Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Seorang ♀, 62 tahun, datang ke Poli Mata BKMM dengan keluhan pandangan
kabur pada mata kiri yang dialami sejak ± 3 bulan yang lalu secara tiba-tiba,
obyek hanya dapat dilihat pada bagian bawah namun bagian atas tidak bisa
dilihat. Pasien juga melihat bayangan hitam. Rasa berpasir (+). Riwayat nyeri
pada kepala dan pusing (+) sejak ± 2 bulan yang lalu. Air mata berlebih (-),
kotoran mata berlebih (-), rasa berpasir (+), gatal pada mata (-), silau (-). Riwayat
mata merah (-), Riwayat nyeri pada mata (-), Riwayat trauma (-), Riwayat
memakai kacamata (-), Riwayat HT disangkal, Riwayat DM (-), Riwayat penyakit
sistemik lainnya (-), Riwayat penyakit mata yang sebelumnya disangkal, Riwayat
penyakit yang sama dalam keluarga (-).

Pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum : Sakit Sedang/ Gizi


Cukup/Composmentis. Tanda Vital : Tekanan Darah:: 140/80 mmHg, Suhu : 36,8
C, Pernapasan: 18 x/menit, Nadi: 84x/menit.

Tonometri
TOD : 11,0 mmHg
TOS : 12,0 mmHg

Pemeriksaan visus : VOD : 20/25 F, VOS : 1/300. Pemeriksaan Oftalmoskopi :


FOS : Ada refleks fundus, corpus vitreus keruh, Papil N. II berbatas tegas,
CDR : 0,3, A/V : 2/3, Retina detach, hole (+).

Apa yang terjadi pada wanita ini dan bagaimana penatalaksanaannya?


1.2 Klarifikasi dan Definisi
-
1.3 Kata Kunci
a. Perempuan, 62 tahun
b. Pandangan kabur pada mata kiri secara tiba-tiba (± 3 bulan)
c. Bisa melihat objek bagian bawah, atas tidak
d. Melihat bayangan hitam
e. Mata terasa berpasir
f. Nyeri kepala dan pusing sejak 2 bulan yang lalu
g. Visus = VOD : 20/25 F, VOS : 1/300
h. Pemeriksaan oftalmoskopi
1) Ada refleks fundus
2) Corpus vitreus keruh
3) Papil N.II berbatas tegas
4) CDR : 0,3
5) A/V : 2/3
6) Retina detach
7) Hole (+)

1.4 Rumusan Masalah


Apa yang dialami oleh wanita 62 tahun tersebut?
1.5 Analisis Masalah

Wanita, 62 tahun

Keluhan utama : Keluhan penyerta:

- Pandangan kabur pada - Melihat bayangan hitam


mata kiri ± 3 bulan
- Mata terasa berpasir
- Hanya dapat melihat
- Nyeri dan pusing (+) ± 2 bulan
objek bagian bawah

Pemeriksaan fisik:

1. Keadaan umum : composmentis


2. Tanda-tanda vital: Diagnosis banding :
- TD : 140/80 mmHg
-Ablasio retina
- Suhu : 36,80C
- Nafas : 18x/menit - Karatak sinilis
- Nadi 84x/menit
3. Tonometri
- TOD : 11,0 mmHg Pemeriksaan
penunjang
- TOS : 12,0 mmHg
4. Visus :
- VOD : 20/25 F Diagnosis
- VOS : 1/300
5. FOS :
- Refleks fundus (+) Tatalaksana

- Corpus vitreus keruh


- Papil N.II berbatas tegas
- CDR : 0,3
- A/V : 2/3
- Retina detach
- Hole (+)
1.6 Hipotesis
Wanita 62 tahun mengalami ablasio retina.

1.7 Pertanyaan Diskusi


1. Anatomi bola mata
2. Histologi retina
3. Fisiologi retina
4. Ablasio Retina
a. Definisi
b. Klasifikasi
5. Jelaskan tentang katarak sinilis!
6. Jelaskan tentang pemeriksaan tonometri!
7. Jelaskan tentang pemeriksaan visus!
8. Jelaskan tentang pemeriksaan oftalmoskopi!
9. Studi kasus
a. Mengapa wanita 62 tahun tersebut hanya dapat melihat objek bagian
bawah dan melihat bayangan hitam?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Bola Mata


Bentuk bola mata orang dewasa hampir mendekati bulat dengan diameter
24,5 mm. Bola mata terdiri atas tiga lapisan, yaitu:1
1) Lapisan fibrosa terdiri atas kornea dan skelera merupakan lapisan paling luar
yang berfungsi sebagai rangka mata. Sklera merupakan jaringan ikat yang
kenyal dan memberikan bentuk pada mata, merupakan bagian terluar yang
melindungi bola mata. Bagian terdepan sklera disebut kornea yang bersifat
transparan yang memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata. Kelengkungan
kornea lebih besar dibanding sklera.
2) Lapisan vaskuler terdiri atas koroid, badan siliaris, dan iris. Koroid merupakan
lapisan kaya akan vaskularisasi yang berfungsi memberi nutrisi pada mata,
badan siliaris merupakan tempat melekatnya lensa dan memproduksi aqueus
humor, iris terdiri atas otot dilatator dan kontriktor berfungsi untuk mengatur
ukuran pupil.
3) Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan
mempunyai susunan sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membran
neurosensoris yang akan mengubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik
dan diteruskan ke otak. Terdapat rongga yang potensial antara retina.
Gambar 2.1 Anatomi bola mata1

2.2 Histologi retina


Kornea merupakan 1/6 bagian anterior bola mata, tidak berwarna dan
transparan. Potongan melintang terlihat 5 lapisan kornea, yaitu epitel berlapis
gepeng tanpa lapisan tanduk dan terdiri dari 5-6 lapisan sel ; membran bowman
yang terdiri atas serat serat kolagen yang tersusun menyilang secara acak, suatu
substansia antarsel yang padat dan tidak mengandung sel, serta membantu
stabilitas dan kekuatan kornea dan memiliki ketebalan sekitar 7-12 µm ; stroma
yang dibentuk oleh lapisan berkas kolagen paralel yang silang menyilang, dan
tidak ada pembuluh darah ; membran descement yang tebalnya sekitar 5-10µm
dan terdiri dari susunan fibril kolagen halus ; dan yang terakhir lapisan endotel,
merupakan epitel selapis gepeng, terdiri juga dari organel untuk sekresi sel untuk
transpor aktif dan sintesis protein. Batas antara kornea dan sklera disebut limbus,
merupakan daerah peralihan berkas kolagen transparan dari kornea ke serat
sklera.Limbus menerima banyak pendarahan. Kornea bersifat avaskular,
mendapatkan metabolisme melalui difusi dari pembuluh yang berdekatan dan dari
kamera okuli anterior. Di daerah limbus di lapisan stroma terdapat pembuluh
darah dan limfe,selain itu terdapat saluran saluran tidak teratur berlapis endotel,
yakni jalinan trabekula, akan menyatu membentuk kanal schlemm yang akan
mengalirkan cairan dari kamera okuli anterior. Kanal schlemm berhubungan
dengan sistem vena di bagian luar.2,3
Lapisan retina terdiri dari 10 lapisan yang di bagi menjadi 3 neuron, yaitu : 2,3
1. Neuron pertama terdiri dari
a) Epitel pigmen ( sel poligonal dan tinggi 10-14 µm dengan bentuk teratur)
berfungsi sebagai penyerapan cahaya dan mencegah pemantulan.
b) Lapisan batang dan kerucut
Sel batang adalah sel tipis yang memanjang ( 50 x 3 µm ), terbagi 2
segmen ( luar berbentuk silindris, panjang sekitar 28 µm mengandung
fotopigmen rhodopsin / ungu visual dan dalam dengan panjang sekitar 32
µm ).3
Kerucut memiliki panjang sekitar 60 x 1,5 µm. Mengandung
fotopigmen iodopsin dan sensitivitas maksimumnya terdapat di daerah
merah, hijau, dan biru dari spektrum cahaya yang terlihat. Sel kerucut peka
terhadap intensitas yang lebih tinggi.3
c) Membran limitans eksterna
d) Lapisan inti luar
2. Neuron bipolar terdiri dari
a) Lapisan pleksiform luar
b) Lapisan inti dalam
c) Lapisan pleksiform dalam
3. Neuron optikus terdiri dari
a) Lapisan sel ganglion
b) Lapisan serat saraf
c) Membran limitans interna
Gambar 2.2 Lapisan-lapisan retina3

2.3 Fisiologi Retina


Fungsi utama mata adalah memfokuskan cahaya ke sel batang dan sel
kerucut yang merupakan sel fotoreseptor pada retina. Fotoreseptor ini akan
mengubah energi cahaya menjadi sinyal listrik untuk ditransmisikan ke SSP.
Bagian saraf retina terdiri dari 3 lapisan, pertama adalah lapisan terluar yang
dekat dengan lapisan koroid dan mengandung sel batang dan sel kerucut, lapisan
kedua adalah lapisan sel bipolar dan antarneuron-antarneuron yang terkait dan
yang terakhir adalah lapisan dalam sel ganglion. Akson-akson sel ganglion
menyatu untuk membentuk saraf optik. Titik di retina tempat saraf optik keluar
dan pembuluh darah berjalan disebut diskus optikus, bagian ini sering disebut
juga sebagai bintik buta karena tidak adanya bayangan yang dapat dideteksi
ditempat ini karena tidak adanya sel kerucut dan sel batang.
Sinar harus melewati lapisan ganglion dan bipolar sebelum mencapai fotoreseptor
disemua bagian retina kecuali di fovea, yakni sebuah cekungan seukuran jarum
pentul yang terletak tepat ditengah retina, lapisan ganglion dan bipolar tersisih ke
tepi sehingga cahaya langsung mengenai fotoreseptor. Fovea memiliki
konsentrasi sel kerucut tertinggi di retina. Karena itu, bayangan benda dapat
terlihat dengan jelas saat terfokus di fovea.4

2.4 Ablasio Retina


2.4.1 Definisi
Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan
batang retina dari sel epitel pigmen retina.1

2.4.2 Klasifikasi
Terdapat empat klasifikasi pada ablasio retina, antara lain yaitu:5
1. Ablasio Rhegmatogenous
a. Definisi
Ablasio rhegmatogenous merupakan jenis ablasi retina yang
paling sering, dimana lapisan retina yang koyak dapat membuat
cairan vitreous humour berpenetrasi dibawah retina.5
b. Klasifikasi
Ablasio retina regmatogenosa dapat diklasifikasikan
berdasarkan patogenesis, morfologi dan lokasi.1
Berdasarkan patogenesisnya, dibagi menjadi;5
(1) Tears, disebabkan oleh traksi vitreoretina dinamik dan memiliki
predileksi di superior dan lebih sering di temporal dari pada nasal.
(2) Holes, disebabkan oleh atrofi kronik dari lapisan sensori retina,
dengan predileksi di daerah temporal dan lebih sering di superior
dari pada inferior, dan lebih berbahaya dari tears.
Berdasarkan morfologi, dibagi menjadi;6
(1) U-tearsm, terdapat flap yang menempel pada retina di bagian
dasarnya,
(2) incomplete U-tears, dapat berbentuk L atau J,
(3) operculated tears, seluruh flap robek dari retina,
(4) dialyses: robekan sirkumferensial sepanjang ora serata,
(5) giant tears.

Berdasarkan lokasi, dibagi menjadi;5


(1) oral, berlokasi pada vitreous base,
(2) post oral, berlokasi di antara batas posterior dari vitreous base
dan equator,
(3) equatorial,
(4) post equatorial: di belakang equator
(5) macular, di fovea.

Gambar 1. Morfologi robekan pada ablasio retina rhegmatogenosa7

c. Etiologi
Penyebab Rhegmatogenous Retinal Detachment yang paling
sering adalah degenerasi badan vitreous. Vitreous humor terbuat
dari hampir seluruhnya air (98%) dan distabilkan oleh fibril
kolagen yang meluas ke bagian lapisan superfisial (internal) dari
retina. Degenerasi secara fisiologi pada vitreous ini telah terjadi
pada beberapa tahun pertama kehidupan. Seiring berjalannya
waktu, fibril kolagen mengeras, terkadang menyebabkan persepsi
titik mobile dan benang-benang yang dikenal sebagai muscae
volitantes atau “floaters”.6

Gambar 2. Muscae volitantes, floaters6

Hilangnya elastisitas vitreous humor secara progresif akhirnya


mengakibatkan terpisahnya vitreous humor dari retina. Proses ini
dideskripsikan sebagai “posterior vitreous detachment”. Dalam
konteks ini, resiko tertinggi terjadinya sobekan pada retina adalah
ketika badan vitreus masih tertempel pada retina pada satu titik
atau lebih dan akan menimbulkan tarikan. Oleh karena vitreous
biasanya mulai terpisah dari retina pada kutub posterior mata,
meluas pada ekuator, tegangan retina akan menjadi cukup kuat
pada daerah ini. Daerah ekuator menandai transisi dari retina
sentral ke retina perifer dan merupakan titik dimana lapisan
retinanya paling tipis, yang menjelaskan predileksi lubang pada
retina akibat tarikan. Setiap 5 pasien dengan PVD mengalami
lubang retina.6

d. Faktor risiko7
1) Usia
Kondisi ini umumnya terjadi pada tahun ke 40-60, namun bisa
terjadi dalam umur berapapun.
2) Jenis Kelamin
Dengan rasio laki-laki : perempuan = 3:2
3) Miopi
Sekitar 40% kasus rhegmatogenous retinal detachment adalah
penderita miopi
4) Aphakia
Lebih sering terjadi
5) Degenerasi Retina
6) Trauma
7) Senile Posterior Vitreous Detachment

e. Patogenesis

Gambar 3. Patogenesis ablasio rhegmatogenosa5


Robekan retina terjadi sebagai akibat dari interaksi traksi
dinamik vitreoretina dan adanya kelemahan di retina perifer dengan
faktor predisposisinya yaitu degenerasi synchysis, yaitu pada traksi
vitreoretina dinamik, terjadi likuefaksi dari badan vitreus yang akan
berkembang menjadi lubang pada korteks vitreus posterior yang
tipis pada fovea. Cairan synchytic masuk melalui lubang ke ruang
retrohialoid. Akibatnya terjadi pelepasan permukaan vitreus
posterior dari lapisan sensori retina. Badan vitreus akan menjadi
kolaps ke inferior dan ruang retrohialoid terisi oleh cairan
synchitic. Proses ini dinamakan acute rhegmatogenous PVD with
collapse (acute PVD). Selain itu juga dapat terjadi sebagai akibat
dari komplikasi akut PVD (posterior vitreal detachment). Robekan
yang disebabkan oleh PVD biasanya berbentuk huruf U, berlokasi
di superior fundus dan sering berhubungan dengan perdarahan
vitreus sebagai hasil dari ruptur pembuluh darah retina perifer.5

Gambar 4. Vitreous syneresis5

f. Manifestasi klinis5
1) Gejala Prodromal
Hal ini termasuk “floater” di depan mata (dikarenakan
degenerasi vitreus humor) dan photopsia, yaitu sensasi kilatan
cahaya (dikarenakan iritasi retina oleh pergerakan vitreous
humor).
2) Gejala terlepasnya retina
a. Hilangnya lapang pandang secara perlahan.
b. Kehilangan penglihatan secara tiba-tiba
3) Tanda-tanda
a. Pemeriksaan Eksternal = normal
b. Tekanan Intraokular = biasanya sedikit lebih rendah atau
normal
c. Marcus Gunn Pupil (RAPD)
d. Plane Mirror Examination menunjukkan perubahan refleks
merah pada aera pupil.
e. Ophthalmoscopy, harus dilakukan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Bentuk-bentuk dari kerusakan
retina bermacam-macam.

g. Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan dari ablasio retina adalah untuk
melepaskan traksi vitreoretina serta dapat menutup robekan retina
yang ada. Penutupan robekan dilakukan dengan melakukan adhesi
korioretinal di sekitar robekan melalui diatermi, krioterapi, atau
fotokoagulasi laser. Pembedahan yang sering dilakukan adalah
scleral buckling, pneumatic retinopexy dan intraocular silicone oil
tamponade. Kebanyakan praktisi lebih sering melakukan prosedur
scleral buckling. Penempatan implan diletakkan dalam kantung
sklera yang sudah direseksi yang akan mengeratkan sclera dengan
retina.1,2,5
h. Prognosis
Prognosis ditentukan oleh tatalaksana yang dini, mekanisme
yang mendasari terjadinya ablasio retina, dan adanya keterlibatan
makula.7

2. Ablasio Retina Traksional


a. Etiologi
Penyebab utama dari ablasio retina tipe traksi yaitu retinopati
diabetes proliferative, retinopathy of prematurity, proliferative
sickle cell retinopathy.2
b. Patogenesis
Terjadi pembentukan yang dapat berisi fibroblas, sel glia, atau
sel epitel pigmen retina. Awalnya terjadi penarikan retina sensorik
menjauhi lapisan epitel di sepanjang daerah vascular yang
kemudian dapat menyebar ke bagian retina midperifer dan makula.
Pada ablasio tipe ini permukaan retina akan lebih konkaf dan
sifatnya lebih terlokalisasi tidak mencapai ke ora serata.
Pada mata diabetes terjadi perlekatan yang kuat antara vitreus ke
area proliferasi fibrovaskular yang tidak sempurna. Selanjutnya
terjadi kontraksi progresif dari membran fibrovaskular di daerah
perlekatan vitreoretina yang apabila menyebabkan traksi pembuluh
darah baru akan menimbulkan perdarahan vitreus.
Traksi vitroretinal statis dibagi menjadi; (1) Traksi tangensial,
disebabkan oleh kontraksi membran fibrovaskular epiretina pada
bagian retina dan distorsi pembuluh darah retina. (2) Traksi
anteroposterior, disebabkan oleh kontraksi membran fibrovaskular
yang memanjang dari retina bagian posterior. (3) Traksi bridging
disebabkan oleh kontraksi membran fibrovaskular yang akan
melepaskan retina posterior dengan bagian lainnya atau arkade
vaskular.2
c. Gejala klinis
Fotopsia dan floater sering kali tidak ditemukan. Sedangkan
defek lapang pandang biasanya timbul lambat.
Melalui pemeriksaan oftalmologis akan didapati bentukan yang
konkaf dengan tanpa adanya robekan, dengan elevasi retina
tertinggi di daerah traksi vitreoretinal. Pompa oleh retina akan
menurun sehingga tidak terjadi turn over cairan.5
d. Tatalaksana
Pada vitrektomi pars plana dilakukan pengambilan agen
penyebab traksi. Selanjutnya dapat pula dilakukan tindakan
retinotomi dengan penyuntikan perfluorokarbon untuk meratakan
permukaan retina.5

3. Ablasio Retina Campuran antara Regmatogenosa dengan Traksional


Tipe campuran ini merupakan hasil traksi retina yang kemudian
menyebabkan robekan. Traksi fokal pada daerah proliferasi jaringan
ikat atau fibrovaskular dapat mengakibatkan robekan retina dan
menyebabkan kombinasi ablatio retina regmatogenosa-traksional.6

4. Ablasio Retina Eksudatif


a. Etiologi
Etiologi dari ablasio eksudatif yaitu dapat terjadi secara
spontan, dengan trauma, uveitis, tumor, skleritis, DM, koroiditis,
idiopatik, CVD, Vogt-Koyanagi-Harada syndrome, kongenital,
ARMD, sifilis, reumatoid artritis, atau kelainan vaskular.1,7,8
Tipe ablasio retina ini dapat juga disebabkan oleh akumulasi
darah pada ruang subretina (ablasio retina hemoragika. Penyakit
radang dapat menyebabkan ablasio retina serosa termasuk skleritis
posterior, oftalmia simatetik, penyakit Harada, pars planitis,
penyakit pembuluh darah vaskular. Penyakit vaskular adalah
hipertensi maligna, toksemia gravidarum, oklusi vena retina,
penyakit Coat, penyakit angiomatosa retina, dan pembentukan
neovaskularisasi koroid.1
b. Patogenesis
Ablasio retina eksudatif ditandai dengan adanya akumulasi
cairan pada ruang subretina dimana tidak terjadi robekan retina dan
traksi. Asal cairan ini dari pembuluh darah retina, atau koroid, atau
keduanya. Hal ini dapat terjadi pada penyakit vaskular, radang, atau
neoplasma pada retina, epitel berpigmen, dan koroid dimana cairan
bocor keluar pembuluh darah dan terakumulasi di bawah retina.
Selama epitel berpigmen mampu memompa cairan yang bocor ini
ke sirkulasi koroid, tidak ada akumulasi dalam ruang subretina dan
tidak akan terjadi ablasio retina. Akan teteapi, jika proses berlanjut
dan aktivitas pompa epitel berpigmen normal terganggu, atau jika
aktivitas epitel berpigmen berkurang karena hilangnya epitel
berpigmen atau penurunan suplai metabolik (seperti iskemia),
kemudian cairan mulai berakumulasi dan terjadi ablasio retina.5
Gambar 5. Ablatio Retinae Eksudatif5

c. Gejala klinis

Fotopsia tidak ditemukan. Floater dapat ditemukan pada


vitritis. Defek lapang pandang terjadi cepat. Pada pemeriksaan
oftalmologi, ablatio retinae eksudatif memiliki bentukan yang
konveks dengan permukaan yang halus dan berombak. Retina yang
terlepas bersifat mobile sehingga menimbulkan fenomena shifting
fluid. Leopard spots yaitu area subretinal yang mendatar setelah
terjadi ablasio retina.5
d. Tatalaksana

Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan etiologi yang


mendasarinya. Pada kondisi yang disebabkan oleh inflamasi seperti
pada penyakit Harada dan skleritis posterior maka pemberian
kortikosteroid sistemik diperlukan. Jika disebabkan oleh keganasan,
maka terapi radiasi dapat dilakukan. Pada korioretinopati bulosa
sentral serosa dapat dilakukan laser fotokoagulasi argon. Pada
infeksi diberikan antibiotik.8 Kelainan vaskular dapat diterapi
dengan laser, krioterapi, aviterktomi.8

e. Komplikasi

Dapat terjadi glaukoma neovaskular dengan ptisis bulbi.8

2.5 Jelaskan tentang katarak sinilis!

Katarak senilis merupakan tipe katarak didapat yang timbul karena proses
degeneratif dan umum terjadi pada pasien di atas 50 tahun. Pada usia 70 tahun,
lebih dair 90% individu mengalami katarak senilis. Umumnya mengenai kedua
mata dengan salah satu mata terkena lebih dulu.1
Faktor-faktor yang mempengaruhi onset, tipe, dan maturasi katarak senilis
antara lain, herediter, radiasi sinar UV, faktor makanan, krisis dehidrasional dan
merokok.1,9
Manifestasi dari gejala yang dirasakan oleh pasien penderita katarak terjadi
secara progresif dan merupakan proses yang kronis. Gangguan penglihatan
bervariasi, tergantung pada jenis dari katarak yang diderita pasien. Gejala pada
penderita katarak adalah penurunan visus, silau, perubahan miopik, diplopia
monocular, halo bewarna dan bintik hitam di depan mata.9
Stadium katarak ini dibagai ke dalam 4 stadium, yaitu:9
1. Katarak insipien
Merupakan tahap dimana kekeruhan lensa dapat terdeteksi dengan adanya area
yang jernih diantaranya. Kekeruhan dapat dimulai dari ekuator ke arah sentral
(kuneiform) atau dapat dimulai dari sentral (kupuliform).

Gambar 1. Katarak insipien


2. Katarak imatur
Kekeruhan pada katarak imatur belum mengenai seluruh bagian lensa.
Volume lensa dapat bertambah akibat meningkatnya tekanan osmotik, bahan
lensa yang degeneratif, dan
dapat terjadi glaukoma
sekunder.

Gambar 2. Katarak imatur

3. Katarak matur
Kekeruhan pada katarak matur sudah mengenai seluruh bagian lensa. Deposisi
ion Ca dapat menyebabkan kekeruhan menyeluruh pada derajat maturasi ini.
Bila terus berlanjut, dapat menyebabkan kalsifikasi lensa.
Gambar 3. Katarak matur

4. Katarak hipermatur
Pada stadium ini protein-protein di bagian korteks lensa sudah mencair. Cairan
keluar dari kapsul dan menyebabkan lensa menjadi mengerut.

Gambar 4. Katarak hipermatur

2.6 Jelaskan tentang pemeriksaan tonometri!


Tonometer adalah alat yang mengeksploitasi sifat fisik mata untuk
mendapatkan tekanan intra okular tanpa perlu mengkanulasi mata.10
Tonometer berguna untuk mengukur tekanan intra okuli. Tekanan intra okuli
tergantung dari kecepatan produksi aquos humor, tahanan terhadap aliran
keluarnya dari mata dan tekanan vena episklera. Nilai normal tekanan intra okuli
11- 21 mmHg (rata-rata 16 ± 2,5 mmHg).5
Tonometer secara umum diklasifikasikan menjadi 2 ( dua ) metode :11
1. Metode langsung
Metode langsung : dengan menggunakan kanul di insersikan kedalam bilik
mata depan, dan salah satu ujung yang lain dihubungkan dengan alat
manometrik untuk mengukur tekanan yang diberikan. Walau metode ini
merupakan cara yang paling akurat tapi sangat tidak mungkin oleh karena
sangat diluar kelaziman.
2. Metode tidak langsung
Metode tidak langsung terbagi menjadi
a. Metode kontak terbagi menjadi:
1) Indentasi tonometer11
Secara prinsip sebagai alat pengukur jumlah indentasi ( deformasi
menjadi pipih ) pada kornea terhadap tekanan yang diberikan.
Contoh : tonometer schiotz
2) Applanasi tonometer
Secara prinsip diartikan sebagai alat pengukur besarnya gaya yang
dibutuhkan untuk memipihkan ( mendatarkan ) kornea.11,12
b. Metode non kontak

Pengukuran tekanan bola mata bukan hanya tergantung dari alat yang
sudah terstandarisasi dan terkalibrasi dengan baik tapi juga ketelitian serta
tehnik melakukan tonometer.10,11

Tehnik tonometer
1. Tonometer digital palpasi1,11,13
Merupakan pengukuran bola mata dengan jari pemeriksa;
Alat : Jari telunjuk kedua tangan
Tehnik :
a. Menjelaskan apa saja yang akan kita lakukan pada saat pemeriksaan
b. Pasien disuruh menutup mata
c. Pandangan kedua mata seakan-akan menghadap ke bawah
d. Jari-jari lainnya bersandar pada dahi dan pipi pasien
e. Kedua jari telunjuk menekan bola mata pada bagian belakang kornea
bergantian
f. Satu telunjuk mengimbangi tekanan saat telunjuk lainnya menekan bola
mata

Penilaian:
Cara ini memerlukan pengalaman pemeriksa karena terdapat faktor subjektif
Penilaian dapat dicatat, mata N+1, N+2 , N+3 , atau N-1, N-2, N-3 yang
menyatakan tekanan lebih tinggi atau lebih rendah dari normal.

2. Tonometer Schiotz11,14,15
Merupakan tonometer indentasi atau menekan permukaan kornea(bagian
kornea yang dipipihkan) dengan suatu beban yang dapat bergerak bebas pada
sumbunya. Bila tekanan bola mata lebih rendah maka beban akan
mengindentasi lebih dalam permukaan. kornea dibanding tekanan bola mata
lebih tinggi.
Alat :
Tonometer terdiri dari bagian :
a. Frame : skala, penunjuk, pemegang,tapak berbentuk konkaf
b. Pencelup
c. Beban : 5,5mg ; 7,5 mg ; 10 mg ; 15 mg
Tehnik :
a. Menjelaskan apa saja yang akan kita lakukan pada saat pemeriksaan
b. Pasien diarahkan pada posisi duduk miring atau terlentang dengan kepala
dan mata berada pada posisi vertical .
c. Mata ditetesi anestesi lokal misalnya pantochain lebih kurang satu atau
dua tetes, ditunggu sampai pasien tidak merasa pedas pada matanya.
d. Tonometer harus dibersihkan terlebih dahulu
e. Tonometer diberi pemberat 5,5 gr
f. Tonometer diperiksa dengan batang penguji
g. Kelopak mata pasien dibuka dengan telunjuk dan ibu jari, jangan tertekan
bola mata
h. Pasien diarahkan untuk menatap vertical dapat dibantu dengan alat
( misalnya sinar fiksasi yang berkedip-kedip atau ibu jari pasien )
i. Alat tonometer direndahkan hingga hampir menyentuh kornea,
dinasehatkan agar beberapa detik untuk membiarkan pasien untuk rileks,
sambil pemeriksa mengarahkan bila alat
j. tonometer diletakkan nantinya berada tepat diatas kornea serta skala harus
pada posisi menghadap pemeriksa
k. Tonometer Schiotz harus dipastikan terletak pada kornea kemudian
pemeriksa membaca penunjuk pada skala bacaan tometer
l. Alat diangkat dari mata dan subjek dizinkan untuk mengedipkan kelopak
matanya
m. Bila skala bacaan adalah 4 atau kurang, maka salah satu pemberat pada
pencelup harus ditambah untuk mendapatkan keakuratan tonometri
n. Kemudian pemeriksaan dilanjutkan pada mata yang satunya lagi sesuai
dengan prosedur mata yang terlebih dahulu telah diperiksa
o. Tonometer harus dibersihkan atau disterilkan bila subjek yang diperiksa
diduga mengidap penyakit menular.

Penilaian :
Hasil pembacaan skala dikonversikan dengan tabel yang telah ditentukan
untuk mengetahui tekanan bola mata dalam millimeter air raksa.

2.7 Jelaskan tentang pemeriksaan visus!


Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan fungsi mata.
Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan untuk mengetahui sebab
kelainan mata yang mengakibatkan turunnya tajam penglihatan. Tajam
penglihatan perlu dicatat pada setiap mata yang memberikan keluhan mata. Untuk
mengetahui tajam penglihatan seseorang dapat dilakukan dengan kartu Snellen
dan bila penglihatan kurang maka tajam penglihatan diukur dengan menentukan
kemampuan melihat jumlah jari (hitung jari), ataupun proyeksi sinar. Untuk
besarnya kemampuan mata membedakan bentuk dan rincian benda ditentukan
dengan kemampuan melihat benda terkecil yang masih dapat dilihat pada jarak
tertentu. Biasanya pemeriksaan tajam penglihatan ditentukan dengan melihat
kemampuan membaca huruf-huruf berbagai ukuran pada jarak baku untuk kartu.
Pasiennya dinyatakan dengan angka pecahan seperti 20/20 untuk penglihatan
normal. Pada keadaan ini, mata dapat melihat huruf pada jarak 20 kaki yang
seharusnya dapat dilihat pada jarak tersebut. Tajam penglihatan normal rata-rata
bervariasi antara 6/4 hingga 6/6 (atau 20/15 atau 20/20 kaki). Tajam penglihatan
maksimum berada di daerah fovea, sedangkan beberapa faktor seperti penerangan
umum, kontras, berbagai uji warna, waktu papar, dan kelainan refraksi mata dapat
merubah tajam penglihatan mata.
Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata tanpa atau dengan kacamata.
Setiap mata diperiksa terpisah. Biasakan memeriksa tajam penglihatan kanan
terlebih dahulu kemudian kiri lalu mencatatnya. Dengan gambar kartu Snellen
ditentukan tajam penglihatan dimana mata hanya dapat membedakan dua titik
tersebut membentuk sudut satu menit. Satu huruf hanya dapat dilihat bila seluruh
huruf membentuk sudut lima menit dan setiap bagian dipisahkan dengan sudut
satu menit. Makin jauh huruf harus terlihat, maka makin besar huruf tersebut
harus dibuat karena sudut yang dibentuk harus tetap lima menit.
Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak lima atau enam
meter. Pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau
tanpa akomodasi. Pada pemeriksaan tajam penglihatan dipakai kartu baku atau
standar, misalnya kartu baca Snellen yang setiap hurufnya membentuk sudut lima
menit pada jarak tertentu sehingga huruf pada baris tanda 60, berarti huruf
tersebut membentuk sudut lima menit pada jarak 60 meter; dan pada baris tanda
30, berarti huruf tersebut membentuk sudut lima menit pada jarak 30 meter. Huruf
pada baris tanda 6 adalah huruf yang membentuk sudut lima menit pada jarak
enam meter, sehingga huruf ini pada orang normal akan dapat dilihat dengan
jelas.1
Dengan kartu Snellen standar ini dapat ditentukan tajam penglihatan atau
kemampuan melihat seseorang, seperti : 1
1. Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak
enam meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak
enam meter.
2. Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka
30, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.
3. Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan angka
50, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50.
4. Bila tajam penglihatan adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak
enam meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60
meter.
5. Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen maka
dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada
jarak 60 meter.
6. Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang
diperlihatkan pada jarak tiga meter, maka dinyatakan tajam 3/60. Dengan
pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai dampai 1/60, yang berarti
hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.
7. Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan pasien
yang lebih buruk daripada 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau
lambaian tangan pada jarak 300 meter. Bila mata hanya dapat melihat
lambaian tangan pada jarak satu meter berarti tajam penglihatannya adalah
1/300.
8. Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak dapat
melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam penglihatan 1/~.
Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga.
9. Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka dikatakan
penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta nol.

2.8 Jelaskan tentang pemeriksaan oftalmoskopi!


Oftalmoskop direk memperlihatkan gambaran monokular fundus dengan
perbesaran 15 kali. Karena mudah dibawa dan menghasilkan gambaran diskus
dan struktur vaskular retina yang detil, oftalmoskopi direk merupakan bagian dari
pemeriksaan standar medis umum dan pemeriksaan oftalmologik.2
1. Pemeriksaan Refleks Merah (red refleks)
Jika cahaya pemeriksa tepat sejajar dengan sumbu visual, lubang pupil
normalnya dipenuhi oleh warna jingga kemerahan terang dan homogen.
Refleks merah ini dihasilkan dari pantulan sumber cahaya oleh fundus yang
melalui media mata yang jernih (kornea, aquous, lensa, dan vitreus).
Setiap kekeruhan disepanjang jaras optik pusat akan menghalangi seluruh atau
sebagian refleks merah ini dan tampak sebagai bintik atau bayangan gelap.
Jika terlihat kekeruhan fokal, minta pasien melihat ke tempat lain sejenak dan
kemudian kembali melihat cahaya. Jika kekeruhan ini tetap bergerak atau
melayang, letaknya di dalam vitreus (misalnya perdarahan kecil), namun jika
menetap, agaknya terletak pada lensa (misalnya katarak) atau pada kornea
(misalnya parut).2

2. Pemeriksaan Fundus
Pemeriksaan fundus lebih optimal dilakukan pada ruangan yang gelap
karena menyebabkn dilatasi pupil alami untuk mengevaluasi fundus sentral,
diskus, makula, dan struktur pembuluh darah retina.2
Tahap pemeriksaan fundus :2
1) Meminta pasien menatap objek yang jauh
2) Pemeriksa mula-mula membawa detil retina ke dalam focus
3) Mencari diskus dengan mengikuti salah satu cabang utama pembuluh ke
tempat berbagai cabang tersebut berasal.
4) Berkas sinar oftalmoskopi diarahkan sedikit ke nasal dari garis pandang
pasien.
5) Cermati bentuk, ukuran, warna diskus, ketajaman tepinya, dan ukuran
bagian sentralnya yang lebih pucat (cup). Hitung cup-disc ratio.
6) Daerah makula terletak kira-kira dua kali “diameter diskus optikus” di
sebelah temporal tepi diskus.
7) Sebuah refleksi putih kecil atau “refleks”menjadi petanda fovea sentralis.
Daerah fovea ini dikelilingi oleh daerah berpigmen yang lebih gelap dan
berbatas kurang tegas, disebut makula.
8) Ikuti pembuluh darah retina sesuai masing-masing kuadran (superior,
inferior, temporal, nasal).
9) Vena lebih gelap dan besar dibandingkan arteri. Perhatikan warna,
kelokan, kaliber pembuluh darah, aneurisma, perdarahan atau eksudat.

2.9 Studi Kasus


2.9.1 Mengapa wanita 62 tahun tersebut hanya dapat melihat objek bagian
bawah dan melihat bayangan hitam?
Untuk dapat melihat suatu objek dengan jelas, cahaya harus jatuh
tepat pada retina, karena pada retina, terdapat banyak fotoreseptor
yang berfungsi menangkap cahaya dan mengubahnya menjadi impuls
listrik yang akan dihantarkan sel saraf menuju otak, sehingga kita
dapat mempersepsikan objek yang kita lihat.4
Gambar1. Lapisan Retina, sebagai reseptor cahaya dan fototransduksi.4

Jika retina menjadi terlepas dari tempat yang semula, cahaya akan
tidak jatuh tepat di retina. Pasien akan mempersepsikan sebuah cahaya ialah
sebuah bayangan gelap; pada kasus tertentu bayangan tersebut dipersepsikan
sebagai gelap seutuhnya.16
Perlu diperhatikan pula, bahwa gambar yang dihasilkan dari suatu
lensa cembung bersifat nyata dan terbalik, antara atas dan bawah, kiri dan
kanan. Hal ini juga berlaku pada médium refraksi pada mata kita. Otak telah
mengkompensasi gambar terbalik ini, sehingga kita tidak sadar akan hal ini. 17
Jika pasien mengeluhkan hanya dapat melihat objek bagian bawah saja, itu
berarti terjadi pelepasan retina pada bagian atas.
Gambar 2. Pembentukan bayangan17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Wanita 62 tahun mengalami ablasio retina rhegmatogenous.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi kelima. 2014. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
2. Hardy RA,. Retina dan Tumor Intraokuler. In : Vaughan D.G, Asbury T.,
Riordan E.P, editor. OftalmologiUmumEdisi 14. Jakarta :WidyaMedika.
2000.p. 38-43, 185-99.
3. Sidarta I. 2002. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam :Ilmu Penyakit Mata
Edisi kedua. Jakarta: BP-FKUI. p.10-5.
4. Sherwood L. 2015. Fisiologi manusia dari sel ke sistem, Edisi ke 8. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC.

5. Kanski JJ, Bowling B, editors. Clinical Ophthalmology: a systemic approach.


7th ed. Elsevier, 2011
6. Larkin GL. Retinal Detachment. [series online] 2006 April 11 [cited on 2013
January 15]. Available from URL:
http://www.emedicine.com/emerg/topic504.htm.
7. Gariano RF, Kim CH. Evaluation and Management of Suspected Retinal
Detachment. American Academy of Family Physicians. [series online] 2004
April 1 [cited on 2013 January 15]; vol. 69, no. 7. Available from URL:
http://www.aafp.org/afp/20040401/1691.html.
8. Wu L. Retinal Detachment Exudative. [series online] 2010 Agustus2 [cited on
2013 January 15]. Available from URL:
http://www.emedicine.com/oph/topic407.htm.
9. Pascolini D, Mariotti SP. Global estimates of visual impairment: 2010. BR J Ophthalmol.
2011.
10. Tasman W, Tonometry in Duane’s Clinical Opthalmology, Chapter 47,
Volume 3, Lippincott Williams and Wilkins, New York, 2004, Hal 1-7
11. Nema HV; Nema N, Tonometry in Diagnostic Procedures in Ophthalmology,
Chapter 4, Jaypee Brothers Medical Publishers ( P ) LTD, New Delhi, 2002,
Hal 44-49
12. Stamper RL; Lieberman MF; Drake MV, Intraocular Pressure in Diagnostic
and Therapy of the Glaucomas Becker Shaffer’s, Chapter 5, Edisi 7, Mosby,
California, 1999, Hal 65-74
13. Pavan D; Langston, Ocular Examination Techniques and Diagnostic Test in
Manual of Ocular Diagnosis and Therapy, Chapter 1, Edition 5, Lippincott
Williams Wilkins, USA, 2002, Hal 9-11
14. Vaughan D; Asbury T, Tonometri pada Ofthalmologi Umum, Chapter 2, Edisi
14, Widya Medika, Jakarta, 2004, Hal 39-41
15. Ang CL; Chee SP; Jap AHE, Primary Open Angle Glaukoma in Clinical
Ophthalmology,Chapter 2, A Publication of Singapore National Eye Center,
Singapura, 2005, Hal 137-149
16. Feltgen N, Walter P. Rhegmatogenous Retinal Detachment—an
Ophthalmologic Emergency. Dtsch Ärztebl Int. 2014 Jan;111(1–2):12–22.
17. Martini F, Nath JL, Bartholomew EF. Fundamentals of anatomy &
physiology. Tenth edition. Boston: Pearson; 2015. 1 p

Anda mungkin juga menyukai