DAN
EDEMA PARU
Edema
paru
merupakan
penyakit
sekunder
dimana
mengalami
proses
penumpumpukan cairan di bagian interstisial dan alveoli paru yang menyebabkan hipoksemia
dan peningkatan usaha untuk bernapas. Secara konseptual, edema paru dapat diklasifikasikan
menjadi 4 kategori yaitu, hidostatik, peningkatan permeabilitas kapiler, insufisiensi limfatik
dan etiologi yang belum jelas. (Gambar 7-1). Sesuai gambar 7-1 kehamilan yang
berhubungan dengan edema paru dapat dikategorikan menjadi 3-4 kategori. Yang paling
sering adalah pada kehamilan post partum sesuai yang tertera di tabel 7-1. Edema paru yang
yang disebabkan oleh tokolitik (Tabel 7-2) dan yang disebabkan oleh preeklamsia merupakan
etiologi yang kompleks dimana perubahan permeabilitas vaskular dan perbedaan gradien
antara tekanan pulmonal dan tekanan onkotik tetap memegang peranan penting pada etiologi
edema paru (Gambar 7-2).
Kardiomiopati peripartum merupakan penyakit dimana terjadi disfungsi sistolik pada
ventrikel kiri jantung yang berkembang pada bulan bulan akhir kehamilan sampai 5 bulan
post partum. Penyakit ini belum diketahui penyebabnya dan biasanya diikuti juga dengan
congestive heart failure di akhir usia kehamilan atau di masa post partum. Disamping gejala
terlihat pada bulan bulan akhir kehamilan, gejala juga dapat terlihat di trimester kedua
kehamilan. Di Amerika Serikat, telah dilaporkan angka kejadian kardiomiopati peripartum
adalah 1 dalam 3000-4000 kelahiran. Angka kejadian di seluruh dunia bervariasi, telah
dilaporkan pula angka resiko 1:100. Faktor risiko kardiomiopati peripartum dapat dilihat di
tabel 7-4. Edema paru pada pasien kardiomiopati peripartum terdapat gangguan hidrostatik
secara alami dan gangguan sistolik pada ventrikel jantungnya.
Preeklamsia-eklamsia
Tokolitik
Penyakit jantung
- Disfungsi ventrikel kiri
- Stenosis mitral
- Kardiomiopati
Infeksi
- Pieloneefritis / sepsis
- Varicella pneumonia
Gangguan tiroid
Infeksi
Kehamilan multipara
Pemakaian tokolitik yang lama
Kebutuhan multiple tocolytics
Terapi cairan yang terlalu banyak
Penyakit jantung yang tidak terdiagnosis
tersebut tidak memiliki tanda tanda preeklamsia ringan. Pasien juga mengeluhkan dirinya
sering sekali terasa cepat lelah. Dua hari sebelumnya pasien datang ke unit gawat darurat
dengan batuk, sesak yang semakin lama semakin berat ketika sedang melakukan aktifitas.
Pada pemeriksaan fisik, tekanan darah pasien 140/65 mmHg, nadi 130 x/menit, pernapasan
35 x/menit, saturasi oksigen 86%, suhu normal. Pada pemeriksaan auskultasi thorax terdengar
rales dan ronkhi, gallop pada S3, dan distensi vena jugularis. Terlihat juga adnya pitting edem
pada ekstremitas bawah. Pada pemeriksaan analisa gas darah pH 7,46, PaO2 140 mmHg,
PaCO2 32 mmHg, dan HCO3- 24 mEq/L
Pasien sudah diberikan oksigen melalui BIPAP (BIlevel Positive Airway Pressure), 2 mg
morfin sulfat IV dan 40mg furosemid IV. Pada pemeriksaan foto thorax terlihat rongga udara
pada kedua paru, infiltrat perihilar, dan sedikit efusi pleura pada kedua paru. Terlihat pura
kemungkinan kardiomegali. Pada pemeriksaan darah lengkap dan metabolik, didapatkan hasil
yang menurun. Pada pemeriksaan EKG terlihat pembesaran atrium kiri, sinus takikardi,
diffuse T-wave inversion, peningkatan QRS pada lead V1-V6. D-dimer dan enzim jantung
menunjukkan hasil normal. Hasil BNP meningkat sampai 900 pg/mL.
Sebagai terapi awal, pasien melakukan EKG dan ditemukan hipokinesis dengan dilatasi
ventrikel kiri. Terdapat juga regurgitasi pada katup mitral, pembesaran atrium kiri, dan LVEF
23%. Melihat hasil pemeriksaan, maka pasien ini didiagnosis kardiomiopati, CHF, dan edema
paru. Penatalaksanaan selanjutnya pada pasien ini menjadi semakin diperhatikan dan
melibatkan banyak multidisipliner dari bagian kardiovaskular dan paru. Pasien dipindahkan
ke ruangan yang memiliki alat alat untuk memonitor perkembangannya.
Setelah pemberian ACE inhibitor dan furosemif, diberikan profilaksis untuk tromboemboli
vena dengan 40mg Enoxaparin SC. Dobutamin dan nitrogliserin IV mulai diberikan.
Kemudian tiba-tiba pasien menjadi hipotensi (>90/60 mmHg) dan mulai diberikan
norepinefrin 2mcg/menit IV. CVC mulai dipasang. Hipoksemia semakin memburuk dan
pasien diputuskan untuk diintubasi, diberikan sedasi dan menggunakan ventilasi mekanik.
Pada perawatan hari ke-3, dosis norepinefrin semakin dikurangi dan lama kelamaan
dihentikan. Sistolik pasien mulai naik di atas 90mmHg. Nesiritide, yang merupakan
rekombinan dari BNP digunakan untuk gagal jantung yang sudah tidak bisa dikompensasi
oleh pasien dengan dosis 2mcg/kg bolus. Hipoksemia kemudian mulai membaik dan pasien
diekstubasi. Keadaan pasien berangsur angsur mulai membaik terlihat dari gambaran EKG.
Kemudian pasien mulai diberikan metaprolol. Karena keluhan pasien muncul setelah pasien
melahirkan, maka dibuatlah diganosis kardiomiopati peripartum.
Diskusi
Pada kasus ini dibahas tentang menejemen hidostatika pada edema paru dan patofisiologi
kardiomiopati. Kaidiomiopati peripartum yang terdiagnosis pada 2 minggu awal postpartum
sering susah dibedakan dengan preeklamsia atau penyakit lain yang memiliki gambaran klinis
yang sama.
Pasien ini menunjukkan adanya CHF dan edema paru. Untuk itu penting menejeman
penatalaksanaan yang sesuai dengan kondisinya sekarang. Sebagai penyakit sekunder, edema
paru perlu diperhatikan mengenai tipe edemanya. Karena keluhan tidak sama seperti biasanya
maka stabilisasi keadaan pasien ini sangatlah penting. Sesak napas sering dijumpai pula pada
kehamilan normal dan pasien postpartum. Nyeri dada dan gejala MCI relatif sering menyertai
juga.
Batuk dan sesak merupakan gejala yang sering muncul. Pada perdarahan post partum
keparahan pada gejala yang ada tidak menunjukkan tingkat keparahan dari proses
penyakitnya. Pada pasien ini terdapat risiko untuk terjadinya cardiorespiratory arrest.
Pemeriksaan dengan menggunakan pulse oxymetri merupakan cara mudah untuk mendeteksi
adanya hipoksemia pada pasien ini. Selain menggunakan pulse oxymetri, pemeriksaan analisa
gas darah dan hemodinamik juga sangat penting untuk menilai adanya hipoksemia atau tidak.
Kardiomiopati peripartum dapat muncul selama masa kehamilan dengan angka kejadian
20%. Evaluasi dari keadaan janin, termasuk penilaian usia gestasi, penentuan rencana
persalinan, serta kortikosteroid untuk maturasi paru bayi ketika sudah lahir perlu diperhatikan
lebih. Edema paru dapat muncul selama atau setelah masa kehamilan, tergantung dari
etiologinya.
Ingat ABC
Memberikan jalan napas yang adekuat (A) dengan oksigenasi dan ventilasi yang baik (B)
selalu menjadi langkah awal penanganan semua pasien sakit. Laju pernapasan nmengalami
perubahan walau sedikit selama masa kehamilan. Untuk itu, peningkatan laju pernapasan
dapat
diindikasikan
peningkatan
usaha
dalam
bernapas.
Pulse
oximetry
dapat
mengindikasikan saturasi hemoglobin dan oksigen. Pada pasien yang hamil maupun tidak
yang tidak terdapat penyakit paru kronik maka paling tidak saturasi oksigen harus berada
pada angka 94%. Jika pasien memperlihatkan tanda hipoksemia maka segera diberikan
masker breathing dan naikkan oksigen. Ventilasi pernapasan harus memperlihatkan
pertukaran gas yang baik, untuk itu pemeriksaan analisa gas darah merupakan pemeriksaan
kedua terpenting setelah pulse oximetry.
Sirkulasi (C) mengarah pada pemeriksaan tekanan darah dan nadi. Jika terjadi peningkatan
nadi (>110/menit) maka dapat dicurigai pasien tersebut mengalami hipoksemia. Dalam hal ini
tekanan darah dapat meningkat, menurun atau bahkan stabil.
Pemeriksaaan Janin
Jika pasien tersebut hamil atau dalam masa postpartum, status janin dan usia gestasi dapat
memberikan clue untuk etiologi insufisiensi kardiorespiratori maternal. Preeklamsia dapat
muncul sebagai insufisiensi respiratori dari edema pulmonal. Tokolitik dan atau infeksi
intrauterin dapat terlihat pada masa preterm. Jika janin berada pada usia gestasi >24minggu,
perlu dilakukan monitoring heart rate janin. Persalinan bukan selalu merupakan pilihan yang
tepat, tetapi penatalaksanaan bergantung pada etiologinya. Evaluasi berat janin, usia gestasi,
perkembangan serta kelainan janin yang terlihat pada pemeriksaan USG sangat
direkomendasikan.
Menentukan apakah etiologi berasal dari paru, jantung atau penyebab lain
Secara konseptual, penilaian diagnostik yang utama adalah menentukan apakah hipoksemia
berasal dari respiratori atau non respiratori.
Proses penanganan pada kasus paru umumnya dengan mengurangi cairan yang berada di
dalam paru. Proses disfungsi dari jantung juga dapat menyebabkan penumpukan cairan pada
paru paru. Namun, peningkatan edema dan hipoksemia adalah hasil dari edema hidrostatik
karena gagalnya kerja dari pompa jantung. Perpindahan cairan ke alveolar paru tergantung
pada beberapa faktor yang saling terkait.
Pengobatan hipoksia didasarkan pada etiologi yang mendasarinya dan juga faktor faktor
lain yang mempengaruhi adanya cairan dalam paru paru. Permeabilitas kapiler tergantung
pada sifat yang melekat pada membran ataupun patofisiologi itu sendiri yang mempengaruhi
permeabilitas. Kebocoran cairan onkotik dan hidrostatik secara langsung dapat ditangani
dengan terapi ekspander plasma atau koloid. Pengobatan masalah onkotik dapat dilakukan
dengan pengurangan cairan dalam paru.
dengan adanya Echo, maka dokter memiliki sarana noninvasive untuk melihat fungsi jantung
secara utuh.
Oleh karena itu, menejemen primer terhadap pasien ini adalah mengatasi faktor faktor yang
dapat menyebabkan hipoksiia dan gagal jantung. Pada keadaan hipervolemia, proses diuresis
dengan menggunakan diuretik loop (seperti furosemide 40mg IV pada keadaan tidak hamil
atau 20mg IV pada keadaan hamil) adalah terapi awal yang sangat baik.pengisian ventrikel
kiri harus dioptimalkan untuk proses preload sampai sekitar 14-18mmHg. Kalau proses
pengisian ventrikel sudah optimal, langkah selanjutnya adalah perfusi. Vasopresor, agen
inotropik, dan pengurangan afterload mungkin diperlukan. Tekanan darah dan perfusi harus
seimbang.
Emboli paru
Asma
Terapi tokolitik
Preeklamsia
Jantung
CHF
Kardiomiopati peripartum
Penyakit katup jantung (stenosis
mitral)
ACS, infark
Kardiomiopati yang disebabkan oleh
virus atau obat obatan.
Studi pada pasien yang telah sembuh dari kardiomiopati peripartum memiliiki resiko gagal
jantung pada kehamilan berikutnya. Sebanyak 20% pasien yang sebelumnya memiliki fungsi
ventrikel kiri yang masih normal akan berlanjut kepada CHF selama masa kehamilan. Sekitar
45% pasien yang mengalami kelainan fungsi jantung akan memiliki CHF selama kehamilan
selanjutnya. Risiko dapat terjadi jika fungsi organ yang tadinya normal akan semakin
memburuk di kehamilan berikutnya. Untuk itu, kehamilan dapat mengecilkan hati pasien jika
sebelumnya pernah didiagnosa kardiomiopati peripartum. Walaupun pasien tersebut teloah
mengalami pemulihan pada fungsi organ tetapi perlu dipahami bahwa resiko akan tetap ada
pada kehamilan berikutnya. Konseling pra hamil dan kontrasepsi perlu dilakukan.