Anda di halaman 1dari 19

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanaman kopi (Coffea sp) merupakan salah satu tanaman subsektor perkebunan yang

menjadi komoditas ekspor dan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pendapatan,

kesejahteraan petani, dan mempunyai nilai ekonomi tinggi, karena kopi dapat diolah menjadi

minuman yang lezat. Kopi merupakan komoditi yang tetap diandalkan bagi Indonesia karena

memberikan devisa terbesar bagi negara setelah sawit, karet dan kayu dalam deretan ekspor

non minyak dan gas bumi.

Produksi kopi di Riau pada tahun 2013 sebanyak 2.601 ton dengan luas lahan 5.415 ha,

tahun 2014 sebanyak 1.845 ton dengan luas lahan 4.780 ha, dan pada tahun 2015 sebanyak

1.754 ton dengan luas lahan 4.803 ha (Statistik Perkebunan Indonesia, 2015). Data statistik

tersebut menunjukkan bahwa produksi tanaman kopi di Riau menurun. Hal tersebut

dikarenakan budidaya kopi di Riau masih didominasi perkebunan rakyat sehingga

ketersediaan bibit masih rendah dan kualitasnya kurang baik, sebab kualitas bibit sangat

menentukan produksi akhir dari komoditas kopi. Salah satu usaha pemerintah mengatasi

penurunan produksi kopi yaitu penerapan teknik budidaya yang tepat dengan penggunaan

bibit kopi yang unggul yang diperoleh dari pembibitan yang baik dan benar.

Budidaya kopi yang baik sangat didukung dari penyediaan bibit. Penyediaan bibit

merupakan salah satu faktor penunjang di dalam budidaya tanaman. Perbanyakan tanaman

kopi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara generatif melalui biji dan vegetatif

melalui bagian-bagian dari pada tanaman seperti batang dan cabang. Perbanyakan kopi secara

generatif lebih menguntungkan karena dapat menghasilkan biji dalam jumlah yang banyak,

mudah dalam pemeliharaan bibit, perakaran lebih kokoh dan resiko kegagalan di pembibitan

relatif rendah (Anonim, 2014).


Pembibitan merupakan awal yang penting dalam pertumbuhan tanaman. Pembibitan

membutuhkan tindakan seperti pemberian pupuk yang bertujuan untuk memperbaiki

kesuburan tanah dan menambah unsur hara tertentu di dalam tanah. Pupuk yang diberikan

dapat dalam bentuk pupuk organik maupun anorganik. Pemupukan dapat memperbaiki

kondisi tanah yang kahat unsur hara untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang tumbuh di

atasnya.

Medium pembibitan kopi Arabika pada umumnya menggunakan tanah lapisan atas (top

soil) dengan kesuburan yang baik. Pada daerah tertentu top soil sulit didapatkan, hal itu

disebabkan oleh penggunaanya yang terus menerus atau terkikis akibat erosi sehingga

ketersediaannya semakin menipis. Oleh sebab itu perlu dicari alternatif lain yang dapat

mendukung pertumbuhan bibit kopi Arabika. Salah satu alternatif tersebut menggunakan

tanah lapisan bawah (sub soil) Inseptisol.

Tanah Inseptisol adalah tanah yang belum matang (immature) yang perkembangan

profilnya lebih lemah dibanding dengan tanah matang dan masih banyak menyerupai sifat

bahan induknya (Hardjowigeno, 2010). Tanah Inseptisol khusunya lapisan bawah memiliki

kelemahan, diantaranya rendahnya kandungan bahan organik, unsur hara yang terbatas dan

kemasaman yang relatif tinggi. Lapisan bawah (subsoil) banyak mengandung Aluminium

yang dapat menjadi racun bagi tanaman, miskin bahan organik, dan miskin hara N, P, dan K

(Subagyo, et al, 2000). Inseptisol akan menghasilkan pertumbuhan bibit kopi yang baik jika

di aplikasi dengan menambahkan pupuk organik. . Beberapa jenis pupuk organik padat yang

dapat digunakan yaitu kompos tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dan kascing.

Kompos tandan kosong kelapa sawit memiliki kandungan nutrisi yaitu:

C 35%, N 2,34%, C/N 15%, P 0,31%, K 5,53%, Ca 1,46%, Mg 0,96%, dan air 52% (PPKS,

2002). Keunggulan kompos ini adalah kandungan kaliumnya yang cukup tinggi sehingga

dapat digunakan sebagai sumber K untuk tanaman (Darnoko, 2006). Selain kompos TKKS,
kompos kulit kopi juga memiliki kandungan nutrisi yang berdasarkan hasil penelitian Ramli

(2013) menunjukkan bahwa kadar C-organik kulit buah kopi adalah 10,80%, kadar nitrogen

4,73%, fosfor 0,21% dan kalium 2,89%. Dan Kascing mengandung N 0,63%,

P 0,35%, K 0,2%, Ca 0,23%, Mn 0,003%, Mg 0,26%, Cu 17,58%, Zn 0,007%,

Fe 0,79%, Mo 14,48%, bahan organik 0,21%, KTK 35,80 me%, kapasitas menyimpan air

41,23% dan asam humat 13,88% (Mulat, 2003).

Penggunaan pupuk organik tergantung pada jenis tanah, tetapi untuk tanah di

Indonesia umumnya diberikan sebanyak 10-20 ton/ha (Lingga, 2003).

Berdasarkan uraian tersebut, penulis akan melakukan penelitian dengan judul

“Pengaruh Pemberian Beberapa Jenis Bahan Organik terhadap Pertumbuhan Bibit

Kopi Arabika (Coffea arabica L) di Subsoil Tanah Inseptisol”

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa jenis bahan

organik serta mendapatkan dosis yang terbaik untuk pertumbuhan bibit kopi Arabika.

1.3. Hipotesis

Pemberian bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kopi Arabika (Coffea

arabica L.).
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Kopi Arabika

Tanaman kopi Arabika (Coffea Arabica) adalah jenis tanaman yang berasal dari hutan

pegunungan di Etiopia, Afrika. Di habitat asalnya tanaman ini tumbuh di bawah kanopi hutan

tropis yang rimbun. Kopi Arabika termasuk spesies tanaman yang berbentuk pohon yang

digolongkan ke dalam kingdom: Plantae, Divisi: Spermatophyta, sub divisi: Angiospermae,

Klas: Dicotyledonae, Ordo: Rubiales, Family: Rubiaceae, Genus: Coffea, Spesies: Arabica

(Najiati dan Danarti, 1999),

Kopi Arabika mempunyai beberapa varietas diantaranya adalah Sigarar Utang. Kopi

unggul ini adalah hasil persilangan secara alami dari kopi Arabika dan kopi Robusta.

Munandar (2014), umumnya bibit kopi Arabika varietas Sigarar Utang dapat ditanam pada

umur 5-6 bulan dan akan berbunga dan berbuah pada umur 7-9 bulan setelah tanam.

Tanaman kopi dapat tumbuh pada zona antara 20oLU dan 20oLS. Selain itu tanaman kopi

juga sangat dipengaruhi oleh faktor iklim antara lain ketinggian tempat, temperatur, dan

curah hujan. Kopi Arabika banyak tumbuh pada ketinggian diatas 500 meter dpl dan akan

tumbuh dengan maksimal bila ditanam pada ketinggian 1000-2000 meter dpl. Tanaman kopi

membutuhkan curah hujan sekitar 1200 mm-2000 mm per tahun. Suhu lingkungan paling

cocok untuk tanaman ini berkisar 150C-240C. Tanaman ini tidak tahan pada temperatur yang

mendekati beku di bawah 40C (Farnanda, 2014).

Kopi Arabika menyukai tanah yang kaya dengan kandungan bahan organik (Kanisius,

1989). Material organik tersebut digunakan tanaman sebagai sumber nutrisi dan menjaga

kelembaban. Tanaman kopi mengkehendaki kondisi tanah yang subur, kaya humus, gembur

dengan sifat fisik yang baik, kondisi air tanah yang cukup, drainase yang baik, dengan pH

tanah antara 5,0-6,5. Hal ini dikarenakan tanaman kopi memiliki sistem perakaran yang

dangkal yaitu 0 cm-30 cm teratas, maka akar tanaman kopi membutuhkan unsur hara yang
tersedia dengan baik dalam tanah. Unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman kopi tersebut

dapat dipenuhi dengan pemberian pupuk organik yang tidak memberikan efek samping pada

tanah (Mulyana, 1982).

Tanaman kopi tidak mengkehendaki intensitas cahaya yang tinggi namun

mengkehendaki panjang hari yang cukup, hujan yang turun terus-menerus juga tidak cocok

untuk pertumbuhan tanaman kopi, karena akan mengurangi lamanya penyinaran

(Syamsulbahri, 1996). Untuk menghasilkan pertumbuhan optimal dilakukan modifikasi cuaca

antara lain dengan membuat naungan, karena naungan dapat mempengaruhi beberapa faktor

lingkungan antara lain: temperatur, kelengasan tanah, dan pergerakan udara (Chambers,

1978).

Tanaman kopi Arabika tumbuh rimbun dan membentuk pohon perdu kecil. Kopi Arabika

memiliki percabangan yang lentur serta berdaun tipis. Perakaran kopi Arabika lebih dalam

dari pada kopi Robusta, oleh karena itu kopi Arabika lebih tahan kering dibandingkan kopi

Robusta. Tanaman kopi akan berbunga setelah musim hujan dan bunga tumbuh pada ketiak

daun. Bentuk buah kopi Arabika bulat seperti telur dengan warna buah hijau kemudian

berubah menjadi merah terang saat sudah matang (Raharjo, 2012).

