Anda di halaman 1dari 25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi Diabetes Mellitus


Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes

Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduaduanya.6 Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi
dari 110 mg/dL. Kadar glukosa serum puasa normal adalah 70 sampai 110 mg/dL.
Glukosa difiltrasi oleh glomerulus dan hampir semuanya difiltrasi oleh tubulus ginjal
selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160-180 mg/dL.14
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan klasik
berupa poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu
200
mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan glukosa
darah puasa 126 mg/dL juga digunakan untuk patokan diagnosis. Untuk kelompok
tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja
abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis. Diperlukan pemastian
lebih lanjut dengan mendapat sekali saja angka abnormal, baik kadar glukosa darah
puasa 126 mg/dL, kadar glukosa darah sewaktu sewaktu 200 mg/dL pada hari
yang lain, atau kadar glukosa sewaktu
200 mg/dL pada 2 jam pascapembebanan
glukosa 75 g pada tes toleransi glukosa oral (TTGO).15

Universitas Sumatera Utara

2.2.

Klasifikasi Diabetes Mellitus


American Diabetes Association (ADA) dalam Standards of Medical Care in

Diabetes (2009) memberikan klasifikasi Diabetes Mellitus berdasarkan pengetahuan


mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa.
Klasifikasi ini telah disahkan oleh WHO dan telah dipakai di seluruh dunia. Empat
klasifikasi Diabetes Mellitus: Diabetes Mellitus tipe 1, Diabetes Mellitus tipe 2,
Diabetes Mellitus Gestasional (Diabetes kehamilan), dan Diabetes Mellitus tipe
khusus lain.16
Dikenal 2 jenis utama Diabetes Mellitus yaitu Diabetes Mellitus tipe 1 dan
Diabetes Mellitus tipe 2. Kedua jenis DM ini dibagi dengan melihat faktor
etiologisnya.17
2.2.1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes Mellitus tipe 1 merupakan kondisi autoimun sel-sel beta pulau
Langerhans

sehingga

timbul

defisiensi

insulin.

Individu

yang

memiliki

kecenderungan penyakit ini tampaknya menerima faktor pemicu dari lingkungan.


Sebagai contoh faktor pencetus yang mungkin antara lain infeksi virus seperti
gondongan (mumps), rubella, dan sitomegalovirus (CMV) kronis. Pajanan terhadap
obat atau toksin tertentu juga diduga dapat memicu serangan autoimun ini. Karena
proses penyakit DM tipe 1 terjadi dalam beberapa tahun, sering kali tidak ada faktor
pencetus yang pasti. Pada saat diagnosis DM tipe 1 ditegakkan, ditemukan antibodi
terhadap sel-sel pulau Langerhans pada sebagian besar pasien.18
Mengapa individu membentuk antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans
sebagai respon terhadap faktor pencetus belum diketahui penyebabnya. Salah satu

Universitas Sumatera Utara

mekanisme yang kemungkinan adalah bahwa terdapat agen lingkungan yang secara
antigenis

mengubah

sel-sel prankreas sehingga

menstimulasi pembentukan

autoantibodi. Kemungkinan lain bahwa para individu yang mengidap DM tipe 1


memiliki kesamaan antigen antara sel-sel beta prankreas mereka dengan
mikroorganisme atau obat tertentu. Sewaktu berespons terhadap virus atau obat,
sistem imun mungkin gagal mengenali sel prankreas. Pada saat diagnosis DM tipe 1
ditegakkan lebih dari 80% sel beta telah dihancurkan. 18
Sebelumnya DM tipe 1 disebut sebagai Diabetes Mellitus dependen insulin
atau IDDM (insulin dependent diabetes mellitus), karena individu pengidap penyakit
ini harus mendapat insulin pengganti. DM tipe 1 dulu juga dikenal sebagai tipe
juvenile-onset. Akan tetapi, DM tipe 1 dapat muncul pada sembarang usia . Insidens
DM tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya.18
2.2.2. Diabetes Mellitus Tipe 2
DM tipe 2 merupakan tipe DM yang paling sering terjadi, mencakup sekitar
85% pasien DM. Keadaan ini ditandai dengan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif.

17

Individu yang mengidap DM tipe 2 tetap menghasilkan insulin.

Akan tetapi sering terjadi keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah
total insulin yang dilepaskan. Hal ini cenderung semakin parah seiring dengan
pertambahan usia pasien18
DM tipe 2 dulu disebut DM tidak tergantung insulin atau NIDDM
(noninsulin dependent diabetes mellitus), sebenarnya kurang tepat karena banyak
individu yang mengidap DM tipe 2 dapat ditangani dengan insulin.18 DM tipe 2 dulu
juga dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas karena lebih sering terjadi

Universitas Sumatera Utara

pada pasien berusia di atas 40 tahun. Namun, dengan menigkatnya insidensi obesitas
di negara barat dan onsetnya yang semakin dini, saat ini terjadi peningkatan frekuensi
DM tipe 2 pada orang dewasa muda dan anak-anak.17
Insidens DM tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru setiap tahunnya. Sekitar 80%
pasien DM tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi
insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang
menyebabkan DM tipe 2. 14

2.3.

Gejala-Gejala Diabetes Mellitus


Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar

glukosa plasma puasa normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika
hiperglikeminya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat itu, maka timbul
glikosuria. Glikosuria ini akan mengkibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan
pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsi). Karena glukosa hilang
bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan
berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungin akan timbul sebagai
akibat kekurangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk. 14
Pasien dengan DM tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif
dengan polidipsia, poliuria, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa
hari atau beberapa minggu. Pasien dapat terjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis,
serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Sebaliknya,
pasien dengan DM tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun,
dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan

Universitas Sumatera Utara

melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat pasien tersebut
mungkin menderita polidipsi, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak
mengalami ketoasidosis karena pasien tidak defisiensi insulin secara absolut namun
hanya relatif.14

2.4.

Diagnosis Diabetes Mellitus


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah
utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
gluko meter.6
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
a. Jika keluhan klasik ditemukan (poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan) maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Glukosa plasma sewaktu
merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu
makan terakhir.
b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa
126 mg/dL (7,0 mmol/L) dengan adanya
keluhan klasik. Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8
jam.

Universitas Sumatera Utara

c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan kadar gula plasma 2 jam pada TTGO
200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO,
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang
dilarutkan ke dalam air. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif
dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan
berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan
persiapan khusus.6
Pemeriksaan kadar HbA1c ( 6,5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan
menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium
yang telah terstandardisasi dengan baik. 6 Kadar HbA1C normal pada bukan
penyandang DM antara 4% sampai dengan 6%. Pemeriksaan hemoglobin terglikasi
(HbA1C), disebut juga glycohemoglobin atau disingkat sebagai A1C, merupakan
salah satu pemeriksaan darah yang penting untuk mengevaluasi pengendalian gula
darah.19 HbA1c adalah zat yang terbentuk dari reaksi kimia antara glukosa dan
hemoglobin (bagian dari sel darah merah).20
Ketika gula darah tidak terkontrol (yang berarti kadar gula darah tinggi) maka
gula darah akan berikatan dengan hemoglobin (terglikasi). Oleh karena itu, rata-rata
kadar gula darah dapat ditentukan dengan cara mengukur kadar HbA1C. Bila kadar
gula darah tinggi dalam beberapa minggu, maka kadar HbA1C akan tinggi pula.
Ikatan HbA1C yang terbentuk bersifat stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan
(sesuai dengan usia sel darah merah). Kadar HbA1C akan mencerminkan rata-rata
kadar gula darah dalam jangka waktu 2-3 bulan sebelum pemeriksaan.19

Universitas Sumatera Utara

2.5.

Epidemiologi Diabetes Mellitus

2.5.1. Distribusi dan Frekuensi


a. Menurut Orang
Umumnya penderita DM di negara berkembang berada pada kelompok umur
45-64 tahun, sedangkan di negara maju penderita DM berada pada usia di atas 64
tahun. Secara global, prevalensi Diabetes Mellitus lebih tinggi pada laki-laki.7
Menurut WHO (2008) prevalensi DM pada laki-laki 9,8% dan pada perempuan
9,2%.21
Dalam sebuah penelitian dengan desain cross sectional, prevalensi diabetes
pada laki-laki 7,2% dan pada perempuan 5,8%. Hasil penelitian tersebut menyatakan
bahwa faktor yang terkait dengan diabetes pada laki-laki dan perempuan berusia 40
tahun ke atas adalah pendapatan yang rendah, obesitas, dan riwayat keluarga
menderita diabetes.22
Berdasarkan penelitian Tarigan (2011) di RS Herna Medan tahun 2009-2010
proporsi penderita DM berusia < 40 tahun yaitu yang menderita komplikasi akut
5,0% dan yang menderita komplikasi kronik 4,4% sedangkan proporsi penderita DM
berusia 40 tahun yaitu yang menderita komplikasi akut 95,0% dan komplikasi
kronik 95,6%. Proporsi laki-laki menderita DM dengan komplikasi akut 55,0% dan
yang mengalami komplikasi kronik 37,7% sedangkan proporsi perempuan yang
mengalami komplikasi akut 45,0% dan komplikasi kronik 62,3%.13
b. Menurut tempat
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan
penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan

Universitas Sumatera Utara

prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural, maka
diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang DM di daerah
urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan
penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang
berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan
rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang DM di daerah urban dan
8,1 juta di daerah rural.6
Laporan dari hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan
pada dekade 1980-an menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe 2 antara 0,8% di
Tanah Toraja, sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada
rentang tahun 1980-2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat tajam.
Sebagai contoh, pada penelitian di Jakarta (daerah urban), prevalensi DM dari 1,7%
pada tahun 1982 naik menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan meroket lagi menjadi
12,8% pada tahun 2001.6
c. Menurut Waktu
Jumlah penderita DM meningkat dari 153 juta pada tahun 1980 menjadi 347
juta pada tahun 2008.23 Menurut IDF, DM menjadi salah satu masalah kesehatan
yang paling menantang pada abad 21. Secara global, 4,6 juta kematian setiap
tahunnya disebabkan DM. Pada 2011 terdapat 366 juta penduduk dunia menderita
DM diperkirakan 552 juta pada 2030, atau satu dari sepuluh orang dewasa menderita
DM.24

Universitas Sumatera Utara

2.5.2. Determinan
a. Genetik
Pada pasien DM tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat.
Indeksnya untuk DM tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko
berkembangnya DM tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk
anak cucunya. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat
dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY, maturity-onset diabetes of the young),
yaitu subtipe penyakit DM yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika
orangtua menderita DM tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak 1:1, dan
sekitar 90% pasti membawa (carrier) DM tipe 2.14
b. Usia
DM dapat terjadi pada semua kelompok umur. DM tipe 1 biasanya terjadi
pada usia muda ataupun juga pada orang yang berusia 40 tahun sedangkan DM tipe
2 biasanya disebut DM yang terjadi pada usia dewasa. Kebanyakan kasus DM tipe 2
terjadi sesudah umur 40 tahun. Pada usia ini umumnya manusia mengalami
penurunan fungsi fisiologis dengan cepat, sehingga terjadi defisiensi sekresi insulin
karena gangguan pada sel beta prankreas dan resistensi insulin.25 Sedangkan menurut
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) salah satu faktor risiko DM adalah
orang yang berumur > 45 tahun.6
Berdasarkan penelitian Sri A.M. Handayani di di RSUP Dr. Kariadi dan
RSUD Kota Semarang (2003) diketahui bahwa pada umur < 45 tahun berisiko tujuh
kali lebih besar untuk terkena DM.26 Berdasarkan penelitian Tri Murti Handayani di
RS Dr. Sardjito Yogyakarta (2005) penderita DM tipe 2 mengalami peningkatan

Universitas Sumatera Utara

jumlah kasusnya pada umur di atas 40 tahun, dan jumlah kasus paling banyak terjadi
pada umur 61 sampai 70 tahun (48%).27
c. Obesitas (Kegemukan)
DM tipe 2 sering terjadi pada individu dengan berat badan lebih dan obes
(gemuk). Obesitas merupakan pemicu terpenting penyebab DM tipe 2. Menurut
definisi, obesitas berarti berat badan berlebih sebanyak 20% dari berat badan ideal
atau indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25 kg/m2 .28
Dari berbagai penelitian didapatkan adanya keterkaitan erat antara IMT dan
risiko terjadinya DM tipe 2. Risiko Relatif meningkat lebih dari 10 kali lipat di antara
perempuan dari hasil penelitian the Nurses Health Study (2001) dengan IMT yang
melebihi 29 kg/m2 dan diantara laki-laki dari hasil penelitian the Health Professional
Followup Study (2001) dengan IMT yang melebihi 31 kg/m2 jika dibandingkan
dengan mereka dalam kategori IMT yang lebih rendah. WHO memperhitungkan
bahwa sekitar 64% DM tipe 2 yang diderita laki-laki Amerika dan 74% yang diderita
perempuan Amerika seharusnya dapat dihindari jika IMT mereka dipertahankan pada
atau di bawah 25 kg/m2.29
d. Pola Makan (Diet)
Pola makan merupakan determinan penting yang menentukan obesitas dan
juga memengaruhi resistensi insulin. Dengan demikian, pola makan memainkan
peranan yang penting dalam proses terjadinya DM tipe 2. Konsumsi makanan yang
tinggi energi dan tinggi lemak, selain aktivitas fisik yang rendah, akan mengubah
keseimbangan energi dengan disimpannya energi sebagai lemak simpanan yang
jarang digunakan. Asupan energi yang berlebihan itu sendiri akan meningkatkan

Universitas Sumatera Utara

resistensi insulin, sekalipun belum terjadi kenaikan berat badan yang signifikan. Diet
tinggi kalori, tinggi lemak dan rendah karbohidrat berkaitan dengan DM tipe 2. Diet
yang kaya energi dan rendah serat akan meningkatkan kenaikan berat badan dan
resistensi insulin kendati pada populasi yang berisiko rendah seperti orang-orang
Eropa.29
e. Kurangnya Aktivitas Fisik
Olahraga juga berperan dalam kontrol kadar gula darah. Otot yang
berkontraksi atau aktif tidak atau kurang memerlukan insulin untuk memasukkan
glukosa ke dalam sel, karena otot yang aktif lebih sensitif terhadap insulin, sehingga
kadar glukosa darah jadi turun.28
Untuk kedua tipe DM, olahraga terbukti dapat meningkatkan pemakaian
glukosa oleh sel sehingga glukosa darah turun. Pengidap DM tipe 1 harus berhati-hati
sewaktu berolahraga karena dapat terjadi penurunan glukosa darah yang mencetuskan
hipoglikemia.18

Universitas Sumatera Utara

2.6.

Komplikasi Diabetes Mellitus

2.6.1. Komplikasi Akut


Komplikasi metabolik Diabetes Mellitus disebabkan oleh perubahan relatif
akut dari konsentrasi glukosa plasma.14
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL.
Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang DM harus selalu dipikirkan
kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu
hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya
kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut
sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.6
Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat,
gemetar, sakit kepala, palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah
laku yang aneh, sensorium yang tumpul, dan koma). Harus ditekankan bahwa
serangan hipoglikemia adalah serangan berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi
dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan otak permanen atau bahkan
kematian.14
b. Hiperglikemia
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada DM,
baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius yang
mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol dengan baik. Krisis
hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD), status

Universitas Sumatera Utara

hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai elemen kedua


keadaan diatas.30
Krisis hiperglikemia pada DM tipe 2 biasanya terjadi karena ada keadaan
yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain infeksi
penyakit vaskular akut, trauma, heat stroke, kelainan gastrointestinal dan obat-obatan.
Pada DM tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena yang bersangkutan
menghentikan suntikan insulin ataupun pengobatannya tidak adekuat.30
b.1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Pada ketoasidosis diabetik, kadar glukosa darah meningkat dengan cepat
akibat glukoneogenesis (300-600 mg/dL), dan peningkatan penguraian lemak yang
progresif. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ mL). Terjadi poliuria dan
dehidrasi. Kadar keton juga meningkat (ketosis) akibat penggunaan asam lemak yang
hampir total untuk menghasilkan ATP. Keton keluar melalui urine menyebabkan bau
napas seperti buah. Pada ketosis, pH turun di bawah 7,3 yang menyebabkan asidosis
metabolik.17
Individu dengan KAD sering mengalami mual dan nyeri abdomen. Dapat
terjadi muntah yang memperparah dehidrasi ekstrasel dan intrasel. Kadar kalium
turun total tubuh tubuh turun akibat poliuria dan muntah berkepanjangan.17
Kejadian tahunan dari KAD berdasarkan suatu penelitian population-based
pada tahun 1980 di Amerika Serikat diperkirakan berkisar dari 4 sampai 8 kejadian
per 1000 pasien DM setiap tahunnya. Insiden KAD terus meningkat, diperkirakan
terdapat 115.000 pasien rawat inap di Amerika Serikat pada tahun 2003.31 Walaupun
data komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden KAD di Indonesia tidak

Universitas Sumatera Utara

sebanyak di negara Barat, mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan


KAD di Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit, dan terutama pada pasien
DM tipe 2.32
Di negara maju dengan sarana yang lengkap, angka kematian KAD berkisar
antara 9-10%, sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut
angka kematian dapat mencapai 25-50%. Angka kematian KAD di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo selama periode 5 bulan (Januari-Mei 2005) terdapat 39 kasus KAD
dengan angka kematian 15%.32
b.2. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
SHH adalah komplikasi akut yang dijumpai pada pengidap DM tipe 2.
SHH adalah manifestasi awal DM pada 7-17% pasien DM.33 Walaupun tidak rentan
mengalami ketosis, pengidap DM tipe 2 dapat mengalami hiperglikemia berat
peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL). Kadar hiperglikemia ini
menyebabkan osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL). Situasi ini
menyebabkan pengeluaran berliter-liter urine, rasa haus yang hebat, defisit kalium
yang parah dan sekitar 15-20 menit dapat terjadi koma dan kematian.17
Pada penelitian retrospektif oleh Wachtel T.J. dan kawan-kawan di Rhode
Island negara bagian AS pada tahun 1986,1987, dan 1988, ditemukan bahwa dari 613
pasien DM yang diteliti, 22% adalah pasien KAD, 45% SHH dan 33% merupakan
campuran dari kedua keadaan tersebut. Pada penelitian tersebut ternyata sepertiga
dari mereka yang presentasi kliniknya campuran KAD dan SHH, adalah mereka yang
berusia lebih dari 60 tahun.34

Universitas Sumatera Utara

Data di Amerika menunjukkan bahwa insiden SHH sebesar 17,5 per 100.000
penduduk. SHH lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan lakilaki. Angka mortalitas pada kasus SHH cukup tinggi , sekitar 10-20%.35
2.6.2. Komplikasi Kronik
Terdapat banyak komplikasi jangka panjang pada DM. Sebagian besar
disebabkan langsung oleh tingginya konsentrasi glukosa darah. Komplikasi DM
tersebut hampir mengenai semua organ tubuh.18 Komplikasi kronis ini berkaitan
dengan gangguan vaskular, yaitu: komplikasi mikrovaskular dan komplikasi
makrovaskular.18
a. Komplikasi Mikrovaskular
a.1. Retinopati Diabetik (Kerusakan Mata)
Komplikasi jangka panjang DM yang sering dijumpai adalah gangguan
penglihatan. Ancaman paling serius terhadap penglihatan adalah retinopati diabetik,
atau kerusakan pada retina karena tidak mendapatkan oksigen. Retina adalah jaringan
yang aktif bermetabolisme dan pada hipoksia kronis akan mengalami kerusakan
secara progresif dalam struktur kapilernya, membentuk mikroaneurisma, dan
memperlihatkan bercak-bercak perdarahan. Terbentuk jaringan-jaringan infark
(jaringan yang mati) yang diikuti neuvaskularisasi (pembentukan pembuluh baru),
bertunasnya pembuluh-pembuluh lama. Sayangnya pembuluh-pembuluh baru dan
tunas-tunas dari pembuluh lama berdinding tipis dan sering hemoragik, menyebabkan
aktivasi sistem inflamasi dan pembentukan jaringan parut di retina. Edema interstisial
terjadi dan tekanan intaokulus meningkat, yang menyebabkan kolapsnya kapiler dan

Universitas Sumatera Utara

saraf yang tersisa sehingga terjadi kebutaan. DM juga berkaitan dengan peningkatan
katarak dan glaukoma.18
Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang
baik, sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya
dengan kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk apabila dilakukan
penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat.30
Retinopati diabetik terjadi pada penderita DM tipe 1 maupun tipe 2.
Retinopati diabetik berkembang hampir pada semua penderita DM tipe 1 dan juga
pada 77% lebih penderita DM tipe 2 yang bertahan hidup lebih dari 20 tahun. WHO
menyatakan bahwa pada tahun 2002 retinopati diabetik bertanggung jawab atas 4,8%
dari 37 juta kasus kebutaan di seluruh dunia.38 DM adalah penyebab nomor satu
kebutaan di Amerika Serikat. Retinopati dabetik juga bertanggung jawab atas sekitar
10.000 kasus kebutaan setiap tahunnya di Amerika Serikat.18
a.2. Nefropati Diabetik (Kerusakan Ginjal)
Nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian terpenting pada
DM yang lama. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup semua lesi yang
terjadi di ginjal pada DM.18 Lesi awalnya adalah hiperfiltrasi glomerulus
(peningkatan laju filtrasi glomerulus) yang menyebabkan penebalan difusi pada
membran basal glomerulus, bermanifestasi sebagai mikroalbuminuria (albumin dalam
urin 30-300 mg/hari), merupakan tanda sangat akurat terhadap kerusakan vaskular
secara umum yang menjadi prediktor kematian akibat penyakit kardiovaskular.
Albuminuria persisten (albumnin urin >300 mg/hari) awalnya disertai dengan GFR
(Glomerular Filtration Rate) yang normal, namun setelah terjadi protenuria berlebih

Universitas Sumatera Utara

(protein dalam urin >0,5 g/24 jam), GFR menurun secara progresif dan terjadi gagal
ginjal.30
Telah diperkirakan bahwa sekitar 35% hingga 45% pasien DM tipe 1 akan
berkembang menjadi gagal ginjal kronik dalam waktu 15 hingga 25 tahun setelah
awitan DM. Individu dengan DM tipe 2 lebih sedikit yang berkembang menjadi gagal
ginjal kronik (sekitar 10% hingga 20%) dengan insidensi mendekati 50%.14 Nefropati
diabetik adalah penyebab nomor satu gagal ginjal di Amerika Serikat dan negaranegara barat lainnya.18
a.3. Neuropati Diabetik (Kerusakan Saraf)
Diabetes Mellitus merusak sistem saraf perifer, termasuk komponen sensorik
dan motorik divisi somatik otonom. Penyakit saraf yang disebabkan DM disebut
neuropati diabetik. Neuropati diabetik disebabkan hipoksia kronis sel-sel saraf yang
kronis serta efek hiperglikemia, termasuk hiperglikosilasi protein yang melibatkan
fungsi sel saraf. Sel-sel penunjang saraf, terutama sel Schwann mulai menggunakan
metode alternatif untuk mengatasi beban peningkatan glukosa kronis, yang akhirnya
mengakibatkan demielinisasi segmental saraf perifer.18
Neuropati diabetik terjadi 60-70% individu DM. Neuropati diabetik yang
paling sering ditemukan adalah neuropati perifer dan otonom.36 Neuropati perifer,
pada awalnya menyebabkan hilangnya sentakan pergelangan kaki dan tidak adanya
sensasi getar pada extremitas bawah. Kemudian sensasi raba dan nyeri menghilang.
Pasien sering kali mengeluh baal (kesemutan), dan rasa seperti terbakar di malam
hari. Ulkus kronis tanpa nyeri berkembang di tempat-tempat yang terkena trauma
berulang. 39

Universitas Sumatera Utara

Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan


edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki karena kulit pada daerah
ekstremitas bawah merupakan tempat yang sering mengalami infeksi. Kuman
stafilokokus merupakan kuman penyebab utama. Ulkus kaki terinfeksi biasanya
melibatkan banyak mikroorganisme, yang sering terlibat adalah stafilokokus,
streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob.6
Neuropati otonom dapat menyebabkan disfungsi ereksi (impotensi seksual)
pada 25% pasien pria dan disfungsi gastrointestinal serta infeksi saluran kemih.36
Prevalensi disfungsi ereksi pada penyandang DM tipe 2 lebih dari 10 tahun cukup
tinggi dan merupakan akibat adanya neuropati autonom, angiopati dan masalah
psikis. Upaya pengobatan utama adalah memperbaiki kontrol glukosa darah senormal
mungkin dan memperbaiki faktor risiko disfungsi ereksi lain seperti dislipidemia,
merokok, obesitas dan hipertensi.6
b. Komplikasi Makrovaskular
Komplikasi makrovaskular terutama terjadi akibat aterosklerosis (pengerasan
arteri). Komplikasi makrovaskular ikut berperan dan menyebabkan gangguan aliran
darah, penyulit komplikasi jangka panjang, dan peningkatan mortalitas. Pada DM
terjadi kerusakan pada lapisan sel endotel arteri dan dapat disebabkan secara langsung
oleh tingginya kadar glukosa dalam darah, metabolit glukosa, atau tingginya kadar
asam lemak dalam darah yang sering dijumpai pada pasien DM. Akibat kerusakan
tersebut, permeabilitas sel endotel meningkat sehingga molekul yang mengandung
lemak masuk ke arteri. Kerusakan sel-sel endotel akan mencetuskan reaksi imun dan
inflamasi sehingga akhirnya terjadi pengendapan trombosit, makrofag, dan jaringan

Universitas Sumatera Utara

fibrosis. Sel-sel otot polos berproliferasi. Penebalan dinding arteri menyebabkan


hipertensi, yang semakin merusak lapisan endotel arteri karena menimbulkan gaya
yang merobek-robek sel-sel endotel.17
Komplikasi makrovaskular akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika
mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer
yang disertai klaudikasio intermitten dan ganggren pada ekstremitas serta insufisiensi
serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteri koronaria dan aorta maka dapat
mengakibatkan angina dan infark miokardiun.14
Pada penderita DM, risiko penyakit serebrovaskular meningkat dua kali lipat,
penyakit jantung koroner meningkat tiga sampai lima kali lipat, dan penyakit
pembuluh darah perifer meningkat 40 kali.25 Risiko relatif penyakit kardiovaskular
adalah dua sampai empat kali lipat lebih tinggi pada pria dan tiga sampai empat kali
lebih tinggi pada wanita DM dari pada kelompok kontrol berusia sama.
Makrovaskular merupakan penyebab utama kematian pada pasien DM tipe 2,
mancakup 50% kematian pada kelompok ini.16

2.7.

Upaya Pencegahan Diabetes Mellitus


Diabetes Mellitus adalah suatu keadaan penyakit degeneratif yang bersifat

kronik dan disertai komplikasi akut maupun kronik. Pada sebagian penyandang DM,
seringkali tidak menimbulkan gejala klinis, sehingga tidak menyadari dan berobat
secara teratur sampai timbul komplikasi. Sayangnya bila komplikasi DM telah terjadi
biasanya tidak dapat sembuh sempurna. Pengobatan DM dan penyembuhannya
seringkali menjemukan. Walaupun penyandang DM telah berobat secara teratur,

Universitas Sumatera Utara

cepat atau lambat akan mengalami komplikasi kronik DM yang kadang-kadang


menyebabkan dokter, perawat dan pasien putus asa. Atas dasar fakta di atas, saat ini
terjadi perubahan paradigma berpikir dan para ahli DM, pencegahan komplikasi DM
seyogianya dimulai dengan pencegahan primer DM.28
2.7.1. Pencegahan Primer
Pencegahan

primer

berarti

mencegah

terjadinya

Diabetes

Mellitus.

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki
faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat
DM dan kelompok intoleransi glukosa.
Pencegahan primer dilakukan dengan tindakan penyuluhan yang ditujukan
untuk kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi dan intoleransi glukosa.
Materi penyuluhan meliputi antara lain:
a. Program penurunan berat badan. Pada seseorang yang mempunyai risiko DM dan
mempunyai berat badan lebih, penurunan berat badan merupakan cara utama
untuk menurunkan risiko terkena DM tipe 2 atau intoleransi glukosa. Beberapa
penelitian menunjukkan penurunan berat badan 5-10% dapat mencegah atau
memperlambat munculnya DM tipe 2.
b. Diet sehat. Diet sehat dapat dilakukan dengan mengatur jumlah asupan kalori agar
tercapai berat badan yang ideal, mengonsumsi makanan yang mengandung
karbohidrat kompleks agar tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa darah yang
tinggi setelah makan dan juga makanan yang mengandung sedikit lemak jenuh,
dan tinggi serat larut.

Universitas Sumatera Utara

c. Latihan jasmani, latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah,
mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar
kolesterol HDL. Latihan jasmani yang dianjurkan, dikerjakan sedikitnya selama
150 menit/minggu dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut
jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobik berat (mencapai
denyut jantung >70% maksimal). Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 kali
aktivitas/minggu
d. Menghentikan merokok.
Merokok merupakan salah satu risiko timbulnya gangguan kardiovaskular.
Meskipun merokok tidak berkaitan langsung dengan timbulnya intoleransi
glukosa, tetapi merokok dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari
intoleransi glukosa dan DM tipe 2.6
2.7.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian
pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan
penyakit DM. Dalam upaya pencegahan sekunder program penyuluhan memegang
peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program
pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat. Untuk pencegahan sekunder ditujukan
terutama pada pasien baru.6

Universitas Sumatera Utara

a. Penyuluhan
Berbagai penelitian menunjukkan kepatuhan pada pengobatan penyakit yang
bersifat kronik, pada umumnya rendah. Untuk mengatasi ketidakpatuhan tersebut,
penyuluhan atau edukasi bagi penyandang DM beserta keluarganya diperlukan.
Penyuluhan diperlukan karena penyakit DM adalah penyakit yang berhubungan
dengan gaya hidup.2
Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi
tingkat lanjutan. Materi edukasi pada tingkat awal meliputi pemahaman tentang:
perjalanan penyakit DM, perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan,

penyulit

DM

dan

risikonya,

intervensi

farmakologis

dan

nonfarmakologis serta target pengobatan, interaksi antara asupan makanan, aktivitas


fisik, dan obat hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain, mengatasi
sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit atau hipoglikemia, pentingnya
latihan jasmani yang teratur, pentingnya perawatan kaki, dan cara mempergunakan
fasilitas perawatan kesehatan.6 Materi edukasi pada tingkat lanjut yaitu: mengenal dan
mencegah penyulit akut DM, pengetahuan mengenai penyulit menahun DM,
penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain, makan di luar rumah, hasil
penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang DM, dan
pemeliharaan/perawatan kaki.6

Universitas Sumatera Utara

b. Pengobatan
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai
sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan
atau suntikan insulin.6
b.1. Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya obat hipoglikemik oral (OHO) dibagi menjadi 5
golongan:
1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid.
Golongan Sulfonilurea mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang. Sedangkan golongan glinid merupakan obat yang
cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan
sekresi insulin fase pertama.
2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: tiazolidindion
Golongan tiazolidindion ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan

meningkatkan

jumlah

protein

pengangkut

glukosa,

sehingga

meningkatkan ambilan glukosa di perifer.


3. Penghambat glukoneogenesis: metformin
Golongan metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang DM yang gemuk.

Universitas Sumatera Utara

4. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidasealfa.


Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
5. DPP-IV inhibitor
DPP-IV inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap
dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang
penglepasan

insulin serta menghambat penglepasan glukagon.6

b.2. Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM tipe 1. Pada DM
tipe 1, sel-sel Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi
dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM tipe 1 harus
mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam
tubuhnya dapat berjalan normal.40 Terapi insulin pada pasien DM tipe 2 dapat
dimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan terapi oral, kendali kadar glukosa
darah yang buruk (HbA1C > 7,5% atau kadar glukosa darah puasa > 250 mg/dL),
riwayat pankreatektomi, atau disfungsi pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa
darah yang lebar, riwayat ketoasidosis, riwayat penggunaan insulin lebih dari 5 tahun,
dan penyandang DM lebih dari 10 tahun.41
2.7.3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang DM yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya
rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Pada
upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga.

Universitas Sumatera Utara

Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai
kualitas hidup yang optimal.
Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan terintegrasi
antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik
antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah
vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatris, dll.) sangat diperlukan dalam
menunjang keberhasilan pencegahan tersier.6

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai