Anda di halaman 1dari 31

LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2022


UNIVERSITAS HALU OLEO

HUBUNGAN KARAKTERISTIK MASYARAKAT TERHADAP


KEPRIBADIAN BORDERLINE

Oleh :

Alfath Akbar J. Dundu, S. Ked

K1B1 21 035

Pembimbing:

dr. H. Junuda RAF, M.Kes., Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERISITAS HALU OLEO
KENDARI
2022

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Alfath Akbar J. Dundu, S.Ked

NIM : K1B1 21 035

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Judul : Hubungan Kepribadian Masyarakat terhadap

Kepribadian Borderline

Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Univeristas Halu Oleo,

Kendari, Januari 2022

Mengetahui

Pembimbing,

dr. H. Junuda RAF, M.Kes., Sp.KJ


BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan kepribadian ambang (Borderline Personality Disorder) adalah


penyakit psikologis yang mengganggu kepribadian seseorang mempunyai efek
samping dalam perilaku individu baik dari segi emosi atau perasaan. Gangguan ini
mempunyai tanda-tanda ketidakstabilan diri, perilaku, dan emosi pada penderitanya,
seperti contoh yang ada dalam diri misalnya perubahan susasana hati yang signifikan,
tidak percaya diri, Kecemasan berlebihan, dan sensitif. Gangguan Kepribadian (BPD)
masih sangat asing dalam lingkungan sekitar kita, kurangnya kepedulian masyarakat
tentang kesehatan psikologis membuat penyakit ini menjadi masalah yang sulit
dihadapi bagi penderitanya. Kesulitan dalam mengungkapkan perasaannya sendiri,
takut dicap “aneh” oleh masyarakat, dan termasuk cara pandang orang tentang para
penderita gangguan psikologis yang masih di anggap “hanya mencari sensasi”
menjadi bibit-bibit yang akan menimbulkan depresi dan stres bagi penderitanya
(Wulandari, 2019).
Borderline Personality Disorder merupakan gangguan ketidakstabilan emosi,
yang mampu merusak citra diri bagi penderita. Gangguan ini datang tidak menentu
dan tanpa alasan yang jelas, dan menyebabkan disfungsi kepribadian sehingga
menjalar kepada masalah-masalah lainnya seperti, serangan panik, depresi, hingga
menyakiti diri sendiri. Kepribadian ambang menjadi menarik untuk dibahas dalam
penelitian ini dibalik banyaknya gangguan lain secara psikologis karena gejala awal
penderita KA ini terlihat tidak berbahaya dan banyak orang baik pasien maupun
orang disekitarnya tidak menyadari gejala yang timbul. Gejala KA yang muncul jika
tidak segera disadari dan semakin memburuk maka akan menimbulkan dampak buruk
bagi pasien. Pasien dapat dipandang sebagai orang yang tidak bermoral, seperti pada
penelitian yang dilakukan oleh Daley et. al. bahwa individu dengan KA seringkali
dianggap sebagai orang jahat (Wulandari, 2019).

1
2

A. Ganngguan Kepribadian Borderline


a. Definisi

Gangguan Kepribadian borderline (ambang) adalah pola yang


mengganggu, tidak stabil dan hubungan yang dangkal, ditandai oleh perilaku
penurut yang kuat. Dasar ketidakstabilan ini adalah citra diri yang tidak pasti
(Millon, 2015). Emosi sangat kuat dan labil. Pemutusan hubungan yang
berulang-ulang menghasilkan perasaan kesedihan dan periode-periode
depresi yang hebat, lekas marah, dan kecemasan. Orang-orang dengan
kepribadian borderline sangat rentan terhadap perpisahan atau pengabaian,
dan sebagai konsekuensinya secara tak sengaja mencari keterikatan orang
lain. Perilaku menjadi FIE yang tidak dapat diprediksi dan impulsif ketika
ketakutan akan pengabaian muncul. Dalam ulasan literatur. Torgensen
(1994) mengusulkan dua sindrom gangguan kepribadian perbatasan: yang
impulsif, ditandai oleh ketidakstabilan dan intensitas: dan yang kosong, yang
terdiri dari perilaku yang mencakup ancaman bunuh diri, kecemasan
ditinggalkan, dan gangguan identitas. Kebanyakan teori etiologis
menekankan faktor psikologis dalam pengembangan kepribadian borderline.
Gangguan kepribadian borderline cenderung terjadi pada wanita yang telah
mengalami pelecehan fisik, emosional, atau seksual yang parah selama masa
kanak-kanak (Galletly, 2015). Ketidakstabilan dasar dalam suasana hati,
pemikiran, perilaku, hubungan, dan citra diri mencirikan kepribadian
borderline. (Millon 2015).
Gangguan Kepribadian Ambang (GKA) adalah suatu kondisi yang
ditandai dengan kesulitan mengatur emosi. Ini berarti bahwa orang yang
mengalami GKA merasakan emosi secara intens dan untuk waktu yang
lama, dan lebih sulit bagi mereka untuk kembali ke dasar yang stabil setelah
peristiwa pemicu emosional. (National Alliance On Mental Illness, 2017).
3

Kesulitan ini dapat menyebabkan impulsif, citra diri yang buruk,


hubungan yang kacau, dan respons emosional yang intens terhadap
stresor. Berjuang dengan pengaturan diri juga dapat mengakibatkan perilaku
berbahaya seperti melukai diri sendiri (misalnya cutting). (National Alliance
On Mental Illness, 2017).

b. Insidensi

Diperkirakan bahwa 1,4% dari populasi dewasa AS mengalami


BPD. Hampir 75% orang yang didiagnosis dengan BPD adalah
wanita. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pria mungkin sama-sama
terpengaruh oleh BPD, tetapi umumnya salah didiagnosis dengan PTSD atau
depresi. (National Alliance On Mental Illness, 2017).
BPD mempengaruhi 5,9% orang dewasa (sekitar 14 juta orang Amerika)
pada suatu waktu dalam hidup mereka. BPD mempengaruhi 50% lebih
banyak orang daripada penyakit Alzheimer dan hampir sebanyak gabungan
skizofrenia dan bipolar (2,25%). BPD mempengaruhi 20% pasien yang
dirawat di rumah sakit jiwa dan mempengaruhi 10% orang yang menjalani
perawatan kesehatan mental rawat jalan. (National Education Alliance For
Borderline Personality Disorder, 2021).

c. Etiologi

Penyebab BPD tidak sepenuhnya dipahami, tetapi para ilmuwan setuju


bahwa itu adalah hasil dari kombinasi faktor, termasuk :
Genetika. Meskipun tidak ada gen atau profil gen tertentu yang terbukti
secara langsung menyebabkan BPD, penelitian menunjukkan bahwa orang
yang memiliki anggota keluarga dekat dengan BPD mungkin berisiko lebih
tinggi terkena gangguan tersebut.
4

Faktor lingkungan. Orang-orang yang mengalami peristiwa kehidupan


yang traumatis—seperti pelecehan fisik atau seksual selama masa kanak-
kanak atau pengabaian dan perpisahan dari orang tua—beresiko lebih tinggi
terkena BPD.
Fungsi otak. Sistem regulasi emosional mungkin berbeda pada orang
dengan BPD, menunjukkan bahwa ada dasar neurologis untuk beberapa
gejala. Secara khusus, bagian otak yang mengontrol emosi dan pengambilan
keputusan/penilaian mungkin tidak berkomunikasi secara optimal satu sama
lain (National Alliance On Mental Illness, 2017).

d. Faktor Risiko

Beberapa faktor yang berhubungan dengan perkembangan kepribadian


dapat meningkatkan risiko mengembangkan gangguan kepribadian ambang.
Ini termasuk : (Heredia, 2021)

 Predisposisi herediter, berisiko lebih tinggi jika ayah, saudara laki-laki


atau perempuan memiliki kelainan yang sama atau serupa.
 Masa kecil yang penuh tekanan, banyak orang dengan laporan
gangguan seksual atau fisik dilecehkan atau diabaikan selama masa
kanak-kanak. Anak yang mengalami kekerasan fisik akan
mengembangkan perasaan negatif seperti ketakutan, sakit hati, perasaan
tertolak/tidak diterima oleh lingkungan, yang menyebabkan di masa
dewasa anak cenderung senang mencari keintiman dari orang lain dan
melakukan segala cara untuk menghindari perasaan ditolak/takut
ditinggalkan oleh orang lain. Begitu pula dengan anak yang mengalami
kekerasan seksual sangat mungkin diancam oleh pelakunya untuk tetap
diam dan tidak menceritakan pengalaman tersebut kepada siapapun.
Dengan demikian, ia sangat takut dan malu namun tak dapat
5

mengungkapkan perasaannya sehingga akibatnya proses pengolahan


emosi dan cara mengekspresikan emosi (regulasi emosi) dalam diri anak
tersebut akan terganggu (Wibhowo dkk, 2019).

Beberapa orang telah kehilangan atau terpisah dari orang tua atau
pengasuh dekat ketika mereka masih muda atau memiliki orang tua atau
pengasuh dengan penyalahgunaan zat atau masalah kesehatan mental
lainnya (Heredia, 2021).

e. Patofisiologi

Patofisiologi gangguan kepribadian ambang kemungkinan merupakan


kombinasi dari kecenderungan genetik yang dikombinasikan dengan faktor
lingkungan anak usia dini dan disfungsi neurobiologis. Pemahaman yang
lebih besar tentang neurobiologi dan khususnya disfungsi neurotransmiter
dapat mengarah pada pilihan terapi yang lebih baik untuk mengobati
gangguan kepribadian ambang. Sebuah penelitian pada tahun 2015 yang
meneliti peran oksitosin dalam regulasi penghargaan sosial dan jaringan
empati sebagai penyebab yang berkontribusi terhadap gangguan kepribadian
ambang dan gangguan kepribadian lainnya. Secara khusus, disregulasi
serotonin yang mengurangi sensitivitas reseptor 5HT-1A dapat berkontribusi
pada gangguan kepribadian ambang. Peningkatan tingkat gangguan belajar,
gangguan attention-deficit/hyperactivity, dan defisit neurokognitif, serta
temuan elektroensefalografi yang abnormal, juga telah dilaporkan pada pasien
dengan gangguan kepribadian ambang (Stone, 2019).

f. Tanda dan Gejala

Orang dengan BPD mengalami perubahan suasana hati yang luas dan
dapat merasakan ketidakstabilan dan rasa tidak aman yang luar biasa. Menurut
6

kerangka diagnostik Manual Diagnostik dan Statistik, beberapa tanda dan


gejala utama mungkin termasuk :

 Ketakutan yang intens akan pengabaian, bahkan melakukan tindakan


ekstrem untuk menghindari perpisahan atau penolakan yang nyata atau
yang dibayangkan
 Pola hubungan intens yang tidak stabil, seperti mengidealkan seseorang
sesaat dan kemudian tiba-tiba percaya bahwa orang tersebut tidak cukup
peduli atau kejam

 Perubahan diri yang cepat -identitas dan citra diri yang mencakup
pergeseran tujuan dan nilai, dan melihat diri sendiri sebagai buruk atau
seolah-olah Anda tidak ada sama sekali

 Periode paranoid terkait stres dan kehilangan kontak dengan kenyataan,


berlangsung dari beberapa menit hingga beberapa jam

 Perilaku impulsif dan berisiko, seperti berjudi, mengemudi secara


sembrono, seks yang tidak aman, menghabiskan uang, makan berlebihan
atau penyalahgunaan narkoba, atau menyabot kesuksesan dengan tiba-tiba
berhenti dari pekerjaan yang baik atau mengakhiri hubungan positif

 Ancaman atau perilaku bunuh diri atau melukai diri sendiri, sering kali
sebagai tanggapan takut akan perpisahan atau penolakan

 Perubahan suasana hati yang luas yang berlangsung dari beberapa jam
hingga beberapa hari, yang dapat mencakup kebahagiaan yang intens,
lekas marah, malu atau cemas

 Perasaan hampa yang berkelanjutan


7

 Tidak pantas, kemarahan yang intens, seperti sering kehilangan


kesabaran, menjadi sarkastik, atau bertengkar fisik. (Heredia, 2021)

g. Deskripsi Status Mental

Gejala utama dalam status mental adalah orang- orang dengan


kepribadian yang terbatas adalah pengaruhnya yang kuat namun labil. Gejala
tersebut bervariasi dari sangat ceria hingga depresi, dari menghargai hingga
marah dan kritis. Dampaknya menunjukan hubungan yang erat antara cerita
pasien dan dokter yang memberikan pengobatan klinik. Efek labil
disejajarkan dengan uraian suasana hati yang labil (Millon 2015).
Intensitas yang berlebihan dari suasana hati sangat mengesankan, tidak
seperti kelainan kepribadian histrionik, yang dampaknya tampak lebih
kentara ketimbang dirasakan, pasien yang memiliki disor kepribadian yang
sederajat benar- benar mengalami dampak yang sangat hebat dan suasana
hati, kehebatan dari kepalsuan telah hilang. Para peneliti telah mendapati
bahwa pasien gangguan kepribadian ambang memperlihatkan hubungan
yang kuat dengan pasien penderita gangguan bipolar dan bisa jadi berbeda.
Keunikan emosi tetap ada pada sikap sosial pasien. Bertentangan
sekali dengan keinginan teman dekat, terjadi laporan yang bertentangan
mengenai karakteristik mereka, mereka terlalu berlebih- lebihan atau
mengalami devaluasi. Karena pasien dengan gangguan kepribadian ganda
tidak berada dalam jarak antara perasaan intens mereka, mereka tidak dapat
mengetahui sumber kesulitannya (Millon 2015).

h. Kriteria diagnosis DSM-IV (Bordeline)

Pola ketidakstabilan yang meluas dari hubungan antarpribadi, citra


diri, dan berdampak dan menandai impulsif yang dimulai oleh orang dewasa
8

awal dan hadir dalam berbagai konteks, seperti yang ditunjukan oleh lima
(atau lebih), sebagai berikut (Sari dan Hamidah, 2020) :

1) Upaya yang kalang kabut untuk menghindari penelantaran nyata atau


khayalan (cacatan : jangan bunuh diri atau merusak perilaku yang
dipenuhi dari 5 kriteria)
2) Sebuah pola hubungan antarpribadi yang tidak stabil dan kuat dan yang
dicirikan dengan tindakan bolak-balik antara perjanjian dan devaluasi
yang ekstrim

3) Gangguan identitas : gambaran diri atau perasaan diri yang tidak stabil
dan mencolok

4) Impulsif dalam beberapa bidang yang berpotensi merugikan diri sendiri


(misalnya pengeluaran, seks, penyalagunaan zat, mengemudi dengan
semborono, makan tidak terkendali). (cacatan : tidak termaksud bunuh
diri atau perilaku merusak diri yang dipenuhi kriteria 5)

5) Perilaku bunuh diri yang berulang, gerak tangan atau ancaman, atau
perilaku yang memutilasi diri sendiri

6) Ketidakstabilan emosi yang mencolok akibat perubahan suasana hati


(misalnya, disphoria episodik yang hebat, mudah tersinggung atau
khawatir, biasanya berlangsung selama beberapa jam dan hanya jarang
lebih dari beberapa hari) serta perasaan hampa kronis

7) Kemarahan yang tidak pantas, kemarahan yang hebat atau kesulitan


mengendalikan kemarahan (misalnya, kemarahan yang sering muncul,
perkelahian fisik yang berulang)

8) Sementara, stres, pikiran ketakutan atau gejala sosial.


9

Kriteria Diagnosis DSM V


Pola ketidakstabilan hubungan interpersonal, citra diri, dan afek yang
meresap, dan impulsif yang ditandai, dimulai pada awal masa dewasa dan
muncul dalam berbagai konteks, seperti yang ditunjukkan oleh lima (atau
lebih) berikut ini (American Psychiatric Association., 2013) :
Upaya panik untuk menghindari pengabaian yang nyata atau yang
dibayangkan. (Catatan: Jangan memasukkan perilaku bunuh diri atau
melukai diri sendiri yang tercakup dalam Kriteria 5). 

1) Pola hubungan interpersonal yang tidak stabil dan intens yang dicirikan
oleh pergantian antara idealisasi dan devaluasi yang ekstrem. 
2) Gangguan identitas: citra diri atau perasaan diri yang tidak stabil secara
nyata dan terus-menerus. 

3) Impulsif dalam setidaknya dua area yang berpotensi merusak diri sendiri
(misalnya, pengeluaran, seks, penyalahgunaan zat, mengemudi
sembrono, pesta makan). (Catatan: Jangan sertakan perilaku bunuh diri
atau mutilasi diri yang tercakup dalam Kriteria 5). 

4) Perilaku, gestur, atau ancaman bunuh diri yang berulang, atau perilaku
mutilasi diri. 

5) Ketidakstabilan afektif karena reaktivitas suasana hati yang nyata


(misalnya, disforia episodik yang intens, iritabilitas, atau kecemasan
yang biasanya berlangsung beberapa jam dan jarang lebih dari beberapa
hari). 

6) Perasaan kosong yang kronis. 


10

7) Kemarahan yang tidak pantas dan intens atau kesulitan mengendalikan


kemarahan (misalnya, sering menunjukkan kemarahan, kemarahan terus-
menerus, perkelahian fisik berulang). 

8) Ide paranoid sementara yang berhubungan dengan stres atau gejala


disosiatif yang parah (American Psychiatric Association, 2013).

Orang dengan Kepribadian Ambang (KA) menurut DSM-IV, biasanya


dimulai sejak dewasa awal dan ditunjukkan dengan kriteria antara lain
gangguan identitas, impulsif, perasaan kosong dan ada keinginan untuk
bunuh diri. Menurut beberapa penelitian, KA tidak hanya dimiliki oleh
orang Barat namun juga dialami oleh orang di negara Timur. Hanya saja,
di tiap budaya ciri-ciri yang menyolok dari KA bisa berbeda. Jika dilihat
dalam DSM-IV The Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders) maka memang ada gangguan kepribadian yang ditandai dengan
ciri-ciri tersebut. Dalam DSM gangguan ini disebut dengan Boderline
Personality atau kepribadian ambang (KA). (Mulyani Siti, Rohmah Ainur.
2015).
KA menjadi penting untuk diteliti, karena semakin banyak orang yang
menderita KA namun penelitian KA di Indonesia belum sebanyak
penelitian tentang gangguan kepribadian yang lain. Hal ini dapat
dipahami, karena penderita KA memang tidak nampak mengancam seperti
penderita psikotik, namun jika dibiarkan akan sangat mengganggu dalam
hubungan sosial bahkan sampai bunuh diri. (Mulyani Siti, Rohmah Ainur.
2015).
Secara umum, penelitian tentang kepribadian ambang telah banyak
dilakukan di negara-negara Barat namun masih sedikit dilakukan di negara
Timur. Data dari penelitian di Barat menunjukkan bahwa kepribadian
ambang menjadi penyakit yang sangat menyedihkan karena diderita oleh
11

2% dari populasi umum, dan sampai 20% dari pasien rawat inap psikiatri.
Hal ini juga dikaitkan dengan peningkatan 50 kali lipat risiko bunuh diri
dibandingkan dengan populasi umum. Hal lain yang cukup mengejutkan
adalah penderita kepribadian ambang meningkat 2-4 kali lipat dalam
perawatan psikiatris dibandingkan pasien dengan gangguan depresi mayor.
Pinto (dalam Wong, 2012) telah mengadakan survey di negara Barat
maupun di beberapa negara Timur dan menghasilkan data bahwa
penderita kepribadian ambang meningkat dengan tajam walaupun dengan
gejala dan ciri yang berbeda. Hal ini lebih didukung oleh studi empiris
sebelumnya yang telah mengukur validitas konstruk KA pada orang
dewasa di Cina (Mulyani Siti, Rohmah Ainur, 2015).
Menurut Zanarini & Frankenburg, KA ini berkembang karena
dipengaruhi oleh kepribadian yang rentan, pengalaman masa kanak-kanak
dan peristiwa-peristiwa di masa dewasa. Diduga bahwa trauma pada masa
kanak-kanak (perceive childhood emotional invalidation) menjadi faktor
kuat dari KA (Mulyani Siti, Rohmah Ainur. 2015).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fauziana (2008) menunjukkan
bahwa etiologi atau riwayat terbentuknya gangguan kepribadian ambang
adalah dari faktor psikologis yaitu pola asuh yang tidak konsisten,
perpisahan dengan orang tua dan pengalaman masa kanak – kanak yang
tidak menyenangkan seperti penyiksaan fisik sehingga subjek menilai
lingkungannya yang cenderung menolak dan mengabaikan serta memaksa
dan mengancam tetapi juga sebagai pemberi kasih sayang dan perhatian.
Konsekuensi yang dialami adalah menjadi sulit beradaptasi dan sedikit
teman serta ketergantungan obat tidur (Andri, 2007).
Banyak peneliti lebih berfokus pada perilaku agresif dan impulsif pada
pasien gangguan kepribadian ambang karena manifestasi gejala ini dapat
membahayakan tidak hanya diri pasien sendiri namun juga orang-orang di
sekitarnya. Berdasarkan DSM IV-TR, gangguan kepribadian ambang
12