Perbanyakan tanaman kopi Arabika umumnya dengan perbanyakan secara generatif

yaitu menggunakan benih, karena kopi Arabika memiliki sifat menyerbuk sendiri (self

pollination), akan menghasilkan tanaman dengan pertumbuhan, produktivitas, dan mutu hasil

yang relatif seragam (Raharjo, 2012).

Bibit kopi Arabika perlu pemeliharaan khusus agar bibit yang dihasilkan sudah cukup

kuat dan pertumbuhannya lebih seragam sebelum ditanam ke lapangan, diantaranya adalah

pemberian pupuk organik dan penyiraman. Pemberian pupuk organik pada dasarnya

dilakukan untuk mencukupi kebutuhan hara tanaman kopi di pembibitan (Najiati dan Danarti,

1999).
Pembibitan kopi Arabika dilakukan dengan dua tahap yaitu pre nursery atau pembibitan

awal dan main nursery atau pembibitan utama. Kegiatan pembibitan awal bertujuan untuk

mendederkan benih yang telah berkecambah dalam polybag kecil. Kegiatan pembibitan

utama bertujuan untuk memudahkan perawatan, pertumbuhan lebih seragam, dan lahan yang

diperlukan tidak luas. Pembibitan inilah yang akan menentukan keberhasilan di dalam

budidaya tanaman kopi (Winarno, 1995).

Menurut Sastrosayono (2003), medium tanam yang sering digunakan dalam pembibitan

adalah tanah bagian atas (top soil) yang subur, gembur, kaya bahan organik, namun

pemakaian top soil secara rutin dan minimnya usaha konservasi tanah akan menyebabkan

semakin terbatasya ketersediaan tanah top soil. Salah satu alternatif yang dapat digunakan

sebagai sumber daya yang potensial untuk medium tanam pembibitan bibit kopi Arabika

(Coffea arabica L.) yaitu menggunakan sub soil tanah Inceptisol.

2.2. Tanah Inseptisol

Inseptisol adalah tanah yang belum matang (immature) dengan perkembangan profil

yang lebih lemah dibanding dengan tanah matang dan masih banyak menyerupai sifat bahan

induknya (Hardjowigeno, 1993). Secara umum, kesuburan dan sifat kimia Inseptisol relatif

rendah, akan tetapi masih dapat diupayakan untuk ditingkatkan dengan penanganan dan

teknologi yang tepat (Sudirja, 2007).

Inseptisol mempunyai karakteristik dari kombinasi sifat-sifat tersedianya air untuk

tanaman lebih dari setengah tahun atau lebih dari 3 bulan berturut-turut dalam musim-musim

kemarau. Kadar C-organik dalam tanah Inseptisol sangat lebar dan demikian juga kejenuhan

basa. Inseptisol dapat terbentuk hampir di semua tempat kecuali daerah kering mulai dari

kutub sampai tropika (Darmawijaya, 1990).

Sebagian besar Inseptisol menunjukkan kelas besar butir berliat dengan kandungan liat

cukup tinggi (35-78%), tetapi sebagian termasuk berlempung halus dengan kandungan liat
lebih rendah (18-35%). Reaksi tanah Inseptisol bersifat masam sampai agak masam (pH 4,6-

5,5) dan agak masam sampai netral (5,6-6,8). Kandungan bahan organik sebagian rendah

sampai agak sedang dan sebagian lagi sedang sampai tinggi. Kandungan lapisan atas selalu

lebih tinggi dari pada lapisan bawah, dengan rasio C/N tergolong rendah (5-10) sampai

sedang (10-18) (Puslittanak, 2000).

Inseptisol merupakan tanah yang baru berkembang, biasanya mempunyai tekstur yang

beragam dari kasar hingga halus, dalam hal ini tergantung tingkat pelapukan bahan induknya.

Di dataran rendah pada umumnya tebal, sedangkan pada daerah-daerah lereng curam

solumnya tipis. Pada tanah berlereng cocok untuk tanaman tahunan atau tanaman permanen

untuk menjaga kelestarian tanah (Munir, 1996).

Sub soil adalah tanah bagian bawah dari lapisan top soil yang mengalami cukup

pelapukan, mengandung lebih sedikit bahan organik (Buckman dan Brady, 1982).

