Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

TINJAUAN TEORI

1.1 Definisi
Diabetes millitus adalah suatu keadaan ketika tubuh tidak mampu
menghasilkan atau menggunakan insulin (hormon yang membawa glukosa
darah ke sel – sel dan menyimpannya sebagai glikogen). Dengan demikian,
terjadi hiperglikemia yang di sertai berbagai kelainan metabolik akibat
gangguan hormonal, melibatkan kelainan metabolisme kabohidrat, protein
dan lemak serta menimbulkan berbagai komplikasi kronis pada organ tubuh
(Mansjoer dkk., 2000: Sukarmin dan S.Riyadi, 2008; Tambayong, J. 2000
dalam Aini,Nur & Martha,Ledy A 2016)
Menurut American Diabetes Association (2005) diabetes millitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua – duanya. Kelainan kronis defisiensi atau resistensi insulin yang
absolut atau relatif yang di tandai oleh gangguan metabolisme kabohidrat,
protein dan lemak (Andri. H, 2012)
Diabetes millitus merupakan penyakit sistematis, kronis, dan
multifaktoral yang dicirikan dengan hiperglikemia dan hiperlipidemia.
(Bradero.Mary , Wilfrid. Mary D, Siswandi. Yakobus, 2009)
Sehingga, bisa di simpulkan bahwa Diabetes Militus adalah Kondisi
Tubuh yang tidak mampu memproduksi Insulin secara Maksimal yang
mengakibatkan Hiperglikemia yang di sertai Komplikasi Kronis akibat
Kelainan Metabolik.
1.2 Klasifikasi
Dalam Meity, Nur (2007) diabetes dapat terjadi dalam dua bentuk
utama : Tipe 1 , Diabetes Melitus yang bergantung insulin, dan yang lebih
prevalen Tipe 2, diabetes melitus yang tidak bergantung insulin. Pada lansia,
diabetes tipe 2 terhitung 90% kasus.
Parkemi (2006) (dalam Aini,Nur & Martha,Ledy A 2016)
mengklasifikasikan diabetes Melitus menjadi 4 yaitu, Diabetes Tipe 1
(Diabetes Bergantung Insulin) dan Diabetes Tipe 2 (Diabetes tidak
bergantung Insulin), diabetes tipe lain, serta diabetes karena kehamilan.
1. Diabetes Tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes Melitus [IDDM])
Merupakan kondisi autoimun yang menyebabkan kerusakan sel ß
pangkreas sehingga timbul defisiensi insulin absolut. Pada DM Tipe 1
sistem imun tubuh sendiri secara spesifik menyerang dan merusak sel sel
penghasil insulin yang terdapat pada pangkreas. Belum di ketahui hal apa
yang memicu terjadinya kejadian autoimun namun bukti – bukti yang ada
menunjukkan bahwa faktor genetik dan faktor lingkungan seperti infeksi
virus tertentu berperan dalam prosesnya. Sekitar 70 – 90% sel ß hancur
sebelum timbul gejala klinis. Pasien DM Tipe 1 harus menggunakan
injeksi insulin dan menjalankan diet secara ketat.
2. Diabetes Tipe 2 atau (Non Insulin Dependen Diabetes Melitus [NIDDM])
Diabetes tipe ini merupakan bentuk diabetes yang paling umum.
Penyebabnya berfariasi mulai dominan resistensi insulin di sertai
devisiensi insulin relatif sampai defek sekresi insulin di sertai resistansi
insulin. (Aini,Nur & Martha,Ledy A 2016)
Seiring pertahambahan usia, sel sel tubuh menjadi lebih resisten
terhadap insulin, yang mengurangi kemampuan lansia untuk metabolisme
glukosa. Selain itu, pelepasan insulin dari sel ß pangkreas berkurang dan
melambat. Hasil dari kombinasi proses ini adalah hiperglikemia. Pada
pasien lansia, konsentrasi glukosa yang mendadak dapat meningkatkan
dan lebih memprpanjang hiperglikemia.
3. Diabetes Tipe Lain
1) Defek genentik fungsi sel ß (maturity onset diabetes of the young
[MODY] 1,2,3 dan DNA mitokondria).
