Anda di halaman 1dari 29

TREND DAN ISSUE TERKAIT MASALAH PADA KASUS KRITIS,

BERBAGAI SISTEM EVIDENCE BASE PRACTICE DALAM


PENATALAKSANAAN MASALAH PADA KASUS KRITIS BERBAGAI
SISTEM

Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Keperawatan Kritis

Disusun Oleh:
KELOMPOK I
ADINDA CAHYA FIRDAUZY (1901110568)
EASTRID ESTER HAYER (1901110569)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KENDEDES MALANG
JL. R PANJI SUROSO NO. 06 MALANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-
Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Trend dan Issue
Keperawatan Kritis” tepatwaktu. Makalah “Trend dan Issue Keperawatan Kritis”
disusun guna memenuhi tugas pada mata kuliah “Keperawatan Kritis” di STIKes
Kendedes Malang. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca tentang “Trend dan Issue Keperawatan Kritis ”

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Ns. Nadhifah


Rahmawati, M.Tr.Kep selaku dosen mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu proses penyusunan makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis
terima demi kesempurnaan makalah ini.

Malang, 20 September 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I...............................................................................................................................
PENDAHULUAN...........................................................................................................
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................
1.3 Tujuan.......................................................................................................................
BAB II..............................................................................................................................
PEMBAHASAN.............................................................................................................
2.1 Pengertian.................................................................................................................
2.2 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Keperawatan Kritis....................................
2.3 Konsep Issue dan Trend..........................................................................................
2.4 Nilai-Nilai dalam Trend dan Isu ............................................................................
2.5 Trend dan Isu dalam Keperawatan Gawat Darurat ...........................................
2.6 Pengertian Evidance Based ....................................................................................
2.7 Tingkatan dan Hirearki dalam Prnerapan EBP...................................................
2.8 EBP dengan Decicion Making.................................................................................
2.9 Model Implementasi EBP........................................................................................
2.10 Pengkajian dan Alat EBP......................................................................................
2.11 Langkah-langkah EBP...........................................................................................
2.12 Pelaksanaan EBP dalam Keperawatan................................................................
2.13 Hambatan Pelaksanaan EBP................................................................................
BAB III............................................................................................................................
PENUTUP.......................................................................................................................
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................
3.2 Saran..........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan gawat darurat tidak hanya memberikan pelayanan untuk
mengatasi kondisi kedaruratan yang di alami pasien tetapi juga memberikan
asukan keperawatan untuk mengatasi kecemasan pasien dan keluarga. sistem
pelayana bersifat darurat sehinggaperawat dan tenaga medis lainnya harus
memiliki kemampuan, keterampilan, tehnik serta ilmu pengetahuan yang tinggi
dalam memberikan pertolongan kedaruratan kepeda pesien.
Berdasarkan pembahasan konsep Evidence Based Practice di atas, dapat
disimpulkan bahwa ada 3 faktor yang seacara garis besar menenentukan
tercapainya pelaksanaan praktek keperawatan yang lebih baik yaitu, penelitian
yang dilakukan berdasarkan fenomena yang terjadi di kaitkan dengan teori yang
telah ada, pengalaman klinis terhadap sustu kasus, dan pengalaman pribadi yang
bersumber dari pasien. Dengan memperhatikan factor-faktor tersebut, maka di
harapkan pelaksanaan pemeberian pelayanan kesehatan khususnya pemberian
asuhan keperawatan dapat di tingkatkan terutama dalam hal peningkatan
pelayanan kesehatan atau keperawatan, pengurangan biaya (cost effective) dan
peningkatan kepuasan pasien atas pelayanan yang diberikan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja Trend dan Issue Keperawatan Kritis?
2. Apa Saja Evidance Based dalam Penatalaksaan Keperawatan Kritis dalam
Berbagai Sistem?

1.3 Tujuan
3. Mengetahui apa saja Trend dan Issue Keperawatan Kritis?
4. Mengetahui apa Saja Evidance Based dalam Penatalaksaan Keperawatan Kritis
dalam Berbagai Sistem?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Trend adalah hal yanag sangat mendasar dalam berbagai pendekatan
analisa, trend juga dapat didefenisikan salah satu gambaran ataupun informasi
yang terjadi pada saat ini yang biasanya sedang populer dimasyarakat.
Isu adalah suatu peristiwa atau kejadian yang dapat diperkirakan terjadi
terjadi atau tidak terjadi pada masa mendatang. Isu adalah sesuatu yang sedang
dibicarakan oleh banyak orang namun masih belum jelas faktanya atau buktinya.
Trend dan isu keperawatan adalah sesuatu yang sedang di bicarakan banyak orang
tentang praktek / mengenai keperawatan baik itu berdasarkan fakta maupun tidak.
Keparawatan gawat darurat adalah pelayanan profesioanal keperawatan
yang di berikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis. Namun UGD dan
klinik kedaruratan sering di gunakan untuk masalah yang tidak urgen. Yang
kemudian filosopi tentang keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan
yaitu apapun yang di alami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan sebagai
kedaruratan.

