Anda di halaman 1dari 42

MATA KULIAH : FITOKIMIA

DOSEN PEMBIMBING : RUSDIAMAN, S.Si., M.Si., Apt.

IDENTIFIKASI SENYAWA KIMIA DARI EKSTRAK BIJI KOPI (Coffea


Semen) DENGAN METODE KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)

DISUSUN OLEH

DIAN WAHDANIA (PO713251201061)

IKA APRIL YANI (PO713251201070)

INDRI NOVIASARI SESA (PO713251201072)

PARAMITA (PO713251201085)

SRI MUTMAINNAH NUR RAHMAH (PO713251201093)

SUHARA (PO713251201094)

SYAMHIJRAH AWALIA SARI (PO713251201095)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MAKASSAR

JURUSAN FARMASI

2021
DAFTAR ISI

i
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kopi menjadi komoditi penting dalam perdagangan internasional sejak
abad ke-19. Kebutuhan kopi di dunia setiap tahunnya terus meningkat. Data
International Coffee Organization (ICO) tahun 2014 menunjukkan bahwa
pertumbuhan konsumsi kopi dunia periode tahun 2008 – 2012 sebesar 6,9%,
dengan rata-rata pertumbuhan tiap tahunnya 1,7%. Berdasarkan data Asosiasi
Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) tahun 2014, konsumsi kopi di
Indonesia pun mengalami pertumbuhan, tercatat dalam periode tahun 2008 –
2012 meningkat sebesar 9,1% atau rata-rata pertumbuhan tiap tahunnya 2,3%.

Peningkatan konsumsi (kebutuhan) kopi perlu diimbangi dengan


peningkatan produksi, tetapi saat ini produksi kopi Indonesia cenderung
menurun. Produksi kopi Indonesia yang menurun, satu di antaranya
dipengaruhi luas areal perkebunan kopi yang menurun, pada tahun 2008 luas
areal perkebunan kopi adalah 1.295.110 ha dan tahun 2012 menjadi 1.235.289
ha, mengalami penurunan sebesar 4,62%. Menyikapi hal tersebut maka
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian melakukan program
untuk meningkatkan produksi kopi nasional di antaranya dengan mempercepat
perluasan areal tanam perkebunan kopi (Ditjenbun, 2014).

Provinsi Kalimantan Timur memiliki potensi besar dalam


pengembangan perkebunan kopi. Provinsi Kalimantan Timur memiliki lahan
yang sangat luas untuk mendukung program perluasan areal tanam kopi, salah
satunya adalah tersedianya lahan-lahan bekas tambang batubara yang belum
termanfaatkan dengan optimal untuk kegiatan pertanian atau perkebunan yang
bernilai ekonomis. Lahan reklamasi bekas tambang batubara yang telah
direvegetasi dengan tanaman sengon atau tanaman fast growing lainnya perlu
ditanami tanaman sisipan berupa tanaman lokal atau tanaman perkebunan

1
yang biasa dibudidayakan di area tersebut sebagai bagian dari kriteria
penilaian keberhasilan untuk pencairan jaminan reklamasi (Dirjen Minerba,
2012).

B. Maksud Percobaan
Maksud dari percobaan ini adalah melakukan ekstraksi pada simplisia
biji kopi (Coffea Semen) dengan metode Sokhlet. Mengidentifikasi komponen
senyawa kimia dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT).

C. Tujuan Percobaan
1. Untuk melakukan ekstraksi simplisia biji kopi (Coffea Semen) dengan
metode ekstraksi Sokhlet.
2. Untuk menentukan senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak biji
kopi (Coffea Semen) melalui Skrining fitokimia.
3. Untuk mengisolasi dan mengidentifikasi komponen senyawa kimia ekstrak
biji kopi (Coffea Semen) dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT).

D. Prinsip Percobaan

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Uraian Tanaman Kopi


1. Klasifikasi Tanaman Kopi
Klasifikasi tanaman kopi (Coffea sp.) menurut Rahardjo (2012)
adalah sebagai berikut :

Kigdom : Plantae

Subkigdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae

Genus : Coffea

Spesies : Coffea sp. ( Cofffea arabica L., Coffea canephora, Coffea


liberica, Coffea excels). (Rahardjo, 2012)

Gambar II.1. Tanaman Kopi (Coffea sp.)

3
(Sumber: https://images.app.goo.gl/gGzmKygTegxr8S7H7)

Gambar II.2. Buah Kopi

(Sumber: https://images.app.goo.gl/8gfZfGzeLoL69jKH7)

Tanaman kopi merupakan tanaman perkebunan yang berasal dari


Benua Afrika, tepatnya dari negara Ethiopia pada abad ke-9. Suku
Ethiopia memasukan biji kopi sebagai makanan mereka yang
dikombinasikan dengan makanan makanan pokok lainnya, seperti daging
dan ikan. Tanaman ini mulai diperkenalkan di dunia pada abad ke-17 di
India. Selanjutnya, tanaman kopi menyebar ke Benua Eropa oleh seorang
yang berkebangsaan Belanda dan terus dilanjutkan ke Negara lain
termasuk ke wilayah jajahannya yaitu Indonesia (Panggabean, 2011).

Di Indonesia kopi mulai dikenal pada tahun 1696, yang dibawa


oleh VOC. Tanaman kopi di Indonesia mulai diproduksi di pulau Jawa,
dan hanya bersifat cobacoba, tetapi karena hasilnya memuaskan dan
dipandang oleh VOC cukup menguntungkan sebagai komoditi
perdagangan maka VOC menyebarkannya ke berbagai daerah agar para
penduduk menanamnya (Najiyanti, S. dan Danarti, 2007).

2. Morfologi Biji Tanaman Kopi

4
Kopi adalah tumbuhan yang berbuah kecil, bulat dengan ukuran
maksimal sebesar biji kelereng. Tumbuhan kopi ini seringkali di buat
bubuk, dengan tujuan diminum, dibuat makanan, atau keperluan lainnya.

Gambar II.3. Biji Kopi

(Sumber: https://images.app.goo.gl/FpefSkvSpj39AhAJ9)

Biji kopi diperoleh dari buah kopi yang termasuk keluarga


rubiaceae. Biji kopi berbentuk lonjong. Biji kopi bertekstur keras, pada
tahap pecah kulit, warna biji kopi kuning kehijauan, berbentuk bulat telur
terbalik, panjang biji 16,26 mm, lebar biji 9,84 mm, dan keteblan biji 6,11
mm. Pada tahap pengeringan, biji kopi berwarna coklat muda, berbentuk
elips, memiliki panjang 12,80 mm, lebar 8,93 mm, dan ketebalan 5,80.

Pada umumnya tanaman kopi berbunga setelah berumur sekitar


dua tahun. Bila bunga sudah dewasa, terjadi penyerbukan dengan
pembukaan kelopak dan mahkota yang akan berkembang menjadi buah.
Kulit buah yang berwarna hijau akan menguning dan menjadi merah tua
seiring dengan pertumbuhannya. Waktu yang diperlukan dari bunga
menjadi buah matang sekitar 6-11 bulan, tergantung jenis dan lingkungan.
Kopi Arabika membutuhkan waktu 6-8 bulan, sedangkan kopi Robusta 8-
11 bulan. Bunga umumnya mekar awal musim kemarau dan buah siap
dipetik diakhir musim kemarau. Diawal musim hujan, cabang primer akan
memanjang dan membentuk daun-daun baru yang siap mengeluarkan
bunga pada awal musim kemarau mendatang (Najiyati dan Danarti 2007).
Jika dibandingkan dengan kopi Arabika, pohon kopi Robusta lebih rendah

5
dengan ketinggian sekitar 1,98 hingga 4,88 meter saat tumbuh liar di
kawasan hutan. Pada saat dibudidayakan melalui pemangkasan, tingginya
sekitar 1,98 hingga 2,44 meter (Retnandari dan Tjokrowinoto 1991).

