengah yang menyentuh

garis tepi. Obat ini hanya boleh dijual di apotik dan harus dengan resep

dokter pada saat membelinya.

2. Grade Interaksi

Interaksi obat terjadi ketika efek dari satu obat diubah oleh

kehadiran obat lain, jamu, makanan, minuman atau oleh beberapa

lingkungan bahan kimia (Baxter, 2008). Efek gabungan dari kombinasi

tersebut bisa bermanifestasi sebagai suatu efek yang aditif atau diperkuat

dari salah satu atau lebih obat, antagonism dari efek satu atau lebih obat,

atau perubahan lain dalam efek dari satu atau lebih obat. Interaksi yang

signifikan secara klinis mengacu pada kombinasi dari obat-obatan terapi

yang memiliki konsekuensi langsung pada kondisi pasien. Keuntungan

terapi bisa didapatkan dari interaksi obat tertentu, misalnya kombinasi dari

obat-obat antihipertensi berbeda bisa digunakan untuk memperbaiki

kontrol tekanan darah atau suatu antagonis opioid bisa digunakan untuk

membalik efek dari overdosis morfin (Walker, 2012)

Perubahan efek obat akibat interaksi obat dapat bersifat

membahayakan dengan meningkatnya toksisitas obat atau berkurangnya

khasiat obat. Namun, interaksi dari beberapa obat juga dapat bersifat

menguntungkan seperti efek hipotensif diuretik bila dikombinasikan

dengan beta-bloker dalam pengobatan hipertensi (Fradgley, 2003)


Estimasi yang akurat dari insiden interaksi obat sulit untuk

didapatkan karena penelitian-penelitian yang dipublikasi sering

menggunakan berbagai kriteria yang berbeda-beda untuk mendefinisikan

interaksi obat, dan untuk membedakan antara interaksi klinis yang

signifikan dan non-signifikan. Beberapa dari penelitian-penelitian

terdahulu membandingkan obat-obatan yang diresepkan dengan daftar

interaksi obat yang mungkin terjadi tanpa memperhatikan potensi

signifikansi/kekuatannya secara klinis (Baxter, 2008).

Kesadaran yang tinggi dan profesional kesehatan tentang obat-obat

yang sering diberikan untuk terapi, serta pengetahuan dokter tentang

mekanisme interaksi obat akan sangat membantu untuk

mengurangi/menghindari kemungkinan terjadinya interaksi, ketika obat-

obat tertentu diberikan secara bersamaan atau diminum oleh penderita

pada waktu yang bersamaan, karena hal ini dapat mengakibatkan kerugian

bagi penderita.

Faktor-faktor penderita yang berpengaruh terhadap Grade interaksi

obat:

a. Umur Penderita

1) Bayi dan balita. Pada bayi dan balita proses metabolik belum

sempurna, efek obat yang muncul dapat berbeda dari indikasi

obatnya misalkan ibuprofen tidak boleh diberikan pada bayi

berusia kurang dari 6 bulan karena efek samping ibuprofen sangat


kuat yaitu mual, muntah bahkan perdarahan pencernaan. Pada bayi

sistem pencernaan masih sangat rentan.

2) Orang Lanjut usia. Orang lanjut usia relatif lebih sering berobat,

lebih sering menderita penyakit kronis seperti hipertensi,

kardiovaskuler, diabetes, arthritis. Orang lanjut usia sering kali

fungsi ginjal menurun, sehingga ekskresi obat terganggu

kemungkinan fungsi hati juga terganggu, dan diet pada lanjut usia

sering tidak memadai.

b. Penyakit yang sedang diderita. Pemberian obat yang merupakan

kontra-indikasi untuk penyakit tertentu yang sedang diderita oleh

pasien.

c. Fungsi Hati Penderita. Fungsi hati yang terganggu akan menyebabkan

metabolisme obat terganggu karena biotransformasi obat sebagian

besar terjadi di hati.

d. Fungsi ginjal penderita. Fungsi ginjal terganggu akan mengakibatkan

ekskresi obat terganggu ini akan mempengaruhi kadar obat dalam

darah, juga dapat memperpanjang waktu paruh biologik (t1/2) obat.

