Anda di halaman 1dari 3

Terapi tahap tunggal kolelitiasis dan koledokolitiasis: laporan kasus pertama dengan kombinasi

teknik endoskopi dan laparoskopi

Evren Dilektaşlı1,2, Nizamettin Demirci2, Mehmet Fatih Erol2, Mehmet Emrah Bayam2, Deniz
Tihan2, Hacı Murat Çaycı2, Uğur Duman2

1 Acute Care Surgery and Surgical Critical Care, Department of Surgery, Southern California
University, California, USA

2 Department of General Surgery, Sevket Yilmaz Training and Research Hospital, Bursa, Turkey

Abstrak

Masih banyak terdapat kontroversi dalam terapi kolesisto-koledokolitiasis. Ketika terjadi kolelitiasis
yang disertai batu koledokus, disarankan dilakukan pembersihan duktus koledokus dan
kolesistektomi oleh pedoman terbaru. Namun urutan antar prosedur dan apakah terdapat jarak atau
tidak antara kedua prosedur tersebut masih diperdebatkan. Kami mengumpulkan data dari 10
pasien yang kami lakukan Same Session Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (SSEC)
antara tahun 2012-2013. Kami mencoba mengevaluasi kemungkinan dikerjakan kombinasi dua
prosedur ini, dalam anestesi umum yang sama. Dengan menganalisis pengalaman 10 kasus pertama
kami, sejauh ini kami menyimpulkan bahwa SSEC dapat dikerjakan dan aman dalam tatalaksana
kolesisto-koledokolitiasis, tanpa meningkatkan angka komplikasi, waktu pembedahan dan lama
rawat inap.

Kata kunci: ERCP, Laparoskopi, kolesisteksomi, sama, sesi.

PENDAHULUAN

Meskipun pengetahuan dan keterampilan bedah meningkat, kolelitiasis dan batu koledokus yang
menyertainya masih menjadi tantangan bagi ahli bedah. Pesawat radiologi dengan gambar
beresolusi tinggi telah meningkatkan diagnosis perioperatif penyakit-penyakit penyerta ini. Terdapat
strategi-strategi berbeda tergantung pengalaman klinis dan sumber daya rumah sakit. Yang paling
populer dalam praktik klinis kami sehari-hari yakni kolesistektomi terbuka (open cholesistectomy)
dengan eksplorasi common bile duct (CBD), endoscopic retrograde cholangiopancreatography
(ERCP) preoperatif dengan laparoscopic cholesistectomy dini atau lambat, laparoscopic
cholecystectomy dengan laparoscopic CBDexploration (LCBDE) baik dengan menggunakan duktus
sistikus atau koledokotomi operatif, teknik “laparoscopic rendezvous” terdiri dari LC sesi yang sama
(same session LC) dengan ERCP intraoperatif menggunakan sebuah guide wire dan ERCP konsekutif
serta kolesistektomi dalam pengaruh anestesi yang sama.

MATERIAL DAN METODE

Dari pasien-pasien yang dirawat di Sevket Yilmaz Training and Research Hospital baik dengan
pankreatitis bilier akut yang pernah terdiagnosis atau baru didiagnosa dengan kolelitiasis atau yang
disertai dengan batu kandung empdu dan batu CBD antara tahun 2012-2013, dipilih 10 pasien untuk
dioperasi dengan same session ERCP dan kolesistektomi. Persetujuan diperoleh dari pasien dan data
dikumpulkan secara retrospektif dan dianalisis.
HASIL

Dari sepuluh pasien yakni delapan pasien wanita dan dua pasien pria, median usia 58,5 tahun (IQR
54.25-62.75). setengah dari seluruh pasien memiliki satu atau lebih penyakit komorbid. Enam pasien
yang masuk ke IGD dengan keluhan berbeda dirujuk ke departemen bedah umum. Setelah asesmen
awal pasien dengan hasil temuan menggunakan USG dan pemeriksaan biokimia, 5 pasien
didiagnosis dengan pankreatitis bilier akut dan satu pasien terdiagnosis dengan kolesisto-
koledokolitiasis. Semua pasien dirawat inap setelah terdiagnosis. Asesmen terhadap pankreas
dilakukan dengan menggunakan CT scan dan visualisasi radiologis duktus koledokus dilakukan
dengan menggunakan magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP). Empat pasien tersisa
dimasukan ke departemen bedah umum dengan ikterus dan gejala terkait lainnya. Setelah diagnosa
kolesisto-koledokolitiasis, pasien dirawat inap. Dari keempat pasien ini, MRCP merupakan
pemeriksaan radiologis yang digunakan untuk memverifikasi adanya koledokolitiasis.

Pasien diinformasikan terkait prosedur secara rinci dan diperoleh informed consent. Dengan puasa
preop, dilakukan induksi anestesia dan intubasi pada hari operasi. Pasien diposisikan tengkurap dan
awalnya dilakukan endoscopic retrograde cholangiopancreatography-endoscopic sphincterotomy
(ERCP-ES). ES dilakukan pada semua pasien dan kalkulus koledokus diangkat selama prosedur ini
pada enam pasien. Setelah dilakukan ERCP-ES, pasien diimobilisasi dalam posisi telentang dan
dilakukan laparoskopik 4 port konvensional. Kolesistektomi dapat dilakukan secara laparoskopik
pada semua pasien tanpa konversi apapun.

Median waktu operasi adalah 75 menit (IQR 59.5-83.5). semua prosedur ERCP dilakukan oleh ahli
bedah yang sama dalam tim yang berpengalaman melakukan prosedur ERCP yang telah melakukan
lebih dari 300 ERCP setiap tahunnya. Kolesistektomi laparoskopik (laparoscopic cholecystectomy/LC)
dilakukan oleh dua ahli bedah dalam tim, keduanya berpengalaman dalam bedah laparoskopik
sistem hepatobilier. Median lamanya rawat inap adalah 2 hari (IQR 2-3) dan hanya satu pasien yang
mengalami komplikasi minor yakni pankreatitis ringan psot ERCP, pasien tersebut juga sembuh
dengan pengobatan yang sesuai. Rata-rata waktu follow up adalah 176,5 hari (IQR 133.5-232.75) dan
dalam periode waktu ini tidak ada pasien yang dirawat inap oleh karena komplikasi dan prosedur
yang dikerjakan. Hasil dipaparkan dalam tabel 1

DISKUSI

Bagi sebagian besar ahli bedah, SSEC tampaknya merupakan suatu prosedur logis yang memiliki
beberapa keuntungan bila dibandingkan dengan prosedur lainnya. Sehubungan dengan prosedur
dua langkah ini, ketika ERCP merupakan langkah pertama setelah ERCP, jika pasien memiliki batu
baru yang jatuh dari kandung empedu ke dalam duktus koledokus, ES mencegah pasien mengalami
komplikasi baru. Namun demikian, tidak begitu jarang bahkan setelah ERCP-ES dalam waktu tunggu
untuk kolesistektomi, dapat terjadi episode baru jatuhnya batu kedalam CBD dengan komplikasi
terkait lainnya seperti pankreatitis rekuren atau kolangitis. Meskipun ada laporan-laporan dalam
literatur dari 1/3 pasien mengalami rekurensi dalam interval waktu empat sampai enam minggu,
yang mungkin dapat bertambah seiring waktu, setelah ERCP, periode tunggu untuk dilakukan
kolesistektomi bervariasi dari dua sampai 3 hari sampai 4-6 minggu di institusi-institusi berbeda.

Bahkan terdapat beberapa penelitian pada orang tua dengan penyakit komorbid kritis yang hanya
dilakukan ERCP, meninggalkan gall bladder in-situ. Mengenai komplikasi terkait anestesi dalam
prosedur satu tahap, SSEC tampaknya lebih baik untuk prosedur dua tahap. Telah ditunjukan bahwa
insidens komplikasi terkait anestesia ringan dengan sedasi menggunakan propofol atau
benzodiasepin masing-masing sebesar 2,3% dan 2,4 %

Keuntungan lain melakuakn SSEC selama laparoscopic cholecystectomy yakni bahwa tim dapat
memastikan secara simultan ketika terdapat kecurigaan terjadi komplikasi iatrogenik terhadap ERCP.
Risiko terjadi perforasi duodenum bervariasi antara 0,37%-0,58% dalam penelitian-penelitan yang
berbeda. Pada SSEC, perforasi dapat didiagnosis dengan atau tanpa metilen blue atau air-fluid test.
Diagnosa dini perforasi iatrogenik dan kesempatan untuk menanganinya dalam prosedur yang sama
dapat menjadi suatu kesempatan yang berharga dan life saving

Terdapat juga beberapa kontroversi terkati SSEC. Dari sudut pandang pembedahan, dapat timbul
kecurigaan (orang dapat curiga?) dapat timbul kesulitan?selama dilakukan proses pembedahan.
Oleh karena adanya gas intraduodenal selama ERCP, diyakini bahwa visualisasi batas-batas anatomis
menjadi sulit. Namun dalam pengalaman klinis kami, ketika kami mengalami masalah visualisasi
dilakukan aspirasi nasogastrik oleh tim anestesia sehingga visualisasi batas klinis kembali dengan
sempurna. Juga perlu diperhatikan bahwa kami menghindari memberikan terlalu banyak gas ketika
melakukan ERCP. ERCP untuk batu CBD merupakan suatu alternatif terhadap ERCP dua tahap dan
laparoscopic cholecystectomy dan untuk one stage laparoscopic bile duct exploration. SSEC
merupakan suatu strategi yang aman dan efektif ketika dihadapkan dengan kolesistokoledokolitiasis.
Kami yakin bahwa prosedur ini memiliki banyak manfaat penting termasuk menghindari anestesi
atau sedasi kedua, tidak menambah lamanya operasi dan lamanya rawat inap tanpa meningkatkan
angka konversi untuk prosedur terbuka, namun, kamu juga yakin bahwa dibutuhkan banyak
penelitian terkait topik ini sebelum dipertimbangkan untuk digunakan dalam praktik
pembedahansecara rutin.

Anda mungkin juga menyukai