Anda di halaman 1dari 8

BAB1

PENDAHULUAN

A.

LatarBelakangMasalah
Katarak merupakan keadaan dimana terjadi kekeruhan pada serabut atau
bahan lensa di dalam kapsul lensa (Ilyas, 2003b). Katarak tidak hanya
mengenai orang tua lanjut usia, tetapi katarak dapat juga terjadi akibat
kelainan bawaan, kecelakaan, keracunan obat (Ilyas, 2003a).
Katarak kerap disebut-sebut sebagai penyebab kebutaan nomor satu di
Indonesia . Bahkan, mengacu pada data World Health Organization
(WHO) katarak menyumbang sekitar 48% kasus kebutaan didunia
(Widyaningtyas, 2009 ).
WHO memperkirakan terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia,
dimana sepertiganya berada di Asia Tenggara. Diperkirakan 12 orang menjadi
buta tiap menit di dunia, dan 4 orang diantaranya berasal dari Asia Tenggara,
sedangkan di Indonesia diperkirakan setiap menit ada satu orang menjadi
buta. Sebagian besar orang buta (tunanetra) di Indonesia berada di daerah
miskin dengan kondisi sosial ekonomi di Indonesia saat ini berbanding lurus
dengan jumlah penduduk usia lanjut yang pada tahun 2000 diperkirakan
sebesar 15,3 juta (7,4% dari total penduduk). Jumlah dimaksud cenderung
akan bertamah besar. Jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia pada tahun
2025 akan mengalami peningkatan sebesar 41,4 juta penduduk dibandingkan
dengan keadaan pada tahun 2001. Ini merupakan persentase kenaikan paling
tinggi di seluruh dunia, karena pada periode waktu yang sama kenaikan di
beberapa negara secara berturut-turut adalah Kenya 347%, Brazil 255%, India

242%, China 220%, Jepang 129%, Jerman 66% dan Swedia 33% (Kinsella &
Tonber, 2004).
Diketahui bahwa persentase kebutaan pertama di Indonesia ialah katarak
yaitu sebanyak 0.70% (Ilyas, 2003a). Berdasarkan data yang diperoleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dalam Riskesdas tahun 2013,
prevalensi katarak tertinggi terdapat di Sulawesi Utara (3,7%). Data yang
diperoleh berdasarkan rekapitulasi rekam medis di Balai Kesehatan Mata
Masyarakat (BKMM) Provinsi Sulawesi Utara selama bulan Januari sampai
Juni tahun 2014 adalah sebanyak 1116 kunjungan. Berdasarkan data di atas,
penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian katarak di Balai Kesehatan Mata Masyarakat
(BKMM) provinsi Sulawesi Utara.
Tingkat kebutaan yang diakibatkan katarak di Indonesia merupakan yang
tertinggi di Asia Tenggara, yaitu sebesar 1,5% sedangkan, tingkat kebutaan di
Indonesia berada diurutan ketiga di dunia yaitu sebesar 1,47% (WHO, 2010 ).
Tingginya katarak di Indonesia dipengaruhi oleh letak geografis yang
berada di daerah garis khatulistiwa sehingga berdasarkan penelitan menilai
resiko 15 tahun lebih cepat terkena katarak dibanding penduduk di Eropa
(Rahmi,2008).
Katarak tidak dapat dicegah kecuali pada kebutaannya yaitu dengan
tindakan operasi. Katarak merupakan penyakit degenaratif namun saat ini
katarak juga telah ditemukan pada usia muda (35-40 tahun). Selama ini
katarak dijumpai pada orang yang berusia diatas 55 tahun sehingga sering
diremehkan kaum muda. Hal ini disebabkan kurangnya asupan Gizi dan
nutrisi yang dibutuhkan tubuh (Irawan, 2008).
Kebutaan yang terjadi akibat katarak akan terus meningkat karena

penderita katarak tidak menyadarinya, daya penglihatan baru terpengaruh


setalah katarak berkembang sekitar 3-5 tahun dan menyadari penyakitnya
setelah memasuki stadium kritis. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan
mengenai gejala katarak. Salah satu penyebab tingginya kasus kebutaan yang
diakibatkan oleh katarak karena kurangnya perhatian masyarakat terhadap
kesehatan mata ( Irawan, 2008 ).
Sebagian besar penyebab

terjadinya

penyakit

katarak

karena

bertambahnya usia atau proses degeneratif seseorang. Pada umumnya


penyakit ini beresiko pada usia lanjut, data statistik juga menunjukkan sekitar
90% penderita katarak berada pada usia di atas 55 tahun. Sekitar 50% orang
yang berusia 75 sampai 85 tahun daya penglihatannya berkurang akibat
katarak(Subroto,2006).
Sperduto dan Hiller menyatakan bahwa katarak ditemukan lebih sering
pada wanita dibanding pria. Pada penelitian lain , rasio pria dan wanita adalah
1:8 dengan dominasi pasien wanita yang berusia antara 65 sampai 75 tahun
dan menjalani operasi katarak ( Nishikori dan Yamomoto, 2009 ).
Melihat dari keadaan katarak yang tidak dapat dicegah dan hanya bisa di
obati keadaan kebutaannya dengan tindakan bedah. Ada beberapa tindakan
bedah yang dapat dilakukan untuk mengobati kebutaan pada pasien katarak
yaitu dengan menggunakan Fakoemulsifikasi, Ekstraksi Katarak Intrakapsular
(EKIK), Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular (EKEK) dan Small Incision
Catarac Surgery (SICS).
Fakoemulsifikasi merupakan teknik operasi EKEK yang berbeda dari
standar EKEK dari segi ukuran sayatan yang diperlukan dan metode
pengangkatan nukleusnya. Teknik ini menggunakan jarum yang digerakkan

oleh ultrasound untuk memecah nucleus katarak tersebut di aspirasi oleh alat
fakoemulsifikasi (American Academy of Ophthalmology,1999).
Keuntungan dari teknik ini ialah luka yang ditimbulkan hanya sedikit
sehingga proses penyembuhan luka dan rehabilitasi visual cepat selesai
(American Academy of Ophthalmology, 1999).
Operasi katarak fakoemulsifikasi merupakan teknik operasi dengan
memecah

nucleus

lensa

menjadi

fragmen-fragmen

kecil

dengan

memanfaatkan energy ultrasonic intensitas tinggi, kemudian diikuti dengan


aspirasi fragmen-fragmen lensa. Salah satu komplikasi fakoemulsifikasi yang
dapat menggangu tajam penglihatan antara lain menurunya jumlah sel endotel
kornea akibat energy panas yang dikeluarkan mesin fakoemulsifikasi. Jumlah
sel endotel kornea dapat berkurang melalui beberapa cara. Salah satunya
adalah timbulnya radikal-radikal bebas akibat gelombang ultrasonic (U/S)
selama proses fakoemulsifikasi. Efek gelombang ini pada humor akuos
menginduksi timbulnya kavitasi yang secara langsung menyebabkan
disintegrasi molekul air (sonolisis air) menyebabkan terbentuknya radikalradikal- hidroksil dan atom hydrogen. Radikal hidroksil merupakan molekul
oksigen reaktif yang paling poten.
Asam askorbat merupakan antioksidan uyang larut dalam air. Sebagai
antioksidan, peranan utama asam askorbat adalah menetralisasi radikal bebas
yang terbentuk selama proses fakoemulsifikasi. Netralisasi Reactive Oxygen
Species (ROS) oleh askorbat menghasilkan turunan radikal bebas askorbil.
Pasangan radikal-radikal bebas askorbil secara spontan akan mengurai dengan
hilangnya electron yang tidak mempunyai pasangan (e-) sehingga
menghasilkan dehidroaskorbat. Pada beberapa jaringan, radikal bebas askorbil

diubah

menjadi

askorbat

oleh

reduktase

radikal

bebas

askorbil.

Dehidroaskorbat dikonversi menjadi askorbat melalui proses enzimatik yang


melibatkan glutathione dan nicotinamide adenine dinucluetide phosphate
(NADPH) dan satu atau lebih dehydroascorbate (DHAA) reduktase. Di lain
pihak, pada pH dan suhu sebagian besar cairan tubuh, terjadi reaksi kelima
dimana DHAA mengurai dengan waktu paruh 6 menit dalam proses
ireversibel secara biologic ke bentuk asam diketogulonat.


(78)



Artinya:
Dan Allah mengeluarkan kamu dariperut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun. Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati agar kamu bersyukur. (16: 78)

B.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian kali ini adalah:
Apakah terdapat hubungan antara

lama

waktu

tindakan

fakoemulsifikasi terhadap tekanan intraocular pada pasien post operasi


C.

katarak?
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tindaknya hubungan lama
waktu tindakan fakoemulsifikasi terhadap tekanan intraokuler pada pasien
post operasi katarak.
2. Tujuan khusus

a. Untuk mengidentifikasi berapa besar hubungan lama waktu tindakan


fakoemulsifikasi terhadap tekanan intraokuler

pada pasien post

operasi katarak.
b. Untuk mengidentifikasi persentase usia penderita katarak.
c. Untuk mengetahui efektifitas pada penderita katarak.

D.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:
1. Pengembangan ilmu pengetahuan diharapkan dapat memberi referensi
ilmiah untuk penelitian lebih lanjut tentang hubungan lama waktu tindakan
fakoemulsifikasi terhadap tekanan intraokuler pada pasien post operasi
katarak.
2. Kepada praktisi kesehatan apabila terbukti menurunkan tekanan
intraokuler pada penderita katarak maka fakoemulsifikasi dapat digunakan
sebagai tindakan pengobatan bagi penderita katarak

E.

Keaslian Penelitian

Nama
peneliti

Bellarinat
asari, N .
et al

Tahun

2011

Judul

Hasil

The Role of
Ascrobic Acid
on Endothelial
Cell Damage in
Phacoemulsifica
tion

Hasil penelitian ini


pemberian asam
askorbat oral dapat
menurunkan
kerusakan sel endotel
kornea, yang ditandai
dengan penurunan
rerata jumlah
kerusakan sel endotel
kornea sentral,
dibandingkan dengan
kelompok kontrol
(%)

Perbedaan

Pada penelitian
saya tidak
dilakukan
pemberian asam
askorbat oral

Anda mungkin juga menyukai