Dalam hal ini ada 3 hal yang dapat dilakukan, yaitu: dosis obat

dikurangi, interval waktu antara pemberian obat diperpanjang, atau

kombinasi dan kedua hal diatas.

e. Kadar protein dalam darah penderita. Bila kadar protein dalam darah

penderita dibawah normal, maka akan berbahaya terhadap pemberian

obat yang ikatan proteinnya tinggi.


f. pH urin penderita. pH urin dapat mempengaruhi ekskresi obat di dalam

tubuh.

g. Diet penderita. Diet dapat mempengaruhi absorpsi dan efek obat

(Joenoes, 2002). Pada sejumlah senyawa makanan menyebabkan

peningkatan, penundaan, dan penurunan absorbsi obat (Mutschler,

1999). Makanan dapat berikatan dengan obat sehingga mengakibatkan

absorbsi obat berkurang atau melambat. Sebagai contoh adalah

interaksi antara tetrasikslin dan segala macam produk susu yang

menyebabkan penurunan konsentrasi tetrasiklin dalam plasma. Oleh

karena adanya efek pengikatan ini maka tetrasiklin harus di makan 1

jam atau 2 jam sesudah makan dan tidak boleh diminum bersamaan

dengan produk apapun yang mengandung susu (Kee and Hayes, 1996).

3. Klasifikasi Interaksi Farmakokinetik

Interaksi dalam proses farmakokinetik yaitu absorpsi, distribusi,

metabolisme dan ekskresi (ADME) dapat meningkatkan ataupun

menurunkan kadar plasma obat. Interaksi obat secara farmakokinetik yang

terjadi pada suatu obat tidak dapat diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk

obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas terapi, disebabkan karena

adanya perbedaan sifat fisikokimia, yang menghasilkan sifat

farmakokinetik yang berbeda. Contohnya, interaksi farmakokinetik oleh

simetidin tidak dimiliki oleh H2-bloker lainnya; interaksi oleh terfenadin,

aztemizole tidak dimiliki oleh antihistamin non-sedatif lainnya.


Interaksi farmakokinetik terjadi jika salah satu obat mempengaruhi

absorbsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua, sehingga kadar

plasma obat kedua meningkat atau menurun. Akibatnya, terjadi

peningkatan toksisitas atau penurunan efektivitas obat tersebut (Tatro,

2009).

a. Mempengaruhi Absorpsi.

Kebanyakan interaksi yang dapat mengubah absorpsi obat

terjadi di saluran cerna. Terdapat banyak mekanisme dimana suatu

obat secara teori dapat mengubah absorpsi dari obat lain. Termasuk di

dalamnya mengubah aliran darah plasma, motilitas saluran cerna, pH

saluran cerna, kelarutan obat, metabolisme di saluran cerna, flora

saluran cerna ataupaun mukosa saluran cerna. Namun sebagian besar

interaksi yang penting secara klinis melibatkan pembentukan dari

komplek yang tidak dapat diabsorpsi.

b. Mempengaruhi Distribusi.

Ikatan dengan protein setelah diserap, obat dibawa oleh darah

ke jaringan dan reseptor. Jumlah obat yang dapat berikatan dengan

reseptor ditentukan oleh absorpsi, metabolisme, akskresi dan ikatan

dengan situs yang tidak aktif, serta afinitas obat terhadap reseptor dan

aktifitas intrinsik obat. Yang diperhatikan adalah obat yang terikat kuat

dengan albumin karena adanya pemberian obat lain yang juga

berikatan kuat dengan albumin. Mekanisme inilah yang banyak

digunakan untuk menjelaskan banyak interaksi. Perpindahan obat dari


ikatan dengan situs yang tidak aktif dapat meningkatkan konsentrasi

serum dari obat aktif tanpa adanya perubahan yang nyata pada

konsentrasi total serum. Ikatan dengan reseptor situs ikatan denagn

selain albumin terkadang penting dalam interaksi obat. Salah satu

contoh, penggantian tempat digoksin oleh quinidine dari situs ikatan di

otot rangka dapat meningkatkan konsentrasi serum digoksin.

c. Mempengaruhi Metabolisme.

Untuk mencapai efek sistemik, obat harus mencapai situs

reseptor, yang berarti obat tersebut harus mampu melintasi membran

plasma lipid. Oleh karena itu, obat tersebut setidaknya harus larut

didalam lipid. Peran metabolisme adalah mengubah senyawa aktif

yang larut di dalam lipid menjadi senyawa tidak aktif yang larut

didalam air sehingga dapat diekskresikan secara efisien. Sebagian

besar enzim terdapat dipermukaan endotelium hati. Suatu enzim

mikrosomal hati yang penting yaitu isoenzim sitokrom p-450 yang

bertanggung jawab dalam oksidasi kebanyakan obat dan merupakan

enzim yang paling sering di induksi oleh suatu obat lain.

Induksi enzim adalah merangsang peningkatan aktivitas enzim.

Peningkatan aktivitas enzim disebabkan jumlah keberadaan enzim.

Terdapat sekitar 400 obat dan bahan kimia yang merupakan agen

penginduksi enzim pada hewan. Secara klinis, fenobarbital, fenitoin,

karbamazepin dan rifampisin merupakan obat penginduksi enzim

terbesar. Untuk obat yang dimetabolisme oleh enzim yang diinduksi,


diperlukan peningkatan dosis saat digunakan bersama dengan obat

penginduksi enzim dan dosis diturunkan ketika obat tersebut

dihentikan.

Sedangkan penghambatan enzim metabolisme obat umumnya

dapat mengurangi laju metabolisme suatu obat tersebut dan terutama

jika obat tersebut memiliki indeks terapi sempit maka dapat berpotensi

toksik.

d. Mempengaruhi Ekskresi.

Interaksi yang mempengaruhi ekskresi umumnya

mempengaruhi transport aktif didalam tubulus ataupun efek pH pada

transport pasif dari asam lemah dan basa lemah. Dalam kasus baru ada

sedikit obat yang secara klinis dipengaruhi oleh perubahan pH urin,

seperti fenobarbital dan salisilat. Perubahan presentasi sodium pada

ginjal mempengaruhi ekskresi dan level serum lithium.

4. Klasifikasi Interaksi Farmakodinamika

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi obat yang bekerja pada

sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga

terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan

kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi

farmakodinamik umumnya dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang

segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah


berdasarkan efek farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian

interaksi farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat dihindari.

Contoh interaksi pada reseptor yang bersifat antagonistik misalnya:

interaksi antara β-bloker dengan agonis-β2 pada penderita asma; interaksi

antara penghambat reseptor dopamine (haloperidol, metoclo-pramid)

dengan levodopa pada pasien parkinson.

Interaksi dimana efek dari suatu obat diubah oleh obat lain pada

tempat aksinya. Terkadang obat-obat tersebut bersaing secara langsung

pada reseptor tertentu, tetapi reaksi sering kali terjadi secara tidak

langsung dan melibatkan mekanisme fisiologis. Interaksi ini juga dapat

diartikan sebagai interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor,

tempat kerja atau sistem fisiologis yang sama sehingga terjadi efek yang

aditif, sinergistik atau antagonistik, tanpa terjadi perubahan kadar obat

dalam plasma. Interaksi farmakodinamik merupakan sebagian besar dari

interaksi obat yang penting dalam klinik (Setiawati 2007).

a. Efek Aditif atau Sinergis

Dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama dan

diberikan pada saat yang bersamaan dapat menyebabkan efek aditif.

Efek aditif dapat muncul baik secara efek utama maupun sebagai efek

samping obat tertentu. Hal tersebut ini dapat digambarkan dengan

istilah aditif, penjumlahan, sinergis atau potensiasi. Kata ini memiliki

definisi farmakologis yang sering digunakan sebagai sinonim karena

dalam prakteknya sering sangat sulit untuk mengetahui sejauh mana


aktivitas atau efektifitas obat menjadi lebih besar atau lebih kecil

(Baxter 2008).

b. Efek Antagonis

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa obat yang

kerjanya bertentangan satu sama lain. Obat dengan aksi agonis pada

tipe reseptor tertentu dapat berinteraksi dengan obat antagonis pada

reseptor tersebut. Ada banyak dari interaksi yang terjadi pada situs

reseptor kebanyakan digunakan untuk keuntungan dalam terapetik.

Antagonis spesifik dapat digunakan untuk mengembalikan efek dari

obat lain pada situs reseptor (Baxter 2008 & Thanacoody 2012).

c. Sindrom Serotonin

Sindrom serotonin berhubungan dengan kelebihan serotonin

yang disebabkan oleh penggunaan suatu obat, overdosis atau adanya

interaksi antar obat. Meskipun kasus yang parah jarang terjadi, kasus

ini menjadi semakin mudah dikenali pada pasien yang menerima

kombinasi obat serotonergik (Thanacoody 2012).

Sindrom serotonin dapat terjadi ketika dua atau lebih obat yang

mempengaruhi serotonin diberikan pada saat bersamaan atau

penggunaan obat serotogenik lai setelah penghentian salah satu obat

serotogenik. Sindrom ini ditandai dengan gejala kebingungan,

disorientasi, gerakan yang abnormal, refleks berlebihan, demam,

berkeringat, diare, hipotensi ataupun hipertensi. Diagnosis ditegakkan

jika tiga gejala tersebut muncul dan tidak ditemukan penyebabnya.


d. Interaksi Obat atau Uptake Neurotransmitter.

Aksi sejumlah obat untuk mencapai situs aksi pada neuron

adrenergik dapat dicegah dengan adanya obat lain. Antidepresan

trisiklik mencegah reuptake noradrenalin ke nueron adrenergik perifer.

Pasien yang menggunakan antidepresan trisiklik dan diberi

noradrenalin secara parenteral menunjukan peningkatan respon seperti

hipertensi dan takikardi (Baxter 2008).

5. Outcome Klinis Pasien

Outcome klinis adalah perubahan terukur dalam kesehatan, fungsi

atau kualitas hidup yang dihasilkan dari perawatan. Outcome klinis yang

dilakukan untuk menilai keberhasilan pengobatan pasien antara lain

melalui pemeriksaan laboratorium seperti glukosa darah puasa (GDP),

glukosa darah postprandial (GDPP), dan nilai HBA1C. Outcome klinik

yang diharapkan dari pasien setelah mendapat pengobatan adalah meliputi

menurunnya gejala serta meningkatnya survival pasien.

Pengamatan dilakukan sampai dengan pasien menjalani tiga siklus

pengobatan. Gejala klinik diamati setelah pasien selesai menjalani tiga

siklus pengobatan sedangkan survival pasien diamati sampai dengan tiga

bulan setelah selesai menjalani tiga siklus pengobatan. Data gejala

diperoleh dari catatan medik pasien. Gejala klinik yang diamati meliputi

keputihan, pendarahan, nyeri, sekret vagina, iritasi vagina dan iritasi

mukosa vulva. Untuk setiap regimen dihitung jumlah pasien yang


kondisinya mengalami perbaikan, tetap atau malah makin memburuk. Data

gejala dievaluasi secara deskriptif.

Pelayanan farmasi klinis merupakan pelayanan langsung yang

diberikan apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome

klinis dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat untuk

tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien

(quality of life) terjamin. Pelayanan farmasi klinis yang dilakukan

meliputi:

a. Pengkajian dan pelayanan resep

b. Penelusuran riwayat penggunaan obat

c. Rekonsilisi obat

d. Pelayanan informasi obat

e. Konseling

f. Visite

g. Pemantauan terapi obat

h. Monitoring efek samping obat

i. Evaluasi penggunaan obat

j. Dispensing sediaan steril

k. Pemantauan kadar obat dalam darah

B. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai outcome klinis

pasien adalah penelitian Winata (2019) dengan judul peningkatan akurasi


klasifikasi interaksi farmakodinamik obat berbasis seleksi pasangan obat

takberinteraksi. Hasil penelitian bahwa pembentukan pasangan obat yang

termasuk GSN dengan terlebih dahulu menerapkan algoritma DP-Clus pada

pasangan obat yang termasuk kedalam GSP, agar memperoleh nilai akurasi

ketepatan prediksi yang lebih baik dapat menerapkan dua kondisi yaitu ketika

nilai kepadatan yang dibuat tetap maka gunakan nilai cluster property yang

tinggi begitu pula jika nilai cluster propertynya dibuat tetap maka gunakan

nilai kepadatan yang tinggi.

Penelitian yang dilakukan oleh Widyaswara (2016) tentang analisis

faktor-faktor yang berhubungan dengan Outcome pasien cedera kepala di IGD

RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto. Hasil penelitian bahwa ada

hubungan antara skor awal GCS dan tekanan darah sistolik pasien terhadap

outcome pasien cedera kepala. Sedangkan usia, frekuensi pernafasan dan nadi

tidak memiliki hubungan terhadap outcome pasien cedera kepala. Tekanan

darah sistolik merupakan faktor dominan yang memiliki hubungan terhadap

outcome pasien cedera kepala.

Penelitian yang dilakukan oleh Retno Gitawati (2008) dengan judul

interaksi obat dan beberapa implikasinya. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa hanya interaksi secara farmakodinamik yang dapat diprediksi, dan

umumnya efek berlaku untuk segolongan obat dari klas terapi yang sama

(class effect), sedangkan interaksi farmakokinetik tidak dapat diramalkan atau

diekstrapolasikan untuk obat dalam klas terapi yang sama, disebabkan adanya
perbedaan dalam sifat-sifat fisiko-kimia obat yang menyebabkan perbedaan

profil farmakokinetik.

Penelitian yang dilakukan oleh Bukhoriah Safitri (2017) dengan judul

kajian interaksi obat pasien diabetes mellitus tipe 2 ditinjau dari outcome

terapi di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ditemukan 78 pasien yang mengalami kejadian potensi

interaksi obat. Interaksi yang paling banyak terjadi adalah interaksi antara

ranitidin dan metformin sebanyak 22 kasus. Hasil analisis yang dilakukan

menyatakan bahwa terdapat antara interaksi obat terhadap outcome terapi

pasien.

Penelitian yang dilakukan oleh Verona Shaqila Ermaralda (2015)

dengan judul pengaruh Drug Related Problem terhadap Outcome klinik pasien

Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RS X di Tangerang Selatan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa ditemukan 52 pasien yang mengalami kejadian

potensi interaksi obat dengan frekuensi potensi interaksi 57,78%. Interaksi

paling banyak adalah interaksi metformin dan ranitidin sebanyak 17 kasus.

Pasien yang mencapai outcome klinik yaitu tercapainya target glukosa darah

puasa dan atau glukosa darah sewaktu ada 52,22%. Hasil analisis yang

dilakukan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara interaksi obat

terhadap outcome klinik pasien yang berupa tercapainya target pengendalian

glukosa darah.

Penelitian yang dilakukan oleh Risa Zulfiana (2016) dengan judul studi

penggunaan obat pada pasien Sepsis yang berpotensi menimbulkan interaksi


obat di Ruang ICU RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa potensi interaksi obat terjadi pada 9 pasien dari total

sampel. Kombinasi obat yang berpotensi menimbulkan interaksi obat

sebanyak 20 penggunaan dimana tingkat keparahan mayor dan sedang

sejumlah 6 dan 14 penggunaan. Sedangkan tingkat keparahan minor tidak

teridentifikasi dalam penelitian ini. Interaksi farmakokinetik terjadi lebih

banyak (15 interaksi obat) dibandingkan interaksi farmakodinamik (4 interaksi

obat). Potensi interaksi obat yang terjadi merupakan gambaran mengenai

terapi yang diberikan pada pasien sepsis, sehingga perlu dilakukan mnitoring

penggunaan obat dan resikonya.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitan kepustakaan (library research),

yaitu serangkaian penelitian yang berkenaan dengan metode pengumpulan

data pustaka, atau penelitian yang obyek penelitiannya digali melalui beragam

informasi kepustakaan (buku, ensiklopedi, jurnal ilmiah, koran, majalah, dan

dokumen) (Syaodih, 2009). Penelitian kepustakaan atau kajian literatur

(literature review, literature research) merupakan penelitian yang mengkaji

atau meninjau secara kritis pengetahuan, gagasan, atau temuan yang terdapat

di dalam tubuh literatur berorientasi akademik (academic-oriented literature),

serta merumuskan kontribusi teoritis dan metodologisnya untuk topik tertentu.

Fokus penelitian kepustakaan adalah menemukan berbagai teori, hukum, dalil,

prinsip, atau gagasan yang digunakan untuk menganalisis dan memecahkan

pertanyaan penelitian yang dirumuskan. Adapun sifat dari penelitian ini adalah

analisis deskriptif, yakni penguraian secara teratur data yang telah diperoleh,

kemudian diberikan pemahaman dan penjelasan agar dapat dipahami dengan

baik oleh pembaca.

Tinjauan pustaka atau literatur review, merupakan langkah penting di

dalam penelitian. Langkah ini meliputi identifikasi, lokasi, dan analisis dari

dokumen yang berisi informasi yang berhubungan dengan permasalahan

penelitian secara sistematis. Dokumen ini meliputi jurnal, abstrak, tinjauan,


buku, data statistik, dan laporan penelitian yang relevan. Tujuan utama dari

tinjauan pustaka ini adalah untuk melihat apa saja yang pernah dilakukan

sehubungan dengan masalah yang diteliti (Kuncoro, 2013:34). Menurut

Creswell (2014:27) literatur review adalah analisis literatur atas topik

penelitian yang bertujuan untuk menginformasikan kepada pembaca tentang

hasil-hasil penelitian lain yang berkaitan denga penelitian yang dilakukan saat

ini, menghubungkan penelitian dengan literatur-literatur yang ada, dan

mengisi celah-celah dalam penelitianpenelitian sebelumnya.

B. Sumber Data

Data yangdigunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data

sekunder merupakan datayang diperoleh bukan dari pengamatan langsung.

Akan tetapi data tersebut diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan

oleh peneliti-peneliti terdahulu. Sumber data sekunder yang dimaksud berupa

buku dan laporan ilmiah primer atau asli yang terdapat di dalam artikel atau

jurnal (tercetak dan/atau non-cetak) berkenaan dengan pokok bahasan

penelitian.

Pemilihan sumber didasarkan pada empat aspek yakni: (1) Provenance

(bukti), yakni aspek kredensial penulis dan dukungan bukti; (2) Objectivity

(Objektifitas), yakni apakah ide perspektif dari penulis memiliki banyak

kegunaan atau justru merugikan; (3) Persuasiveness (derajat keyakinan),

yakni apakah penulis termasuk dalam golongan orang yang dapat diyakini;
dan (4) Value (nilai kontributif), yakni apakah argumen penulis meyakinkan,

serta memiliki kontribusi terhadap penelitian lain yang signifikan.

C. Metode Pengumpulan Data

Data adalah sekumpulan informasi yang diperlukan untuk pengambilan

keputusan. Data ini perlu disusun dan disimpan dengan menggunakan metode

tertentu, pada umumnya data diberi nama sesuai dengan informasi yang

tercangkup didalamnya (Kuncoro, 2013:145). Dalam penelitian ini peneliti

menggunakan data kualitatif, menurut Kuncoro, (2013:145) data kualitatif

merupakan data yang tidak dapat diukur dengan skala numerik. Menurut

Creswell (2014:189) dalam penelitian kualitatif pengumpulan data merupakan

usaha membatasi penelitian, mengumpulkan informasi melalui wawancara,

dokumentasi, materi-materi visual, serta usaha merancang protokol untuk

merekam atau mencatatat informasi.

Dokumen merupakan sebuah catatan yang didalamnya berisikan tentang

peraturan-peraturan, berita, laporan, literatur, pedoman kerja, dan objek dari

penelitian. Dokumentasi mempunyai fungsi sebagai informasi pendukung

dalam melengkapi sumber data peneliti serta menyesuaikan dengan hal-hal

yang dilakukan oleh peneliti sudah berjalan sebagaimana mestinya. Menurut

Suwandi dan Basrowi (2010) mengungkapkan bahwa teknik analisis dokumen

atau studi dokumentasi merupakan cara pengumpulan data yang menghasilkan

dokumen-dokumen tertulis yang sifatnya penting untuk menelusuri masalah-


masalah yang berhubungan dengan objek yang diteliti sehingga akan

diperoleh data yang lengkap, sah dan bukan berdasarkan perkiraan.

D. Metode Analisis Data

Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis

data yang telah terkumpul untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang

kasus yang diteliti dan mengkajinya sebagai temuan bagi orang lain Analisis

data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis anotasi bibliografi

(annotated bibliography). Anotasi berarti suatu kesimpulan sederhana dari

suatu artikel, buku, jurnal, atau beberapa sumber tulisan yang lain, sedangkan

bibliografi diartikan sebagai suatu daftar sumber dari suatu topik. Dari kedua

definisi tersebut, anotasi bibliografi diartikan sebagai suatu daftar sumber-

sumber yang digunakan dalam suatu penelitian,dimana pada setiap sumbernya

diberikan simpulan terkait dengan apa yang tertulis di dalamnya. Terdapat tiga

hal yang harus diperhatikan dalam suatu analisis anotasi bibliografi. Ketiga

hal tersebut adalah: (1) Identitas sumber yang dirujuk; (2) Kualifikasi dan

tujuan penulis; (3) Simpulan sederhana mengenai konten tulisan; dan (4)

Kegunaan/pentingnya sumber yang dirujuk dalam menjawab permasalahan

yang telah dirumuskan.

E. Prosedur Penelitian

Terdapat empat prosedur yang digunakan dalam peneltian ini. Tiga

prosedur tersebut yakni:


1. Organize, yakni mengorganisasi literatur yang akan ditinjau/di-review.

Literatur yang di-review merupakan literatur yang relevan/sesuai dengan

permasalahan. Adapun tahap dalam mengorganisasi literatur adalah

mencari ide, tujuan umum, dan simpulan dari literatur dengan membaca

abstrak, beberapa paragraf pendahuluan, dan kesimpulannya, serta

mengelompokkan literatur berdasarkan kategori-kategori tertentu;

2. Synthesize, yakni menyatukan hasil organisasi literatur menjadi suatu

ringkasan agar menjadi satu kesatuan yang padu, dengan mencari

keterkaitan antar literatur;

3. Identify, yakni mengidentifikasi isu-isu kontroversi dalam literatur. Isu

kontroversi yang dimaksud adalah isu yang dianggap sangat penting untuk

dikupas atau dianalisis, guna mendapatkan suatu tulisan yang menarik

untuk dibaca;

4. Formulate, yakni merumuskan pertanyaan yang membutuhkan penelitian

lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai