PENDAHULUAN
Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus pterygium
cukup sering didapati. Mereka yang sering bekerja di bawah cahaya matahari atau
penghuni di negara tropika. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar
matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh papaparan alergen, iritasi
berulang (misal karena debu atau kekeringan), karena sering terdapat pada orang yang
sebagian besar hidupnya berada pada di lingkungan berangin, penuh sinar matahari,
berdebu dan berpasir. 1
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di
sisi nasal. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan
oleh jaringan hialin dan elastik. Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke
daerah pupil, lesi harus diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea
superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi
lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.2
BAB II
LAPORAN KASUS
1
I.
II.
Identitas Pasien
Nama
: Tn. Santoso
Usia
: 64 tahun
Jenis kelamin
: Laki-Laki
Alamat
: Karet
Pekerjaan
: Karyawan swasta
Pendidikan
: SLTA
Suku Bangsa
: Indonesia
Agama
: Islam
Pemeriksa
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 6 Januari
2016 di poli Mata RSAL Dr.Mintohardjo
Keluhan Utama
Keluhan tambahan
keluhan kedua mata nyeri tiba-tiba sejak 1 minggu yang lalu. Os mengaku,
awalnya saat melakukan pekerjaannya sebagai sopir swasta yang sedang
mengendarai kendaraannya dari Ngawi menuju Semarang os hampir tiap saat
membuka kaca mobil dengan maksud tidak terus-terusan terkena AC mobil.
Saat melanjutkan perjalanan dari Semarang menuju Jakarta, os mulai merasa
kedua matanya terasa kabur dan berair disertai rasa nyeri. Keesokan harinya
setiba di jakarta, os ke Puskesmas tetapi tidak diberi obat melainkan dirujuk ke
RSAL. Selain itu, os juga mengeluhkan saat ini tiap terkena kipas angin atau
naik motor tanpa pelindung mata, kedua matanya menjadi cepat merah dan
nyeri dan terasa ada yang mengganjal di kedua mata.
2
sama
III.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Kesadaran
: compos mentis
Tanda vital
IV.
Suhu
: 36 0C
Nadi
: 86 x/menit
Pernapasan
: 20x/menit
Tekanan Darah
: 130/90 mmHg
Pemeriksaan Mata
: Status lokalis
Mata Kanan
Sentral, normal
6/20 S-1,50 6/6
Ke segala arah
Edema (-)
Hiperemi (+), sekret (-), Papil yang
Kedudukan
Visus
Pergerakan
Palpebrae
Konjungtiva
Mata Kiri
Sentral, normal
6/20 S-1,00 C-0,50 x 105 6/6
Ke segala arah
Edema (-)
Hiperemi (+), sekret (-) , Papil
yang besar( coble stone), tampak
Sklera
Kornea
Iris
Lensa
Pupil
+ 3 mm
+ 3 mm
V.
Funduskopi
Tonometri
Tes Fluorescen
Palpasi
Diagnosis Kerja
Pterigium
VI.
Diagnosis Banding
pseudopterigium
VII.
Rencana Tatalaksana
1.Terapi Non-medikamentosa
4
Prognosis
Ad Vitam : Ad Bonam
Ad Fungsionam : Ad Bonam
Ad Sanationam : Ad Bonam
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Pasien datang ke poliklinik mata dengan keluhan kedua mata nyeri tiba-tiba
sejak 1 minggu yang lalu. Os mengaku, awalnya saat melakukan pekerjaannya
sebagai sopir swasta yang sedang mengendarai kendaraannya dari Ngawi menuju
Semarang os hampir tiap saat membuka kaca mobil dengan maksud tidak terusterusan terkena AC mobil. Saat melanjutkan perjalanan dari Semarang menuju
Jakarta, os mulai merasa kedua matanya terasa kabur dan berair disertai rasa nyeri.
5
2.1.2Anatomi Kornea
Kornea merupakan lapisan jaringan yang menutup bola mata bagian depan, bening,
dan tembus cahaya.4
Kornea terdiri dari 5 lapisan, yaitu:
Epitel
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5-6 lapis sel epitel tidak bertanduksaling tumpang
tindih;sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat proses mitosis sehingga sel muda ini terdorong ke
depanmenjadi sel gepeng. Sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan
sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden. Ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.
Membran Bowman
7
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagentersusun tidak
teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Stroma
Terdiri atassusunan kolagen yang sejajar satu sama lain. Pada permukaan terlihat
sebagai anyaman yang teratur, sedangkan di bagian perifer serat kolagenbercabang.
Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama, kadanghingga 15 bulan.
Keratosit merupakan sel stroma korneayang terletak di antara serat kolagen stroma,
berperan sebagai fibroblas. Diduga keratosit membentuk bahan dasar serta serat
kolagen pada masa perkembangan embrio dan sesudah terjadi trauma.4
MembranDescement
Merupakan membran aselular dan batas belakang stroma kornea. Dihasilkan oleh sel
endotel dan merupakan membran basalnya.
Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, serta mempunyai tebal
40m.4
Endotel
Berasal dari mesotelium,berlapis satu, berbentuk heksagonal, dan berukuran 2040m. Endotel melekat pada membran descement melalui hemidesmosom dan zonula
okluden.4
2.2Definisi Pterigium
Pterygium (baca:ter igee um) berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya
wing atau sayap. Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva
yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.4
Radiasi ultraviolet
Faktor risiko utama yang berasal dari lingkungan sebagai penyebab timbulnya
pterigium adalahpaparan sinar matahari. Sinar ultraviolet yang diabsorbsi oleh kornea
dan konjungtiva akan mengakibatkan kerusakandan proliferasi sel. Iklim dan waktu
berada di luar ruangan merupakan faktor penting yang mempegaruhi paparan radiasi
ultraviolet.
Faktor Genetik
berdasarkan
penelitian
case
control
menunjukkan
bahwa
Faktor lain
10
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal sebagai
teori baru patogenesis dari pterigium. Wong juga menunjukkan adanya pterygium
angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy antiangiogenesis sebagai
terapi. Debu, kelembaban yang rendah,trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry
eye,dan virus papilloma juga dapat menjadi penyebab pterigium.9
2.5 Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan
ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan
konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.6
Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang
sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran
pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis
dialirkan ke meatus nasi inferior.6
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak
langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak
langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih
sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.6
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan
proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi
kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat
dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan
elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini
tidak bisa dihancurkan oleh elastase.3
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel
yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E . Berbentuk ulat
atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari
jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular
sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic,
hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari
sel goblet.8
11
pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis
visual sehingga tajam penglihatan menurun.3
12
Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman
pada kornea
Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea
Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung
Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan
badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang
tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis
menurut Youngson ):
Derajat 1
Derajat 2
Derajat 3
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil
sekitar 3-4 mm)
Derajat 4
mengganggu penglihatan.3
2.8 Diagnosa
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua
mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada
selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya
menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi.
Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari
biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar
matahari atau partikel debu.9
13
Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visus terpengaruh.
Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium
tersebut.9 Dengan menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat
dilalui oleh sonde seperti pada pseudopterigium.3
2.8.1 Diagnosa Banding
Pinguekula
Pseudopterigium
14
Sebab
Pseudopterigium
Reaksi tubuh penyembuhan
dari luka bakar, GO, difteri,
Sonde
Tak
dapat
Kekambuhan
Usia
bawahnya
Residif
Dewasa
dimasukkan
dll.
di Dapat dimasukkan dibawahnya
Tidak
Anak
2.9 Terapi
Non Farmakologi
Konservatif
15
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan
steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan
kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau
mengalami kelainan pada kornea.3
Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut
ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior
untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu
memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC)
sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari
pemakaian MMC juga cukup berat.3
Indikasi Operasi
o
Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik
bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena
tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi
pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih
memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.
Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan
halus dari permukaan kornea.10
Mencangkok
membran
amnion
juga
telah
digunakan
untuk
mencegah
persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama
autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion
biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan
stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan
lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral
dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.10
18
Sinar Beta.
6minggu,
diberikan
bersamaan
dengan
salep
antibiotik
Iritasi
Infeksi
Ulkus kornea
Diplopia
Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah
memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi
sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant
membran amnion pada saat eksisi.3
2.11 Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan,
petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai
kacamata pelindung sinar matahari.6
19
2.12 Prognosis
Ketajaman penglihatan dan dari segi kosmetik pasien setelah pterigium
dieksisi menjadi baik. Rasa tidak nyaman pada hari pertama setelah operasi dapat
ditoleransi. Kebanyakan pasien setelah 48 jam pasca operasi sudah dapat beraktivitas
kembali.6
Rekurensi pterigium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk
mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit,
antineoplasia, dan transplantasi konjungtiva. Pasien denganpterigium yang berulang
dapat
dilakukan
kembali
prosedur
pengangkatan
dengan
cara
eksisi
20
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ofthalmology. 2012. www.AAO.org
2. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P. Whitcher edisi
17Jakarta : EGC, 2009 Hal 119
3. Available at www.inascrs.org/pterygium/
4. Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Konjungtiva: Oftalmologi umum. Edisi
ke-17. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. 2013.
5. FisherJP.
Pterygium.
Dikutip
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview.
dari:
Diakses
pada:
31
Agustus 2015.
6. Ilyas S. Mata merah: Penuntun ilmu penyakit mata. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.2013.
7. Lazuarni. Prevalensi pterigium di Kabupaten Langkat 2010. Tesis. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Medan. 2011.
8. Khurana AK. Community ophthalmology in comprehensive ophthalmology. 4th
ed.New Delhi: New Age International Limited Publisher. 2007.
9. Tjahjono DG,Gilbert SWS. Pterigium: Panduan managemenklinis Perdani. Jakarta:
CV Ondo. 2006.
10. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management
of Pterygium http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm?
21