Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Terkait
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau
disadari oleh seseorang. Pengetahuan termasuk tetapi tidak dibatasi pada
deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang secara
Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna. Dalam pengertian lain,
pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia
melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang
menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau
kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.
Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang. Menurut Bloom (1974) pengetahuan yang dicakup
dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari

sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini

adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh


bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh

karena itu tahu adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling


rendah.
b. Memahami (comprehension)
Memahami adalah sebagai kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau
materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,
meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil. Aplikasi ini
dapat diartikan penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip
dan lain sebagainya dalam konteks atau kondisi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu objek kedalam komponen-kompnen, tetapi masih didalam
suatu stuktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama
lain.
e. Sintesis (synthesisi)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagain-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk
menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaianpenilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang di temukan sendiri, atau
menggunakan kriteria yang telah ada.
Menurut Notoatmodjo (1993), pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang (overt behavior). Karena itu dari pengalaman dan penelitian
ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng
daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Menurut
pendapat Rogers (1974) bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku
baru (berperilaku baru) di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang
berurutan, yakni:
1)

Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam


arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek)

2)

Interest ( merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di


sini sikap subjek sudah mulai terbentuk

3)

Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya


stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden
sudah lebih baik lagi

4)

Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai


dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus

5) Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan


pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun

demikian

dari

penelitian

selanjutnya

Rogers

menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahaptahap tersebut di atas.
Menurut Sutanto Priyo Hastono (2001) setelah didapatkan data dari
perhitungan pengetahuan dikategorikan sebagai berikut:
1) Tinggi : bila pertanyaan dijawab dengan benar oleh responden (51%100%).
2) Rendah : bila pertanyaan dijawab dengan benar oleh responden (0%50%).
Pengetahuan tentang keadaan sehat dan sakit adalah pengalaman
seseorang

tentang

keadaan

sehat

dan

sakitnya

seseorang yang

menyebabkan seseorang tersebut bertindak untuk mengatasi masalah


sakitnya dan bertindak untuk mempertahankan kesehatannya atau bahkan
meningkatkan status kesehatannya. Rasa sakit akan menyebabkan
seseorang bertindak pasif dan atau aktif dengan tahapan-tahapannya.
Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
1) Pendidikan
Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan, maka jelas dapat kita
kerucutkan sebuah visi pendidikan yaitu mencerdaskan manusia.

2) Media
Media yang secara khusus didesain untuk mencapai
masyarakat yang sangat luas. Jadi contoh dari media massa ini
adalah televisi, radio, koran, dan majalah.
3) Keterpaparan informasi
Pengertian informasi menurut Oxfoord English Dictionary,
adalah that of which one is apprised or told: intelligence, news.
Kamus lain menyatakan bahwa informasi adalah sesuatu yang
dapat diketahui. Namun ada pula yang menekankan informasi
sebagai transfer pengetahuan. Selain itu istilah informasi juga
memiliki arti yang lain sebagaimana diartikan oleh RUU
tekhnologi informasi yang mengartikannya sebagai suatu teknik
untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memanipulasi,
mengumumkan, menganalisa, dan menyebarkan informasi dengan
tujuan tertentu. Sedangkan informasi sendiri mencakup data, teks,
image, suara, kode, program komputer, databases. Adanya
perbedaan definisi informasi dikarenakan pada hakekatnya
informasi tidak dapat diuraikan (intangible), sedangkan informasi
itu dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, yang diperoleh dari data
dan observasi terhadap dunia sekitar kita serta diteruskan melalui
komunikasij(http://id.wikipedia.org/wiki/Pengetahuan).

2. Perilaku
a. Pengertian
Perilaku adalah keadaan jiwa berpendapat, dan untuk memberi respons terhadap
situasi diluar subjek tersebut. Respons ini bisa bersifat pasif atau tanpa tindakan dan
dapat juga bersifat aktif dengan tidakan atau action ( Notoatmojo, S. Dkk 1985 ).
b. Faktor pembentuk perilaku
Bentuk operasional dariperilaku ini dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu :
1) Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi atau
rangsangan dari luar.
2) Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau
rangsangan dari luar subjek.
3) Perilaku dalam bentuk tindakan dan sudah konkrit berupa perbuatan terhadap
situasi rangsangan dari luar.
Umumnya seseorang berpendapat bahwa perilaku itu hanya terwujud didalam
perbuatan atau tindakan (action ) yang konkrit saja, sedangkan pengetahuan dan sikap
bukan merupakan perilaku.
Perilaku manusia cenderung bersifat holistik (menyeluruh ) dan merupakan
refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti : keinginan, minat, kehendak,
pengetahuan, emosi, berfikir, sikap, motivasi, reaksi dan sebagainya. Namun
demikian sulit dibedakan refleksi dari gejala kejiwaan yang mana seseorang
berperilaku tertentu.
Apabila ditelusuri lebih lanjut, terdapat berbagai faktor lain yang mempengaruhi
faktor lain yang mempengaruhi gejala kejiwaan yang tercermin dalam tindakan

maupun perilaku seseorang antara lain pengalaman, keyakinan, sarana-sarana fisik,


sosial budaya masyarakat dan sebagainya.
Namun demikian pada realitanya sulit dibedakan atau dideteksi gejala kejiwaan
yang menentukan atau dipengaruhi beberapa faktor lain, diantaranya adalah : faktor
pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosial budaya masyarakat dan sebagainya.
Perilaku terbentuk melalui suatu proses tertentu, dan berlangsung dalam interaksi
manusia dengan lingkungannya. Begitu pula dengan perilaku pasien TB Paru dalam
upaya pencegahan penularan penyakit TB Paru. Jadi sebelum terbentuknya perilaku (
upaya pencegahan penularan ) ada beberapa hal yang melatar belakangi seperti
pengetahuan/ informasi yang diperoleh dan pemahaman atas informasi yang didapat
tersebut sebelum ia melakukan tindakan konkrit berupa perbuatan pencegahan
penularan penyakit TB Paru.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa pengetahuan yang dimiliki sangat
berpengaruh terhadap cerminan perilaku seseorang, namun pembentukan perilaku itu
sendiri tidak terjadi, semata-mata berdasarkan pengetahuan- pengetahuan, tetapi
masih dipengaruhi oleh banyak faktor yang sangat kompleks.
Lawrence. W. Green. et al. Al, dalam bukunya healt education planning
(terjemahan Soekidjo Notoatmodjo ), mengemukakan secara panjang lebar tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam kaitannya dengan
kesejahteraan manusia ( quality of life ) dan kesehatan. Kesehatan seseorang/
masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu : faktor perilaku ( behavior causes ) dan
faktor diluar perilaku ( non behavior causes )
Selanjutnya perilaku ini sendiri ditentukan oleh 3 faktor yaitu:

a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor), yaitu merupakan faktor yang


mempermudah dan mendasari untuk terjadinya perilaku tertentu. Faktor ini
bersifat internal yang terdiri dari pengetahuan, sikap, nilai-nilai budaya serta
kepercayaan dari orang tersebut terhadap perilaku tertentu, karakteristik individu
seperti umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan.
b. Faktor

pemungkin

(Enabling

Factor),

yaitu

merupakan

faktor

yang

memungkinkan untuk terjadinya perilaku tertentu. Faktor ini biasanya berada di


luar individu yang terdiri dari ketersediaan pelayanan (petugas kesehatan, sumber
daya/ fasilitas), keterjangkauan pelayanan kesehatan baik jarak maupun biaya,
adanya aturan dan komitmen-komitmen masyarakat.
c. Faktor penguat (Reinforcing Factor), yaitu faktor yang memperkuat terjadinya
perilaku tertentu. Yang termasuk dalam faktor ini adalah pendapat, dukungan dan
kritik, baik dari keluarga, teman-teman sekerja maupun lingkungan dan petugas
kesehatan.
3. Tuberkulosis Paru
a) Pengertian.
TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
Paru yaitu Mycobacterium tuberculosis penyakit infeksi yang menyerang parenkim
paru-paru yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sebagian
besar menyerang paru namun dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain seperti
meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Depkes RI 2002).
Pada hampir semua kasus, infeksi tuberkulosis didapat melalui inhalasi
partikel kuman yang cukup kecil (sekitar 1-5 mm). droplet dikeluarkan selama batuk,
tertawa, atau bersin. Nukleus yang terinfeksi kemudian terhirup oleh individu yang

rentan (hospes). Sebelum infeksi pulmonari dapat terjadi, organisme yang terhirup
terlebih dahulu harus melawan mekanisme pertahanan paru dan masuk jaringan paru
(Asih, 2003).
b) Penyebab
Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang
berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar komponen
mycobacterium tuberculosis adalah berupa lemak/lipid sehingga kuman mampu tahan
terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik. Mikroorganisme
ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena
itu, mycobacterium tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang
kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk
penyakit tuberkulosis (Somantri, 2008).
Periode inkubasi umum Mycobacterium tuberculosis adalah 4-12 minggu
untuk pembentukan lesi primer ( Brunner & Suddarth: 2002).
c) Faktor resiko
Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu umur,
jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS. Dari hasil penelitian yang
dilaksanakan di New York pada panti penampungan orang-orang gelandangan
menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat
secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya
mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru
adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Depkes RI 2002).
1) Faktor Jenis Kelamin.

Menurut WHO di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang


laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali
lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada
laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru
laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada
wanita menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok
sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.
2) Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan
seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan
pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka
seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat.
Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis
pekerjaannya.
3) Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap
individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu
di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran
pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas,
terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan
keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara

konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi


terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang
mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan
kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga
sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk
terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah
dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki
tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya
penularan penyakit TB Paru.
4) Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko
untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik
dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk
terkena TB Paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia
per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430
batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760
batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok pada
hampir semua Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa,
sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok
akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.

5) Kepadatan hunian kamar tidur


Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan

jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab
disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu
anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota
keluarga yang lain.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan
2

dalam m /orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas
bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum
2

10 m /orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m /orang.


Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur
yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak
dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun.
Untuk menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan juga langit-langit
minimum tingginya 2,75 m.
6) Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela
kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang
leluasa maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena
dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB,
karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih
60 lux, kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih redup.
Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi
lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang sama

apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam
waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama. Penularan kuman
TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk
dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni
akan sangat berkurang.
7) Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi, fungsi pertama adalah untuk menjaga
agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap
terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam
rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara
di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman
TB Paru. Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi
aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu
tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum.
Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi
sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas
lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara
segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam

ruangan. Umumnya temperatur kamar 22 - 30C dari kelembaban udara


optimum kurang lebih 60%.
8) Kondisi rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit
TB Paru. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan
kuman. Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan
debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya
kuman Mycrobacterium tuberculosis.
9) Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan,
dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22 30C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung,
tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab.
10) Status Gizi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang
mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan
orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan
berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik
terhadap penyakit.
11) Keadaan Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan
sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan

pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam


memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi.
Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang
menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.

12) Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan
penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara
pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan
akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.
(http://putraprabu.wordpress.com/2008/12/24/faktor-resiko-tbc/).

d) Komplikasi pada penderita TB Paru


Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut:
1) Hemoptesis berat (perdarahan dari saluran nafas

bawah) yang dapat

mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.


2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
3) Bronkiektaksis (pelebaran bronkus setempat ) dan fibrosis (pembentukan jaringan
ikat pada proses pemulihan atau reaktif ) pada paru.
4) Pneumothorak (adanya udara dirongga pleura ) spontan : kolaps spontan karena
kerusakan jaringan paru.
5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan
sebagainya.

6) Insufisiensi kardio pulmoner/cardio pulmonary insufficiency (Depkes RI 2002).

e) Gejala Penyakit TB Paru


1) Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa atau
akibat rokok. Proses yang paling ringan ini menyebabkan sekret akan terkumpul
pada waktu penderita tidur dan dikeluarkan saat penderita bangun pagi hari.
2) Dahak
Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit,
kemudian berubah menjadi purulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen dan
kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi perlunakan.
3) Batuk darah
Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercakbercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat
banyak.
4) Nyeri dada
Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan.
Bila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas (nyeri dikeluhkan di
daerah aksila, di ujung skapula atau di tempat-tempat lain).

5) Wheezing

Wheezing terjadi

karena penyempitan lumen endobronkus yang

disebabkan oleh sekret, bronkostenosis, peradangan, jaringan granula, ulserasi dan


lain-lain (pada tuberkulosis lanjut).
6) Dispneu
Dispneu merupakan late symptom dari proses lanjut tuberkulosis paru
akibat adanya restriksi dan obstruksi saluran pernapasan serta loss of vascular bed
/ thrombosis yang dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi pulmonal dan
korpulmonal.
f) Gejala-gejala umum:
1) Panas badan
Merupakan gejala paling sering dijumpai dan paling penting sering kali
panas badan sedikit meningkat pada siang maupun sore hari.
2) Menggigil
Dapat terjadi bila panas badan naik dengan cepat, tetapi tidak diikuti
pengeluaran panas dengan kecepatan yang sama atau dapat terjadi sebagai suatu
reaksi umum yang lebih hebat.
3) Keringat malam
Keringat malam bukanlah gejala yang patognomonis untuk penyakit
tuberkulosis paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut,
kecuali pada orang-orang dengan vasomotor labil, keringat malam dapat timbul
lebih dini, nausea, takikardi dan sakit kepala timbul bila ada panas.
4) Gangguan menstruasi

Gangguan menstruasi sering terjadi bila proses tuberkulosis paru sudah


menjadi lanjut.
5) Anoreksia
Anoreksia dan penurunan berat badan merupakan manifestasi toksemia
yang timbul belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila proses progresif.
6) Lemah badan
Gejala-gejala ini dapat disebabkan oleh kerja berlebihan, kurang tidur dan
keadaan sehari-hari yang kurang menyenangkan, karena itu harus dianalisa
dengan baik dan harus lebih berhati-hati apabila dijumpai perubahan sikap dan
temperamen (misalnya penderita yang mudah tersinggung), perhatian penderita
berkurang atau menurun pada pekerjaan, anak yang tidak suka bermain, atau
penyakit yang kelihatan neurotik.
Gejala umum ini, seringkali baru disadari oleh penderita setelah ia
memperoleh terapi dan saat ini masih lebih baik dari sebelumnya/Retrospective
Symptomatology (Alsagaff, 2005).

g) Orang-orang yang beresiko tinggi terkena TB Paru


1) Orang-orang yang kontak fisik secara dekat dengan penderita
Orang-orang tua
2) Anak-anak Pengguna psikotropika

3) Orang-orang bertaraf hidup rendah dan memiliki akses rendah terhadap fasilitas
kesehatan
4) Pengidap HIV
5) Orang-orang yang berada di negara yang terkena epidemi TBC
6) Orang-orang yang sedang sakit dan turun daya tahan kekebalan tubuhnya
h) Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda :
1) Tanda-tanda infiltrate (redup,bronchial,ronki basah, dan lain-lain)
2) Tanda-tanda penarikan paru,diagfragma, dan mediastium.
3) Sekret di saluran nafas dan ronki.
4) Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan
bronkus.
i) Penemuan Pasien TB paru
Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat
menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, dan sekaligus merupakan kegiatan
pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.

Adapun strategi penemuan pada tuberkulosis adalah:


1) Penemuan pasien TB Paru dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung
dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat,
untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB Paru.
2) Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB Paru.

3) Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif (Depkes
RI, 2007).
j) Penegakan Diagnosis pada TB Paru
Apabila seseorang dicurigai menderita atau tertular penyakit TB Paru, Maka ada
beberapa hal pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk memeberikan diagnosa yang
tepat antara lain :
1) Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
2) Pemeriksaan fisik secara langsung.
3) Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
4) Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
5) Rontgen dada (thorax photo).
dan Uji tuberculin

Gambar 1. Hasil rontgen pasien TB Paru


k) Penularan

Penularan penyakit TB Paru biasanya menular melalui udara yang tercemar


dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TB
Paru batuk. Sumber penularan adalah pasien TB Paru Basil Tahan Asam (TB Paru
BTA) positif. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan
berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh
yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah
bening. Oleh sebab itulah infeksi TB Paru dapat menginfeksi hampir seluruh organ
tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah
bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena
yaitu paru-paru.

Gambar 2. Penyebaran bakteri TB Paru

Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan
selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan
segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui
serangkaian reaksi imunologis bakteri TB Paru ini akan berusaha dihambat melalui
pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme
pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan
bakteri TB paru akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang
sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
Mikobakterium tuberkulosa biasanya berjalan dari paru melalui aliran darah ke
ginjal kemudian menjadi dormant di ginjal selama bertahun- tahun. Proses
tuberculosis biasanya dimulai dari glomerulus dan kemudian menyebar ke seluruh
nefron menyebabkan destruksi renal progresif. Ketika piala ginjal terinfeksi,
organism menyebar kebawah ke kandung kemih dan pada pria dapat juga
menginfeksi prostat, epididimis dan testis ( Brunner & Suddarth: 2002).
Tuberkulosis saluran kemih dapat timbul pada segala usia dari usia muda sampai
usia tua dengan keadaan umum kurang baik. Mikobakterium tuberkulosa mencapai
ginjal atau epididimis secara hematogen dan menyebabkan gambaran patologik yang
khas berupa kelainan granulo matosa yang akhirnya cenderung mengalami kaverne

yaitu rongga. Dari ginjal terjadi penyebaran infeksi secara desendens melalui ureter
yang dapat mengalami striktur fibrosa ( Wim de jong; 2005 ).
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak,
makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan
kuman tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2007).
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap
dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan
tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel
bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam
paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak).
Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami
pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TB Paru.
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak
dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial
ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya
jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari
infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan
jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya
infeksi TB Paru.
TB Paru menular melalui udara apabila orang yang membawa TB Paru dalam
paru-paru atau tenggorokan, batuk, bersin atau berbicara, lalu kuman dilepaskan ke

udara. Apabila orang lain menghirup kuman ini mereka mungkin terinfeksi.
Kebanyakan orang mendapat kuman TB Paru dari orang yang sering berada dekat
dengan mereka, seperti anggota keluarga, teman atau rekan sekerja. TB Paru tidak
menular melalui barang dan peralatan rumah, misalnya sendok garpu, periuk, gelas,
seprai, pakaian atau telepon, jadi barang dan peralatan baru untuk kegunaan sendiri
tidak diperlukan.
Resiko Penularan TB paru tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan
dahak. Pasien TB Paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan resiko
penularan lebih besar dari pasien TB Paru dengan BTA negatif. Resiko penularan
setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI)
yaitu proporsi penduduk yang beresiko terinfeksi TB Paru selama satu tahun. ARTI
sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap
tahun. Infeksi TB Paru dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif
menjadi positif (Depkes RI 2007).
l) Pencegahan penularan
Adalah upaya pasien dalam melakukan pencegahan penularan penyakit TB
Paru terhadap orang-orang lingkungan disekitar.
a) Perilaku pencegahan penularan TB Paru dengan penerapan pola hidup sehat
b) Pengidap TB Paru di paru-paru diminta menutupi hidung dan mulutnya apabila
mereka batuk atau bersin.
c) Pengidap TB Paru menular di paru-paru dipisahkan dari orang lain sampai tidak
bisa menulari lagi.

d) Beberapa orang yang diagnosanya Infeksi TB Paru ditawari sederet pengobatan


pencegahan.
e) Bagi jenis TB Paru yang menjadikan nyawa terancam, vaksin BCG dapat
melindungi anak-anak yang bepergian ke negara yang biasa TB Paru. Tips untuk
penderita penyakit TB Paru
(1) Jangan lupa untuk secara teratur minum obat setiap harinya, sesuai anjuran
dokter
(2) Selalu menutup mulut dengan tisu jika batuk, bersin atau tertawa. Simpan tisu
dalam tempat tertutup dan buang di tempat sampah
(3) Beraktifitas seperti biasa, seperti sekolah, bermain, dan bekerja. Selama
penderita TB Paru minum obat dengan benar, maka risiko menularkan akan
hilang. Jadi aktifitas sosial dan harian tidak ada yang perlu dibatasi, artinya
penderita TB paru jangan dikucilkan atau dijauhi.
(4) Sirkulasi dalam kamar harus baik, jika perlu tambahkan kipas angin untuk
membuang udara di dalam kamar. Usahakan tinggal dalam kamar atau rumah
yang memiliki ventilasi cahaya baik. Kuman tuberkulosis mudah menyebar
dalam ruangan tertutup dan tidak ada sirkulasi udara.
Setelah minum obat selama 1-2 minggu, pada umumnya penderita sudah tidak
menularkan kuman TB Paru.
m) Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB Paru memerlukan suatu
definisi kasus yang meliputi empat hal, yaitu:
1) Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena

(a) Tuberkulosis paru


Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
(b) Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

Gambar 3. Organ-organ yang diserang oleh penyakit TB Paru

2) Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis


a) Tuberkulosis Paru BTA positif
(1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
(2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran TB Paru.
(3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

(4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru dan BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
(1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negtif.
(2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
(3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
(4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

3) Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit


a) TB Paru BTA negatif foto thoraks positif, dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
(misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk.
b) TB ekstra paru, dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
(1) ekstra-paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
(2) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran
kemih dan alat kelamin.

4) Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu:
a) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b) Kasus kambuh (Relaps)


Adalah

pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,


didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
c) Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
d) Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e) Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB
paru lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f) Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam


kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. (Depkes RI. 2007)
g) Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB Paru bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis) (Depkes
RI, 2007).
5) Paduan OAT di Indonesia
Program Nasional Penanggulangan TB Paru di Indonesia menggunakan
paduan OAT:
Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Disamping ketiga kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) penderita dalam satu
(1) masa pengobatan.
6) Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan

gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap


(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b) Untuk menjamin kepatuhan pasian menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
c) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
(1) Tahap awal (Intensif):
(a) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
(b) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu.
(c) Sebagian besar pasien TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
(2) Tahap lanjutan:
(a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lama.
(b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes RI, 2007).

7) Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Paru

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan


dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam
memantau kemajuan pengobatan. Untuk memantau kemajuan pengobatan
dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil
pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah
satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak
tersebut dinyatakan positif (Depkes RI, 2007).
8) PMO (Pengawasan Menelan Obat)
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka
pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan
diperlukan seorang PMO.

B. Penelitian Terkait
1. Penelitian terkait yang dilakukan oleh Wahyudi tahun 2006 dengan judul Hubungan
Antara Pengetahuan Tentang Penyakit TB Paru Dengan Tindakan Pencegahan Penularan

Pada Keluarga Penderita TB Paru (Studi Pada Keluarga Penderita Tb Paru Di Wilayah
Kerja Puskesmas Ponorogo Utara Kecamatan Ponorogo Kabupaten Ponorogo). Jenis
penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan menggunakan desain
penelitian cross sectional. Sampel adalah Anggota keluarga penderita TB Paru yang
tercatat di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo Utara sebanyak 70 orang dengan
menggunakan tehnik simple random sampling. Untuk mengetahui adanya hubungan
antara variabel digunakan uji statistik chi square. Hasil penelitian menunjukkan 40 %
responden berumur 41 60 tahun, 62,9% pendidikan responden adalah SMA, (58,57 %)
responden mempunyai hubungan penderita dalam keluarga sebagai ayah penderita tingkat
pengetahuan tinggi sebanyak 40 responden (57,1%) dan tindakan pencegahan penularan
yang benar sebanyak 37 responden (52,9%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
hubungan antara pengetahuan dengan tindakan pencegahan penularan diperoleh nilai
X2=4,970 nilai p=0,026 dengan tingkat kemaknaan a = 0,05 sehingga p < a berarti ada
hubungan antara pengetahuan tentang penyakit TB Paru dengan tindakan pencegahan
penularan pada keluarga penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Ponorogo Utara
(http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2006-wahyudieka-).
2. Penelitian terkait yang dilakukan oleh Yuyun Indah Kurnia tahun 2004 dengan judul
Hubungan Tingkat Pengetahuan Keluarga pasien Tuberkulosis Paru Tentang Pencegahan
penularan Dengan Prosentase Anggota keluarga Yang Tertular Di Rumah Sakit Umum
daerah Paru. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasional. Populasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah keluarga pasien Tuberkulosis Paru, sedangkan
sampel yang di ambil dengan cara total sampling yaitu keluarga yang menunggu penderita
diruangan TB paru pria di Rumah Sakit Umum Daerah Paru Batu yang berjumlah 20

orang. Untuk mencari hubungan antara kedua variabel digunakan analisa Product Moment
dari Pearson dan diperoleh hasil kondisi tingkat pengetahuan keluarga tentang pencegahan
TB paru dalam kondisi baik (80%) dan prosentase keluarga yang tertular TB paru
terbanyak adalah dalam kategori sedang (55%).Untuk analisis hubungan antara kedua
variabel didapatkan nilai =0,1507, jadi kesimpulannya ada hubungan antara tingkat
pengetahuan keluarga pasien TB Paru tentang pencegahan penularan dengan prosentase
anggota keluarga yang tertular TB Paru di Rumah Sakit Umun Daerah Paru Batu. Dari
hasil tersebut dapat disarankan pengetahuan keluarga tentang pencegahan penularan TB
paru harus terus dipertahankan, disebarluaskan serta diterapkan dalam kehidupan seharihari. (http://digilib.umm.ac.id/go.php?id=jiptummpp-gdl-s12004- yuyunindah-441).
3. Penelitian terkait yang dilakukan oleh Muzaidi tahun 2000 dengan judul

Hubungan

Antara Kondisi Pencahayaan Rumah Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru Di


Kabupaten Jepara Tahun 2000 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antar
kondisi pencahayaan rumah dengan kejadian penyakit TB Paru di Kabupaten Jepara tahun
2000. Dengan menggunakan pendektan kasus kontrol (case control). Diketahui dari 84
rumah 70,2% kondisi pencahayaan rumah responden tidak memenuhi syarat kesehatan
29,8% memenuhi syarat kesehatan. Pencahayaan terendah 5 lux dan tertinggi 325 lux
dengan rata-rata 59,58 lux. Syarat kondisi pencahayaan rumah yang minimal adalah 60
lux. Uji statistik Chi-square diperoleh nilai p = 0,152 dan nilai ( = 0,05 dan Odd Ratio
(OR) = 2,256. Nilai p > nilai ( menunjukkan tidak ada hubungan antara kondisi
pencahayaan rumah dengan kejadian penyakit TB Paru. Apabila dilihat berdasarkan
besarnya persentase kondisi pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan
pada kasus 78,6 % dan pada kontrol 61,9%. Dengan jumlah sample yang sama

menunjukkan adanya kecenderungan bahwa orang dengan kondisi pencahayaan rumah


tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai resiko untuk terkena penyakit TB Paru
2,256 kali lebih besar disbanding orang dengan kondisi pencahayaan rumah memenuhi
syarat kesehatan (http://www.fkm.undip.ac.id/data/index.php?action=4&idx=19)
4. Penelitian terkait yang dilakukan oleh ari diansyah tahun 2003 yang berjudul insidensi dan
tingkat

kesembuhan

penderita

tuberkulosis

dewasa

BTA (basil tahan asam) positif di kota salatiga tahun 2003. Metode penelitian ini
merupakan jenis penelitian deskriptif yang bersifat retrospektif. Data yang diperlukan
dalam penelitian ini diperoleh dalam bentuk data sekunder, dengan cara mencatat apa
yang sudah tertulis dalam buku status penderita yang terdapat di buku program TB Paru
nasional di dinas kesehatan (dinkes) kota Salatiga. Hasil penelitiannya adalah penderita
baru kasus TB Paru kota salatiga tahun 2003 sebanyak 82 penderita, penderita
tuberkulosis BTA positif berjumlah 48 penderita sedangkan BTA negatif berjumlah 34
penderita, dari penduduk kota salatiga yang berjumlah 108.653 jiwa didapati insidensi
penderita tuberkulosis BTA positif sebesar 0,044% dengan tingkat kesembuhan sebesar
87,5%. Kesimpulan insidensi penderita tuberkulosis BTA positif di kota salatiga tahun
2003 sebesar 0,044% dengan tingkat kesembuhan sebesar 87,5%. Penderita perempuan
lebih banyak daripada penderita laki-laki, penderita berumur 20-24 tahun merupakan
penderita

yang

terbanyak

dan

penderita

terbanyak

terdapat

di

BP4

(Medicine.uii.ac.id/.../insidensi-dan-tingkat-kesembuhan-penderita-tuberkulosis-dewasa).
5. Penelitian terkait yang dilakukan oleh putranto perdana yang berjudul faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru selama pengobatan di
Puskesmas Kecamatan Ciracas Jakarta Timur pada tahun 2008 Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan kepatuhan berobat penderita TB Paru.


Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kecamatan Ciracas Jakarta Timur. Sampel dari
penelitian ini adalah penderita TB Paru yang berobat di Puskesmas Kecamatan Ciracas
Jakarta Timur.Rancangan penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian dekriptif
analitik dengan dengan pendekatan Cross Sectional. Jumlah sample yang digunakan
sebanyak 96 orang. Sebagai sumber data adalah responden dan puskesmas Kecamatan
Ciracas. Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan jarak,
ketersediaan obat, persepsi pelayanan perawat puskesmas, persepsi pengawas minum
obat(PMO) memiliki hubungan yang bermakna dengan nilai P

value <0,05 dengan

kepatuhan berobat selama pengobatan di Puskesmas Kecamatan Ciracas. Faktor yang


paling dominan yang menyebabkan kepatuhan yaitu jarak dari tempat tinggal ke
puskesmas, ketersediaan obat dirumah, pelayanan perawat puskesmas, pengawas minum
obat.

C. Kerangka Teori
Untuk lebih jelasnya kerangka konsep dapat digambarkan sebagai berikut :
Factor Pemudah
- Umur
- Jenis kelamin
- Pekerjaan
- Pengetahuan
- Pendidikan

Factor Pemungkin
- Paparan media
- Informasi

Perilaku

pencegahan

penularan TB Paru

Factor Penguat
Dukungan
keluarga
- Pelayanan
perawat
puskesmas
- Kebijakan
pemerintah
-

Variable terikat
Diteliti
Gambar 2.4 Skema Kerangka Teori Penelitian

Anda mungkin juga menyukai