Batang yang tumbuh dari biji disebut batang pokok. Batang pokok
memiliki ruas-ruas yang tampak jelas pada saat tanaman itu masih muda.
Pada tiap ruas tumbuh sepasang daun yang berhadapan, selanjutnya
tumbuh dua macam cabang, yakni cabang orthotrop (cabang yang tumbuh
tegak lurus atau vertikal dan dapat menggantikan kedudukan batang bila
batang dalam keadaan patah atau dipotong) dan cabang plagiotrop (cabang
atau ranting yang tumbuh ke samping atau horizontal) (PTPN XII 2013).

Daun kopi memiliki bentuk bulat telur, bergaris ke samping,


bergelombang, hijau pekat, kekar, dan meruncing di bagian ujungnya.
Daun tumbuh dan tersusun secara berdampingan d ketiak batang, cabang
dan ranting. Sepasang daun terletak dibidang yang sama di cabang dan
ranting yang tumbuh mendatar. Kopi Arabika memiliki daun yang lebih
kecil dan tipis apabila dibandingkan dengan spesies kopi Robusta yang
memiliki daun lebih lebar dan tebal. Warna daun kopi Arabika hijau gelap,
sedangkan kopi Robusta hijau terang (Panggabean 2011).

3. Komponen Kimia Biji Kopi

Banyaknya komponen kimia didalam kopi seperti kafein, asam


klorogenat, trigonelin, karbohidrat, lemak, asam amino, asam organik,
aroma volatile dan mineral dapat menghasilkan efek yang menguntungkan
dan membahayakan bagi kesehatan penikmat kopi. Golongan asam pada
kopi akan mempengaruhi mutu dan memberikan aroma serta citarasa yang
khas. Asam yang dominan pada biji kopi adalah asam klorogenat yaitu
sekitar 8 % pada biji kopi atau 4,5 % pada kopi sangrai. Selama
penyangraian sebagian besar asam klorogenat menjadi asam kafeat dan
asam kuinat.

6
Asam klorogenat termasuk keluarga dari ester yang terbentuk dari
gabungan asam kuinat dan beberapa asam trans-sinamat, umumnya
caffeic, pcoumaric dan asam ferulat. Asam klorogenat dapat melindungi
tumbuhan kopi dari mikroorganisme, serangga dan radiasi UV sedangkan
manfaat asam klorogenat bagi kesehatan manusia yaitu sebagai
antioksidan, antivirus, hepatoprotektif, dan berperan dalam kegiatan
antispasmodik. (Farhaty dan Muchtaridi 2016).

4. Khasiat Biji Kopi

Kandungan kafein, kafestol, melanoidin, saponin, senyawa fenol


dan asam klorogenat pada kopi memiliki pengaruh yang baik bagi
kesehatan manusia, seperti: menurunkan resiko diabetes melitus tipe 2,
menurunkan resiko kardiovaskular, menurunkan asam urat, memperbaiki
daya ingat, memperbaiki sistem neurotransmitter, dan sebagainya
(Ganmaa et al. 2008; Choi dan Curhan, 2007; Mostofsky, Schlaug,
Mukamal, Rosamond, dan Mittleman, 2010).

B. Ekstraksi Dan Ekstrak


Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya
dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika
tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan
konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan
dari sampel dengan penyaringan. Ekstrak awal sulit dipisahkan melalui teknik
pemisahan tunggal untuk mengisolasi senyawa tunggal. Oleh karena itu,
ekstrak awal perlu dipisahkan ke dalam fraksi yang memiliki polaritas dan
ukuran molekul yang sama. Identifikasi golongan senyawa dilakukan dengan
uji warna, penentuan kelarutan, bilangan Rf, dan ciri spektrum UV.
Identifikasi yang paling penting dan digunakan secara luas ialah pengukuran
spektrum serapan dengan menggunakan spektrofotometer. Terdapat beberapa

7
jenis metode ekstraksi yaitu maserasi, perkolasi, sokhletasi, dan refluks.
(Mukhriani, 2014).

Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), ekstrak adalah sediaan


pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau
simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau
hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa
diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III (1979), ekstrak adalah sediaan kering,
kental, atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut
cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung.

Ekstrak dibuat melalui penyarian (ekstraksi) simplisia kering dengan


cara maserasi, perkolasi, refluks,dan sokhlet. Cairan penyari yang umum
digunakan adalah air, etanol atau campuran etanol dan air. Oleh karenanya,
ekstrak dapat dikelompokkan berdasarkan cairan penyarinya. (Mukhriani,
2014).

Hasil akhir berupa ekstrak kental diperoleh dengan cara penguapan


penyarinya menggunakan alat rotary evaporator dan dipanaskan di atas hot
plate dengan cawan porselen. Berat akhir dari ekstrak kental yang diperoleh
digunakan untuk menghitung persen rendemen dari ekstrak. Rendemen
merupakan suatu nilai penting dalam pembuatan produk. Rendemen adalah
perbandingan berat kering produk yang dihasilkan dengan berat bahan baku.
Rendemen ekstrak dihitung berdasarkan perbandingan berat akhir (berat
ekstrak yang dihasilkan) dengan berat awal (berat biomassa sel yang
digunakan) dikalikan 100%. (Syamsul & dkk., 2020).

Bobot ekstraksi kental(gram)


% Rendemen Ekstrak = x 100 %
Bobot simplisia awal (gram)

C. Metode Ekstraksi
1. Pengertian Metode Sokhletasi

8
Metode ekstraksi sokhletasi adalah metode ekstraksi dengan
prinsip pemanasan dan perendaman sampel. Hal itu menyebabkan
terjadinya pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan
antara di dalam dan di luar sel. Dengan demikian, metabolit sekunder yang
ada di dalam sitoplasma akan terlarut ke dalam pelarut organik. Larutan itu
kemudian menguap ke atas dan melewati pendingin udara yang akan
mengembunkan uap tersebut menjadi tetesan yang akan terkumpul
kembali. Bila larutan melewati batas lubang pipa samping sokhlet, maka
akan terjadi sirkulasi. Sirkulasi yang berulang itulah yang menghasilkan
ekstrak yang baik. (Febriyanto, 2017).

Sokhletasi merupakan suatu cara pengekstraksian tumbuhan


dengan memakai alat sokhlet. Sampel dalam sokhletasi perlu dikeringkan
sebelum diekstrak. Tujuan dilakukannya pengeringan adalah untuk
menghilangkan kandungan air yang terdapat dalam sampel sedangkan
dihaluskan adalah untuk mempermudah senyawa terlarut dalam pelarut.
Biasanya pelarut yang digunakan adalah pelarut yang mudah menguap
atau mempunyai titik didih yang rendah. (Febriyanto, 2017).

Adapun syarat-syarat dari pelarut yang dapat digunakan pada


metode sokhletasi antara lain (Febriyanto, 2017):

a. Pelarut yang mudah menguap.


b. Titik didih pelarut yang rendah.
c. Pelarut dapat melarutkan senyawa yang diinginkan.
d. Pelarut tersebut akan terpisah dengan cepat setelah pengocokan.
e. Sifat sesuai dengan senyawa yang akan diisolasi (polar atau nonpolar).

2. Prinsip Kerja Metode Sokhletasi

9
Gambar II.4. Alat Sokhletasi (Sumber: Febriyanto, 2017)

Prinsip kerja dari metode sokhletasi adalah dengan cara


pemanasan. Uap yang timbul setelah dingin secara kontinu akan
membasahi sampel, secara teratur pelarut tersebut dimasukkan kembali ke
dalam labu dengan membawa senyawa kimia yang akan diisolasi tersebut.
Pelarut yang telah membawa senyawa kimia pada labu distilasi yang
diuapkan sehingga pelarut tersebut dapat diangkat lagi bila suatu
campuran organik berbentuk cair atau padat ditemui pada suatu zat padat,
maka dapat diekstrak dengan menggunakan pelarut yang diinginkan.
(Febriyanto, 2017).

