Anda di halaman 1dari 35

PERAWATAN KASUS GAWAT DARURAT DI

BIDANG KEDOKTERAN GIGI YANG DISEBABKAN


TRAUMA PADA ANAK

Oleh :
Windy Yuliartanti, drg
021618046308

Dosen Pembimbing :
Satiti Kuntari, drg, M.S., SpKGA (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS


DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengertian trauma secara umum adalah luka atau jejas baik fisik maupun
psikis. Trauma dengan kata lain disebut injury atau wound, dapat diartikan sebagai
kerusakan atau luka yang biasanya disebabkan oleh tindakan-tindakan fisik dengan
terputusnya kontinuitas normal suatu struktur( Dorland, 2002).
Penyebab trauma gigi pada anak-anak yang paling sering adalah karena jatuh
saat bermain, baik di luar maupun di dalam rumah dan saat berolahraga. Trauma gigi
anterior dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung, trauma gigi secara langsung
terjadi ketika benda keras langsung mengenai gigi, sedangkan trauma gigi secara tidak
langsung terjadi ketika benturan yang mengenai dagu menyebabkan gigi rahang
bawah membentur gigi rahang atas dengan kekuatan atau tekanan besar dan tiba-tiba
(Wei, 1988).
Cedera trauma gigi sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, sekitar
5% dari semua cedera. 25 % dari anak usia sekolah pernah mengalami trauma gigi
dan 33 % usia dewasa mengalami trauma pada gigi permanen, dengan mayoritas
kasus terjasi sebelum usia 19 tahun. Luksasi merupakan kasus yang paling sering
terjadi pada gigi sulung, sedangkan pada gigi permanen kasus yang paling sering
terjadi adalah fraktur mahkota. Diagnose yang tepat, rencana perawatan dan follow up
sangat penting untuk mendapatkan hasil yang baik (IADT, 2012).
Anak dalam masa pertumbuhan baik secara mental maupunn fisik. Mereka
selalu ingin tahu apa yang ada disekitar mereka, selalu mencoba untuk menjelajah
hal-hal baru, dan karena koordinasi motorik yang belum sempurna(Rao, 2008).

1.2 Tujuan
1. Untuk memberikan pengetahuan tentang macam-macam trauma gigi pada anak
dan cara penatalaksanaanya
1.3 Manfaat
1. Memberikan pengetahuan dan wawasan dalam melakukan penatalaksanaan
bemacam-macam trauma gigi pada anak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi
30 % dari anak usia sekolah mengalami trauma gigi pada saat gigi sulung,
sedangkan 22% saat gigi permanen. (Rao,2008)
Angka kejadian trauma gigi sulung terbesar terjadi saat usia 2 sampai 3 tahun,
ketika perkembangan koordinasi gerak.(traumatic dental injuries in primary
dentition) luka yang sering terjadi pada gigi permanen jatuh, diikuti dengan
kecelakaan lalu lintas, perkelahian,dan olahraga.(Rao,2012)
Pada usia 5 tahun, lebih dari 40 % anak laki-laki dan 30 % anak perempuan
mengalami trauma pada gigi mereka (Cameron, 2013). Usia puncak terjadinya luka
pada gigi permanen adalah 2 sampai 4 tahun perkembangan keterampilan
gerak(Cameron,2013).

2.2 Lokasi
Mayoritas luka yang terjadi terdapat pada gigi anterior dan sebagian pada
insisiv sentral maksila.(rao,2008)71 % kasus trauma yang terjadi melibatkan insisiv
sentral maksila dan hal ini 3 kali lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan insisiv
lateral maksila. Lebih dari 56 % kasus yang terjadi melibatkan fraktur mahkota tanpa
mengenai pulpa, 13 % dengan kerusakan pulpa dan 3 % dengan fraktur akar
(Rao,2013)

2.3 Distribusi jenis kelamin


Laki-laki dan perempuan menunjukkan jumlah kejadian yang sama tinggi
diantara usia 4-5 tahun.
Pada gigi permanen memiliki distribusi yang sama sampai usia 9 tahun.
Setelah usia 9 tahun sampai usia 11 tahun, laki-laki 2 kali lebih mudah mendapat luka
pada gigi permanen dibandingkan dengan anak perempuan.(Rao,2008)
2.4 Frekuensi

 11-30 % anak mengalami trauma saat gigi sulung. 20 % dari semua cedera
terjadi saat anak preschool
 22 % anak yang mengalami trauma pada gigi permanen saat usia 14 tahun
 Rasio laki-laki : perempuan 2:1
 Insidensi tertinggi saat usia 2-4 tahun dan meningkat lagi saat usia 8-10 tahun
 Gigi anterior rahang atas gigi anterior atas adalah gigi yang paling sering terlibat,
terutama gigi seri (baik gigi sulung maupun gigi permanen).
 Biasanya hanya satu gigi yang terlibat, kecuali pada kasus kecelakaan motor dan
cedera saat berolahraga
 Jumlah gigitan anjing signifikan untuk sejumlah cedera dan setiap tahun beberapa
anakdibunuh oleh anjing. Hal ini umum bahwa anjing diketahui anak dan tidak
bisamendapatkan strees yang terlalu tinggi jadi anak-anak harus diawasi ketika
berada disekitar hewan bahkan hewan yang paling pemalu. (Cameron, 2013)
2.5 Etiologi

1. Luka yang disengaja : kekerasan terhadap anak dan kelalaian


2. Kecelakaan yang tidak disengaja : kecelakaan di jalan raya, jatuh atau tabrakan,
penggunaan gigi yang tidak tepat, anak berkebutuhan khusus
3. Aktivitas olahraga : olahraga kontak, bersepeda/ berkuda,
Trauma atau cedera dapat juga dikelompokkan menjadi intentional (contoh:
abuse) atau unintentional (contoh:aktivitas olahraga) (Rao,2008).
Trauma gigi anterior dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung, trauma
gigi secara langsung terjadi ketika benda keras langsung mengenai gigi, sedangkan
trauma gigi secara tidak langsung terjadi ketika benturan yang mengenai dagu
menyebabkan gigi rahang bawah membentur gigi rahang atas dengan kekuatan atau
tekanan besar dan tiba-tiba. (Marwah,2014).
Tabel 1 Distribusi Penyebab Cedera Maksilofasial (Cameron,2013)

Trauma gigi pada anak-anak biasanya karena kurangnya koordinasi motorik,


yaitu selama tahun pertama yaitu karena jatuh ketika anak mulai belajar berjalan.
(Rao,2012)

 18 bulan sampai 2 tahun


Anak terkenal berani dan ingin tahu. Saat gigi sulung, luka yang terjadi
biasanya menghasilkan displacement atau avulsi daripada fraktur gigi. Fraktur pada
gigi jarang diobservasi karena letak gigi yang lebih vertikal, proteksi bibir yang baik,
dan tulang alveolar yang lebih lunak, yang membuat lebih tahan terhadap pukulan yang
menyebabkan displacement gigi (Rao,2012).
 2-5 tahun
Pada usia ini anak belajar berjalan dan masih belum bisa berdiri dengan tegak
dan dapat mengakibatkan cedera pada gigi anterior. Luka yang sering terjadi pada usia
ini karena ayunan. Anak berdiri di depan ayunan yang sedang bergerak dan menerima
pukulan dari ayunan yang bergerak tersebut(Rao,2012).
 5-10 tahun
Kecelakaan di taman bermain, kecelakaan saat bersepeda sering terjadi,
menyebabkan fraktur mahkota multiple disertai luka pada jaringan lunak pada bibir atas
dan dagu(Rao,2012).
 >10 tahun
Luka karena adanya kontak fisik saat olahraga, berkuda, kecelakaan lalu lintas
dll. (Rao,2012)

2.6 Faktor Predisposisi


1. Maloklusi kelas II divisi 1
2. Overjet 3-6 mm. Memiliki frekuensi yang lebih tinggi untuk terjadi cedera bila
dibandingakan dengan overjet 0-3 mm
3. Overjet>6 mm, resiko cedera meningkat 3 kali lipat
Seperti hasil studi dalam Tabel 1 oleh Hall (1994), dari Rumah Sakit Royal
Anakdi Melbourne, menunjukkan bahwa jatuh dan kecelakaan saat bermain
merupakan penyebab terbesar cedera.
Lam dan lain-lain (2008) juga melaporkan bahwa trauma gigi di pedesaan
Australiapopulasi adalah yang paling sering hasil dari jatuh, kecelakaan saat bermain
danpartisipasi dalam olahraga. Yang penting, meskipun terhitung hanya 1% dari
semua cedera,lebih dari 80% dari kekerasan anak terjadi pada anak yang sangat muda
(Cameron, 2013)

2.7 Klasifikasi trauma pada gigi anterior:


Para ahli mengklasifikasikan berbagai macam kelainan akibat trauma gigi
anterior. Klasifikasi trauma gigi yang telah diterima secara luas adalah klasifikasi
menurut Ellis dan Davey (1970) dan klasifikasi yang direkomendasikan dari World
Health Organization (WHO) dalam Application of International Classification of
Diseases to Dentistry and Stomatology.

2.7.1 Klasifikasi menurut Ellis dan Davey


Ellis dan Davey menyusun klasifikai trauma pada gigi anterior menurut
banyaknya struktur gigi yang terlibat, yaitu :
Klas 1 : Fraktur mahkota tanpa keterlibatan dentin
Klas 2 : Fraktur mahkota yang mengenai dentin, pulpa tidak terkena
Klas 3 : Fraktur mahkota mengenai dentin dengan pulpa terbuka
Klas 4: Trauma pada gigi yang menyebabkan gigi non vital dengan atau tanpa
kehilangan mahkota
Klas 5 : Kehilangan gigi
Klas 6 : Fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota
Klas 7 : Displacement pada gigi tanpa fraktur mahkota atau akar
Klas 8 : Fraktur pada keseluruhan mahkota
Klas 9 : Trauma pada gigi sulung

2.7.2 Klasifikasi menurut WHO


Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization (WHO)
dalam Application of International Classification of Diseases to Dentistry and
Stomatology diterapkan baik gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan keras
gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut yaitu sebagai berikut :
873.60 : Fraktur enamel
873.61 : Fraktur mahkota yang mengenai enamel dan dentin tanpa disertai pulpa
terbuka
873.62 : Fraktur mahkota disertai pulpa terbuka
873.63 : Fraktur akar
873.64 : Fraktur akar mahkota
873.66 : Luxation
873.67 : Intrusi atau ekstrusi
873.68 : Avulsi
873.69 : Luka lain seperti luka pada jaringan lunak

2.8 Definisi dan klasifikasi cedera (text book dental traumatology)


2.8.1 Cedera jaringan keras gigi
2.8.1.1 Cedera pada gigi

Fraktur Mahkota
Fraktur mahkota merupakan tipe trauma gigi yang paling sering.tipe cedera
tergantung dari usia pasien dan keparahan dan arah dari trauma.

a. Enamel Infraction
Terlihat sebagai retakan atau craze line pada enamel. Biasanya terlihat hair line tipis
dan sering terlihat nyata saat cahaya diteruskan melalui mahkota. Ada kecenderungan
retakan ini mempertahakankan noda, yang mungkin akan menimbulkan masalah
kosmetik (Berman,2007).

Gambar enamel infraction ( IADT,2012)

b. Fraktur Mahkota Uncomplicated


Ini merupakan fraktur mahkota yang hanya mengenai enamel atau enamel dan dentin
tanpa mengenai pulpa (Berman, 2007).

Gambar Fraktur mahkota uncomplicated (IADT, 2012)

c. Fraktur Mahkota Complicated


Ini merupakan fraktur mahkota yang mengenai enamel dan dentin yang dalam dan
sampai mengenai pulpa (Berman, 2007).

Gambar Fraktur mahkota complicated (IADT,2012)


d. Fraktur Akar
Terkadang, ada beberapa cedera pada gigi yang tidak secara langsung
memberikan efek pada mahkota gigi, tetapi menyebabkan fraktur pada akar. Fraktur ini
kemungkinan bisa vertical, horizontal, atau oblique pada hubungannya dengan garis
axis akar (Cameron,2013, IADT,2012)

e. Fraktur Mahkota Akar :


Fraktur ini mengenai mahkota dan akar dalam waktu yang sama. Tanda khas pada
fraktur ini yaitu adanya fraktur horizontal atau cervical oblique yang meluas sampai
dibawah attachment atau sampai tulang alveolar.seringkali mahkota terpisah seluruhnya
dari akar; pada beberapa kasus gigi tetap berada pada tempatnya dengan penahan
attachment (Berman, 2007).

Gambar Fraktur mahkota akar (IADT,2012)

f. Fraktur Akar Intraalveolar


Cedera ini mengenai fraktur pada akaryang sepenuhnya terbungkus dalam tulang.
Fraktur ini bisa transversal ( juga disebut transversa) atau lebih diagonal (disebut juga
oblique) dan biasanya dibagi menjadi 2 fragmen : fragmen koronal dan fragmen apical
(Berman,2007).

Cedera Luksasi
Ketika cedera trauma pada gigi yang menyebabkan displacement gigi dari
soketnya, maka cedera ini disebut cedera luksasi. Tipe cedera luksasi berhubungan
dengan arah dan keparahan dari cedera.
a. Concussion
Cedera pada gigi dan jaringan pendukung gigi tanpa ada peningkatan kegoyangan
atau displacement pada gigi tapi dengan rasa sakit saat dilakukan perkusi
(Berman,2007; IADT,2012)

Gambar Concussion (IADT,2012)

b. Subluksasi
Cedera pada jaringan pendukung gigi yang menyebabkan pada peningkatan
mobilitas gigi, tapi tanpa disertai displacement gigi. Perdarahan dari sulcus gingival
merupakan diagnose pendukung (Berman,2007; IADT,2012; Cameron,2013).

Gambar Subluksasi (IADT,2012)

c. Ekstrusi
Displacement sebagian pada gigi yang terlepas dari soketnya. Cedera pada gigi
yang di tandai oleh sebagai atau separasi total pada ligament periodontal yang
menyebabkan loosening dan displacement pada gigi. Tulang soket alveolar utuh dalam
cedera ekstrusi berlawanan dengan cedera luksasi lateral. Selain displacement aksial,
gigi biasanya akan memiliki elemen protrusi atau retrusi. Dalam cedera ekstrusi parah
retrusi / protrusi dapat sangat terlihat. Pada beberapa kasus dapat lebih jelas daripada
unsur ekstrusif
.

d. Lateral luksasi
Displacemen pada gigi dalam soket dengan arah bukal lingual atau palatal
(Berman,2007). Lateral luksasi selalu diikuti dengan fraktur pada dinding tulang
alveolar (Cameron,2013).

Gambar lateral luksasi (IADT,2012)

e. Intrusi
Displacement pada gigi ke dalam tulang alveolar. Cedera ini diikuti oleh fraktur
dari soket tulang alveolar (Berman,2007).
Gambar Intrusi (IADT,2012)
f. Avulse
Ketika gigi terlepas dengan sempurna dari soket tulang alveolar (Berman,2007).

Gambar Intrusi (IADT,2012)

Trauma pada jaringan pendukung gigi


1. Fraktur tulang alveolar : terjadi karena intrusi gigi
2. Fraktur pada dinding soket : labial atau lingual luksasi
3. Fraktur prosesus alveolaris
4. Fraktur maksila
5. Fraktur mandibular (Rao,2008)

Cedera pada jaringan lunak rongga mulut


1. Kontusio: luka memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan benda tumpul dan
menyebabkan terjadinya perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai sobeknya
daerah mukosa
2. Abrasi : luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena gesekan atau goresan
suatu benda, sehingga terdapat permukaan yang berdarah atau lecet.
3. Laserasi : suatu luka terbuka pada jaringan lunak yang disebabkan oleh benda tajam
seperti pisau atau pecahan luka. Luka terbuka tersebut berupa robeknya jaringan epitel
dan subepitel.
4. Luka tusuk dalam
5. Kehilangan jaringan yang luas (Rao,2008)
Gambar macam-macam cedera pada gigi(Koch,2001)

Trauma pada gigi sulung dapat menyebabkan beberapa kelainan pada gigi tetap, antara lain
hipoplasia email, hipokalsifikasi, dan dilaserasi. Beberapa reaksi yang terjadi pada jaringan
pulpa setelah gigi mengalami trauma adalah hiperemi pulpa, diskolorisasi, resorpsi internal,
resorpsi eksternal, kalsifikasi pulpa gigi, dan nekrosis pulpa.

2.9 Faktor Predisposisi

 Profile yang mudah mendapat kecelakaan


1. Maloklusi kelas 2 divisi 1
2. Maloklusi kelas 1 tipe 1
 Penutupan bibir yang tidak adekuat
Seperti yang telah diteliti dengan bibir yang tidak kompeten, bibir atas pendek,
kebiasaan bernafas melalui mulut, dll. Trauma pada gigi dua kali lebih sering terjadi
pada anak-anak dengan protrusi maloklusi dibandingkan dengan anak dengan oklusi
normal.
 Anak berkebutuhan khusus
Anak dengan cerebral palsy, retardasi mental, atau epilepsi lebih rentan terhadap
trauma, karena beberapa alasan :
1. Tonus otot yang abnormal dan fungsi pada area mulut, menyebabkan terjadinya
protrusi pada anterior maksila
2. Karena koordinasi otot skeletal yang buruk, biasanya mereka sering jatuh
3. Pada pasien epilepsi, selama terjadinya kejang akan terjadi peningkatan resiko
trauma yang disebabkan oleh jatuh
 Anomali gigi dan karies
Hipoplasia dan karies merupakan hasil dari lemahnya struktur mahkota
 Faktor mekanik
Berdasarkan hallet (1953), keparahan luka tergantung dari :
a. Energi dari tabrakan
b. Ketahanan dari objek
c. Bentuk dari objek
d. Sudut arah dari gaya yang menabrak (Rao,2008)

2.10 Pencegahan Trauma


1. Standar Keamanan : mewajibkan penggunaan mouth guard, seat belts, helm, dll
2. Pendidikan : menjelaskan potensi bahaya
3. Pengenalan dini dan perawatan faktor predisposisi (Rao,2008)

2.11 Pemeriksaan
Untuk memastikan semua data relevan sudah dicatat, disarankan form standar
untuk trauma. Form ini menyediakan checklist untuk dokter gigi pada visit pertama
dan pertemuan selanjutnya.(Koch,2009 )
 Riwayat
Riwayat merupakan salah satu tahap yang penting pada pemeriksaan rutin pada
kedokteran gigi klinis. Ini harus dengan dilakukan dengan tepat dan cepat, diikuti
dengan pemeriksaan.
Pertanyaan riwayat meliputi :
Data personal : nama, umur, jenis kelamin, alamat
Keluhan dan riwayat penyakit
Riwayat medis yang relevan dan riwayat pemberian vaksin tetanus juga harus
dicatat
Riwayat perawatan gigi sebelumnya
Riwayat neurologi(Rao,2008)

Riwayat trauma
Ketika pasien datang untuk perawatan, tahap pertama untuk mendapat tampilan yang
luas dari cedera. Beberapa pertanyaan harus ditanyakan untuk memastikan diagnose
yang tepat dan treatment planning yang sesuai :
1. Kapan cedera itu terjadi ?
2. Dimana cedera itu terjadi?
3. Bagaimana terjadinya trauma tersebut?
4. Berapa lama periode tidak sadar/pingsan?
5. Apakah ada kelainan saat menggigit? (Koch, 2009 )

Riwayat medis
Riwayat medis singkat harus untuk mengungkapkan alergi, kelainan darah, dan
informasi lain tentang kondisi yang berhubungan dengan perawatan.
 Pemeriksaan klinis
Penilaian cedera
Penilaian ini mungkin akan sulit dilakukan pada anak kecil yang takut dan
shock setelah terjadinya kecelakaan dan anak akan takut untuk duduk di dental unit
untuk dilakukan pemeriksaan. Cedera yang muncul mungkin akan membuat ibu
khawatir. Sedikit darah yang bercampur dengan saliva dapat membuat penafsiran
tentang hemorrhage yang berlebihan dan adanya darah beku pada bibir dapat
digunakan sebagai tanda adanya laserasi yang luas (Rao,2008).
Untuk penilaian klinis dengan adekuat pada anak kecil atau bayi, akses visual
mulut harus baik. Salah satu cara untukmemeriksa bayi dan anak-anak yang terkena
trauma yaitu menidurkan anak padapangkuan ibu/ayah/atau pengasuh dengan
pandangan ke atas. Tangan anakdiletakkan di bawah tangan ibu dan dokter gigi duduk
di depan ibu dengan kepala anak terletak pada pangkuannya. Posisi demikian dapat
memungkinkan dokter gigi untuk dapat melihat kedua rahang anak. Dokter gigi dapat
menggunakan moltmouth-prop atau mengikat jari tangannya dengan menggunakan
bantalan dan adhesive tape (Koch,2009 ). Area yang akan dilakukan pemeriksaan
dibersihkan dengan kapas basah dengan hydrogen peroksida atau air (Rao,2008).

Gambar posisi saat melakukan pemeriksaan

Pemeriksaan ekstraoral
Yang perlu dicatat pada pemeriksaan ini yaitu pembengkakan, memar dan
laserasi pada wajah dan bibir. Luka bibir dalam diperiksa karena erat hubungannya
dengan fragmen gigi atau benda asing lainnya (Koch, 2009).

Pemeriksaan intra oral:


Pemeriksaan harus sistematis dan termasuk pencatatan :
1. Pembengkakan, laserasi, dan hemorrhage dari mukosa rongga mulut dan gingival
2. Oklusi yang abnormal
3. Kehilangan, displaced gigi atau kehilangan gigi, fraktur mahkota atau keretakan
enamel
Sangat penting untuk melakukan pemeriksaan pada seluruh gigi dalam area
yang mengalami trauma, dalam kondisi oklusi, juga gigi pada rahang yang
berlawanan. Catatan khusus diambil dari faktor- faktor berikut :
Displacement. Arah dan batas (dalam millimeter) dari displacement harus
dicatat. Displacement kecil akan sulit untuk terdeteksi. Pada beberapa kasus
pemeriksaan radiografi saat oklusi dengan angulasi yang berbeda akan sangat
membantu.
Kegoyangan gigi. Derajat kegoyangan gigi diukur dari arah horizontal dan
vertical, mengingat bahwa gigi permanen muda dan gigi sulung yang mengalami
resorbsi akar merupakan kegoyangan yang fisiologis. Ketika beberapa gigi bergerak
bersama-sama, dapat dicurigai mengalami fraktur prosesus alveolaris.
Reaksi saat perkusi. Ujung handle kaca mulut di pukulkan perlahan-lahan
pada gigi dengan arah horizontal dan vertical. Sensitifitas saat perkusi
mengindikasikan kerusakan pada ligament periodontal. Suara metal yang tinggi
menunjukkan adanya cedera pada gigi yang tertutup tulang.
Warna gigi. Diskolorasi mungkin akan muncul segera setelah terjadi cedera.
Perhatian khusus diberikan pada permukaan palatal di sepertiga gingival mahkota
(Koch,2009).

 Tes vitalitas

Tes vitalitas pulpa merupakan salah satu metode konvensional yang tidak
dianjurkan untuk mengetahui respon dari anak kecil yang tidak dapat diandalkan, dan
memberikan nilai kecil karena memberikan respon palsu setelah trauma, mungkin
akan kembali setelah beberapa waktu (Rao,2008).
 Pemeriksaan radiografi

Pemeriksaan radiografi wajib dilakukan untuk mendapatkan gambaran


gambaran dari cedera jaringan pendukung gigi, tahap perkembangan akar, dan pada
kasus cedera pada gigi sulung hubungan dengan gigi permanen (Koch,2009).

Sebelum dilakukan pemeriksaan radiografi, pemeriksaan klinis harus


dilakukan untuk pada region trauma. Idealnya radiografi pada area cedera dilakukan
dengan angulasi yang berbeda.(Koch,2009)

Perawatan darurat merupakan awal dari perawatan. Pertolongan pertama dilakukan


untuk semua luka pada wajah dan mulut. Jaringan lunak harus dirawat dengan baik.
Pembersihan luka dengan baik merupakan tolak ukur pertolongan pertama. Pembersihan dan
irigasi yang perlahan dengan saline akan membantu mengurangi jumlah jaringan yang mati
dan resiko adanya keadaan anaerobik. Antiseptik permukaan juga digunakan untuk
mengurangi jumlah bakteri,khususnya stafilokokus dan streptokokus patogen pada kulit atau
mukosa daerahluka (Koch, 2009 )

Imunisasi Tetanus. Salah satu tindakan pencegahan yang dapat dilakukan pada anak
yang mengalami trauma yaitu melakukan imunisasi tetanus. Pencegahan tetanus dilakukan
dengan membersihkan luka sebaik-baiknya, menghilangkanbenda asing, dan eksisi jaringan
nekrotik. Dokter gigi bertanggungjawab untuk memutuskan apakah pencegahan tetanus
diperlukan bagi pasien anak-anak yangmengalami avulsi gigi, kerusakan jaringan lunak yang
parah, luka karena objek yang terkontaminasi tanah atau luka berlubang. Riwayat imunisasi
sebaiknya didapatkan dari orang tua penderita. Pada umumnya anak-anak telah mendapatkan
proteksi yang memadai dari imunisasi aktif berupa serangkaian injeksi tetanus toksoid.
Apabila imunisasi aktif belum didapatkan, maka dokter gigi sebaiknya segera menghubungi
dokter keluarga untuk perlindungan ini. Imunisasi dengan antitoksin tetanus dapat diberikan,
tetapi imunisasi pasif ini bukan tanpa bahaya karena dapat menimbulkan anafilaktik
syok(Koch,2009;Cameron,2013 ).
Pemberian antibiotik diperlukan hanya sebagai profilaksis bila terdapat luka pada
jaringan lunak sekitar. Apabila luka telah dibersihkan dengan benar maka pemberian
antibiotik harus dipertimbangkan kembali.

2.20 Perawatan

Perawatan Segera Pada Trauma Gigi Sulung

Pada awal perkembangan gigi tetap, gigi insisif terletak pada palatal dansangat
dekat dengan apeks gigi insisif sulung. Oleh karena itu bila terjadi trauma pada gigi
sulung maka dokter gigi harus benar-benar mempertimbangkankemungkinan terjadi
kerusakan pada gigi tetap di bawahnya (Koch,2009)

Gambar. Ilustrasi gangguan perkembangan benih gigi permanen pada anak usia 2 tahun.
Mahkota gigi insisif sulung bergeser ke bukal sehingga tekanan akar akan mengganggu
perkembangan mahkota gigi insisif tetap (Koch,2009)

Fraktur Email dan Email-Dentin

Perawatan fraktur yang terjadi pada email dan email-dentin pada anak yang tidak
kooperatif cukup dengan menghilangkan bagian-bagian yang tajam,namun bila anak
kooperatif dapat dilakukan penambalan dengan menggunakan semen glass ionomer atau
kompomer(Marwah,2014).
Fraktur Mahkota Lengkap

Pencabutan gigi merupakan perawatan yang terbaik namun bila pasien kooperatif
maka dapat dilakukan perawatan saluran akar dan dilanjutkan dengan penambalan
(Marwah,2014).

Fraktur Mahkota-Akar

Perawatan terbaik adalah ekstraksi, karena umumnya ruang pulpa akan terbuka dan
keberhasilan perawatan kurang memuaskan (Duggal,2014).

Fraktur Akar

Apabila pergeseran mahkota terlihat menjauh dari posisi seharusnya makapencabutan


adalah perawatan terbaik. Bagian akar yang tertinggal hendaknya tidak dicabut agar tidak
mengganggu gigi tetap di bawahnya. Pada beberapa kasus terlihat bila bagian mahkota
menjadi nekrosis namun pada bagian akar tetap vital, oleh karena itu resorpsi akar oleh gigi
tetap dapat terjadi dan pertumbuhannya tidak terganggu (Cameron,2013).

Concussion
Concussion umumnya tidak terlihat pada saat setelah terjadinya trauma. Pada umunya
tidak diperlukan perawatan, tetapi follow up penting untuk memastikan pulpa tidak
mengalami cedera (Koch,2009)

Subluksasi

Orang tua dianjurkan untuk membersihkan daerah luka dan memberikanmakanan


lunak beberapa hari. Kegoyangan akan berkurang dalam 1-2 minggu (Koch,2009).

Extrusive luxation

Perawatan terbaik adalah dengan mencabut gigi yang mengalami trauma


(Koch,2009).

Lateral luxation
Luksasi mahkota ke arah palatal akan menyebabkan akar bergeser ke arah bukal,
sehingga tidak terjadi gangguan pada benih gigi tetap di bawahnya. Perawatan dengan
melakukan reposisi pada gigi tersebut dan dilakukan splin selama 2 minggu tetapi jika ada
kerusakan tulang, maka splin dilanjutkan selama 6-8 minggu (Marwah,2014)

Gambar . (a). Luksasi mahkota ke arah palatal


(b). Posisi gigi kembali normal setelah 2 bulan(Koch,2009)

Gambar . Luksasi ke arah bukal (Koch,2009)


Intrusive luxation

 Gigi dengan pembentukan akar tidak sempurna


a. Ikuti erupsi tanpa intervensi
b. Jika tidak ada pergerakan dalam beberapa minggu, reposisi dengan ortodontik
c. Jika gigi mengalami intrusi lebih dari 7 mm reposisi dengan bedah atau ortodontik
 Gigi dengan pembentukan akar sempurna
a. Jika intrusi kurang dari 3 mm, ikuti erupsi tanpa intervensi
b. Jika 3- 7mm : reposisi surgical atau ortodontik
c. Jika lebih dari 7 mm: reposisi dengan bedah
d. Pulpa akan menjadi nekrotik. perawatan saluran akar dengan pengisian kalsium
hidroksida dimulai 2-3 minggu setelah reposisi
e. Setelah gigi dilakukan reposisi, stabilisasi selama 4 minggu dengan flexible splint
(IADT,2012)

Gambar (a). Intrusive luxation ke arah bukal


(b). Setelah 6 bulan gigi erupsi kembali (Koch,2009)

Avulsi

Pada gigi sulung yang mengalami avulsi replantasi merupakan kontraindikasi


oleh karena koagulum yang terbentuk akan mengganggu benih gigi tetap(Koch,2009).

Perawatan segera pada trauma gigi tetap


Trauma pada gigi tetap umumnya terjadi pada anak antara usia 8-11 tahun.Pada usia ini apeks
gigi tetap belum tertutup sempurna, sehingga perawatan yangdilakukan diharapkan dapat
tetap mempertahankan proses penutupan apeks danvitalitas gigi dapat
dipertahankan(Koch,2009).

Fraktur mahkota
Fraktur mahkota yang terjadi dapat berupa infraksi email, fraktur email,dan fraktur
email-dentin .

Infraksi email
Infraksi adalah fraktu inkomplit tanpa hilangnya substansi gigi dan garisfraktur
berujung pada enamel dentinal junction. Garis infraksi akan terlihat jelas dengan
menggunakan cahaya langsung dengan arah paralel terhadap sumbu panjang gigi. Tidak
diperlukan perawatan khusus pada kasus ini dan pasien hanyadisarankan untuk kontrol rutin
untuk pemeriksaan gigi (Koch,2009).

Fraktur email
Pada fraktur ini akan tampak sedikit bagian email hilang. Tidak semua fraktur email
dilakukan penambalan oleh karena pada beberapa kasus batas sudut fraktur memberikan
gambaran yang baik sehingga hanya dilakukan penyesuaian pada gigi kontralateral agar
tampak simetris (Koch,2009).

Fraktur email-dentin
Fraktur email-dentin akan mengakibatkan terbukanya tubuli dentinsehingga
memungkinkan masuknya toksin bakteri yang berakibat inflamasi pulpa. Oleh karena itu
perlu dilakukan beberapa tindakan agar nekrosis pulpa tidakterjadi. Langkah-langkah yang
dapat dilakukan adalah:
1. Pembuatan restorasi mahkota sementara
Pemberian kalsium hidroksida pada dasar kavitas gigi dan penutupan email dengan
menggunakan resin komposit merupakan langkah sederhana dan mudah dilakukan.
Penutupan ditujukan untuk melindungi pulpa (Koch,2009).
Gambar splinting gigi (Koch,2009)

2. Melekatkan kembali fragmen mahkota


Perlu disosialisasikan bagi masyarakat untuk menyimpan dengan benar fragmen
mahkota gigi yang mengalami fraktur. Cara terbaik untuk menyimpan fragmen tersebut
adalah dengan merendam di dalam air atau ke dalam NaCl fisiologis bila tidak dapat
dliakukan tindakan secara langsung. Preparasi permukaan fraktur dan dilakukan etsa serta
pemberian bonding agent dan resin komposit guna melekatkan kembali fragmen tersebut.

3. Composite crown build up


Dilakukan bila fragmen mahkota tidak ditemukan. Prosedur yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. Preparasi kira-kira 2 mm pada email sekitar permukaan daerah fraktur.
2. Letakkan mahkota seluloid dan beri 2 lubang sebagai jalan keluar udara saatdilakukan
insersi.
3. Pilih warna resin komposit yang sesuai.
4. Agar daerah kerja tetap kering hendaknya menggunakan rubber dam.
5. Lakukan etsa kira-kira 2-3 mm pada email permukaan fraktur lalu bilas dankeringkan.
6. Ulaskan bonding agent.
7. Masukkan resin komposit ke dalam mahkota seluloid dan letakkan mahkota seluloid
pada posisi yang benar.
8. Lakukan penyinaran dari arah bukal dan palatal.
9. Lepas rubber dam dan mahkota seluloid dengan menggunakan scalpel lalupoles
dengan menggunakan bur diamond dan disk.

Complicated crown fracture


Fraktur ini melibatkan email dan dentin dengan disertai terlibatnya sedikitkamar
pulpa. Tujuan perawatan adalah untuk mempertahankan vitalitas. Jenisperawatan yang dapat
dilakukan adalah direct pulp capping dan pulpotomi parsial.

Direct pulp capping

Indikasi perawatan ini adalah keadaan pulpa baik, tidak terjadi lukasi yangdisertai
kerusakan pada suplai darah di daerah apeks, bagian pulpa terbuka kurangdari 1 mm, jarak
waktu antara terbukanya pulpa dan perawatan kurang dari 24jam, dan restorasi yang akan
dibuat dapat mencegah masuknya bakteri.

Langkah-langkah direct pulp capping adalah:

1. Isolasi gigi dengan menggunakan rubber dam atau cotton roll.


2. Bersihkan permukaan fraktur menggunakan cotton pellets lembab yang telah
dicelupkan pada NaCl fisiologis atau klorheksidin.
3. Keringkan bagian pulpa yang terbuka dengan menggunakan cotton pellets steril.
4. Daerah perforasi tutup dengan pasta kalsium hidroksida.
5. Tutup dengan restorasi pelindung seperti restorasi sementara, melekatkan kembali
fragmen mahkota atau composite build-up (Koch,2009).

Pulpotomi parsial

Perawatan ini ditujukan untuk menghilangkan jaringan pulpa yangmengalami


inflamasi. Umumnya amputasi dilakukan kira-kira 2 mm di bawah daerah tereksponasi.
Indikasi perawatan ini adalah untuk gigi yang akarnya sudahterbentuk lengkap ataupun
belum dengan gambaran adanya warna pulpa merah terang.

Langkah-langkah pulpotomi parsial:

1. Lakukan anesthesi lokal.


2. Isolasi menggunakan rubber dam atau cotton roll dan bersihkan permukaan fraktur
dengan cotton pellets basah dan lembab yang telah dicelupkan pada NaCl fisiologis
atau klorheksidin.
3. Preparasi seperti bentuk box pada daerah eksponasi.
4. Gunakan contra angle dengan bur diamond silindris dan semprotan air.
5. Buang jaringan pulpa sedalam kurang lebih 2 mm.
6. Pertahankan hemostasis menggunakan irigasi NaCl fisiologis tekanan ringan .
7. Tutup daerah tersebut dengan menggunakan pasta kalsium hidroksida dan semen.
8. Berikan restorasi pelindung seperti restorasi sementara, pelekatan kembali fragmen
mahkota atau composite build up (Koch,2009).

Fraktur Mahkota Akar


Perawatan fraktur mahkota akar dilakukan pada gigi yang masih bisa dilakukan
restorasi. Apabila bagian akar masih cukup panjang maka dapat dilakukan prosedur seperti di
bawah ini:
1. Menghilangkan fragmen dan melekatkan gusi kembali
Fragmen mahkota dibuang dan gusi dibiarkan untuk melekat pada dentin yang
terbuka. Setelah beberapa minggu gigi dapat direstorasi sampai batas gusi.
2. Menghilangkan fragmen dan melakukan bedah exposure pada fraktur subgingiva.
Setelah fragmen mahkota dibuang maka fraktur subgingiva hendaknya dilebarkan
melalui tindakan gingivektomi dan atau alveolektomi. Bila gusi telah terlihat menutup
maka gigi direstorasi dengan post retained crown.
3. Menghilangkan fragmen dan orthodontic extrusion
Pada mulanya dilakukan stabilsiasi fragmen mahkota pada gigi sebelahnya.
Kunjungan berikutnya dilakukan ekstirpasi pulpa dan pengisian saluran akar. Bila
telah selesai maka fragmen mahkota dibuah dan dilakukan ekstrusi kira-kira 0,5 mm
agar tidak terjadi relaps. Setelah itu dilakukan gingivektomi pada permukaan bukal
dan gigi siap untuk direstorasi.
4. Menghilangkan fragmen dan surgical extrusion
Fragmen mahkota dilepaskan kemudian dengan menggunakan bein dan tang ekstraksi
kembalikan gigi ke posis sejajar dengan garis insisal. Lakukan stabilisasi fragmen
akar dengan melakukan penjahitan atau splint non rigid. Kemudian lakukan ekstirpasi
pulpa tanpa diisi dengan gutta perca setelah itu tutupdengan tambalan sementara.
Setelah 4 minggu perawatan endodontik diselesaikan dan kira-kira 4-5 minggu
kemudian lakukan restorasi tetap (Koch,2009).

Fraktur Akar
Gigi yang mengalami fraktur akar umumnya akan terjadi ekstrusi fragmenmahkota
atau bergesernya mahkota ke arah palatal, oleh karena itu makaperawatan yang dilakukan
harus meliputi reposisi fragmen mahkota segera danstabilisasi.
Langkah-langkah perawatan fraktur akar:
1. Berikan anesthesi lokal pada daerah sekitar fraktur.
2. Lakukan reposisi fragmen mahkota secara perlahan-lahan dan tekanan ringan.
3. Apabila dinding soket bukal juga mengalami fraktur maka tulang yangbergeser perlu
dilakukan reposisi sebelum reposisi fragmen mahkota. Tindakan inidilakukan dengan
menggunakan instrumen kecil dan rata yang diletakkan antarapermukaan akar dan
dinding soket.
4. Pembuatan foto rontgen perlu dilakukan untuk memastikan reposisi telahoptimal.
5. Gigi distabilisasi dengan menggunakan splint.
6. Pertahankan splint selama 2-3 bulan (Koch,2009).

Teknik memasang splint:


1. Gunakan kawat ortodontik dengan panjang kira-kira 0,032 inci dan letakkankira-kira
pada sepertiga tengah permukaan bukal gigi yang mengalami trauma danbeberapa
gigi sebelah kanan dan kirinya.
2. Aplikasikan asam fosfat selama 15-20 detik pada permukaan bukal gigi yangakan
dilakukan splinting.
3. Bilas dengan menggunakan air hangat.
4. Aplikasikan selapis tipis resin komposit light curing.
5. Tempelkan kawat pada gigi yang tidak mengalami trauma selanjutnya padagigi yang
mengalami trauma dan pastikan bahwa posisinya sudah dalam keadaanbaik.
6. Pasien diminta untuk berkumur sehari 2 kali dengan menggunakan
larutanklorheksidin 0,1%.

Concusion
Gigi yang mengalami concusion sering memberikan respon positif bila dilakukan
perkusi. Tidak diperlukan perawatan yang segera namun pemeriksaan lanjutan perlu
dilakukan untuk memastikan tidak terjadi jejas pada pulpa(Koch,2009).

Subluksasi
Lakukan splinting dan pasien diminta untuk memakan makanan lunak selama selama
1-2 minggu. Agar plak tidak meningkat maka pasien diinstruksikan untuk berkumur
menggunakan klorheksidin .
Gambar . (a). Subluksasi pada gigi insisif sentral kiri dan kanan atas
(b). Pemasangan spling pada keempat gigi anterior rahang
atas

Extrusive luxation
Prinsip perawatan yang diberikan adalah reposisi segera dan fiksasi.Adapun langkah-
langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Lakukan anestesi lokal.
2. Reposisi gigi dengan menggunakan jari perlahan-lahan dan tekanan ringansampai
batas insisal sama dengan gigi kontralateral.
3. Periksa posisi dengan membuat foto rontgen.
4. Lakukan stabilisasi dengan menggunakan splint.
5. Pertahanakan splint selama 2-3 minggu.

Lateral luxation
Lateral luxation umumnya terjadi pada arah palatal, bukal, mesial ataudistal. Arah
bukal merupakan keadaan yang paling sering terjadi. Pada beberapa kasus sering terjadi bony
lock sehingga reposisi sulit dilakukan.

Gambar . Mahkota yang mengalami palatal luxation (Koch, 2012)


Langkah-langkah reposisi luksasi palatal:
1. Lakukan anestesi lokal.
2. Palpasi daerah lekukan sulkus dan pastikan letak apeks. Lakukan penekanan dengan
perlahan dan tekan daerah insisal agar gigi dapat bergerak ke arah asal melalui
fenestrasi di dalam soket.
3. Reposisi gigi kembali ke posisi asal melalui arah tekan yang berlawanan.
4. Lakukan reposisi tulang yang fraktur menggunakan tekanan jari.
5. Lakukan foto rontgen untuk memastikan posisi yang benar.
6. Stabilisasi gigi dengan menggunakan splint.
7. Pertahankan splint minimal 3-4 minggu.
8. Pembuatan foto rontgen setelah kira-kira 3 minggu bila tidak menunjukkankeretakan
pada tulang marginal maka splint dipertahankan sampai 3-4 mingguberikutnya.

Intrusive luxation
Intrusive luxation merupakan kasus luksasi yang sulit dan keberhasilan perawatan
masih diperdebatkan. Beberapa petunjuk dalam merawat intrusive luxation adalah sebagai
berikut:
1. Reposisi segera melalui tindakan pembedahan merupakan tindakan beresiko oleh
karena dapat menyebabkan resorpsi akar eksternal dan hilangnya jaringan pendukung
marginal. Reposisi secara bedah hendaknya dihindari apabila gigi masuk ke dalam
dasar hidung atau keluar dari jaringan lunak vestibulum.
2. Beberapa kasus gigi intrusi dapat dikembalikan ke posisi semula melalui perawatan
ortodontik dan reerupsi spontan. Pemilihan teknik perawatanbergantung pada tingkat
keparahan intrusi dan kemungkinan terjadinya resorpsi eksternal. Perawatan
endodontik dapat mulai dilakukan setelah 2-3 minggu kemudian. Apabila reerupsi
spontan dirasakan cukup memakan waktu lama maka dipertimbangkan untuk
dilakukan dengan menggunakan alat-alat ortodontik.
Gambar. (a) Intrusive luxation gigi insisif sentral kanan atas
(b). Setelah 4 minggu gigi kembali erupsi dengan pemasangan alat
ortodontik

Avulsi
Cara-cara replantasi gigi avulsi yang dilakukan di tempat terjadinya trauma:
1. Tekan gigi yang mengalami avulsi dalam posisi yang benar pada soketnya sesegera
mungkin.
2. Cara lain adalah menempatkan gigi diantara bibir bawah dan gigi atau bila tidak
memungkinkan letakkan gigi pada segelas air susu.
3. Periksakan ke dokter gigi sesegera mungkin.
Cara-cara replantasi gigi di ruang praktek:
1. Lakukan anestesi lokal.
2. Bilas gigi perlahan-lahan dengan NaCl fisiologis menggunakan syringe.
3. Soket diirigasi menggunakan cairan NaCl fisiologis.
4. Letakkan gigi perlahan-lahan dengan tekanan jari.
5. Apabila fragmen tulang alveolar menghalangi replantasi maka lepaskan kembali gigi
dan tempatkan pada NaCl fisiologis. Kembalikan tulang pada posisinya dan ulangi
kembali replantasi.
6. Pembuatan foto rontgen dilakukan untuk memeriksa apakah posisi sudah benar.
7. Stabilisasi gigi dengan menggunakan splint.
8. Berikan antibiotika selama 4-5 hari.
9. Berikan profilaksis tetanus bila gigi yang avulsi telah berkontak dengan sesuatu.
10. Pasien diinstruksikan untuk berkumur menggunakan klorheksidin 0,1% 2 kali sehari
selama 1 minggu.
11. Lepaskan splint setelah 1-2 minggu.
12. Perawatan saluran akar dipertimbangkan bila tampak adanya kelainan pada pulpa.

Gambar. (a). Gigi insisif sentral kiri atas mengalami avulsi


(b). Cara mengembalikan gigi ke dalam soket
(c). Pemasangan splint pada gigi yang sudah direplantasi

Pertimbangan perawatan saluran akar pada gigi yang mengalami avulsi:

1. Perawatan saluran akar dapat dilakukan setelah 7-10 hari kemudian atausetelah
splint dilepas.
2. Saluran akar diisi pasta kalsium hidroksida untuk sementara.
3. Pada gigi dengan foramen apikal yang masih terbuka kemungkinan akanterjadi
revaskularisasi pada pulpa sehingga perawatan saluran akar hendaknya
ditangguhkan.
4. Apabila pada foto rontgen terlihat tanda-tanda nekrosis pulpa dan adanya gambaran
radiolusen di daerah apikal dengan atau tanpa disertai resorpsi akar eksternal maka
perawatan saluran akar harus segera dilakukan.
5. Pada gigi dengan apeks belum tertutup dianjurkan untuk dilakukan pembuatan foto
rontgen setiap 2 minggu sekali sampai terlihat pulpa tidak nekrosis dan penutupan
apeks terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Berman, Louis H., Lucia Blanco, Stephen Cohen. 2007. A Clinical Guide To Dental
Traumatology. Philadelphia : Mosby.

Cameron, A.C. and Widmer, R. P. 2003.Handbook of Pediatric Dentistry. 2nd edition.


Philadelphia : Mosby.

dkk. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Dorland, W.A.N. 2002.Kamus kedokteran Dorland. 29th ed. Terjemahan H. Hartanto

International Association Of Dental Traumatology. 2012. Dental Trauma Guidelines.

Koch, G & Poulsen, S. 2001.Pediatric dentistry a clinical approach. 1st edition.Copenhagen :


Munksgaard.

McDonald, R.E., Avery, D.R. 2016.Dentistry for the child and adolescent. 10th ed. St Louis :
Mosby.

Rao A. 2008. Principles and practice of pedodontics.2nd ed. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers.

Rao A. 2012. Principles and practice of pedodontics. 3rd ed. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers.

Wei, S.H. 1988.Pediatric dentistry : total patient care. Philadelphia : Lea & Febiger.

Anda mungkin juga menyukai