ABSTRAK
Manajemen CBD telah melalui berbagai tahap pengembangan dan inovasi, dan
eksplorasi CBD laparoskopi (LCBDE) sekarang dianggap sebagai prosedur yang
lebih baik daripada ekstraksi batu melalui endoskopi dengan morbiditas dan
mortalitas yang sebanding dan masa tinggal di rumah sakit yang lebih singkat pada
pasien yang sehat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan data dari kohort
pasien yang menjalani eksplorasi saluran empedu secara choledochoscopic dan
cholangiography dari ductal clearance/koleksistektomi laparoskopi pada kasus
koledokolitiasis, sehingga hasilnya dibandingkan dengan kohort riwayat pasien
MRCP di institusi yang sama. Penelitian ini menggunakan studi kohort retrospektif
dengan menggunakan data pasien yang menjalani laparoskopi CBD eksplorasi tahun
2018-2020 dan mengikuti informed consent tertulis dengan pasien untuk menjalani
prosedur. Pasien yang termasuk dalam penelitian adalah mereka yang dibawa ke OPD
atau unit gawat darurat.
ABSTRACT
CBD management has gone through various stages of development and innovation,
and the exploration of laparoscopic CBD (LCBDE) is now a better procedure of
endoscopic stone extraction with comparable morbidity and mortality and shorter
hospital stay in healthy patients. The aim of this study was to describe data from a
cohort of patients who underwent choledochoscopic and cholangiography bile duct
exploration from laparoscopic ductal clearance or cholecystectomy in
choledocholithiasis cases, so that the results were compared with a historical cohort
of MRCP patients at the same residence. This study used a retrospective cohort study
using data from patients who underwent exploratory CBD laparoscopy in 2018-2020
and followed written informed consent with patients to undergo the procedure.
Patients included in the study were those admitted to the OPD or emergency
department.
PENDAHULUAN
Manajemen CBD telah melalui berbagai tahap pengembangan dan inovasi,
dan eksplorasi CBD laparoskopi (LCBDE) sekarang dianggap sebagai prosedur yang
lebih baik daripada ekstraksi batu melalui endoskopi dengan morbiditas dan
mortalitas yang sebanding dan masa tinggal di rumah sakit yang lebih singkat pada
pasien yang sehat. Secara tradisional, kolangiografi intraoperatif digunakan secara
rutin atau selektif untuk mendeteksi CBDS yang tidak terduga selama laparoskopi
kolesistektomi. Visualisasi langsung CBD dengan koledokoskopi muncul sebagai alat
dalam manajemen bedah batu CBD dan untuk memastikan pembersihan CBD setelah
LCBDE. Pendekatan transcholedochal LCBDE lebih disukai pada pasien yang
memiliki CBD melebar dan batu impaksi besar, di mana pembersihan lengkap batu
dari duktus tetap bermasalah.1
Perdebatan masih ada mengenai pengelolaan koledocholitiasis. Penyakit
yang berhubungan dengan batu empedu mewakili sebagian besar operasi elektif dan
darurat di sebagian besar unit bedah umum. Oleh karena itu, perawatan yang efisien
dan efektif untuk kondisi ini akan memiliki pengaruh yang signifikan pada beban
kerja bedah umum serta ekonomi perawatan kesehatan. Saat ini ERCP dan MRCP
adalah andalan pengobatan koledocholitiasis. Laporan yang dipublikasikan telah
menunjukkan bahwa ada subset pasien yang datang kembali dengan koledocholitiasis
primer dengan angka setinggi 14%, situasi di mana batu saluran empedu terbentuk
terutama di saluran empedu. Morbiditas dari koledocholitiasis primer berulang dapat
menjadi signifikan dengan serangan kolangitis berulang, jaringan parut dan fibrosis
jaringan di sekitar saluran empedu dan kebutuhan akhirnya untuk prosedur bypass
bilier. Makalah ini menguraikan data dari kohort pasien yang menjalani eksplorasi
saluran empedu choledochoscopic dan cholangiography dari laparokopi
kolesistektomi atau ductal clearance pada kasus koledokolitiasis, sehingga hasilnya
dibandingkan dengan kohort riwayat pasien MRCP di institusi yang sama.1,2
TINJAUAN PUSTAKA
Insiden koledokolitiasis pada pasien yang menjalani kolesistektomi
bervariasi sesuai usia, mulai dari 6% pada pasien yang berusia kurang dari 80 tahun
hingga 33% pada pasien yang berusia lebih dari 80 tahun. Diperkirakan 5% hingga
12% pasien dengan koledocholitiasis mungkin benar-benar asimtomatik, dengan tes
fungsi hati normal. Kebanyakan batu CBD berasal dari kantong empedu, dan hanya
sebagian kecil pasien yang mengembangkan batu CBD secara de novo.2,3
Evaluasi dan pengobatan choledocholithiasis telah berkembang selama 100
tahun. Dengan munculnya teknik yang lebih baru dan tidak terlalu invasif, ahli bedah
akan menemukan berbagai pilihan yang dapat mengarah pada keberhasilan
pengobatan pasien dengan batu CBD. Diagnosis koledocholitiasis tidak dapat dibuat
berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium saja. Selain
itu, sering sulit membedakan gejala batu saluran empedu dan batu kandung empedu.
Bertambahnya usia, riwayat demam, kolangitis, dan pankreatitis merupakan faktor
risiko batu saluran empedu, sedangkan peningkatan serum bilirubin, aspartat
aminotransferase, atau alkali fosfatase adalah prediktor positif independen. USG
transkutan telah menjadi metode tradisional untuk mengevaluasi pasien dengan
penyakit bilier Kemampuan ultrasonografi transkutan untuk menegakkan diagnosis
koledocholitiasis hanya sekitar 50%, bervariasi dari 30 hingga 90%.2,3
DAFTAR PUSTAKA
1. Morris S, Gurusamy KS, Sheringham J. Costeffectiveness Analysis
Endoscopic ultrasound versus Magnetic resonance cholangiopancreatography
in patients with suspected common bile duct stone. PLoS ONE.
2015;10:e0121699.
2. Nzenza, T. C. et al. Recurrent common bile duct stones as a late complication
of endoscopic sphincterotomy. BMC Gastroenterol. 2018:39;18-27.
3. Croagh, D. G. et al. Management of CBD stones in patients having
laparoscopic cholecystectomy in a private setting in Australia. ANZ J. Surg.
2015:85;53–57