Apabila senyawa memiliki ekstrak yang berwarna, maka proses


ekstraksi dihentikan ketika cairan penyari yang melewati pipa sifon tidak
lagi berwarna. Sementara untuk sampel yang tidak berwarna, proses
ekstraksi dapat dihentikan setelah mencapai 25 siklus ekstraksi.
(Febriyanto, 2017).

3. Prinsip Kerja Metode Sokhletasi


1. Kelebihan dan Kekurangan Metode Sokhletasi

10
Kelebihan ekstraksi bahan alam dengan metode sokhletasi antara lain
(Febriyanto, 2017):
• Pelarut organik dapat menarik senyawa organik dalam bahan alam
secara berulang kali.
• Waktu yang digunakan lebih efisien.
• Proses ekstraksi berjalan terus-menerus sesuai dengan keperluan
tanpa menambah volume pelarut. Hal ini sangat menguntungkan
karena selain ekonomis, akan diperoleh ekstrak yang lebih pekat.
2. Kekurangan ekstraksi bahan alam dengan metode sokhletasi antara lain
(Febriyanto, 2017):
• Larutan dipanaskan terus-menerus sehingga kurang sesuai untuk
zat aktif yang tidak tahan panas. Hal ini dapat diperbaiki dengan
menambah peralatan yang dapat mengurangi tekanan udara.
• Cairan penyari dididihkan terus-menerus, sehingga cairan penyari
harus murni atau campuran azeotrop.

D. Skrining Fitokimia

1. Pengertian Skrining Fitokimia


Skrining fitokimia atau disebut juga penapisan fitokimia
merupakan uji pendahuluan dalam menentukan golongan senyawa
metabolit sekunder yang mempunyai aktivitas biologi dari suatu
tumbuhan. Skrining fitokimia tumbuhan dijadikan informasi awal dalam
mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat didalam suatu
tumbuhan. (Febriyanto, 2017).
Dalam percobaan ini, skrining fitokimia dilakukan dengan
menggunakan pereaksi-pereaksi tertentu sehingga dapat diketahui
golongan senyawa kimia yang terdapat pada tumbuhan tersebut. Manfaat
yang diperoleh dari skrining fitokimia adalah data yang diperoleh dapat
digunakan sebagai informasi awal kandungan metabolit sekunder bahan
tumbuhan yang mempunyai aktivitas biologis. (Febriyanto, 2017).

11
2. Pereaksi Pada Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia merupakan suatu tahap awal dalam suatu


penelitian yang bermanfaat untuk memberikan gambaran golongan
senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam tanaman dengan melihat
reaksi yang terjadi ketika ditambahkan pereaksi warna yang sesuai.

Pada praktikum ini, skrining fitokimia dilakukan terhadap beberapa


senyawa yang diyakini tekandung di dalam ekstrak biji rambutan, yaitu
senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, steroid, dan tanin. (Maulidiyah &
dkk, 2020)
Adapun jenis pereaksi yang digunakan antara lain:

a. Skrining fitokimia senyawa alkaloid

Guna mengetahui adanya senyawa alkaloid, ekstrak terlebih


dahulu dilarutkan bersama HCl 1% yang kemudian dipanaskan selama
20 menit dan didinginkan. Larutan ekstrak kemudian disaring, lalu
ditambahkan pereaksi asam pikrat tetes demi tetes hingga terbentuk
endapan dan warna larutan menjadi keruh yang menandakan bahwa
ekstrak mengandung senyawa alkaloid. (Nainggolan & dkk., 2019)

b. Skrining fitokimia senyawa flavonoid

Guna mengetahui adanya senyawa flavonoid, ekstrak kental


terlebih dahulu dilarutkan dalam etanol yang kemudian ditambahkan
dengan aquadest secukupnya. Larutan ekstrak kemudian ditambahkan
dengan HCl pekat sebanyak 1 ml dan serbuk magnesium. Perubahan
warna menjadi kuning, jingga, merah, atau ungu menandakan bahwa
ekstrak mengandung senyawa flavonoid. (Maulidiyah & dkk., 2020).
c. Skrining fitokimia senyawa saponin

Guna identifikasi senyawa saponin, ekstrak kental terlebih


dahulu dilarutkan dalam etanol yang kemudian ditambahkan dengan
aquadest secukupnya. Larutan ekstrak kemudian ditambah dengan 10
ml air hangat, lalu dikocok kuat. Hasil positif dengan menunjukkan

12
buih yang mantap selama tidak kurang dari 10 menit, setinggi 1 cm
sampai 10 cm kemudian pada penambahan 1 tets HCl 1%, buih atau
busa tidak hilang. (Maulidiyah & dkk., 2020).
d. Skrining fitokimia senyawa steroid

Guna identifikasi senyawa saponin, ekstrak kental terlebih


dahulu dilarutkan dalam etanol yang kemudian ditambahkan dengan
aquadest secukupnya. Larutan ekstrak kemudian ditambahkan dengan
H2SO4 pekat sebanyak 1ml dari dinding tabung. Hasil positit
ditunjukkan dengan terbentuknya cincin hitam di antara larutan ekstrak
dan H2SO4 pekat. (Nainggolan & dkk., 2019)
e. Skrining fitokimia senyawa tanin
Guna identifikasi senyawa saponin, ekstrak kental terlebih
dahulu dilarutkan dalam etanol yang kemudian ditambahkan dengan
aquadest secukupnya. Larutan ekstrak kemudian ditambahkan 3 tetes
larutan FeCl3 10%. Perhatikan warna yang terjadi, warna biru, hijau,
atau hitam menunjukkan adanya tanin. (Dewatisari & dkk., 2017).

E. ekstraksi Cair-Cair
a. Pengertian Ekstraksi Cair-Cair

Ekstraksi cair-cair atau yang dikenal dengan ekstraksi solvent


merupakan proses pemisahan fasa cair yang memanfaatkan perbedaan
kelarutan zat terlarut yang akan dipisahkan antara larutan asal dan pelarut
pengekstrak (solvent). (Febriyanto, 2017).

Aplikasi ekstraksi cair-cair ini telah banyak digunakan pada sektor


industri diantaranya pada pemrosesan kembali bahan bakar nuklir,
pemisahan logam-logam, pemisahan senyawa-senyawa aromatik pada
industri petroleum, industri obat-obatan, petrokimia, pengolahan air
limbah industri, hydrometallurgy, dan industri makanan.

13
b. Prinsip Kerja Ekstraksi Cair-Cair
Prinsip dasar ekstraksi cair-cair ini melibatkan pengontakan suatu
larutan dengan pelarut (solvent) lain yang tidak saling melarut (immisible)
dengan pelarut asal yang mempunyai densitas yang berbeda sehingga akan
terbentuk dua fasa beberapa saat setelah penambahan solvent. Hal ini
menyebabkan terjadinya perpindahan massa dari pelarut asal ke pelarut
pengekstrak (solvent). Perpindahan zat terlarut ke dalam pelarut baru yang
diberikan, disebabkan oleh adanya daya dorong (dirving force) yang
muncul akibat adanya beda potensial kimia antara kedua pelarut. Sehingga
proses ektraksi cair-cair merupakan proses perpindahan massa yang
berlangsung secara difusional. (Mirwan, 2013).

Gambar II.5. Proses pemisahan dengan ekstraksi cair-cair


(Sumber: https://chem.libretexts.org/Bookshelves/Organic_Chemistry/)

Salah satu teknik ekstraksi cair-cair yang paling sering digunakan


adalah teknik ekstraksi berulang menggunakan corong pisah. Caranya
paling sederhana, yaitu hanya dengan menambahkan pengekstrak yang
tidak saling bercampur dengan pelarut awal, kemudian dilakukan
penggojogan hingga terjadi kesetimbangan analit dalam kedua fase yang
kemudian didiamkan dan dipisahkan. (Mirwan, 2013).

