PENDAHULUAN
Tanaman kopi (Coffea sp) merupakan salah satu tanaman subsektor perkebunan yang
menjadi komoditas ekspor dan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pendapatan,
kesejahteraan petani, dan mempunyai nilai ekonomi tinggi, karena kopi dapat diolah menjadi
minuman yang lezat. Kopi merupakan komoditi yang tetap diandalkan bagi Indonesia karena
memberikan devisa terbesar bagi negara setelah sawit, karet dan kayu dalam deretan ekspor
Produksi kopi di Riau pada tahun 2013 sebanyak 2.601 ton dengan luas lahan 5.415 ha,
tahun 2014 sebanyak 1.845 ton dengan luas lahan 4.780 ha, dan pada tahun 2015 sebanyak
1.754 ton dengan luas lahan 4.803 ha (Statistik Perkebunan Indonesia, 2015). Data statistik
tersebut menunjukkan bahwa produksi tanaman kopi di Riau menurun. Hal tersebut
ketersediaan bibit masih rendah dan kualitasnya kurang baik, sebab kualitas bibit sangat
menentukan produksi akhir dari komoditas kopi. Salah satu usaha pemerintah mengatasi
penurunan produksi kopi yaitu penerapan teknik budidaya yang tepat dengan penggunaan
bibit kopi yang unggul yang diperoleh dari pembibitan yang baik dan benar.
Budidaya kopi yang baik sangat didukung dari penyediaan bibit. Penyediaan bibit
merupakan salah satu faktor penunjang di dalam budidaya tanaman. Perbanyakan tanaman
kopi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara generatif melalui biji dan vegetatif
melalui bagian-bagian dari pada tanaman seperti batang dan cabang. Perbanyakan kopi secara
generatif lebih menguntungkan karena dapat menghasilkan biji dalam jumlah yang banyak,
mudah dalam pemeliharaan bibit, perakaran lebih kokoh dan resiko kegagalan di pembibitan
kesuburan tanah dan menambah unsur hara tertentu di dalam tanah. Pupuk yang diberikan
dapat dalam bentuk pupuk organik maupun anorganik. Pemupukan dapat memperbaiki
kondisi tanah yang kahat unsur hara untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang tumbuh di
atasnya.
Medium pembibitan kopi Arabika pada umumnya menggunakan tanah lapisan atas (top
soil) dengan kesuburan yang baik. Pada daerah tertentu top soil sulit didapatkan, hal itu
disebabkan oleh penggunaanya yang terus menerus atau terkikis akibat erosi sehingga
ketersediaannya semakin menipis. Oleh sebab itu perlu dicari alternatif lain yang dapat
mendukung pertumbuhan bibit kopi Arabika. Salah satu alternatif tersebut menggunakan
Tanah Inseptisol adalah tanah yang belum matang (immature) yang perkembangan
profilnya lebih lemah dibanding dengan tanah matang dan masih banyak menyerupai sifat
bahan induknya (Hardjowigeno, 2010). Tanah Inseptisol khusunya lapisan bawah memiliki
kelemahan, diantaranya rendahnya kandungan bahan organik, unsur hara yang terbatas dan
kemasaman yang relatif tinggi. Lapisan bawah (subsoil) banyak mengandung Aluminium
yang dapat menjadi racun bagi tanaman, miskin bahan organik, dan miskin hara N, P, dan K
(Subagyo, et al, 2000). Inseptisol akan menghasilkan pertumbuhan bibit kopi yang baik jika
di aplikasi dengan menambahkan pupuk organik. . Beberapa jenis pupuk organik padat yang
dapat digunakan yaitu kompos tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dan kascing.
C 35%, N 2,34%, C/N 15%, P 0,31%, K 5,53%, Ca 1,46%, Mg 0,96%, dan air 52% (PPKS,
2002). Keunggulan kompos ini adalah kandungan kaliumnya yang cukup tinggi sehingga
dapat digunakan sebagai sumber K untuk tanaman (Darnoko, 2006). Selain kompos TKKS,
kompos kulit kopi juga memiliki kandungan nutrisi yang berdasarkan hasil penelitian Ramli
(2013) menunjukkan bahwa kadar C-organik kulit buah kopi adalah 10,80%, kadar nitrogen
4,73%, fosfor 0,21% dan kalium 2,89%. Dan Kascing mengandung N 0,63%,
Fe 0,79%, Mo 14,48%, bahan organik 0,21%, KTK 35,80 me%, kapasitas menyimpan air
Penggunaan pupuk organik tergantung pada jenis tanah, tetapi untuk tanah di
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa jenis bahan
organik serta mendapatkan dosis yang terbaik untuk pertumbuhan bibit kopi Arabika.
1.3. Hipotesis
Pemberian bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kopi Arabika (Coffea
arabica L.).
II. TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman kopi Arabika (Coffea Arabica) adalah jenis tanaman yang berasal dari hutan
pegunungan di Etiopia, Afrika. Di habitat asalnya tanaman ini tumbuh di bawah kanopi hutan
tropis yang rimbun. Kopi Arabika termasuk spesies tanaman yang berbentuk pohon yang
Klas: Dicotyledonae, Ordo: Rubiales, Family: Rubiaceae, Genus: Coffea, Spesies: Arabica
Kopi Arabika mempunyai beberapa varietas diantaranya adalah Sigarar Utang. Kopi
unggul ini adalah hasil persilangan secara alami dari kopi Arabika dan kopi Robusta.
Munandar (2014), umumnya bibit kopi Arabika varietas Sigarar Utang dapat ditanam pada
umur 5-6 bulan dan akan berbunga dan berbuah pada umur 7-9 bulan setelah tanam.
Tanaman kopi dapat tumbuh pada zona antara 20oLU dan 20oLS. Selain itu tanaman kopi
juga sangat dipengaruhi oleh faktor iklim antara lain ketinggian tempat, temperatur, dan
curah hujan. Kopi Arabika banyak tumbuh pada ketinggian diatas 500 meter dpl dan akan
tumbuh dengan maksimal bila ditanam pada ketinggian 1000-2000 meter dpl. Tanaman kopi
membutuhkan curah hujan sekitar 1200 mm-2000 mm per tahun. Suhu lingkungan paling
cocok untuk tanaman ini berkisar 150C-240C. Tanaman ini tidak tahan pada temperatur yang
Kopi Arabika menyukai tanah yang kaya dengan kandungan bahan organik (Kanisius,
1989). Material organik tersebut digunakan tanaman sebagai sumber nutrisi dan menjaga
kelembaban. Tanaman kopi mengkehendaki kondisi tanah yang subur, kaya humus, gembur
dengan sifat fisik yang baik, kondisi air tanah yang cukup, drainase yang baik, dengan pH
tanah antara 5,0-6,5. Hal ini dikarenakan tanaman kopi memiliki sistem perakaran yang
dangkal yaitu 0 cm-30 cm teratas, maka akar tanaman kopi membutuhkan unsur hara yang
tersedia dengan baik dalam tanah. Unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman kopi tersebut
dapat dipenuhi dengan pemberian pupuk organik yang tidak memberikan efek samping pada
mengkehendaki panjang hari yang cukup, hujan yang turun terus-menerus juga tidak cocok
antara lain dengan membuat naungan, karena naungan dapat mempengaruhi beberapa faktor
lingkungan antara lain: temperatur, kelengasan tanah, dan pergerakan udara (Chambers,
1978).
Tanaman kopi Arabika tumbuh rimbun dan membentuk pohon perdu kecil. Kopi Arabika
memiliki percabangan yang lentur serta berdaun tipis. Perakaran kopi Arabika lebih dalam
dari pada kopi Robusta, oleh karena itu kopi Arabika lebih tahan kering dibandingkan kopi
Robusta. Tanaman kopi akan berbunga setelah musim hujan dan bunga tumbuh pada ketiak
daun. Bentuk buah kopi Arabika bulat seperti telur dengan warna buah hijau kemudian
yaitu menggunakan benih, karena kopi Arabika memiliki sifat menyerbuk sendiri (self
pollination), akan menghasilkan tanaman dengan pertumbuhan, produktivitas, dan mutu hasil
Bibit kopi Arabika perlu pemeliharaan khusus agar bibit yang dihasilkan sudah cukup
kuat dan pertumbuhannya lebih seragam sebelum ditanam ke lapangan, diantaranya adalah
pemberian pupuk organik dan penyiraman. Pemberian pupuk organik pada dasarnya
dilakukan untuk mencukupi kebutuhan hara tanaman kopi di pembibitan (Najiati dan Danarti,
1999).
Pembibitan kopi Arabika dilakukan dengan dua tahap yaitu pre nursery atau pembibitan
awal dan main nursery atau pembibitan utama. Kegiatan pembibitan awal bertujuan untuk
mendederkan benih yang telah berkecambah dalam polybag kecil. Kegiatan pembibitan
utama bertujuan untuk memudahkan perawatan, pertumbuhan lebih seragam, dan lahan yang
diperlukan tidak luas. Pembibitan inilah yang akan menentukan keberhasilan di dalam
Menurut Sastrosayono (2003), medium tanam yang sering digunakan dalam pembibitan
adalah tanah bagian atas (top soil) yang subur, gembur, kaya bahan organik, namun
pemakaian top soil secara rutin dan minimnya usaha konservasi tanah akan menyebabkan
semakin terbatasya ketersediaan tanah top soil. Salah satu alternatif yang dapat digunakan
sebagai sumber daya yang potensial untuk medium tanam pembibitan bibit kopi Arabika
Inseptisol adalah tanah yang belum matang (immature) dengan perkembangan profil
yang lebih lemah dibanding dengan tanah matang dan masih banyak menyerupai sifat bahan
induknya (Hardjowigeno, 1993). Secara umum, kesuburan dan sifat kimia Inseptisol relatif
rendah, akan tetapi masih dapat diupayakan untuk ditingkatkan dengan penanganan dan
tanaman lebih dari setengah tahun atau lebih dari 3 bulan berturut-turut dalam musim-musim
kemarau. Kadar C-organik dalam tanah Inseptisol sangat lebar dan demikian juga kejenuhan
basa. Inseptisol dapat terbentuk hampir di semua tempat kecuali daerah kering mulai dari
Sebagian besar Inseptisol menunjukkan kelas besar butir berliat dengan kandungan liat
cukup tinggi (35-78%), tetapi sebagian termasuk berlempung halus dengan kandungan liat
lebih rendah (18-35%). Reaksi tanah Inseptisol bersifat masam sampai agak masam (pH 4,6-
5,5) dan agak masam sampai netral (5,6-6,8). Kandungan bahan organik sebagian rendah
sampai agak sedang dan sebagian lagi sedang sampai tinggi. Kandungan lapisan atas selalu
lebih tinggi dari pada lapisan bawah, dengan rasio C/N tergolong rendah (5-10) sampai
Inseptisol merupakan tanah yang baru berkembang, biasanya mempunyai tekstur yang
beragam dari kasar hingga halus, dalam hal ini tergantung tingkat pelapukan bahan induknya.
Di dataran rendah pada umumnya tebal, sedangkan pada daerah-daerah lereng curam
solumnya tipis. Pada tanah berlereng cocok untuk tanaman tahunan atau tanaman permanen
Sub soil adalah tanah bagian bawah dari lapisan top soil yang mengalami cukup
pelapukan, mengandung lebih sedikit bahan organik (Buckman dan Brady, 1982).
Kandungan bahan organik dalam tanah sub soil masih relatif sedikit, yaitu kurang dari 3-5%
dari berat tanah mineral top soil, akan tetapi besar pengaruhnya terhadap sifat dan
pertumbuhan tanaman (Wididana, 1992). Sub soil dapat menjadi alternatif untuk
menggantikan peran top soil sebagai media tanam. Hal ini dikarenakan sub soil relatif lebih
banyak tersedia dan dijumpai dalam jumlah yang cukup besar serta tidak terbatas di lapangan,
dibandingkan dengan top soil yang berangsur-angsur semakin menipis dan sulit didapatkan
karena terkikis akibat erosi atau penggunaan yang terus menerus sebagai media pembibitan
Bahan organik adalah bahan yang telah mengalami dekomposisi sehingga dapat
dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia maupun biologi tanah (Sutomo dan
Abdurachman, 1997). Bahan organik merupakan sumber energi dari sebagian besar
organisme tanah (Hakim dkk, 1986). Bahan organik tanah merupakan semua jenis senyawa
organik yang terdapat di dalam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan,
biomassa mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air dan humus (Stevenson, 1994).
Kelebihan pupuk organik dibandingkan dengan pupuk anorganik antara lain adalah jarang
menimbulkan resiko pada manusia maupun hewan, mudah didapatkan, memberikan pengaruh
positif terhadap tanaman terutama pada musim kemarau serta meningkatkan aktifitas
Bahan organik umumnya ditemukan di permukaan tanah dalam jumlah tidak besar yaitu
beberapa sifat yang menguntungkan antara lain dapat memperbaiki struktur tanah
berlempung sehingga menjadi ringan, memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah
tidak berderai, menambah daya ikat air pada tanah terhadap zat hara dan memperbaiki
drainase serta tata udara dalam tanah. Rinsema (1993), menyatakan pupuk organik sangat
Kompos tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan bahan organik padat dari
pabrik kelapa sawit yang berguna untuk memperbaiki sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi
tanah serta sebagai sumber hara bagi tanah. Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit
(TKKS) sebagai bahan organik tanah dapat dilakukan secara langsung yaitu dengan
menjadikan TKKS sebagai mulsa sedangkan pemanfaatan secara tidak langsung dengan
mengomposkan terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai pupuk organik dan campuran
medium tanam (Sinaga, 2011). Pengomposan tandan kosong kelapa sawit merupakan cara
yang tepat untuk menangani limbah kelapa sawit, sekaligus menyediakan nutrisi bagi
Secara umum pemberian dosis kompos tandan kelapa sawit sebagai bahan organik
berkisar antara 10-20 ton/ha (Fauzi dkk, 2005). Said (1996), menyatakan bahwa senyawa
yang banyak terdapat dalam kompos tandan kosong kelapa sawit adalah selulosa, lignin, dan
hemiselulosa. Ningtyas dan Lia (2010), menyatakan kandungan bahan organik dalam tandan
kosong kelapa sawit terdiri dari 41,4% selulosa, 22% hemiselulosa, 18,3% lignin, 10,1% abu
Kascing adalah bahan organik yang berasal dari cacing (Mulat, 2003). Radian (1994)
mengemukakan bahwa kascing adalah kotoran cacing tanah yang bercampur dengan tanah
atau bahan lainnya yang merupakan pupuk organik yang kaya akan unsur hara dan
kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan pupuk organik jenis lain. Kerjasama antara
cacing tanah dengan mikroorganisme memberi dampak proses penguraian yang berjalan
Kascing berperan dalam meningkatkan kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah. Dilihat
dengan kondisi lingkungan yang ada (Thamrin, 2000). Pemakaian pupuk kascing dapat
bunga, daun serta menggemburkan dan menyuburkan tanah dan cocok sebagai medium tanah
Palungkun (1999), menyatakan zat pengatur tumbuh tanaman yang terkandung dalam
pupuk kascing yaitu giberelin 2,75%, sitokinin 1,05% dan auksin 3,8%. Mashur (2001),
menyatakan kascing merupakan sumber nutrisi bagi mikroba tanah, mikroba tanah berperan
Nahampun (2009) menyatakan bahwa perlakuan pupuk kascing 25g/polibag pada bibit
kakao menunjukkan dosis pupuk kascing terbaik dan berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit,
jumlah daun, berat kering bangian atas bibit kakao dan berat basah. Menurut Musnawar
(2006) jumlah optimal kascing yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil positif hanyalah
kg tanah memberikan hasil terbaik pada pertambahan luas daun, pertambahan lingkar batang
dan rasio tajuk akar tanaman kopi Robusta dibandingkan dengan jenis kompos lainnya.
III. BAHAN DAN METODE
Riau, Kampus Bina Widya Km 12,5 Kelurahan Simpang Baru, Kecamatan Tampan, Kota
Pekanbaru. Penelitian ini akan dilaksanakan selama 4 bulan mulai bulan Januari sampai April
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: bibit kopi Arabika varietas Sigarar
Utang umur 3 bulan, subsoil tanah Inseptisol, Kompos TKKS, Kascing, fungisida Dithane M-
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: polybag, cangkul, shading net,
naungan, gembor, timbangan analitik, timbangan, alat tulis, kamera, label, gelas ukur, oven,
Lengkap (RAL) yang terdiri dari 6 perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali
sehingga didapat 18 unit percobaan. Setiap unit percobaan terdiri dari 3 bibit sehingga
Perlakuan yang diberikan terdiri dari beberapa jenis kompos (K) yaitu:
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis of variance
Yij = Hasil dari satuan percobaan pada pemberian kompos pada taraf ke –i dan ulangan ke –
j.
εij = Pengaruh galat pada satuan percobaan jenis-jenis kompos pada taraf ke –i dan ulangan
ke –j.
Hasil analisis ragam dilanjutkan dengan uji jarak berganda pada taraf 5%
tanaman, selanjutnya permukaan tanah diratakan agar susunan polybag menjadi rapi dan
Pembuatan naungan dari pelepah kelapa sawit yang berfungsi untuk melindungi bibit
dari sinar matahari langsung dan percikan air hujan. Setiap sisi diberi shading net dengan
Medium tanam yang digunakan tanah Inseptisol yang diambil dari Kebun Fakultas
Pertanian Universitas Riau dengan menggunakan cangkul sampai kedalaman 20 cm. Tanah
dibersihkan dari sisa-sisa tanaman, lalu dikering anginkan, diayak. Selanjutnya tanah
Bibit kopi yang digunakan adalah bibit kopi Arabika varietas Sigarar Utang berumur 3
bulan. Bibit diperoleh dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Tapanuli Utara
masing jenis kompos pada tanah, kemudian diaduk sampai merata dan dimasukkan ke dalam
polybag.
3.4.6. Penanaman
polybag bibit yang akan ditanam dibuka secara berlahan agar akar tidak rusak kemudian bibit
ditanam pada lubang yang telah dibuat, medium dipadatkan dan disiram dengan
menggunakan gembor.
3.4.7. Pemeliharaan
3.4.7.1. Penyiraman
Penyiraman dilakukan satu kali sehari yaitu pada sore hari dengan menggunakan
gembor sampai keadaan medium lembab. Apabila pada malam sebelumnya turun hujan dan
3.4.7.2. Penyiangan
Penyiangan dilakukan secara mekanik dan manual. Apabila gulma berada di luar
polybag maka dilakukan secara mekanik dengan menggunakan cangkul, sedangkan gulma
yang berada di dalam polybag dilakukan secara manual dengan cara mencabutnya
tanaman kopi dan gulma dalam penyerapan unsur hara dan air. Penyiangan dilakukan
3.5. Pengamatan
Tinggi bibit diukur mulai dari pangkal batang bibit yang telah dipasang ajir setinggi 2
cm hingga tinggi titik tumbuh tertinggi. Pengukuran tinggi bibit dilakukan pada saat awal dan
akhir penelitian. Pertambahan tinggi bibit diperoleh dengan mengurangkan data pengamatan
Pertambahan jumlah daun diperoleh dengan cara menghitung semua daun yang telah
membuka sempurna pada masing-masing bibit pada saat awal dan akhir penelitian. Kemudian
Pengukuran luas daun dilakukan pada akhir penelitian. Daun yang diukur adalah daun
yang terlebar dari masing-masing sampel tanaman. Luas daun dihitung dengan cara memetik
daun dan menempelkan daun pada kertas replika, kemudian ditimbang berat kertas total dan
sebangai berikut:
Wr
L= Wtot xLK
Keterangan:
Pengamatan dilakukan dengan cara membongkar bibit tanaman bersama akarnya pada
akhir penelitian. Akar dibersihkan dari sisa-sisa tanah yang menempel menggunakan air
mengalir. Setelah bersih kemudian dikering anginkan. Selanjutnya leher akar dipotong dan
dimasukkan ke dalam gelas ukur yang berisi air. Pertambahan volume air pada gelas ukur
Rasio tajuk akar merupakan perbandingan antara berat kering tajuk dan berat kering
akar. Pengamatan dilakukan pada akhir penelitian dengan memilih bibit satu sampel dari
setiap perlakuan secara acak, lalu bibit tersebut dibongkar. Setelah itu akar dicuci bersih
dengan air yang mengalir kemudian dikering anginkan selama 2 jam. Akar (sampai batas
leher akar) dipisahkan dari organ bangian atas tajuk. Bagian akar dan tajuk dimasukkan ke
dalam amplop kertas selanjutnya dikeringkan di dalam oven dengan suhu 70 oC selama 48
Berat kering bibit diperoleh dengan menjumlahkan berat kering tajuk dan berat kering
Adams, M.R. and J. Dougan, 1982. Biological Management of Coffee Processing Wastes.
Tropical Sciene, 23, 177-196.
Ambarwati, E., Rizqiani dan N.W. Yuwono. 2007. Pengaruh Dosis dan Frekuensi
Pemberian Pupuk Organik Cair Terhadap Perumbuhan dan Hasil Buncis
(Phaseolus vulgaria L) Dataran Rendah. Ilmu Pertanian (Agricultural Science). Vol
14 No 2.
Anggoro, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Kemajuan Mutakhir. UI Press. Jakarta.
Anonim. 1980. Pedoman Hama dan Penyakit Tanaman Kelapa. Direktorat Jendral
Perkebunan Departemen Pertanian. Jakarta.
__________. 2014. Budidaya Kopi. Dikutip dari: http://www.teknik budidaya tanaman kopi
yang diterapkan oleh kelompok tani puncak lestari e-petani.htm. Diakses pada 30
September 2016.
Bressani, R. 1972, Coffee Pulp Composition, Tecnology and Utilization,
Institute of Nutrition of Central America and Panama, Amerika
Buckman dan Nyle. C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Bhatara Karya Aksara. Jakarta.
Chambers RE. 1978. Klimatologi Pertanian. Bogor: Penuntun Mata Kuliah Fakultas
Pertanian IPB. Bogor.
Darmawijaya, I. 1990. Klasifikasi Tanah, Dasar – dasar Teori Bagi Penelitian Tanah dan
Pelaksanaan Penelitian. UGM Press, Yogyakarta.
Darnoko. 2006. Kandungan Tandan Kosong Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Kelapa
Sawit. Volume 13 Nomor 2 :611-615.
Lingga, P dan Marsono. 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mulyana, W. 1982. Segi Praktis Bercocok Tanam Kopi. CV. Aneka Semarang. Semarang.
Munandar, A. 2014. Pengawasan Benih dalam Polybag Kopi Arabika Sigarar Utang di
Kabupaten Garut. www.mengenalkopisigararutang. Com. Diakses pada tanggal 30
September 2016.
Nahampun, R.D.C. 2009. Pengaruh Pemberian Pupuk Kascing dan Pupuk Organik Cair
terhadap Pertumbuhan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) di Pre-nursery.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Najiati dan Danarti.1999. Kopi, Budidaya dan Pananganan Kopi Lepas Panen. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Ningtyas, V. A. dan Lia, Y. A. 2010. Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit Sisa
Media Jamur Merang (Volvariella volvaceae) Sebangai Pupuk Organik Dengan
Penambahan Aktivator Effective Microorganism EM-4. Skripsi Fakultas Teknik
kimia. Institut Teknologi Surabaya. Surabaya.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2002. Pembibitan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa
Sawit. Medan.
Puslittanak. 2000. Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian. Bogor. hlm 169-17.
Rachim, K. 2014. Pertumbuhan Bibit Kopi Robusta (Coffea canephora Pierre) Dengan
Pemberian Beberapa Jenis Kompos. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Riau.
Pekanbaru.
Radian. 1994. Cara Pembuatan Kascing dan Peranannya dalam Meningkatkan
Produktivitas Tanah. Topik Khusus. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Rahardjo, P. 2012. Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika dan Robusta.
Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
Ramli. 2013. Pengaruh kompos kulit buah kopi terhadap pertumbuhan dan
hasil tanaman petsai pada tanah aluvial. Jurnal Pertanian. Fakultas
Pertanian Universitas Tanjungpura: Pontianak.
Rinsema. 1993. Petunjuk dan Cara Penggunaan Pupuk. Bharata Karya Akdara. Jakarta.
Ronitua. 2012. Pemberian Kompos Ampas Tahu dan Urine Sapi pada Pertumbuhan
Bibit Kelapa Sawit di Main-nursery. Skripsi Sarjana Fakultas Pertanian Universitas
Riau. Pekanbaru.
Sinaga, E. 2011. Pengaruh Pemberian Pupuk Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit
(TKKS) dan Pupuk NPK Terhadap Pertumbuhan Kakao (Theobroma cacao L.)
di Pembibitan. USU Press. Yogyakarta.
Soetedjo, M. M. 1989. Hama Tanaman Keras dan Alat pemberantasannya. Bina Aksara.
Jakarta.
Susanto A., R. Y. Purba dan C. Utomo. 2005. Penyakit-Penyakit Infeksi pada Kelapa
Sawit. Buku 1 Ppks. Medan.
Thamrin. 2000. Perbaikan Sifat Fisik Tanah dengan Pemberian Beberapa Pupuk
Organik. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jatinangor. Jawa Barat.
Tillman, D. Allen. 1998. Ilmu Makan Ternak Unggas. Fakultas Peternakan UGM. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Trisilawati, O dan Gusmaini. 1999. Penggunaan Pupuk Organik Bagi Pertumbuhan Dan
Produksi Jahe. Buletin Gakuryoku. Hlm. 251-257. Sudiarto dan Gusmaini. 1996.
Pemanfaatan Bahan Organik In Situ Untuk Efisiensi Budidaya Jahe Yang
Berkelanjutan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 23 ( 2 ). 2004. Bogor.