adalah suatu pola yang menetap dari ketidakstabilan hubungan


interpersonal, gambaran diri dan afek dan impulsivitas yang nyata dimulai
pada masa dewasa awal dan bermanifestasi dalam berbagai konteks
(Andri, 2007).
i. Diagnosis Banding
1. Skizofrenia
Biasanya tidak sulit untuk membedakan pola hiperemosional BPD dari
skizofrenia,di mana pasien dikuasai oleh delusi dan/atau tidak responsif
secara emosional ketika pasien BPD memiliki gejala mikropsikotik atau
episode psikotik singkat.  Gambaran klinis ini, khususnya halusinasi
pendengaran, lebih sering terjadi pada BPD daripada yang sering dikenali
dan ditemukan setidaknya seperempat atau lebih  hingga setengah dari
kasus. Suara mungkin memberi tahu pasien BPD bahwa mereka buruk dan
harus bunuh diri. Awalnya, pasien mungkin menganggap pengalaman
seperti itu, yang terkait dengan disregulasi parah, sebagai nyata. Tetapi
karena pasien kemudian menyadari bahwa imajinasi mereka telah
mempermainkan mereka, gejala ini dapat disebut pseudohalusinasi (Paris
J, 2011).
2. ADHD
ADHD pada orang dewasa, seperti gangguan bipolar, adalah kategori
yang sering didiagnosis secara berlebihan. Dalam kebanyakan kasus,
gambaran klinis ADHD bukanlah hiperaktif tetapi kurangnya perhatian
dan kehilangan fokus mental, masalah yang dapat memiliki banyak
penyebab. Tetapi ketika praktisi sedang mencari sesuatu untuk mengobati,
tergoda untuk mempertimbangkan stimulan untuk kurangnya
perhatian.Apa yang terkadang dilupakan adalah bahwa ADHD dimulai
pada masa kanak-kanak dan tidak dapat didiagnosis pada orang dewasa
jika hanya muncul pada masa remaja dan dewasa. Studi kohort berisiko
tinggi telah menemukan bahwa gangguan perilaku masa kanak-kanak,
13

seperti ADHD dan gangguan menentang oposisi, dapat menjadi prekursor


BPD. Namun, ini tidak berarti bahwa sebagian besar kasus BPD dimulai
sebagai ADHD, atau bahwa kedua gangguan tersebut merupakan
manifestasi yang berbeda dari fenotipe yang sama. Banyak jenis variasi
temperamental dapat dikaitkan dengan BPD, tetapi hubungan antara faktor
risiko masa kanak-kanak dan hasil dewasa adalah kompleks, yang
mencerminkan baik ekuifinalitas (hasil yang sama timbul dari faktor risiko
yang berbeda) dan multifinalitas (hasil berbeda yang timbul dari faktor
risiko yang sama) (Paris J, 2011).
3. PTSD
Beberapa dekade yang lalu, data menunjukkan tingkat trauma masa
kanak-kanak yang luar biasa tinggi pada BPD. Namun, secara universal, 
jenis pelecehan masa kanak-kanak yang paling mungkin menyebabkan
gejala sisa hanya terjadi pada sebagian kecil kasus. Kesulitan yang lebih
parah (misalnya, jangka panjang pelecehan seksual oleh anggota keluarga)
dikaitkan dengan risiko yang lebih besar, namun, bahkan dalam kasus ini,
kebanyakan anak tidak mengembangkan BPD atau gangguan mental
utama lainnya.Asosiasi tersebut menunjukkan bahwa kesulitan awal
merupakan faktor risiko untuk berbagai bentuk psikopatologi, tetapi itu
tidak menyiratkan sebagai  BPD, gangguan multidimensi kompleks, 
adalah bentuk PTSD. Kecenderungan untuk mendiagnosis PTSD secara
berlebihan, biasanya berdasarkan riwayat trauma saja, hal tersebut tidak
dibenarkan untuk membuat diagnosis ini pada setiap pasien yang telah
mengalami kesulitan yang signifikan,  PTSD didefinisikan oleh
serangkaian gejala spesifik yang harus hadir (Paris J, 2011).

j. Terapi
14

Pedoman untuk pengobatan gangguan kepribadian ambang (BPD) adalah


tugas yang sangat menakutkan. Ini karena beberapa alasan, Pertama-tama,
BPD adalah gangguan kejiwaan, bukan gangguan kepribadian sejati dalam
arti yang sama seperti, misalnya, gangguan kompulsif, ketergantungan, atau
penghindaran. Gangguan kepribadian yang sebenarnya tidak perlu disertai
dengan gangguan gejala (seperti kecemasan sosial, anoreksia, penyalahgunaan
zat, depresi), sedangkan BPD selalu disertai dengan gangguan gejala yang
dapat diidentifikasi. Yang terakhir ini tentu saja memiliki pengaruh pada apa
yang akan menjadi tindakan pengobatan yang tepat. Selanjutnya, karena tidak
perlu untuk memanifestasikan semua deskriptor diagnostik untuk BPD,
banyak kombinasi item diagnostik akan cukup selama pasien memiliki jumlah
minimum untuk menegakkan diagnosis BPD tetapi, sebagai hasilnya akan
menjelaskan pasien yang sangat berbeda satu sama lain. Seorang pasien
dengan gangguan identitas, mood labilitas, dan perasaan kosong kronis,
misalnya, akan sangat berbeda dari pasien BPD dengan impulsif yang nyata,
kecenderungan untuk melukai diri sendiri dan gerakan bunuh diri, dan
kemarahan yang berlebihan pengobatan pendekatan juga akan sangat berbeda
(Akin, E. dan Kone, S. 2017).
Pedoman praktek American Psychiatric Association merekomendasikan
psikoterapi sebagai pengobatan utama gangguan kepribadian ambang, dengan
farmakoterapi sebagai komponen tambahan pengobatan yang menargetkan
pada gejala yang timbul. Kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi memberi
hasil yang optimal. Pedoman ini adalah seperangkat rekomendasi praktik
terbaik berbasis bukti (Akin, E. dan Kone, S. 2017).
Algoritma farmakoterapi diarahkan pada tiga kelompok gejala yaitu gejala
kognitif-perseptual (dengan neuroleptik), gejala afektif (dengan inhibitor
reuptake serotonin selektif), dan diskontrol perilaku impulsif (dengan
inhibitor reuptake serotonin selektif dan neuroleptik dosis rendah) (Akin, E.
dan Kone, S. 2017).
15

Psikoterapi
Prinsip dari psikoterapi adalah: 1) Untuk menyadarkan pasien bahwa dampak
dari gangguan kepribadiannya menyebabkan disfungsi diri, hubungan
interpersonal dan sosialnya, jadi bukan dengan cara menghakimi atau
menyalahkan pasien, dan; 2) membantu agar ego sintoniknya menjadi ego
distonik. Pada tatalaksana psikoterapi, terdapat beberapa jenis psikoterapi yang
sering digunakan pada gangguan makan dengan BPD seperti Cognitive Behavior
Therapy (CBT), Mentalisation Based Treatment(MBT) dan Dialectical
Behaviour Therapy (DBT) (Maryudhiyanto, L., dan Jusup, I. 2021).
a. Dialectical Behaviour Therapy adalah kombinasi terapi individual dan
kelompok yang mengajarkan keterampilan mengatasi emosi yang meledak
dan mengurangi tingkah laku menciderai diri, menimbulkan kesadaran diri
dan membuat keseimbangan kognitif dan emosi. Terapi tersebut diberikan
2x/minggu selama 1–6 tahun.
b. Mentalisation Based Treatment MBT menitikberatkan pada metode berpikir
sebelum bertindak, agar pasien mengerti kondisi kejiwaannya, termasuk
pikiran dan emosi, baik dirinya maupun orang lain.
c. Schema Focused Therapy membantu pasien mengenali kebutuhan yang tidak
terpenuhi pada awal kehidupan (fase anal, sense of autonomy). Terapi
memfokuskan usaha pemenuhan kebutuhan itu dengan cara yang lebih sehat
agar terbentuk tingkah laku hidup yang positif (dapat dilakukan secara cepat
melalui hipnoterapi) (Karlina, 2018).
Psikoterapi membuat pasien mampu melihat terapis sebagai individu
yang ingin menolong mereka, bukan pribadi yang menuntut. Ini membantu
pembentukan jaringan neuron yang baru. Splitting atau juga berkurang karena
mekanisme defensif menjadi lebih efisien (Karlina, 2018).

Farmakoterapi
16

Tidak ada obat yang disetujui FDA untuk pengobatan gangguan kepribadian
ambang. Obat-obatan seperti SSRI, mood stabilizer, dan antipsikotik telah
menunjukkan efektivitas yang terbatas dalam uji coba yang bertujuan untuk
mengendalikan gejala seperti kecemasan, gangguan tidur, depresi, atau gejala
psikotik. Kecemasan dapat menjadi tantangan untuk diobati karena pasien
mungkin melabeli pengalaman internal mereka dengan kata kecemasan, bahkan
ketika mereka tidak benar-benar didasarkan pada rasa takut (Chapman J dkk.
2021).
Pengobatan farmakologis BPD tetap terbatas dalam ruang lingkup. Pada
umumnya, hasilnya dapat digambarkan sebagai tingkat ringan dari pengurangan
gejala. Sejumlah agen, termasuk neuroleptik atipikal dosis rendah, inhibitor
reuptake serotonin spesifik dan mood stabilizer, semuanya meringankan gejala
impulsif. Namun, antidepresan jauh kurang efektif untuk gejala mood pada
pasien BPD dibandingkan pada pasien tanpa gangguan kepribadian (Chapman, J
dkk. 2021).
Benzodiazepin mengacu pada kelas obat psikotropika yang struktur kimia
intinya adalah fusi cincin benzena dan diazepin. Benzodiazepin terutama
digunakan untuk orang dengan gejala kecemasan (anxiolitik, obat penenang) dan
sebagai obat hipnotik untuk orang dengan insomnia. Beberapa pedoman
menyatakan benzodiazepin sebagai terapi kombinasi dan memungkinkan
benzodiazepin dapat digunakan untuk waktu yang singkat dengan antidepresan
jika orang memiliki gejala kecemasan atau insomnia. Beberapa pedoman
mengakui onset cepat aksi benzodiazepin dalam mengobati agitasi, kecemasan,
dan insomnia. Namun, pedoman APA tidak merekomendasikan benzodiazepin
sebagai agen farmakologis utama bahkan pada orang dengan depresi berat
dengan gejala kecemasan, karena efek samping dan profil toksisitas yang
diketahui terkait dengan obat ini, serta potensi penyalahgunaan dan
ketergantungan. Beberapa pedoman juga secara eksplisit menyatakan bahwa
benzodiazepin tidak memiliki efek antidepresan. Selain itu, ada dugaan bahwa
17

benzodiazepin mungkin kehilangan efektivitasnya dengan pemberian jangka


panjang, dan penggunaan kronisnya akan menyebabkan risiko ketergantungan.
Benzodiazepin tidak terlalu berguna pada BPD dan membawa beberapa
bahaya penyalahgunaan. Jadi, meskipun beberapa obat “menghilangkan gejala”,
mereka tidak menghasilkan remisi BPD. Kegagalan untuk memahami poin ini
telah menyebabkan banyak polifarmasi, dengan asumsi bahwa beberapa obat
diperlukan untuk menargetkan semua aspek gangguan. Hasilnya adalah banyak
pasien menerima agen dengan semua efek samping yang menyertainya tanpa
adanya bukti dari uji klinis yang mendukung kemanjuran kombinasi tersebut.
Farmakoterapi dapat diberikan antipsikotik dan atau antidepresan berupa
SSRI. Pemberian farmakoterapi menimbulkan perbaikan pada kemarahan yang
menetap, agresi impulsif (terutama agresi verbal), afek yang labil (kecemasan,
disforik) yang mencegah pasien merefleksikan hal-hal tersebut ke dunia internal
mereka. Haloperidol tampaknya lebih efektif daripada antidepresan trisiklik
(amitripityline) untuk gejala permusuhan dan skizotipal. Phenelzine lebih efektif
daripada haloperidol untuk beberapa gejala (misalnya, depresi, kecemasan,
gejala skizotipal), tetapi tidak untuk orang lain (misalnya, kontrol impuls). Saat
ini, tidak ada bukti bahwa satu antipsikotik tipikal lebih efektif daripada yang
lain (Timatus dkk, 2019).

k. Komplikasi

Gangguan kepribadian ambang dapat merusak banyak bidang


kehidupan. Hal ini dapat berdampak negatif pada hubungan seksual,
pekerjaan, sekolah, aktivitas sosial dan citra diri, yang mengakibatkan :
 Perubahan atau kehilangan pekerjaan yang berulang
 Tidak menyelesaikan pendidikan
 Berbagai masalah hukum, seperti penjara
 Hubungan yang penuh konflik, stres perkawinan atau perceraian
18

 Cedera diri , seperti memotong atau membakar, dan sering dirawat di


rumah sakit
 Kehamilan yang tidak direncanakan, infeksi menular seksual,
kecelakaan kendaraan bermotor dan perkelahian fisik karena perilaku
impulsif dan berisiko
 Mencoba atau menyelesaikan hidup dengan bunuh diri (Heredia, 2021).
l. Prognosis

GKA muncul pada dewasa muda, tetapi tindakan menciderai diri dapat terjadi
saat akil balig. Sebanyak 40-50% GKA membaik dalam dua tahun dan 50-85%
dalam 10 tahun. Penderita yang dirawat mengalami kekambuhan dalam waktu
enam bulan sebanyak 60%. Sebanyak 25% menjalin hubungan stabil yang akrab
dan sukses dalam pekerjaannya, walau ada juga yang menolak hubungan yang
akrab. Kira-kira 8–10% melakukan ide-ide atau tindakan bunuh diri, 75%
dirawat dan 19% meninggal karena bunuh diri. Di Inggris diperkirakan tindakan
bunuh diri mencapai 84%. Sebanyak 40% menciderai diri selama pengalaman
disosiasi, saat kesepian, ketika merasa tidak dicintai atau hidup terasa berat
(Karlina, 2018).

B. Hubungan Karakteristik Masyarakat dengan Gangguan Kepribadian


Borderline

a. Hubungan Usia dengan Gangguan Kepribadian Ambang

Gangguan kepribadian borderline dapat dipengaruhi oleh banyak


faktor. Selain faktor sosial, usia juga berhubungan dengan kejadian
gangguan kepribadian borderline. Peran usia terhadap gangguan
kepribadian mirip dengan peran budaya. Ada sterotipe masyarakat
terhadap golongan usia tertentu yang membuat individu berperilaku sesuai
tuntutan tersebut. Dalam penilitian yang dilakukan oleh Chan terhadap
19

3.323 partisipan, ditemukan bahwa orang-orang dalam kelompok usia 30


tahun ke atas diharapkan memiliki emosi stabil, tidak impulsif, tidak
memberontak dan bijak dalam memilih jalan keluar dari persoalan.
Sedangkan individu dengan kelompok usia dibawah 30 tahun, akan
dipandang sebagai individu yang impulsif, suka menentang namun lebih
terbuka pada perubahan. Dengan demikian maka diduga individu pada
kelompok usia 30 tahun ke atas akan lebih terhindar dari gangguan
kepribadian karena mereka berusaha menyesuaikan diri dengan
pandangan atau tuntutan masyarakat tersebut (Wibhowo, 2018).

Penelitian dari Shea (2009) menggunakan 216 partisipan yang


mengalami GKA dan telah mengikuti terapi untuk menurunkan kriteria
kepribadian ambang (KA) yang dimiliki. Partisipan dibagi menjadi dua,
yaitu kelompok usia muda (dibawah 30 tahun) dan usia tua (30-60 tahun).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kriteria KA pada kelompok
tua lebih cepat menurun dibanding pada partisipan dengan kelompok
muda. Akan tetapi setelah 6 bulan hasil penurunan kriteria KA antara
kelompok usia muda dan tua tidak berbeda (Wibhowo, 2018).

Dengan menggunakan dua kelompok partisipan, yaitu kelompok


tua (40-60 tahun) dan kelompok muda (20-40 tahun), Coolidge et al.
(2000) menyimpulkan bahwa kriteria KA lebih banyak ditemukan pada
kelompok usia muda dibanding pada individu dengan kelompok usia tua.
Jera merupakan istilah yang mungkin tepat untuk menggambarkan tentang
peran usia terhadap KA. Seseorang dengan KA tentu akan banyak
menemukan masalah akibat perilaku KA yang ditunjukkannya. Masalah
yang ia hadapi, antara lain ia banyak tidak disukai orang lain karena
kemampuannya dalam berhubungan interpersonal tidak baik. Ia juga
belajar bahwa perilaku berisiko yang ia lakukan ternyata tidak
menyelesaikan persoalan. Dengan bertambahnya usia, seseorang yang
20

mengalami KA diduga sudah mampu menghindari stimulus-stimulus yang


membuat kriteria KA yang dimilkinya muncul. Kemungkinan ia akan
menghindari pekerjaan-pekerjaan yang melibatkannya dalam kelompok
dan ia lebih memilih bekerja mandiri untuk menghindari konflik
interpersonal. Perilaku berisiko juga akan ia tinggalkan karena ada rasa
malu untuk melakukannya mengingat usia tak lagi muda. Biasanya
kriteria KA tidak akan nampak pada individu di atas usia 40 tahun
(Wibhowo, 2018).

b. Hubungan Jenis Kelamin dengan Gangguan Kepribadian Ambang

faktor lain yang dapat mempengaruhi kepribadian yaitu jenis


kelamin. Diperkirakan bahwa 1,4% dari populasi dewasa AS mengalami
BPD. Hampir 75% orang yang didiagnosis dengan BPD adalah
wanita. hal ini menunjukan bahwa jenis kelamin perempuan menjadi yang
paling dominan dalam penelitian ini. Perempuan dan laki-laki mempunyai
perbedaan karakteristik, perempuan cenderung emosional dan lebih peka
dibanding dengan laki-laki. Perempuan lebih senang memendam perasaan
dan kurang terbuka terhadap permasalahan sedangkan laki-laki dapat
mengekspresikan rasa ketidaksenanganya terhadap suatu permasalahan
(Santrock, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Magai dan Koot (2018)
menyebutkan bahwa remaja perempuan mempunyai skor yang lebih tinggi
untuk mengalami masalah emosional dan perilaku (EBP) yaitu 27
dibandingkan dengan remaja laki-laki yang hanya memperoleh skor 17.
Hal ini disebabkan karena remaja perempuan lebih senang
menginternalisasikan atau menyimpan masalah daripada
mengeksternalisasikan masalah (Kholifah, 2020).

c. Hubungan Lingkungan Tempat Tinggal dengan Gangguan


Kepribadian Ambang
21

Salah satu penyebab GKA berasal dari faktor lingkungan. Halgin


dan Whitbourne menyimpulkan bahwa ada tiga faktor yang berfungsi
sebagai predikator dalam perkembangan gangguan kepribadian ambang
yaitu lingkungan yang tidak kondusif, psikopatologi orangtua dan
kekerasan pada masa anak-anak. Jika anak dibesarkan dalam lingkungan
yang menginvalidasi yaitu lingkungan dimana keinginan dan perasaan
seseorang tidak dipertimbangkan dan tidak dihargai, berbagai upaya untuk
mengungkapkan perasaan tidak diterima atau bahkan dihukum. Bentuk
invalidasi ekstrem adalah penyiksaan anak, seksual maupun non seksual
(Budisetyani 2016).
Tempat tinggal yang tidak nyaman, terkait dengan lingkungan dan
fisik bangunan rumah, dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental
yang dapat berkembang menjadi sakit jiwa. Kondisi lingkungan yang
dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental yaitu tinggal di
permukiman padat penduduk, daerah kumuh, ventilasi yang buruk,
bangunan rumah yang rusak, dinding rumah yang lembab dan berjamur,
hingga keberadaan hama (tikus, mencit, semut, kelelawar, dll) di rumah
dapat menyebabkan kecemasan hingga gangguan jiwa. Selain itu,
buruknya kondisi lingkungan sosial juga dapat mempengaruhi kesehatan
mental seseorang. Faktor lingkungan sosial seperti kondisi ekonomi,
buruknya hubungan dengan pemilik rumah sewa, mahalnya biaya
perbaikan perumahan dan kekhawatiran akan penggusuran dapat berakibat
pada kesehatan mental seseorang. Demikian juga jenis pekerjaan, budaya,
stressor psikosiosial juga dapat mempengaruhi kesehatan mental
(Dharmayanti 2018).

d. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Gangguan Kepribadian


Ambang
22

gangguan kepribadian ambang dapat dikaitkan dengan tingkat


pendidikan. Kemungkinan GKA lebih banyak terjadi pada orang dengan
pendidikan rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Dridget dkk dengan
menggunakan dua kelompok sampel yaitu responden dengan tamatan
SMA dan yang bukan tamatan SMA menunjukkan bahwa GKA lebih
banyak terjadi pada responden dengan tingkat pendidikan rendah yaitu
bukan tamatan SMA (Bridget 2009).
Keterlibatan seseorang dalam suatu kelompok sosial dapat berawal
dari tingkat pendidikan, dan kelompok sosial ini dapat berperan dalam
kesehatan mental seseorang. Individu yang tidak bersekolah atau hanya
tamat SD dapat berisiko 2,4 kali mengalami gangguan kesehatan mental.
Risiko lebih rendah pada individu dengan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi. Hal ini terkait dengan semakin tinggi pendidikan, maka semakin
banyak pengetahuan yang didapat yang akan mempengaruhi sikap dan
perilaku yang baik tentang kesehatan. Tingkat pendidikan yang rendah
menyebabkan seseorang tidak mendapatkan pekerjaan yang layak,
sehingga akan berdampak pula pada kondisi ekonominya. Rendahnya
tingkat pengetahuan seseorang dapat menurunkan kemampuan untuk
memecahkan masalah, sehingga dapat melakukan hal yang yang dapat
membahayakan kesehatan, misalnya penyalahgunaan alkohol dan obat-
obatan, atau bahkan melakukan bunuh diri (Dharmayanti 2018).

e. Hubungan Perkawinan dengan Gangguan Kepribadian Ambang

perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan


perempuan yang dilegalkan oleh agama dan negara. Sebelum membangun
kehidupan rumah tangga, kedua calon mempelai sangat dianjurkan telah
memiliki kedewasaan dan kesiapan, baik secara fisik, psikologis maupun
ekonomi guna mencapai tujuan perkawinan yaitu terwujudnya keluarga
23

yang harmonis. Upaya mewujudkan kondisi ideal ini tidak selalu berhasil,
tidak sedikit pasangan suami istri yang megakhiri rumah tangganya
dengan perceraian. Salah satu penyebabnya adalah kekerasan dalam
rumah tangga, baik secara fisik, psikis, seksual maupun ekonomi (Fitriani,
2015).

Dalam perkawinan kesehatan fisik dan psikis mutlak diperlukan


untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis. Sebelum melangsungkan
pernikahan, calon pengantin diwajibkan memeriksakan kesehatannya
sebagaimana diatur dalam Instruksi Depkes dan Depag No. 02 Tahun
1989 tentang suntik TT. Hanya saja, Instruksi ini hanya bertujuan
mengetahui dan memberikan kekebalan tubuh. Tindakan ini belum cukup
menggambarkan kesehatan pasangan calon pengantin. Sebagaimana
amanat Undang-Undang Kesehatan, tidak hanya aspek fisik yang perlu
diperhatikan melainkan juga aspek psikis seseorang. Hal ini didukung
dengan fakta bahwa tidak sedikit rumah tangga yang gagal dan berujung
pada perceraian, baik disebabkan karena ketidakharmonisan, pertengkaran
yang tidak berujung, penelantaran ekonomi, hingga kekerasan dalam
rumah tangga, sehingga diperlukan upaya agar dapat membangun rumah
tangga yang harmonis (Fitriani 2015).

Penelitian yang dilakukan oleh Wibhowo dkk, menunjukkan bahwa


terdapat hubungan antara hubungan romantis dengan gangguan
kepribadian ambang , dengan demikian diketahui bahwa untuk mencegah
terjadinya GKA dapat dilakukan dengan cara fokus untuk membangun
hubungan romantis dengan pasangan. Saat hubungan suami istri baik,
maka istri akan merasa aman. Hubungan romantis yang baik itu misalnya
mengetahui bahwa suami bisa mengerti dirinya tanpa harus bercerita,
yakin bahwa suami akan menghiburnya disaat sedang sedih dan tahu
suaminya bisa diandalkan saat ia mengalami kesulitan (Wibhowo, 2019).
24

f. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Gangguan Kepribadian


Ambang

Gangguan kepribadian ambang dapat juga dipengaruhi oleh kondisi


ekonomi keluarga. Dengan kondisi ekonomi menengah ke atas maka
seseorang dapat memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan fisik maupun
kebutuhan sosial. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Dharmayanti 2018 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk yang
tidak memiliki pekerjaan mengalami gangguan kesehatan mental. Hasil uji
statistik menunjukkan penduduk yang tidak bekerja memiliki risiko 1,7
kali untuk menderita gangguan kesehatan mental. Hasil penelitian yang
dilakukan bridget dkk menunjukkan bahwa kelompok masyarakat dengan
pendapatan yang rendah akan lebih mudah mengalami BPD. Faktor
ekonomi sangat penting dalam suatu keluarga. Dengan tingkat ekonomi
yang baik maka fungsi keluarga juga dapat terimplementasikan, anak
dapat berkembang secara fisik, emosi, spiritual dan sosial yang baik
(Bridget, 2019).
BAB II

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Gangguan kepribadian ambang atau Borderline Personality Disorder


merupakan gangguan ketidakstabilan emosi, yang mampu merusak citra diri bagi
penderita. Gangguan ini datang tidak menentu dan tanpa alasan yang jelas, dan
menyebabkan disfungsi kepribadian sehingga menjalar kepada masalah-masalah
lainnya seperti, serangan panik, depresi, hingga menyakiti diri sendiri. Gangguan
ini sangatlah mengganggu kepribadian diri dalam menjalani kehidupan yang ada.
Berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi ganngguan kepribadian
ambang. Karakteristik suatu masyarakat juga dapat mempengaruhi kejadian gangguan
kepribadian ambang.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan


karakteristik masyarakat terhadap kepribadian ambang, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :

1. Usia dapat mempengaruhi terjadinya kepribadian ambang (KA), kriteria


KA lebih banyak ditemukan pada kelompok usia muda dibanding pada
individu dengan kelompok usia tua.

2. Berdasarkan hasil penelitian jenis kelamin dapat mempengaruhi terjadinya


gangguan kepribadian ambang, kriteria KA lebih banyak ditemukan pada
perempuan dibanding laki-laki

3. Lingkungan tempat tinggal juga dapat mempengaruhi terjadinya


kepribadian ambang, lingkungan tempat tinggal merupakan faktor risiko
terjadinya gangguan kepribadian ambang.

25
26

4. Tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan


kepribadian ambang, berdasarkan hasil penelitian kepribadian ambang
lebih banyak terjadi pada orang dengan tingkat pendidikan yang rendah.

5. Perkawinan juga dapat mempengaruhi terjadinya kepribadian ambang


apabila keluarga tidak harmonis, atau terdapat kekerasan baik itu secara
fisik, psikis, seksual maupun ekonomi.

6. berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gangguan


kepribadian ambang lebih banyak terjadi pada pasien dengan pendapatan
yang rendah.

B. SARAN

Penelitian selanjtunya dapat meneliti atau mengkaji lebih dalam tidak hanya
mengenai karakteristik masyarakat tetapi aspek lain yang ada dalam masyarakat
seperti jenis pekerjaan ataupun budaya yang ada dalam masyarakat yang dapat
mempengaruhi terjadinya kepribadian ambang
DAFTAR PUSTAKA

Akin E., Mesut C., Kone S. 2017. An Update on Borderline Personality Disorder:
Life in the Fast Lane. Journal of Mood Disorders 7(1):65-72

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorder Edition (DSM-V). Washington : American Psychiatric
Publishing.

Andri, A. Kusumawardhan. 2007. Neurobiologi Gangguan Kepribadian Ambang:


Pendekatan Biologis Perilaku Impulsif dan Agresif. Majalah Kedokteran
Indonesia, 57(4): 123-128.

Bridget, F. 2009. Prevalensi, korelasi, Disabilitas dan komorbiditas Gangguan


Kepribadian Borderline DSM-IV; Hasil dari Survei Epidemiologi Nasional.
Laboratorium Epidemiologi dan Biometri, Divisi Penelitian Klinis dan Biologi
Intramural, Institut Nasional Penyalahgunaan Alkohol dan Alkoholisme, institut
Kesehatan Nasional.

Budisetyani, I. 2016. Bahan Ajar Psikologi Abnormal. Program Studi Psikologi


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Chapman, J., Jamil, R.T., Fleisher, C. 2021. Borderline Personality Disorder.


Statpearl (Internet). https:// www. ncbi. nlm. nih. Gov / books/ NBK430883/

Departemen Kesehatan RI, 1998. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan


Jiwa di Indonesia (PPDGJ). Edisi III Cetaka pertama. Dirjen Pelayanan Medis
RI. Jakarta.

Dharmayanti, I. Tjandrarini, D. Hidayangsih, P. Nainggolan, O. 2018. Pengaruh


Kondisi Kesehatan Lingkungan dan Sosial Ekonomi terhadap Kesehatan
Mental di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan, Jakarta.

27
28

Fitriani, I. 2015. Urgensi Pemeriksaan Psikis Pra-Nikah. Pengadilan Agama


Nunukan.

Gunderson, J.G. 2011. An introduction to borderline personality disorder, diagnosis,


origins, course and treatment. A BPD Brief: revised, 1 – 12.

Heredia, Dagoberto. 2021. Borderline Personality Disorder. Mayo Clinic. [cited


2021 November 10]. Available from https://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/borderline-personality-disorder/symptoms-causes/syc-20370237

Karlina, D. 2018. Laporan Kasus: Gangguan Kepribadian Ambang pada Seorang


Perempuan Muda. Majalah Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, 34(4):
184-189.

Kholifah, N., Sadikin. 2020. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dan Lingkungan
Teman Sebaya dengan Masalah Mental Emosional Remaja di SMPN 2 Sokaraja.
Universitas Muhammdaiyah Purwokerto.

Kusuma AD., Sativa SO. Karakteristik Kepribadian Antisosial. Jurnal Keperawatan


Jiwa. 2020; 8(1): 33-36.

Leichsenring, F., Leibing, E., Kruse, J. 2019. Borderline personality disorder.


Journal Lancet, 377: 74–84.

Maryudhiyanto L,. Jusup I. 2021. Management For Eating Disorder Patient With
Borderline Personality Disorder (Evidence Base Case Report). Journal of
Nutrition and Health 9(1): 2338-3380

Millon, T., Grossman S., Millon, C. 2015. Millon Clinical Multiaxial Inventory–IV.
Pearson
29

National Alliance On Mental Illness. 2017. Borderline Personality Disorder. [cited


2021 November 10]. https://nami.org/About-Mental-Illness/Mental-Health-
Conditions/Borderline-Personality-Disorder

Paris, J. 2011. Differential diagnosis of bipolar and borderline personality


disorders. Neuropsychiatry, 1(3), 251.

Raharja, T., & Jusup, I. 2021. Pasien Depresi dengan Gangguan Kepribadian
Borderline yang Mendapatkan Terapi Psikofarmaka dan Psikoterapi
Psikodinamik. Jurnal Ilmiah Kesehatan Jiwa, 3(1), 1-12.

Sari, N.L.K.R., Hamidah, Marheni, A. 2020. Dinamika psikologis individu dengan


gangguan kepribadian ambang. Jurnal Psikologi Udayana, 7(2): 16-23.

Stone, M. H. 2019. Borderline personality disorder: clinical guidelines for


treatment. Psychodynamic psychiatry, 47(1), 5-26.

Suprapto, M. H. 2014. Dialectical Behavior Therapy: Sebuah Harapan bagi Individu


dengan Gangguan Kepribadian Ambang.

Timatus, C., Meiser, M., Bandelow, B., et al. 2019. Pharmacotherapy of borderline
personality disorder: what has changed over two decades? A retrospective
evaluation of clinical practice. BMC Psychiatry, 19(393): 1-11.

Wibhowo, C., Andromeda DS, K., & Santoso, J. G. 2019. Trauma Masa Anak,
Hubungan Romantis, dan Kepribadian Ambang. Jurnal Psikologi, 46(1), 63-71.

Wibhowo, C., Retnowati, S., Hasanat, N. 2018. Social Support, Age and Borderline
Personality. Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada.

Wulandari, H. 2019. Borderline Personality Disorder Sebagai Ide Penciptaan


Karya Seni Grafis. Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai