Disusun Oleh :
Ajeng Febriyanti
1102010013
Pembimbing :
dr. Safyuni Naswati, Sp.KJ
Nn. E adalah seorang wanita lajang kulit putih berusia 32 tahun yang bekerja penuh
waktu di sebuah pabrik local. Ia kadang mengkonsumsi obat antiinflamasi nonsteroid yang
diperoleh tidak melalui resep. Ia memiliki riwayat ketergantungan alcohol dalam remisi
selama 9 tahun dan saat ini sebenarnya berada dalam kondisi kesehatan baik.
Ia mulai mengkonsumsi kafein ketika mulai kuliah dan minuman pilihannya saat
ini adalah kopi. Ia biasanya meminum 4 sampai 5 cangkir kopi setiap hari dan lebih suka
meminumnya tanpa krim, susu, gula. Ia memperkirakan bahwa 5 menit berlalu antara ia
waktu bangun tidur di pagi hari dan waktu ia meminum cangkir kopi pertamanya, teman
sekamarnya menyeduh satu teko sebelum Nn. E bangun dan Nn. E segera menuang ke
cangkir ketika turun dari tempat tidur. Ia membagi cangkirnya selama sepanjang hari, dengan
cangkir terakhirnya setelah makan siang atau bersama makan malam.
Dokter merekomendasikannya untuk mengurangi atau menghentikan konsumsi kopi
karena keluhan susah mencerna yang ringan tapi ia tidak mampu melakukannya. Teman
sekamarnya juga mengeluhkan konsumsi kopinya sesekali. Nn. E secara rutin meminum kopi
panas di mobil dan pernah menumpahkan serta membakar diri pada satu kesempatan.
Bila ia menghentikan kafein secara mendadak, Nn. E mengalami iritabilitas yang
nyata, konsentrasi memburuk, serta sakit kepala menyeluruh yang berat. Ketika diminta
menilai keparahan nyeri kepala, ia menjawab pada skala 1 sampai 10 nilainya 12. Ia juga
mengalami nyeri otot, kurang energy, letargi dan ketagihan minum secangkir kopi. Di hari
ketika ia menghentikan konsumsi kopi secara mendadak, ia meninggalkan pekerjaan 2 jam
lebih awal karena masalah konsentrasi dalam pekerjaan dan pergi tidur beberapa jam lebih
awal dari pada biasanya. Ia kemudian kembali ke pola konsumsi kopi yang biasa.
Masalah yang ditemukan
Multiaksial Diagnosis
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
1.1
Latar Belakang
Kafein merupakan suatu senyawa alkaloid yang termasuk dalam golongan
methylxanthine, mempunyai rasa pahit dan berbentuk kristal (Maughan & Griffin, 2003).
Produksi Kafein dilakukan dengan mengekstraksi tanaman tertentu dan juga diproduksi
secara sintetis. Tujuan dari produksi kafein adalah untuk memenuhi kebutuhan industri
minuman, sebagai penguat rasa atau bumbu pada industri makanan. Kandungan kafein secara
alami terdapat pada lebih dari 60 jenis tanaman terutama teh, kopi dan biji kola (Misra &
Mehta dkk, 2008). Kafein juga terdapat pada kokoa dan minuman ringan. Obat migrain dan
stimulan yang dijual bebas mengandung lebih banyak kafein dari pada kafein yang
terkandung dalam secangkir kopi (Kaplan, Sadock & Grebb, 1997).
Di Amerika Serikat, 80 % terutama penduduk dewasa mengkonsumsi kafein setiap
hari dengan jumlah rata-rata 200 mg kafein per hari yaitu dalam bentuk kopi atau minuman
bersoda. Dua puluh sampai tiga puluh persen penduduk dewasa mengkonsumsi lebih dari 500
mg kafein per sehari. Dalam setiap satu cangkir kopi mengandung 100 sampai 150 mg kafein,
sedangkan teh mengandung sepertiga dari jumlah tersebut (Kaplan, Sadock & Grebb, 1997).
Negara Indonesia, merupakan negara yang menempati urutan kedua pengkonsumsi
kopi terbesar di Asia setelah Jepang, yaitu dengan jumlah konsumsi sebanyak 3,6 juta
bungkus pada tahun 2012, hasil tersebut didapatkan dari International Coffee Organization
(ICO). Masyarakat dunia mengenal kafein terutama kopi untuk menahan rasa kantuk,
meningkatkan mood dan kognisi, serta menghasilkan efek stimulasi (Haskell, Kennedy dkk,
2005 & Lieberman, Tharion dkk, 2002).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Sumber
2.1
Kandungan
kafein (mg)
Kafein
90 -140
kafein
adalah
1,3,5trimethylxanthine.
Kopi instan
66 -100
Kafein
mempunyai
30 -100
C8H1
5 -50
hati
N4O2.
Proses
metabolisme
kafein terjadi di
menjadi
2-4
yaitu
metabolit
tiga
utama
paraxanthine (84
Chocolate bar atau cokelat masak
25-35
%)
(4
molekul
Cocoa
%),
rumus
theobromine (12
dan theophylline
25-50
%)
(Misra
Mehta
&
dkk,
2008).
2.2
Sumber Kafein
Makanan,
minuman
obat-
dan
obatan
yang
mengandung
Cafergot, Migralam
100
kafein
adalah
sebagai berikut:
Anoquan, Aspir-code, BAC, Darvon, Fiorinal
32-50
60
~30
5
Advil, aspirin, Empirin, Midol 200, Nuprin, Pamprin
2.3
Neurofarmakologi
Kafein dalam tubuh manusia kafein memiliki waktu paruh 3-10 jam, mencapai
konsentrasi puncak dibutuhkan waktu 30-60 menit. Kafein dapat melewati barier darah otak
dengan cepat. Mekanisme kerja utama kafein adalah sebagai antagonis reseptor adenosin.
Aktivasi reseptor adenosin mengaktifkan suatu protein G inhibisi (Gi), sehingga menginhibisi
pembentukan
Penyalahgunaan Kafein
Kafein dapat bekerja sebagai penguat (reinforcer) yang positif, terutama pada dosis
rendah. Pada dosis sekitar 100 mg, kafein dapat menyebabkan euforia ringan pada manusia
dan perilaku kecanduan zat tersebut secara berulang. Namun, kafein dalam dosis 300 mg
dapat meningkatkan kecemasan dan disforia ringan pada manusia. Toleransi terhadap
gangguan tidur yang disebabkan oleh kafein terlihat setelah mengkonsumsi 400 mg kafein 3
kali sehari selama 7 hari (Kaplan, Sadock & Grebb, 1997).
2.5
dilakukan untuk menegakkan diagnosis gangguan berhubungan dengan kafein. Riwayat harus
mencakup apakah pasien telah mengalami adanya gejala putus kafein selama periode
konsumsi kafein dihentikan atau sangat dikurangi. Terdapat beberapa diagnosis banding yang
juga harus dipikirkan, yaitu gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan panik dengan atau
tanpa agorafobia, gangguan defisit atensi/ hiperaktivitas, dan gangguan tidur (Kaplan, Sadock
& Grebb, 1997).
2.6
Intoksikasi kafein
6
Insidensi intoksikasi kafein per tahun diperkirakan melebihi 10 %. Gejala yang sering
berhubungan dengan intoksikasi kafein adalah kecemasan, agitasi,
dan keluhan
Tabel 2.1
2.7
Putus Kafein
Timbulnya gejala putus merupakan suatu pencerminan toleransi dan ketergantungan
fisiologis yang berkembang pada pemakaian kafein secara terus menerus. Beberapa
penelitian membuktikan bahwa gejala putus kafein terjadi pada 50-70% pemakai kafein yang
diteliiti. Gejala putus kafein yang paling sering ditemukan adalah nyeri kepala dan kelelahan.
7
Gejala lain yang timbul dapat berupa kecemasan, iritabilitas, gejala depresif ringan, gangguan
kinerja psikomotor, mual, muntah, kecanduan kafein, serta nyeri dan kekakuan otot. Jumlah
dan beratnya gejala putus kafein berhubungan dengan jumlah kafein yang digunakan dan
waktu penghentian kafein. Gejala putus kafein mempunyai onset 12-48 jam setelah konsumsi
terakhir dan gejala mencapai puncak pada 24-48 jam, kemudian menghilang dalam 1 minggu
(Kaplan, Sadock & Grebb, 1997).
Putus kafein seringkali bersifat iatrogenik. Dokter sering meminta pasien untuk
menghentikan asupan kafein sebelum prosedur medis tertentu seperti endoskopi,
kolonoskopi, dan kateterisasi jantung. Selain itu, dokter juga umumnya menganjurkan pasien
dengan gejala kecemasan, aritmia jantung, esofagitis, dan insomnia, untuk menghentikan
konsumsi kafein. Seseorang yang sudah sering mengkonsumsi kafein, harus menurunkan
secara bertahap penggunaan produk yang mengandung kafein selama periode 7-14 hari,
bukan menghentikannya secara mendadak. Dengan demikian, gejala putus kafein dapat
dihindari (Kaplan, Sadock & Grebb, 1997).
Tabel 2.3
2.8
Putus kafein
adalah suatu diagnosa DSM-IV. Kecemasan yang berhubungan dengan penggunaan kafein
dapat tampak mirip dengan gejala kecemasan umum. Pasien dengan gangguan mungkin
terlihat lebih kasar, senang berbicara secara berlebihan, iritabel, mengeluh tidak dapat tidur
8
dengan baik, dan mempunyai energi yang berlebih. Meskipun kafein dapat menyebabkan atau
mengeksaserbasi serangan panik pada seseorang dengan gangguan panik, suatu hubungan
sebab akibat antara kafein dan gangguan panik masih belum dapat dibuktikan (Kaplan,
Sadock & Grebb, 1997).
Kafein merupakan stimulan yang dapat meningkatkan denyut jantung, sehingga
mengakibatkan kegugupan dan agitasi, meningkatkan tingkat kecemasan. Bagi seseorang
yang memiliki gangguan cemas, kafein dapat mencetuskan serangan panik, dan bagi
seseorang yang tidak biasanya cemas, kafein dapat menyebabkan kecemasan. Kafein dapat
mencetuskan maupun memperberat kecemasan atau gangguan panik (Nawrot, Jordan dkk,
2001).
2.9
berikatan dangan reseptor adenosin di otak. Adenosin merupakan senyawa nukleotida yang
berfungsi menurunkan aktivitas sel saraf saat terikat pada sel tersebut. Sama seperti adenosin,
molekul kafein juga terikat pada reseptor yang sama, namun memiliki efek yang berbeda.
Kafein tidak menurunkan aktivitas sel saraf, melainkan menghambat fungsi adenosin.
Dengan demikian, aktivitas otak meningkat dan mengakibatkan hormon epinefrin dilepaskan.
Hormon tersebut akan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah,
meningkatkan suplai darah ke otot-otot, dan mengurangi suplai darah ke kulit dan organ
dalam. Selain itu, kafein juga mempunyai efek meningkatkan neurotransmitter dopamin di
otak, yang mempunyai peran dalam kontrol motorik, motivasi, arousal, reward dan kognisi.
Hal ini dapat menjelaskan gangguan tidur seperti insomnia, yang dapat terjadi sebagai akibat
dari penggunaan kafein (Chawla, 2011).
Kafein diserap dan dieliminasi secara cepat oleh tubuh. Proses metabolisme kafein
berlangsung terutama di hati. Dibutuhkan waktu kira-kira 5-7 jam untuk mengeliminasi
setengah jumlah kafein dari tubuh. Setelah 10 jam, kira-kira 75% kafein sudah tereliminasi.
Pada umumnya, orang yang mengkonsumsi 1-2 cangkir kopi di pagi hari tidak akan
mengalami gangguan tidur pada malam harinya. Namun hal ini juga dipengaruhi oleh
sensitivitas setiap orang yang berbeda-beda, bergantung pada metabolisme tubuh dan jumlah
kafein yang dikonsumsi (Chawla, 2011). Penelitian sebelumnya oleh Drapeau et al (2006)
yang meneliti efek penggunaan kafein 200 mg sebelum tidur menunjukkan hasil peningkatan
dari onset tidur, penurunan jumlah jam tidur, dan perburukan kualitas tidur (Drapeau, Bert
dkk, 2006).
9
2.10
dan mengakibatkan eksaserbasi gejala psikotik. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap
78 pasien dengan skizofrenia menunjukkan bahwa konsumsi kafein berhubungan dengan
gejala positif, namun tidak memberikan efek pada gejala negative (Goff, Henderson &
Amico, 1992).
2.11
diri lebih rendah untuk konsumsi kopi moderat (2-3 cangkir / hari sampai dengan 6-7
cangkir / hari), tetapi meningkat pada konsumsi risiko bunuh dirinya pada (8-9 dan 10
cangkir / hari). Risiko bunuh diri yang meningkat di antara peminum kopi berat yang
signifikan dalam analisis disesuaikan untuk merokok dan faktor risiko potensial lainnya
untuk bunuh diri.
Kafein memiliki efek yang kompleks dalam sistem saraf pusat, terutama dimediasi
oleh antagonisme dari A2a adenosin dan reseptor A1, termasuk omset meningkat dari
beberapa monoamine, seperti serotonin, dopamin, dan noradrenalin (Ferre 2008;. Ferre et al
2008; Fredholm et al. 1999). Oleh karena itu, defisiensi pusat monoamina dapat ditingkatkan
dengan kafein, yang meningkatkan dopaminergik neurotransmisi (Ferre 2008; Ferre et al
2008;.. Fredholm et al 1999). Kekurangan monoamina pusat adalah salah satu dari depresi
(Belmaker dan Agam 2008), dan beberapa obat antidepresan dirancang untuk meningkatkan
transmisi monoaminergik. Efek farmakologis ini menunjukkan bahwa kafein juga bisa
bertindak sebagai antidepresan ringan, hipotesis yang bisa menjelaskan risiko depresi yang
lebih rendah di antara peminum kopi dalam studi epidemiologi .
Metabolisme kafein, juga penting dalam metabolisme beberapa obat, termasuk
antipsikotik, benzodiazepin, dan antidepresan trisiklik (Carrillo dan Benitez 2000), perubahan
konsumsi kafein dapat menyebabkan kegagalan pengobatan atau peningkatan risiko toksisitas
(Patton dan Beer 2001). Interaksi telah dilaporkan juga dengan lithium, - kafein dapat
meningkatkan cukai lithium ginjal dan mengurangi konsentrasi darah, sehingga mengarah ke
kegagalan pengobatan (Patton dan Beer 2001). Interaksi ini harus dipertimbangkan ketika
10
untuk terus minum. Kedua, alkohol menurunkan akurasi respon di semua peserta kecuali
mereka yang baik diharapkan dan menerima kafein, yang menunjukkan interaksi antara efek
farmakologis dari obat dan harapan hidup. Ketiga, kafein mengurangi efek alkohol pada
waktu reaksi penghambatan alkohol (respon cepat yang salah).
Kafein akan melemahkan efek alkohol pada perilaku pasien, tingkat sedasi, perilaku
negatif, mengurangi impuls, kemampuan mengemudi dan intoksikasi, dan bahwa hal itu
akan meningkatkan stimulasi, afek positif dan keinginan untuk terus minum.
2.13
Tata Laksana
Pengobatan utama untuk gangguan berhubungan dengan kafein adalah menghentikan
atau mengurangi konsumsi produk yang mengandung kafein dari diet atau kebiasaan
seseorang. Pengetahuan pasien tentang berbagai produk yang mengandung kafein adalah
penting untuk keberhasilan pengobatan. Pasien yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi kopi
atau minuman berkafein dapat dianjurkan untuk menggantinya dengan air atau kopi tanpa
kafein. Selain mengganti kebiasaan, analgesik seperti aspirin juga dapat diberikan untuk
mengatasi nyeri kepala dan nyeri otot yang mungkin menyertai penghentian kafein. Jika
diperlukan, dapat diberikan pula benzodiazepine dosis kecil untuk menghilangkan gejala
putus kafein (Kaplan, Sadock & Grebb, 1997).
BAB III
KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan
Kafein ialah senyawa alkaloid yang tergolong dalam kelompok methylxanthine,
berbentuk kristal dan mempunyai rasa yang pahit. Kafein terkandung secara alami pada lebih
dari 60 jenis tanaman terutama teh (1- 4,8 %), kopi (1-1,5 %), dan biji kola (2,7-3,6 %).
11
Kafein berlaku sebagai perangsang sistem saraf pusat dan merupakan zat psikoaktif yang
paling umum dikonsumsi oleh masyarakat di dunia, namun kafein juga seringkali
disalahgunakan.
Pada dosis tertentu, kafein dapat menyebabkan euforia ringan, perilaku kecanduan zat
tersebut secara berulang, kecemasan, meningkatkan kecemasan, disforia, serta gangguan tidur
seperti insomnia. Konsumsi kafein dalam dosis yang berlebih dapat menimbulkan intoksikasi
kafein, seperti kecemasan, agitasi dan keluhan psikofisiologis, seperti kedutan otot, wajah
kemerahan, mual, diuresis, gangguan gastrointestinal, dan keringat berlebihan. Selain
kecemasan dan gangguan tidur, kafein juga terbukti menimbulkan eksaserbasi gejala psikotik
pada pasien dengan skizofrenia.
Pengobatan utama untuk gangguan berhubungan dengan kafein adalah menghentikan
atau mengurangi konsumsi produk yang mengandung kafein dari diet atau kebiasaan
seseorang. Selain itu, analgesik seperti aspirin juga dapat diberikan untuk mengatasi nyeri
kepala dan nyeri otot yang mungkin menyertai penghentian kafein.
DAFTAR PUSTAKA
Maughan RJ, Griffin J (2003). Caffeine ingestion and fluid balance: a review. J
Human Nutrition Dietetics.
Misra HD, Mehta BK, Mehta M, Soni DC, Jain (2008). Study of Extraction and
HPTLC UV Method for Estimation of Caffeine in Marketed Tea (Camellia sinensis)
Granules. International Journal of Green Pharmacy.
12
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA (1997). Sinopsis Psikiatri Jilid 1. Edisi ke-7.
Terjemahan Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara.
Haskell CF, Kennedy DO, Wesnes KA, Scholey AB (2005). Cognitive and mood
improvements of caffeine in habitual consumers and habitual non-consumers of caffeine.
Psychopharmacology (Berl).
Lieberman HR, Tharion WJ, Shukitt-Hale B, Speckman KL, Tulley R (2002).
Effects of caffeine, sleep loss, and stress on cognitive performance and mood during U.S.
Navy SEAL training. Sea AirLand. Psychopharmacology (Berl).
Misra HD, Mehta BK, Mehta M, Soni DC, Jain (2008). Study of Extraction and
HPTLC UV Method for Estimation of Caffeine in Marketed Tea (Camellia sinensis)
Granules. International Journal of Green Pharmacy.
Nawrot P , Jordan J, Eastwood J, Rotstein A, Hugenholtz, Feeley (2001). Effects of
Caffeine on Human Health. Food Additives and Contaminats.
Chawla J( 2011). Neurologic Effects of Caffeine. 2011.
Drapeau, Bert, Robillard, Selmaoui, Filipi N, Carrier (2006). Challenging sleep in
aging: the effects of 200 mg of caffeine during the evening in young and middle-aged
moderate caffeine consumers. J Sleep Res.
Goff DC, Henderson DC, Amico E (1992). Cigarette smoking in schizophrenia:
relationship to psychopathology and medication side-effects. American Journal of Psychiatry.
13