Anda di halaman 1dari 16

Lupus Eritematosus Sistemik

Di-update oleh: TOD Alergi Imunologi April - Juni 2020

Gerald Abraham, Indika R Saragi, Kresna Adhiatma, Putri Zulmiyusrini, FC Puspita Hapsari,
Rosatya Imanuela, Wirdasari, Nadim Marchian
Pembimbing: Dr. dr. Sukamto Koesnoe, SpPD, K-AI

1. Pendahuluan
1.1. Definisi

Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun kompleks yang menyerang
berbagai sistem tubuh. Faktor gen dan lingkungan diketahui berperan dalam pathogenesis penyakit ini.
LES ditandai dengan pembentukan autoantibodi patogenik terhadap asam nukleat dan protein
pengikatnya yang diesbabkan oleh intoleransi terhadap komponen tubuh sendiri (self-intolerance).
LES memiliki manifestasi klinis, kelainan imunologi dan laboratorium, perjalanan penyakit, serta
akibat penyakit yang beragam. Manifestasi klinis pada kulit, sendi, ginjal, dan sistem organ lainnya
tidak selalu muncul bersamaan, melainkan dapat berkembangan seiring dengan perjalanan penyakit.1

1.2. Epidemiologi
Insidensi dan prevalensi LES sangat bervariasi di dunia, dengan insidensi keseluruhan
memiliki rentang antara 0,3 per 100.000 per tahun di Ukraina hingga 31,5 per 100.000 per tahun pada
populasi Afro-Caribbean yang tinggal di UK dan prevalensi keseluruhan mencapai 3,2 per 100.000 di
India hingga 517,5 per 100.000 pada populasi Afro-Caribbean yang tinggal di UK.1 Berdasarkan jenis
kelamin, LES lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio 2:1 hingga
15:1. Puncak insidens LES pada perempuan adalah dekade kedua hingga kelima. Berdasarkan etnis,
insiden LES di antara penduduk berkulit hitam adalah 31,9/100.000 penduduk/tahun, Asia 0,9-
4,1/100.000 penduduk/tahun, dan kaukasia 0,3-4,8/100.000 penduduk per tahun.1 Berdasarkan data di
beberapa RS di Indonesia, terdapat peningkatan kunjungan pasien LES dari 17,9–27,2 % di tahun 2015
hingga 30,3–58% di tahun 2017. Rasio perempuan dan laki-laki adalah 15:1 hingga 22:1 dengan
awitan gejala dan tanda muncul puncaknya pada usia 28 tahun.1

2. Manifestasi klinis

Manifestasi LES hampir melibatkan selurh sistem organ. Sistem organ yang paling sering terlibat
adalah muskuloskeletal, diikuti dengan kutaneus, hematologi, neurologi, kardiopulmoner, renal, gastro
intestinal, trombosis dan okular.3

1

2.1. Manifestasi Konstitusional

Manifestasi konstitusional atau sistemik meliputi kelelahan (>80%), malaise, demam,


limfadenopati (59% generalisata, 24% lokal), serta penurunan berat badan dan nafsu makan (17–
51%).1, 3 Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan
seperti anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison.
Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain
yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap
pemberian steroid atau latihan.1, 4-7
Manifestasi klinis demam pada pasien LES dilaporkan mencapai 36-84%. Definisi demam akibat
LES adalah tidak terdapatnya infeksi berdasarkan pemeriksaan menyeluruh, terdapat penyakit LES
aktif yang tipikal bersamaan dengan munculnya demam, tidak mengigil, dan tidak terdapat bukti
infeksi akibat peningkatan atau penambahan terapi steroid. 1, 3

2.2. Manifestasi Muskuloskeletal


Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal. Manifestasi
muskuloskeletal dapat mengenai struktur sendi, otot, tulang, dan jaringan penyokong. Keluhan dapat
berupa arthralgia, arthritis, erosif (rhupus syndrome), arthritis non erosif, atropati Jaccoud, kelemahan
otot, mialgia, miositis, osteoporosis, rotator cuff syndrome, dan tenosinovitis. Nyeri sendi umumnya
dirasakan di jari tangan dan kaki, bersifat asimetris, berpindah-pindah, tidak sebanding dengan
pembengkakan sendi, dan disertai kekakuan di pagi hari selama 30 menit atau lebih.1 Pada umumnya
kelainan sendi pada LES tidak menyebabkan deformitas. 1, 4-7

2.3. Manifestasi Kulit


Manifestasi kulit dan mukosa ditemukan pada 75-85% pasien LES berupa ruam malar, lupus
eritematosus diskoid (LED) (terlokalisata, generalisata), fotosensitivitas, LED mukosa (oral,
konjungtiva, nasal, genital), lupus eritematosus kutaneus subakut, alopesia, lupus panikulitis atau lupus
profundus, LED likenoid, teleangiektasia periungual, lupus eritematosus lesi bulosa, small vessel
cutaneous leukocytoclastic vasculitis, secondary atrophie blanche, livedo reticularis, dan fenomena
Raynaud.1 Berdasarkan EULAR 2012, manifestasi mukokutaneus meliputi: classic malar/butterfly
rash, kutaneous lupus akut, kutaneous lupus sub akut (scaly red patches menyerupai psoriasis atau lesi
circular flat red rimmed), kutaneus lupus kronik (discoid rash; tersebar, erythematosus, follicular
plugging, inflamasi aktif di sisi perifer kemudian perbaikan meninggalkan

2

skar/atrofi/teleangiektasis/dispigmentasi, terutama di bagian wajah, leher, dan kulit kepala), dan
alopesia.8

2.4. Manifestasi Ginjal


Manifestasi ginjal ditemukan pada 50% pasien LES. Insiden nefritis lupus lebih tinggi pada
penduduk di Asia (5,46/100.000 penduduk/tahun) dibandingkan kaukasia (4,07/100.000
penduduk/tahun). Nefritis lupus ditandai dengan proteinuria, eritrosituria (terutama eritrosit
dismorfik), dan silinder eritrosit. Nefritis lupus umumnya tidak bergejala dan terjadi dalam beberapa
tahun pertama setelah awitan lupus. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan
puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak
tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.1,4-7 Secara histologik, WHO membagi
nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan
penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal. 1, 4-7

2.5. Manifestasi Neuropsikiatrik


Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang luas.
Manifestasi neuropsikiatri ditemukan pada 15-50% pasien LES. Kelainan dibagi menjadi kelainan
neurotropik dan psikiatrik. Manifestasi neuropsikiatrik dibagi berdasarkan letak yang terpengaruh. Jika
sentral, maka akan didapatkan gejala berupa kejang, sindrom delirium akut, gangguan kognitif,
psikosis, nyeri kepala, meningitis, sindrom demyelinating, dan chorea. Jika yang terpengaruh perifer,
maka gejala yang didapatkan berupa polineuropati, Sindrom guillen-barre, miastenia gravis, dan
kelainan autonomi. Kelainan tromboembolik dengan antibodi antifosfolipid dapat merupakan
penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. 1, 4-8

2.6. Manifestasi Paru


Manifestasi paru pada LES dapat melibatkan parenkim, pleura, dan pembuluh darah paru.
Manifestasi pada parenkim paru meliputi pneumonitis lupus akut, perdarahan alveolar, penyakit
interstitial paru kronik, dan obstruksi jalan napas. Manifestasi ada pleura adalah pleuritic dengan/tanpa
efusi. Manifestasi pada pembuluh darah paru adalah hipertensi pulmonal dan tromboemboli.
Manifestasi LES akut tersering pada paru adalah pleuritic dengan /tanpa efusi. 1

2.7. Manifestasi Jantung

3

Manifestasi jantung pada LES melibatkan pericardium (pericarditis), miokardium (miokarditis,
kardiomiopati), endocardium (penyakit katup jantung, misalnya endocardium (penyakit katup jantung,
misalnya endocarditis Libman-Sacks), dan sistem konduksi (abnormalitas konduksi).
Perikarditis merupakan manifestasi jantung tersering (11-54%). Sebesar 13-22% pasien dengan
pericarditis simtomatik mengalami tamponade. Kelainan katup jantung ditemukan 10% dan gangguan
miokardial 3-15%.1 Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal,
friction rub, gambaran silhouette sign pada foto dada ataupun EKG, Echokardiografi. Miokarditis
dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang,
kardiomegali sampai gagal jantung. Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam
klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi
katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis. 1, 4-7 Wanita dengan
LES memiliki faktor risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi dibanding wanita normal. Pada
wanita usia 35-44 tahun risiko jantng koroner meningkat 50%.1, 4-7

2.8. Manifestasi Pembuluh Darah


Kelainan pembuluh darah pada LES meliputi fenomena Raynaud, livedo retikularis, livedo
race, dan vasculitis. 1

2.9. Manifestasi Gastrointestinal dan Hepatik


Manifestasi gastrointestinal dialami 10% pasien LES di awal perjalanan penyakit dan 25-40%
diantaranya mengalami keluhan gastrointestinal yang berlanjut. Manifestasi gastrointestinal terdiri atas
disfagia, esophagitis, anoreksia, mual, muntah, diare, nyeri akut abdomen, ulkus peptic, IBD, protein
losing gastroenteropathy (PLGE), malabsorbsim asites, peritonitis, pankreatitis, vasculitis, mesenteric,
melena, perdarahan saluran cerna, infark saluran cerna, gangguan motilitas (intestinal pseudo-
obstruction dan small intestinal bacterial overgrowth), celiac disease, pneumatosis cystoides
intestinal, dan enteritis eosinofilik.1 Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih banyak
dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta didapatkan adanya ulkus. 1, 4-7
Manifestasi hepatik terdiri atas kelainan enzim hati (25-50%), hepatomegali (10-32%), icterus
(1-4%), arteritis hepatic, hepatitis lupus, dan hepatitis autoimun. Hepatomegali merupakan gejala yang
banyak dijumai pada LES disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT, alkali fosfatase dan LDH.
1, 4-7

2.10. Manifestasi okular

4

Manifestasi ocular meliputi episkleritis, keratisis, keratokonjungtivitis sika, inflamasi orbita,
dry eye, neuropati optic, retinopati akibat antibodi antifosfolipid, skleritis, uveitis, vasculitis retina
dengan gambaran cotton wool spot, dan toksisitas akibat klorokuin atau hidroksiklorokuin. 1

2.11. Manifestasi obstetrik


Perempuan dengan LES, baik aktif maupun tidak, berisiko terhadap beberapa komplikasi
kehamilan seperti kematian ibu hamil (325/100.000 kehamilan), kelahiran section caesarea (30%),
kelahiran premature (28-49%), berat badan lahir rendah (13-39%), neonates kecil masa kehamilan
(35%), abortus spontan dan stillbirth (20%), serta preeklampsia (2-20%). 1

2.12. Manifestasi endokrin


Manifestasi endokrin pada LES meliputi hiperprolaktinemia, defisiensi vitamin D karena
kekurangan paparan sinar matahari, serta cushing syndrome dan supresi kelenjar adrenal karena
konsumsi glukokortikoid jangka panjang. 1

2.13. Manifestasi Hematologik


Manifestasi hematologik terdiri atas anemia defisiensi besi, anemia penyakit kronik (37%),
anemia hemolitik autoimun (5-14%), mielotoksisitas yang diinduksi obat, dan anemia akibat gagal
ginjal kronik, trombositopenia, kelainan sifat trombosit, leukopenia (60%), dan limfopenia (75%).
Peningkatan laju endap darah (LED) juga sering ditemukan pada LES aktif.1

3. Alur Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik

Diagnosis lupus eritematosus sistemik (LES) dimulai dengan adanya suatu kecurigaan yang
tinggi.20 LES merupakan prototipe gangguan autoimun multisistem dengan spektrum gambaran klinis
yang luas yang melibatkan banyak organ dan jaringan. Gambar 3.1 menunjukkan algoritma diagnosis
LES.21

5

Gambar 3.1. Algoritma Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik1

3.1. Kriteria EULAR/ACR 2019


Sesuai dengan kriteria EULAR/ACR 2019, pemeriksaan ANA merupakan kriteria masuk dalam
diagnosis LES. Penggunaan ANA sebagai kriteria masuk memiliki performa diagnostik yang lebih
baik. Kriteri EULAR/ACR 2019 ini memiliki sensitivitas 96,1% dan spesifisitas 93,4%. Gambar 2
menunjukkan kriteria klasifikasi untuk LES sesuai EULAR/ACR 2019.22

6

Gambar 3.2. Kriteria Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik EULAR/ACR 201922

7

3.2. Kriteria Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik berdasarkan American college of
rheumatology (ACR 1997)

Pada kriteria ACR, apabila dijumpai empat atau lebih kriteria maka diagnosis LES memiliki
sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%, sementara apabila hanya tiga kriteria dan salah satunya adalah
ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung terhadap pengamatan klinis.6,17

Tabel 3.1. Kriteria SLE berdasarkan American college of rheumatologi (ACR)

Kriteria Batasan

Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan tidak
melibatkan lipat nasolabial

Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE
lanjut dapat ditemukan parut atrofik

Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik
dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa

Ulkus mulut Dapat terjadi di mulut maupun nasofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter pemeriksa

Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua tau lebih sendi perifer, ditandai oleh
nyeri tekan, bengkak atau efusi

Serositis

Pleuritis Nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang terdengar oleh dokter

Perikarditis Terbukti dengan rekaman EKG atai terdapat bukti efusi perikardium

Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0,5 gram per hari atau >3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatif
b. Silinder seluler – dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular, tubular atau campuran

Gangguan a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan


neurologi metabolik
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat atau gangguan
metabolik

Hematologi a. Anemia hemolitik dengan retikulosis


b. Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan obat-obatan

8

Gangguan a. Anti-DNA: antibodi terhadap DNA natif dengan titer abnormal
imunologik b. Anti-Sm: terdapat antibodi terhadap antigen nuklear Sm
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid

Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti nuklear tanpa keterlibatan obat yang
antinuklear positif diketahui sebagai penyebab lupus diinduksi obat
(ANA)

3.3. Kriteria Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik berdasarkan The systemic lupus
collaborating clinics (SLICC)

Selain kriteria ACR, kriteria The systemic lupus collaborating clinics (SLICC) dapat membantu
penapisan LES dengan sensitivitas 97% sementara spesifisitas hanya 83%.8 Apabila didapatkan ≥ 4
kriteria (setidaknya 1 kriteria klinis dan 1 kriteria laboratorium) atau hasil biopsi ginjal yang
menunjukkan adanya nefritis lupus dengan ANA dan anti-DNA positif.

Tabel 3.2. Kriteria LES berdasarkan SLICC

KriteriaKlinis KriteriaImunologis
Lupus kutaneus akut ANA
Lupus kutaneus kronis Anti-DNA
Ulkus pada nasal atau oral Anti-Sm
Alopesia Antibodi antifosfolipid
Artritis Komplemen rendah (C3, C4, CH50)
Serositis Direct coombs test
Keterlibatan ginjal
Keterlibatan neurologi
Anemia hemolitik
Leukopenia
Trombositopenia

4. Terapi
4.1. Tujuan Terapi

Tujuan terapi pada LES adalah untuk mencapai remisi penyakit, menegah kerusakan organ,
meminimalisasi efek samping obat, dan meningkatkan kualitas hidup. Remisi komplit didefinisikan
sebagai tercapainya kondisi tidak terdapat aktivitas klinis penyakit tanpa penggunaan glukokortikoid
dan imunosupresan. Akan tetapi, hal ini jarang tercapai, sehingga target terapi dapat juga menjadi
aktivitas penyakit yang rendah (low disease activity) berdasarkan skor SLEDAI ≤3 dengan antimalaria

9

atau SLEDAI ≤4, PGA≤1 dengan glukokortikoid ≤7,5 mg setara prednisone dan dapat menoleransi
obat imunosupresan dengan baik. Pencegahan kekambuhan penyakit (flare) juga menjadi tujuan terapi
pada LES. Flare telah diketahui meningkatkan kerusakan organ sehingga penilaian kepatuhan terhadap
terapi, pemantauan ketat, dan optimalisasi kontrol terhadap penyakit sangat diperlukan.9

4.2. Terapi LES


4.2.1. Hidroksiklorokuin
Hidroksiklorokuin direkomendasikan untuk seluruh pasien dengan LES. Penggunaan obat
tersebut memiliki efek positif yang cukup luas untuk pasien LES, yaitu mencegah peningkatan
aktivitas penyakit, mencegah infeksi, mencegah autoimmune neonatal heart block, mengoreksi profil
lipid, mencegah sindrom metabolic, dan mencegah kerusakan organ. Hidroksiklorokuin bekerja
dengan meningkatkan pH lisosomal pada antigen presenting cells dan pada kondisi inflamasi,
hidroksiklorokuin menghambat toll-like receptors pada plasmasitoid sel dendritik. Dosis
hidroksiklorokuin yang dapat diberikan adalah ≤6,5 mg/kgBB/hari atau klorokuin ≤3 mg/kgBB/hari.
Efek samping penggunaan hidroksiklorokuin adalah toksisitas retina, sehingga diperlukan pemantauan
berkala dan skrining retinopati pada pasien yang mendapatkan hidroksiklorokuin. Selama pemberian
hidroksiklorokuin, diperlukan pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal, fungsi hati setiap 3 bulan serta
pemeriksaan mata setelah 5 tahun atau lebih cepat bila ada faktor risiko mayor seperti penyakit ginjal,
pemberian dosis hidroksiklorokuin >5 mg/kgBB/hari, penggunaan bersamaan obat lain seperti
tamoksifen, dan adanya penyakit makula.9

4.2.2. Glukokortikoid
Glukokortikoid digunakan sebagai terapi awal dan terapi pemeliharaan pada pasien LES karena
dapat memberikan efek perbaikan gejala secara cepat. Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian
glukokortikoid dosis tinggi harus segera dimulai bila timbul manifestasi serius LES dan mengancam
nyawa, misalnya vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliarthritis, poliserositis, miokarditis
pneumonitis lupus, glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, trombositopenia,
sindrom otak organik, defek kognitif yang berat, mielopati, neuropati perifer dan krisis lupus (demam
tinggi, prostrasi).1,7 Kortikosteroid dosis pulse 500-1000 mg IV per hari selama 3-5 hari dapat
diberikan pada kondisi LES dengan aktivitas penyakit berat untuk mengontrol penyakit lebih cepat.
Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan dibandingkan jenis glukokortikoid yang akan
diberikan. Walaupun demikian, pemberian glukokortikoid berefek panjang seperti deksametason,
sebaiknya dihindari. Pemberian prednison lebih banyak disukai, karena lebih mudah mengatur

10

dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral, sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari.
Pada manifestasi minor LES, seperti arthritis, serositis dan gejala konstitusional, dapat diberikan
prednison 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison
1-1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3
hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan
dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/hari.1,7 Pemberian glukokortikoid sebaiknya diminimalisir
hingga dosis harian ≤7,5 mg/hari.
Respons terapi dapat terlihat sedini mungkin, tetapi dapat juga dalam waktu yang cukup lama,
seperti 6-10 minggu. Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus
mulai dilakukan penurunan dosis secara bertahap, dimulai dengan 5-10% setiap minggu bila tidak
timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis
dilakukan 2,5 mg/minggu, dan setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis
dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul eksaserbasi akut, dosis prednison dinaikkan sampai ke dosis
1,7
efektif, kemudian dicoba diturunkan kembali. Apabila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian
glukokortikoid dosis tinggi tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, dipertimbangkan untuk
memberikan imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya.1,7 Efek samping seperti infeksi, diabetes,
hipertennsi, osteoporosis, katarak, dan sindrom Cushing juga perlu diperhatikan. Risiko osteoporosis
dini lebih tinggi pada pasien dengan pemakaian glukokortikoid jangka panjang, sehingga dianjurkan
pemberian suplementasi kalsium dan vitamin D.

4.2.3. Mofetil mikofenolat atau Asam Mikofenolat


Mofetil mikofenolat (MMF) atau asam mikofenolat (MPA) adalah inhibitor enzim inosin
monofosfat dehydrogenase yang menghambat sintesis guanosin secara de novo. MMF dapat menekan
proliferasi limfosit B, produksi antibodi, presentasi antigen, dan migrasi sel dendritik mieloid. MMF
diberikan secara oral dengan dosis 1-3 gram/hari, diberikan dua kali sehari. Dosis MMF 500 mg setara
dengan MPA 360 mg. Pemberian MMF/MPA pada nefritis lupus dibedakan menjadi terapi fase
induksi dan fase lanjutan. Dosis obat MMF/MPA diberikan sesuai kelas nefritis lupus. Pada nefritis
lupus kelas III dan IV, fase inisiasi diberikan MMF dosis 2-3 gram/hari selama 6 bulan. Bila dalam 3
bulan pertama tidak ada perbaikan, maka dapat dipertimbangkan untuk penggantian ke imunosupresan
lainnya seperti siklofosfamid, inhibitor kalsineurin, atau rituksimab. Fase lanjutan diberikan setelah 6
bulan fase induksi dengan dosis MMF 1-2 gram/hari selama minimal 3 tahun atau 1 tahun setelah
tercapai remisi. MMF memiliki efek yang sebanding dengan siklofosfamid dalam hal tingkat remisi,
kekambuhan dan risiko infeksi. MMF dapat mempertahankan tingkat remisi nefritis lupus sebanding

11

dengan siklofosfamid jangka panjang. MMF tidak berhubungan dengan penekanan sumsum tulang,
atau amenorrhea. Pemberian obat perlu disesuaikan dengan bersihan kreatinin, perlu dihentikan jika
leukosit <3500/mm3. Pemberian MMF/MPA dikontraindikasikan pada kondisi kehamilan.1,7

4.2.4. Azatioprin
Azatioprin merupakan analog purin yang juga dapat digunakan sebagai imunosupresan pada
LES. Metabolit aktif azatioprin berintegrasi ke dalam DNA dan RNA sehingga mampu menghambat
proliferasi limfosit. Azatioprin diberikan dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari secara per oral dan
dkikonsumsi dengan makanan. Dosis obat disesuaikan bila terdapat penurunan fungsi ginjal dengan
bersihan kreatinin <30 ml/menit. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita LES;
setelah penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin maka dosis azatioprin
juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik.
Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik, peningkatan enzim hati dan mencetuskan
keganasan.1,7

4.2.5. Siklosporin
Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan LES adalah siklosporin.
Siklosporin merupakan penghambat kalsineurin yang bekerja dengan mencegah defosforilasi faktor
nucleus sel T teraktivasi serta transkripsi IL-2 dan sitokin lain pada sel T, serta menghambat proliferasi
sel T, menurunkan antigen presenting cell, dan produksi autoantibodi yang diperantarai sel T.
Siklosporin diberikan dalam dosis 1,5-6 mg/kgBB/hari terbagi dalam dua dosis. Obat ini dapat
digunakan pada LES baik dengan atau tanpa manifestasi renal, seperti pada LES refrakter dengan
manifestasi kulti dan hematologi. Selama pemberian harus diperhatikan tekanan darah penderita dan
kadar kreatinin darah. Bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum
pemberian siklosporin, maka dosisnya harus diturunkan. Efek samping pemberian siklosporin adalah
gejala gastrointestinal, hirsutisme, hyperplasia gingiva, hiperlipidemia, tremor, dan miopati.1,7

4.2.6. Siklofosfamid
Siklofosfamid adalah oksazafosforin dengan gugus alkil yang membentuk ikatan kovalen pada
DNA. Siklofosfamid mampu menekan produksi antibodi denga menurunkan jumlah sel T dan sel B.
Obat tersebut diindikasikan untuk pasien dengan nefritis lupus kelas III dan IV, LES nonrenal berat
atau refrakter seperti trombositopenia berat, anemia hemolitik autoimun, keterlibatan neuropsikiatri,
pneumonitis akut, perdarahan alveolar, vaskulitis abdominalis, dan penyakit LES dengan lesi kulit
yang luas.

12

Terdapat beberapa protokol pemberian siklofosfamid, yang lazim digunakan adalah protokol
EUROLUPUS dan protokol NIH. Berdasarkan protokol EUROLUPUS, siklofosfamid diberikan 500
mg IV setiap 2 minggu sampai 6 kali dosis pemberian dikombinasi dengan pemberian glukokortikoid.
Selanjutnya, terapi pemeliharaan dilanjutkan dengan imunosupresan azatioprin. Sedangkan, Protokol
NIH menggunakan siklofosfamid 500-1000 mg/m2 IV dalam 150 ml NaCl 0,9% selama 60 menit
diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam, diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan,
kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan
secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan penurunan fungsi
ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2.1,7
Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus dipantau. Bila jumlah leukosit
mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah
leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis siklofosfamid yang tidak adekuat sehingga dosisnya
harus ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi mual dan
muntah, alopesia, sistitis hemoragik, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia.1,7

4.2.7. Agen Biologis


Terdapat bukti ilmiah yang mendukung adanya efek yang positif terhadap terapi dengan target
sel B pada LES. Agen biologis yang banyak diteliti adalah rituksimab dan belimumab. Rituksimab
adalah monoklonal antibodi anti-CD20, yang dapat digunakan dalam pengobatan penyakit autoimun
sistemik, termasuk LES. Rituksimab diketahui dapat menurunkan kadar sel B tanpa mempengaruhi
produksi immunoglobulin secara signifikan. Rituksimab dapat menjadi terapi alternatif bagi pasien
LES yang tidak respon dengan terapi lain, meskipun hasil dari beberapa studi belum menunjukkan
hasil yang konsisten. Rituksimab dapat dipertimbangkan pada pasien LES yang tidak memberikan
respon dengan lebih dari satu obat imunosupresan, atau memiliki kasus keterlibatan hematologi yang
berat seperti anemia hemolitik dan trombositopenia autoimun, dan lupus nefritis yang tidak respon
dengan MMF atau siklofosfamid. Dosis rituximab adalah 1 gram, 2 kali pemberian dengan jarak 2
minggu, dan dapat diulang setiap 6 bulan.1,7
Belimumab merupakan antibodi monoclonal dari fully humanized B-lymphocyte activating
factor. Belimumab dapat dipertimbangkan untuk LES ekstrarenal yang tidak menunjukkan respon
inadekuat terhadap terapi lini pertama (hidroksiklorokuin, glukokortikoid, dengan/tanpa agen
imunosupresan) dan tidak dapat mencapai dosis glukokortikoid <7,5 mg/hari setara prednisone. Pasien
dengan aktivitas penyakit berat, dosis prednisone >7,5 mg/hari, dan aktivitas serologi masih di luar
nilai normal dan dengan manifestasi LES kutan, musculoskeletal dan serositis menunjukkan respon
yang baik dengan pemberian belimumab.

13

Tabel 4.1. Terapi LES berdasarkan Aktivitas Penyakit
Item Aktivitas ringan / flare Aktivitas Sedang / Aktivitas Berat / flare
Skor BILAG C atau skor flare BILAG skor B (non-renal) skor
B tunggal; SLEDAI < 6 dengan 2 sistem atau BILAG A > 1;
lebih, SLEDAI 6-12 SLEDAI > 12
Manifestasi sesuai Fatigue, ruam malar, Demam, ruam-terkait Ruam melibatkan > 2/9
untuk lupus alopecia difus, ulkus luus sampai 2-9 area permukaan tubuh,
mulut, artralgia, myalgia, permukaan tubuh, myositis, pleuritis berat
trombosit 50-149x109/l alopecia dengan dan/atau pericarditis
inflamasi scalp, efusi, asites, enteritis,
artritis, pleuritis, mielopati, psikosis,
pericarditis, hepatitis, delirium, neuritis optic,
trombosit 25-49x109/l trombosit < 25x109/l
Terapi awal dan KS: topical atau oral Prednisolon < 0.5 Prednisolone < 0.5
dosis target jika prednisolone < 20 mg mg/hari atau mg.hari dan/atau
tidak ada harian untuk 1-2 minggu metilprednisolon IV < metilprednisolom iv
kontraindikasi atau im atau 250 mg x 1-3 500 mg x 1-3 hariatau
metilprednisolon Atau metilprednisolon prednisolone < 0.75-1
intraarticular 80-120 mg im 80-120 mg mg/kg/hari
Dan HCQ < Dan AZA 1.5-2 Dan AZA 2-3
6.5mg/kg/hari mg/kg/hari mg/kg/hari atau CYC
Dan/atau MTX 7.5-15 Atau MTX 10-25 iv atau ciclosporin <
mg/minggu mg/minggu 2.5 mg/kg/hari
Dan/atau OAINS (untuk Atau MMF 2-3 g/hari Dan HCQ ≤ 6,5
beberapa hari atau atau mg/kg/hariPrednisolon
minggu Ciclosporin < 2.0 ≤ 7,5 mg/kg/haridan
mg/kg/hari dan HCQ MMF 1,0-1,5
< 6.5 mg.kg.hari gram/hariatau AZA 50-
100
mg/hariatauciclosporin
50-100 mg/haridan
HCQ 200 mg/hari
Target terapi Prednisolon <7,5mg/hari Prednisolon Prenisolon <7,5mg/hari
maintenance tanpa dan HCQ 200 mg/hari <7,5mg/hari dan AZA dan MMF 1.0-1.5
kontraindikasi dan/atau MTX 50-100 mg/hari atau g/hari atau AZA 50-
10mg/minggu MTX 10mg/minggu 100 mg/hari atau
atau MMF 1g/hari siklosporin 50-
atau soklosporin 50- 100mg/hari dan HCQ
100mg/hari dan HCQ 200mg/hari
200mg/hari
Target : Mengurangi dan
menghentikan terapi Target: mengurangi Target : mengurangi
kecuali HCQ pada remisi dan menghentikan atau menghentikan
stabil terapi kecuali HCQ terapi kecuali HCQ
saat remisi stabil terutama saat remisi
stabil

14

Referensi:

1. Sumariyono, Kalim H, Setyohadi B, Hidayat R, Najirman, Hamijoyo L, et al. Rekomendasi


Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik
2. Carter, E. E., Barr, S. G., & Clarke, A. E. (2016). The global burden of SLE: prevalence, health
disparities and socioeconomic impact. Nature Reviews Rheumatology, 12(10), 605–620.
doi:10.1038/nrrheum.2016.137
3. Hahn BH. Systemic Lupus Erytematosus. Dalam: Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci
AS, Longo DL, Loscalzo J, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine.Edisi 20. New
York: McGraw-Hill; 2019. p 2401-5
4. Setiati S, Alwi I, Sudoyo, AW, Kolopaking MS, Setiyohadi B, Syam AF. Diagnosis dan
Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik dalam Buku Ajar ilmu penyakit DalamJilid III.
Jakarta: Internal Publishing. 2014
5. EULAR. 2012. Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis and Clinical Feature
6. Kasjmir YI, Handono K, Wijaya LK, Hamijoyo Z, Albar, Kalim H et.al. Rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik
7. Nasonov E, Soloviev S, Davidson J, Lila a, Ivanova R, Togizbayev G, et al. The prevalence
and incidence of Systemic Lupus Erythematosus (SLE) in selected cities from three
Commonwealth of Independent States countries (the Russian Federation, Ukraine and
Kazakhstan). Lupus [Internet]. 2014;23(2):213–9. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24255073
8. Bazzan M, Vaccarino A, Marletto F. Systemic lupus erythematosus and trombosis. Thromb J
[Internet]. 2015;13(1):16. Available from: http://www.trombosisjournal.com/content/13/1/16
9. Petri M. 3 Epidemiology of Antiphospholipid Syndrome Classification Criteria for APS.
Hughes Syndr. 2006;22–8.
10. Franco J-S, Molano-González N, Rodríguez-Jiménez M, Acosta-Ampudia Y, Mantilla RD,
Amaya-Amaya J, et al. The coexistence of antiphospholipid syndrome and systemic lupus
erythematosus in colombians. PLoS One [Internet]. 2014;9(10):e110242. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/
11. Bocchiaro P, Zamperini A. World â€TM s largest Science , Technology & Medicine Open
Access book publisher c. RFID Technol Secur Vulnerabilities, Countermeas. 2016;

15

12. Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo DL, LoscalzoJ. Systemic Lupus
Erythematosus in Harrison's Principleof Internal Medicine 19th ed. New York : Mc Graw Hill.
2015
13. Alarcón-Segovia D, Pérez-Ruiz A, Villa AR. Long-term Prognosis of Antiphospholipid
Syndrome in Patients with Systemic Lupus Erythematosus. J Autoimmun [Internet].
2000;15(2):157–61. Available from:
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0896841100904025
14. Kuhn A, Bonsmann G, Anders H, Herzer P, Tenbrock K, Schneider M. Diagnostik und
Therapie des systemischen Lupus erythematodes. Dtsch Ärztebl Int. 2015;112(2):423–32.
15. Hammer GD, McPhee SJ. Inflammatory Rheumatic DiseasePathophysiology of Disease. New
York :Mc Graw Hill.2010
16. Balachandran A, Mathew AJ. Evidence Based Medicine – SLICC Criteria for SLE SLICC
classification criteria for SLE. 2015;37–42. Available from:
https://cmijournal.files.wordpress.com/2015/10/slicc-criteria-article.pdf
17. Aberle T, Bourn RL, Chen H, Roberts VC, Guthridge JM, Bean K, et al. Use of SLICC criteria
in a large, diverse lupus registry enables SLE classification of a subset of ACR-designated
subjects with incomplete lupus. Lupus Sci Med [Internet]. 2017;4(1):e000176. Available from:
http://lupus.bmj.com/lookup/doi/10.1136/lupus-2016-000176
18. Sciascia S, Murru V, Sanna G, Roccatello D, Khamashta MA, Bertolaccini ML. Clinical
accuracy for diagnosis of antiphospholipid syndrome in systemic lupus erythematosus:
Evaluation of 23 possible combinations of antiphospholipid antibody specificities. J Thromb
Haemost. 2012;10(12):2512–
19. Gordon C, Amissah-Arthur MB, Gayed M, Brown S, Bruce I, D'Cruz D, et al. The British
Society for Rheumatology guideline for the management of systemic lupus erythematosus in
adults. Rheumatology. 2018;57: 1-45.
20. Lam NVU, Ghetu M V, Bieniek ML. Systemic Lupus Erythematosus: Primary Care
Approach to Diagnosis and Management. Am Fam Physician. 2016; 94(4): 284–94.
21. Bertsias G, Cervera R, Boumpas DT. Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis and
Clinical Features. 2012; 476–505. Available from:
https://www.eular.org/myUploadData/files/sample chapter20_mod 17.pdf
22. Aringer M, Costenbader K, Daikh D, Brinks R, Mosca M, Ramsey-Goldman R, et al. 2019
European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology Classification
Criteria for Systemic Lupus Erythematosus. Arthritis Rheumatol. 2019; 71(9): 1400–12.

16

Anda mungkin juga menyukai