Anda di halaman 1dari 25

EFEK SAMPING OBAT

Disusun oleh:
Putri Novia Sari Tentua 1765050319
Regina Janet Adela 1765050342
Salma Yunita R 1765050283

1
Materi Efek Samping Obat
1. Definisi Efek Samping Obat
2. Klasifikasi Efek Samping Obat
3. Diagnosis Efek Samping Obat
4. Naranjo Score
5. Management Efek Samping Obat
Definisi dan Klasifikasi
Efek Samping Obat
Definisi Efek Samping Obat
Setiap efek yang tidak diinginkan dari obat yang timbul pada pemberian obat dengan dosis
yang digunakan untuk profilaksis, diagnosis dan terapi. (WHO, 1972)

Efek yang membahayakan / tidak mengenakkan yang disebabkan oleh dosis obat yang
digunakan sebagai terapi (atau profilaksis atau diagnosis) yang mengharuskan untuk
mengurangi dosis / menghentikan pemberian dan memperhitungkan adanya bahaya pada
pemberian selanjutnya. (Laurence, 1998)

Reaksi yang berbahaya / tidak mengenakkan akibat penggunaan produk medis yang
memperkirakan adanya bahaya pada pemberian berikutnya sehingga mengharuskan
pencegahan, terapi spesifik, pengaturan dosis / penghentian obat. (Edward dan Aronson,
2000)

Vervloet C, Durham S. ABC of Allergies Adverse Reactions to Drugs. BMJ 1998;316: 1511-4
Klasifikasi Efek Samping Obat
Efek samping yang dapat Efek samping yang tidak dapat
diperkirakan (REAKSI TIPE A) diperkirakan (REAKSI TIPE B)
 Efek farmakologik yang berlebihan  Efek karena reaksi alergi
 Efek dari gejala penghentian obat  Efek karena faktor genetik
 Efek samping yang tidak berupa  Reaksi idiosinkratik
efek farmakologik utama
Efek samping yang dapat diperkirakan
1. Efek farmakologik yang berlebihan / efek toksik
● Disebabkan karena dosis relatif yang terlalu besar.
Ditemukan pada keadaan karena dosis yang diberikan
memang besar, perbedaan respon kinetik atau dinamik
pada kelompok tertentu, mis: os dengan gangguan faal
ginjal, jantung, usia, genetik
● Penyebab lain: interaksi farmakokinetik / farmakodinamik
antar obat yang diberikan bersamaan  efek menjadi
lebih besar
Efek samping yang dapat diperkirakan
2. Efek dari gejala penghentian obat
● Munculnya kembali gejala penyakit semula / reaksi pembalikan
terhadap efek farmakologik obat, karena penghentian
pengobatan.
Contoh:
Penghentian pengobatan dengan depresi SSP seperti barbiturat,
benzodiazepin, alkohol  agitasi ekstrim, takikardi, rasa bingung, delirium
● Terjadi karena selama pengobatan telah terjadi adaptasi pada
tingkat reseptor  toleransi terhadap efek farmakologik obat
 membutuhkan dosis yang makin lama makin besar
Efek samping yang dapat diperkirakan
3. Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama
● ES diperkirakan berdasarkan penelitian secara sistematik sebelum obat digunakan os
● Umumnya dalam derajat ringan, namun kejadian cukup tinggi
● ES yang lebih jarang diperoleh dari laporan setelah obat dipakai populasi lebih luas
Contoh:
- iritasi lambung  keluhan perih, mual, muntah pada penggunaan kortikosteroid oral,
analgetika-antipiretik Drowsiness setelah pemakaian anti histamin untuk motion sickness
- Kenaikan enzim transferase hepar karena pemberian rifampisin
- Efek teratogenik obat tertentu sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil
Efek samping yang tidak dapat diperkirakan
1. Efek karena reaksi alergi
Alergi obat : reaksi yang diperantai respon imunologis. Tidak dapat diperkirakan sebelumnya,
seringkali tidak tergantung dosis dan terjadi pada sebagian kecil populasi yang
menggunakan suatu obat.
Reaksi bervariasi dari bentuk ringan (kulit eritema) sampai paling berat (syok anafilaktik)
Gejala khas :
● Gejala sama sekali tidak sama dengan efek farmakologisnya
● Seringkali terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap obat dengan timbulnya efek
● Reaksi dapat terjadi pada kontak ulangan, walaupun dosis obat sangat kecil
● Reaksi obat hilang jika penggunaan dihentikan
● Ditandai dengan reaksi imunologik (rash di kulit)
● Serum sickness, anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema
2. Efek karena faktor genetik
● Farmakogenetika (Ilmu yang menjelaskan adanya perbedaan respon obat yang
dipengaruhi oleh faktor genetik)
● Aselitator cepat : Individu yang memiliki aktivitas enzim N asetilastransferase
yang sangat cepat dan banyak
● Aselitator lambat : Individu yang memiliki aktivitas enzim N-asetilastransferase
yang sangat lambat dan sedikit
● Reaksi asetilisasi: reaksi proses metabolisme dalam obat yang mengandung
gugus amina primer seperti amina aromatik primer dan amina afilatik
sekunder.
● Tujuan reaksi ini: proses detoksifikasi serta mengubah obat / senyawa induk
menjadi senyawa metabolitnya yang bersifat tidak aktif dan bersifat lebih
polar  mudah untuk diekskresikan tubuh
● Banyak ditemukan pada os aselitator lambat, contoh: neuropati perifer karena
isoniazid, sindroma lupus karena hidralazin / prokainamid
3. Reaksi idiosinkratik
Suatu kejadian efek samping yang tidak lazim, tidak diharapkan
atau aneh, yang tidak dapat diterangkan atau diperkirakan alasan
mengapa dapat terjadi. Reaksi ini sangat jarang terjadi.
Contoh:
● Ca pelvis ginjal karena pemakaian analgetika berlebihan
● Ca uterus karena pemakaian estrogen jangka lama tanpa
pemberian progestin sama sekali
● Obat-obat imunosupresi dapat memicu terjadinya tumor limfoid
Diagnosis Efek
Samping
Anamnesis
● Gejala klinis serta waktu timbulnya gejala serta jarak timbul gejala dari
paparan obat yang dicurigai
● Kemungkinan onset timbulnya gejala:
 Immediate (segera) timbul beberapa detik hingga 6 jam dari
paparan, gejala klinis yang dapat timbul  anafilaksis, urtika,
angioudem, bronkospasme
 Accelerated, timbul antara 6 hingga 72 jam setelah paparan.
Gejala yang mungkin didapatkan  urtikaria dan asma
 Delayed, timbul gejala lebih dari 72 jam setelah paparan. Gejala
yang mungkin di dapatkan  sindrom mukokutan (rash, dermatitis)
atau tipe hematologis (anemia, trombositopenia, netropenia)
Naranjo score
● Kuisioner yang di rancang oleh Naranjo untuk menentukan
apakah efek yang merugikan di sebabkan oleh obat atau
faktor lain
● Terdiri dari 10 pertanyaan yang akan di gunakan untuk
menilai apakah efek merugikan tersebut memang di
sebabkan oleh penggunaan obat
Cara penggunaan
Naranjo Score
● Pertanyaan no 1 di jawab berdsarkan literatur
● Pertanyaan no 2-4 di tanyakan langsung ke pasien
● Pertanyaan no 5 di jawab dengan melihat ADR obat lain dan
keluhan karena penyakit
● Pertanyaan no 6 – 9 di jawab berdsarkan uji klinis
● Pertanyaan no 10 di dukung oleh data lab
● Semua score di jumlahkan
Interpretasi Skor Naranjo
• 0 : ragu – ragu
• 1 – 4 : cukup mungkin
• 5 – 8 : kemungkinan terjadi
• >9 : tinggi
Penunjang
Skin Prick Test (SPT)
● Skin Prick Test (tes kulit epikutan) merupakan tes untuk mengetahui
adanya IgE spesifik terhadap obat tertentu yang berguna hanya untuk
beberapa obat dengan berat molekul rendah (penisilin, relaksan otot,
barbiturat) karena reagen untuk yang lain belum tersedia.
● Karena reagen belum tersedia, klinisi harus membuat sendiri reagennya.
Meskipun kadang dapat dijumpai hasil positif pada pemberian obat yang
dapat melepaskan histamin tanpa melalui perantaraan IgE, sepereti
misalnya pada pemberian propofol atau atracurium.
Tes untuk reaksi hipersenstivitas tipe II dan III
● Tes hemaglutinasi (Coomb’s Test direk atau indirek) telah
digunakan untuk menentukan adanya antibodi IgG dan IgM
spesifik untuk membantu diagnosis anemia hemolitik yang
diperantarai obat.
● Karena keterbatasannya (harus menjaga kesegaran eritrosit
yang terkonyugasi dengan obat ) sekarang lebih banyak
menggunakan metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
(ELISA).
● Menentukan hubungan IgG dan IgM dengan manifestasi klinis,
karena antibodi dapat positif tanpa kelainan imunopatologi.
Tes untuk reaksi hipersensitivitas tipe IV
● Patch test dapat menentukan etiologi reaksi yang
diperantarai sel T, terutama eczematous, erupsi
terinduksi obat.
● Tes ini dapat diaplikasikan pada kelainan kulit karena
obat serta rekasi sistemik.
● Kegunaan metode ini tergantung dari pembawa obat dan
tempat aplikasinya.
● Patch test berguna untuk antikonvulsan seperti
carbamazepin dan penisilin.
● Metode ini terbatas penggunaannya karena terbatasnya
reagen yang sesuai dengan determinan imunogenik dari
obat.
Tatalaksana
 Belum ada alat untuk mendeteksi atau tatalaksana pasien
akibat reaksi obat karena keterbatasan pengetahuan
mengenai patofisiologi dan predisposisi reaksi tersebut

21
Tatalaksana
Pada pasien Alergi, pendekatan harus dilakukan secara metodologis.
 Hubungan dengan obat harus dapat dibuktikan
 Setelah hal tersebut dibuktikan, tipe reaksi harus dapat
ditentukan sebisa mungkin
Contoh:
 Reaksi tipe A : modifikasi dosis sebelum diberi obat
 Reaksi tipe B : obat masih diberikan kembali, jika reaksi
masih ringan
 Idionsinkrasi : obat harus di stop, tidak boleh diberikan
kembali

22
Tatalaksana
Tergantung dari mekanisme terjadinya reaksi. Bila tes konfirmasi
tersedia  tes tsb dapat dipakai untuk menentukan status alergi
pasien. ( tes untuk IgE spesifik penisilin dengan Pre-Pen )

Bila tes konfirmasi tidak tersedia lakukan pendekatan lain


(menghindari obat bila tersedia obat alternatif) bila tidak
tersedia lakukan challenge test bertahap jika reaksi sebelumnya
bukan reaksi yang diperantarai oleh IgE dan bukan reaksi yang
berat. Bila reaksi berat desensitisasi perlu dilakukan

23
Tatalaksana
1. Avoidence (menghindari paparan)
2. Premedikasi
3. Desensitisasi

24
Daftar Pustaka
● Vervloet C, Durham S. ABC of Allergies Adverse Reactions to Drugs.
BMJ 1998;316: 1511-4
● Naranjo CA, Busto U, Sellers EM. Difficulties in assessing adverse
drug reactions in clinical trials. Prog Neuropsychopharmacol Biol
Psychiatry 1982; 6 : 651-7. PubMed Citation.
● Pandapotan RA, Rengganis I. Pendekatan Diagnosis dan
Tatalaksana Alergi Obat. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia Vol 3 No
1. Maret 2016. Jakarta

25

Anda mungkin juga menyukai