2) Defek genetik kerja insulin
3) Penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, tumor/pankreatektomi, dan
pankreatopati fibrokalkulus)
4) Infeksi (rubella kongenital, sitomegalovirus)
4. Diabetes Melitus Gestational (DMG)
Diabetes ini di sebaban karena terjadi resistansi insulin selama
kehamilan dan biasanya kerja insulin akan kembali normal setelah
melahirkan.
1.3 Etiologi
1. Diabetes Tipe 1
1) Autoimun
2) Faktor Genetik
3) Faktor Lingkungan (Infeksi Proses Tertentu)
2. Diabetes Tipe 2
1) Kelainan Genetik
2) Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologi yang secara
dramatis menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan
ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin pangkreas
untuk memproduksi insulin.
3) Gaya hidup dan stres
Stres kronis cenderung membuat seseorang mencarui makanan yang
cepat saji kaya pengawt, lemak, gula. Makanan ini berpengaruh besar
terhadap kerja pangkreas. Stres juga akan meningkatkan kerja
metbolisme dan meningkatkan kebutuhan akan sumber energi yang
berakibat pada kenaikan kerja pangkreas. Beban yang tinggi membuat
pangkras mudah rusak hingga berdampak pada penurunan insulin.
4) Pola makan yang salah
Kurang gizi atau kelebihan berat badan sama sama meningkatkan
resiko terkena Diabetes.
5) Obesitas (terutama pada abdomen)
Obesitas mengakibatkan sel sel beta pangkreas mengalami Hipertrovi
sehingga akan berpengaruh terhadap penurunan prosduksi insulin.
Peningkatan berat badan 10 kg pada pria dan 8 kilo pada wanita dari
batas normal IMT (Indeks Masa Tubuh) akan meningkatkan resiko
DM Tipe 2 (Camacho, P.M., dkk.,2007 ) selain itu pada obesitas juga
terjadi penurunan adiponektin. Adiponektin adalah hormon yang di
hasilkan adiposit, yang berfungsi untuk memperbaiki sensitifitas
insulin dengan cara menstimulasi peningkatan penggunaan glukosa
dan oksidasi asam lemak otot dan hati sehingga kadar trigliserida
turun. Penurunan adiponektin menyebabkan resistansi insulin.
Adipoktin berkorelasi positif dengan HDL dan berkorelasi negatif
dengan LDL (Renaldy, O.,2009; Umar, H. Dan Adam J., 2009).
6) Infeksi
Masuknya bakteri atau virus kedalam pangkreas akan berakibat
rusaknya sel – sel pangkreas. Kerusakan ini berakibat pada penurunan
fungsi pangkreas. (Aini, Nur 2016)
3. Diabetes Tipe Lain
1) Defek genentik fungsi sel ß (maturity onset diabetes of the young
[MODY] 1,2,3 dan DNA mitokondria).
2) Defek genetik kerja insulin
3) Penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, tumor/pankreatektomi, dan
pankreatopati fibrokalkulus)
4) Infeksi (rubella kongenital, sitomegalovirus)
4. Diabetes Melitus Gestational (DMG)
Diabetes ini di sebaban karena terjadi resistansi insulin selama
kehamilan dan biasanya kerja insulin akan kembali normal setelah
melahirkan.
No Permasalahan DM Tipe 1 DM Tipe 2
1. Awitan Usia < 40 Tahun >40 tahun
2. Habitus Tubuh Normal – Kurus Gemuk
3. Insulin Plasma Rendah – Negatif Normal – Tinggi
4. Genetik Lokus Kromosom 6 Kromosom 11 (Tetapi
masih belum jelas dan
di pertanyakan)
5. Komplikasi Akut Komaketoasidosis Hiperosmolar Non
Ketotik
6. Terapi Insulin Responsif Responsif – Resisten
7. Obat Oral Tidak Responsif Responsif
1.4 Manifestasi Klinis
Umumnya terjadi pada penderita Diabetes Melitus
1. Penurunan BB dan Kelelahan (Tanda dan Gejala Klasik pada pasien
Lansia)
2. Kehilangan selera makan
3. Inkontinensia
4. Penurunan penglihatan
5. Konfusi atau derajat derilium
6. Konstipasi atau kembung pada abdomen (akibat hipotunisitas lambung)
7. Retinopati atau pembentukan katarak
8. Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki, akibat kerusakan
sirkulasi parifer; kemungkinan kondisi kulit kronis, seperti selulitis atau
luka yang tidak kunjung sembuh; turgor kulit buruk dan membran mukosa
kering akibat dehidrasi
9. Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan refleks, dan kemungkinan
nyeri perifer atau kebas.
10. Hipotensi ortostatik
11. Poliuria, polidipsia, polifagia
12. Infeksi yang sering
Manifestasi Klinis DM Ringan sampai Berat
Keadaan Patologis Manifestasi Klinis
Hiperglikemia dan Glikosuria Poliuria, plidipsia, gartal pada
(Diuresis Osmotik) tubuh dan vaginitis
Cellular Starvation (Sel Polivagia dan kelelahan
Kekurangan Bahan Bakar)
Metabolisme Karbohidrat, lemak, Berat badan menurun dan merasa
protein tidak efisien lemah
Hiperosmolaritas (ada dehidrasi) Turgor kulit menurun dan
takikardia, hipotensi
Koma ketoasidosis hiperosmolar Tanda – tanda diabetes
ketoasidosis atau HHNK
1.5 Patofisiology

DM Tipe I

Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas


menghasilkan insulin karena hancurnya sel-sel beta pulau
langerhans. Dalam hal ini menimbulkan hiperglikemia puasa dan
hiperglikemia post prandial (Corwin,2000).
Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan
muncul glukosuria (glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotic)
sehingga pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria)
dan rasa haus (polidipsia) (Corwin, 2000).
Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan
lemak sehingga terjadi penurunan berat badan akan muncul gejala
peningkatan selera makan (polifagia). Akibat yang lain yaitu terjadinya
proses glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan
glukogeonesis tanpa hambatan sehingga efeknya berupa pemecahan lemak
dan terjadi peningkatan keton yangdapat mengganggu keseimbangan asam
basa dan mangarah terjadinya ketoasidosis (Corwin, 2000).
DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan
pada reseptor kurang dan meskipun kadar insulin tinggi dalam darah tetap
saja glukosa tidak dapat masuk kedalam sel sehingga sel akan kekurangan
glukosa (Corwin, 2000).
Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat peningkatan
jumlah insulin yang disekresikan.Namun demikian jika sel-sel beta tidak
mampu mengimbanginya maka kadar glukosa akan meningkat dan
terjadilah DM tipe II (Corwin, 2000).
1.6 Penatalaksanaan
1. Pencegahan primer
1) Makanan Bergizi
Diperkirakan 65 – 80% dari kasus NIDDM dapat di cegah
melalu program nutrisi yang sehat. Mempertahankan brat badan ideal
adalah pertimbangan yang penting untuk semua lansia, tidak hanya
untuk menghilangkan stres pada sendi dan meningkatkan mobilitas
tetapi juga untuk mengurangi resiko terjadinya diabetes. Berat badan
yang tidak diinginkan dapat di turunkan selama tahun tahun terakhir
melalui kombinasi dari nutri dan latihan yang optimal.
2) Latihan dan Olah Raga
Latihan juga di perlukan untuk membantu mencegah diabetes.
Pemeriksaan sebelum latihan sebaikknya di lakukan untuk memastikan
bahwa klien lansia secara fisik mampu mengikuti program latihan
kebugaran. Pengkajian pada tingkat aktivitas klien yang terbaru dan
pilihan gaya hidup dapat membantu mennentukan jenis latihan yang
mungkin paling berhasil. Berjalan atau berenang, dua aktivitas dnegan
dampak rendah merupakan pemulaan yang sangat baik untuk para
pemula.
2. Pencegahan sekunder
1) Nutrisi
Terapi nutrisi melibatkan pengkajian pola saat ini. Jika klien
mengalami kelebihan berat badan, yang memang cenderung terjadi,
perencanaan harus memasukkan strategi untuk penurunan berat badan
secara bertahap dan aman. Diet yang sangat ketat, penggunaan
suplemen atau obat-obatan dan puasa tidak hanya merupakan
pendekatan yang tidak peraktis untuk lansia tetapi juga dapat
mengancam kehidupan bagi mereka dengan NIDDM. Dalam menyusun
rencana makan klien, keterbatasan keuangan juga harus
dipertimbangkan. Lkehilangan gigi dan perubahan presepsi rasa dapat
mengubag pilihan makanan klien. Masukan dari klien harus menjadi
petunjuk bagi semua modifikasi diet
2) Olah Raga
Untuk lansia dengan NIDDM, olahraga dapat secara langsung
dapat meningkatkan fungsi fisiologis dengan mengurangi kadar glukosa
darah, meningkatakan stamina dan kesejahteraan nasional, dan
meningkatkan sirkulasi. Seain itu, olah raga teratur dapat membantu
menurunkan berat bdan. Namun, program olah raga dengan rencana dan
tidak implusif merupakan hal yang penting. Klien yang mengalami
diabetes yang tidak terkendali (Glukosa darah Puasa sebelum latihan
lebih dari 250 mg/dL) pada kenyataannya dapat membahayakan bila
melakukan peningkatan aktivitas fisik secraa mendadak. Ketika kadar
glukosa darah stabil dan kondisi medis lain sudah dapat dikendalikan,
terawat dan klien dapat mengembangkan suatu rencana untuk
meningkatkan latihan fisik secara bertahap. Setelah keterbatasan
kemampuan klien untuk melakukan latihan diidentifikasi, tujuan jangka
pendek dan jangka panjang harus ditetapkan untuk melaksanakan
program latihan / olahraga.
3) Pengobatan
Agens Oral.
Generasi kedua sulfomilurea sekarang telah tersedia.
Glyburide (Micronase dan DiaBeta) dan glipizin (Glucotrol) 100 – 200
x lebih poten dari pada generasi pertama sehingga kelompok obat ini
dapat dikonsumsi dalam dosis yang lebih kecil dan hanya satu hari
sekali dari pada beberapa kali dalam sehari. Orang yang menerima
agens oral untuk menegendalikan NIDDM harus di peringatkan bahwa
mereka masih dapat mengalami efek samping hipoglikemia, terutama
bila asupan nutrisi mereka tidak di pantau dan dikendalikan secraa
seksama. Konfusi, berkeringat, gugup koma, pucat, dan napas dangkal
adalah indikasi dari reaksi hipoglikemi pada orang orang ini.
Glucophage (metformin hidroklorid) adalah obat anti hiperglikemia
yang baru baru ini dikeluarkan oleh food and Drug
Administration/FDA. Obat ini tidak menurunkan kadar glukosa darah,
tetapi meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan parifer dan
usus. Glucophage harus dimakan bersama makanan dan dikontra
indikasikan untuk pasien dengan gangguan ginjal.
Insulin
Pengajaran tentang insulin harus melibatkan penyimpanan
insulin dan spuit di rumah, jenis insulin yang akan di gunakan (manusia
vs hewan) konsntrasi (U-100), model aksi yang diharpkan (aksi cepat,
menengah, lama, atau campuran), dosis yang di respekan dan kondisi
penyesuaian yang di perlukan untiuk dosis ini (latihan, penyakit), dan
kemungkinan efek samping dan penangannnya. Lansia khususnya perlu
mengetahui tentang tanda dan gejala hipoglikemia karena hilangnnya
sinyal – sinyal adrenergik, perubahan normal yang berhubungan dengan
penuaan, yang membuat mereka kurang sensitif terhadap kondisi
tersebut. Pengajaran tentang teknik penyuntikan memfokuskan pada
gambaran dosis gambaran yang tepat, memilih dan memutar lokasi
suntikan, memberikan obat itu sendiri, dan menggunakan kembali atau
membuang spuit yang telah di gunakan. Untuk klien yang memerlukan
kombinasi dari insulin dengan masa kerja pendek (regular insulin) dan
masa kerja menengah (Neutral Protamine Hagedorn), insulin campuran
atau insulin 70 – 30% sekarang telah tersedia.
1.7 Pemeriksaan Diagnostik
Kadar glukosa serum puasa dan pemeriksaan toleransi glukosa
memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia,
pemeriksaan glukosa serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan tolerans
glukosa oral lebih membantu menegakkan diagnosis karwna lansia mungkin
memiliki kadar glukosa puasa hampir normal tetapi mengalami hiperglikemia
berkepanjangan setelah makan.
Diagnosa di buat bisannya setelah satu sari tiga kriteria berikut ini terpenuhi:
1. Konsentrasi glukosa plasma acak 200mg/dl atau lebih tinggi
2. Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih tinggi
3. Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa peroral 200 mg/dl atau
lebih.

1.8 Konsep Asuhan Keperawatan Lansia dengan Diabetes Melitus


1. Pengkajian Fokus
1) Identitas
DM pada pasien usia lanjut umumnya terjadi pada usia ≥ 60 tahun
dan umunya adalah DM tipe II (non insulin dependen) atau tipe
DMTTI
2) Keluhan utama
DM pada usia lanjut mungkin cukup sukar karena sering tidak
khas dan asimtomatik (contohnya: kelemahan, kelelahan, BB
menurun, terjadi infeksi minor, kebingunan akut atau depresi).
3) Riwayat penyakit dahulu
Terjadi pada penderita dengan DM yang lama
4) Riwayat penyakit sekarang
Pada umumnya pasien datang ke RS dengan keluhan gangguan
penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta
kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang
sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
5) Riwayat penyakit keluarga
Dalam anggota keluarga tersebut salah satu anggota keluarga ada
yang menderita DM
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik secara komperhensif (head to toe / persistem)
wajib dilakukan meski tidak ada keluhan berarti yang dirasakan lansia
guna mengantisipasi penyakit degeneratif.
1) Sistem integumen
Kulit keriput akibat kehilangan lemak, kulit kering dan pucat dan
terdapat bintik-bintik hitam akibat menurunnya aliran darah kekulit
dan menurunnya sel-sel yang memproduksi pigmen, kuku pada jari
tengah dan kaki menjadi tebal dan rapuh. Pada orang berusia 60 tahun
rambut wajah meningkat, rambut menipis/botak dan warna rambut
kelabu, kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya.
2) Sistem muskuler
Kecepatan dan kekuatan kontraksi otot skeletal berkurang pengecilan
otot karena menurunnya serabut otot. Pada otot polos tidak begitu
berpengaruh.
3) Sistem penglihatan
1) Karena berbentuk speris, sfingther pupil timbul sklerosis dan
hilangnya respon terhadap sinar, lensa menjadi keruh,
meningkatnya ambang penglihatan (daya adaptasi terhadap
kegelapan lebih lambat, susah melihat gelap).
2) Hilangnya akomodasi menurunnya lapang pandang karena
berkurangnya luas pandangan.
3) Menurunnya daya membedakan warna hijau atau biru pada
skala.
4) Sistem Kardiovaskuler
Katub jantung menebal dan menjadi kaku. Kemampuan jantung
memompa darah menurun 1% pertahun. Kehilangan obstisitas
pembuluh darah, tekanan darah meningkat akibat meningkatnya
resistensi pembuluh darah perifer.
5) Sistem Perkemihan
Ginjal mengecil, nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal
menurun sampai 50%, laju filtrasi glumerulus menurun sampai
50%, fungsi tubulus berkurang sehingga kurang mampu
memekatkan urine, proteinuria bertambah, ambang ginjal
terhadap glukosa meningkat, kapasitas kandung kemih menurun
karena otot yang lemah, frekuensi berkemih meningkat, kandung
kemih sulit dikosongkan, pada orang terjadi peningkatan retensi
urin dan pembesaran prostat (75% usia diatas 60 tahun).
6) Sistem Endokrin
Produksi semua hormon menurun, fungsi paratiroid dan
sekresinya tidak berubah, berkurangnya ACTH, TSH, FSH dan
LH. Menurunnya aktivitas tiroid sehingga laju metabolisme tubuh
(BMR) menurun. Menurunnya produk aldusteran, a. menurunnya
sekresi, hormon godad, progesteron, estrogen dan testosteron.
3. Diagnosa
1) Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan
diabetes melitus dengan faktor resiko kurang terpapar informasi
tentang manajemen diabetes, ketidaktepatan pemantauan glukosa
darah.
2) Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan diabetes
melitus ditandai dengan gangguan koordinasi, kadar glukosa dalam
darah / urin rendah (hipoglikemia) dan kadar glukosa dalam darah /
urine tinggin (Hiperglikemi)
3) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan distres psikologis
ditandai dengan mengeluh tidak nyaman dan gelisah.
4) Ansietas berhubungan dengan penyakit akut ditandai dengan
merasa bingung, merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang
dihadapi, tampak gelisah, tampak tegang dan sulit tidur
No Diagnosa SLKI SIKI
1 Resiko ketidakstabilan Setelah dilakukan
SIKI : Manajemen Hipoglikemi
kadar glukosa darah intervensi keperawatan Obervasi
dibuktikan dengan selama ..... x 24 jam 1. Identifikasi tanda dan gejala hipoglikemia
diabetes melitus dengan maka kestabilan kadar 2. Identifikasi kemungkinan penyebab hipoglikemia
faktor resiko kurang glukosa darah
Terapeutik
terpapar informasi meningkat dengan 1. Berikan kabohidrat sederhana, jika perlu
tentang manajemen Kriteria hasil : 2. Berikan glukagon, jika perlu
diabetes, 1. Kondisi membaik 3. Berikan kabohidrat kompleks dan protein sesuai diet
ketidaktepatan 2. Kadar glukosa darah 4. Pertahankan kepatenan jalan nafas
pemantauan glukosa membaik 5. Pertahankan akses IV jika perlu
darah. 3. Kadar glukosa6. Hubungan layanan medis darurat jika perlu
dalam urine
Edukasi
membaik 1. Anjurkan membawa kabohidrat sederhana setiap saat
4. Keluhan pusing
2. Anjurkan memakai identitas darurat yang tapat
menurun 3. Anjurkan monitor kadar glukosa darah
5. Keluhan lelah
4. Anjurkan berdiskusi dengan tim perawatan diabetes tatang
menurun penyesuaian program, pengobatan
5. Jelaskan interaksi anara diet, insulin/agen oral dan olah raga
6. Ajarkan pengelolaan hipoglikemia
7. Ajarkan peraw3atan mandiri untuk mencegah hipoglikemia
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian deksrose, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian glukagon jika perlu
3. Ketidakstabilan kadar Setelah dilakukan SIKI : Manajemen Hiperglikemi
glukosa darah intervensi keperawatan Observasi
dibuktikan dengan selama ..... x 24 jam 1. Identifikasi kemungkinan penyebab hiperglikemia
diabetes melitus maka kestabilan kadar 2. Identifikasi situasi yang menyebabkan kebutuhan insulin meningkat
dibuktikan dengan glukosa darah (penyakit kambuhan)
gangguan koordinasi, meningkat dengan 3. Monitor kadar glukosa darah
kadar glukosa dalam Kriteria hasil : 4. Monitor tanda gejala hiperglikemia
darah / urin rendah 1. Kondisi membaik 5. Monitor intake dan output cairan
(hipoglikemia) dan 2. Kadar glukosa darah 6. Monitor keton urin, kadar analisa gas darah, elektrolit, Tekanan darah
kadar glukosa dalam membaik ortostatik dan frekuensi nadi
darah / urine tinggin 3. Kadar glukosa Terapeutik
(Hiperglikemi) dalam urine 1. Berikan asupan cairan oral
membaik 2. Konsultasi dengan medis jika tanda gejala tetap ada atau memburuk
4. Keluhan pusing 3. Fasilitas ambulasi jika ada hipotensi ortostatis
menurun Edukasi
5. Keluhan lelah 1. Anjurkan hindari olahraga saat kadar glukosa darah lebih dari 250
menurun mg/dl
2. Anjurkan monitor kadar glukosa darah secara mandiri
3. Anjurkan kepatuhan terhadap diet dan olah raga
4. Anjurkan indikasi dan peningnya pengujian keton urin
5. Ajarkan pengelolaan diabetes
Kolaborasi
1. Kolaborasi Pemberian insulin
2. Kolaborasi pemberian cairan IV
3. Kolaborasi pemberian kalium
4.
DAFTAR PUSTAKA

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan


Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Ratnawati, E. 2017. Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Pustaka
Baru Press.
Sya’diyah, Hidayatus. 2018. Keperawatan Lanjut Usia Teori dan Aplikasi.
Sidoarjo: Indomedia Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai