Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF TUTORIAL KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN
13 Juli 2019
UNIV. ALKHAIRAAT PALU

LAPORAN TUTORIAL KLINIK


“KEJANG”

Disusun Oleh:
Siti Ranisa Fatirahma 14.18.777.14.286
Muhammad Zhafran Natsir 14.18.777.14.295
Nurjannah 13.18.777.14.318
Yustiadi H.T Kasuba 13.18.777.14.320
Gusti Agung Ayu Diah 13.18.777.14.314
Agistiya Magfirah 13.17.777.14.251

Pembimbing:
dr. Isnaniah, Sp. S

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2019
I. IDENTITAS
Nama : Tn. P
Umur : 62 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Suku Bangsa : Kaili
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 01Juli 2019
Tanggal Pemeriksaan : 01 Juli 2019

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang:
Seorang laki-laki berusia 62 tahun MRS diantar keluarganya dengan keluhan
kejang 1 kali selama kurang lebih 10 menit sejak 1 jam yang lalu, menurut
keluarga pasien kejang ini timbul tiba-tiba saat pasien sedang tidur, saat kejang
posisi kaki dan tangan menekuk dan lurus secara berulang dengan mata yang
tertutup. Setelah kejang, pasien tidak sadarkan diri. Pasien mempunyai riwayat
demam (+) sejak 1 minggu yang lalu, demam naik turun dan tidak menggigil.
Sakit kepala (+) bersamaan dengan demam, pusing (-), batuk (+) sejak 2 minggu
yang lalu, muntah (+) lebih dari 3 kali sejak 1 hari yang lalu, riwayat trauma (-),
riwayat hipertensi (+) namun tidak terkontrol, DM (-), riwayat kejang
sebelumnya (+) kurang lebih 7 bulan lalu tetapi pengobatan tidak terkontrol.
BAB tidak lancar sejak 1 minggu, BAK lancar.
Riwayat Penyakit Dahulu:
 Riwayat trauma (-)
 Riwayat hipertensi (+) namun tidak terkontrol
 Riwayat DM (-)
 Riwayat kejang sebelumnya (+) kurang lebih 7 bulan lalu tetapi
pengobatan tidak terkontrol
Anamnesis tentang keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien saat ini.
Pasien tinggal bersama istri dan anaknya.

III. PEMERIKSAAN FISIK :


Keadaan Umum :
Kesan : Sakit berat
Gizi : Gizi baik
Kesadaran : somnolen
Tanda Vital
Tekanan Darah : 140/70 mmHg
Nadi : 94x/menit
Suhu : 37,6˚C
Pernapasan : 24x/menit
Anemis : -/-
Ikterus : -/-
Sianosis :-
Pemeriksaan Thorax :
Paru-paru :
Inspeksi : simetris bilateral
Palpasi : nyeri takan (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : suara napas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
- Inspeksi : Tidak tampak iktus cordis
- Palpasi : Tidak teraba iktus cordis
- Perkusi : Batas jantung – paru dalambatas normal
- Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-)
Pemeriksaan Abdomen :
- Inspeksi : tampak datar
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.Massa abnormal (-)
- Perkusi : Dalam batas normal
- Auskultasi : Peristaltik normal

IV. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS


 GCS : E2M2V5
1. Kepala:
o Penonjolan: (-)
o Posisi : central
o Bentuk/ukuran : normocephal
o Auskultasi : normal
2. N. Cranialis:
o N. Olfactorius (I): tidak dilakukan pemeriksaan
o N.Optikus (II):
 Ketajaman penglihatan: tidak dilakukan pemeriksaan
 Lapangan penglihatan: tidak dilakukan pemeriksaan
o N. Occulomotoris (N.III), N. Trochlearis (N.IV), N. Abducens (N.VI)
 Celah kelopak mata:
- Ptosis: (-)/(-)
- Exopthalmus: (-)/(-)
 Posisi bola mata: Central/Central
 Pupil: ukuran: 2 mm
Isokor/anisokor: isokor
Reflex cahaya langsung: (+)/(+)
Ref. cahaya tdk langsung: (+)/(+)
 Gerakan bola mata:
Parese kearah (-) -
Nistagmus (-)
o N. V Trigeminus:
 Sensibilitas: N.V1: tidak dilakukan pemeriksaan
N.V2: tidak dilakukan pemeriksaan
N.V3:tidak dilakukan pemeriksaan
 Motorik: Inspeksi:
Mengigit : tidak dilakukan pemeriksaan
Membuka mulut : tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks cornea : DBN
o N. VII Facialis
 Motorik: M. Frontalis M. orbik.okuli M. orbik. Oris
Istirahat : simetris simetris simetris
Gerakan mimic: sulit dinilai sulit dinilai sulit dinilai
Pengecap 2/3 lidah bagian depan: tidak dilakukan pemeriksaan
o N. VIII Vestibulocochlearis
 Pendengaran:sulit dinilai
 Tes rinne/weber: tidak dilakukan pemeriksaan
 Fungsi vestibularis: tidak dilakukan pemeriksaan
o N. IX/X: (Glossopharingeus/vagus):
 Posisi arkus pharinks: tidak dilakukan pemeriksaan
 Reflex telan/muntah: tidak dilakukan pemeriksaan
 Pengecap 1/3 lidah bagian belakang: tidak dilakukan pemeriksaan
 Fonasi: tidak dilakukan pemeriksaan
 Takikardi/bradikardi: dalam batas normal
o N. XI:
 Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan: sulit dinilai
 Angkat bahu: sulit dinilai
o N.XII:
 Deviasi lidah: (-)
 Fasciculasi: (-)
 Atrofi: (-)
 Tremor: (-)
 Ataxia: (-)
3. Leher:
 Tanda-tanda perangsangan selaput otak
 Kaku kuduk: (+)
 Kernig’s sign: (+) / (+)
 Laseque sign : -/-
 Arteri karotis:
 Palpasi: berdenyut
 Auskultasi: tidak dilakukan pemeriksaan
 Kelenjar gondok: tidak terdapat pembesaran
4. Abdomen:
 Reflex kulit dinding perut: tidak dilakukan pemeriksaan
5. Kolumna vertebralis:
 Inspeksi : Dalam batas normal
 Palpasi : tidak dilakukan pemeriksaan
 Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan
 Pergerakan : Bebas
6. Ekstremitas:
 Motorik:
Superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Pergerakkan Terbatas Terbatas Terbatas Terbatas
Kekuatan 3 3 3 3
Tonus Normal Normal Normal Normal
Bentuk otot Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi

 Otot yang terganggu: tidak ada


 Reflex fisiologi
Superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Biceps  
Triceps  
Patella  
Achilles  

 Klonus: Lutut: -/-


Kaki: -/-
 Reflex patologis:
Hoffman: -/-
Tromner: -/-
Babinski: -/-
Chaddock: -/-
Gordon: -/-
Schaefer: -/-
Oppenheim: -/-
 Sensibilitas:
 Ekstroseptif
Nyeri: tidak dilakukan pemeriksaan
Suhu: tidak dilakukan pemeriksaan
Rasa raba halus: tidak dilakukan pemeriksaan
 Propioseptif
Rasa sikap: tidak dilakukan pemeriksaan
Rasa nyeri dalam: tidak dilakukan pemeriksaan
 Fungsi Kortikal Luhur: Normal
7. Pergerakan abnormal yang spontan: (-)
8. Gangguan koordinasi: tidak dilakukan pemeriksaan
9. Gangguan keseimbangan: tidak dilakukan pemeriksaan
10. Pemeriksaan fungsi luhur:
 Reaksi emosi : (-)
 Fungsi bicara : (-)
 Fungsi psikosensorik : (-)
 Fungsi psikomotorik : (-)

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Darah
WBC : 11,6 mm³
HGB : 13,2 g/dl
HCT : 37 %
RBC : 4,3
MCV : 72
MCH :25
MCHC : 34
PLT : 258 10³/µl
 Ureum : 63,5mg%
 Kreatinin : 0,9mg%
 Elektrolit : Na 135,3 mEq/L
Kalium 4,17 mEq/L
Kalsium 1.10 mEq/L
 GDP : 138 mg/%
VI. RESUME
Seorang laki-laki berusia 62 tahun MRS dengan seizure 1 kali selama kurang
lebih 10 menit sejak 1 jam sebelum masuk RS. Menurut keluarga pasien kejang
timbul saat sedang tidur, sifatnya tonik klonik. Setelah seizure, pasien tidak sadarkan
diri. Riwayat febris (+) sejak 1 minggu yang lalu, febris. Cephalgia (+), dizziness (-),
batuk (+) sejak 2 minggu yang lalu, vomittus (+) lebih dari 3 kali, trauma (-),
hipertensi (+) tidak terkontrol, DM (-), riwayat seizure (+) 7 bulan lalu tetapi tidak
terkontrol. Defekasi tidak lancar sejak 1 minggu, miksi lancar.
Pemeriksaan fisik : Tekanan Darah : 140/70 mmH g, lainnya dalam batas normal.
Pemeriksaan neurologis : GCS : E2M2V5
Kesadaran : Somnolen
Kaku Kuduk : (+)
Kernig’s sign : (+) / (+)
Pemeriksaan laboratorium semua dalam batas normal
KATA KUNCI:

1. Laki- laki 62 tahun


2. Kejang 1 kali selama 10 menit
3. Kejang muncul tiba-tiba
4. Pada saat kejang posisi kaki dan tangan menekuk dan lurus secara berulang
dengan mata yang tertutup
5. Demam (+) sejak 1 minggu yang lalu
6. Batuk 2 minggu
7. Muntah (+) lebih dari 3 kali
8. Riwayat hipertensi (+) tidak terkontrol
9. Riwayat kejang 7 bulan yang lalu dan tidak terkontrol

Pertanyaan :

1. Apa yang dimaksud dengan kejang?

2. Etiologi dari kejang?

3. Klasifikasi dari kejang?

4. Mekanisme terjadinya kejang?

5. Bagaimana ciri-ciri terjadinya kejang?

6. Diagnosis dari kejang?

7. Penatalaksanaan dari kejang?

8. DD dari kejang?

9. Bagaimana prognosis dari kejang?


JAWABAN

1. Pengertian kejang

Kejang merupakan sebuah perubahan perilaku yang bersifat sementara dan tiba –
tiba yang merupakan hasil dari aktivitas listrik yang abnormal didalam otak. Jika
gangguan aktivitas listrik ini terbatas pada area otak tertentu , maka dapat
menimbulkan kejang yang bersifat parsial, namun jika gangguan aktivitas listrik
terjadi di seluruh area otak maka dapat menimbulkan kejang yang bersifat umum.
Perubahan ini terjadi karena adanya pergeseran nilai normal yang
menyeimbangkan eksitasi dan inhibisi didalam susunan saraf pusat, karena terlalu
banyak faktor yang dapat mempengaruhi nilai normal eksibilitas susunan saraf pusat
maka ada banyak penyebab yang dapat menimbulkan kejang.

2. Penyebab dari kejang :


a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/ibu hamil. Seperti ibu
meminum obat yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi saat hamil,
mendapat radiasi
b. Kelainan saat kelahiran, seperti hipoksia, kerusakan karena tindakan atau trama
pasa otak bayi
c. Trauma kepala yang menyebabkan kerusakan otak. Kejang terjadi saat terjadi
trauma atau 1-2 tahun setelah trauma
d. Tumor otak, adanya penekanan yang dapat menyebabkan gangguan pada kerja di
otak
e. Radang atau infeksi dimana akan mencetuskan terjadinya perubahan kimiawi
dalam otak
f. Keturunan atau faktor genetic
g. Strok, baik strok hemoragic maupun strok non hemoragic.
3. Klasifikasi kejang :
Kejang telah di klasifikasikan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan etiologi
baik itu idiopatik (primer) atau gejala (sekunder). Klasifikasi kejang pertama kali
diusulkan oleh Gastaut pada tahun 1970 dan kemudian disempurnakan berulang kali
oleh International League Againts Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981, dengan
klasifikasi sebagai berikut :
a. Kejang Parsial (fokal)
 Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
 Dengan gejala motorik
 Dengan gejala sensorik
 Dengan gejala otonomik
 Dengan gejala psikik
 Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
 Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
- Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
- Dengan automatisme
 Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
- Dengan gangguan kesadaran saja
- Dengan automatisme
 Kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik, tonik atau klonik)
 Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
 Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
 Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi kejang umum
b. Kejang Umum (konvulsi)
 Lena/absens
 Mioklonik
 Klonik
 Tonik
 Tonik-klonik
 Atonik/astatik
c. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

a. Kejang parsial simpleks


Serangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:
 “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.
 Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan 
 Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian
tubih tertentu. - Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh
tertentu
 Halusinasi
b. Kejang parsial kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih
lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan
mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:
 Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
 Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya
 Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam
keadaan seperti sedang bingung
 Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
 Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
c. Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal)
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap
tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien
dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa
didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat
berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga berdengung.
Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang
jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah.
Pada saat fase klonik: terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak
terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien
tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur
setelah serangan semacam ini.
d. Kejang absans/Petit Mal
Kejang ini di bagi menjadi kejang absans tipikal atau petit mal dan kejang
atipikal.Kejang absenstipikal ditandai dengan berhentinya aktivitas motorik motorik
anak secara tiba-tiba,kehilangan kesadaran sementara secara singkat,yang di sertai
dengan tatapan kosong.Sering tampak kedipan mata berulang saat episode kejang
terjadi.Episode kejang terjadi kurang dari 30 detik.Kejang ini jarang di jumpai pada
anak berusia kurang dari 5 tahun. Kejang absans atipikal di tandai dengan gerakan.
seperti hentakan berulang yang bisa ditemukan pada wajah dan ekstremitas dan
disertai dengan perubahan kesadaran.
e. Kejang Mioklonik
Kejang yang ditandai dengan gerakan kepala seperti terjatuh secara tiba-tiba
dan di sertai dengan flexi lengan.Kejang tipe ini dapat terjadi ratusan kali perhari

4. Patomekanisme kejang :

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada
sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang
memudahkan depolarisasi muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif 7
terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik.
Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat,
norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisiyang terkenal ialah
gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis
melepaskan muatan listrik dan terjadi transmisi impuls .Dalam keadaan istirahat,
membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan
seluruh sel akan melepaskan muatan listrik. Oleh berbagai faktor, diantaranya
keadaan patologik, dapat mengubah fungsi membran neuron sehingga membran
mudah dilalui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan
mencetuskan letupan depolarisasi membran dan melepaskan muatan listrik
berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepasnya muatan listrik dengan jumlah besar
neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan kejang. Suatu sifat khas
serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses
inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar tempat epileptic.
Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar
neuron-neuron tidak terusmenerus melepaskan muatan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat
habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.

5. Ciri – ciri kejang :


 Hilangnya kesadaran
 Ekstremitas bergerak tidak terkendali
 Tatapan kosong
 Timbulnya kebingungan yang sementara

6. Langkah diagnosis kejang :


a. Anamnesis
 Tanyakan onset saat kejang. Kejang terjadi secara mendadak atau tidak
 Tanyakan lama serangan saat sedang terajadi
 Tanyakan kesadaran saat serangan maupun setelah selesai serangan
 Tanyakan faktor pencetus terjadinya kejang
 Tanyakan ada trauma sebelum terjadinya kejang atau tidak
 Tanyakan adakah tanda-tanda infeksi, seperti demam
 Tanyakan juga apakah pasien kurang tidur atau kelelahan
b. Pemeriksaan fisik
 Periksa kesadaran pasien dengan menggunakan Glasgow Coma Scale.
 Periksa tanda vital dari pasien
 Periksa adakah tanda-tanda trauma di kepala, seperti adanya benjolan,
bekas jaitan ataubekas luka di kepala
 Pemeriksaan neurologisnya di periksa adakah kelainan neurologis atau
tidak
c. Pemeriksaan penunjang
 Periksa darah lengkap, urin lengkap dan elektrolit. Periksa juga gula
darah sewaktu dan guladarah puasa serta periksa ureum creatinin untuk
fungsi ginjalnya
 Radiologi: Ct-scan dan MRI
EEG untuk melihat aktivitas listrik otak
7. Penatalaksanaan kejang :
 Non medikamentosa
a. Tindakan awal adalah melakukan tindakan standar kedaruratan berupa ABC
(Airway, Breathing, Circulation), oksigenasi dan penilaian tekanan darah,
nadi, saluran napas, penilaian suhu. Tujuan pengobatan adalah untuk
mengendalikan kejang sebelum cederaneuron terjadi (teoritis antara 20 menit
sampai 1 jam).
b. Pasien ditempatkan pada posisi semi-prone dengan kepala diletakkan
menghadap samping untuk menghindari aspirasi.
c. Diberikan spatel lidah yang diletakkan dalam rongga mulut untuk mencegah
tergigitnya lidah. Lepas gigi palsu bila ada.
d. Akses antarvena harus dilakukan untuk hampir semua pasien (tapi bisa
ditangguhkan pada meraka dengan kejang sederhana).
e. Koreksi kelainan metabolik yang ada (hiponatremia, hipoglikemia,
hipokalsemia, putus obat atau alkohol).
f. Bila aktivitas kejang pasien tidak mereda di UGD setelah tindakan ABC
dilakukan, maka untuk pasien yang berada dalam status epileptikus atau
sianotik epilepticus, intubasi endotrakeal harus diper-timbangkan.
g. Pemberian obat anti kejang/antiepilepsi.
h. Pengawasan di ruang perawatan intensif, mungkin diperlukan bila terdapat
kondisi refrakter.

