Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

“ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS, ADVOKASI DAN PENDIDIKAN


KESEHATAN KLIEN DENGAN MULTIPLE TRAUMA ”

Fasilitator : Harmayetty, S.Kp.M.Kes


Disusun Oleh : Kelompok 3 (Kelas AJ-2)

1) Nanik Widyastuti (131811123005)


2) Meyta Rahayu (131811123047)
3) A. Fahmil Haq A. (131811123054)
4) Yosefina Imak Resi (131811123056)
5) M. Farid Ma’ruf B. (131811123077)
6) Yulia Putri Ariyanti (131811123078)
7) Anggrainy Lidia R. (131811123080)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma adalah penyebab terbesar ketiga kematian dan kecacatan diseluruh dunia
terutama usia dekade ke empat di negara berkembang lebih dari 5 juta orang meninggal
akibat trauma pada tahun 2002, lebih dari 90% tejadi di Negara berkembang (Carolina,
2015). Dari tahun 2000-2020, kematian akibat kecelakaan lalu lintas diperkirakan
meningkat 83% di negara berkembang.Trauma adalah kejadian yang bersifat holistic dan
dapat menyebabkan hilangnya produktivitas seseorang (Saudin, 2017).
WHO mengemukakan bahwa kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab ketiga
penyakit utama di dunia pada tahun 2020. Setiap tahun 1,2 juta orang tewas dalam
kecelakaan di jalan dan lebih dari 50 juta orang terluka atau cacat,85 % kematian dan 90%
dai kecacatan terjadi di Negara berkembang. Di Negara iran kecelakaan terkait kematian
memiliki situasi kritis dengan tingkat peningkatan 10-15 % setiap tahun. Kecelakan adalah
penyebab kedua kematian di iran yang di peringkat pertama dari kecelakaan di dunia
(Heydari-Khayat, 2013). Data dari Kepolisian Republik Indonesia tahun 2010 menyebutkan
pada tahun 2009 terjadi 57.726 kasus kecelakaan di jalan raya dengan korban terbanyak
berusia 15-55 tahun.
Multipel trauma adalah istilah medis yang menggambarkan kondisi seseorang yang
telah mengalami beberapa luka traumatis, seperti cedera kepala serius selain luka bakar yang
serius. Multipel trauma atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan
secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan
kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial
dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al., 2011). Berdasarkan mekanismenya,
terdapat trauma tumpul yang biasanya disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor
dan trauma tajam biasanya disebabkan karena tusukan, tikaman atau tembakan senapan.
Trauma yang terjadi seringkali melibatkan beberapa regio tubuh. Pada multipel trauma,
sering terjadi perdarahan yang akan mengakibatkan kematian (Sauaia, 1995). Selain itu,
pada multipel trauma juga terjadi keadaan hipoperfusi dan asidosis serta koagulopati yang
juga akan meningkatkan mortalitas pasien multipel trauma (Brohi, 2007).
Saat ini penelitian untuk mencari marker yang terbaik untuk diagnosis, prognosis,
dan penanganan pasien-pasien trauma masih terus berlangsung. Pedoman untuk akhir dari
resusitasi masih menjadi kontroversi. Idealnya, suatu marker harus mampu menilai
resusitasi yang adekuat, menilai hipoksia jaringan serta mampu memprediksi mortalitas dan

2
hasil akhir dari pasien-pasien trauma. Secara umum, resusitasi pada kasus trauma dan
tindakan operasi emergensi didasarkan pada kombinasi dari nilai laboratorium, tanda vital,
dan keadaan klinis. Normalisasi tanda vital, seperti tekanan darah, frekuensi nadi dan urin
output biasa digunakan sebagai monitor di akhir resusitasi (Farah A.Husain, 2003).
Penanganan trauma merupakan salah satu tantangan utama pelayanan kesehatan saat ini.
Dokter harus menilai secara objektif keparahan cedera, sehingga diperlukan sebuah sistem
yang menyatukan deskripsi dan kuantifikasi cedera. Penilaian cedera sebagai proses
kuantifikasi dampak trauma dimulai tahun 1969 oleh American Association for Automotive
Safety, yaitu Abbreviated Injury Score (AIS), dan terus mengalami perkembangan.Sistem
penilaian trauma mencoba menerjemahkan keparahan cedera menjadi angka, harus dapat
digunakan di lapangan. Pengukuran tingkat keparahan cedera merupakan prasyarat penting
terhadap penanganan trauma yang efektif (Caroline, 2015)

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah “Bagaimana asuhan
keperawatan kritis, advokasi, dan pendidikan kesehatan pada pasien dengan multiple
trauma?”

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Menjelaskan tentang asuhan keperawatan kritis, advokasi dan pendidikan
kesehatan pada pasien dengan Multiple Trauma.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Menjelaskan tentang pengertian, etiologi, tanda gejala, klasifikasi,
patofisiologi, komplikasi, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan
multiple trauma
2. Menjelaskan tentang advokasi dan pendidikan kesehatan pada pasien multiple
trauma

1.4 Manfaat
Makalah ini dapat memberikan gambaran tentang asuhan keperawatan kritis,
advokasi, dan pendidikan kesehatan pada pasien dengan multiple trauma.

BAB 2

3
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Trauma merupakan keadaan yang disebabkan oleh luka atau cidera. Trauma adalah
kejadian yang bersifat holistic dan dapat menyebabkan hilangnya produktivitas seseorang.
Definisi ini memberikan gambaran superficial dari respon fisik terhadap cedera (Saudin,
2017).
Multipel trauma adalah istilah medis yang menggambarkan kondisi seseorang yang
telah mengalami beberapa luka traumatis, seperti cedera kepala serius selain luka bakar
yang serius. Multipel trauma atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih
kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa
menyebabkan kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau
kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al., 2011).

2.2 Etiologi
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru. Luka tusuk
dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokan dalam kategori luka tembus.
Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena,organ apa yang cedera ,dan bagaimana
derajat kerusakannya, perlu diketahui biomekanik terutama cedera pada trauma dapat
terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan, perlambatan (deselerasi), dan kompresi,
baik oleh benda tajam , benda tumpul, peluru, ledakan, panas, maupun zat kimia . Akibat
cedera ini dapat menyebabkan cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ.

2.3 Klasifikasi
Berdasarkan Hudak Carolyn 1996:517-534 bahwa klasifikasi dari multi trauma adalah
sebagai berikut :
1. Trauma Tumpul
Pada kecelakaan kendaraan mobil, badan kendaraan memberikan sebagian
perlindungan dan menyerap energi dari hasil benturan tabrakan. Pengendara atau
penumpang yang tidak menggunakan sabuk pengaman, bagaimanapun akan
terlempar dari mobil dan dampaknya mendapat cedera tambahan. Pengendara sepeda
motor mempunyai perlindungan yang minimal dan seringkali akan menderita cedera
yang lebih parah apabila terlempar dari motor. Perlambatan yang cepat selama KKB
atau jatuh dapat menyebabkan kekuatan yang terputus yang dapat merobek struktur
tertentu. Organ-organ yang berdenyut seperti jantung dapat terlepas dari pembuluh

4
besar yang menahannya. Demikian juga organ-organ abdomen (limpa, ginjal, usus)
akan terlepas dari mesenteri. Tipe kedua trauma tumpul termasuk kompresi yang
disebabkan oleh kekuatan tabrakan berat. Pada kasus demikian, jantung dapat
terhimpit diantara sternum dan tulang belakang. Hepar, limpa, dan pancreas juga
sering tertekan terhadap tulang belakang.
Cedera karena benturan seringkali menyebabkan kerusakan internal dengan
sedikit tanda-tanda trauma eksternal. Tipe kerusakan pada kendaraan seringkali
memberikan petunjuk-petumjuk cedera spesifik yang diderita pada KKB. Stir atau
kemudi kendaraan yang bengkok atau rusak memperbesar dugaaan akan
kemungkinan cedera pada dada, iga, jantung, trakea, tulang belakang atau abdomen.
Trauma kepala dan wajah, cedera tulang belakang servikal dan cedera trakeal sering
berkaitan dengan kerusakan pada kaca depan mobil atau dashboard. Benturan lateral
dapat menyebabkan patah iga, luka dada penetrasi akibat pegangan pintu atau
jendela, cedera limpa atau hepar dan fraktur pelvis.
2. Trauma Penetrasi
Luka tembak berkaitan dengan derajat kerusakan yang lebih tinggi dari luka-luka
tikaman. Peluru dapat menyebakan lubang di sekitar jaringan dan dapat terpecah atau
merubah arah dalam tubuh, mengakibatkan peningkatan cedera. Perdarahan internal,
perforasi organ, dan fraktur kesemuanya dapat disebabkan oleh cedera penetrasi.
Dengan menggunakan keterampilan pengkajian yang baik dan kewaspadaan pada
mekanisne terjadinya cedera, perawat unit perawatan kritis dapat membantu dalam
mengidentifikasi cedera yang tidak didiagnosa di unit kegawatdaruratan.
3. Trauma Torakik
Kurang lebih 25% dari kematian karena trauma adalah karena cedera torakik.
Banyak cedera toraks yang secara potensial mengancam jiwa, misalnya tension atau
pneumotoraks terbuka, hemotoraks massif, iga melayang (flail chest) dan tamponade
jantung, dapat ditangani secara cepat dan mudah, seringkali tanpa operasi besar. Jika
tidak ditangani, maka akan mengancam jiwa. Cedera pada paru dan iga :
a. Pneumotoraks dan hematoraks
Trauma tumpul dan penetrasi dapat menyebabkan pneumotoraks dan
hemotoraks. Seringkali satu-satunya tindakan yang diperlukan adalah
pemasangan selang dada. Hemotoraks massif (>1.500ml pada awalnya atau
>100-200ml/jam) akan memerlukan torakotomi, sedangkan selang dada untuk
mengembangkan kembali paru-paru seringkali sudah memadai tamponade
dengan sumber perdarahan yang lebih kecil. Intervensi pembedahan juga

5
mungkin diperlukan dalam kasus pneumotoraks terbuka (luka menyedot dada)
atau kebocoran udara yang tidak terkontrol. Selain memberikan perawatan rutin
post operasi (spirometri, batuk, latihan napas dalam), perawatan unit perawatan
kritis harus mengkaji fungsi pernapasan dan hemodinamik dengan cermat. Pasien
dengan cedera paru mempunyai resiko lebih besar untuk mengalami komplikasi
pulmonal seperti atlektaksis, pneumonia, dan empiema. Selang dada harus dikaji
patensi dan fungsinya serta dokter harus diberitahu jika drainase menjadi
berlebihan. Untuk kehilangan darah dalam jumlah besar dari selang dada,
mungkin harus dilakukan ototranfusi.
b. Iga melayang
Iga melayang terjadi bila trauma tumpul menyebabkan fraktur multiple iga,
menyebabkan ketidakstabialan dinding dada. Iga melayang berkaitan dengan
pneumotoraks, hemotoraks kontusio pulmonal, kontusio miokardial. Tujuan
utama dari perawatan terhadap tulang iga mengambang adalah untuk
meningkatkan ventilasi yang adekuat. Jika status pernapasan terganggu atau
diperlukan operasi untuk cedera terjadi, maka ada indikasi pemasangan intubasi
dan ventilasi mekanis. Mungkin juga digunakan tekanan akhir ekspirasi positif
(PEEP). Pada kejadian yang langka, mungkin dilakukan stabilisasi operatif
dengan kawat dan staples. Fraktur iga tidak pernah dibalut karena hal ini nantinya
hanya akan mengurangi fungsi pulmonal.
Fraktur iga sering berkaitan dengan nyeri hebat. Control nyeri yang
adekuat dapat meningkatkan ekspansi paru tanpa memerlukan ventilasi mekanis
jangka panjang. Sering diberikan analgesi parenteral, intramuscular, atau
analgesia yang dikontrol pasien. Analgesic sistemik tidak cukup kuat untuk
menghilangkan nyeri iga melayang, sehingga membutuhkan metode lain untuk
meringankan nyeri seperti blok interkosta atau analgesia epidural. Asuhan
keperawatan pada pasien dengan iga melayang ditujukan pada pengkajian dan
pengontrolan nyeri deisertai dengan peningkatan oksigenasi dan pertukaran gas
yang adekuat. Hipoventilasi akiibat nyeri meningkatkan resiko terhadap
komplikasi pernapasan, termasuk atlektaksis dan pneumonia. Berbagai intervensi
untuk memperbaiki fungsi pernapasan dapat dilaksanakan termasuk batuk dan
napas dalam, spirometrik, drainase, dan chapping, mukolitik, bronkodilator,
pernapasan tekanan positif intermitten (PTPI), suksion endotrakeal dan
nasotrakeal, bronkoskopi terapeutik. Serangkaian pengkajian pulmonal,

6
termasuk sinar x-dada, gas-gas arterial darah, pemeriksaan fisik, dan kadang-
kadang pemantauan dengan oksimetrik adalah penting.
c. Kontusio pulmonal
Kontusio pulmonal adalah memar pada parenkim paru, seringkali akibat
trauma tumpul. Gangguan ini dapat tidak terdiagnosa pada foto dada awal.
Bagaimanapun adanya fraktur iga atau iga melayang harus mengarah pada
dugaan kemungkinan adanya kontusio pulmonal. Kontusio pulmonal terjadi bila
perlambatan cepat memecahkan dinding sel kapiler, menyebabkan hemoragi dan
ekstravasasi plasma dan protein ke dalam alveolar dan spasium interstisial. Hal
ini mengakibatkan atlektaksis dan konsolidasi, mengarah pada pengalihan
(shunting) intrapulmonal dan hipoksemia. Tanda-tanda dan gejalagejalanya
termasuk dispnea, rales, hemoptisis, takipnea. Kontusio yang hebat juga akan
mengakibatkan peningkatan tekanan puncak jalan udara, hipoksemia, dan
asidosis respiratorik.
Kontusio pulmonal mirip dengan ARDS dimana keduanya berespon
sangat terburuk terhadap fraksi inspirasi oksigen yang tinggi (FiO2). Pasien
dengan kontusio ringan memerlukan pengamanan ketat. Perlu sering dilakukan
pengukuran gas darah arterial (GDA) atau oksimetri nadi. Inter vensi
keperawatan tambahan termasuk pengkajian pernapasan yang kerap, perawatan
pulomonal dan control nyeri. Fisioterapi dada dan analgesia epidural kontinu juga
akan sangat bermanfaat. Kontusion pulmonal yang parah akan memerlukan
dukungan ventilator dengan TAEP. Kateter arteri oksimetrik pulmonal ( oximetri
Swans-Ganz) dan biasanya aliran arteri untuk membantu memantau GDA,
hemodinamik dan parameter respiratori (pengiriman oksigen, pirau
intrapulmonal). Meskipun ventilasi alveolar membaik dengan penambahan
TAEP, aliran darah ke alveoli dapat berkurang, mengarah pada pirau
intrapulmonal. Untuk mengoptimalkan perfusi jaringan dan oksigenasi, setiap
pergantian pada TAEP membutuhkan status pirau, pengiriman oksigen, dan
indicator lain perfusi jaringan (curah jantung, tekanan darah, haluaran urine).
Pernapasan yang parah, peningkatan atau paralisis dapat menjadi tanda untuk
menurunkan pemakaian energi dan kebutuhan oksigen. Tempat tidur berrotasi
seperti Roto- Rest (Kinetic Concepts, Ins., San Antonio, TX) juga harus
dipertimbangkan. Penggunaan ventilasi jet frekuensi tinggi untuk tipe cidera
seperti ini masih merupakan suatu kontroversia. Kontusio unilateral berat dapat

7
ditangani dengan ventilasi paru independen simultan dan membaringkan posisi
pasien dengan bagian cidera di sebelah atas.
d. Cidera Trakeobronkial
Cedera pada trakea atau bronki dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau
penetrasi dan seringkali disertai dengan kerusakan pada esofagus dan vaskuler.
Ruptur bronki sering terjadi berkaitan dengan fraktur iga bagian atas atau
pneumotoraks. Cedera trakeobronkial yang parah mempunyai angka kematian
yang tinggi, bagaimana pun dengan bertambah baiknya perawatan dan
transportasi prarumah sakit akhir-akhir ini, maka makin banyak pasien ini yang
bertahan hidup. Cidera jalan udara seringkali tidak tersamar. Tanda-tandanya
termasuk dispnea (adakalanya satu-satunya tanda), hemoptasis, batuk, dan
emfisema subkutan. Berdasarkan sinar-x dada dapat memberikan tanda pada
dokter terhadap kemungkinan adanya cedera, bagaimanapun biasanya diagnosa
dibuat dengan bronkoskopi atau selama operasi. Perbaikan operasi dengan
ventilasi mekanis pascaoperasi melalui selang endotrakeal atau trakeostomi akan
diperlukan.
4. Cedera pada Jantung
a. Kontusio Miokard
Memar pada miokardium kebanyakan disebabkan oleh benturan dada pada
batang stir atau dashboard selama KKB. Perlambatan cepat mengakibatkan
jantung yang berdenyut akan menbentur dinding dada anterior. Ventrikel kanan,
karena letaknya di sebelah anterior, adalah yang paling sering terkena. Kontusio
juga dapat terjadi apabila jantung terdesak diantara sternum dan tulang belakang.
Gejala-gejala kontusio jarang bervariasi dari tidak ada gejala (umum) sampai
pada gagal jantung kongestif yang berat dan syok kardiogenik. Setelah trauma,
keluhan-keluhan tentang nyeri dada harus di evaluasi dengan cermat. Perubahan-
perubahan ECG nonspesifik sering terlihat dan dapat mencakup setiap tipe
disritmia. Takikardia sinus, kontraksi atrial ventrikular prematur, takikardia
supraventrikular paroksimal, blok berkas his kanan, atau perubahanperubahan
gelombang ST dan T adalah hal yang paling umum. Secara histologi, kontusio
jantung mirip dengan infark miokardial. Diagnosa bisa sulit ditegakkan. Untuk
menegakkannya dilakukan serangkaiaan pemeriksaan EKG dan serangkaian
pengukuran kreatin kinase isoenzim miokardial, namun pemeriksaan ini tidak
100% sensitif. Ada dokter yang menginstruksi pemeriksan ekokardiogram dua
dimensi untuk memeriksa komplikasi-komplikasi dan tingkat cedera manakala

8
kontusio sudah dipastikan terjadi. Pemantauan dengan ketat diperlukan sampai
kontusio miokardial telah disingkirkan. Yang lebih umum dari kontusio
miokardial yang sudah dipastikan adalah cedera tipe “konkusio” (gegar) yang
dapat pilih. Tanda-tanda dan gejala-gejala yang bersifat temporer akan terlihat
tanpa adanya perubahan dalam isoenzim. Selama diagnosanya belum jelas,
oksigenasi, hemodinamik, dan toleransi aktivitas harus diamati dengan cermat.
Jika timbul takikardia, maka penyebab-penyebab alternatif seperti nyeri,
penipisan volume herus menjadi pertimbangan. Manakala kontusio sudah
dipastikan, maka tindakan yang dilakukan serupa dengan untuk infark miokardial
akut.
b. Cedera Penetrasi jantung
Cedera penetrasi pada jantung mengakibatkan kematian korban prarumah sakit
sekitar 60% sampai 90% dari kasus. Pada 10% sisanya, hemoragi dan syok adalah
yang umum terlihat. Luka tikam kecil yang mengenai ventrikel ada kalanya
menutup sendiri karena tebalnya muskulatur ventrikular. Pada kondisi dimana
terjadi hemoragi terus menerus, volume yang hilang harus diganti, dan operasi
perbaikan diperlukan. Pada kasus-kasus parah, torakotomi departemen gawat
darurat mungkin harus dilakukan sebagai tindakan untuk menyelamatkan jiwa.
Setelah operasi perbaikan, kateter arteri pulmonal dn selang arterial dipasang
untuk memudahkan pemantauan hemodinamik dengan cermat. Vasopresor atau
agen-agen inotropik mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah
dan curah jantung yang adekuat. Keseimbangan cairan dan elektrolit, sejalan
dengan irama jantung, harus dipantau dengan seksama. Bunyi jantung harus
dikaji terhadap murmur, yang menandakan kelainan katup atau septum, dan
sebagai tanda-tanda gagal jantung kongestif. Drainase selang dada dan
mediastinal harus sering dicatat. Berikan plasma beku segar dan platelet, sesuai
instruksi, untuk memperbaiki koagulopati. Komplikasi termasuk hemoragi
berlanjut dan sindrom poskardiotomi.
5. Trauma Abdomen
Rongga abdomen memuat baik organ yang padat maupun yang berongga.
Trauma tumpul kemungkinan besar menyebabkan kerusakan yang serius organ-
organ padat dan trauma penetrasi sebagian besar melukai organ-organ berongga.
Kompresi dan perlambatan dari trauma tumpul menyebabkan fraktur pada kapsula
dan parenkim organ padat, sementara organ berongga dapat kolaps dan menyerap
energi benturan. Bagaimana pun usus yang menempati sebagian besar rongga

9
abdomen, rentan untuk mengalami oleh trauma penetrasi. Secara umum, organ-organ
padat berespons terhadap trauma dengan perdarahan. Organ-organ berongga pecah
dan mengeluarkan isinya dan ke dalam rongga peritoneal, menyebabkan peradangan
dan infeksi. Diagnosis dini adalah penting pada trauma abdomen. Pasien yang
memperlihatkan adanya cedera abdomen penetrasi fasia dalam peritoneal,
ketidakstabilan hemodinamik, atau tanda-tanda dan gejala-gejala abdomen akut
dilakukan eksplorasi dengan pembedahan. Pada kebanyakan kasus trauma abdomen
lainnya, dilakukan lavase peritoneal diagnostic (LPD). LPD yang positif juga
mengharuskan dilakukan eksplorasi pembedahan. Baik LPD ataupun CT scan adalah
100% diagnostic, sehingga pasien-pasien trauma dengan hasil negative harus
diobservasi.
Dilakukan serangkaian pengukuran tingkat hematokrit dan amylase. Pengobatan
nyeri mungkin ditunda sehingga tidak mengaburkan tanda-tanda dan gejala-gejala
yang potensial. Masukan per oral juga ditunda untuk berjaga-jaga jika dilakukan
pembedahan. Pasien dikaji untuk mendapatkan tanda-tanda abdomen akut, seperti
distensi, rigiditas, guarding, dan nyeri lepas. Eksplorasi pembedahan menjadi perlu
dengan adanya awitan setiap tanda-tanda dan gejala-gejala yang mengindikasikan
cedera. Penggunaan CT abdomen telah memperoleh popularitas dan sering
digunakan atau sebagai tambahan pada LPD. Cedera retroperitoneal, seringkali
terlewatkan dengan LPD dan bahkan dengan pembedahan eksplorasi, sering dapat
diidentifikasi dengan CT scan. Namun CT scan tidak dapat terlalu diandalkan dalam
mendeteksi cedera pada organ-organ berongga.
a. Cedera pada lambung dan usus halus
Cedera lambung yang signifikan jarang ditemui, namun usus halus lebih umum
mengalami cedera. Meskipun sering mengalami kerusakan oleh trauma penetrasi,
trauma tumpul juga dapat menyebabkan usus halus memar. Konvolusi multiple
adakalanya membentuk loop tertutup yang dapat menjadi sasaran pecah karena
meningkatnya tekanan dari benturan dengan kemudi atau sabuk pengaman.
Mobilitas usus di sekitar titik tetap (seperti ligamentum treitz) mencetuskan
terjadinya cedera dengan adanya perlambatan. Cedera tumpul usus halus atau
lambung dapat terlihat dengan adanya darah pada aspirasi nasogastrik atau
hematemesis. Namun sering tidak terdapat tanda-tanda fisik dan diagnosis tidak
dapat ditegakkan sampai timbul peritonitis. Cedera penetrasi biasanya
menyebabkan LPD positif. Meskipun kontusio usus ringan dapat diatasi secara
konservatif (dekompresi lambung dan menunda masukan per oral), pembedahan

10
biasanya diperlukan untuk memperbaiki luka-luka penetrasi. Dekompresi pasca
operasi, baik dengan selang nasogastrik atau selang lambung, dipertahankan
sampai fungsi usus pulih. Pada kebanyakan kasus selang makan, jejunustomi
dipasang sebelah distal dari tempat yang diperbaiki.
Selang pemberi makan dapat dipasangkan segera pasca operasi. Dengan
ditingkatkannya konsentrasi dan frekuensi pemberian makan secara bertahap,
maka pengkajian secara berkala terhadap tandatanda intolerans (distensi,
muntah) adalah penting. Karena lambung dan usus halus mengandung jumlah
bakteri yang signifikan, maka resiko terhadap sepsis adalah kecil, namun
pemberian antibiotic profilaktik dapat dilakukan kapan saja terjadi perforasi usus.
Pada sisi lain, getah asam lambung mengiritasi peritoneum dan dapat
menyebabkan peritonitis. Potensial komplikasi lainnya termasuk perdarahan
pasca operasi, hipovolemia karena “spasium ketiga”, serta timbulnya fistula atau
obstruksi. Beberapa dari keadaan ini mengharuskan adanya tindakan
pembedahan tambahan. Sindrom malabsorpsi jarang terjadi kecuali jika lebih dari
200 cm usus telah diangkat.
b. Cedera pada duodenum dan pancreas
Pancreas dan duodenum akan dibahas bersama-sama karena keduanya
adalah organ-organ retroperitoneal dan secara anatomi dan fisiologi mempunyai
hubungan yang dekat. Diperlukan kekuatan yang besar untuk mencerai organ-
organ ini, karena organ-organ ini terlindung dengan baik, jauh di dalam abdomen.
Cedera pada organ yang berdekatan hampir selalu ada. Letak retroperitoneal
membuat cedera ini sulit untuk didiagnosa karena LPD sering negative, oleh
karena itu CT scan abdomen sangat penting untuk keadaan ini. Tanda-tanda dan
gejala-gejala dapat mencakup abdomen akut, peningkatan kadar amylase serum,
nyeri epigastrik yang menjalar ke punggung, mual, dan muntah. Laserasi minor
atau kontusio hanya akan memerlukan pemasangan drain, sedangkan luka-luka
besar memerlukan perbaikan pembedahan. Kebanyakan cedera pankreatik akan
membutuhkan drain pasca operasi untuk menghindari pembentukan fistula.
Pankreatektomi distal atau anstomosis Roux-en-Y adalah dua prosedur yang
umum dilakukan pada cedera tubuh dan bagian ekor pancreas. Adakalanya limpa
juga harus diangkat karena banyaknya perlekatan vascular. Kerusakan pada kaput
pancreas berkaitan dengan cedera duodenal dan hemoragi hebat karena
kedekatan dari struktur vascular. Prosedur pembedahan yang dilakukan pada

11
kasuskasus ini termasuk pankreotikoduodenektomi, anastomosis ROUX-en-Y,
dan pada keadaan yang langka dilakukan pankreatektomi total.
c. Cedera pada kolon
Cedera pada kolon biasanya berkaitan dengan trauma penetrasi. Sifat dari
cedera paling sering menuntut segera dilakukannya operasi eksplorasi. Perbaikan
primer adalah tindakan pilihan untuk laserasi kolon. Pada beberapa keadaan,
perlu dilakukan perbaikan eksterior atau kolostomi. Selang sekostomi bisa
dipasang untuk dekompresi. Jaringan subkutan dan kulit pada tempat insisi
mungkin dibiarkan terbuka untuk mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi
luka. Kolon mempunyai jumlah bakteri yang tinggi, tumpahnya isi kolon dapat
mencetuskan terjadinya sepsis intra abdominal dan pembentukan abses.
d. Cedera pada hepar
Setelah limpa, hepar adalah organ abdomen yang paling umum
mengalami cedera. Baik trauma tumpul maupun trauma penetrasi dapat
menyebabkan cedera. Pasien dalam persentase yang kecil dapat ditangani non
operasi dengan serangkaian CT scan. Pada banyak kasus, baik sifat dari cedera
atau LPD positif atau CT scan digabung dengan kondisi klinis pasien akan
menuntut dilakukannya pembedahan. Trauma hepatic dapat menyebabkan
kehilangan banyak darah ke dalam peritoneum, namun perdarahan dapat berhenti
secara spontan. Laserasi kecil dperbaiki, sedangkan cedera lebih besar dapat
memerlukan reseksi segmental atau debridement. Pada kasus hemoragi tak
terkontrol, hepar dibungkus. Setelah dibungkus, abdomen ditutup atau hanya
ditutup dengan penutup (mesh). Prosedur pembedahan tambahan diperlukan
dalam beberapa hari kemudian untuk mengangkat pembungkus dan memperbaiki
laserasi. Cedera besar pada hepar juga memerlukan drainase empedu dan darah
pasca operasi melalui drain (Penrose, Davol, atau Jackso-Pratt).
Setelah pembedahan, mungkin timbul syok hipovolemik dan koagulapati.
Hemostatis inkomplit juga mungkin terjadi dan harus dibedakan dari perdarahan
akibat koagulopati. Perdarahan hebat karena hemostatis inkomplit mengharuskan
kembali ke ruang operasi untuk pengangkatan bekuan, pembungkusan, dan
perbaikan tambahan. Dengan koagulopati, perdarahan timbul dari berbagai
tempat, sedangkan dengan hemostatis inkomplit perdarahan terutama berasal dari
tempat pembedahan. Asuhan keperawatan termasuk penggantian produk darah
sambil memantau hematokrit dan pemeriksaan koagulasi. Pengkajian tipe dan
jumlah selang drainase disertai keseimbangan cairan, juga adalah penting.

12
Potensial komplikasi dari cedera hepar termasuk abses hepatic atau perihepatik,
obstruksi atau kebocoran saluran empedu, sepsis, ARDS, dan KID.
e. Cedera pada limpa
Limpa adalah organ abdomen yang paling umum mengalami cedera, lebih
sering sebagai akibat trauma tumpul. Adanya fraktur iga kiri bawah dapat
meningkatkan kecurigaan terhadap cedera limpa. Tanda-tanda dan gejala-gejala
yang ditunjukkan termasuk dukungan nutrisi parenteral. Diberikan transfuse
darah berulang, namun hematokrit dan tekanan darah sistolik tetap rendah (Ht =
20-25%, TDS = 90 mmHg). Perdarahan internal berkelanjutan mengharuskan
pasien kembali ke ruang operasi untuk tindakan debridement dan pembungkusan
ulang hepar. Sampai hari berikutnya, perdarahan berhasil diatasi. Pembungkus
lalu dilepaskan, laserasi liver dapat diperbaiki dan dipasang selang drain.
Pada hari berikutnya, timbul tanda-tanda dan gejala-gejala sepsis pada
pasien, termasuk kenaikan suhu dan jumlah sel darah putih, takikardia, takipnea,
peningkatan curah jantung, penurunan tahanan vascular sistemik, dan penurunan
tingkat kesadaran. Biakan diperoleh dan pemberian antibiotic dimulai. Kemudian
berkembang ARDS dan GGA, meningkatkan kebutuhan dukungan ventilator dan
hemodialisis. Asuhan keperawatan intensif perlu untuk mengatasi gangguan yang
ada dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Dukungan psikososial bagi pasien dan
keluarganya juga diberikan. Setelah prosedur pembedahan ketiga untuk
debridement jaringan nekrotik dan mengalirkan abses perihepatik, akhirnya
pasien mulai membaik. Beberapa minggu kemudian, dukungan dialysis dan
ventilator dihentikan. Dua bulan setelah masuk rumah sakit, pasien keluar dari
unit rawat intensif, dan tiga minggu kemudian diperbolehkan pulang.
6. Trauma Pelvik
a. Cedera pada Kandung Kemih
Kandung kemih dapat mengalami laserasi atau pecah, paling sering
sebagai konsekuensi trauma tumpul. Cedera pada kangdung kemih sering kali
berhubungan dengan fraktur pelvik.adanya hematuria ( nyata atau mikroskopik ),
nyeri abdomen bawah, atau tidak mampuan berkemih memerlukan pemeriksaan
terhadap cidera uretra dengan uretrogram retrograd sebelum pemasangan kateter
urine. Cidera pada kandung kemih dapat mennyebabkan ekstravasasi urine
intraperitonial atau ekstraperitoneal. Ekstravasi ekstraperitoneal sering dapat
ditangani dengan drainase kateter urine . ektravasi intraperitoneal, bagaimanapun
memerlukan pembedahan. Mungkin dipasang selang sistostomi suprapubik .

13
komplikasi jarang tejadi infeksi karena kateter urine atau sepsis akibat ekstra
vasasi urine.
b. Fraktur Pelvik
Fraktur pelvik yang kompleks berkaitan dengan mortalitas yang tinggi.
Hemoragi sekunder adalah penyebab yang paing sering dari kematian dini,
sedangkan sepsis menyebabkan penundaan mortalitas. Radiografi dan scan CT
dapat memastikan adanya dan menentukan tingkat fraktur pelvik. Fraktur pelvik
sering sering menyebabkan laserasi pembuluh – pembuluh kecil yang
mengeluarkan darah ke dalam jaringan lunak pada rongga retroperineal. Areal ini
meluas dari difragma sampai ke pertengahan paha dan akan menampung
beberapaliter darah sebelum terjadi tamponade. Angiogram sering kali
diperlukan untuk menemukan letak dan menyumbat sumber darah. Kontrol
terhadap hemoragi merupakan pokok permasalahan primer.
PASG mungkin dipasang pada fase prarumah sakit atau di unit gawat
intensif. PASG dapat membantu membelat pelvis dan tamponade hemoragi,
karena PASG menurunkan volume tidal, maka ada kemungkinan dibutuhkan
bantuan ventilator mekanik. Fiksasi internal atau eksternal adalah lebih efektif
dalam menstabilkan fraktur juga dalam mengontrol perdarahan. selain itu, fiksasi
dini mengurangi nyeri dan membantu ambulasi lebih dini. Pembedahan untuk
mengontrol hemoragi mungkin juga diperlukan . Perhatian utama dari perawat
unit perawatan kritis adalah untuk mencegah syok hemoragi. Tranfusi multiple
dan pemantauan hemodinamik diperlukan dalam kasus hemoragi yang
signifikan. Hematoma pelvik dapat menjadi sumberdari sepsis dan dapat
memerlukan drainase perkuata atau pembedahan. Komplikasi utama lain dari
fraktur pelvik termasuk keterlibatan saraf pelvik dan emboli pulmonal. Penting
untuk dilakukan terapi fisik yang berkepanjangan dan rehabilitasi yang sering.

7. Trauma pada Ekstremitas


a. Fraktur
Fraktur sering terjadi pada trauma tumpul, kurang jarang pada trauma
penetrasi. Manakalah radiografi sudah memastikan adanya fraktur, maka harus
dilakukan stabilitas atau perbaikan fraktur. Karena prosedur ortopedik akan
memakan banyak waktu,sehingga cidera lain yang mengancam jiwa harus

14
terlebih dahulu di atasi, dan operasi perbaikan dapat di tunda sampai masalah itu
teratasi. Fiksasi internal fraktur sering memungkinkan ambulasi dini pada pasien
dengan cidera multiple yang mungkin akan mengalami komplikasi akibat tirah
baring berkepanjangan ( ulkus dekubitus, emboli pulmonal, penyusutan otot).
Penatalaksanaan fraktur juga dapat dikerjakan dengan fiksasi eksternal atau traksi
skeletal . fraktur terbuka akan memerlukan debridemen dengan pembedahan.
Tanggung jawab keperawatan termasuk pengkajian neurovaskular, sejalan
dengan perawatan lika dan pin. Fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi
terhadap infeksi. Potensial komplikasi lainnya adalah emboli lemak dari fraktur
tulang panjang dan sindom kompartemen. Asuhan keperawatan harus di arahkan
terhadap pencegahan dan deteksi dini tentang masalah – masalah ini. Perawat
juga harus bekerja sama dengan terapis fisik untuk meningkatkan kekuatan dan
mobilisasi dini.
b. Dislokasi
Dislokasi menimbulkan rasa nyeri yang sangat hebat. Dislokasi mudah
dikenali karena adanya perubahan dari anatomi yang normal. Dislokasi sendi
umumnya tidak mengancam jiwa, tapi memerlukan tindakan darurat karena
apabila tidak dilakukan tindakan secepatnya, akan menyebabkan gangguan pada
daerah distal yang mengalami dislokasi. Sangat sulit diketahui apakah fraktur
disertai dengan dilokasi atau tidak, maka sangat penting untuk mengetahui
denyut nadi, gerakan dan gangguan persyarafan distal dari dislokasi. Kebanyakan
tindakan yang baik untuk klien adalah menyangga dan meluruskan ekstremitas
ke posisi yang lebih menyenangkan untuk klien dan membawanya ke pelayanan
kesehatan yang terdapat fasilitas ortopedi yang baik.
8. Cedera vaskular
Cedera vaskular seringkali mengakibatkan perdarahan atau trombosis pembuluh.
Cedera vaskular biasanya disebabkan oleh trauma penetrasi, dan kurang sering
karena fraktur. Ultrasonografi doppler seing digunakan untuk mendiagnosa cedera
vaskular perifer. Angiogram juga dapat digunakan untuk menetukan tempat cedera
dan mengidentifikasi fistula arteriovenosa, psudoaneurisme, dan penutupan intima.
Dilakukan perbaikan pembedahan primer atau tandur vaskular. Segera setelah
periode pascaoperasi, terdapat resiko perdarahan berlanjut atau oklusi trombotik dari
pembuluh keduannya mengharuskan kembali kekamar operasi. Perawat harus
mengkaji nadi distal, warna kulit, sensasi gerakan , dan suhu ekstrimitas yang cedera.
Indeks ankel – brakial (ABI) serinkali berguna dalam mendeteksi perkembangan

15
oklusi setelah trauma ekstrimitas bawah. Untuk meghitung nilai ABI, tekanan darah
sistolik pada pergelangan kaki di bagi dengan tekanan darah sistolik lengan .
penurunan ABI menunjukkan peningkatan gradien tekanan yang menembus
pembuluh. Metoda ini memberikan data yang lebih objektif ketimbang hanya meraba
nadi. Perawat juga harus memperhatikan perkembangan sindrom kompartemen.

2.4 Patofisologi
Respon metabolik pada trauma dapat dibagi dalam tiga fase :
1. Fase pertama berlangsung beberapa jam setelah terjadinya trauma. Dalam fase ini
akan terjadi kembalinya volume sirkulasi, perfusi jaringan, dan hiperglikemia.
2. Pada fase kedua terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang nitrogen yang
negative, hiperglikemia, dan produksi panas. Fase ini yang terjadi setelah tercapainya
perfusi jaringan dengan baik dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa
minggu, tergantung beratnya trauma, keadaan kesehatan sebelum terjadi trauma, dan
tindakan pertolongan medisnya.
3. Pada fase ketiga terjadi anabolisme yaitu penumpukan kembali protein dan lemak
badan yang terjadi setelah kekurangan cairan dan infeksi teratasi. Rasa nyeri hilang
dan oksigenasi jaringan secar keseluruhan sudah teratasi. Fase ini merupakan proses
yang lama tetapi progresif dan biasanya lebih lama dari fase katabolisme karena
isintesis protein hanya bisa mencapai 35gr /hari.

2.5 WOC
Kecelakaan lalu lintas

Multiple fraktur

Open fraktur Fraktur Close fraktur Tibia dan


humerus dextra klavikula dextra femur dextra fibula dextra

Multiple16
trauma
Pasien tampak gelisah Tekanan intra
Pasien bertanya-tanya kranial meningkat
tentang keadaannya

ansietas

Kejang Perubahan Tingkat Edema Patologis Peningkatan


kekacauan motorik dan kesadaran 17 serebral otak vasokonstriksi
2.6 Manifestasi Klinis
1. Laserasi, memar,ekimosis
2. Hipotensi
3. Tidak adanya bising usus
4. Hemoperitoneum
5. Mual dan muntah
6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah, biasanya pada
arteri karotis)
7. Nyeri
8. Pendarahan
9. Penurunan kesadaran
10. Sesak

18
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limfa.
Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada perdarahan
retroperitoneal
14. Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada fraktur
pelvis
15. Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas
ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe
(Scheets, 2002 : 277-278)

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Sistem penilaian trauma
Menurut Caroline (2015), terdapat tiga tipe sistem penilaian trauma. Tipe pertama
berdasarkan anatomi; tergantung deskripsi cedera. Tipe kedua berdasarkan fisiologi;
didapat dari observasi dan pengukuran tanda-tanda vital untuk menentukan tingkat
penurunan fisiologis akibat cedera. Tipe ketiga adalah kombinasi sistem penilaian
anatomis dan fisiologis.
a. Sistem penilaian anatomis
1) ISS
Sistem penilaian anatomis yang sering digunakan adalah Injury Severity
Score (ISS) yang diturunkan dari AIS (Abbreviated Injury Scale). AIS adalah
sistem pengkodean menyeluruh untuk cedera semua tipe di setiap bagian
tubuh, dengan deskripsi karakteristik setiap tingkat keparahan dari 0 (tidak
ada cedera) sampai 6 (cedera yang tidak dapat diselamatkan). Turunan AIS,
ISS diperkenalkan oleh Susan Baker, dkk. pada tahun 1984. ISS merangkum
tingkat keparahan kondisi pasien yang mempunyai beberapa cedera. Tubuh
dibagi menjadi enam area: kepala dan leher, toraks, abdomen (termasuk organ
pelvis), alat gerak (termasuk tulang pelvis), dan permukaan tubuh. AIS setiap
cedera dicatat, dan cedera yang mempunyai nilai tertinggi di setiap area
diutamakan. ISS adalah penjumlahan kuadrat tiga nilai AIS tertinggi di setiap
tiga area tubuh yang mendapat cedera paling berat. Nilai AIS 6 setara dengan
nilai ISS 75.
Perhitungan ISS  ISS = a2 + b2 + c2

19
Trauma mayor adalah jika ISS ≥15, dihubungkan dengan mortalitas
lebih dari 10%. ISS mudah digunakan dan dapat menjadi prediktor
kelangsungan hidup yang baik, terutama pada pasien-pasien yang mempunyai
cedera multipel. ISS mempunyai keterbatasan, yaitu pengumpulan nilai
terbatas serta hanya mengambil cedera paling serius di setiap bagian tubuh.
Perkiraan ISS yang akurat membutuhkan pengumpulan informasi cedera yang
detail, sedangkan beberapa informasi ini hanya dapat diperoleh dengan
menggunakan alat penunjang, seperti MRI atau angiografi, yang mungkin
tidak tersedia atau tidak cocok pada keadaan akut. Perkembangan lain ISS
adalah New Injury Severity Score (NISS). NISS diperkenalkan oleh Osler pada
tahun 1974 untuk mengurangi kelemahan ISS, terutama kegagalan menilai
cedera multipel di satu regio. Meskipun lebih baik daripada ISS, NISS gagal
menggantikan ISS atau kurang populer di antara para tenaga medis.

2) AP (Anantomic Profile)
Digunakan untuk melihat jumlah, lokasi, dan keparahan cedera anatomis
serta pengaruhnya terhadap dampak. Anatomic Profile (AP) menggunakan
empat variabel untuk menjabarkan cedera pasien: A, B, dan C berasal dari
cedera kepala dan leher, toraks, dan bagian tubuh lain yang serius (nilai 3-6),
dan D berasal dari semua cedera yang tidak serius (nilai 1-2). Nilai-nilai
digabung menggunakan perhitungan seperti di tabel. AP diperkenalkan oleh
Copes, dkk. pada tahun 1990.8 AP tidak luas digunakan, mungkin karena
perhitungan yang rumit.
Sistem penilaian trauma AP

Profil Anatomi
Definisi dari Komponen
Komponen Daerah AIS Keparahan AIS
A Kepala/Otak 3-6
Saraf tulang belakang 3-6

20
B Toraks 3-6
Bagian depan leher 3-6
C Bagian tubuh lainnya 3-6
D Lainnya 1-2
Akar dari penjumlahan skor AIS digunakan untuk total dari cedera dari tiap komponen

Rumus :

3) MESS
Mangled Extremity Severity Score (MESS) adalah instrumen penilaian
yang didesain untuk memprediksi kemampuan hidup/ bertahan dari anggota
gerak yang cedera. Angka diberikan pada keparahan cedera, iskemi anggota
gerak, syok, dan usia. Nilai ≥7 memprediksi dibutuhkan amputasi.

b. Sistem penilaian fisiologis


1) GCS
Sistem ini merupakan sistem penilaian fisiologis pertama dan
diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Teasdale dan Jennett. Nilai membuka
mata, respons verbal, dan motorik dijumlah; nilai berkisar antara 3 dan 15.
Perhitungan GCS cepat dan sederhana, dan pengulangan perhitungan dapat
menginformasikan perkembangan atau perburukan pasien. Akan tetapi
penilaian ini bersifat subjektif pada beberapa kasus. GCS adalah metode yang
diakui untuk cedera kepala. Cedera kepala diklasifikasikan ringan (GCS 13-
15), sedang (GCS 9-12), atau berat (GCS 3-8). Nilai rendah menggambarkan
cedera yang lebih berat dan memiliki risiko mortalitas yang lebih tinggi.

21
2) TS
Trauma Score (TS) pertama kali diperkenalkan oleh Champion, et al,
pada tahun 1981. Rentang nilai TS berkisar dari 1 (prognosis buruk) hingga
16 (prognosis baik). TS direvisi menjadi RTS (Revised Trauma Score)
dengan menghilangkan penilaian ekspansi respirasi dan waktu isi kapiler
karena sulit dinilai, terutama malam hari.

22
3) RTS
Diperkenalkan oleh Champion, et al, (1983), sistem ini paling banyak
digunakan sebagai sistem penilaian fisiologis. Sistem ini menggabungkan
nilai GCS dengan laju respirasi dan tekanan darah sistolik. RTS lebih sensitif
daripada TS. Terdapat dua tipe, untuk triase dan penelitian. RTS triase
digunakan sebagai instrumen tenaga kesehatan pra-rumah sakit untuk
membantu memutuskan apakah pasien trauma harus dibawa ke fasilitas
pelayanan primer atau ke pusat trauma.

23
4) CRAMS
Skala CRAMS mengukur lima komponen, antara lain sirkulasi
(circulation), respirasi (respiration), cedera abdomen (abdominal injury),
serta respons motorik dan verbal (motor and speech responses). Nilai ≥9
dianggap trauma minor dan nilai ≤8 dianggap trauma mayor. Skala CRAMS
mempunyai sensitivitas 92% dan spesifisitas 98%

5) PTS
Pediatric Trauma Score (PTS) telah dikembangkan menjadi enam
komponen. Mortalitas meningkat hingga 30% untuk pasien dengan PTS ≤8.
Panduan triase PTS menyarankan anak dengan PTS ≤8 harus dikirim ke pusat
trauma. PTS merupakan sistem penilaian yang baik tetapi tidak lebih baik
dari RTS.

24
c. Sistem penilaian kombinasi
1) TRISS
Sistem penilaian kombinasi digunakan untuk mengatasi kelemahan
sistem anatomis dan fisiologis. Nilai trauma dan nilai keparahan cedera
digabung dalam metodologi TRISS (Trauma Score-Injury Severity Score)
yang dikembangkan pada tahun 1987 oleh Champion, dkk. Sistem ini
menggabungkan usia, ISS, mekanisme cedera, dan komponen RTS penelitian
untuk menghitung kemungkinan hidup (Ps/Probability of survival). Ps hanya
gambaran statistik dan bukan prediksi dampak yang akurat, namun dapat
memberikan dasar perhitungan probabilitas hidup. TRISS memiliki
sensitivitas 95%, spesifisitas 96%, dan akurasi 95%.
2) Severity Characterization of Trauma (ASCOT)
Adalah sistem penilaian kombinasi yang menggunakan GCS, AIS, usia,
tekanan darah sistolik, dan laju respirasi untuk memperkirakan probabilitas
hidup. ASCOT diperkenalkan oleh Champion, dkk. pada tahun 1996 untuk
mengurangi kelemahan TRISS. ASCOT menggunakan AP menggantikan
ISS dan menggolongkan usia ke dalam bilangan desimal. ASCOT tampaknya
dapat memberikan prediksi kematian yang lebih baik daripada TRISS, tetapi
memiliki kompleksitas perhitungan lebih besar

d. Sistem penilaian lain


1) KTS

25
Sistem penilaian lain adalah Kampala Trauma Score (KTS). KTS
dikembangkan di Uganda pada tahun 1996 untuk digunakan di negara
berkembang. KTS merupakan penyederhanaan RTS dan ISS, dan mirip
TRISS. KTS dapat digunakan pada dewasa dan anak-anak.3,20 Rentang nilai
berkisar dari 5 sampai 16. Nilai lebih rendah menunjukkan cedera lebih berat.
Cedera berat bila KTS <11, cedera sedang 11-13, dan cedera ringan 14-16.
2) MGAP / GAP
Sistem penilaian trauma lain yang sederhana adalah yang dilaporkan oleh
Sartorius, dkk. di Perancis (2002). Mereka memperkenalkan sistem penilaian
mekanisme cedera, GCS, usia (age), dan tekanan arteri (arterial pressure)
(MGAP). MGAP membagi tiga kelompok risiko, yaitu rendah (23-29 poin),
sedang (18-22 poin), dan tinggi (<18 poin). Angka mortalitas berturut-turut
adalah 2,8%, 15%, dan 48%. Sistem penilaian trauma ini dapat
memprediksikan mortalitas di dalam rumah sakit lebih akurat. MGAP
membagi kelompok tiga risiko, yaitu rendah (19-24 poin), sedang (11-18
poin), dan tinggi (3-10 poin). Angka mortalitas <5% untuk risiko rendah dan
>50% untuk risiko tinggi.
2. Pemeriksaan Diagnortik
Menurut Dunser, Martin, et al (2013), pemeriksaan yang dapat dilakukan :
a. CT-Scan
Menggunakan resolusi tinggi CT scanner modern, pemeriksaan tersebut
dapat dilakukan dalam waktu ~ 5 menit dan membuat gambaran diandalkan
paling cedera relevan. Selain itu, penggunaan media kontras memungkinkan
untuk mendeteksi perdarahan yang sedang berlangsung terkait (memerlukan
tingkat perdarahan minimal 0,5 mL / menit). Waktu CT scan selama fase akut
sangat penting. Selama bertahun-tahun terakhir, banyak departemen darurat telah
mengadopsi protokol untuk melakukan CT memindai sedini mungkin, misalnya
segera setelah penilaian utama. Dalam pra-rumah sakit, dokter berbasis, sistem
medis darurat, CT scan bahkan dapat dilakukan secara langsung pada saat masuk
rumah sakit dengan asumsi bahwa penilaian primer dan intervensi telah dibahas
selama fase pra-rumah sakit.

b. Sonografi
Pada pasien hemodinamik tidak stabil, CT scan mungkin tertunda dan
identifikasi situs perdarahan dicapai dengan menggunakan sonografi. Sonografi

26
memiliki sensitivitas yang tinggi dalam mendeteksi situs perdarahan intra-
abdominal. Selain itu, mungkin digunakan untuk mengecualikan / mendiagnosa
tamponade jantung. Sonografi lebih lanjut dapat digunakan untuk memeriksa
dada dan paru-paru setelah trauma. Paru-paru sonografi menunjukkan atau paling
tidak setara sensitivitas yang lebih tinggi untuk X-ray untuk diagnosis
pneumotoraks, haemothorax dan atau memar paru-paru
c. Rontgen / X-ray
d. MRI
e. Angiografi
Angiography hanya jarang digunakan sebagai prosedur diagnostik
tunggal tetapi telah menjadi metode yang sangat efektif untuk mengendalikan
perdarahan dari berbagai situs perdarahan
f. Teknik serat optik ( bronkoskopy dan oesophagoscopy)
Teknik serat optik seperti bronkoskopi dan oesophagoscopy ditunjukkan
selama fase akut dari trauma perawatan misalnya ketika luka pada kerongkongan
atau trakeobronkial pohon yang dicurigai pada pasien dengan
pneumomediastinum.
g. Transkranial Sonografi Doppler
Transkranial sonografi Doppler, meskipun tidak umum dalam situasi
resusitasi, dapat digunakan untuk mendeteksi tekanan intrakranial non-invasif.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
b. Penurunan hematokrit/hemoglobin
c. Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT
d. Koagulasi : PT,PTT
e. Peningkatan serum atau amylase urine
f. Peningkatan glucose serum
g. Peningkatan lipase serum
h. DPL (+) untuk amylase
i. Peningkatan WBC
j. Peningkatan amylase serum
k. Elektrolit serum
2.8 Penatalaksanaan
Menurut Dunser, Martin (2013), ada 2 penatalaksanaan multiple trauma, yaitu :
1. Intervensi primer

27
Setiap kali A, B, C atau D patologi diidentifikasi, intervensi yang sesuai dilakukan
tanpa penundaan.
a. A, B - Airway / Breathing
1) Terapi oksigen dan manajemen airway, Penerapan oksigen, secara istimewa
melalui masker wajah dengan aliran oksigen yang tinggi (misalnya 10 L /
min), adalah ukuran pertama untuk mengobati hipoksemia dan meningkatkan
suplai oksigen sistemik. Penyebab umum dari obstruksi jalan napas di trauma
adalah:
a) penurunan tingkat kesadaran (LOC) - sering karena cedera otak
b) trauma langsung (misalnya cedera wajah besar atau luka tusukan ke leher)
c) Berkembang leher bengkak misalnya hematoma di leher
Obstruksi jalan napas membutuhkan tindakan segera, dimulai dengan
manuver jalan napas sederhana, seperti jaw thrust atau penyisipan hati-hati
dari saluran napas naso- atau oro-faringeal, maju untuk menutupi ventilasi
dan prosedur saluran udara canggih bila diperlukan Intubasi trakea sering
diperlukan dan biasanya dicapai, dalam ahli dan keadaan terkontrol,
menggunakan intubasi urutan cepat memanfaatkan anestesi. Laringoskopi
mungkin secara teknis sulit bahkan tanpa cedera wajah atau leher. Pengguna
in-line imobilisasi, yang diperlukan pada pasien trauma yang paling
membutuhkan intubasi trakea, merusak pemandangan di laringoskopi -
menghasilkan kelas III (dari IV) pandangan di 45% pasien.
Sementara pasien dalam serangan jantung yang intubasi tanpa sedasi, obat
biasanya diperlukan saat intubasi pasien trauma. Hal ini penting untuk
menghindari kompromi kardiovaskular dengan menggunakan dosis yang
tepat obat ini. Hati-hati titrasi (mengingat kali sirkulasi berkepanjangan pada
pasien dengan syok) agen sedatif (misalnya ketamin dan / atau
benzodiazepin) adalah penting. Di tangan ahli, agen lainnya dapat dipilih
tetapi penggunaan etomidate harus dihindari untuk mencegah insufisiensi
adrenokortikal sekunder yang merupakan penyebab peningkatan morbiditas.

2) dukungan pernapasan
Dyspnoea setelah trauma harus selalu dianggap serius. Indikasi untuk
intubasi trakea dan ventilasi mekanik selain untuk melindungi jalan napas
biasanya untuk mengelola kelainan pernafasan atau mekanik dan masalah

28
pertukaran gas misalnya parah cedera otak traumatis, serviks cedera tulang
belakang dengan hipoventilasi berat terkait, gangguan parah thorax (patah
tulang rusuk, segmen flail), dan hipoksemia meskipun penerapan oksigen
aliran tinggi (memar paru-paru, perdarahan paru, aspirasi).
b. C - Sirkulasi:
1) manajemen serangan jantung
serangan jantung dari trauma memiliki prognosis yang sangat berat dan
sering dianggap ireversibel. Studi terbaru menunjukkan bahwa hasil jangka
panjang mungkin lebih baik daripada umumnya diasumsikan dengan ~ 2%
dari pasien yang bertahan hidup satu tahun atau lebih. Ketika melakukan
resusitasi cardiopulmonary pada pasien trauma, adalah penting untuk
mengidentifikasi dan mengobati penyebab reversibel dari serangan jantung.
Ini biasanya termasuk kehilangan darah yang berat dan syok obstruktif akibat
ketegangan pneumothorax atau tamponade jantung. Penyebab lain dari
serangan jantung (misalnya parah trauma otak, perdarahan dari luka pada
pembuluh darah besar) sebagian besar tidak dapat diobati dalam pengaturan
akut.
2) kanulasi intravena dan pemantauan
Pembentukan akses intravena adalah intervensi kunci. Pendek tapi besar-
menanggung kanula intravena mempromosikan infus cairan yang cepat
(hukum Hagen-Poiseuille). Pada pasien dengan trauma berat, penyisipan
awal setidaknya dua kanula tersebut mungkin karena mengisi vena secara
dramatis dapat mengurangi sebagai perdarahan berlangsung menyelamatkan
nyawa. Secara bersamaan, sebelum pemantauan invasif dianggap,
pemantauan non-invasif (EKG, tekanan darah non-invasif, oksimetri pulsa,
end-tidal CO 2 pengukuran - jika ventilasi mekanis telah dimulai) yang
dimulai.
3) kontrol perdarahan darurat
kontrol perdarahan sangat penting untuk mengobati penyebab yang
mendasari syok hipovolemik. Dalam pengaturan akut, ini sebagian besar
dapat dicapai dengan kompresi eksternal saja (misalnya dengan kompresi
lokal situs perdarahan superfisial). Pengalaman terbaru dari kedokteran
militer menunjukkan bahwa dressing kompresi hemostatik dapat
meningkatkan pembentukan bekuan lokal dan meningkatkan kemungkinan
kontrol perdarahan dengan kompresi eksternal. Jika kompresi eksternal tidak

29
dapat mengontrol perdarahan dari ekstremitas, tourniquet dapat digunakan.
Namun, penggunaan tourniquet harus diminimalkan karena iskemia jaringan
distal dan cedera neuropatik. Ini harus istimewa digunakan hanya oleh orang-
orang berpengalaman dalam penerapannya. Pada pasien dengan patah tulang
panggul, sabuk kompresi panggul atau fixator eksternal (jika di gawat darurat
rumah sakit) meminimalkan gerakan di situs fraktur dan mengurangi
perdarahan vena.
4) Prinsip resusitasi hemoragik syok
penggantian cairan merupakan andalan resusitasi haemorrhagic shock.
Bahkan jika hasil pemuatan cairan dalam anemia, perfusi jaringan yang
memadai adalah relevansi tinggi daripada pemeliharaan dari konsentrasi
hemoglobin normal. Alasan untuk ini adalah bahwa tubuh memiliki
mekanisme yang lebih fisiologis untuk mengimbangi anemia dari hipoperfusi
jaringan hipovolemia-diinduksi. Meskipun larutan koloid sintetik memiliki
efek volume yang lebih tinggi dan tahan lama daripada solusi kristaloid,
koloid, terutama pati, telah dikaitkan dengan insiden yang lebih tinggi dari
koagulopati, transfusi dan cedera ginjal akut dan hasil yang lebih buruk pada
populasi pasien sakit kritis tertentu.
Meskipun, solusi kristaloid sekarang dianggap sebagai pilihan pertama di
resusitasi, bukti terbaru, dari penelitian yang dilakukan khusus di resusitasi
manusia (syok hipovolemik) keadaan, menyarankan bahwa kedua cairan
kristaloid dan koloid sama-sama berkhasiat tapi itu tingkat kelangsungan
hidup 90 hari disukai koloid. Oleh karena itu, pentingnya resusitasi cairan
yang memadai tetap pesan kunci dan penelitian yang sedang berlangsung
diperlukan untuk klarifikasi lebih lanjut dari pendekatan optimal dalam
berbeda skenario klinis. salin normal sebaiknya dihindari sebagai konsentrasi
klorida unphysiologically tinggi di salin normal memperburuk cedera ginjal
akut dan asidosis metabolik, dan dengan demikian dapat memberikan
kontribusi pada 'triad kematian' di trauma. pentingnya resusitasi cairan yang
memadai tetap pesan kunci dan penelitian yang sedang berlangsung
diperlukan untuk klarifikasi lebih lanjut dari pendekatan optimal dalam
berbeda skenario klinis.
Salin normal sebaiknya dihindari sebagai konsentrasi klorida
unphysiologically tinggi di salin normal memperburuk cedera ginjal akut dan
asidosis metabolik, dan dengan demikian dapat memberikan kontribusi pada

30
'triad kematian' di trauma. pentingnya resusitasi cairan yang memadai tetap
pesan kunci dan penelitian yang sedang berlangsung diperlukan untuk
klarifikasi lebih lanjut dari pendekatan optimal dalam berbeda skenario klinis.
salin normal sebaiknya dihindari sebagai konsentrasi klorida
unphysiologically tinggi di salin normal memperburuk cedera ginjal akut dan
asidosis metabolik, dan dengan demikian dapat memberikan kontribusi pada
'triad kematian' di trauma.
Ketika perdarahan tetap tidak terkendali, bagaimanapun, resusitasi cairan
liberal dapat merugikan karena setiap peningkatan tekanan darah di lokasi
perdarahan akan mencegah atau mengganggu pembentukan gumpalan.
Dalam kasus ini, strategi resusitasi cairan membatasi dan penerimaan tekanan
darah arteri yang rendah (juga dikenal sebagai permisif hipotensi atau
pengendalian kerusakan resusitasi) bisa menjadi lebih unggul. Dalam
hipotensi arteri parah atau cedera otak traumatis bersamaan, vasopressor
dapat digunakan. Sementara sebagian besar laporan menggambarkan
penggunaan vasopressin atau salah satu dari turunannya, norepinefrin adalah
vasopressor yang paling banyak digunakan untuk indikasi ini dalam praktek
klinis. Dalam kasus shock berat, perdarahan yang tidak terkontrol dan / atau
anemia berat, transfusi O sel darah merah negatif atau O positif dikemas dapat
diperlukan. Tidak ada nilai hemoglobin mutlak dapat dinyatakan sebagai
indikasi yang pasti untuk transfusi uncrossmatched. Keputusan selalu harus
dilakukan pada penilaian klinis.
5) syok obstruktif
Dalam trauma, obstruktif sengatan dari ketegangan pneumotoraks,
tamponade jantung dan sangat jarang kasus ketegangan pneumomediastinum.
Hasil Ketegangan pneumotoraks dari efek katup satu arah di mana udara
dipaksa masuk ke dalam rongga pleura saat inspirasi tetapi tidak dapat
melarikan diri selama ekspirasi. Hal ini mendorong trakea, dan mediastinum
ke sisi kontralateral, menekan paru-paru berlawanan tapi yang paling penting,
pengkusutan pembuluh darah besar dan mengurangi aliran balik vena secara
dramatis. Gambaran klinis termasuk hipotensi arteri, takikardia, gangguan
pernapasan, takipnea, adanya ipsilateral bunyi nafas, deviasi trakea ke sisi
berlawanan dan distensi vena jugularis dari distorsi mediastinum Dalam
pengaturan pra-rumah sakit, diagnosis tamponade jantung di trauma tumpul
sangat sulit untuk membuat. Dalam gawat darurat, tanda-tanda klinis

31
mungkin sangat sugestif tetapi diagnosis definitif sekarang dengan mendesak
(transthoracic) echocardiography. Meskipun sering menyarankan, jarum
pericardiotomy tidak praktis pada pasien trauma dan jarang mengalir
gumpalan darah dari perikardium. clamshell darurat torakotomi diindikasikan
pada pasien dengan trauma dada menembus dan serangan jantung diamati
dalam rangka untuk mengobati tamponade jantung atau menghentikan
perdarahan pusat dan melakukan pijat jantung terbuka.
4. D - Cacat dan SSP keadaan darurat
a. Manajemen herniasi serebral
Jika penilaian utama menunjukkan tanda-tanda herniasi serebral yang
akan datang, hipertonik solusi osmostic (misalnya hipertonik saline, manitol)
dapat diberikan segera. Selain itu, intubasi trakea dan ventilasi mekanik dimulai
untuk melindungi jalan napas, hindari hipoksemia dan untuk menghindari
hiperkarbia - biasanya dengan melembagakan hiperventilasi ringan (PaCO 2 35
mmHg / 4.7 kPa kurang-lebih). Dalam sedasi diinginkan sambil menghindari
hipotensi arteri. Untuk mencegah hipoperfusi serebral dan cedera otak sekunder,
tekanan darah arteri dipertahankan pada normal nilai normal atas (misalnya
tekanan arteri rerata dari 90 mmHg atau lebih tinggi) sering dicapai dengan infus
vasopressor a. Dalam situasi di mana langkah-langkah mendesak yang diambil
untuk mengobati herniasi serebral yang akan datang, konsultasi mendesak
dengan bedah saraf dengan maksud untuk kemungkinan tertentu misalnya
intervensi bedah diindikasikan
2. Intervensi sekunder
Penilaian sekunder mengikuti penilaian primer dan intervensi terkait dan merupakan
pemeriksaan kepala to toe sistematis yang bertujuan untuk klinis mengenali semua
situs dari cedera. Hal ini penting untuk mengekspos pasien sebelum pemeriksaan
head-to-toe. Jika korban adalah waspada dan koperasi atau jika saudara hadir, sejarah
cepat dan terstruktur harus diambil untuk mengidentifikasi masalah medis tambahan.
The ATLS saja menyarankan menggunakan mnemonik AMPLE (A : alergi, M: obat,
P: sejarah masa lalu, L: makanan terakhir, E: kejadian dan lingkungan).
a. Kepala: Glasgow Coma Scale untuk menilai tingkat kesadaran; dicatat bahwa
kulit kepala perdarahan bisa berat dan menyebabkan syok (terutama pada anak-
anak); memeriksa periorbital dan hematoma retroauricular sebagai indikator
patah tulang tengkorak basal,

32
b. pendarahan dari telinga dan hidung mungkin terkait dengan kebocoran cairan
serebrospinal; tes untuk stabilitas maksilofasial untuk mendeteksi patah tulang
c. Neurology: menilai fungsi sensorik-motorik batang dan ekstremitas
d. Leher: palpasi untuk mendeteksi emfisema kulit; meraba tulang belakang leher
untuk nyeri, pembengkakan dan dislokasi
e. Dada: memeriksa kulit untuk mengenali luka ( 'sabuk pengaman' tanda); palpasi
tulang dada untuk mendeteksi patah tulang
f. sternum; kompres lembut dada untuk menilai ketidakstabilan besar dan
menemukan patah tulang rusuk (pada pasien terjaga); memeriksa dan meraba
dinding dada untuk mendeteksi memukul dada
g. Abdomen: memeriksa kulit untuk tanda-tanda cedera; palpasi perut dan menilai
ketegangan dinding perut; tekan dan meraba sisi-sisi untuk mengenali cedera
ginjal dan perdarahan retroperitoneal luas
h. Pelvis: horizontal dan vertikal kompres panggul untuk menguji stabilitas
i. Perineum dan lubang: memeriksa lesi dan perdarahan dari lubang
j. Ekstremitas: memeriksa, meraba dan memindahkan semua sendi ekstremitas atas
dan bawah untuk mendeteksi patah tulang dan perpindahan; mencari
pembengkakan dan palpasi untuk ketidakstabilan / krepitus untuk mendeteksi
patah tulang; palpasi otot-otot untuk mengenali sindrom kompartemen awal
k. Kembali: log-roll pasien; memeriksa, meraba dan tekan tulang belakang untuk
mendeteksi rasa sakit, bengkak dan dislokasi

2.9 Komplikasi
1. Penyebab kematian dini ( dalam 72 jam )
a. Hemoragi dan cedera kepala
Hemoragi dan cedera kepala adalah penyebab utama kematian dini setelah
trauma multiple. Untuk mencegah kehabisan darah, maka perdarahan harus
dikendalikan. Ini dapat diselesaikan dengan operasi ligasi ( pengikatan ) dan
pembungkusan, dan embolisasi dengan angiografi. Hemoragi berkelanjutan
memerlukan tranfusi multiple, sehingga meningkatkan kecenderungan terjadinya
ARDS dan DIC. Hemoragi berkepanjangan mengarah pada syok hipovolemik
dan akhirnya terjadi penurunan perfusi organ.
b. Penyebab Lambat Kematian ( Setelah 3 Hari ) :
1) Sepsis

33
Sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi pada trauma multiple. Pelepasan
toksin menyebabkan dilatasi pembuluh, yang mengarah pada penggumpalan
venosa yang mengakibatkan penurunan arus balik vena. Pada mulannya,
curah jantung mengikat untuk mengimbangi penurunan tekanan vaskular
sistemik. Akhirnya, mekanisme kompensasi terlampaui dan curah jantung
menurun sejalan dengan tekanan darah dan perfusi.

2.10 Advokasi dan pendidikan kesehatan Multiple Trauma


Advokasi membantu orang lain untuk tumbuh dan mengaktualisasikan diri.
Tindakan advokat adalah menginformasikan klien tentang hak mereka dan memastikan
bahwa klien memiliki informasi yang cukup untuk mendasari keputusan mereka. Penyakit
menyebabkan penurunan kemandirian, hilangnya kebebasan melakukan tindakan, dan
gangguan kemampuan membuat pilihan. Oleh karena itu, advokasi menjadi landasan dan
inti keperawatan dan keperawatan bertanggung jawab mendukung advokasi manusia.
Advokasi dan pendidikan pada pasien dan keluarga:
1. Membimbingkeluargadalam mendefinisikan masalah saat ini
2. bantu keluarga mengidentifikasi kekuatan dan sumber dukungannya
3. mempersiapkan keluargauntuk lingkungan perawatan kritis, terutama mengenai
peralatan dan tujuan peralatan
4. berbicarasecara terbuka kepada pasien dan keluarga tentang penyakit kritis
5. menunjukkan kepedulian tentang krisis saat ini dan kemampuan untuk membantu
dengan hubungan awal
6. realistis dan jujur tentang situasinya. Berhati hati untuk tidak memberikan jaminan
palsu
7. sampaikan perasaan harapan dan keyakinan pada kemampuan keluarga untuk
menghadapi situasi
8. coba rasakan perasaan yang ditimbulkan krisis dalam keluarga
9. bantu keluarga mengidentifikasi dan fokus pada perasaan
10. membantu keluargauntuk menentukan tujuan dan langkah yang harus diambil dalam
menghadapi krisis
11. memberikan kesempatan bagi pasien dan keluargauntuk membuat pilihan dan
menghindari ketidakberdayaan dan keputusasaan
12. membantu keluargadalam menemukan cara untuk berkomunikasi dengan pasien
13. dorong keluargauntuk membantu merawat pasien
14. diskusikan semua masalah yang terkaitdengan keunikan pasien; hindari generalisasi

34
15. membantu keluarga untuk menetapkan tujuan jangka pendek sehingga kemajuan dan
perubahan positif dapat dilihat
16. memastikan bahwa keluarga menerima informasi tentang semua perubahan
signifikan dalam kondisi pasien
17. menganjurkan penyesuaian jam kunjungan untuk mengakomodasi kebutuhan
keluarga sebagaimanadiizinkan oleh situasi di unit perawatan
18. tentukan apakah ada ruang yang tersedia di rumah sakit dekat unit tempat keluarga
dapat sendirian dan memiliki privasi
19. .mengenali kerohanian pasien dan keluarga, dan menyarankan bantuan penasihat
spiritual jika ada kebutuhan

35
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN KRITIS DENGAN MULTIPLE
TRAUMA

3.1 Pengkajian
3.2.1 Pengkajian primer
1) Aryway (jalan nafas)
Pemeriksaan jalan napas pada pasien multi trauma merupakan prioritas utama.
Periksa saluran nafas bagian atas untuk mendeteksi obstruksi, mis. oleh gumpalan
darah, gigi lepas atau prostesis gigi. Dengarkan apakah terdapat snoring, gargling, dan
stidor. Usaha untuk kelancaran jalan nafas harus di lakukan dengan cara chin lift atau
jaw thrust secara manual untuk membuka jalan nafas.
2) Breathing (ventilasi)
a. Kaji jumlah pernasan lebih dari 24 kali per menit merupakan gejala yang
signifikan
b. Kaji saturasi oksigen
c. Periksa gas darah arteri untuk mengkaji status oksigenasi dan kemungkinan
asidosis
d. Berikan 100% oksigen melalui non re-breath mask
e. Auskulasi dada, untuk mengetahui adanya infeksi di dada
f. Periksa foto thorak
Selain itu, Semua penderita trauma harus mendapat suplai oksigen yang tinggi
kecuali jika terdapat kontrindikasi terhadap tindakkan ini. Bantuan ventilasi harus
dimulai jika usaha pernapasan inadekuat.
3) Circrulation (sirkulasi)
Jika ada gangguan sirkulasi segera tanggani dengan pemasangan IV line, tentukan
status sirkulasi dengan mengkaji nadi, mencatat Irama dan ritmenya. Periksa CRT
dan lakukan pemeriksaan darah lengkap
4) Disability (evaluasi neurologis)
Pantau status neurologis secara cepat meliputi tingkat kesadaran dan GCS, dan ukur
reaksi pupil serta tanda-tanda vital.

36
5) Exposure
Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera, luka dan tempat suntikan dan
tempat sumber infeksi lainnya.

3.2.2 Pengkajian sekunder


1) Kepala
a) Inpeksi dan palpasi keseluruhan kulit kepala, hal ini penting karna kulit kepala
biasanya tidak terlihat karena tertutup rambut
b) Catat adanya pendarahan, laserasi memar, atau hematom
c) Catat adanya darah atau drainase dari telinga, inpeksi adanya memar di belakang
telinga
d) Catat adanya tremor atau kejang
2) Wajah
a) Inspeksi dan palpasi tulang wajah
b) Kaji ukuran pupil dan reaksinya
c) Catat adanya darah atau drainage dari telinga,mata,hidung,atau mulut.
d) Inpeksi lidah dan mukosa oral terhadap trauma
3) Leher
a) Observasi adanya bengkak atau deformitas di leher
b) Cek spinal servikal utuk devormitas dan nyeri pada palpasi.perhatikan jangan
menggerakkan leher atau kepala pasien dengan kemungkinan trauma leher sampai
fraktur servikal sudah di pastikan
c) Observasi adanya deviasi trakea
d) Observasi adanya distensi vena jugularis
4) Dada
a) Inpeksi dinding dada. Catat adanya segmen flailchest
b) Cek adanya fraktur iga dengan melakukan penekanan pada tulang iga dengan
posisi lateral, lalu anterior dan posterior; manufer ini menyebabkan nyeri pada
pasien dengan fraktur iga
c) Catat keluhan pasien akan nyeri, dispnea, atau dada terasa berat
d) Catat memar, pendarahan, luka atau emfisema subkutaneus

37
e) Auskultasi paru
5) Abdomen
a) Catat adanya distensi, perdarahan, memar, atau abrasi khususnya di sekitar organ
vital seperti limpa atau hati
6) Genetalia dan pelvis
a) Oservasi abrasi, perdarahan, hematoma,edema atau discharge
b) Observasi adnya gangguan kemih
7) Tulang belakang
a) Mulai tempatkan satu tangan di bawah leher pasien, dengan lembut palpasi
vertebrata, rasakan adanya deformitas, dan catat lokasinya jika terdapat respon
nyeri pada pasien
b) Perhatian : jangan pernah membalik pasien untuk memeriksa tulang belakang
sampai trauma spinal sudah di pastikan. Jika anda harus membalik pasien
(misalnya luka terbuka) gunakan tehnik log-roll
c) Catat adanya keluhan nyeri dari pasien ketika mempalpasi sudut costovertebral
melewati ginjal
8) Ekstremitas
a) Cek adanya pendarahan, edema, nyeri, asimetris tulang atau sendi pada segmen
proksimal pada setiap ekstremitas dan palpasi pada bagian distal.

3.2 Diagnosa Keperawatan


1) Domain 3 kelas 4 kode diagnose 00030 hambatan pertukaran gas
2) Domain 2 kelas 5 kode diagnose 00027 defesiensi volume cairan
3) Domain 4 kelas 2 kode diagnose 00085 hambatan mobilitas fisik
4) Domain 4 kelas 4 kode diagnose 00033 hambatan ventilasi spontan
5) Domain 12 kelas 1 kode diagnose 00132 nyeri akut

38
3.3 Rencana Keperawatan

NO Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
1. Domain 3 kelas 4 kode Setelah dilakukan tindakan NIC :
diagnose 00030 keperawatan selama …x… I.01014 Pemantauan respirasi
hambatan pertukaran diharapkan masalah gangguan Observasi
gas pertukaran gas teratasi dengan 1. Monitor frekuensi, irama
kriteria hasil : kedalaman, dan upaya
NOC : nafas
0402 Status 2. Monitor pola nafas
pernapasan : Pertukaran gas (bradipnea, takipnea,
Kriteria hasil : hiperventilasi,
a) 040208 PaO2 (5) Kussmaul, Cheyne-
b) 040209 PaCO2 (5) Stokes,Biot, ataksik)
c) 040211 SPO2 (5) 3. Monitor adanya
d) 040203 Dypsneu saat sumbatan jalan nafas
istirahat (5) 4. Auskultasi bunyi nafas
e) 040204 Dypneu dengan 5. Monitor SPO2
aktifitas ringan (5) 6. Monitor nilai AGD
f) 040216 Gangguan 7. Monitor hasil X-Ray
kesadaran (5) torak
Ket :
1 = Sangat berat Teraupetik
2 = Berat 1. Alur interval
3 = Cukup pemantauan respirasi
4 = Ringan sesuai kondisi pasien
5 = Tidak ada 2. Dokumentasi hasil
pemantauan

Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil
pemantauan (jika perlu)

2. Domain 2 kelas 5 kode Klien akan mencapai status 1. Monitor dan kaji status
diagnose 00027 hemodinamik yang optimal hemodinamik
defesiensi volume yang dibuktikan dengan : 2. Monitor tekanan darah
cairan a. MAP >70 mmHg PCWP, RA, SVR/PVR,
b. Klien menunjukkan tanda- Dsyrhytmia
tanda hemodinamik yang 3. Monitor kekurangan
normal cairan yang berkaitan
c. Status cairan yang optimal dengan demam dan
diaphoresis

39
d. Urine output >0,5 4. Timbang berat badan tiap
ml/kg/hari hari
e. Suhu normal 5. Tentukan kebutuhan
hidrasi berdasarkan status
hemodinamis kekentalan
sekresi, tanda vital,
rontgen dada, bunyi nafas,
SPO2, SvO2, dan
elektrolit.
6. Monitor proses infeksi
melalui darah, sputum
atau paru-paru. Lakukan
kultur sputum dan darah
bila memungkinkan
sebelum memulai terapi
antibiotik. monitor respon
terhadap pemberian
antibiotic
7. Monitor hasil Lab
8. Berikan obat sesuai
indikasi
9. Berikan vasopressors
sesuai indikasi
10. Berikan produk darah
sesuai kebutuhan
11. Monitor terjadinya
perdarahan

3. Domain 4 kelas 2 kode Setelah dilakukan tindakan NIC :


diagnose 00085 keperawatan selama …x… Perawatan Tirah Baring;
hambatan mobilitas diharapkan hambatan mobilitas Independen
fisik fisik teratasi 1. Kaji tingkat imobilisasai
NOC : yang disebabkan oleh
Fungsi Skeletal: cedera dan atau terapi
a. Mempertahankan posisi dan catat persepsi klien
fungsi. tentang imobilisasi
b. Meningkatkan kekuatan 2. latihan RPS aktif, atau
dan fungsi bagian tubuh bantu dengan latihan RPS
yang terkena dan pasif pada ekstermitas
kompensatori. yang terkena dan tidak
terkena.
Mobilitas ; 3. Anjurkan penggunaan
a. Mencapai kembali dan latihan isometrik, yang
mempertahankan dimulai dengan
mobilitas pada tingkat ekstermitas yang tidak
setinggi mungkin. terkena.

40
b. Menunjukkan teknik yang 4. Beri foodboard, bidai
memungkinkan pergelangan tangan, dan
pengembalian aktivitas, trachanter roll atau hand
terutama aktivitas roll jika tepat.
kehidupan sehari-hari 5. Instruksikan, dan
anjurkan penggunaan
restok gantung dan
“posisi pasca” untuk
fraktur ekstermitas
bawah.
6. Bantu mobilitas dengan
alat kursi roda, walker,
kruk, dam/atau tongkat
sesegera mungkin,
instruksikan penggunaan
yang aman alat bantu
mobilitas
7. Pantau tekanan darah
seiring dengan
melakukan aktivitas
kembali. Catat laporan
pusing.

Kolaboratif
1. Konsultasikan dengan ahli
terapi fisik atau ahli terapi
okupasional dan/atau spesialis
rehabilitasi.
.

4. Domain 12 kelas 1 Setelah dilakukan tindakan I 08238 Manajemen Nyeri


kode diagnose 00132 keperawatan selama …x… Observasi
nyeri akut diharapkan masalah nyeri 1. Identifikasi lokasi,
teratasi dengan kriteria hasil : karakteristik, durasi,
NOC : frekuensi, kualitas,
1605 Kontrol Nyeri intensitas nyeri
Kriteria hasil: 2. Identifikasi skala nyeri
a) 160502 Mengenali kapan 3. Monitor keberhasilan
nyeri terjadi (5) terapi komplementer
b) 160503 Menggunakan yang sudah diberikan
tindakan pencegahan (5) 4. Monitor efek samping
c) 160504 Menggunakan penggunaan analgesic
tindakan pengurangan
(nyeri) tanpa analgesik (5) Teraupetik

41
d) 160505 Menggunakan 1. Berikan terapi non
analgesik yang farmakologis untuk
direkomendasikan (5) mengurangi rasa nyeri
e) 160511 Melaporkan nyeri 2. (hipnosis akupresur,
yang terkontrol (5) terapi musik,
biofeedback, terapi pijat,
Ket : aromaterapi)
1 = tidak pernah menunjukan 3. Kontrol lingkungan yang
2 = jarang menunjukan memperberat rasa nyeri
3 = kadang-kadang (suhu, ruangan,
menunjukan kebisingan,
4 = sering menunjukan pencahayaan)
5 = secara konsisten 4. Fasilitasi istirahat tidur
menunjukan
Edukasi
1. Jelaskan penyebab,
periode, pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Anjurkan menggunkan
analgetik secara tepat

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgetik

42
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Trauma merupakan keadaan yang disebabkan oleh luka atau cidera. Trauma adalah
kejadian yang bersifat holistic dan dapat menyebabkan hilangnya produktivitas seseorang.
Definisi ini memberikan gambaran superficial dari respon fisik terhadap cedera (Saudin,
2017). Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru.
Penatalaksanaan pada pasien dengan multiple trauma ada 2 yaitu: intervensi primer dan
intervensi sekunder. Intervensi primer meliputi ABC (Airway, Breathing, Circulation).
Sedangkan untuk intervensi sekunder merupakan pemeriksaan kepala to toe sistematis yang
bertujuan untuk klinis mengenali semua situs dari cedera.

4.2 Saran
Dari penjelasan makalah, diharapkan mahasiswa keperawatan mampu menguasai materi
mengenai asuhan keperawatan kritis, advokasi dan pendidikan kesehatan pada klien dengan
multiple trauma agar dapat memberikan asuhan keperawatan dengan baik.

43
DAFTAR PUSTAKA

Frink, Michael, Philipp Lechler, Florian Debus, and Steffen Ruchholtz. 2017. “Multiple Trauma
and Emergency Room Management.” Deutsches Arzteblatt International 114(29–30): 497–
503.
Hudak, Carolyn. M. 1996. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC
Jamshidi, Leila, Asghar Seif, and Hossein Vazinigheysar. 2014. “Zahedan Journal of Research in
Medical Sciences Comparison of Indicators of Metabolic Syndrome in Iranian Smokers.”
Zjrms 16(1): 55–58.
Judson, James A. 2012. “Severe and Multiple Trauma.” Oh’s Intensive Care Manual: 757–64.

Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10 editor T
Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.

Salim, Carolina. 2015. “Sistem Penilaian Trauma.” Cermin Dunia Kedokteran 42(9): 702–9.
Saudin, Didik, and Mukamad Rajin. 2020. “Penerapan Sistem Penilaian Trauma Revised Trauma
Score ( Rts ) Untuk Menentukan Mortalitas Pasien Trauma Di Triage.” : 12–15.
“Trauma Guidelines.” 2015. (70305).
Zettervall, Sara et al. 2015. “Critical Care for the Patient With Multiple Trauma.” Journal of
Intensive Care Medicine 31(5): 307–18.

44

Anda mungkin juga menyukai