0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
54 tayangan21 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang reaksi obat tidak diinginkan (ADR), yang didefinisikan sebagai reaksi obat yang berbahaya dan tidak diharapkan akibat dosis obat normal. ADR dapat berupa reaksi tipe A, yang berlebihan dari efek farmakologis obat, atau reaksi tipe B yang aneh dan tidak terkait dengan dosis. Faktor-faktor seperti polifarmasi, jenis kelamin, penyakit, usia, ras
Dokumen tersebut membahas tentang reaksi obat tidak diinginkan (ADR), yang didefinisikan sebagai reaksi obat yang berbahaya dan tidak diharapkan akibat dosis obat normal. ADR dapat berupa reaksi tipe A, yang berlebihan dari efek farmakologis obat, atau reaksi tipe B yang aneh dan tidak terkait dengan dosis. Faktor-faktor seperti polifarmasi, jenis kelamin, penyakit, usia, ras
Dokumen tersebut membahas tentang reaksi obat tidak diinginkan (ADR), yang didefinisikan sebagai reaksi obat yang berbahaya dan tidak diharapkan akibat dosis obat normal. ADR dapat berupa reaksi tipe A, yang berlebihan dari efek farmakologis obat, atau reaksi tipe B yang aneh dan tidak terkait dengan dosis. Faktor-faktor seperti polifarmasi, jenis kelamin, penyakit, usia, ras
Diinginkan Tahoma Siregar, MSi., Apt. Definisi ADR (WHO) • Reaksi obat tidak diinginkan sebagai respon terhadap suatu obat yang berbahya dan tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang digunakan oleh manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi. ADR • Reaksi obat yang tidak diinginkan (ADR) umumnya dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok utama, yaitu ; – Reaksi tipe A (augmented) adalah reaksi yang muncul berlebihan dimana reaksi ini terkait dengan dosis obat yang diminum. – Reaksi tipe B (bizzare) adalah reaksi yang aneh dan tidak terkait sama sekali dengan dosis. Ciri reaksi tipe A dan B adalah sebagai berikut ; Tipe A Tipe B
Dapat diramalkan dari efek Tidak dapat diramalkan
farmakologinya Tergantung dosis Jarang tergantung dosis Morbiditas tinggi Morbiditas rendah Mortalitas rendah Mortalitas tinggi Pengurangan dosis dapat Penghentian obat, adalah cara menangani masalah penanganannya Angka kejadian tinggi Angka kejadian rendah Raeksi tipe A • Reaksi tipe A adalah kerja farmakologis normal, tetapi meningkat. • Reaksi tipe A dibedakan menjadi ; –Reaksi primer, contoh ; Bradikardi oleh penghambat adrenoreseptor beta. –Reaksi sekunder, contoh ; mulut kering oleh antidepresan trisiklik (aktivitas antimuskariniknya). Reaksi tipe B Contoh ; • Hemolisis oleh metildopa atau trombositopenia oleh penghambat ACE (agiotensin Converting Enzyme Inhibitors) terjadi tanpa terkait dengan dosis, namun berkaitan dengan sistem metabolisme dengan sistem imun tubuh • Syok anafilatik oleh antibiotika, Hipertermia oleh anestesi, Anemia aplastik oleh kloramfenikol. Terjadi pada individu rentan terhadap obat tersebut. Identifikasi ADR • Perlu diperhatikan bahwa sulit membuktikan suatu obat mempunyai hubungan penyebab dengan gejala yang dialami pasien. • Informasi yang diperlukan dan bagaimana menggunakannya dalam mengembangkan sebuah kesimpulan tentang gejala yang tampak. Faktor-faktor yang mempengaruhi ADR yaitu ; – Polifarmasi – Jenis kelamin – Kondisi penyakit – Usia – Ras – Polimorfisa genetika Faktor-faktor yang mempengaruhi ADR Polifarmasi • Polifarmasi sering pada penderita geriatri, beberapa penyakit sekaligus. Risiko ADR pada pasien ini meningkat Jenis kelamin • ADR lebih sering pada wanita. Contoh akibat digoksin, captopril dan heparin. Kelainan sel darah oleh penggunaan fenilbutazon dan kloramfenikol lebih sering pada wanita Kondisi penyakit • Adanya penyakit lain dapat mempengaruhi farmakokinetik atau kepekaan jaringan. Gangguan ginjal dan hati akan meningkatkan risiko ADR. Keadaan hamil dan setelah persalinan dapat mempengaruhi respon obat Usia • Lanjut usia lebih sering risiko ADR, karena sering mendapatkan obat, terjadi perubahan farmakokinetika. • Neonatus, khususnya prematur, risiko tinggi ADR karena metabolisme dan distribusi obat belum berkembang sempurna Ras dan Polimorfisa genetika • Perbedaan ras dan genetika dapat mempengaruhi proses pengobatan. Contoh, laju metebolisme obat dapat berbeda pada perbedaan ras dan genetika. Misalnya orang negro di Amerika dan orang mediteranian mempunyai risiko hemolisis yang lebih tinggi bila menggunakan obat sulfon (dapson), 4-kuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, asam nalidiksat), antimalaria (primakuin, kuinin) dan aspirin, karean ras tersebut sering mengalami defisiensi enzim glukosa-6 posfat dehidrogenase (G6PD). KRITERIA UNTUK IDENTIFIKASI ADR • Gejala ADR diduga ? – Buat rincian pengobatan, termasuk penggunaan obat bebas (over the counter) serta obat tradisional – Pertanyaan yang perlu diajukan untuk identifikasi ADR adalah waktu, dosis, sifat permasalahan, pengalaman, penghentian, keterulangan. IDENTIFIKASI ADR Waktu • Kapan ADR muncul ? Apakah sesaat meminum obat atau setelah lama. Bila sesaat meminum obat mudah dikenali (contoh ; anafilaksis, orang dengan kelainan enzim yang minum obat), tetepi bila muncul telah lama seperti beberapa minggu-bulan atau lama setelah dihentikan, hubungan antara obat dengan ADR menjadi lebih sulit ditentukan (contoh ; kanker, retinopati oleh klorokuin). Benzodiazepin setelah dihentikan dapat terjadi gejala putus obat (withdrawal syndrome) ditandai insomnia, ansietas, kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan, tremor, berkeringat, telinga mendengung dan gangguan persepsi. IDENTIFIKASI ADR Dosis • Apakah dosis terlalu besar ? Apakah pemakaian obat kedua meningkatkan kadar obat pertama didalam darah, misalnya teofilin + simetidin (penghambat enzim). IDENTIFIKASI ADR Sifat permaasalahan • Apakah ciri sifat ADR sama dengan kerja farmakologi obat tersebut. Membantu identifikasi tipe ADR. IDENTIFIKASI ADR Pengalaman • Apakah reaksi mirip yang pernah dilaporkan dipustaka? Pustaka memuat ADR antara lain AHFS Drug Information, Martindale, BNF,. Tentu mungkin saja timbul ADR yang teramati belum pernah dilaporkan / tercatat dipustaka. • Bila ada ADR yang teramati tentu saja farmasis / tenaga kesehatan lain dapat melaporkan ke Badan POM. IDENTIFIKASI ADR Penghentian (dechalenge) & Keterulangan (rechalenge) • Bila obat dihentikan apakah ADR teratasi? Bagaimana bila obat yang menyebabkan ADR suatu saat dipakai lagi apakah ADR muncul kembali?. Apabila muncul kembali ADR dapat dikatakan ada hubungan pemakaian obat dengan ADR. Setelah penghentian tidak selalu ADR terhenti, sebab ada efek yang irreversibel. MENGGUNAKAN INFORMASI UNTUK MENGIDENTIFIKASI ADR
• Metode rasional menetapkan kemungkinan adanya
ADR. Pendekatan yang sistematik adalah menggunakan algoritma. Algoritma yang dapat dipakai antara lain algoritma FDA, lihat gambar / bagan. Algoritma ADR, Ibuprofen dengan gejala dispepsia
Masalah Kesehatan Minum Ibuprofen selama 1 tahun Gejala dispepsia
Hentikan Gejala Kurang-Hilang Konsumsi lagi Gejala dispepsia muncul kembali
• Kesimpulan : terdapat hubungan yang sangat tinggi
antara pemakaian obat dan gejala yang muncul Pencegahan ADR 1. Jangan menggunakan obat bila tidak diindikasikan dengan jelas. Wanita hamil menggunakan obat bila benar-benar diperlukan. 2. Alergi dan idiosinkrasi adalah penyebab penting ADR, tanyakan pasien apakah pernah mengalami. 3. Penggunaan obat sendiri / swamedikasi ditanyakan sebab dapat terjadi interaksi 4. Usia, penyakit hati, ginjal, faktor genetik pasien harus diketahui. 5. Jika mungkin dengan obat yang telah dikenal, waspada dengan obat baru. 6. Jika mungkin terjadi ADR serius, hati-hati. Penanganan ADR • Pengawasan obat setelah dipasarkan (post marketing sureveilance / PMS) • Metode PMS antara lain laporan kasus, penelitian kohort, dan penelitian kasus kontrol. Farmasis lebih terkait dengan pelaporan spontan. Pelaporan Spontan ADR • Mengapa reaksi obat tidak diinginkan perlu dilaporkan, antara lain karena – fase uji klinik, subjek terlalu kecil dibanding pemakai obat, sehingga memungkinkan timbul reaksi yang tidak terdeteksi selama uji klinis – Anak-anak, wanita hamil, lanjut usia dan pasien komplikasi umumnya tidak dilibatkan dalam uji klinik • Pelaporan spontan dapat dilakukan melalui ; jurnal, dilaporkan ke produsennya, secara lokal ke rumah sakit, atau nasional ke BPOM dengan metode pelaporan melalui formulir monitoring efek samping obat (MESO) TERIMA KASIH