Medikamentosa
Diazepam
Diazepam merupakan obat pilihan pertama (level evidence A pada banyak
penelitian). Obat memasuki otak secara cepat, setelah 15-20 menit akan terdistribusi
ke tubuh. Walaupun terdistribusi cepat, eliminasi waktu paruh mendekati 24 jam.
Sangat berpotensi sedatif jika terakumulasi dalam tubuh pada pemberian berulang.
Diazepam dengan dosis 5-10 mg intravena dapat menghentikan kejang pada
sekitar 75% kasus. Diazepam dapat diberikan secara intramuskuler atau rektal. Efek
samping termasuk depresi pernapasan, hipotensi, sedasi, iritasi jaringan lokal. Sangat
berpotensi hipotensi dan depresi napas jika diberikan bersamaan obat antiepilepsi
lain, khususnya barbiturat. Walaupun demikian, diazepam masih merupakan obat
penting dalam manajeman SE karena efeknya yang cepat dan berspektrum luas.

Fenitoin

Fenitoin merupakan salah satu obat yang efektif mengobati kejang akut dan
SE. Disamping itu, obat ini sangat efektif pada manajemen epilepsi kronik,
khususnya pada kejang umum sekunder dan kejang parsial. Keuntungan utama
fenitoin adalah efek sedasinya yang minim. Namun, sejumlah efek samping serius
dapat muncul seperti aritmia dan hipotensi, khususnya pada pasien di atas usia 40
tahun. Efek tersebut sangat dihubungkan dengan pemberian obat yang terlalu cepat.
Di samping itu, iritasi lokal, flebitis, dan pusing dapat muncul pada pemberian
intravena. Fenitoin sebaiknya tidak dicampur dengan dekstrosa 5%, melainkan salin
normal untuk menghindari pembentukan kristal. Fenitoin intravena dosis awal 10 –
20 mg/kgBB/pemberian (kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit).
Bila kejang berhenti, fenitoin diberikan kembali 4 – 8 mg/kgBB/hari 12 jam setelah
dosis awal.
Phenobarbital

Fenobarbital digunakan setelah benzo-diazepin atau fenitoin gagal mengontrol


SE. Loading dose 15 sampai 20 mg per kgBB. Karena fenobarbital dosis tinggi
bersifat sedatif, proteksi jalan napas sangat penting, dan risiko aspirasi merupakan
perhatian khusus. Fenobarbital intravena juga di-hubungkan dengan hipotensi
sistemik. Jika dilakukan pemberian intramuskuler, maka dilakukan pada otot besar,
seperti gluteus maximus. Defisit neurolgis permanen dapat timbul jika diinjeksikan
berdekatan dengan saraf tepi. Saat ini, untuk penanganan SE refrakter lebih sering
digunakan agen lain (midazolam, propofol, pentobarbital) dari-pada fenobarbital.

Midazolam

Midazolam adalah obat alternatif dalam tatalaksana status epileptikus refrakter.


Karena midazolam larut dalam air, efek obat dapat bertahan sekitar 3 kali lebih lama
dari diazepam ke puncak efek EEG. Dengan demikian, dokter harus menunggu 2-3
menit untuk mengevaluasi efek obat midazolam sebelum memulai prosedur atau
mengulangi dosis. Midazolam merupakan golongan benzo-diazepin yang bereaksi
cepat, penetrasi cepat melewati sawar darah otak, dan durasi yang singkat.
Midazolam dapat digunakan sebagai agen alternatif untuk SE refrakter. Walau pun
midazolam jarang merupakan pilihan per tama untuk kejang akut di Amerika Serikat,
obat ini sangat umum digunakan di Eropa.

8. Differential Diagnosis skenario :


 Epilepsi
 Kejang demam
 Tumor serebri
 Tumor kepala
 Meningitis
 Ensefalitis
9. Prognosis dari kejang :
Prognosis dari kejang adalah tergantung dari etiologi dan penatalaksanaan awal
dari kejang, dan juga tergantung dari kepatuhan pasien dalam meminum
obatnyayang harus mendapatkan dua jenis obat antiepilepsi atau lebih.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono.2011.Neurologi Klinis. Gajah Mada University Press.


Yogyakarta.2011
2. Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of Pharmaccutical
development and medical application. Vol.21 Nov-Des 2012.
3. Guidelines for seizure Management. 2010
4. Goldenberg, M.M. Overview of Drugs Used for epilepsy and Seizures. P & T.
2010
5. Haurer Stephen L. Harrison”s Neurology In clinical Medicine. Usa : Mc Graw
Hill Education, 2013.
6. Sidharta Priguna. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum, Jakarta : Dian
Rakyat.2007

Anda mungkin juga menyukai