Anda di halaman 1dari 5

a.

Fungsi Peradilan
Pengadilan Negara Tertinggi; Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi
yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan
kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang
diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
Disamping tugasnya sebgaia Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang
memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir.
- Sengketa tentang kewenangan mengadili. Permohonan peninjauan kembali
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28,
29, 30, 33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
- Semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya
oleh kapal.
- Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang
menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah undang-undang
tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan
dengan peraturan dari tingkat yang lebih tingi (Pasal 31 Undang-undang
Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
b. Fungsi Mengatur
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan
disemua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan
pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan
berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa
mengurangin kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal
4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun
1970).
Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan :
- Terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan
Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima,
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan.
- Setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-
hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan,
teguran, dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim
(Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
- Terhadap Penasehat hukum dan Nomortaris sepanjang menyangkut peradilan
(Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
c. Fungsi Mengatur
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup
diatur dalam undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk
mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal
79 undang-undang nomor 14 Tahun 1985).
Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilaman dianggap perlu
untuk mencukupi hukum acara yang diatur Undang-undang.
d. Fungsi Nasehat
Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan
dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara Lain (pasal 37 Undang-
undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan
nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau
penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun
1985). Selanjutnya, perubahan pertama Undang-undang Dasar Negara RI
Tahun1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk
memberikan pertimbang kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga
rehabilitasi. Namun demikian, dalam meberikan pertimbangan hukum mengenai
rehabilitasi sampai saat ini berlulm ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur pelaksanaannya.
Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk
kepada pengdilan disemua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan
ketentua Pasal 25 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Pasal 38 Undang-undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
e. Fungsi Administratif
Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 secara organisatoris, administratif dan finansial
sampai saat ini masih berada dibawah Departemen yang besangkutan, walaupun
menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan
dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan
organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang Nomor 35
Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).

C. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Agung Dalam Pengujian Peraturan


Perundang-undangan.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, Mahkamah Agung RI merupakan
lembaga yang oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diberikan
kewenangan langsung untuk melaksanakan kehakiman. Sejak dikeluarkannya
ketetapan MPR Nomor/III/MPR/1973 (Pasal 11), Ketetapan MPR
Nomor/III/MPR/1979 (Pasal 11), Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (Pasal 26),
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 (Pasal 31) sampai dengan perubahan ketiga
UUD 1945 dan perubahan berbagai undang-undang di bidang kekuasaan kehakiman
yang seluruhnya menetapkan bahwa Mahkamah Agung memiliki kedudukan dan
kewenangan untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan yang
derajatnya di bawah undang-undang.
Pasal 26 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 menjelaskan :
1. Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan
perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2. Putusan tentang pernyatan tidak sah peraturan perundang-undangan diambil
berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pasal 11 Tap MPR Nomor
III/MPR/1978 menyatakan :
Mahkamah Agung adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
dan pengaruh-pengaruh lainnya.
Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam
bidang hukum, baik diminta ataupun tidak, kepada lembaga-lembaga tinggi
negara.
Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden/Kepala Negara
untuk pemberian/penolakan grasi.
Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya
terhadap perundang-undangan dibawah undang-undang.
Pasal 31 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung :
Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya
terhadap perundang-undangan dibawah undang-undang.
Mahkamah Agung menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan
dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan
tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.
Pasal 24A Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 :
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Pasal 11 Ayat (2) huruf b dan Ayat (3) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman :
Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-
undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
Pernyataan tidak berlaku peraturan perundang-undangan sebagai hasil
pengujian sebagaimana dimaksud ayah (2) huruf b, dapat diambil baik dalam
pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada
Mahkamah Agung.
Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) dan pasal 31A ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan
(7) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung :
Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-
undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan
yang berlaku.
Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud ayah (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan tingkat
kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung.
Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan sebagaimana dimaksdu pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara
Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak keputusan diucapkan.
Pasal 31A UU No. 5 Tahun 2004 :
Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh permohonan atau
kuasanya keapda Mahkamah Agung, dan dibuat secara tertilis dalam Bahasa
Indonesia.
3. Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat :
a. Nama dan alamt pemohon.
b. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan, dan wajib menguraikan
dengan jelas bahwa :
Materi muata ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan
dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dan/atau
Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang
berlaku.
c. Hal-hal yang diminta untuk diputuskan.
4. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak
memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima.
5. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan
menyatakan permohonan tidak dikabulkan.
6. Dalam hal permohonan tidak dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (40, amar
putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari
perturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
7. Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan
perunang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam
pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
8. Ketentuan lebih lanjut megenai pengujian peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang diatur oleh Mahkamah Agung.
Ketentuan-ketentuan tersebut diatas menunjukkan tingkat konsistensi untuk menempatkan
Mahkamah Agung sebagai pelaksana dengan memberikan kewenangan untuk melakukan
pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Dilihat dari segi objek
ayng diuji, memang terdapat pembatasan, dan adanya pembatasan terhadap objek yang akan
diuji oleh Mahkamah Agung, secara langsung membatasi langkah Mahkamah Agung untuk
mengontrol secara normatif setiap produk hukum. Politik hukum yang demikian, mengarah
pada bentuk politik hukum yang non-demokrats (totaliter). Hal ini juga dapat menimbulkan
anggapan adanya keraguan terhadap kedudukan Mahkamah Agung sebagai pelaksana penguji
peraturan perundang-undangan. Keraguan Mahkamah Agung dapat melaksanakan
kewenangannya tersebut dikarenakan, pertama, pelaksanaannya melalui prosedur kasasi, dan
kedua, penggugat atau pemohonnya yang terbuka kepada perseorangan atau badan hukum
privat.
Adanya ketentuan bahwa pengujian peraturan perudang-undangan dibawah undang-
undang oleh Mahkamah Agung dalam pemeriksaan ditingkat kasasi, maka secara tidak
langsung ketentuan itu menyatakan sekaligus bahwa kewenangan pengujian dimaksud tidak
dapat dilaksanakan atau setidak-tidaknya sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan bahwa,
kasasimenurut hukum yakni Pasal 61 Undang-undang nomor 1 Tahun 1950, Pasal 49 dan 51
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1969, dan Pasal 29 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1945,
adalah pemeriksaan oleh Mahkamah Agung setelah diperiksa dan diputus oleh badan peradilan
atau pengadilan dibawahnya, melalui sengketa (gugatan). Ini berarti gugatan pengujian
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undangan baru dapat diperiksa oleh
Mahkamah Agung, jika kasusnya telah diperksan dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri
dan/atau Pengadilan Tinggi.
Sebaliknya Pengadilan Negeri dan/atau Pengadilan Tinggi menurut Ketetapan MPR
tersebut diatas, tidak memiliki kewenangan untuk memeriksan dan memutuskan perkara
gugatan pengujian peraturan perundang-undangan, karena kewenangan tersebut diberikan
kepada Mahkamah Agung secara absolut atau menjadi kompetensi absolut Mahkamah Agung.
Penyebab kedua adalah pemberian peluang bagi perseorangan atau badan privat hukum
untuk melakukan gugatan pengujian peraturan perundang-undangan. Kelemahannya adalah
bahwa objek pengujian tersebut adalah pengujian peraturan perundang-undangan yang bersifat
asbtrak dan mengikat secara umum, digugat oleh perseorangan dan/atau badan hukum privat
yang tidak mewakili kepentingan umum.
Sehingga untuk mempermudah dalam melaksanakan wewenangnya, Mahkamah Agung
menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1993, Perma No. 1 Tahun
1999 dan terakhir Perma No. 1 Tahun 2004 tentang hak uji materiil. Dalam Perma No. 1 Tahun
1993 dan Perma No. 1 Tahun 1999 juga menyimpang dari ketentuan tentang prosedur
pengujian peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dalam Pasal 26 UU No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung.

Anda mungkin juga menyukai