Anda di halaman 1dari 19

Terapi Kelompok (Aktifitas Terjadwal) pada Klien Schizophrenia

dengan Masalah Keperawatan Halusinasi di Usia Dewasa

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa


Yang dibina oleh Bapak Eddi Sudjarwo, S.Kep., Ns., M.Kep.

Oleh :

Yasmin Kurniasari Putri (P17210184100)


Nawal Safika (P17210184101)
Linda Amelia Arifin (P17210184102)
Meydina Arsya Prastika (P17210184103)
Kindy Aurelfia Abita Putri (P17210184104)
Izza Robi’atul Adzawiyyah (P17210184105)
Diah Ajeng Pertiwi (P17210184106)
Jihan Salsabila (P17210184107)
Renanda Nur’afika (P17210184108)
Laroza Arifianti Ramadhani (P17210184109)
Fitri Mulyaningsih (P17210184110)
Wildan Regy Andreas (P17210184111)
Arlisa Piceslia Putri (P17210184112)
Sevi Eka Angelina (P17210184113)
Ana Nabila Riska (P17210184114)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
D3 KEPERAWATAN MALANG
Mei 2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang......................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................
1.3 Tujuan ..................................................................................................
1.4 Manfaat ................................................................................................
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi..................................................................................................
2.2 Etiologi Halusinasi................................................................................
2.3 Pathway.................................................................................................
2.4 Tanda dan Gejala Halusinasi................................................................
2.5 Jenis-Jenis Halusinasi...........................................................................
2.6 Fase Halusinasi.....................................................................................
2.7 Penatalaksanaan....................................................................................
2.8 Aktifitas Terjadwal...............................................................................
BAB III
STUDI KASUS
3.1 Kasus...................................................................................................
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan.........................................................................................
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan..........................................................................................
5.2 Saran....................................................................................................
DAFTAR RUJUKAN.......................................................................................
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
yang telah diberikan kepada kami, akhirnya kami dapat menyelesaikan “Makalah Terapi
Kelompok (Aktifitas Terjadwal) pada Klien Schizophreniadengan Masalah Keperawatan
Halusinasi di Usia Dewasa" dengan tepat waktu.
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas matakuliah
Keperawatan Jiwa yang dibina oleh "Bapak Eddi Sudjarwo, S.Kep., Ns., M.Kep.". Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang "Terapi Kelompok (Aktifitas
Terjadwal) pada Klien Schizophreniadengan Masalah Keperawatan Halusinasi di Usia Dewasa"
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Eddi Sudjarwo, S.Kep., Ns.,
M.Kep.selaku dosen matakuliah Keperawatan Jiwa yang telah memberikan tugas ini sehingga
kami dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Malang, 2 Mei 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan jiwa merupakan penyakit mental dimana penderita mengalami pola pikir dan
perilaku yang abnormal (ThePatient Education Institute dalam Ratnasari,ID (2018)).
Gangguan jiwa yang sering dan terbesar terjadi di Indonesia ialah Schizophrenia. Menurut
Benhard R.S dalam Ardiyani,ID (2019) dijelaskan Skizofrenia merupakan istilah yang
berasal dari Bahasa Jerman yakni Schizo yang berarti perpecahan/ split dan Phrenos yang
berarti Mind, dari istilah tersebut didapatkan definisi dari Skizofrenia adalah suatu kondisi
perpecahan pikiran, perasaan, dan perilaku. Menurut Maramis dalam Ardiyani,ID (2019)
Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan gangguan utama pada proses pikir serta
disharmonisasi antara proses pikir, afek atau emosi, kemauan dan psikomotor disertai distorsi
kenyataaan terutama karena waham dan halusinasi, assosiasi terbagi-bagi sehingga muncul
inkoherensi, afek dan emosi inadekuat, psikomotor menunjukkan penarikan diri, ambivalensi
dan perilaku bizar.
Schizophrenia sebagian besar merupakan usia produktif tetapi ditelantarkan,
berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia dalam Berita
RSJRW (2017) didapatkan hasil sekitar 650 ribu mengalami gangguan mental berat dan
sekitar 30% penderita mengalami pemasungan dengan alasan agar tidak melukai orang lain.
Menurut data Riskesdas, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar
400.000 orang atau sebanyak 1,7% pada tahun 2013 dan mengalami peningkatan proporsi
yang cukup signifikan pada tahun 2018 jika menjadi 7% (Kemenkes,2018 dalam Ariyani,ID
2019).
Dalam Setiawan dan Sulistyarini (2019) menjelaslan bahwa WFMH sebagai bagian
dari WHO, menyatakan bahwa kasus Skizofrenia tidak dapat lagi dilihat secara individual,
namun harus diintervensi dalam skala makro/sistem. Skizofrenia, gangguan psikotik, dan
gangguan neurotik umumnya terjadi karena tekanan yang berasal dari keluarga ataupun
masyarakat. Oleh karena itu, pengetahuan praktis mengenai gangguan jiwa berat tersebut
selayaknya juga dipahami oleh masyarakat.
Dalam Zahnia dan Sumekar (2016) menyatakan Gejala skizofrenia biasanya muncul
pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Onset pada laki-laki biasanya antara 15-25 tahun
dan pada perempuan antara 25-35 tahun. Sedangkan berdasarkan Data dari America
Psychiatric Association menyebutkan bahwa 1% dari populasi penduduk dunia hidup dengan
skizofrenia. Menurut data dari WHO pada tahun 2016, sekitar 21 juta orang di seluruh dunia
terkena skizofrenia. Diperkirakan 75% penderita skizofrenia terjadi pada usia 16-25 tahun
(Depkes RI, 2015 dalam Hariadi,dkk 2019). Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko
tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stressor. Kondisi penderita sering terlambat disadari
keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri
(Andari,2017). Dalam hal ini memiliki arti bahwa besarnya stressor dan cara penanganan
stress berpengaruh terhadap ada risiko schizophrenia, sehingga perlu adanya pengetahuan,
pengenalan, dan penanganan secara dini terhadap orang yang memiliki tanda dan gejala
schizophrenia.
Schizophrenia memiliki tanda gejala diantaranya halusinasi. Hal ini sesuai dengan
pendapat Uhlass dan Mishara dalam Azzahroh (2019) yaitu gejala yang paling menonjol dari
skizofrenia adalah halusinasi, yang diperkuat oleh Puspitasari dalam Azzahroh (2019) yaitu
Halusinasi yang terjadi dapat berupa suara yang mengganggu pasien skizofrenia. Suara
tersebut seolah-olah berbicara langsung pada mereka yang dapat berupa kritikan atau
komentar. Selain itu, skizofrenia bersifat kronis dan melemahkan jika dibandingkan dengan
gangguan jiwa lainnya.
Maka dengan itu perlu dilakukan terapi farmakologi dan nonfarmakologi serta
dukungan lingkungan untuk penderita gangguan jiwa. Menurut Azzahroh (2019) Terapi yang
baik pada pasien skizofrenia adalah dengan mengkombinasikan aspek medis,perawatan
psikologis atau psikoterapi dan dukungan dari lingkungan sekitarnya. Psikoterapi memiliki
peranan yang besar bagi pasien skizofrenia dalam upaya kesembuhan.
Sebagaimana tercantum Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
dalam pasal 1 ayat 4 menyebutkan bahwa upaya kesehatan jiwa adalah setiap kegiatan untuk
mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu, keluarga, dan
masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang
diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Menurut amanat undang-undang, penatalaksanaan
masalah kejiwaan tidak hanya menjadi tugas pemerintah, namun juga ada peran masyarakat
di dalamnyadalamnya (Kurniawan,Y. Dan Sulistyarini,I., 2016)
Terapi Non Farmakologi yang dapat diberikan kepada pasien dengan Gangguan Jiwa
dapat berupa Terapi modalitas seperti aktivitas kelompok, art therapy, terapi lingkungan dan
lain-lain. Di dalam pasien dengan gangguan persepsi: halusinasi diterapkan Managemen
halusinasi yang memiliki arti suatu perawatan secara integritas baik dari aspek
psikofarmakologi maupun aspek psikososial seperti penatalaksanaan, dapat dilakukan dengan
strategi pelaksanaan (SP) (Zelika & Dermawan, 2015 dalam Hayati F, 2019). Menangani
atau mengontrol halusinasi dapat dilakukan ke klien langsung (individu), dapat dilakukan
dengan empat cara, yaitu menghardik halusinasi dan bercakap-cakap dengan orang lain atau
sanak saudara dan kerabat, serta melakukan aktifitas berjadwal yang telah terjadwal,
mengkonsumsi obat secara teratur (Reliani, 2015 dalam Hayati,F., 2019)
Sehingga berdasarkan latar belakang makalah ini, maka, kelompok mengambil topik
pembahasan Terapi Non Farmakologi (Terapi Aktivitas Terjadwal) pada Pasien
Schizophrenia dengan Halusinasi.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana penatalaksanaan pasien schizophrenia dengan halusinasi pada usia dewasa?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui penerapan terapi non farmakologi pada penderita schizophrenia.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui keefektifan terapi non farmakologi pada schizophrenia halusinasi di
usia dewasa.
b. Mengetahui pemahaman mengenai schizophrenia dengan halusinasi.

1.4 Manfaat
1. Bagi Pembaca
Pembaca dapat menambah pengetahuan tentang pentingnya penanganan pada penderita
schizophrenia secara non farmakologi. Sehingga pembaca dapat mengaplikasikan di
kehidupan bermasyarakat ataupun di lingkungan Rumah Sakit.
2. Bagi Penulis
Pengetahuan penulis mengenai schizophrenia dapat tertambah walaupun sedikit.
3. Bagi Instansi
Menambah referensi dalam kasus schizophrenia.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Schizophrenia merupakan salah satu gangguan jiwa yang mana penderita mengalami
gangguan parah mental, yang ditandai dengan gangguan pikiran, bahasa, persepsi, dan
kesadaran diri. Ini sering mencakup gangguan psikotik, seperti mendengar suara-suara atau
delusi. Pada umumnya scizophrenia dimulai pada akhir masa remaja atau dewasa awal
(WHO, 2017). Gejala klinis skizofrenia menurut WHO adalah gangguan pikiran, delusi,
halusinasi, afek abnormal, gangguan kepribadian motor, dan adopsi posisi bizar.
Skizofrenia yaitu gangguan yang ditandai dengan adanya disorganisasi dari kepribadian,
distorsi realita, dan ketidak mampuan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Ada
beberapa penyebab dari skizofrenia, diantara lain yaitu: genetik, neurokimia, hipotesis
perkembangan saraf. Ada 2 gejala pada skizorenia yaitu: gejala positif atau gejala nyata,
yang mencakup waham, halusinasi, dan disorganisasi pikiran, bicara dan perilaku yang tidak
teratur, serta gejala negatif atau gejala samar, seperti efek datar, tidak memiliki kemauan, dan
menarik diri dari masyarakat atau rasa tidak nyaman (Firman et al., 2018). Dampak negatif
yang muncul akibat gangguan halusinasi adalah hilangannya kontrol diri yang menyebabkan
seseorang menjadi panik dan perilakunya dikendalikan oleh halusinasi (Irma & Giur, 2018).
Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa dimana pasien mengalami
perubahan sensori persepsi : merasakan sensori palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan,
perabaan atau penghidungan. Pasien merasakan stimulasi yang sebenarnya tidak ada (Firman
et al., 2018). Halusinasi adalah ketidak mampuan untuk memandang realitas secara akurat
yang membuat hidup menjadi sulit, seseorang yang berhalusinasi mungkin tidak memiliki
cara untuk mengetahui apakah persepsi ini adalah nyata atau tidaknya (Deski & Syarifh,
2018). Lebih dari 90% pasien dengan skizofrenia mengalami halusinasi. Meskipun bentuk
halusinasinya bervariasi, tetapi sebagian besar pasien dengan skizofrenia di Rumah Sakit
Jiwa mengalami halusinasi pendengaran.

2.2 Etiologi Halusinasi


Menurut Stuart dan Laraia (dalam Pambayun, 2015), faktor-faktor yang
menyebabkan klien gangguan jiwa mengalami halusinasi adalah sebagai berikut :
a. Faktor Predisposisi
1. Faktor genetis
Secara genetis, skizofrenia diturunkan melalui kromosom-kromosom
tertentu. Namun demikian, kromosom ke berapa yang menjadi faktor penentu
gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Anak kembar identik
memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya
mengalami skizofrenia, sementara jika dizigote, peluangnya sebesar 15%. Seorang
anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15%
mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka
peluangnya menjadi 35%.
2. Faktor neurobiologis
Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak yang
abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal, khususnya dopamin,
serotonin, dan glutamat.
a) Studi neurotransmitter
Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar
serotonin.
b) Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat menjadi faktor
predisposisi skizofrenia.
c) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi skizofrenia
antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu
melindungi, dingin, dan tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil
jarak dengan anaknya.
b. Faktor Presipitasi
1. Dimensi Fiasik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang
luar biasa, pengnaan obat-obatan, deman hingga delirium, intoksikasi alkohol dan
kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebih atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapar berupa
perintah memaksa dan menakutkan.
3. Dimensi Intelektual
Dalam dimensi interlektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi
akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi
merupakan usah adri ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namuan
merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi social dalam fase awal dan comforting.klien
menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata sangat membahayakan.
Klien asyik karena halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk
memenuhi kebutuhan akan intraksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak
dapatkan dalam dunia nyata.
5. Dimensi spiritual
Secara sprital klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak
bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk
untuk menyucikan diri. Irama sirkadiannya terganggu, karena ia sering tidur larut
malam, dan bangun sangat siang. Saaat banging terlihat hampa dan tidak jelas
tujuanya.

2.3 Pathway
2.4 Tanda dan Gejala Halusinasi
(Fresa et al., 2015) ada beberapa tanda dan gejala pada klien dengan gangguan persepsi
sensori; halusinasi pendengaran dilihat dari data subyektif dan obyektif.
a. Data subyektif
Pada pasien dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran, yaitu
mendengar suara atau bunyi, mendengar suara yang menyuruh melakukan suatu hal
yang membahayakan, mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap, suara yang
mengancam diri.
b. Data obyektif
Data obyektif pada pasien dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran,
yaitu bicara sendiri, bicara tidak teratur, dan kekacauan yang menyeluruh, marah-
marah tanpa sebab, pasien terliahat gelisah, pasien terlihat mondar mandiri, ketawa
sendiri dan tiba-tiba menangis.

2.5 Jenis-Jenis Halusinasi


Menurut, (Titin, 2017), halusinasi sendiri dibagi menjadi lima jenis yaitu
1. Halusinasi pendengaran
Data subyektif : Mendengar suara-suara atau kegaduhan, mendengar suara yang
mengajak bercakap-cakap, mendengar suara menyuruh sesuatu yang berbahaya.
Data obyektif : Berbicara sendiri atau ketawa sendiri tanpa lawan bicara, marahmarah
tanpa sebab, menutup telinga dan mondar mandir.
2. Halusinasi Penglihatan
Data subyektif: Melihat bayangan, sinar, bentuk sesuatu, melihat hantu.
Data obyektif: Menunjuk-nunjuk kearah tertentu, merasa ketakutan pada obyek atau
bayangan yang tidak jelas.
3. Halusinasi Pengecapan
Data subyektif: Merasakan seperti darah, urine dan feses.
Data obyektif: Sering meludah dan muntah.
4. Halusinasi perabaan
Data subyektif: Mengatakan seperti ada serangga yang menempel dipermukaan kulit.
Data obyektif: Mengaruk-garuk kulit.
5. Halusinasi penciuman
Data subyektif: Membau seperti bau feses, urine dan bauh darah yang sangat
menyengat.
Data obyektif : Seperti sedang berbau-bau tertentu, menutup hidung.
2.6 Fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitas dan keparahannya. Stuart dan
Laraia (dalam Pambayun, 2015), membagi fase halusinasi dalam 4 fase berdasarkan tingkat
ansietas yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase
halusinasi, klien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh
halusinasinya.
Fase halusinasi Karakteristik Perilaku pasien
Fase 1 : Klien mengalami keadaan Menyeringai atau tertawa
Comforting-ansietas emosi seperti ansietas, yang tidak sesuai,
tingkat sedang, secara kesepian, rasa bersalah, dan menggerakkan bibir tanpa
umum, halusinasi takut serta mencoba untuk menimbulkan suara,
bersifat menyenangkan berfokus pada penenangan pergerakan mata yang cepat,
pikiran untuk mengurangi respon verbal yang lambat,
ansietas. Individu diam dan dipenuhi oleh
mengetahui bahwa pikiran sesuatu yang mengasyikkan.
dan pengalaman sensori yang
dialaminya tersebut dapat
dikendalikan jika ansietasnya
bias diatasi
(Non psikotik)
Fase II : Pengalaman sensori bersifat Peningkatan sistem syaraf
Condemning-ansietas menjijikkan dan otonom yang menunjukkan
tingkat berat, secara menakutkan, klien mulai ansietas, seperti peningkatan
umum, halusinasi lepas kendali dan mungkin nadi, pernafasan, dan tekanan
menjadi menjijikkan mencoba untuk menjauhkan darah; penyempitan
dirinya dengan sumber yang kemampuan konsentrasi,
dipersepsikan. Klien dipenuhi dengan pengalaman
mungkin merasa malu karena sensori dan kehilangan
pengalaman sensorinya dan kemampuan membedakan
menarik diri dari orang lain. antara halusinasi dengan
(Psikotik ringan) realita.
Fase III : Klien berhenti menghentikan Cenderung mengikuti
Controlling-ansietas perlawanan terhadap petunjuk yang diberikan
tingkat berat, halusinasi dan menyerah halusinasinya daripada
pengalaman sensori pada halusinasi tersebut. Isi menolaknya, kesukaran
menjadi berkuasa halusinasi menjadi menarik, berhubungan dengan orang
dapat berupa permohonan. lain, rentang perhatian hanya
Klien mungkin mengalarni beberapa detik atau menit,
kesepian jika pengalaman adanya tanda-tanda fisik
sensori tersebut berakhir. ansietas berat : berkeringat,
(Psikotik) tremor, tidak mampu
mengikuti petunjuk.
Fase IV: Conquering Pengalaman sensori menjadi Perilaku menyerang-teror
Panik, umumnya mengancam dan menakutkan seperti panik, berpotensi kuat
halusinasi menjadi jika klien tidak mengikuti melakukan bunuh diri atau
lebih rumit, melebur perintah. Halusinasi bisa membunuh orang lain,
dalam halusinasinya berlangsung dalam beberapa Aktivitas fisik yang
jam atau hari jika tidak ada merefleksikan isi halusinasi
intervensi terapeutik. seperti amuk, agitasi,
(Psikotik Berat) menarik diri, atau katatonia,
tidak mampu berespon
terhadap perintah yang
kompleks, tidak mampu
berespon terhadap lebih dari
satu orang.

2.7 Penatalaksanaan
Tindakan keperawatan untuk membantu klien mengatasi halusinasinya dimulai
dengan membina hubungan saling percaya dengan klien . Setelah hubungan saling percaya
terjalin, intervensi keperawatan selanjutnya adalah membantu klien mengenali halusinasinya
(tentang isi halusinasi, waktu, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan
munculnya halusinasi, dan perasaan klien saat halusinasi muncul).
Penatalaksanaan halusinasi ditekankan agar klien dapat mengontrol halusinasinya
sehingga tidak larut dari halusinasi tersebut. Umumnya tindakan tersebut berupa terapi
psikologis dan sosial dengan tujuan sebagai kesembuhan klien dan mengurangi penderitaan
klien. Adapun managemen yang dilakukan untuk mengontrol halusinasi adalah strategi
pelaksanaan SP. Strategi pelaksanaan sp merupakan rangakaian percakapan perawat dengan
klien saat melaksanakan tindakan keperawatan. Strategi pelaksanaan keperawatan melatih
kemampuan intelektual tentang pola komunikasi dan pada saat dilaksanakan merupakan
latihan kemampuan yang terintegrasi antara intelektual, psikomotor dan afektif (Dilfera &
Resnia, 2018)
1) Membantu mengenali halusinasi
Untuk menbantu pasien mengenali halusinasi, perawat dapat berdiskusikan
dengan pasien tentang isi halusinasi (apa yang dengar, dilihat,atau dirasa), wakru terjadi
halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul
dan respon pasien saat halusinasi muncul (Dilfera & Resnia, 2018).
2) Melatih pasien mengendalikan halusinasi
Untuk membantu pasien agar mampu mengontrol halusinasi, perawat dapat
melatih empat cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan halusinasi. Keempat cara
mengontrol halusinasi adalah sebagai berikut:
a) Menghardik halusinasi
Mengahardik halusinasi adalah cara mengendalikan diri terhadap halusinasi
dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan
tidak terhadap halusinasi yang cukup atau tidak memedulikan halusinasinya. Jika
tindakan ini dapat dilakukan, pasien akan mampu mengendalikan diri dan tidak
mengikuti halusinasi yang muncul. Berikut ini tahapan intervensi yang dilakukan
perawat dalam mengajarkan pasien.
1. Menjelaskan cara menghardik halusinasi
2. Memperagakan cara menghardik
3. Meminta pasien memperagakan ulang
4. Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku pasien.
b) Bercakap-cakap dengan orang lain
Bercakap-cakap dengan orang lain dapat membantu mengontrol halusinasi.
Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain, terjadi distraksi: focus perhatian
pasien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang
lain.
c) Melakukan aktifitas yang terjadwal
Untuk mengurangi resiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukan diri
melakukan aktvitas yang teratur. Dengan aktifitas secara terjadwal, pasien tidak
adkan mengalami banyak waktu luang sendiri yang sering mencetus halusinasi.
Oleh karena itu, halusinasi dapat dikontrol dengan cara beraktifitas secara teratur.
Tahap intervensi perawat dalam memberikan aktifitas yang terjadwal:
1. Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatsi halusinasi.
2. Mendiskusikan aktivitas yang bisa dilakukan pasien.
3. Melatih pasien melakukan aktifitas.
4. Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang telah
dilatih. Upayakan pasien mempunyai aktifitas mulia dari bangun pagi sampai
tidur lagi.
5. Memantau pelaksanaan jadwal kegatan: memberi penguatan terhadap perilaku
pasien yang positif
6. Minum obat seacara teratur
Minum obat secarateratur dapat mengontrol halusinasi. Pasien juga harus
dilatih untuk minum obat secara teratur sesuai dengan program terapi dokter.
Pasien gangguan jiwa dirumah sering terput obat sehingga pasien mengalami
kekambuhan. Jika kekambuhan terjadi, untuk mencapai kondisi seperti
semulai akan membutuhkan waktu. Oleh karena itu, pasien harus dilatih
minum obat sesuai program dan berkelanjutan. Berikut ini intevensi yang
dapat dilakukan perawat agar pasien patuh minum obat.
a. Jelaskan kegunaan obat
b. Jelaskan akibat jika putus obat
c. Jelaskna cara mendapat obat/berobat
d. Jelaskan cara minum obat dengan prinsip 5 benar (benar obat, benar
pasien, benar cara, benar waktu, benar dosis).

SP 1 : Membantu pasien mengenal halusinasi, mejelaskan cara mengontrol halusinasi,


mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan mengahardik halusinaisi.
SP 2 : Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap bersama orang
lain.
SP 3 : Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan melaksanakan aktivitas terjadwal.
SP 4 : Melatih pasien minum obat secara teratur

2.8 Aktivitas Terjadwal


2.8.1 Pengertian Aktivitas
Suatu energi atau keadaan bergerak atau keadaan bergerak dimana manusia
memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu tanda kesehatan adalah
adanya kemampuan seseorang melakukan aktifitas seperti berdiri, berjalan, dan bekerja.
merupakan salah satu dari tanda kesehatan individu tersebut dimana kemampuan
aktivitas seseorang tidak terlepas dari keadekuatan sistem persarafan dan
muskuloskeletal. Aktivitas fisik yang kurang memadai dapat menyebabkan berbagai
gangguan pada sistem musculoskeletal seperti atrofi otot, sendi menjadi kaku dan juga
menyebabkan ketidak efektifan fungsi organ internal lainnya (Kristiadi et al., 2015).
2.8.2 Tujuan Atifitas Terjadwal
1) Untuk mengetahui pentingnya pengaruh aktivitas terjadwal yang teratur untuk
mengatasi halusinasi.
2) Meningkatkan motivasi klien untuk melakukan aktivitas terjadwal yang dilakukan
pada saat halusinasi muncul.
3) Meningkatkan keterlibatan klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sehingga
terhindar dari setiuasi melamunyang memicu timbulnya halusinasi.
4) Untuk mengalihkan halusinaasi dengan aktivitas terjadwal
2.8.3 Prosedur Pelaksanaan Aktifitas Terjadwal
Prosedur Pelaksanaan Aktifitas Terjadwal Tahapan rencana keperawatan dalam
memberikan aktivitas terjadwal (Kristiadi et al., 2015).
1) Menjelaskan pentingnya aktivitas terjadwal yang teratur untuk mengatasi
halusinasi.
2) Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan.
3) Melatih aktivitas untuk melakukan aktivitas.
4) Menyusun jadwal aktivitas pasien memiliki aktivitas dari bangun tidur sampai
tidur malam.
5) Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberika penguatan terhadap perilaku
pasien yang positif.
2.8.4 Prosedur Latihan Aktivitas
1) Menjelaskan pengertian mengontrol halusinasi dengan aktivitas terjadwal.
2) Menjelaskan tujuan teknik mengontrol halusinasi dengan aktivitas terjadwal.
3) Menjelaskan alat dan bahan melakukan teknik mengontrol halusinasi dengan
aktivitas terjadwal.
4) Menjelaskan langkah-langkah melakukan aktivitas terjadwal sebagai berikut:
a. Kenali waktu halusinasi.
b. Identivikasi kegiatan atau aktivitas yang dapat dilakukan saat ini.
c. Susun rencana pelaksanaan aktivitas secara berurutan.
d. Lakukan sesuai rencana semua kegiatan yang telah ditunjukan
5) Memberikan reinforsenment kemampuan yang telah ditunjukan.
6) Menjelaskan manfaat setelah melakukan akrtivitas terjadwal.
2.8.5 Teknik Tahapan Pelaksanaan Aktivitas Terjadwal
Teknik tahapan yang akandilalukan dalam melakukan aktivitas terjadwal antara lain:
a) Persyaratan
1. Mengindentifikasi pasien dengan gangguan persepsi sensori pendengaran.
2. Memilih pasien dengan gangguan persepsi sensori pendengaran dengan
mengunakan kuisoner yang sudah ada.

b) Tahapan
1. Membina hubungan saling percaya dengan klien, melakukan SP 1 mengenal,
mengontrol, dan cara menghardik, membuat kontrak SP 2.
2. Mengevaluasi SP 1, melakukan SP 2 dengan menganjurkan minum obat
secara teratur, kontrak SP 3.
3. Mengevaluasi SP 2, dan masuk SP 3, yaitu menganjurkan klien untuk
bercakapcakap, kontrak SP 4.
4. Mengevaluasi SP 3, dan masuk ke SP 4, yaitu melakukan aktivitas terjadwal,
membuat kontrak yaitu melakukan diskusi aktivitas yang biasa klien lakukan.
5. Mengevaluasi SP 4, mendiskusikan melakukan aktivitas secara terjadwal.
6. Mendiskusikan kembali cara melakukan aktivitas terjadwal yang biasa klien
lakukan.
7. Melakukan diskusi aktivitas terjadwal dan mengevaluasi yag sudah
dilakukan.
Tahapan ini akan dilakukan selama tujuh kali pertemuan, setiap pertemuan
berlangsung selama 30 menit dan setiap pertemuan akan dilakuan evaluasi,
dalam melakukan setiap SP harus dilakukan secara baik dan benar agar
halusinasi tidak muncul lagi, dalam hal ini mendiskusikan melakukan
aktivitas terjadwal akan lebih ditekanan lagi yaitu dilakukan selama 4 kali
pertemuan.
BAB III
STUDI KASUS

Dikutip dari Hayati,F (2019) dengan Judul MANAGEMEN HALUSINASI (AKTIVITAS


TERJADWAL) PADA Tn S DENGAN GANGGUAN HALUSINASI PENDENGARAN DI
RSJ Prof . Dr. SOEROJO MAGELANG.
Hasil pengkajian yang dilakukan oleh Hayati,F Pasien bernama Tn S, tinggal di Cirebon,
usia 35 tahun, jenis kelamin laki-laki pekerjaan pengamen, pendidikan tidak lulus SD, sumber
informasi diperoleh dengan cara anamnesa dan observasi. Tanggal masuk tanggal 18 Mei 2019
dengan diantar keluarganya. Diangnosa medis F 20.0 dan penanggung jawab masuk yaitu ibu
kandungnya. Pengkajian dilakukan pada hari selasa, 21 Mei 2019 pukul 10.00 WIB di Wisma
Antareja Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang. Hasil pengkajian tersebut (informasi
klien dan status pasien) dapat diperoleh data sebagai berikut: pasien datang di Rumah Sakit Jiwa
Prof. Dr. Soerojo Magelang karena putus obat kurang lebih sejak 1 tahun, klien diantar oleh
keluarga pada tanggal 12 Mei 2019 karena klien sulit tidur, mengamuk, sering bicara sendiri,
mondar mandir dan mudah marah. Sebelumnya klien pernah dirawat di RSJ Prof. Soerojo
Magelang sebanyak 1x pada tahun 2015 dengan keluhan mengamuk, berbicara sendiri dan
mudah marah. Tn S mengalami gejala skizofrenia sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu.
Pemeriksaan fisik klien, tekanan darah: 120/80mmgh, Nadi: 84x/menit, Suhu: 36,
Respirasi: 22x/menit, Tinggi badan: 165cm, berat badan: 78 kg, klien megatakan Gambaran diri:
klien mengatakan bahwa tidak ada bagian tubuh yang tidak disukai. Identitas diri: klien
menyadari bahwa dirinya seseorang laki-laki berusia 35 tahun ini mempunyai keinginan untuk
menikah. Ideal diri: klien mengatakan ingin sembuh dan mempunyai keinginan untuk menikah.
Harga diri: klien mengatakan hubungan dengan orang lain kurang baik, karena klien pernah
dirawat dirumah sakit dan merasa minder tidak percaya diri karena diusia 35 tahun belum
menikah. Hubungan sosial: klien merasa orang yang berharga adalah ayahnya, peran serta dalam
kelompok/masyarakat klien kurang baik, klien jarang mengikuti kegiatan masyarakat. Spiritual:
klien beragam islam, klien saat ini ibadah klien terganggu. kegiatan ibadah klien sebagai orang
islam cukup baik, karena disuruh solat klien langsung mengambil air wudhu dan solat. Klien
mengalami gangguan mengingat jangka panjang karena klien lupa tentang kejadian lampau.
Selama interaksi dengan klien, klien kooperatif, kontak mata kurang, suara lemah, klien
berbicara seperlunya, tidak ada inisiatif untuk bertanya kembali, persepsi klien, klien
mengatakan mendengar suara tapi tidak ada wujudnya, isinya yaitu mengacam dirinya seperti
ada yang mau memukul, frekuensi 1-2 kali sehari, kadang-kadang muncul saat klien sendiri, dan
respon klien ketika setelah mendengar suara bisikan tersebut adalah marah. Mekanis koping
selama di RSJ klien hanya lebih banyak diam, menyendiri dan berbicara sendiri. Klien
mengatakan tidak mengerti manfaat obat yang diminum namun klien mau minumnya secara
teratur. Klien mendapatkan terapi Clozapin, dengan dosis 12,5 mg/24 jam dan Resperidole dosis
2 mg/12 jam.
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengkajian diatas didapatkan diagnosa keperawatan pada pasien yaitu
Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran yang ditandai dengan klien mengatakan
sering mendengar suara bisikan, suara yang tidak tampak dan tidak jelas. Isinya yaitu
mengancam diri, frekuensi 1-2 kali sehari kadang-kadang muncul respon klien ketika mendengar
suara tersebut marah. Secara obyektif klien berbicara sendiri, klien tampak menyendiri, kontak
mata klien kurankurang. Berdasarkan hasil kutipan penulis, penulis memberikan rencana
keperawatan pada pasien dengan mengajarkan tindakan keperawatan strategi pelaksanaan 4
dengan menggunakan latihan akivitas terjadwal.
Implementasi yang dilakukan oleh penulis yaitu Latihan aktivitas terjawal dilakukan
selama empat hari pertemuan, dan pertemuan sebelumnya sudah dilakukan strategi pelaksanaan
generalis. Dalam hal ini penulis memberikan penjelasan mengenai mengontrol halusinasi,
melakukan diskusi pada pasien terkait aktivitas yang akan dilakukan, memberi arahan kepada
klien untuk menyusun jadwal aktivitas bersama dengan klien, melatih pasien sesuai dengan
jadwal aktivitas, dan memantau aktivitas pasien. Hal ini dilakukan dengan harapan klien dalam
melaksanakan kegiatan sungguh-sungguh dan sesuai dengan keinginannya sehingga hasil yang
dicapai dalam terapi juga maksimal.
Hasil yang didapatkan oleh penulis yaitu klien mampu melakukan cara kontrol halusinasi
dengan cara menghardik, klien minum obat secara teratur, klien mengatakan setelah makan klien
selalu meminta obat pada perawat, klien mampu melakukan aktivitas terjadwal yang sudah
dibuat walaupun kadang ada aktivitas yang lupa tidak dilakukan yaitu sholat, klien tampak lebih
percaya diri dari sebelumnya dan klien merasa yakin akan segera pulang kerumah. Perencanaan
tindak selanjutnaya yang akan dilakukan penulis yaitu tetap mempertahankan latihan aktivitas
terjawal yang sudah dibuat, dengan memperlibatan bantuan perawat yang ada, saat penulis tidak
berada disamping klien untuk memantau dan mengevaluasi perkembangan klien agar tetap
melakukan aktivitas terjadwal yang sudah dibuat.
Menurut kelompok yang dilakukan penulis tepat, karena dengan memberikan edukasi,
diskusi, arahan dan pengawasan berupa aktivitas terjadwal maka pasien dapat mengatur kegiatan
sehari-hari, sehingga tidak ada waktu kosong yang tersedia untuk pasien yang dapat
dimanfaatkan untuk merespon atau mengikuti halusinasi. Selain itu adanya kegiatan terjadwal
membuat pasien dapat melakukan kegiatan secara mandiri dan tanpa beban.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Terdapat variasi respon dari pasien halusinasi pendengaran setelah diberikan penerapan
terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi antara lain salah satu pasien asuhan dengan
tahap comfortingmasih belum menggunakan teknik menghardik, melakukan kegiatan secara
terjadwal, bercakap-cakap sebagai salah satu cara untuk mengontrol halusinasi.

2.Faktor –faktor yang mempengaruhi hasil penerapan terapi aktivitas kelompok stimulasi
persepsi pada pasien halusinasi pendengaran antara lain : fase halusinasi pasien, tingkat
pendidikan pasien, sikap ketidakpatuhan pasien, kurangnya minat pasien akibat harga diri
rendah, penggunaan obat antipsikotik

5.2 Saran
1. Makalah ini dijadikan sebagai sumber informasi maupun acuan bagi penulis mengenai
penerapan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi.
2.Bagi Pasien Gangguan Sensori Persepsi Halusinasi PendengaranPasien dapat mengikuti terapi
aktivitas kelompok sebagai terapi untuk mengontrol halusinasi pendengaran.
3.Bagi Mahasiswa memahami dan mampu menerapkan terapi aktivitas kelompok untuk pasien
halusinasi pendengaran.
4.Bagi Perawat di RSJ ,Perawat hendaknya mendampingi dan mengevaluasi kemampuan pasien
setelah melibatkan pasien dalam kegiatan TAK stimulasi persepsi pada pasien halusinasi
pendengaran.
5.Bagi Rumah Sakit Jiwa ,Rumah Sakit perlu untuk membuat Standart Operating
Procedure(SOP) mengenai TAK stimulasi persepsi pada pasien halusinasi sebagai acuan yang
terstruktur
DAFTAR PUSTAKA

Aravika, LT., Alberta, K. O. W., Ragayasa, A. (2019). Hubungan Antara Dukungan Keluarga
Terhadap Kejadian Kekambuhan Pasien Skizofrenia. Prosiding Seminar Nasional
Kesehatan Poltekkes Kemenkes Surabaya, 9 Nopember 2019
Andari, Soetji. (2017). Pelayanan Sosial Panti Berbasis Agama dalam Merehabilitasi Penderita
Skizofrenia. Jurnal PKS Vol 16 No 2 Juni 2017; 195 – 20
Ardiyani, I.D., Muljohardjono, H. (2019). Intervensi untuk Mengurangi Stigma pada Penderita
Skizofrenia. Jurnal Psikiatri Surabaya Volume 01 Nomor 01
Cecilia, I. K., Meidiana, D., Sri, P. S. (2019). Terapi Keperawatan Dalam Mengatasi Masalah
Interaksi Sosial Pada Pasien Skizofrenia: Literatur Review. Jurnal Ilmu Keperawatan
Jiwa Vol 2 No 1 Mei 2019; Hal41-46.
Darmayanti, I., Idaiami, S., Indrawati, L., Kusumawardani, N., Mubasyiroh, R., Tjandrarini, D.
H., Yumita, I. (2019). Prevalensi Psikosis di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
2018. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan, Vol. 3, No. 1, April
2019
Hayati, Fitria. (2019). Managemen Halusinasi (Aktivitas Terjadwal) Pada Tn S Dengan
Gangguan Halusinasi Pendengaran Di Rsj Prof . Dr. Soerojo Magelang. KTI : Program
Studi D3 Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Magelang
Kurniawan, I., & Sulistyarini, I. (2016). Komunitas SEHATI (Sehat Jiwa dan Hati) Sebagai
Intervensi Kesehatan Mental Berbasis Masyarakat. INSAN Jurnal Psikologi dan
Kesehatan Mental 2016, Vol. 1(2), 112-124
Pambayun, Ahlul. (2015). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny. S dengan Gangguan Persepsi
Sensori Halusinasi Pendengaran Ruang 11 (Larasati) Rsjd Dr. Amino Gondohutomo
Semarang. Asuhan Keperawatan Psikiatri Halusinasi Akademi Keperawatan Widya
Husada Semarang
Ratnasari, I. D. (2018). Analisis Drug Related Problems Penggunaan Antipsikotik Pada
Penderita Schizophrenia Dewasa Di Rumah Sakit Jiwa X Surabaya. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.7 No.1
WHO. Tersedia di: <http://www.who.int/mental_health/ma nagement/schizophrenia/en/>
[Diakses 12 Mei 2020]
Zahnia1, S., Sumekar, D. W. (2016). Kajian Epidemiologis Skizofrenia. MAJORITY Volume 5
Nomor 5, Desember 2016 ; 161

Anda mungkin juga menyukai