Anda di halaman 1dari 20

CLINICAL SCIENCE SESSION

MALFORMASI ANOREKTAL

Preseptor :
Bustanul Arifin Nawas, dr., SpB., SpBA (K)

Oleh :

Anggi Riris Novianti 1301-1211-0514


Rivano F. H Pandaleke 1301-1211-0617
Tasya Aniza 1301-1212-0638
Denny Lesmana Putra 1301-1211-0539

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN BEDAH ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN
BANDUNG
2013

1
MALFORMASI ANOREKTAL

1. Pendahuluan

Malformasi anorektal adalah kegagalan pertumbuhan anorektal pada masa

embrio yang ditandai dengan agenesis anal, agenesis rectal, dan atresia rectal.

Kelainan anorektal merupakan suatu spektrum defek kongenital yang sering disertai

sekuele berat seperti inkontinensia feses dan urin

Insidensi kelainan anorektal adalah 1/5000 kelahiran hidup. Di Indonesia

secara nasional belum ada angkanya, yang dapat dikemukakan adalah angka kejadian

di rumah sakit.

2. Etiologi

Pada minggu ketiga kehamilan, embrio terdiri dari rongga amnion dan

kantung kuning telur yang dipisahkan oleh diskus trilaminar yaitu ectoderm,

mesoderm, dan endoderm. Diskus ini kemudian tumbuh secara craniocaudal dan

bagian endoderm membentuk tonjolan yaitu hindgut. Hindgut ini kemudian menyatu

dengan allantois dan ductus mesonefrus dan membentuk kloaka.

Kloaka kemudian akan membelah membentuk rectum dan traktus urogenital.

Pada minggu ketujuh pembelahan kloaka akan terhenti dengan pertumbuhan kedalam

dari mesenkim, dan membentuk septum urogenital dan membentuk perineum.

Perineum ini kemudian akan membagi membran kloaka menjadi membran urogenital

1
pada bagian anterior dan membran anal pada bagian posterior. Pembengkakan dari

mesenkim terjadi dan akan mengelilingi membran anal. Hal ini akan menyebabkan

lekukan anal, suatu penekanan pada bagian ektoderm pada membran anal, hal ini

terjadi pada minggu ke delapan dan membran akan perforasi pada minggu

kesembilan.

2
Malformasi anorektal terjadi apabila proses ini gagal. Penyebab kegagalan ini

masih belum diketahui

3
3. Klasifikasi

Dulu klasifikasi MAR di bagi berdasarkan hubungan antara ujung rektum

dengan levator. Hal ini dilakukan dengan melakukan invertogram. Invertogram

adalah teknik pengambilan foto untuk menilai jarak ujung rektum, dimana bayi

diletakkan terbalik atau tidur telungkup, sinar diarahkan horizontal ke trokhanter

mayor. Selanjutnya diukur jarak dari ujung udara yang ada di ujung rektum ke tanda

logam di perineum. Apabila ujung rektum terdapat di atas garis pubococcygeal ( di

atas levator) maka kelainan dinamakan kelainan letak tinggi sedangkan apabila ujung

distal rektum tedapat pada seperempat ujung os ischium keadaan ini disebut letak

sedang. Sedangkan apabila dibawahnya maka disebut kelainan letak rendah.

Klasifikasi saat ini didasarkan pada kebutuhan terapi. Berdasarkan klasifikasi

ini, terbagi dua kelompok berdasarkan kebutuhan colostomy. Anak dengan fistula

cutaneus, stenosis anal, dan anal membran dapat melakukan operasi definitif tanpa

harus melakukan colostomy protektif terlebih dahulu. Sedangkan pasien dengan

fistula rectouretra, fistula rectovesical, agenesis anorectal tanpa fistula, atresia rectal,

fistula vestibular, fistula vagina, membutuhkan colostomy protektif sebelum operasi

definitif.

Secara lengkap pembagiannya menurut Wingspread adalah sebagai berikut :

4
LAKI – LAKI
Golongan I : Tindakan :
1. Fistel urine Kolostomi neonatus pada usia
2. Atresia rekti 4-6 bulan
3. Perineum datar
4. Tanpa fistel, udara > 1cm dari kulit pada
invertogram
Golongan II : Tindakan :
1. Fistel perineum Operasi definitif neonatus
Membran anal tanpa kolostomi
Stenosis ani
Bucket handle
Tanpa fistel, udara < 1 cm dari kulit pada
invertogram

PEREMPUAN
Golongan I : Tindakan :
Kloaka Kolostomi neonatus pada usia 4-6
Fistel vagina bulan
Fistel anovestibular
Atresia rekti
Tanpa fistel udara, > 1cm dari kulit
pada invertogram
Golongan II : Tindakan :
Fistel perineum Operasi definitif neonatus tanpa
Stenosis ani kolonostomi
Tanpa fistel, udara < 1 cm dari kulit
pada invertogram

3.1 Klasifikasi pada Laki-laki

a. Fistula Perineal

Pada laki-laki dan perempuan fistula perineal merupakan jenis paling

sederhana. Anoplasti dapat dilakukan saat neonatus tanpa kolostomi. Kontinensi

seharusnya dapat dicapai 100% kasus, tetapi cukup banyak mengalami konstipasi.

Pada 28% ditemukan kelainan genitourinari.

5
b. Fistula Rekto-Bulbus Uretra

Fistula di urethra bagian bawah. Voluntary bowel movement dicapai oleh 81%

kasus setelah usia 3 tahun. Pada 46% ditemukan kelainan urologi.

c. Fistula Rekto-Urethra Prostatika

Fistula di urethra bagian atas. Voluntary bowel movement dicapai oleh 70%

kasus, dan kelainan urologik ditemukan pada 60%.

d. Fistula Rekto-Vesika

Hanya ditemukan pada 10% dari kasus laki-laki. Voluntary bowel movements

dapat dicapai hanya pada 30% pada usia 3 tahun. Merupakan kelainan yang

memerlukan laparotomi. Pada 80% ditemukan kelainan urologik.

e. Tanpa fistula

Terjadi pada 5% kasus. 50% menderita sindrom Down dan pada sisanya

ditemukan berbagai sindrom lain atau gangguan neurologik. Sakrum dan spinkter

umumnya baik. Pada 38% ditemukan kelainan genitourinaria..

f. Atresia Rekti

Pada laki-laki dan perempuan terjadi pada 1% kasus. Anus dan spinkter selalu

normal. Pada atresia rekti 100% memiliki kemampuan kontinensia.

6
3.1.2 Klasifikasi pada Perempuan

a. Fistula Perineal

Sama

b. Fistula Vestibular

Paling sering ditemukan pada perempuan dimana rektum terletak tepat di

posterior vagina, diluar himen. Pada 93% timbul voluntary bowel movement pada

usia 3 tahun, tetapi pada 63% terdapat berbagai derajat konstipasi. Pada 40% terdapat

kelainan urologi.

c. Tanpa fistula

Sama

d. Atresia Rekti

Sama

e. Kloaka

Merupakan kelainan dengan spektrum tersendiri. Rektum, vagina, dan urethra

bersatu membentuk common channel. Pada channel dengan panjang < 3 cm, tindakan

dapat dilakukan cukup dengan PSA tanpa laparotomi. Bila > 3cm, perlu pendekatan

kombinasi. Panjang channel merupakan tanda prognostik penting. Delapanpuluh

persen dengan channel < 3 cm mencapai bowel movement pada usia 3 tahun

sedangkan 20% memerlukan kateterisasi intermiten untuk mengosongkan kandung

kemih. Pasien dengan channel panjang 55% mencapai bowel movement pada usia 3

tahun dan 70% memerlukan kateterisasi intermiten.

7
f. Fistula Rekto Vagina

Dalam klasifikasi ini tidak dimasukan fistula rekto-vagina karena hanya

ditemukan pada < 1 %. Dalam klasifikasi lama dikatakan kelainan ini sering

dijumpai, tetapi ternyata banyak disalahkan dengan fistula vestibuler atau kloaka.

4. Gejala klinis

Pasien dengan MAR akan datang dengan keluhan tidak ada anus pada

pengamatan atau adanya kegagalan mengeluarkan mekonium. Pasien biasanya

kembung. Walaupun kebanyakan adalah anak yang lahir cukup bulan, biasanya MAR

akan disertai dengan anomali kongenital. Anomali ini biasanya pada tulang belakang,

ekstremitas, jantung, dan sindrom down. Kelainan jantung yang biasanya menyertai

adalah tetralogi fallot dan VSD.

5. Diagnosis

MAR adalah diagnosa klinis. Inspeksi dari perineum apakah ada mekonium

dan atau fistula. Periksa apakah ada belahan pantat, apakah ada lekukan anal/ anal

dimple atau adanya pulsasi untuk mengetahui penonjolan sphincter. Hal ini dapat

dilakukan dengan meraba daerah perineum dengan lembut. Pemeriksaan preoperatif

dilakukan untuk mengetahui adanya fistula, lokasi ujung rectum, dan lesi-lesi lain

yang terkait. Untuk mengetahui adanya fistula, observasi bayi baru lahir selama 24-48

8
jam. Adanya mekonium pada perineum menunjukkan adanya fistula dan kelainan

letak rendah. Jika tidak ada mekonium, lakukan inventogram untuk membedakan

apakah lesi letak tinggi atau letak rendah. Untuk mencari adanya hubungan antara

rektum dengan traktus urinarius, ambil urin dengan perban atau kain. Adanya

mekonium menunjukkan adanya hubungan antara saluran urogenital dengan usus.

Pemeriksaan rutin dilakukan untuk mencari kelainan lain. Lebih dari 50%

penderita memiliki kelainan kongenital lain. Yang sering ditemukan adalah kelainan

saluran genito-urinal (30%), kelainan jantung (75%) yang tersering adalah tetralogi

Fallot dan VSD, kelainan saluran cerna misalnya atresia esofagus atau atresia

duodenum, dan kelainan vertebra. Dikenal dengan singkatan VACTERL (Vertebrae,

Anorectal, Cardiac, TracheoEsophageal fistula, Renal, Limb)

Lakukan pasase NGT (esofageal atresia), echo cardiografi (cardiac anomaly),

USG abdomen (agenesis renal), foto ro tulang belakang ( kelainan vertebra), MRI

(tethered cord) akan menengakkan kelainan lain yang terkait.

5.1 Pemeriksaan khusus pada perempuan

Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya ditemukan

fistel ke vestibulum atau vagina (80-90%).

a. Kelompok I

Pada fistel vagina mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feses

menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya cepat dilakukan kolostomi. Pada fistel

9
vestibulum, muara fistel terdapat di vulva, umumnya evakuasi feses lancar selama

penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai makan

makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal.

Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus

genitalis, dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu

cepat dilakukan kolostomi.

Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada pemeriksana colok

dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium

sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram,

yaitu foto rontgen diambil pada bayi di letak inversi (pembalikkan posisi) sehingga

udara di kolon akan naik sampai di ujung buntu rektum. Jika udara lebih dari 1 cm

dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi.

b. Kelompok II

Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat anus

normal, terdapat anus lubang anus anterior tetapi timah buntu di posteriornya.

Kelainan ini umumnya menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus

terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar

sehingga harus dilakukan terapi definitif.

Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara ≤ 1 cm dari kulit, dapat

segera dilakukan pembedahan definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak ada sehingga

perlu segera dilakukan kolostomi.

10
Gambar : Fistel Anovestibuler

5.2 Pemeriksaan Khusus pada Laki-laki

Yang harus diperhatikan adalah adanya fistel atau kenormalan bentuk

perineum. Dan ada tidaknya butir mekonium di urin. Dari kedua hal tadi pada anak

laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel perineum.

a. Kelompok I

Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra,

mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis untuk

menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang

dan urin jernih berarti fistel terletak di uretra karena fistel tertutup kateter. Bila

dengan kateter urin mengandung mekonium berarti fistel ke vesika urinaria. Bila

evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia

rektum tindakannya sama dengan pada perempuan : harus dibuat kolostomi.

11
Jika tidak ada fistel dan udara ≥ 1 cm dari kulit pada invertogram , maka perlu

segera dilakukan kolostomi.

b. Kelompok II

Fistel perineum sama dengan pada wanita : lubangnya terletak anterior dari

letak anus normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di

bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definitif

secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan pada wanita, tindakan definitif

harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara ≤ 1 cm dari kulit pada invertogram,

perlu juga segera dilakukan pertolongan bedah

Gambar : Fistel perineal

12
Gambar : Invertogram dengan teknik cross table

Gambar : Perbedaan MAR Letak Tinggi dan Letak Rendah

13
6. Penatalaksanaan

Terapi standar saat ini mengikuti prosedur yang dianjurkan yaitu penanganan

3 tahap, kecuali kelainan fistula perineal, operasi saat neonatus adalah diverting

colostomy, disusul operasi defenitif dengan teknik Postero Sagittal Ano Recto Plasty,

dan tahap akhir berupa penutupan kolostomi.

6.1 Kolostomi

Dianjurkan untuk membuat divided colostomy di perbatasan kolon desendens

dengan sigmoid sebagai prosedur terbaik untuk diversi. Lokasi ini dipilih karena bila

terdapat fistula dari saluran kencing, urin yang masuk secara retrograd akan di serap

usus sehingga bisa terjadi asidosis hiperkloremik, atau terjadi kontaminsasi feses ke

saluran kencing.

Dua minggu setelah kolostomi dibuka, lakukan pemeriksaan, yaitu suatu

pemeriksaan penting untuk melokalisir posisi fistula. Tekniknya adalah memasukan

kateter Folley ke kolon distal, kembangkan balon, masukan kontras larut air dengan

tekanan sampai tampak fistula. Teruskan penyuntikan sampai kantong kencing terisi

penuh dan pasien BAK. Dengan ini lokasi tepat fistula dapat terlihat dengan jelas .

Saat ini ada yang menganjurkan untuk melakukan terapi definitif tanpa

kolostomi atau melakukan terapi definitif melalui laparoskopi. Tetapi mengganti

operasi tiga tahap menjadi satu tahap memerlukan perencanaan yang matang serta

melihat statistik keberhasilan tindakan terseb

14
6.2 Operasi Definitif

PSARP dianjurkan dilakukan 1 bulan pasca kolostomi. Tidak diperlukan

tindakan persiapan usus (bowel preparation) dan cukup dilakukan irigasi kedua

stoma satu hari sebelumnya.

6.3 Penutupan Kolostomi

Dilakukan bila anus sudah menjalani dilatasi dan mencapai ukuran normal.

Alasan dilakukan dilatasi adalah karena anus dan rektum diliputi otot yang dalam

keadaan normal akan menutup. Tanpa dilatasi ia akan sembuh dalam posisi tertutup

atau sempit. Dilatasi dimulai 2 minggu pasca bedah definitif dengan dilator Hegar 2

kali sehari yang dilakukan orang tua dirumah. Sekali seminggu kontrol ke rumah

sakit dan setiap minggu ukuran dinaikan 1 ukuran lebih besar.

Ukuran dilator disesuaikan dengan umur :

1 - 4 bulan 12

4 - 12 bulan 13-14

1 tahun - 3 tahun 15

3 tahun - 12 tahun 16

> 12 tahun 17

Bila ukuran sudah dicapai, kolostomi dapat ditutup tetapi dilatasi dilanjutkan

dengan frekuensi menurun sebagai berikut :

15
- Sekali sehari selama satu bulan.

- Selang 3 hari selama sebulan

- Dua kali seminggu selama sebulan

- Sekali seminggu selama sebulan

- Sekali sebulan selama tiga bulan.

Kesulitan memasukan dilator atau timbul perdarahan merupakan indikasi

untuk memulai kembali dilatasi dua kali sehari, dan memulai semuanya dari awal.

Salah satu kesalahan pada dilatasi adalah bila diusahakan untuk tidak

menimbulkan nyeri pada anak dengan melakukan dilatasi sekali seminggu dalam

narkose. Tindakan ini menyebabkan laserasi setiap minggu yang kemudian menjadi

fibrosis. Satu minggu kemudian saat dilatasi kembali akan terjadi kembali laserasi.

Proses yang berulang ini akan berakhir dengan timbulnya cincin fibrosis dengan

akibat penyempitan. Penyempitan juga dapat terjadi bila menggunakan ukuran dilator

yang sama untuk waktu lama. Anus akan sembuh dengan ukuran kecil yang akan

sangat sulit untuk di dilatasi.

7. Prognosis

Pemeriksaan yang teliti dapat membedakan kelainan dengan prognosis bowel

control yang baik dari yang buruk.

16
Indikator prognosis baik :

- Sakrum normal

- Cekungan garis tengah jelas (midline groove elas berarti struktur otot baik)

- Atresia rekti

- Fistula vestibuler

- Tanpa fistula

- Kloaka rendah

- Fistula perineal

Indikator prognosis buruk :

- Sakrum abnormal (>2 vertebra tak terbentuk)

- perineum datar (midline groove tidak jelas berarti otot lemah)

- Fistula vesika urinaria

- Kloaka tinggi

- Malformasi kompleks

Anak yang lahir dengan malformasi anorektal tak akan toilet training sebelum

usia 2,5 -3 tahun. Tetapi sebelum waktu itu ada tanda prognostik yang dapat

mengarah pada kemungkinan dapat mencapai bowel control.

Gejala Prognosis baik :

- Bowel movement baik : 1-3 kali sehari

- kontrol urin baik

- ada sensasi saat BAB (dapat mengedan)

17
- Gejala prognosis buruk :

- inkontinen urin, dribbling

- Soiling terus menerus

- Tidak ada sensasi (tidak ada mengedan)

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Klegman, Jenson, Nelson Textbook of Pediatric 17th Editions,


Saunders. 2004. p 1285-1286
2. De Jong, W, Sjamsuhidajat, R, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 1997, h 667-670
3. Arensman, Robert M, Pediatric surgery, Landes Bioscience,2000
4. M. Amir Thayeb, PROTOKOL PENANGANAN ANOMALI ANOREKTAL,
Divisi Bedah Anak, Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta,

19

Anda mungkin juga menyukai