Kandungan bahan organik dalam tanah sub soil masih relatif sedikit, yaitu kurang dari 3-5%

dari berat tanah mineral top soil, akan tetapi besar pengaruhnya terhadap sifat dan

pertumbuhan tanaman (Wididana, 1992). Sub soil dapat menjadi alternatif untuk

menggantikan peran top soil sebagai media tanam. Hal ini dikarenakan sub soil relatif lebih

banyak tersedia dan dijumpai dalam jumlah yang cukup besar serta tidak terbatas di lapangan,

dibandingkan dengan top soil yang berangsur-angsur semakin menipis dan sulit didapatkan

karena terkikis akibat erosi atau penggunaan yang terus menerus sebagai media pembibitan

(Hidayat dkk, 2007).


2.3. Bahan Organik

Bahan organik adalah bahan yang telah mengalami dekomposisi sehingga dapat

dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia maupun biologi tanah (Sutomo dan

Abdurachman, 1997). Bahan organik merupakan sumber energi dari sebagian besar

organisme tanah (Hakim dkk, 1986). Bahan organik tanah merupakan semua jenis senyawa

organik yang terdapat di dalam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan,

biomassa mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air dan humus (Stevenson, 1994).

Kelebihan pupuk organik dibandingkan dengan pupuk anorganik antara lain adalah jarang

menimbulkan resiko pada manusia maupun hewan, mudah didapatkan, memberikan pengaruh

positif terhadap tanaman terutama pada musim kemarau serta meningkatkan aktifitas

organisme yang menguntungkan yang ada di dalam tanah (Rinsema, 1993).

Bahan organik umumnya ditemukan di permukaan tanah dalam jumlah tidak besar yaitu

3% - 5% (Hardjowigeno, 2010). Indriani (2011), menyatakan bahwa kompos mempunyai

beberapa sifat yang menguntungkan antara lain dapat memperbaiki struktur tanah

berlempung sehingga menjadi ringan, memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah

tidak berderai, menambah daya ikat air pada tanah terhadap zat hara dan memperbaiki

drainase serta tata udara dalam tanah. Rinsema (1993), menyatakan pupuk organik sangat

besar peranannya dalam memperbaiki ketahanan tanah terhadap terjadinya erosi,

memperbaiki struktur tanah dan dapat meningkatkan aktifitas organisme yang

menguntungkan yang ada di dalam tanah.

Kompos tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan bahan organik padat dari

pabrik kelapa sawit yang berguna untuk memperbaiki sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi

tanah serta sebagai sumber hara bagi tanah. Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit

(TKKS) sebagai bahan organik tanah dapat dilakukan secara langsung yaitu dengan

menjadikan TKKS sebagai mulsa sedangkan pemanfaatan secara tidak langsung dengan
mengomposkan terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai pupuk organik dan campuran

medium tanam (Sinaga, 2011). Pengomposan tandan kosong kelapa sawit merupakan cara

yang tepat untuk menangani limbah kelapa sawit, sekaligus menyediakan nutrisi bagi

tanaman (Said, 1996)

Secara umum pemberian dosis kompos tandan kelapa sawit sebagai bahan organik

berkisar antara 10-20 ton/ha (Fauzi dkk, 2005). Said (1996), menyatakan bahwa senyawa

yang banyak terdapat dalam kompos tandan kosong kelapa sawit adalah selulosa, lignin, dan

hemiselulosa. Ningtyas dan Lia (2010), menyatakan kandungan bahan organik dalam tandan

kosong kelapa sawit terdiri dari 41,4% selulosa, 22% hemiselulosa, 18,3% lignin, 10,1% abu

dan 8,2% air.

Kascing adalah bahan organik yang berasal dari cacing (Mulat, 2003). Radian (1994)

mengemukakan bahwa kascing adalah kotoran cacing tanah yang bercampur dengan tanah

atau bahan lainnya yang merupakan pupuk organik yang kaya akan unsur hara dan

kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan pupuk organik jenis lain. Kerjasama antara

cacing tanah dengan mikroorganisme memberi dampak proses penguraian yang berjalan

dengan baik (Sinha, 2009).

Kascing berperan dalam meningkatkan kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah. Dilihat

dari segi biologinya kascing dapat meningkatkan perkembangan mikroorganisme sesuai

dengan kondisi lingkungan yang ada (Thamrin, 2000). Pemakaian pupuk kascing dapat

meningkatkan produktivitas, mempercepat panen, meransang pertumbuhan akar, batang,

bunga, daun serta menggemburkan dan menyuburkan tanah dan cocok sebagai medium tanah

(Lingga dan Marsono, 2001).

Palungkun (1999), menyatakan zat pengatur tumbuh tanaman yang terkandung dalam

pupuk kascing yaitu giberelin 2,75%, sitokinin 1,05% dan auksin 3,8%. Mashur (2001),
menyatakan kascing merupakan sumber nutrisi bagi mikroba tanah, mikroba tanah berperan

dalam menguraikan bahan organik dan dapat meningkatkan kesuburan tanah.

Nahampun (2009) menyatakan bahwa perlakuan pupuk kascing 25g/polibag pada bibit

kakao menunjukkan dosis pupuk kascing terbaik dan berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit,

jumlah daun, berat kering bangian atas bibit kakao dan berat basah. Menurut Musnawar

(2006) jumlah optimal kascing yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil positif hanyalah

10-20 % dari volume media tanam.

Hasil penelitian Rachim (2014) menunjukkan bahwa perlakuan Vermikompos 50 g/10

kg tanah memberikan hasil terbaik pada pertambahan luas daun, pertambahan lingkar batang

dan rasio tajuk akar tanaman kopi Robusta dibandingkan dengan jenis kompos lainnya.
III. BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas

Riau, Kampus Bina Widya Km 12,5 Kelurahan Simpang Baru, Kecamatan Tampan, Kota

Pekanbaru. Penelitian ini akan dilaksanakan selama 4 bulan mulai bulan Januari sampai April

2017 (Lampiran 1).

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: bibit kopi Arabika varietas Sigarar

Utang umur 3 bulan, subsoil tanah Inseptisol, Kompos TKKS, Kascing, fungisida Dithane M-

45, Insektisida Decis 25 EC dan air.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: polybag, cangkul, shading net,

naungan, gembor, timbangan analitik, timbangan, alat tulis, kamera, label, gelas ukur, oven,

hand sprayer, pisau, meteran, kertas replika dan ayakan.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara eksperiman dengan menggunakan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) yang terdiri dari 6 perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali

sehingga didapat 18 unit percobaan. Setiap unit percobaan terdiri dari 3 bibit sehingga

keseluruhan berjumlah 54 bibit.

Perlakuan yang diberikan terdiri dari beberapa jenis kompos (K) yaitu:

K0 : Tanpa pemberian kompos

K1 : Kompos TKKS (50 g/polibag) atau 20 ton/ha

K2 : Kompos kascing (50 g/polibag) atau 20 ton/ha

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis of variance

(Anova) dengan model linear sebangai berikut:


Yij = µ + τi + εij
Keterangan:

Yij = Hasil dari satuan percobaan pada pemberian kompos pada taraf ke –i dan ulangan ke –

j.

µ = Nilai tengah umum

τi = Pengaruh beberapa jenis kompos pada taraf ke –i

εij = Pengaruh galat pada satuan percobaan jenis-jenis kompos pada taraf ke –i dan ulangan

ke –j.

Hasil analisis ragam dilanjutkan dengan uji jarak berganda pada taraf 5%

3.4. Pelaksanaan Penelitian

3.4.1. Persiapan Lahan

Lahan penelitian yang berukuran 6 m x 6 m dibersihkan dari gulma dan sisa-sisa

tanaman, selanjutnya permukaan tanah diratakan agar susunan polybag menjadi rapi dan

tidak miring. Persiapan ini dilakukan 1 minggu sebelum tanam.

3.4.2. Pembuatan Naungan

Pembuatan naungan dari pelepah kelapa sawit yang berfungsi untuk melindungi bibit

dari sinar matahari langsung dan percikan air hujan. Setiap sisi diberi shading net dengan

lebar 1 m untuk menghindari hama yang masuk ke area penelitian.

3.4.3. Persiapan Medium Tanam

Medium tanam yang digunakan tanah Inseptisol yang diambil dari Kebun Fakultas

Pertanian Universitas Riau dengan menggunakan cangkul sampai kedalaman 20 cm. Tanah

dibersihkan dari sisa-sisa tanaman, lalu dikering anginkan, diayak. Selanjutnya tanah

dimasukkan ke dalam polybag masing-masing sebanyak 5 kg.


3.4.4. Persiapan Bibit

Bibit kopi yang digunakan adalah bibit kopi Arabika varietas Sigarar Utang berumur 3

bulan. Bibit diperoleh dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Tapanuli Utara

Provinsi Sumatera Utara. Bibit disiapkan 1 minggu sebelum tanam.

3.4.5. Pemberian Kompos

Pemberian kompos sebagai perlakuan dilakukan dengan cara mencampurkan masing-

masing jenis kompos pada tanah, kemudian diaduk sampai merata dan dimasukkan ke dalam

polybag.

3.4.6. Penanaman

Penanaman dilakukan dengan membuat lubang tanam di dalam polybag, kemudian

polybag bibit yang akan ditanam dibuka secara berlahan agar akar tidak rusak kemudian bibit

ditanam pada lubang yang telah dibuat, medium dipadatkan dan disiram dengan

menggunakan gembor.

3.4.7. Pemeliharaan

3.4.7.1. Penyiraman

Penyiraman dilakukan satu kali sehari yaitu pada sore hari dengan menggunakan

gembor sampai keadaan medium lembab. Apabila pada malam sebelumnya turun hujan dan

tanah dalam polybag masih lembab maka tidak dilakukan penyiraman.

3.4.7.2. Penyiangan

Penyiangan dilakukan secara mekanik dan manual. Apabila gulma berada di luar

polybag maka dilakukan secara mekanik dengan menggunakan cangkul, sedangkan gulma

yang berada di dalam polybag dilakukan secara manual dengan cara mencabutnya

menggunakan tangan. Penyiangan bertujuan untuk mencegah terjadinya persaingan antara

tanaman kopi dan gulma dalam penyerapan unsur hara dan air. Penyiangan dilakukan

seminggu sekali sampai akhir penelitian.


3.4.7.3. Pengendalian hama dan penyakit

Pengendalian hama dan penyakit yang menyerang tanaman dilakukan dengan

menyemprotkan insektisida dan fungisida. Penyemprotan dilakukan dengan menggunakan

hand sprayer dan dilaksanakan setiap dua minggu sekali.

3.5. Pengamatan

3.5.1. Pertambahan Tinggi Bibit (cm)

Tinggi bibit diukur mulai dari pangkal batang bibit yang telah dipasang ajir setinggi 2

cm hingga tinggi titik tumbuh tertinggi. Pengukuran tinggi bibit dilakukan pada saat awal dan

akhir penelitian. Pertambahan tinggi bibit diperoleh dengan mengurangkan data pengamatan

pada akhir penelitian dengan tinggi bibit pada awal pengamatan.

3.5.2. Pertambahan Jumlah Daun (Helai)

Pertambahan jumlah daun diperoleh dengan cara menghitung semua daun yang telah

membuka sempurna pada masing-masing bibit pada saat awal dan akhir penelitian. Kemudian

data akhir pengamatan di kurangi data awal pengamatan.

3.5.3. Luas Daun (cm2)

Pengukuran luas daun dilakukan pada akhir penelitian. Daun yang diukur adalah daun

yang terlebar dari masing-masing sampel tanaman. Luas daun dihitung dengan cara memetik

daun dan menempelkan daun pada kertas replika, kemudian ditimbang berat kertas total dan

berat kertas replika daun.

Pengukuran luas daun menggunakan metode Gravimetri yang menggunakan rumus

sebangai berikut:

Wr
L= Wtot xLK

Keterangan:

L = Luas Daun (cm2)

Wr = Berat kertas replika (g)


Wtot = Berat Kertas (g)

LK = Luas Kertas (cm2)

3.5.4. Volume Akar (ml)

Pengamatan dilakukan dengan cara membongkar bibit tanaman bersama akarnya pada

akhir penelitian. Akar dibersihkan dari sisa-sisa tanah yang menempel menggunakan air

mengalir. Setelah bersih kemudian dikering anginkan. Selanjutnya leher akar dipotong dan

dimasukkan ke dalam gelas ukur yang berisi air. Pertambahan volume air pada gelas ukur

merupakan volume akar.

3.5.5. Rasio Tajuk Akar

Rasio tajuk akar merupakan perbandingan antara berat kering tajuk dan berat kering

akar. Pengamatan dilakukan pada akhir penelitian dengan memilih bibit satu sampel dari

setiap perlakuan secara acak, lalu bibit tersebut dibongkar. Setelah itu akar dicuci bersih

dengan air yang mengalir kemudian dikering anginkan selama 2 jam. Akar (sampai batas

leher akar) dipisahkan dari organ bangian atas tajuk. Bagian akar dan tajuk dimasukkan ke

dalam amplop kertas selanjutnya dikeringkan di dalam oven dengan suhu 70 oC selama 48

jam. Pengamatan ini dilaksanakan dengan menggunakan rumus:

Rasio Tajuk Akar= Berat kering tajuk (g)


Berat kering akar (g)

3.5.6. Berat Kering Bibit (g)

Berat kering bibit diperoleh dengan menjumlahkan berat kering tajuk dan berat kering

akar setiap satuan percobaan.


DAFTAR PUSTAKA

Adams, M.R. and J. Dougan, 1982. Biological Management of Coffee Processing Wastes.
Tropical Sciene, 23, 177-196.

Ambarwati, E., Rizqiani dan N.W. Yuwono. 2007. Pengaruh Dosis dan Frekuensi
Pemberian Pupuk Organik Cair Terhadap Perumbuhan dan Hasil Buncis
(Phaseolus vulgaria L) Dataran Rendah. Ilmu Pertanian (Agricultural Science). Vol
14 No 2.

Anggoro, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Kemajuan Mutakhir. UI Press. Jakarta.

Anonim. 1980. Pedoman Hama dan Penyakit Tanaman Kelapa. Direktorat Jendral
Perkebunan Departemen Pertanian. Jakarta.

__________. 2014. Budidaya Kopi. Dikutip dari: http://www.teknik budidaya tanaman kopi
yang diterapkan oleh kelompok tani puncak lestari e-petani.htm. Diakses pada 30
September 2016.
Bressani, R. 1972, Coffee Pulp Composition, Tecnology and Utilization,
Institute of Nutrition of Central America and Panama, Amerika
Buckman dan Nyle. C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Bhatara Karya Aksara. Jakarta.

Chambers RE. 1978. Klimatologi Pertanian. Bogor: Penuntun Mata Kuliah Fakultas
Pertanian IPB. Bogor.

Darmawijaya, I. 1990. Klasifikasi Tanah, Dasar – dasar Teori Bagi Penelitian Tanah dan
Pelaksanaan Penelitian. UGM Press, Yogyakarta.

Darnoko. 2006. Kandungan Tandan Kosong Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Kelapa
Sawit. Volume 13 Nomor 2 :611-615.

Djurnani, N. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. Agromedia. Jakarta.

Farnanda, R. 2014. Syarat Tumbuh Kopi. www.pustaka-deptan.go.id. Diakses pada tanggal


30 September 2016.

Fauzi, Y. Y. E. Widyastari, I. Satyawibawa., dan R. Hartono. 2005. Kelapa Sawit. Penebar


Swadaya. Jakarta.

Hakim, N., M. Y. Nyakpa, A. M. Lubis., S. G. Nugroho., M. R. Saul., M. A, Diha., G. B.


Hong dan H. H. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung.
Lampung.

Hardjowigeno, S. 1993. Sifat-Sifat dan Potensi Tanah Gambut Sumatera Untuk


Pengembangan Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

__________, S. 2010. Ilmu Tanah, Edisi Revisi. Akademika Pressindo. Jakarta.


Hidayat, T.C., G. Simangunsong., Eka, L., dan Iman Y.H., 2007. Pemanfaatan Berbagai
Limbah Pertanian Untuk Pembenah Media Tanam Bibit Kelapa Sawit. Jurnal
Penelitian Kelapa Sawit. Vol.15 (2), PPKS. Medan.

Indriani, Y. H. 2011. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Kanisius. 1989. Budidaya Tanaman Kopi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Lingga, P dan Marsono. 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.

Lingga, P. 2003. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.

Mashur. 2001. Vermikompos Pupuk Organik Berkualitas dan Ramah Lingkungan.


Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Mataram. Mataram

Mulat, T. 2003. Membuat dan Memanfaatkan Kascing Pupuk Organik Berkualitas.


Agromedia Pustaka. Jakarta.

Mulyana, W. 1982. Segi Praktis Bercocok Tanam Kopi. CV. Aneka Semarang. Semarang.

Munandar, A. 2014. Pengawasan Benih dalam Polybag Kopi Arabika Sigarar Utang di
Kabupaten Garut. www.mengenalkopisigararutang. Com. Diakses pada tanggal 30
September 2016.

Munir, M. 1996. Geologi dan Mineralogi Tanah. Pustaka Jaya, Jakarta.

Musnawar, E.I. 2006. Pupuk Organik. Penebar Swadaya. Jakarta.

Nahampun, R.D.C. 2009. Pengaruh Pemberian Pupuk Kascing dan Pupuk Organik Cair
terhadap Pertumbuhan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) di Pre-nursery.
Universitas Sumatera Utara. Medan.

Najiati dan Danarti.1999. Kopi, Budidaya dan Pananganan Kopi Lepas Panen. Penebar
Swadaya. Jakarta.

Ningtyas, V. A. dan Lia, Y. A. 2010. Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit Sisa
Media Jamur Merang (Volvariella volvaceae) Sebangai Pupuk Organik Dengan
Penambahan Aktivator Effective Microorganism EM-4. Skripsi Fakultas Teknik
kimia. Institut Teknologi Surabaya. Surabaya.

Palungkun, R. 1999. Sukses Beternak Cacing Tanah. Penerbit Swadaya. Jakarta.

Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2002. Pembibitan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa
Sawit. Medan.
Puslittanak. 2000. Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian. Bogor. hlm 169-17.

Rachim, K. 2014. Pertumbuhan Bibit Kopi Robusta (Coffea canephora Pierre) Dengan
Pemberian Beberapa Jenis Kompos. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Riau.
Pekanbaru.
Radian. 1994. Cara Pembuatan Kascing dan Peranannya dalam Meningkatkan
Produktivitas Tanah. Topik Khusus. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Rahardjo, P. 2012. Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika dan Robusta.
Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
Ramli. 2013. Pengaruh kompos kulit buah kopi terhadap pertumbuhan dan
hasil tanaman petsai pada tanah aluvial. Jurnal Pertanian. Fakultas
Pertanian Universitas Tanjungpura: Pontianak.

Rinsema. 1993. Petunjuk dan Cara Penggunaan Pupuk. Bharata Karya Akdara. Jakarta.

Ronitua. 2012. Pemberian Kompos Ampas Tahu dan Urine Sapi pada Pertumbuhan
Bibit Kelapa Sawit di Main-nursery. Skripsi Sarjana Fakultas Pertanian Universitas
Riau. Pekanbaru.

Said, E. G. 1996. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit. Trubus.


Agriwidya. Bogor.
Santriago, H. 1996. Himpunan Istilah Lingkungan untuk Manajemen. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Sastrosayono, S. 2003. Budidaya Kelapa Sawit. Agromedia Pustaka. Tangerang.

Simanjuntak, A. 2012. Respons Pertumbuhan dan Produksi Bawang merah


(Allium ascalonicum L.). Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara, Medan.

Sinaga, E. 2011. Pengaruh Pemberian Pupuk Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit
(TKKS) dan Pupuk NPK Terhadap Pertumbuhan Kakao (Theobroma cacao L.)
di Pembibitan. USU Press. Yogyakarta.

Sinha, R. K. 2009. Earthworms Vermicompost: a Powerful Crop Nutrient Over The


Conventional Compost and Protective Soil Conditioner Againts The Destructive
Chemical Fertilizers For Food Safety and Security. Am-Euras. J. Agric. And
Environ. Sci., Vol. 5.

Sitepu P. J. 2009. Kemampuan Larva Oryctes rhinoceros Linn (Coleoptera: Scarabacidae)


Menularkan Cendawan Metarhizium anisopliae Ke Larva Sehat di Pertanaman
Kelapa Sawit. Skripsi. Departemen Ilmu Hama Penyakit Tumbuhan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatra Utara. Medan. (Tidak dipublikaskan).

Soetedjo, M. M. 1989. Hama Tanaman Keras dan Alat pemberantasannya. Bina Aksara.
Jakarta.

Statistik Perkebunan Indonesia. 2015. Statistik Perkebunan Indonesia Komodita Kopi


tahun 2013-2015. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.

Stevenson, F. T. 1994. Humus Chemistry, Genesis, Composition and Reaction. A. Willey


Interscience Pub Singapore. 496 P.
Subagyo, H., Nata Suharta, dan Agus. B. Siswanto. 2000. Tanah-Tanah Pertanian di
Indonesia. hlm. 21-66 dalam Buku Sumber daya Lahan Indonesia dan
Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Sudirja. R. 2007. Standar Mutu Pupuk Organik dan Pembenah Tanah. Modul Pelatihan
Pembuatan Kompos. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Balai Besar
Pengembangan dan Perluasan Kerja. Lembang.

Susanto A., R. Y. Purba dan C. Utomo. 2005. Penyakit-Penyakit Infeksi pada Kelapa
Sawit. Buku 1 Ppks. Medan.

Susanto A, Sudharto, dan A. Prasetyo. 2011. Informasi Organisme Pengganggu Tanaman


Kumbang Tanduk Oryctes rhinoceros Linn. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Vol H- 0003.

Sutomo S, dan Andurachman A. 1997. Pemanfaatan Soil Conditioner Dalam Upaya


Merehabilitas Lahan Terdegradasi. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan
Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat; Bogor, 4-6 Maret 1997. Bogor.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor. Hal 107-120.

Syamsulbahri. 1996. Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan Tahunan.Gajah Mada


University Press. Yogyakarta.
Thabrani, A. 2010. Pemanfaatan kompos ampas tahu untuk pertumbuhan bibit kelapa
sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Riau.
Pekanbaru. (Tidak dipublikasikan).

Thamrin. 2000. Perbaikan Sifat Fisik Tanah dengan Pemberian Beberapa Pupuk
Organik. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jatinangor. Jawa Barat.

Tillman, D. Allen. 1998. Ilmu Makan Ternak Unggas. Fakultas Peternakan UGM. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Trisilawati, O dan Gusmaini. 1999. Penggunaan Pupuk Organik Bagi Pertumbuhan Dan
Produksi Jahe. Buletin Gakuryoku. Hlm. 251-257. Sudiarto dan Gusmaini. 1996.
Pemanfaatan Bahan Organik In Situ Untuk Efisiensi Budidaya Jahe Yang
Berkelanjutan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 23 ( 2 ). 2004. Bogor.

Wididana, G. N. 1992. Peranan EM4 dalam Meningkatkan Kesuburan dan


Produktivitas Tanah. Sanggolangit Persada. Jakarta.

Winarno. 1995. Pembibitan Tanaman Kopi. Gramedia Pustaka. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai