Disusun Oleh:
Cindy Fitriyani
(N 111 18 047)
Pembimbing :
dr. Suldiah, Sp.A.
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ...........................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
BAB III PENUTUP...............................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
lain yang disebut sebagai AIHA sekunder. Kejadian AIHA sekunder lebih sering
dibandingkan dengan AIHA primer. AIHA bisa terjadi pada semua usia, namun
lebih sering terjadi pada individu setengah baya dan lebih tua.
Riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 melaporkan insiden
anemia di Indonesia adalah 21,7 %. Anemia hemolitik mewakili sekitar 5% dari
semua anemia. Insiden AIHA berkisar 1-3 kasus per 100.000 orang per tahun,
dengan prevalensi 17/100.000 orang pertahun. Angka kematian AIHA berkisar
antara 20-50%, bergantung kepada penyakit yang mendasari munculnya penyakit
AIHA.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Anemia Hemolitik Autoimun ( Autoimmune Hemolytic Anemia=AIHA)
ialah suatu anemia yg timbul karena terbentuknya auto-antibodi terhadap self
antigen pada membran eritrosit sehingga menimbulkan dekstruksi eritrosit
(hemolisis). Reaksi autoantibodi ini akan menimbulkan anemia, akibat masa
edar eritrosit dalam sirkulasi menjadi lebih pendek. Anemia disebabkan karena
kerusakan eritrosit melebihi kapasitas sumsum tulang untuk menghasilkan sel
eritrosit, sehingga terjadi peningkatan persentase retikulosit dalam darah.
2.2. Epidemiologi
Umumnya anemia di Indonesia adalah jenis anemia akibat kekurangan zat
gizi tertentu seperti anemia defisiensi besi, anemia defisiensi asam folat, dll.
Angka kejadian jarang di Indonesia, maka AIHA juga tidak terlalu diperhatikan
di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan sedikitnya penelitian di
Indonesia tentang AIHA, padahal AIHA merupakan penyakit yang jika terjadi
dan mengenai pada pasien khususnya anak-anak akan berakibat fatal pada anak
tersebut.
Insidensi AIHA di Amerika Serikat tidak terlalu tinggi, terjadinya AIHA di
Amerika Serikat yaitu 2,6 per 100.000 tiap tahunnya, dengan rata-rata insidensi
3400 orang terkena AIHA di Amerika. Perbandingan AIHA pada pria dan
wanita memiliki frekuensi yang sama yaitu 1:1.
2.3. Etiologi
AIHA terjadi akibat hilangnya toleransi tubuh terhadap self antigen
sehingga menimbulkan respon imun terhadap self antigen. Antibodi yang
bereaksi terhadap self antigen menyebabkan kerusakan pada jaringan dan
bermanifestasi sebagai penyakit autoimun. Antibodi yang terbentuk
mengakibatkan peningkatan klirens dengan fagositosis melalui reseptor
3
(hemolisis ekstravaskuler) atau destruksi eritrosit yang diperantarai oleh
komplemen (hemolisis intravaskuler).
Etiologi AIHA terbagi 2 yaitu:
1. Idiopatik
a. Anemia autoimun tipe hangat
b. Anemia autoimun tipe dingin
2. Sekunder
a. Infeksi
- Virus: Virus Epstein – Barr (EBV), sitomegalovirus (CMV),
hepatitis, herpes simplex, measles, varisela, influenza A, coxsackie
virus B, human immunodeficiency virus (HIV)
- Bakteri : streptokokus, salmonella typhi, septikemia Esceria coli,
Mycoplasma pneumonia (pneumonia atipikal)
b. Obat-obatan dan bahan kimia : kuinine, kuinidin, fenacetin, p-asam
aminosalisilat, sodium cefalotin (Keflin), ceftriakson, penisilin,
tetrasiklin, rifampisin, sulfonamid, khlorpromazin, pyradon, dipyron,
insulin
c. Kelainan darah: leukemia, limfoma, sindrom limfoproliferatif,
hemoglobinuria paroksismal cold, hemoglobinuria paroksismal
nokturnal
d. Gangguan Immunologi: sistemik lupus eritematosus, periarteritis
nodosa, skleroderma, dermatomiositis, artritis reumatik, kolitis
ulseratif, disgammaglobulinemia, defisiensi IgA, kelainan tiroid,
hepatitis giant cell , sindrom limfoproliferatif autoimun, dan variasi
defisiensi imun lainnya.
e. Tumor: timoma, karsinoma, limfoma
2.4. Klasifikasi
AIHA dibedakan menjadi 2 kelompok menurut karakteristik klinis dan
serologis, seperti yang tercantum pada tabel 2.1.
4
Tabel 2.1 Karakteristik AIHA
2.5. Patogenesis
Kerusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui
sistem kompemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi keduanya.
a. Aktivasi Sistem Komplemen
Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyababkan
hancurnya membran sel eritosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Sistem komplemen
akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun melalui jalur alternatif.
Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik
adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin
sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan
sel darah merah dibawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat
karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.
5
membelah menjadi C3d,g dan C3c,C3d, dan C3g akan tetap berikatan pada
membran sel darah merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b
akan membentuk kompleks C4b,2b menjadi C4b2b3b (C5-convertase).
C5-convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b
yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks
penghancur membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan beberapa
molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai
suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan
terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak
dan ruptur.
6
2.6. Gejala Klinis
Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya
anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada
anemia yang terjadi perlahan-lahan, k arena ada kesempatan bagi mekanisme
homeostatik untuk menyesuaikan dengan berkurangnya kemampuan darah
membawa oksigen. Gejala anemia disebabkan oleh 2 faktor, yaitu
berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan dan adanya hipovolemia (pada
penderita dengan perdarahan akut dan masif). Pasokan oksigen dapat
dipertahankan pada keadaan istirahat dengan mekanisme kompensasi
peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah jantung pada kadar
Hb mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbu bila kadar Hb turun di bawah 5 g%
atau ketika terjadi gangguan mekanisme kompensasi jantung karena penyakit
jantung yang mendasarinya.
Pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat, pasien mempunyai gejala khas
anemia yang berkembang secara tersembunyi, meliputi lemah, pusing, lelah,
dan dispnea saat beraktifitas atau gejala lainnya yang kurang khas yaitu
demam, perdarahan, batuk, nyeri perut dan penurunan berat badan. Pada pasien
dengan hemolisis hebat, dapat terjadi ikterik, pucat, edema, urin berwarna
gelap (hemoglobinuria), splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati yang
mengiringi anemia. Pada kasus yang lebih akut, dapat mengancam nyawa, hal
ini terkait dengan infeksi virus, terutama pada anak.
Anemia hemolitik autoimun tipe dingin, pasien biasanya mempunyai
gejala anemia hemolitik kronis berupa pucat dan lemah. Keadaan lingkungan
yang dingin dapat mencetuskan serangan, oleh karena itu episode hemolisis
akut dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria lebih sering terjadi di musim
dingin. Darah lebih mudah terpengaruh suhu pada ekstremitas, sehingga pasien
lebih sering mengalami akrosianosis (warna kebiru-biruan tanpa rasa sakit pada
kedua tangan dan kaki) saat serangan terjadi.
7
2.7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis AIHA meliputi
pemeriksaan hitung darah lengkap, morfologi darah tepi, pemeriksaan
bilirubin, laktat dehidrogenase (LDH), haptoglobin, urobilinogen urin, dan
pemeriksaan serologi.
a. Pemeriksaan darah lengkap
Kadar hemoglobin yang didapatkan pada AIHA tipe hangat
bervariasi dari normal sampai sangat rendah. Kadar hemoglobin pada
AIHA tipe dingin jarang ditemukan <7gr/dl. Jumlah retikulosit dapat
meningkat sedangkan jumlah leukosit bervariasi dan jumlah trombosit
umumnya normal.
8
yang diekskresikan melalui tinja. Bilirubin yang direasorpsi di ginjal
dirubah urobilinogen urin.
Hemolisis intravaskuler terjadi pada AIHA tipe dingin yang
menyebabkan penurunan kadar haptoglobin. Hemolisis intravaskuler
menimbulkan destruksi pada eritrosit sehingga hemoglobin berikatan
dengan haptoglobin menjadi haptoglobin hemoglobin sehingga kadar
haptoglobin menurun. Kompleks haptoglobin hemoglobin dimetabolisme
menjadi bilirubin.
d. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan yang diperlukan adalah direct antiglobulin test (DAT)
menggunakan Ig G dan C3d. Sel eritrosit pasien AIHA dengan reagen anti
globulin yang dicampurkan akan menyebabkan terjadinya reaksi aglutinasi.
Hal ini menandakan adanya Ig G dan C3d pada permukaan eritrosit pasien.
9
Mikroangiopati diperantarai adanya mekaninsme gangguan eritrosit di
sirkulasi. Dari pemeriksaan akan didapatkan schistocytes. Pengobatan penyakit
ini dengan cara obati penyakit dasarnya. Sementara itu, infeksi diperantarai
oleh penyakit malaria dan infeksi clostridium. Pemeriksaan yang dibutuhkan
antara lain kultur darah, apusan darah tepi dan serologi. Pengobatan penyakit
ini dengan cara pemberian antibiotik. Sementara itu, tipe herediter terbagi
menjadi enzimopati membranopati dan hemoglobinopati. Enzimopati terjadi
pada penyakit defisiensi G6PD. Hal ini dapat dipicu oleh adanya infeksi dan
pengaruh obatobatan. Pada pemeriksan akan didapatkan rendahnya aktivitas
enzim G6PD. Penyakit ini dapat diobati dengan hentikan obat-obatan dan obati
penyakit pemicunya. Membranopati terjadi pada sferositosis herediter. Pada
pemeriksaan akan didapatkan adanya sferosit, adanya riwayat keluarga dan
DAT negatif. Pengobatan penyakit ini dapat berupa splenektomi pada kasus
yang sedang sampai berat. Hemoglobinopati terjadi pada talasemia dan
penyakit sickle cell. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain dengan
elektroforesis hemoglobin dan pemeriksaan genetik. Penyakit ini dapat dobati
dengan pemberian asam folat dan tranfusi.
2.9. Tatalaksana
Autoimmune Hemolytic Anemia dibagi dua golongan yaitu AIHA yang
diperantarai oleh antibodi IgG disebut sebagai AIHA tipe hangat yang
berikatan pada temperatur 37oC sedangkan AIHA tipe dingin di perantarai oleh
antibodi IgM yang berikatan maksimal pada temperatur dibawah 320C. Alur
pengobatan terhadap AIHA berbeda tergantung pada tipe AIHA nya. Secara
umum tujuan pengobatan pada AIHA adalah untuk mengembalikan
hematologis normal, mengurangi proses hemolitik, dan menghilangkan gejala
dengan efek samping minimal. Transfusi darah biasanya hanya digunakan
untuk kepentingan sementara tapi mungkin diperlukan diawal sebagai upaya
untuk mengatasi anemia berat sampai terlihat efek dari pengobatan yang lain.
Pasien biasanya ditransfusi dengan menggunakan packed red cell jika Hb < 7
g/dL.
10
a. Pengobatan pada AIHA tipe panas
Kortikosteroid dosis tinggi merupakan obat pilihan utama untuk
AIHA tipe panas. Steroid bekerja memblok fungsi makrofag dan
menurunkan sintesis antibodi. Prednison diberikan secara oral 2-
4mg/kgBB/hari dalam 2- 3 dosis selama 2-4 minggu kemudian dilakukan
tappering off dalam 2-6 minggu berikutnya. Jika respon pengobatan tidak
baik, dosis prednison ditingkatkan menjadi 30 mg/kgBB/hari secara
intravena selama 3 hari. Pada beberapa pasien dengan hemolisis yang berat
maka dosis prednison dapat ditingkatkan menjadi 6 mg/kgBB/hari dengan
tujuan untuk mengurangi tingkat hemolisisnya. Pengobatan tetap
dilanjutkan sampai didapatkan penurunan hemolisis, kemudian dosis obat
diturunkan secara bertahap. Jika relaps terjadi, maka diberikan dosis awal
kembali. Pasien dikatakan respon terhadap pengobatan dengan steroid akan
memperlihatkan peningkatan hemoglobin atau hemoglobin yang stabil
serta penurunan kadar retikulosit setelah dua minggu pengobatan.
Anemia hemolitik yang tetap berat meskipun telah diobati dengan
kortikosteroid atau anemia hemolitik yang memerlukan dosis obat yang
tinggi untuk mencapai hemoglobin yang normal, maka dapat
dipertimbangkan pemberian immunoglobulin intravena dan danazol. Obat
immunosuppresif termasuk pengobatan baru seperti rituximab dengan
dosis 375mg/m2 dapat diberikan sebagai pengobatan lini kedua pada pasien
yang tidak memberi respon terhadap pengobatan dengan steroid, pasien
dengan steroid-dependent, pasien relaps, ataupun pasien AIHA kronik.
Pasien yang tidak responsif terhadap pemberian kortikosteroid
dianjurkan untuk dilakukan splenektomi.5 Splenektomi juga dapat
dilakukan pada pasien AIHA kronik. AIHA dikatakan kronik jika gejala
dan hasil laboratorium yang abnormal tetap ditemukan selama > 6 bulan,
akan tetapi splenektomi dapat menyebabkan peningkatan risiko infeksi
(sepsis), terutama pada anak yang berumur < 2 tahun. Persiapan yang
dilakukan sebelum splenektomi adalah pemberian profilaksis dianjurkan
dengan vaksin yang sesuai ( pneumococcal, meningococcal, dan
11
Haemophilus influenza type b) dan pemberian penisilin secara oral setelah
splenektomi dilakukan.
2.10. Komplikasi
1. Tromboemboli
Menurut Allgood dkk, pada pasien AIHA penyebab kematian yang
paling sering adalah emboli paru (4 dari 47 pasien). Semua pasien ini
mendapatkan terapi kortikosteroid dan splenektomi. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Pullarkat dkk, 8 dari 30 pasien (27%) mengalami
episode tromboemboli vena. Faktor yang berperan dalam trombosis pada
AIHA adalah cytokine-induced expression of monocyte atau faktor
endothelial tissue. Hoffman (2009) berpendapat bahwa antikoagulan
lupus yang terdeteksi pada pasien AIHA berisiko tinggi untuk terjadinya
tromboemboli vena dan pasien sebaiknya diberikan antikoagulan untuk
profilaksis.
Penelitian yang dilakukan Kokori dkk pada pasien AIHA dengan
sistemik lupus erythematosus ditemukan risiko trombosis meningkat
lebih dari 4 kali lipat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hendrick,
disimpulkan bahwa pasien AIHA memiliki risiko tromboemboli yang
12
cukup tinggi. Dia meneliti pada 23 pasien dengan AIHA tipe hangat,
didapatkan 6 pasien mengalami tromboemboli vena, dan 5 diantaranya
cukup fatal.
2. Kelainan limfoproliferatif
Pasien dengan kelainan limfoproliferatif dapat berkembang menjadi
AIHA. Begitu juga sebaliknya, pada pasien AIHA terjadi peningkatan
risiko kelainan limfoproliferatif. Sallah, dkk. melaporkan 18% pasien
AIHA berkembang menjadi kelainan limfoproliferatif maligna. Faktor
risiko perkembangan AIHA menjadi keganasan limfoproliferatif adalah
usia, adanya penyebab penyakit autoimun, dan serum gammophaty.
Perkembangan menjadi keganasan lymphoid membutuhkan proses yang
bertahap, pada fase awal proliferasi termasuk stimulasi antigen kronik
hingga terjadinya mutasi yang menyebabkan perubahan menjadi
keganasan. Analisis terakhir ditemukan peningkatan sel T limfoma dan
zona marginal limfoma, serta ditemukan juga peningkatan sel B limfoma
non Hodgkin 2-3 kali lipat, khususnya tipe diffuse large cell limfoma.
2.11. Prognosis
Prognosis anemia hemolitik autoimun pada anak-anak biasanya baik kecuali
yang diikuti penyakit penyerta (misalnya, imunodefisiensi kongenital,
acquired immunodeficiency syndrome [AIDS], lupus erythematosus). Secara
umum, anak-anak dengan anemia hemolitik autoimun tipe hangat berisiko
tinggi untuk menderita penyakit yang lebih parah dan kronis dengan
mortalitas yang lebih tinggi. Pasien anemia hemolitik autoimun tipe dingin
lebih sering bersifat akut, self-limited (<3 bulan). Anemia hemolitik autoimun
tipe dingin hampir selalu berhubungan dengan infeksi (misalnya, infeksi
Mycoplasma, CMV, dan EBV)5. Lebih dari 80% anak dengan anemia
hemolitik autoimun sembuh spontan.
13
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Anemia Hemolitik Autoimun ( Autoimmune Hemolytic Anemia=AIHA)
ialah anemia yang timbul akibat terbentuknya autoantibodi terhadap self
antigen pada membran eritrosit sehingga menimbulkan dekstruksi eritrosit
(hemolisis). Anemia disebabkan karena kerusakan eritrosit melebihi kapasitas
sumsum untuk menghasilkan sel eritrosit. Anemia hemolitik autoimun
biasanya merupakan proses autoimun akut yang berkembang setelah infeksi
(Mycoplasma, Epstein-Barr, atau infeksi virus lainnya), akibat suatu penyakit
autoimun kronis (lupus eritematosus sistemik, gangguan limfoproliferatif, atau
immunodefisiensi) dan neoplasma.
3.2. Saran
1. Kepada masyarakat diharapkan lebih mengetahui tentang Anemia
Hemolitik Autoimun baik pengertian maupun gejalanya, sehingga apabila
dijumpai tanda gejala hipertensi tersebut maka dapat segera ke tempat
pelayanan kesehatan.
2. Kepada tenaga kesehatan diharapkan agar dapat memberi penanganan awal
yang tepat bila menemui kasus Anemia Hemolitik Autoimun, sehingga
tidak terjadi komplikasi yang berlanjut.
14
DAFTAR PUSTAKA
I. Kliegman, Behrman, Jenson. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th
ed,Elsevier Science; Philadelphia.
Lange, Appleton. 2007. Current Pediatric Diagnosis & Treatment, Eighteenth
Edition. The McGraw-Hill Companies; United States of America.
Robert J. Arceci, Ian M. Hann, Owen. 2006. Pediatric hematology 3rd ed.
Blackwell; Australia.
Sarper Nazan, Suar Caki Kilic, Emine Zengin, Sema Aylan Gelen.2011.
Management of autoimmune hemolytic anemia in children and adolescents
: A single center experience. Turk J Hematol.
Ware, Russel E., Donald H. Mahony and Stephen A. Landlaw. 2012. Autoimmune
Hemolytic Anemia in Children.
Zanella Alberto dan Wilma Barcellini. 2014. Treatment of Autoimmune Hemolytic
Anemias. Hematologica. 99(10).
15