14
Gambar II.6. Corong pisah dan tiang statif

(Sumber: https://ca.vwr.com/store/product/en/4672097/pyrexplus- separatory-


funnels-squibb-pear-shape-st-stopper-corning)
c. Kelebihan dan Kekurangan Ekstraksi Cair-Cair
Ekstraksi cair-cair menjadi operasi pemisahan yang unggul ketika
larutan-larutan yang akan dipisahkan mempunyai kemiripan sifat-sifat
fisikanya, yaitu titik didih yang perbedaannya relatif kecil. Keunggulan
lain dari ekstraksi cair-cair ini adalah dapat beroperasi pada kondisi ruang,
dapat memisahkan sistem yang memiliki sensitivitas terhadap temperatur,
dan kebutuhan energinya relatif kecil. Sementara itu, kekurangan dari
ekstraksi cair-cair adalah kurang praktis dan mempunyai kemungkinan
hilangnya analit selama proses ekstraksi. (Mirwan, 2013).

F. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


1. Pengertian Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah teknik kromatografi planar


sederhana, hemat biaya, dan mudah dioperasikan yang telah digunakan di
laboratorium kimia umum selama beberapa dekade untuk memisahkan
senyawa kimia dan biokimia secara rutin. Kromatografi lapis tipis (KLT)
merupakan cara pemisahan campuran senyawa menjadi senyawa murninya
dan mengetahui kuantitasnya.

15
Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan
bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya. KLT dapat
digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang sifatnya hidrofobik
seperti lipida-lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan
kromatografi kertas. KLT juga dapat berguna untuk mencari eluen untuk
kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi
kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi, dan isolasi senyawa
murni skala kecil.

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan suatu analisis sederhana


yang dapat digunakan untuk melakukan penegasan terhadap senyawa
kimia yang terkandung pada tumbuhan disamping skrining fitokimia. Nilai
Rf dan warna noda yang diperoleh pada KLT dapat memberikan identitas
senyawa yang terkandung. (Wulandari, 2011).

2. Prinsip kerja kromatografi lapis tipis (KLT)

Gambar II.7. Komponen kromatografi lapis tipis (KLT)


(Sumber: Rosamah, 2019)
Metode ini didasarkan pada adsorpsi/penjerapan zat pada fase diam
(padat) yang disaputkan pada plat (kaca, logam). Zat yang akan
dipisahkan, ditotolkan berupa bercak atau pita, kemudian plat diletakkan
dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang, selanjutnya
akan terjadi perambatan zat akibat kapilaritas dan terjadilah pemisahan
berbentuk noda atau spot. Fase diam berupa serbuk halus yang berfungsi
sebagai penjerap. (Rosamah, 2019).
Nilai Rf dan warna noda yang diperoleh pada KLT dapat
memberikan identitas senyawa yang terkandung, dapat dihitung dengan

16
rumus (Rosamah, 2019).
jarak yang ditempuh oleh senyawa(b)
Rf =
jarak yang ditempuh oleh eluen(a)

Gambar II.8. Lempeng KLT (Sumber: Kebudayaan, 2018)

Harga ini merupakan ukuran kecepatan migrasi suatu senyawa


pada kromatogram dan pada kondisi konstan merupakan besaran
karasteristik dan reproduksibel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih
besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga
sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar.
Senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga
menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT yang bagus berkisar
antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, maka harus mengurangi
kepolaran eluen, dan sebaliknya. (Wulandari, 2011).
3. Kelebihan dan Kekurangan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Teknik pemisahan dengan KLT memiliki banyak kelebihan,


karena KLT merupakan teknik yang serbaguna, yang dapat
diaplikasikan untuk hampir semua senyawa. Pemisahan dapat dicapai
dengan biaya tidak terlalu mahal, yang dihasilkan dari adsorben yang
baik dan pelarut yang murni. Pemisahan dapat dicapai dalam waktu
yang singkat, sehingga memungkinkan KLT merupakan suatu teknik
dengan jaminan keberhasilan di dalam pemisahan campuran yang

17
tidak diketahui. (Rosamah, 2019)
Sedangkan beberapa kerugian dari KLT diantaranya, yaitu
KLT bisa menjadi pekerjaan yang kurang bersih, khususnya bila plat
disiapkan sendiri. Para peneliti disarankan untuk menggunakan plat
yang siap pakai. KLT dapat dibuat sebagai kromatografi kuantitatif
dengan memodifikasi peralatan kromatografi. Dan ini memerlukan
biaya yang tidak sedikit. Lebih baik untuk menggunakan analisa semi
kuantitatif. (Rosamah, 2019).

18
BAB III

METODE KERJA

A. Pembuatan Simplisia Biji Rambutan

1. Alat dan Bahan

a. Alat

Alat yang digunakan adalah ayakan, blender, oven, pisau, telenan,


wadah, dan toples.

b. Bahan

Bahan yang digunakan adalah air dan biji kopi.

2. Metode Kerja

a. Disiapkan alat dan bahan.

b. Ditimbang biji kopi yang diperoleh, kemudian dicuci bersih biji kopi, lalu
dikupas kulit dari biji kopi.
c. Dipotong kecil-kecil biji kopi yang telah bersih dari kulitnya, lalu
dikeringkan menggunakan oven pada suhu 100ºC selama 20 jam.
d. Dihaluskan biji kopi yang telah kering menggunakan blender, lalu
ditempatkan pada toples dan ditutup rapat.
e. Diberikan label simplisia pada toples.

B. Pembuatan Ekstrak Biji Kopi

1. Alat dan Bahan


a. Alat
Alat yang digunakan adalah aluminium foil, batang pengaduk, cawan
porselen, corong gelas, gelas beaker 1 liter, hot plate, kain kasa, kertas

19
saring, kondensor bola, label kecil, labu alas bulat, mantel pemanas,
pipa selongsong, rotary evaporator, sendok tanduk, timbangan
analitik, dan wadah.
b. Bahan
Bahan yang digunakan adalah air, metanol, dan simplisia biji kopi.

2. Metode Kerja
a. Disiapkan alat dan bahan.
b. Ditimbang dan dicatat berat cawan porselen kosong.
c. Ditimbang simplisia biji kopi sebanyak 50 gram di atas wadah dengan
timbangan analitik, lalu disisihkan.
d. Diambil pipa selongsong yang telah dicuci bersih dan dikeringkan, lalu
digunting kertas saring dengan bentuk bulat sebagai alas simplisia
pada bagian dalam pipa selongsong, kemudian digunting lagi kertas
saring dengan bentuk persegi panjang yang digunakan untuk melapisi
dinding bagian dalam pipa selongsong.
e. Diambil simplisia biji kopi yang telah ditimbang sebanyak 50 gram,
kemudian dimasukkan ke dalam pipa selongsong sedikit demi sedikit
dengan sendok tanduk hingga mendekati lengkungan atas dari pipa
sifon.
f. Diambil labu alas bulat, lalu dipasang labu alas bulat pada bagian
bawah pipa selongsong.
g. Diambil gelas beaker 1 liter, lalu diukur metanol sebanyak 1 liter, lalu
dituang perlahan ke dalam pipa selongsong hingga metanol mengalir
ke dalam labu alas bulat hingga dicapai volume metanol sebanyak 1/3
dari volume labu alas bulat, kemudian dicatat jumlah metanol yang
digunakan.
h. Diletakkan di atas mantel pemanas, lalu dipasang kondensor pada
bagian atas pipa selongsong, kemudian dinyalakan keran air yang
dihubungkan dengan selang pada kondensor sebagai pendingin, lalu
dinyalakan mantel pemanas dengan suhu 60°C (sesuai dengan titik

20
didih metanol).
i. Dilakukan ekstraksi hingga cairan penyari (metanol) yang melewati
pipa sifon tidak berwarna lagi (berlaku untuk simplisia dengan
ekstrak yang berwarna), kemudian dilepas kondensor dari pipa
selongsong, lalu labu alas bulat yang berisi ekstrak cair dilepas dari
pipas selongsong.
j. Disiapkan gelas beaker, corong gelas, dan kain kasa, kemudian ekstrak
cair biji kopi pada labu alas bulat disaring ke dalam gelas beaker.
k. Diuapkan ekstrak cair biji kopi dengan alat rotary evaporator hingga
larutan penyari (metanol) terpisah dari ekstrak.
l. Diambil cawan porselen, lalu dituang ekstrak biji kopi yang telah
diuapkan dengan rotary evaporator ke dalam cawan porselen,
kemudian dipanaskan di atas hot plate hingga diperoleh ekstrak kental
biji kopi.
m. Ditimbang cawan porselen yang berisi ekstrak kental biji kopi untuk
memperoleh berat ekstrak, lalu dihitung rendemen ekstrak biji
rambutan.
n. Diambil vial dan aluminium foil, lalu dimasukkan sebagian ekstrak
kental biji kopi ke dalam vial dengan batang pengaduk, kemudian
ditutup mulut vial berisi ekstrak dengan aluminium foil.
o. Ditutup cawan porselen yang berisi sisa ekstrak biji kopi dengan
aluminium foil yang akan digunakan pada metode ekstraksi cair-cair.
p. Diberi label dengan tulisan ‘ekstrak metanol biji kopi’ pada vial berisi
ekstrak kental biji kopi yang digunakan untuk identifikasi senyawa
kimia dengan kromatografi lapis tipis (KLT)

C. Skrining Fitokimia
1. Alat dan Bahan
a. Alat

21
Alat yang digunakan adalah batang pengaduk, corong gelas, gelas
beaker 100 ml, hot plate, kertas saring, label, pipet tetes, sendok
tanduk, dan tabung reaksi.

b. Bahan
Bahan yang digunakan adalah aquadest, ekstrak kental biji kopi,
etanol, asam klorida (HCl) 1%, asam klorida (HCl) pekat, asam sulfat
(H2SO4) pekat, besi (III) klorida (FeCl3), dan serbuk magnesium.

2. Metode Kerja
a. Disiapkan alat dan bahan.
b. Diambil ekstrak kental biji kopi dengan batang pengaduk, lalu
dimasukkan secukupnya ke dalam tabung reaksi.
c. Ditambahkan etanol sebanyak 1 ml, dimasukkan ke dalam tabung
reaksi berisi ekstrak, lalu diaduk hingga ekstrak larut.
d. Ditambahkan aquadest secukupnya (3-5 ml) ke dalam tabung reaksi,
diaduk hingga homogen, lalu disimpan sebagai larutan ekstrak.
e. Dilakukan skrining fitokimia senyawa alkaloid:
• Diambil tabung reaksi yang telah diberi label “uji alkaloid” untuk
skrining alkaloid, dipipet larutan ekstrak ke dalam tabung reaksi
sebanyak 3 ml, lalu ditambahkan dengan 3 tetes larutan mayer.
• Diambil gelas beaker 100 ml, diisi gelas beaker dengan air
secukupnya, kemudian diletakkan tabung reaksi yang berisi larutan
ekstrak dan larutan meyer ke dalam gelas beaker, lalu dipanaskan
di atas hot plate selama 20 menit.
• Diambil tabung reaksi setelah 20 menit dipanaskan, lalu ditunggu
hingga dingin, kemudian disaring ke dalam tabung reaksi dengan
corong gelas dan kertas saring.
• Kemudian tunggu hingga larutan berubah menjadi keruh atau
terbentuk endapan yang menandakan bahwa ekstrak positif
mengandung alkaloid.

22
• Dilakukan skrining fitokimia senyawa flavonoid:
• Diambil tabung reaksi yang telah diberi label “uji flavonoid” untuk
skrining flavonoid, dipipet larutan ekstrak ke dalam tabung reaksi
sebanyak 1 ml, ditambahkan dengan HCl pekat sebanyak 1 ml, lalu
ditambahkan sedikit serbuk magnesium (seujung sendok tanduk).
• Ditunggu hingga larutan berubah warna menjadi kuning, jingga,
merah, atau ungu yang menandakan bahwa ekstrak positif
mengandung flavonoid.
f. Dilakukan skrining fitokimia senyawa saponin:
• Diambil gelas beaker 100 ml, lalu diukur aquadest secukupnya dan
dimasukkan ke dalam gelas beaker, kemudian dipanaskan di atas
hot plate hingga hangat.
• Diambil tabung reaksi yang telah diberi label “uji saponin” untuk
skrining steroid, dipipet larutan ekstrak ke dalam tabung reaksi
sebanyak 1 ml, ditambahkan 10 ml aquadest hangat.
• Dikocok kuat hingga menghasilkan busa yang stabil, lalu diamati
busanya. Apabila busa tidak hilang, maka ekstrak positif
mengandung saponin.
g. Dilakukan skrining fitokimia senyawa steroid:
• Diambil tabung reaksi yang telah diberi label “uji steroid” untuk
skrining steroid, dipipet larutan ekstrak sebanyak 1 ml ke dalam
tabung reaksi, kemudian ditambahkan H2SO4 pekat sebanyak 1 ml
secara perlahan melalui dinding tabung reaksi.
• Diamati ada atau tidaknya cincin kemerahan yang terbentuk, yang
menandakan bahwa ekstrak positif mengandung steroid.
h. Dilakukan skrining fitokimia senyawa tanin:
• Diambil tabung reaksi yang telah diberi label “uji tanin” untuk
skrining tanin, dipipet larutan ekstrak sebanyak 1 ml ke dalam
tabung reaksi, kemudian ditambahkan FeCl3 sebanyak 3 tetes ke
dalam tabung reaksi.

23
• Diamati perubahan warna larutan yang terjadi. Perubahan warna
larutan menjadi hijau atau biru kehitaman menandakan bahwa
ekstrak positif mengandung tanin.

Diamati dan dicatat hasil skrining fitokimia terhadap ekstrak kental biji
kopi.

D. Ekstraksi Cair – Cair


1. Alat dan Bahan
a. Alat
Alat yang digunakan adalah aluminium foil, batang pengaduk, cawan
porselen, corong pisah 250 ml, gelas beaker 100 ml, gelas ukur, label,
tiang statif, dan vial.
b. Bahan
Bahan yang digunakan adalah aquadest, ekstrak kental biji kopi, eter,
dan n-butanol jenuh air.
2. Metode Kerja
a. Disiapkan alat dan bahan.
b. Dilakukan ekstraksi cair-cair untuk memperoleh ekstrak eter biji kopi:
• Disiapkan corong pisah 250 ml yang telah dibersihkan, lalu
dipasang pada tiang statif.
• Dilarutkan ekstrak kental biji kopi pada cawan porselen dengan
aquadest secukupnya, lalu dimasukkan ke dalam corong pisah.
• Diukur eter sebanyak 20 ml dengan gelas ukur, lalu dituang ke
dalam cawan porselen, kemudian dilarutkan sisa ekstrak yang
menempel pada cawan porselen dan dimasukkan ke dalam corong
pisah (dapat ditambahkan lagi eter secukupnya ke dalam cawan
porselen apabila masih terdapat sisa ekstrak yang menempel pada
cawan porselen).

24
• Dilepas corong pisah dari tiang statif, lalu dihomogenkan kedua
larutan di dalam corong pisah dengan cara dikocok (pastikan tutup
corong pisah sudah dilepas sebelum dikocok).
• Dipasang kembali corong pisah pada tiang statif, didiamkan hingga
terjadi pemisahan antara kedua larutan (eter berada di bagian atas
dan air berada di bagian bawah).
• Diambil gelas beaker 100 ml, dikeluarkan ekstrak air dari dalam
corong pisah ke dalam gelas beaker hingga melewati batas atas dari
pemisahan ekstrak lalu disisihkan untuk pemisahan ekstrak n-
butanol biji kopi.
• Diambil vial, lalu dikeluarkan ekstrak eter dari dalam corong pisah
ke dalam vial.
• Ditutup mulut vial dengan aluminium foil dan diberi label pada
vial bertuliskan “ekstrak eter biji kopi”.
c. Dilakukan ekstraksi cair-cair untuk memperoleh ekstrak n-butanol biji
kopi:
• Disiapkan corong pisah 250 ml yang telah dibersihkan, lalu
dipasang pada tiang statif.
• Diambil ekstrak air biji kopi yang tadi disisihkan, lalu dimasukkan
ke dalam corong pisah.
• Diukur n-butanol jenuh air sebanyak 20 ml, lalu dimasukkan ke
dalam corong pisah.
• Dilepas corong pisah dari tiang statif, lalu dihomogenkan kedua
larutan di dalam corong pisah dengan cara dikocok (pastikan tutup
corong pisah sudah dilepas sebelum dikocok).
• Dipasang kembali corong pisah pada tiang statif, didiamkan hingga
terjadi pemisahan antara kedua larutan (n-butanol jenuh air berada
di bagian atas dan air berada di bagian bawah).
• Diambil gelas beaker 100 ml, dikeluarkan ekstrak air dari dalam
corong pisah ke dalam gelas beaker hingga melewati batas atas dari
pemisahan ekstrak.

25
• Diambil vial, lalu dikeluarkan ekstrak n-butanol jenuh air dari
dalam corong pisah ke dalam vial.
• Ditutup mulut vial dengan aluminium voil dan diberi label pada
vial bertuliskan “ekstrak n-butanol jenuh air biji kopi”.
d. Disimpan ekstrak metanol, ekstrak eter, dan ekstrak n-butanol jenuh
air biji kopi untuk identifikasi dengan kromatografi lapis tipis (KLT).

E. Kromatografi Lapis Tipis


1. Alat dan Bahan
a. Alat
Alat yang digunakan adalah chamber KLT, Erlenmeyer 100 ml, gelas
beaker 100 ml, gelas ukur, kertas saring, lempeng KLT, pinset, pipa
kapiler, dan sinar UV.
b. Bahan
Bahan yang digunakan adalah aquadest, benzena, ekstrak eter biji kopi,
ekstrak metanol biji kopi, ekstrak n-butanol jenuh air biji kopi, etanol,
etil asetat, heksana, kloroform, dan metanol.
2. Metode Kerja
a. Disiapkan alat dan bahan.
b. Dibuat eluen kloroform - metanol - aquadest dengan perbandingan 15 :
5 : 1 sebanyak 150 ml.
• Diambil gelas beaker 500 ml dan Erlenmeyer 250 ml.
• Diukur kloroform sebanyak 107 ml dengan gelas ukur, lalu
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer.
• Diukur metanol sebanyak 36 ml dengan gelas ukur, lalu
dimasukkan ke dalam gelas beaker.
• Diukur aquadest sebanyak 7 ml dengan gelas ukur, lalu
dimasukkan ke dalam gelas beaker, kemudian dihomogenkan.

26
• Dimasukkan larutan homogen ke dalam Erlenmeyer berisi
kloroform sedikit demi sedikit sembari dihomogenkan hingga
diperoleh larutan yang jernih.
c. Dibuat eluen etil asetat - etanol - aquadest dengan perbandingan 10 :
2 : 1 sebanyak 150 ml.
• Diambil gelas beaker 500 ml dan Erlenmeyer 250 ml.
• Diukur etil asetat sebanyak 115 ml dengan gelas ukur, lalu
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer.
• Diukur etanol sebanyak 23 ml dengan gelas ukur, lalu dimasukkan
ke dalam gelas beaker.
• Diukur aquadest sebanyak 12 ml dengan gelas ukur, lalu
dimasukkan ke dalam gelas beaker, kemudian dihomogenkan.
• Dimasukkan larutan homogen ke dalam Erlenmeyer berisi etil
asetat sedikit demi sedikit sembari dihomogenkan hingga diperoleh
larutan yang jernih.
d. Dibuat eluen benzena - etil asetat dengan perbandingan 8 : 2 sebanyak
150 ml.
• Diambil Erlenmeyer 250 ml.
• Diukur heksana sebanyak 120 ml dengan gelas ukur, lalu
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer.
• Diukur etil asetat sebanyak 30 ml dengan gelas ukur, lalu
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian dihomogenkan
hingga diperoleh larutan yang jernih.
e. Dibuat eluen heksana - etil asetat dengan perbandingan 8 : 2 sebanyak
100 ml.
• Diambil Erlenmeyer 250 ml.
• Diukur heksana sebanyak 120 ml dengan gelas ukur, lalu
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer.
• Diukur etil asetat sebanyak 30 ml dengan gelas ukur, lalu
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian dihomogenkan
hingga diperoleh larutan yang jernih.

27
f. Diambil 4 chamber KLT yang telah diberi label bertuliskan nama
setiap eluen (contoh: chamber 1 untuk eluen kloroform - metanol - air),
kemudian dimasukkan setiap eluen ke dalam masing-masing chamber
KLT ± 1 cm dari permukaan chamber (eluen tidak boleh berada tepat
atau di atas dari garis bawah pada lempeng KLT).
g. Dimasukkan kertas saring ke dalam chamber berisi eluen, lalu ditutup
chamber, kemudian ditunggu hingga kertas saring basah sempurna
yang menandakan bahwa chamber telah jenuh oleh eluen, lalu
dikeluarkan kertas saring.
h. Diambil lempeng KLT, kemudian ditotolkan ekstrak pada lempeng
KLT (ekstrak ditotolkan di bagian tengah pada garis bawah lempeng
KLT,) dengan pipa kapiler.
i. Dimasukkan lempeng KLT ke dalam chamber KLT dengan pinset
(lempeng KLT yang ditotolkan ekstrak polar dimasukkan ke dalam
chamber berisi eluen polar, lempeng KLT yang ditotolkan ekstrak non
polar dimasukkan ke dalam chamber berisi eluen non polar, dan
lempeng KLT yang ditotolkan ekstrak semipolar dimasukkan ke dalam
masing-masing chamber berisi eluen polar dan non polar), ditutup
chamber KLT, kemudian ditunggu hingga eluen mendekati garis atas
lempeng KLT.
j. Dikeluarkan lempeng KLT dari dalam chamber KLT dengan pinset,
diberi tanda jarak tempuh eluen, kemudian ditunggu hingga kering,
lalu diamati noda dengan sinar UV.
k. Dihitung nilai Rf masing-masing noda pada setiap lempeng KLT, lalu
dicatat.

28
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
1. Hasil skrining fitokimia

Senyawa Hasil Pengamatan


No. Pereaksi Keterangan
Kimia

1 ml ekstrak + 1 ml

1. Alkaloid etanol + 3 tetes larutan


mayer

1 ml ekstrak +1 ml
2. Flavonoid etanol + 1 ml HCl pekat
+ serbuk magnesium

1 ml ekstrak + 10 ml
3. Saponin
air hangat, kocok kuat

4. Steroid 1 ml ekstrak + 1 ml
H2SO4 pekat

1 ml ekstrak + 3
5. Tanin
tetes FeCl3

29
2. Hasil kromatografi lapis tipis

No. Sifat Eluen Eluen Ekstrak Uji Nilai Rf

Ekstrak metanol biji Rf 1 = 0,95


kopi Rf 2 = 0,79
Eluen 1 = kloroform Rf 1 = 0,89
(CHCl3) - metanol
Rf 2 = 0,82
(CH3OH) - air (H2O) Ekstrak n- butanol
Rf 3 = 0,58
(15 : 5 : 1) biji kopi
Rf 4 = 0,36

Rf 5 = 0,09
1. Polar Rf 1 = 0,89
Ekstrak metanol biji Rf 2 = 0,79
kopi
Eluen 2 = etil asetat Rf 3 = 0,63

(C4H8O2) - etanol Rf 1 = 0,86

(C2H5OH) - air (H2O) Rf 2 = 0,62


(10 : 2 : 1) Ekstrak n- butanol
Rf 3 = 0,43
biji kopi
Rf 4 = 0,29

Rf 5 = 0,19
2. Non polar Eluen 3 = benzena Ekstrak metanol biji Rf 1 = 0,95
(C6H6) - etil asetat kopi
Rf 2 = 0,86
(C4H8O2)
Rf 3 = 0,73
(7 : 3)
Rf 4 = 0,63

Rf 5 = 0,34

Rf 6 = 0,19

30
Rf 1 = 0,52

Rf 2 = 0,34
Ekstrak eter biji kopi
Rf 3 = 0,25

Rf 4 = 0,15
Elue 4 = Ekstrak metanol biji Rf 1 = 0,95
kopi Rf 2 = 0,84

B. Pembahasan

Biji Kopi (koffea) adalah tumbuhan yang berbuah kecil, bulat


dengan ukuran maksimal sebesar biji kelereng. Tumbuhan biji kopi
(koffea) ini seringkali di buat bubuk, dengan tujuan diminum, dibuat
makanan, atau keperluan lainnya. Banyak komponen kimia yang
terkandung dalam biji kopi seperti kafein, asam klorogenat, trigonelin,
karbohidrat, lemak, asam amino, asam organik, aroma volatile dan
mineral dapat menghasilkan efek yang menguntungkan dan
membahayakan bagi kesehatan penikmat kapi. Golongan asam pada kopi
akan mempengaruhi mutu dan memberikan aroma serta citarasa yang
khas. Asam yang dominan pada biji kopi adalah asam klorogenat yaitu
8% pada biji kopi. Selama penyangraian sebagaian besar asam klorogenat
menjadi asam kefeat dan asam kuinat.adapun manfaat kpi yaitu dapat
menurunkan risiko terkena diabetes tipe 2, memelihara kesehatan otak,
mencegah penyakit parkinson, memelihara kesehatan liver, menjaga
kesehatan jantung dan masih banyak lagi manfaat lainnya.

Maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi yang paling


umum dilakukan dengan cara memasukkan serbuk tanaman dan pelarut
yang sesuai ke dalam suatu wadah inert yang ditutup rapat pada suhu
kamar. Kekurangan maserasi yaitu, dapat memakan banyak waktu,

31
pelarut yang digunakan cukup banyak, dan besar kemungkinan beberapa
senyawa dapat hilang, sedangkan kelebihan metode ini merupakan
metode sederhana dan dapat juga menghindari resiko rusaknya senyawa-
senyawa dalam tanaman yang bersifat termolabil.

Pada praktikum ini ekstrak biji kopi (koffea) diperoleh dengan


metode maserasi menggunakan pelarut metanol, yang diuapkan di rotary
evaporator dan dikentalkan di atas hot plate dengan cawan porselen.
Ekstrak biji kopi (koffea) akhir yang diperoleh memiliki konsentrasi
sedikit kental, berwarna hitam gelap, memiliki bau kopi dan dengan nilai
rendemen sebanyak 143,96 %.

Skrining fitokimia merupakan uji pendahuluan dalam menentukan


golongan senyawa metabolit sekunder yang mempunyai aktivitas biologi
dari suatu tumbuhan. Pada praktikum ini dilakukan skrining fitokimia
untuk mengetahui ada atau tidaknya kandungan senyawa alkaloid,
flavonoid, saponin, steroid dan tanin pada biji kopi (koffea) dengan
menggunakan pereaksi kimia yang sesuai. Berdasarkan hasil skring
fitokimia dapat diketahui bahwa sampel ekstrak biji kopi (koffea) positif
mengandung alkaloid, flavonoid, steroid dan tannin. Akan tetapi dengatif
terhadap safonin. Positif mengandung alkaloid ditandai dengan larutan
menjadi keruh dan terdapat endapan putih. Positif mengandung flavonoid
ditandai dengan larutan berubah menjadi berwarna kuning, jingga, merah
atau ungu. Pada steroid, hasil positif ditandai dengan adanya batas
kemerahan. positif mengandung tannin ditandai dengan terbentuknya
warna hitam. Akan tetapi, ekstrak biji kopi negatif mengandung safonin
karena terdapat busa yang hilang, yang mana hasil positif ditandai dengan
busa tidak hilang.

Ekstrak yang diperoleh pada praktikum ini kemudian dilakukan


pemisahan menurut kepolarannya dengan metode ekstraksi cair-cair,
yaitu proses pemisahan fasa cair yang memanfaatkan perbedaan kelarutan
zat terlarut yang akan dipisahkan antara larutan asal dan pelarut

32
pengekstrak. Adapun pelarut pengekstrak yang digunakan pada
praktikum ini adalah nbutanol yang bersifat polar, metanol yang bersifat
semipolar, dan eter yang bersifat non polar, sehingga diperoleh ekstrak n-
butanol Biji Kopi (koffea), ekstrak metanol Biji Kopi (koffea) dan ekstrak
eter Biji Kopi (koffea). Ketiga ekstrak Biji Kopi (koffea) yang diperoleh
pada ekstraksi cair-cair merupakan ekstrak yang akan diidentifikasi
dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT).

Kromatografi lapis tipis merupakan metode yang didasarkan pada


adsorpsi/penjerapan zat pada fase diam (padat) yang disaputkan pada plat
(kaca, logam). Zat yang akan dipisahkan, ditotolkan berupa bercak atau
pita, kemudian plat diletakkan dalam bejana tertutup rapat yang berisi
larutan pengembang, selanjutnya akan terjadi perambatan zat akibat
kapilaritas dan terjadilah pemisahan berbentuk noda atau spot. Fase diam
berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai penjerap. Noda yang
terbentuk selanjutnya akan diukur nilai Rf nya. Senyawa yang
mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah,
begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar.
Senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga
menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT yang bagus berkisar antara
0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, maka harus mengurangi kepolaran eluen,
dan sebaliknya.

Pada pengujian kromatografi lapis tipis (KLT), digunakan 4 eluen


yaitu 2 jenis eluen polar dan 2 eluen non polar. Pada eluen 1 yang bersifat
polar menggunakan campuran larutan kloroform - metanol - air dengan
perbandingan 15:5:1, pada eluen 2 yang juga bersifat polar menggunakan
campuran larutan etil asetat - etanol - air dengan perbandingan 10:2:1.
Pada eluen 3 yang mana eluen ini bersifat non polar, menggunakan
campuran larutan benzen - etil asetat dengan perbandingan 8:2. Selain itu,
pada eluen 4 juga bersifat non polar yang menggunakan campuran larutan
benzen - etil asetat dengan perbandingan 8:2. Keempat eluen tersebut

33
digunakan untuk mengelusi ekstrak n-butanol Biji Kopi (koffea), ekstrak
metanol Biji Kopi (koffea), dan ekstrak eter Biji Kopi (koffea), sesuai
dengan kepolarannya. Ekstrak metanol Biji Kopi (koffea), akan dielusi
pada keempat eluen karena sifatnya yang semipolar. Sedangkan ekstrak
n-butanol Biji Kopi (koffea), akan dielusi pada eluen ke 1 dan 2 karena
sifatnya yang polar. Pada ekstrak eter Daun Sisrak akan dielusi pada
eluen ke 3 dan 4 karena sifatnya yang non polar.

Berdasarkan hasil Kromatograf Lapis Tipis (KLT) diperoleh nilai


Rf untuk ekstrak metanol pada eluen 1, 2, 3 dan 4 secara berurut yaitu
pada eluen 1 didapatkan 0,42 ; eluen 2 yaitu 0,6 ; eluen 3 yaitu 0,56 dan
pada eluen 4 Rf1 0,08 ; Rf2 0,3 dan Rf3 0,1. Pada ekstrak n-butanol
diperoleh nilai Rf pada eluen 1 yaitu 0,4 dan pada eluen 2 didapatkan 3
noda yaitu pada Rf 1 0,4; Rf2 0,26 dan Rf3 0,24. Sedangkan pada ekstrak
eter pada eluen 3 diperoleh sebanyak enam noda yang masing-masing
memiliki nilai Rf secara berurut pada noda pertama hingga ke tujuh, yaitu
0,8 ; 0,6; 0,3; 0,2 ; 0,18 ; 0,1 . Pada eluen ke 4 juga diperoleh beberapa
noda yaitu sebanyak 4 noda yang secara berurut memiliki nilai Rf antara
lain 0,8 ; 0,7 ; 0,4 ; 0,3 ; 0,2 ; dan 0,1.

Pada praktikum ini, terdapat beberapa kendala yang dialami.


Dikarenakan jumlah alat rotary evaporator yang terbatas, proses
penguapan larutan penyari dari ekstrak membutuhkan waktu yang lama
karena menggunakan alat alternatif seperti hot plate, waterbath, dan oven,
dimana ekstrak harus dibagi pada wadah yang lebih kecil atau lebih luas
permukannya untuk mempercepat penguapan. Pada proses pemisahan
dengan metode ekstraksi cair-cair, terdapat hasil akhir ekstrak pada vial
yang masih bercampur dengan air sehingga diperoleh ekstrak tidak
mengandung pelarut ekstrak yang murni, hal tersebut akan berpengaruh
pada noda yang dihasilkan pada kromatografi lapis tipis (KLT). Ekstrak
yang masih bercampur dengan air dapat terjadi karena kurangnya waktu
yang diberikan untuk proses pemisahan di corong pisah, hal ini

34
membutuhkan waktu yang cukup lama. Pada proses identifikasi dengan
metode kromatografi lapis tipis (KLT), chamber yang digunakan
merupakan chamber kecil dengan penutupnya yang berupa potongan kaca
tebal berbentuk persegi. Penutup chamber yang tidak sesuai ditakutkan
akan mempengaruhi proses penjenuhan chamber dan elusi ekstrak.
Terbatasnya jumlah alat sinar UV menyebabkan proses pengamatan noda
menggunakan sinar UV membutuhkan waktu yang lama karena
digunakam secara bergantian.

35
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Biji Kopi (Koffea) diolah menjadi sebuah simplisia kering hingga


menjadi ekstrak kental menggunakan metode maserasi dengan berat
ekstrak sebanyak 50 gram dan rendemen ekstrak sebanyak 143,96
%.Ekstrak kental yang diperoleh selanjutnya dilakukan pengujian
skrining fitokimia dan diperoleh hasil bahwa Biji Kopi (Koffea) positif
mengandung alkaloid, flavonoid, steroid, dan tannin. Akan tetapi, negatif
mengandung safonin.

Pada pengujian KLT diperoleh nilai Rf yang baik pada ekstrak


metanol adalah pada eluen 2 (etil asetat - etanol - air dengan
perbandingan 15 : 2: 1) dan eluen 3 ( benzene - etil asetat dengan
perbandingan 8 : 2) diperoleh nilai Rf untuk ekstrak metanol pada eluen
1, 2, 3 dan 4 secara berurut yaitu pada eluen 1 didapatkan 0,42 ; eluen 2
yaitu 0,6 ; eluen 3 yaitu 0,56 dan pada eluen 4 Rf 1 0,08 ; Rf2 0,3 dan Rf3
0,1. Ekstrak n-butanol memiliki nilai Rf pada eluen 1 yaitu 0,4 dan pada
eluen 2 didapatkan 3 noda yaitu pada Rf 1 0,4; Rf2 0,26 dan Rf3 0,24. Pada
ekstrak eter diperoleh nilai Rf yang baik pada eluen 3 ( benzene - etil
asetat dengan perbandingan 8 : 2) Sedangkan pada ekstrak eter pada
eluen 3 diperoleh sebanyak enam noda yang masing-masing memiliki
nilai Rf secara berurut pada noda pertama hingga ke tujuh, yaitu 0,8 ; 0,6;
0,3; 0,2 ; 0,18 ; 0,1 . Pada eluen ke 4 juga diperoleh beberapa noda yaitu
sebanyak 4 noda yang secara berurut memiliki nilai Rf antara lain 0,8 ;
0,7 ; 0,4 ; 0,3 ; 0,2 ; dan 0,1.

36
B. Saran
Pada praktikum ini, disarankan kepada praktikan agar lebih sabar pada
saat proses ekstraksi berlangsung misalnya pada proses ekstraksi cair-cair
karena pada proses ini membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
memisahkan kedua fase cair. Selain itu, diharapkan praktikan berhati-hati
dalam menggunakan peralatan laboratorium

37
LAMPIRAN

38
DAFTAR PUSTAKA

Dewatisari, F. W., & dkk. (2017). Rendemen dan Skrining Fitokimia pada
Ekstrak Daun Sanseviera sp. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan, 197-
202.

Dirjen Minerba. 2012. Tata cara pencairan jaminan reklamasi. Kementrian Energi
Sumber Daya Mineral.

Ditjenbun. 2014. Percepatan perluasan dan peremajaan tanaman kopi. Tersedia


online pada : http://www.ditjenbun.pertanian.go.id (diakses 19 Maret 2014).

Farhaty, Naeli dan Muchtaridi. 2015. Tinjauan Kimia dan Aspek Farmakologi
Senyawa Asam Klorogenat pada Biji Kopi: Review. Bandung: Universitas
Padjadjaran.

Febriyanto, A. M. (2017). Studi Ekstraksi dengan Metode Soxhletasi pada Bahan


Organik Umbi Sarang Semut (Myrmecodia pendans) sebagai Inhibitor
Organik. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Ganmaa, D., Willet, W., Li, T., Feskanich, D., Dam, R., Lopez-Garcia, E., et al.
(2008). Coffee, tea, caffeine and risk breasts cancer. A 22-year follow up.
International Journal Cancer.

Maulidiyah, N. E., & dkk. (2020). Skrining Fitokimia Senyawa Metabolit


Sekunder dari Simplisia dan Ekstrak Air Daun Bidara Arab (Ziziphus spina-
christi L.). Prosiding Farmasi (pp. 1084-1089). Bandung: Universitas Islam
Bandung.

Mirwan, A. (2013). Keberlakuan Model Hb-Gft Sistem n-Heksana – Mek – Air


Pada Ekstraksi Cair-Cair Kolom Isian. Jurnal Konversi, 32-29.

Najiyati, S. dan Danarti. 2007. Kopi: Budidaya dan Penanganan Lepas Panen.
Penebar Swadaya. 167 hal. Jakarta.

39
Nainggolan, M., & dkk. (2019). Penuntun dan Laporan Praktikum Fitokimia.
Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Panggabean E. 2011. Buku Pintar Kopi. Jakarta : Agro Media Pustaka.

PT. Perkebunan Nusantara XII. 2013. Pedoman Pengelolaan Budidaya Tanaman


Kopi Arabika. Surabaya (ID): PTPN XII.

Rahardjo P. 2012. Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika dan Robusta.
Jakarta : Penerbar Swadaya.

Retnandari, N. D., dan Tjokrowinoto, M. (1991). Kopi Kajian Sosial Ekonomi.


Aditya Medya. Yogyakarta.

Rosamah, E. (2019). Kromatografi Lapis Tipis. Samarinda: Mulawarman


University Press

Wulandari, L. (2011). Kromatografi Lapis Tipis. Jember: PT. Taman Kampus


Presindo.

40

Anda mungkin juga menyukai