TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
2.2.
sehingga
timbul
defisiensi
insulin.
Individu
yang
memiliki
mekanisme yang kemungkinan adalah bahwa terdapat agen lingkungan yang secara
antigenis
mengubah
menstimulasi pembentukan
17
Akan tetapi sering terjadi keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah
total insulin yang dilepaskan. Hal ini cenderung semakin parah seiring dengan
pertambahan usia pasien18
DM tipe 2 dulu disebut DM tidak tergantung insulin atau NIDDM
(noninsulin dependent diabetes mellitus), sebenarnya kurang tepat karena banyak
individu yang mengidap DM tipe 2 dapat ditangani dengan insulin.18 DM tipe 2 dulu
juga dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas karena lebih sering terjadi
pada pasien berusia di atas 40 tahun. Namun, dengan menigkatnya insidensi obesitas
di negara barat dan onsetnya yang semakin dini, saat ini terjadi peningkatan frekuensi
DM tipe 2 pada orang dewasa muda dan anak-anak.17
Insidens DM tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru setiap tahunnya. Sekitar 80%
pasien DM tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi
insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang
menyebabkan DM tipe 2. 14
2.3.
glukosa plasma puasa normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika
hiperglikeminya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat itu, maka timbul
glikosuria. Glikosuria ini akan mengkibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan
pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsi). Karena glukosa hilang
bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan
berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungin akan timbul sebagai
akibat kekurangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk. 14
Pasien dengan DM tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif
dengan polidipsia, poliuria, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa
hari atau beberapa minggu. Pasien dapat terjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis,
serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Sebaliknya,
pasien dengan DM tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun,
dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan
melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat pasien tersebut
mungkin menderita polidipsi, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak
mengalami ketoasidosis karena pasien tidak defisiensi insulin secara absolut namun
hanya relatif.14
2.4.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah
utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
gluko meter.6
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
a. Jika keluhan klasik ditemukan (poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan) maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Glukosa plasma sewaktu
merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu
makan terakhir.
b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa
126 mg/dL (7,0 mmol/L) dengan adanya
keluhan klasik. Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8
jam.
c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan kadar gula plasma 2 jam pada TTGO
200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO,
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang
dilarutkan ke dalam air. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif
dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan
berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan
persiapan khusus.6
Pemeriksaan kadar HbA1c ( 6,5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan
menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium
yang telah terstandardisasi dengan baik. 6 Kadar HbA1C normal pada bukan
penyandang DM antara 4% sampai dengan 6%. Pemeriksaan hemoglobin terglikasi
(HbA1C), disebut juga glycohemoglobin atau disingkat sebagai A1C, merupakan
salah satu pemeriksaan darah yang penting untuk mengevaluasi pengendalian gula
darah.19 HbA1c adalah zat yang terbentuk dari reaksi kimia antara glukosa dan
hemoglobin (bagian dari sel darah merah).20
Ketika gula darah tidak terkontrol (yang berarti kadar gula darah tinggi) maka
gula darah akan berikatan dengan hemoglobin (terglikasi). Oleh karena itu, rata-rata
kadar gula darah dapat ditentukan dengan cara mengukur kadar HbA1C. Bila kadar
gula darah tinggi dalam beberapa minggu, maka kadar HbA1C akan tinggi pula.
Ikatan HbA1C yang terbentuk bersifat stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan
(sesuai dengan usia sel darah merah). Kadar HbA1C akan mencerminkan rata-rata
kadar gula darah dalam jangka waktu 2-3 bulan sebelum pemeriksaan.19
2.5.
prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural, maka
diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang DM di daerah
urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan
penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang
berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan
rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang DM di daerah urban dan
8,1 juta di daerah rural.6
Laporan dari hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan
pada dekade 1980-an menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe 2 antara 0,8% di
Tanah Toraja, sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada
rentang tahun 1980-2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat tajam.
Sebagai contoh, pada penelitian di Jakarta (daerah urban), prevalensi DM dari 1,7%
pada tahun 1982 naik menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan meroket lagi menjadi
12,8% pada tahun 2001.6
c. Menurut Waktu
Jumlah penderita DM meningkat dari 153 juta pada tahun 1980 menjadi 347
juta pada tahun 2008.23 Menurut IDF, DM menjadi salah satu masalah kesehatan
yang paling menantang pada abad 21. Secara global, 4,6 juta kematian setiap
tahunnya disebabkan DM. Pada 2011 terdapat 366 juta penduduk dunia menderita
DM diperkirakan 552 juta pada 2030, atau satu dari sepuluh orang dewasa menderita
DM.24
2.5.2. Determinan
a. Genetik
Pada pasien DM tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat.
Indeksnya untuk DM tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko
berkembangnya DM tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk
anak cucunya. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat
dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY, maturity-onset diabetes of the young),
yaitu subtipe penyakit DM yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika
orangtua menderita DM tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak 1:1, dan
sekitar 90% pasti membawa (carrier) DM tipe 2.14
b. Usia
DM dapat terjadi pada semua kelompok umur. DM tipe 1 biasanya terjadi
pada usia muda ataupun juga pada orang yang berusia 40 tahun sedangkan DM tipe
2 biasanya disebut DM yang terjadi pada usia dewasa. Kebanyakan kasus DM tipe 2
terjadi sesudah umur 40 tahun. Pada usia ini umumnya manusia mengalami
penurunan fungsi fisiologis dengan cepat, sehingga terjadi defisiensi sekresi insulin
karena gangguan pada sel beta prankreas dan resistensi insulin.25 Sedangkan menurut
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) salah satu faktor risiko DM adalah
orang yang berumur > 45 tahun.6
Berdasarkan penelitian Sri A.M. Handayani di di RSUP Dr. Kariadi dan
RSUD Kota Semarang (2003) diketahui bahwa pada umur < 45 tahun berisiko tujuh
kali lebih besar untuk terkena DM.26 Berdasarkan penelitian Tri Murti Handayani di
RS Dr. Sardjito Yogyakarta (2005) penderita DM tipe 2 mengalami peningkatan
jumlah kasusnya pada umur di atas 40 tahun, dan jumlah kasus paling banyak terjadi
pada umur 61 sampai 70 tahun (48%).27
c. Obesitas (Kegemukan)
DM tipe 2 sering terjadi pada individu dengan berat badan lebih dan obes
(gemuk). Obesitas merupakan pemicu terpenting penyebab DM tipe 2. Menurut
definisi, obesitas berarti berat badan berlebih sebanyak 20% dari berat badan ideal
atau indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25 kg/m2 .28
Dari berbagai penelitian didapatkan adanya keterkaitan erat antara IMT dan
risiko terjadinya DM tipe 2. Risiko Relatif meningkat lebih dari 10 kali lipat di antara
perempuan dari hasil penelitian the Nurses Health Study (2001) dengan IMT yang
melebihi 29 kg/m2 dan diantara laki-laki dari hasil penelitian the Health Professional
Followup Study (2001) dengan IMT yang melebihi 31 kg/m2 jika dibandingkan
dengan mereka dalam kategori IMT yang lebih rendah. WHO memperhitungkan
bahwa sekitar 64% DM tipe 2 yang diderita laki-laki Amerika dan 74% yang diderita
perempuan Amerika seharusnya dapat dihindari jika IMT mereka dipertahankan pada
atau di bawah 25 kg/m2.29
d. Pola Makan (Diet)
Pola makan merupakan determinan penting yang menentukan obesitas dan
juga memengaruhi resistensi insulin. Dengan demikian, pola makan memainkan
peranan yang penting dalam proses terjadinya DM tipe 2. Konsumsi makanan yang
tinggi energi dan tinggi lemak, selain aktivitas fisik yang rendah, akan mengubah
keseimbangan energi dengan disimpannya energi sebagai lemak simpanan yang
jarang digunakan. Asupan energi yang berlebihan itu sendiri akan meningkatkan
resistensi insulin, sekalipun belum terjadi kenaikan berat badan yang signifikan. Diet
tinggi kalori, tinggi lemak dan rendah karbohidrat berkaitan dengan DM tipe 2. Diet
yang kaya energi dan rendah serat akan meningkatkan kenaikan berat badan dan
resistensi insulin kendati pada populasi yang berisiko rendah seperti orang-orang
Eropa.29
e. Kurangnya Aktivitas Fisik
Olahraga juga berperan dalam kontrol kadar gula darah. Otot yang
berkontraksi atau aktif tidak atau kurang memerlukan insulin untuk memasukkan
glukosa ke dalam sel, karena otot yang aktif lebih sensitif terhadap insulin, sehingga
kadar glukosa darah jadi turun.28
Untuk kedua tipe DM, olahraga terbukti dapat meningkatkan pemakaian
glukosa oleh sel sehingga glukosa darah turun. Pengidap DM tipe 1 harus berhati-hati
sewaktu berolahraga karena dapat terjadi penurunan glukosa darah yang mencetuskan
hipoglikemia.18
2.6.
Data di Amerika menunjukkan bahwa insiden SHH sebesar 17,5 per 100.000
penduduk. SHH lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan lakilaki. Angka mortalitas pada kasus SHH cukup tinggi , sekitar 10-20%.35
2.6.2. Komplikasi Kronik
Terdapat banyak komplikasi jangka panjang pada DM. Sebagian besar
disebabkan langsung oleh tingginya konsentrasi glukosa darah. Komplikasi DM
tersebut hampir mengenai semua organ tubuh.18 Komplikasi kronis ini berkaitan
dengan gangguan vaskular, yaitu: komplikasi mikrovaskular dan komplikasi
makrovaskular.18
a. Komplikasi Mikrovaskular
a.1. Retinopati Diabetik (Kerusakan Mata)
Komplikasi jangka panjang DM yang sering dijumpai adalah gangguan
penglihatan. Ancaman paling serius terhadap penglihatan adalah retinopati diabetik,
atau kerusakan pada retina karena tidak mendapatkan oksigen. Retina adalah jaringan
yang aktif bermetabolisme dan pada hipoksia kronis akan mengalami kerusakan
secara progresif dalam struktur kapilernya, membentuk mikroaneurisma, dan
memperlihatkan bercak-bercak perdarahan. Terbentuk jaringan-jaringan infark
(jaringan yang mati) yang diikuti neuvaskularisasi (pembentukan pembuluh baru),
bertunasnya pembuluh-pembuluh lama. Sayangnya pembuluh-pembuluh baru dan
tunas-tunas dari pembuluh lama berdinding tipis dan sering hemoragik, menyebabkan
aktivasi sistem inflamasi dan pembentukan jaringan parut di retina. Edema interstisial
terjadi dan tekanan intaokulus meningkat, yang menyebabkan kolapsnya kapiler dan
saraf yang tersisa sehingga terjadi kebutaan. DM juga berkaitan dengan peningkatan
katarak dan glaukoma.18
Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang
baik, sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya
dengan kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk apabila dilakukan
penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat.30
Retinopati diabetik terjadi pada penderita DM tipe 1 maupun tipe 2.
Retinopati diabetik berkembang hampir pada semua penderita DM tipe 1 dan juga
pada 77% lebih penderita DM tipe 2 yang bertahan hidup lebih dari 20 tahun. WHO
menyatakan bahwa pada tahun 2002 retinopati diabetik bertanggung jawab atas 4,8%
dari 37 juta kasus kebutaan di seluruh dunia.38 DM adalah penyebab nomor satu
kebutaan di Amerika Serikat. Retinopati dabetik juga bertanggung jawab atas sekitar
10.000 kasus kebutaan setiap tahunnya di Amerika Serikat.18
a.2. Nefropati Diabetik (Kerusakan Ginjal)
Nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian terpenting pada
DM yang lama. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup semua lesi yang
terjadi di ginjal pada DM.18 Lesi awalnya adalah hiperfiltrasi glomerulus
(peningkatan laju filtrasi glomerulus) yang menyebabkan penebalan difusi pada
membran basal glomerulus, bermanifestasi sebagai mikroalbuminuria (albumin dalam
urin 30-300 mg/hari), merupakan tanda sangat akurat terhadap kerusakan vaskular
secara umum yang menjadi prediktor kematian akibat penyakit kardiovaskular.
Albuminuria persisten (albumnin urin >300 mg/hari) awalnya disertai dengan GFR
(Glomerular Filtration Rate) yang normal, namun setelah terjadi protenuria berlebih
(protein dalam urin >0,5 g/24 jam), GFR menurun secara progresif dan terjadi gagal
ginjal.30
Telah diperkirakan bahwa sekitar 35% hingga 45% pasien DM tipe 1 akan
berkembang menjadi gagal ginjal kronik dalam waktu 15 hingga 25 tahun setelah
awitan DM. Individu dengan DM tipe 2 lebih sedikit yang berkembang menjadi gagal
ginjal kronik (sekitar 10% hingga 20%) dengan insidensi mendekati 50%.14 Nefropati
diabetik adalah penyebab nomor satu gagal ginjal di Amerika Serikat dan negaranegara barat lainnya.18
a.3. Neuropati Diabetik (Kerusakan Saraf)
Diabetes Mellitus merusak sistem saraf perifer, termasuk komponen sensorik
dan motorik divisi somatik otonom. Penyakit saraf yang disebabkan DM disebut
neuropati diabetik. Neuropati diabetik disebabkan hipoksia kronis sel-sel saraf yang
kronis serta efek hiperglikemia, termasuk hiperglikosilasi protein yang melibatkan
fungsi sel saraf. Sel-sel penunjang saraf, terutama sel Schwann mulai menggunakan
metode alternatif untuk mengatasi beban peningkatan glukosa kronis, yang akhirnya
mengakibatkan demielinisasi segmental saraf perifer.18
Neuropati diabetik terjadi 60-70% individu DM. Neuropati diabetik yang
paling sering ditemukan adalah neuropati perifer dan otonom.36 Neuropati perifer,
pada awalnya menyebabkan hilangnya sentakan pergelangan kaki dan tidak adanya
sensasi getar pada extremitas bawah. Kemudian sensasi raba dan nyeri menghilang.
Pasien sering kali mengeluh baal (kesemutan), dan rasa seperti terbakar di malam
hari. Ulkus kronis tanpa nyeri berkembang di tempat-tempat yang terkena trauma
berulang. 39
2.7.
kronik dan disertai komplikasi akut maupun kronik. Pada sebagian penyandang DM,
seringkali tidak menimbulkan gejala klinis, sehingga tidak menyadari dan berobat
secara teratur sampai timbul komplikasi. Sayangnya bila komplikasi DM telah terjadi
biasanya tidak dapat sembuh sempurna. Pengobatan DM dan penyembuhannya
seringkali menjemukan. Walaupun penyandang DM telah berobat secara teratur,
primer
berarti
mencegah
terjadinya
Diabetes
Mellitus.
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki
faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat
DM dan kelompok intoleransi glukosa.
Pencegahan primer dilakukan dengan tindakan penyuluhan yang ditujukan
untuk kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi dan intoleransi glukosa.
Materi penyuluhan meliputi antara lain:
a. Program penurunan berat badan. Pada seseorang yang mempunyai risiko DM dan
mempunyai berat badan lebih, penurunan berat badan merupakan cara utama
untuk menurunkan risiko terkena DM tipe 2 atau intoleransi glukosa. Beberapa
penelitian menunjukkan penurunan berat badan 5-10% dapat mencegah atau
memperlambat munculnya DM tipe 2.
b. Diet sehat. Diet sehat dapat dilakukan dengan mengatur jumlah asupan kalori agar
tercapai berat badan yang ideal, mengonsumsi makanan yang mengandung
karbohidrat kompleks agar tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa darah yang
tinggi setelah makan dan juga makanan yang mengandung sedikit lemak jenuh,
dan tinggi serat larut.
c. Latihan jasmani, latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah,
mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar
kolesterol HDL. Latihan jasmani yang dianjurkan, dikerjakan sedikitnya selama
150 menit/minggu dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut
jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobik berat (mencapai
denyut jantung >70% maksimal). Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 kali
aktivitas/minggu
d. Menghentikan merokok.
Merokok merupakan salah satu risiko timbulnya gangguan kardiovaskular.
Meskipun merokok tidak berkaitan langsung dengan timbulnya intoleransi
glukosa, tetapi merokok dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari
intoleransi glukosa dan DM tipe 2.6
2.7.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian
pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan
penyakit DM. Dalam upaya pencegahan sekunder program penyuluhan memegang
peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program
pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat. Untuk pencegahan sekunder ditujukan
terutama pada pasien baru.6
a. Penyuluhan
Berbagai penelitian menunjukkan kepatuhan pada pengobatan penyakit yang
bersifat kronik, pada umumnya rendah. Untuk mengatasi ketidakpatuhan tersebut,
penyuluhan atau edukasi bagi penyandang DM beserta keluarganya diperlukan.
Penyuluhan diperlukan karena penyakit DM adalah penyakit yang berhubungan
dengan gaya hidup.2
Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi
tingkat lanjutan. Materi edukasi pada tingkat awal meliputi pemahaman tentang:
perjalanan penyakit DM, perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan,
penyulit
DM
dan
risikonya,
intervensi
farmakologis
dan
b. Pengobatan
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai
sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan
atau suntikan insulin.6
b.1. Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya obat hipoglikemik oral (OHO) dibagi menjadi 5
golongan:
1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid.
Golongan Sulfonilurea mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang. Sedangkan golongan glinid merupakan obat yang
cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan
sekresi insulin fase pertama.
2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: tiazolidindion
Golongan tiazolidindion ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan
meningkatkan
jumlah
protein
pengangkut
glukosa,
sehingga
b.2. Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM tipe 1. Pada DM
tipe 1, sel-sel Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi
dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM tipe 1 harus
mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam
tubuhnya dapat berjalan normal.40 Terapi insulin pada pasien DM tipe 2 dapat
dimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan terapi oral, kendali kadar glukosa
darah yang buruk (HbA1C > 7,5% atau kadar glukosa darah puasa > 250 mg/dL),
riwayat pankreatektomi, atau disfungsi pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa
darah yang lebar, riwayat ketoasidosis, riwayat penggunaan insulin lebih dari 5 tahun,
dan penyandang DM lebih dari 10 tahun.41
2.7.3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang DM yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya
rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Pada
upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga.
Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai
kualitas hidup yang optimal.
Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan terintegrasi
antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik
antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah
vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatris, dll.) sangat diperlukan dalam
menunjang keberhasilan pencegahan tersier.6