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Trend Issue Keperawatan Kritis


1. Faktor agama dan adat istiadat.
Agama serta latar belakang adat-istiadat merupakan faktor utama dalam
membuat keputusan etis. Setiap perawat disarankan untuk memahami nilai-nilai
yang diyakini maupun kaidah agama yang dianutnya. Untuk memahami ini
memang diperlukan proses. Semakin tua dan semakin banyak pengalaman
belajar, seseorang akan lebih mengenal siapa dirinya dan nilai-nilai yang
dimilikinya.Indonesia merupakan negara kepulauan yang dihuni oleh penduduk
dengan berbagai agama/kepercayaan dan adat istiadat. Setiap penduduk yang
menjadi warga negara Indonesia harus beragama/berkeyakinan. Ini sesuai
dengan sila pertama Pancasila : Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana di
Indonesia menjadikan aspek ketuhanan sebagai dasar paling utama. Setiap
warga negara diberi kebebasan untuk memilih kepercayaan yang dianutnya.
2. Faktor sosial.
Berbagai faktor sosial berpengaruh terhadap pembuatan keputusan etis. Faktor
ini antara lain meliputi perilaku sosial dan budaya, ilmu pengetahuan dan
teknologi, hukum, dan peraturan perundang-undangan. Perkembangan sosial
dan budaya juga berpengaruh terhadap sistem kesehatan nasional. Pelayanan
kesehatan yang tadinya berorientasi pada program medis lambat laun menjadi
pelayanan komprehensif dengan pendekatan tim kesehatan.

3. Faktor ilmu pengetahuan dan tekhnologi.


Pada era abad 20 ini, manusia telah berhasil mencapai tingkat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang belum dicapai manusia pada abad sebelumnya.
Kemajuan yang telah dicapai meliputi berbagai bidang. Kemajuan di bidang
kesehatan telah mampu meningkatkan kualitas hidup serta memperpanjang usia
manusia dengan ditemukannya berbagai mesin mekanik kesehatan, cara
prosedur baru dan bahan-bahan/obat-obatan baru. Misalnya pasien dengan
gangguan ginjal dapat diperpanjang usianya berkat adanya mesin hemodialisa.
Ibu-ibu yang mengalami kesulitan hamil dapat diganti dengan berbagai
inseminasi. Kemajuan-kemajuan ini menimbulkan pertanyaanpertanyaan yang
berhubungan dengan etika.

4.Faktor legislasi dan keputusan juridis.


Perubahan sosial dan legislasi secara konstan saling berkaitan. Setiap perubahan
sosial atau legislasi menyebabkan timbulnya tindakan yang merupakan reaksi
perubahan tersebut. Legislasi merupakan jaminan tindakan menurut hukum
sehingga orang yang bertindak tidak sesuai hukum dapat menimbulkan konflik.
Saat ini aspek legislasi dan bentuk keputusan juridis bagi permasalahan etika
kesehatan sedang menjadi topik yang banyak dibicarakan. Hukum kesehatan
telah menjadi suatu bidang ilmu, dan perundang-undangan baru banyak disusun
untuk menyempurnakan perundang-undangan lama atau untuk mengantisipasi
perkembangan permasalahan hukum kesehatan.
5. Faktor dana/keuangan.
Dana/keuangan untuk membiayai pengobatan dan perawatan dapat
menimbulkan konflik. Untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat,
pemerintah telah banyak berupaya dengan mengadakan berbagai program yang
dibiayai pemerintah.

6. Faktor pekerjaan.
Perawat perlu mempertimbangkan posisi pekerjaannya dalam pembuatan suatu
keputusan. Tidak semua keputusan pribadi perawat dapat dilaksanakan, namun
harus diselesaikan dengan keputusan/aturan tempat ia bekerja. Perawat yang
mengutamakan kepentingan pribadi sering mendapat sorotan sebagai perawat
pembangkang. Sebagai konsekuensinya, ia mendapatkan sanksi administrasi
atau mungkin kehilangan pekerjaan.

7. Faktor Kode etik keperawatan.


Kelly (1987), dikutip oleh Robert Priharjo, menyatakan bahwa kode etik
merupakan salah satu ciri/persyaratan profesi yang memberikan arti penting
dalam penentuan, pertahanan dan peningkatan standar profesi. Kode etik
menunjukkan bahwa tanggung jawab kepercayaan dari masyarakat telah
diterima oleh profesi. Untuk dapat mengambil keputusan dan tindakan yang
tepat terhadap masalah yang menyangkut etika, perawat harus banyak berlatih
mencoba menganalisis permasalahan-permasalahan etis.

8. Faktor Hak-hak pasien.


Hak-hak pasien pada dasarnya merupakan bagian dari konsep hak-hak manusia.
Hak merupakan suatu tuntutan rasional yang berasal dari interpretasi
konsekuensi dan kepraktisan suatu situasi. Pernyataan hak-hak pasien
cenderung meliputi hak-hak warga negara, hak-hak hukum dan hak-hak moral.
Hak-hak pasien yang secara luas dikenal menurut Megan (1998) meliputi hak
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang adil dan berkualitas, hak untuk
diberi informasi, hak untuk dilibatkan dalam pembuatan keputusan tentang
pengobatan dan perawatan, hak untuk diberi informed concent, hak untuk
mengetahui nama dan status tenaga kesehatan yang menolong, hak untuk
mempunyai pendapat kedua(secand opini), hak untuk diperlakukan dengan
hormat, hak untuk konfidensialitas (termasuk privacy), hak untuk kompensasi
terhadap cedera yang tidak legal dan hak untuk mempertahankan dignitas
(kemuliaan) termasuk menghadapi kematian dengan bangga.

2.3 Konsep Isu dan Trend


1. Mengahargai keyakinan klien menurut budayanya
Perawat harus bisa menghargai keyakinan klien tetapi tetap melaksanakan
tindakan untuk perawatan klien dengan mengganti dengan alternative lain.
Misalnya klien yang tidak mengkonsumsi obatobatan kimia, berpikir kritis
dengan mengganti dengan obat herbal yang telah terbukti pengobatannya.
misalnya di budaya Jawa, Brotowali sebagai obat untuk menghilangkan rasa nyeri
2. Menghentikan kebiasaan buruk
Apabila klien mempunyai kebiasaan merokok pada saat setelah makan, maka
perawat harus dapat melarang kebiasaan tersebut. Karena dapat membahayakan
klien dan terapi penyembuhan dapat mengalami kegagalan. Contoh lain,
kebiasaan bagi orang jawa yakni jika ada salah satu pihak keluarga atau sanak
saudara yang sakit, maka untuk menjenguknya biasanya mereka mengumpulkan
dulu semua saudaranya dan bersama – sama mengunjungi saudaranya yang sakit
tersebut. Karena dalam budaya Jawa dikenal prinsip “ mangan ora mangan , seng
penting kumpul.
3. Mengganti kebiasaan pengobatan yang buruk
Bagi masyarakat Jawa dukun adalah yang pandai atau ahli dalam mengobati
penyakit melalui “Japa Mantera“, yakni doa yang diberikan oleh dukun kepada
pasien. Misalnya dukun pijat/tulang (sangkal putung) khusus menangani orang
yang sakit terkilir , patah tulang , jatuh atau salah urat.

2.4 Nilai-Nilai dalam Trend dan Isu


1. Nilai intelektual
Nilai intelektual dalam prtaktik keperawatan terdiri dari
a. Body of Knowledge
b. Pendidikan spesialisasi (berkelanjutan)
c. Menggunakan pengetahuan dalam berpikir secara kritis dan kreatif.
2. Nilai komitmen moral
Pelayanan keperawatan diberikan dengan konsep altruistic, dan memperhatikan
kode etik keperawatan. Menurut Beauchamp & Walters (1989) pelayanan
professional terhadap masyarakat memerlukan integritas, komitmen moral dan
tanggung jawab etik.

3. Otonomi, kendali dan tanggung gugat.


Otonomi merupakan kebebasan dan kewenangan untuk melakukan tindakan
secara mandiri. Hak otonomi merujuk kepada pengendalian kehidupan diri
sendiri yang berarti bahwa perawat memiliki kendali terhadap fungsi mereka.
Otonomi melibatkan kemandirian, kesedian mengambil resiko dan tanggung
jawab serta tanggung gugat terhadap tindakannya sendiribegitupula sebagai
pengatur dan penentu diri sendiri.

2.5 Trend dan Isu dalam Keperawatan Gawat Darurat


1. CPR / RJP
Resusitasi jantung paru-paru atau CPR adalah tindakan pertolongan pertama pada
orang yang mengalami henti napas karena sebab-sebab tertentu. CPR bertujuan
untuk membuka kembali jalan napas yang menyempit atau tertutup sama sekali.
CPR sangat dibutuhkan bagi orang tenggelam, terkena serangan jantung, sesak
napas, karena syok akibat kecelakaan, terjatuh, dan sebagainya. Namun yang
perlu diperhatikan khusus untuk korban pingsan karena kecelakaan, tidak boleh
langsung dipindahkan karena dikhawatirkan ada tulang yang patah. Biarkan di
tempatnya sampai petugas medis datang. Berbeda dengan korban orang
tenggelam dan serangan jantung yang harus segera dilakukan CPR.
Chain of survival merupakan suatu serial tindakan yang harus dilakukan pada
pasien yang mengalami henti jantung. Chain of survival terdiri dari lima
unsur,yakni: pengenalan dini henti jantung, pemberian CPR secara dini,
pemberian defibrilator sesegera mungkin, penatalaksanaan ALS (Advance Life
Support), dan perawatan pasca henti jantung. Rantai kehidupan (chain survival)
terdiri dari beberapa tahap berikut ini (AHA, 2010):
a. Mengenali sedini mungkin tanda-tanda cardiac arrest dan segera
mengaktifkan
b. panggilan gawat darurat (Emergency Medical Services)c. Segera
melakukan RJP dengan tindakan utama kompresi dada
d. Segera melakukan defibrilasi jika ada indikasi
e. Segera memberi bantuan hidup lanjutan (advanced life support)
f. Melakukan perawatan post cardiac arrest

a. Indikasi
1). Pasien henti nafas
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran
udara pernafasan dari korban atau pasien. Henti nafas merupakan
kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar. Henti
nafas terjadi dalam keadaan seperti: Tenggelam atau lemas, stroke,
obstruksi jalan nafas, epiglotitis, overdosis obat-obat, tersengat
listrik, infark miokard, tersambar petir, koma akibat berbagai macam
kasus.
2). Pasien henti jantung
Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti
sirkulasi. Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak
dan organ vital kekurangan oksigen. Pernafasan yang terganggu
merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung. Henti jantung
ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba disertai kebiruan atau
pucat, pernafasan berhenti atau satu-satu, dilatasi pupil tak bereaksi
terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar (Suharsono, T., &
Ningsih, D. K., 2008).
3). Alur Basic Life Support
a. Tahapan persiapan
Sebelum melakukan resusitasi maka harus dilakukan beberapa
prosedur berikut pada pasien (AHA, 2010):
1). Memastikan kondisi lingkungan sekitar aman bagi penolong
2). Memastikan kondisi kesadaran pasien
Penolong harus segera mengkaji dan menentukan apakah korban
sadar/tidak. Penolong harus menepuk atau menggoyang bahu
korban sambil bertanya dengan jelas: ‘Hallo, Pak/ Bu! Apakah
anda baik-baik saja?’.Jangan menggoyang korban dengan kasar
karena dapat mengakibatkan cedera. Juga hindari gerakan leher
yang tidak perlu pada kejadian cedera kepala dan leher.
3). Mengaktifkan panggilan gawat darurat
Jika korban tidak berespon, segera panggil bantuan. Jika ada
orang lain disekitar korban, minta orang tersebut untuk menelpon
ambulans dan ketika menelpon memberitahukan hal-hal berikut:
a). Lokasi korban
b). Apa yang terjadi pada korban
c). Jumlah korban
d). Minta ambulans segera datang
4). Memastikan posisi pasien tepat
Agar resusitasi yang diberikan efektif maka korban harus
berbaring pada permukaan yang datar, keras, dan stabil. Jika
korban dalam posisi tengkurap atau menyamping, maka balikkan
tubuhnya agar terlentang. Pastikan leher dan kepala tersangga
dengan baik dan bergerak bersamaan selam membalik pasien.
b. Fase-fase RJP (Resusitasi Jantung Paru) Sesuai Algoritma AHA
2010
1). Basic life support (BLS) atau tunjangan hidup dasar
Pada tahun 2010, American Heart Association (AHA) mengeluarkan
panduan terbaru penatalaksanaan CPR. Berbeda dengan panduan
sebelumnya, pada panduan terbaru ini AHA mengubah algoritma CPR
dari ABC menjadi CAB.
2. Circulation (C)
Mengkaji nadi/ tanda sirkulasi Ada tidaknya denyut jantung
korban/pasien dapat ditentukan dengan meraba arteri karotis di daerah
leher korban/ pasien, dengan dua atau tiga jari tangan (jari telunjuk dan
tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher sehingga teraba
trakhea, kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri
kirakira 1–2 cm raba dengan lembut selama 5–10 detik. Jika teraba
denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban
dengan melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk
menilai pernapasan korban/ pasien. Jika tidak bernapas lakukan
bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan napas.
Melakukan kompresi dada Jika telah dipastikan tidak ada denyut
jantung luar,dilakukan dengan teknik sebagai berikut :
a). Menentukan titik kompresi (center of chest)
Cari possesus xypoideus pada sternum dengan tangan kanan,
letakkan telapak tangan kiri tepat 2 jari diatas posseus xypoideus.
b). Melakukan kompresi dada
Kaitkan kedua jari tangan pada lokasi kompresi dada, luruskan
kedua siku dan pastikan mereka terkunci pada posisinya, posisikan
bahu tegak lurus diatas dada korban dan gunakan berat badan anda
untuk menekan dada korban sedalam minimal 2 inchi (5 cm),
lakukan kompresi 30x dengan kecepatan minimal 100x/menit atau
sekitar 18 detik. (1 siklus terdiri dari 30 kompresi: 2 ventilasi).
Lanjutkan sampai 5 siklus CPR, kemudian periksa nadi carotis, bila
nadi belum ada lanjutkan CPR 5 siklus lagi. Bila nadi teraba, lihat
pernafasan (bila belum ada upaya nafas) lakukan rescue breathing
dan check nadi tiap 2 menit.
3). Airway (A)
Tindakan ini bertujuan mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan
napas oleh benda asing. Buka jalan nafas dengan head tilt-chin lift/
jaw thrust. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau
sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau
jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain (fingers weep),
sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan
menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat
dibuka dengan teknik Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan
berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban.
4). Breathing (B)
Bantuan napas dapat dilakukkan melalui mulut ke mulut, mulut ke
hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan)
dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali
hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan
adalah 1,5–2 detik dan volume udara yang dihembuskan adalah
7000–1000ml (10ml/kg) atau sampai dada korban/pasien terlihat
mengembang. Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan
menghembuskan napas agar tercapai volume udara yang cukup.
Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16 – 17%.
Penolong juga harus memperhatikan respon dari korban/pasien
setelah diberikan bantuan napas.

2. Trauma dada
Trauma dada adalah trauma tajam atau tembus thoraks yang dapat
menyebabkan tamponade jantung, perdarahan, pneumothoraks,
hematothoraks, hematopneumothoraks. Trauma thorax adalah semua ruda
paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau
tumpul.Di dalam toraks terdapat dua organ yang sangat vital bagi kehidupan
manusia, yaitu paru-paru dan jantung. Paru-paru sebagai alat pernapasan dan
jantung sebagai alat pemompa darah. Jika terjadi benturan atau trauma pada
dada, kedua organ tersebut bisa mengalami gangguan atau bahkan kerusakan.
Dada merupakan rongga bertulang yang terbentuk dari 12 pasang tulang
rusuk yang berhubungan dengan tulang belakang di posterior dan tulang dada
di anterior. Saraf dan pembuluh darah intercostals berjalan sepanjang
permukaan inferior pada setiap tulang rusuk. Permukaan dalam rongga dada
dan paru dilapisi selaput tipis, disebut pleura. Ruang antara dua lapisan pleura
normalnya hampa (ruang potensial), bila ruangan ini berisi udara akan
menimbulkan pneumothorax, bila berisi darah akan menimbulkan
hemothorax. Pada orang dewasa, ruangan potensial ini dapat menampung 3
liter cairan disetiap sisinya. Setiap paru menempati sebelah rongga dada. Di
antara 2 rongga dada terletak mediastinum, yang berisi oleh jantung, aorta,
vena kava superior dan inferior, trakea, bronkus utama dan esophagus.
Medulla spinalis dilindungi oleh columna vertebralis. Diafragma memisahkan
organ-organ thorax dari rongga abdomen. Organ perut bagian atas seperti
limpa, hati, ginjal, pancreas dan lambung dilindungi tulang rusuk bagian
bawah. Bila melakukan evaluasi korban dengan kemungkinan trauma thorax,
harus selalu mengikuti penilaian prioritas secara BTLS untuk menghindari
terlewatkannya kondisi yang mengancam jiwa. Selama survey primer BTLS,
carilah cedera yang paling parah terlebih dahulu untuk memberikan
kesempatan hidup pada korban tersebut . Seperti semua penderita trauma
lainnya, mekanisme trauma penting diketahui untuk penanganan penderita
trauma dada. Cedera dada meungkin merupakan akibat dari trauma tumpul
atau trauma tajam. Pada trauma tumpul energy yang didistribusikan meliputi
area yang luas dan cedera visceral dapat disebabkan karena deselerasi,
robekan, kompresi atau ledakan. Luka penetrasi biasanya berasal dari
tembakan atau tusukan, energy yang didistribusikan meliputi area yang lebih
sempit. Terjangan peluru sering sulit diperkirakan akibatnya, dan semua yang
berada di dalam dada beresikoterkena. Hasil akhir yang paling sering terjadi
pada cedera dada adalah hipoksia jaringan. Hipoksia jaringan dapat terjadi
akibat :
1). Pengiriman oksigen ke jaringan yang tidak adekuat akibat sekunder
dari obstruksi jalan nafas
2). Hipovolemia akibat perdarahan
3). Ventilasi atau perfusi yang tidak sesuai akibat cedera parenkim paru
4). Perubahan tekanan pleura akibat tension pneumothorax
5). Kegagalan pompa jantung akibat cedera miokardium beratGejala
utama cedera dada meliputi nafas pendek, nyeri dada dan distress
respirasi.

Tanda yang menunjukkan trauma thorax termasuk : syok, batuk darah,


sianosis, dinding dada memar, flail chest, luka terbuka, distensi vena leher,
deviasi trachea atau emfisema subkutis. Periksa suara nafas di dada kiri dan
kanan. Trauma thorax yang mengancam jiwa harus segera diidentifikasi.
Terdapat 12 keadaan gawat darurat trauma thorax. Cedera-cedera berikut ini
harus dideteksi dan diterapi selama survei primer BTLS :
1) Obstruksi jalan nafas
2) Pneumothorax terbuka
3) Tension pneumothorax
4) Hemotorax massif
5) Flail chest
6) Tamponade jantung

Cedera yang mengancam nyawa yang dapat dideteksi selama pemeriksaan


detil atau evaluasi di rumah sakit (secondary survey) adalah sebagai berikut:
1) Ruptur aorta traumatic
2) Cedera trakea atau cabang bronkus
3) Contusio miokardium
4) Robekan diafragma
5) Cedera esophagus
6) Contusio pulmonum

Masalah - Masalah Pada Trauma Thorax


1). Obstruksi Jalan Nafas
Dalam menangani jalan nafas, harus selalu beranggapan terdapat pula
cedera tulang servikal.
2). Open Pneumothorax (Pneumothorak Terbuka)
Keadaan ini seing disebabkan oleh cedera tajam, berupa luka dada yang
menghisap (sucking chest wound). Gejala dan tanda yang timbul sesuai
dengan ukuran kerusakan pada dinding dada. Ventilasi normal
melibatkan tekanan negatif rongga dada akibat kontraksi diafragma. Saat
udara melalui saluran nafas atas, paru akan berkembang. Adanya luka
terbuka yang besar pada dinding dada (lebih besar dari trakea kira-kira
seukuran jari kelingking penderita), aliran udara melalui dinding dada
yang terbuka ini menyebabkan bunyi menghisap, sehingga disebut luka
dada yang menghisap. Udara hanya akan mengalir masuk ke rongga
pleura, tidak ke paru, sehingga oksigen tidak dapat didistribusikan ke
darah, yang selanjutnya akan berakibat hipoksia dan gannguan ventilasi.
3). Penatalaksanaan open pneumothoraks
a). Pastikan jalan nafas terbuka
b).Tutup lobang pada dinding dada dengan material yang masih
tersedia,misalnya pada defibrillator, pembalut bervaselin, sarung
tangan karet, atau lembaran plastik. Penutupan yang dapat beresiko
menimbulkan tension pneumothorax . Untuk menghindari hal
ini,plester 3 sisi penutup lobang dada supaya tercipta semacam katup,
udara dapat keluar tapi tidak dapat masuk rongga dada
c). Beri oksigen
d). Pasang monitor jantung, bila ada
e). Monitor saturasi oksigen dengan pulse oximeter
f). Rujuk dengan cepat ke rumah sakit yang tepat
Sekarang tersedia penutup luka dada (Asherman Chest Seal) dengan
katup satu arah yang saat ini merupakan benda terbaik untuk
menutup luka dada terbuka. Pasang segera chest tube dan diikuti
dengan operasi untuk menutup lobang tadi.

4) Tension Pneumothorax
Cedera ini terjadi bilamana terbentuk katup satu arah akibat trauma
tumpul maupun tajam. Udara dapat masuk tetapi tidak dapat keluar
dari rongga pleura,selanjutnya akan menyebabkan peningkatan
tekanan intratoracal sehingga paru yang terkena kolaps dan
mediastinum akan terdorong kesisi berlawanan. Tekanan ini akan
menyebabkan vena cava superior dan inferior kolaps sehingga
venous return (aliran balik vena) akan turun sampai hilang. Deviasi
trachea dan mediastinum menjauhi sisi yang mengalami tension
pneumothorax, akan mengganggu ventilasi paru lainnya, meskipun
hal ini merupakan fenomena lanjut. Tanda-tanda klinis tension
pneumothorax termasuk dispneu,kecemasan , takipneu, suara nafas
menurun, pada perkusi terdengar hipersonor di sisi yang terkena
hipotensidan distensi vena leher. Deviasi trachea dijumpai pada fase
lanjut (dan jarang) tapi bila tidak dijumpai tidak berarti bukan tension
pneumothorax. Pada 108 penderita tension pneumothorax dan
membutuhkan dekompresi dengan jarum tidak dijumpai adanya
deviasi trachea. Penurunan daya pegas/compliance paru (ditandai
dengan terasa berat saat meremas balon alat bag valve) sudah harus
dicurigai kemungkinan terjadinya tension pneumothorax.
Penatalaksanaan tension pneumothorax
a). Pastikan jalan nafas terbuka
b). Beri Oksigen konsentrasi tinggi
c). Monitor saturasi oksigen dengan pulse oksimeter
d). Segera rujuk ke rumah sakit yang tepat
e). Hubungi tempat tujuan pelayanan medis
Penderita harus dirujuk kerumah sakit dengan cepat sehingga
dapat dilakukan dekompresi dada. Chest tube juga perlu
disediakan sesampainya di rumah sakit.
5). Hemothorax Masif
Terdapat darah di dalam cavum pleura disebut hemothorax.
Hemothorax massif terjadi bila sekurang-kurangnya 1500 ml darah
terkumpul di cavum pleura. Setiap rongga dada dapat menampung
kurang lebih 3000 ml darah. Hemothorax massif lebih sering
disebabkan oleh trauma oleh trauma tajam dibandingkan trauma
tumpul, tapi kedua jenis trauma tersebut dapat merusak pembuluh
darah besar paru atau sistemik. Ketika darah terkumpul di cavum
pleura, paru pada daerah yang cedera akan kolaps. Bila darah yang
terkumpul cukup banyak (jarang), mediastinum akan terdorong ke
sisi yang berlawanan. Vena cava superior dan inferior, serta paru
kontralateral akan terkompresi. Kehilangan darah selanjutnya akan
berakibat hipoksemia.Tanda dan gejala hemothorax massif
disebabkan oleh hipovolemia dan gangguan respirasi. Penderita dapat
mengalami hipotensi akibat kehilangan darah, kompresi jantung dan
pembuluh darah besar. Gelisah dan kebingungan disebabkan oleh
hipovolemia dan hipoksemia. Tanda klinis syok hipovolemi mungkin
sudah terlihat pembuluh vena leher biasanya kempis akibat sekunder
dari hipovolemia, tapi kadang juga bias distensi akibat kompresi
mediastinum. Tnada lain berupa suara nafas yang menurun dan pada
perkusi timbul suara pekak disisi paru yang terkena.
 Penatalaksanaan Hemothorax
a). Pastikan jalan nafas terbuka
b). Beri oksigen aliran tinggi
c). Segera rujuk ke rumah sakit yang tepat
d). Monitor saturasi oksigen dengan pulse oksimeter
e). Hubungi tempat tujuan pelayanan medis

6). Flail Chest


Hal ini terjadi bila tiga atau lebih tulang rusuk yang berdekatan patah,
sekurang kurangnya pada dua tempat terpisah. Segmen patahan ini
tidak terhubung lagi dengan dinding dada. Dapat terjadi lateral atau
anterior (terpisah dari sternum) flail chest. Pada patah tulang rusuk
posterior, susunan otot-otot yang padat mencegah terjadinya flail
chest. Flail segmen bergerak paradoksal dengan sisa dinding dada.
Kekuatan yang mengakibatkan flail chest juga akan mencederai paru,
dan memar paruyang timbul akan memperberat hipoksia. Pasien juga
beresiko menderita hemothorax atau pneumothorax. Flail segmen
yang besar akan menimbulkan distress nafas yang nyata. Nyeri pada
cedera dinding dada memperberat gangguan nafas yang nyata. Nyeri
pada cedera dinding dada memperberat gangguan pernafasan yang
telah ada akibat gerakan paradoksal dan memar paru. Palpasi dada
akan teraba krepitasi sebagai tambahan gerakan nafas abnormal.
 Penatalaksanaan flail chest
a. Pastikan jalan nafas terbuka
b. Beri oksigen
c. Bantu ventilasi bila perlu, harus diingat bahwa flail chest
sering diikuti pneumothorax
d. Monitor saturasi oksigen dengan pulse oksimeter
e. Segera rujuk ke rumah sakit yang tepat
f. Stabilisasi flail segmen dengan tekanan tangan, beri kain
bersih lalu plester. Tindakan ini tidak perlu terburu-buru
dilakukan sebaiknya menunggu sampai penderita stabil di
atas backboard. Usahakan menjaga stabilisasi pada segmen
flail dengan tekanan manual selama melakukan roll.
g. Hubungi tempat tujuan pelayanan medis
h. Pasang monitor jantung bila alat tersedia, karena trauma
miokardium ini juga sering menyertai cedera ini.

7). Tamponade Jantung


Keadaan ini sering terjadi pada trauma tajam.Selaput pericardium
merupakan membran yang tidak elastis yang mengelilingi jantung.
Bila terjadi penumpukan darah pada rongga pericardium, ventrikel
akan tertekan. Meskipun dalam jumlah sedikit ,darah dalam rongga
pericardium akan mengganggu pengisian jantung. Pada saat tekanan
kompresi pada ventrikel meningkat, pengisian darah ke jantung akan
turun sehingga cardia output menurun. Trias klasik tamponade
jantung adalah hipotensi, distensi vena leher, suara jantung
terendam/menjauh/muffle (trias beck). Suara jantung menjauh
mungkin sulit dikenali dilapangan, namun bila anda mendengarkan
suara jantung saat survey primer adan akan memperhatikan
perubahnnya kemudian. Bila nadi korban pada saat inspirasi
menghilang (pulsus paradoksus), mungkin korban tersebut
mengalami tamponade jantung. Diagnosis banding utama adalah
tension pneumothorax. Pada tamponade jantung, pasien dalam
keadaan syok dengan posisi trachea ditengah dan bunyi/suara nafas
di paru kiri-kanan sama keras kecuali bila tamponade jantung disertai
pneumothorax atau hemothorax.
 Penatalaksanaan tamponade jantung
a). Pastikan jalan terbuka dan beri oksigen
b). Tamponade jantung akan cepat berubah menjadi fatal
dan tidak dapat ditangani dilapangan , maka segera rujuk
ke rumah sakit yang tepat.
c). Hubungi tempat tujuan pelayanan medis
d). Monitor saturasi oksigen dengan pulse oksimeter
e). Monitor jantung bila alat tersedia

8). Ruptur Aorta Traumatik


Merupakan penyebab kematian cepat tersering dari kecelakaan
kendaraan motor atau jatuh dari suatu ketinggian. 90 % penderita
meninggal dengan segera. Diagnosa dini dan pembedahan dapat
menyelamatkan nyawa. Robekan aorta torakalis biasanya akibat dari
cedera deselerasi dengan jantung dan arcus aorta yang tiba-tiba
bergerak ke anterior (benturan ke 3), merobek aorta yang sebelumnya
berikatan ligamentum arteriosum . Pada 10% kasus tidak langsung
tampak perdarahan yang nyata, robekan aorta ini tertutup jaringan
sekitarnya dan lapisan adventitia. Tetapi ini hanya sementara dan
tetap akan rupture dalam beberapa jam bila tidak dilakukan
pembedahan. Diagnosa ruptur aorta traumatic sulit ditegakkan
dilapangan , bahkan di rumah sakit juga sering terlewatkan.
Riwayat/mekanisme kecelakaan merupakan hal yang sangat
penting,karena pada banyak penderita tidak dijumpai tanda-tanda
trauma thorax yang nyata. Informasi seberapa parah mobil, kerusakan
kemudi dengan cedera deseleerasi atau ketinggian berapa penderita
jatuh sangat penting. Pada keadaan yang sangat jarang , mungkin
didapatkan hipertensi anggota gerak atas dan pulsasi yang berkurang
pada tungkai bawah.
Penatalaksanaan
a). Pastikan jalan nafas terbuka
b). Beri Oksigen
c). Segera rujuk ke rumah sakit yang tepat
d). Hubungi tempat tujuan pelayanan medis
e). Monitor saturasi oksigen dengan pulse oximeter
f). Monitor jantung bila tersedia

2.6 Pengertian Avidence Based Practice


EBP merupakan suatu pendekatan pemecahan masalah untuk pengambilan
keputusan dalam organisasi pelayanan kesehatan yang terintegrasi di dalamnya
adalah ilmu pengetahuan atau teori yang ada dengan pengalaman dan bukti-bukti
nyata yang baik (pasien dan praktisi). EBP dapat dipengaruh oleh faktor internal
dan external serta memaksa untuk berpikir kritis dalam penerapan pelayanan
secara bijaksana terhadadap pelayanan pasien individu, kelompok atau system
(newhouse, dearholt, poe, pough, & white, 2005).
Clinical Based Evidence atau Evidence Based Practice (EBP) adalah
tindakan yang teliti dan bertanggung jawab dengan menggunakan bukti (berbasis
bukti) yang berhubungan dengan keahlian klinis dan nilai-nilai pasien untuk
menuntun pengambilan keputusan dalam proses perawatan (Titler, 2008). EBP
merupakan salah satu perkembangan yang penting pada dekade ini untuk
membantu sebuah profesi, termasuk kedokteran, keperawatan, sosial, psikologi,
public health, konseling dan profesi kesehatan dan sosial lainnya (Briggs &
Rzepnicki, 2004; Brownson et al., 2002; Sackett et al., 2000).
EBP menyebabkan terjadinya perubahan besar pada literatur, merupakan
proses yang panjang dan merupakan aplikasi berdasarkan fakta terbaik untuk
pengembangan dan peningkatan pada praktek lapangan. Pencetus dalam
penggunaan fakta menjadi pedoman pelaksanaan praktek dalam memutuskan
untuk mengintegrasikan keahlian klinikal individu dengan fakta yang terbaik
berdasarkan penelitian sistematik.
Beberapa ahli telah mendefinisikan EBP dalam keperawatan sebagai :
1. Penggabungan bukti yang diperoleh dari hasil penelitian dan praktek
klinis ditambah dengan pilihan dari pasien ke dalam keputusan klinis
(Mulhall, 1998).
2. Penggunaan teori dan informasi yang diperoleh berdasarkan hasil
penelitian secara teliti, jelas dan bijaksana dalam pembuatan keputusan
tentang pemberian asuhan keperawatan pada individu atau sekelompok
pasien dan dengan mempertimbangkan kebutuhan dan pilihan dari
pasien tersebut (Ingersoll G, 2000).

2.7 Tingkatan dan Hierarki dalam penerapan EBP


Tingkatan evidence disebut juga dengan hierarchy evidence yang
digunakan untuk mengukur kekuatan suatu evidence dari rentang bukti terbaik
sampaidengan bukti yang paling rendah. Tingkatan evidence ini digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam EBP.
Hirarki untuk tingkatan evidence yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan
Penelitian dan Kualitas (AHRQ), sering digunakan dalam keperawatan (Titler,
2010). Adapun level of evidence tersebut adalah sebagai berikut :Hierarki dalam
penelitian ilmiah terdapat hieraraki dari tingkat kepercayaannya yang paling
rendah hingga yang paling tingi. Dibawah ini mulai dari yang paling rendah
hingga yang paling tinggi :
- Laporan fenomena atau kejadian-kejadian yang kita temuai sehari-hari
- Studi kasus
- Studi lapangan atau laporan deskriptif
- Studi percobaan tanpa penggunaan tekhnik pengambilan sampel secara acak
(random)
- Studi percobaan yang menggunakan setidaknya ada satu kelompok
pembanding, dan menggunakan sampel secara acak
- Systemic reviews untuk kelompok bijak bestari atau metaanalisa yaitu
pengkajian berbagai penelitian yang ada dengan tingkat kepercayaan yang
tinggi.
2.8 Evidence Based Practice dengan Decision Making
Melnyk & Fineout-Overholt (2011), menggambarkan keterkaitan antara
evidence based practice dengan proses decision making yang digambarkan dalam
kerangka sebagai berikut :Pengambilan keputusan untuk melakukan perubahan
berdasarkan bukti-bukti nyata atau EBP di pengaruhi oleh tiga factor yaitu, hasil
penelitian atau riset termasuk teori-teori pendukung, pengalaman yang bersifat
klinis, serta feedback atau sumber-sumber dari pengalaman yang dialami oleh
pasien.

2.9 Model Implmentasi Evidence Based Practice


1) Model Settler
Merupakan seperangkat perlengkapan/media penelitian untuk meningkatkan
penerapan Evidence based. 5 langkah dalam Model Settler:
Fase 1 : Persiapan
Fase 2 : Validasi
Fase 3 : Perbandingan evaluasi dan pengambilan keputusan
Fase 4 : Translasi dan aplikasi
Fase 5 : Evaluasi
2) Model IOWA Model of Evidence Based Practice to Promote Quality Care
Model EBP IOWA dikembangkan oleh Marita G. Titler, PhD, RN, FAAN,
Model IOWA diawali dari pemicu/masalah. Pemicu/masalah ini sebagai focus
ataupun focus masalah. Jika masalah mengenai prioritas dari suatu organisasi,
tim segera dibentuk. Tim terdiri dari stakeholders, klinisian, staf perawat, dan
tenaga kesehatan lain yang dirasakan penting untuk dilibatkan dalam EBP.
Langkah selanjutkan adalah mensistesis EBP. Perubahan terjadi dan dilakukan
jika terdapat cukup bukti yang mendukung untuk terjadinya perubahan .
kemudian dilakukan evaluasi dan diikuti dengan diseminasi (Jones & Bartlett,
2004; Bernadette Mazurek Melnyk, 2011).
3) Model konseptual Rosswurm & LarrabeeModel ini disebut juga dengan model
Evidence Based Practice
Change yang terdiri dari 6 langkah yaitu :
Tahap 1 :mengkaji kebutuhan untuk perubahan praktis
Tahap 2 : tentukkan evidence terbaik
Tahap 3 : kritikal analisis evidence
Tahap 4 : design perubahan dalam praktek
Tahap 5 : implementasi dan evaluasi perunbahan
Tahap 6 : integrasikan dan maintain perubahan dalam praktek
Model ini menjelaskan bahwa penerapan Evidence Based Nursing ke lahan
paktek harus memperhatikan latar belakang teori yang ada, kevalidan dan
kereliabilitasan metode yang digunakan, serta penggunaan nomenklatur yang
standar.

2.10 Pengkajian dan Alat dalam EBP


Terdapat beberapa kemampuan dasar yang harus dimiliki tenaga kesehatan
professional untuk dapat menerapkan praktek klinis berbasis bukti, yaitu :
1) Mengindentifikasi gap/kesenjangan antara teori dan praktek
2) Memformulasikan pertanyaan klinis yang relevan,
3) Melakukan pencarian literature yang efisien,
4) Mengaplikasikan peran dari bukti, termasuk tingkatan/hierarki dari bukti
tersebut untuk menentukan tingkat validitasnya
5) Mengaplikasikan temuan literature pada masalah pasien, dan
6) Mengerti dan memahami keterkaitan antara nilai dan budaya pasien dapat
mempengaruhi keseimbangan antara potensial keuntungan dan kerugian dari
pilihan manajemen/terapi (Jette et al., 2003).

2.11 Langkah-langkah dalam EBP


1) Langkah 1: Kembangkan semangat penelitian.
Sebelum memulai dalam tahapan yang sebenarnya didalam EBP, harus
ditumbuhkan semangat dalam penelitian sehingga klinikan akan lebih nyaman
dan tertarik mengenai pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan perawatan pasien
2) Langkah 2: Ajukan pertanyaan klinis dalam format PICOT.
Pertanyaan klinis dalam format PICOT untuk menghasilkan evidence yang lebih
baik dan relevan.
a) Populasi pasien (P),
b) Intervensi (I),
c) Perbandingan intervensi atau kelompok (C),
d) Hasil / Outcome (O), dan
e) Waktu / Time (T).
Format PICOT menyediakan kerangka kerja yang efisien untuk mencari
database elektronik, yang dirancang untuk mengambil hanya artikel-artikel
yang relevan dengan pertanyaan klinis. Menggunakan skenario kasus pada
waktu respon cepat sebagai contoh, cara untuk membingkai pertanyaan
tentang apakah penggunaan waktu tersebut akan menghasilkan hasil yang
positif akan menjadi: "Di rumah sakit perawatan akut (populasi pasien),
bagaimana memiliki time respon cepat (intervensi) dibandingkan dengan
tidak memiliki time respon cepat (perbandingan) mempengaruhi jumlah
serangan jantung (hasil) selama periode tiga bulan (waktu)? "

3) Langkah 3: Cari bukti terbaik.


Mencari bukti untuk menginformasikan praktek klinis adalah sangat efisien
ketika pertanyaan diminta dalam format PICOT. Jika perawat dalam skenario
respon cepat itu hanya mengetik "Apa dampak dari memiliki time respon
cepat?" ke dalam kolom pencarian dari database, hasilnya akan menjadi
ratusan abstrak, sebagian besar dari mereka tidak relevan. Menggunakan
format PICOT membantu untuk mengidentifikasi kata kunci atau frase yang
ketika masuk berturut-turut dan kemudian digabungkan, memperlancar lokasi
artikel yang relevan dalam database penelitian besar seperti MEDLINE atau
CINAHL. Untuk pertanyaan PICOT pada time respon cepat, frase kunci
pertama untuk dimasukkan ke dalam database akan perawatan akut, subjek
umum yang kemungkinan besar akan mengakibatkan ribuan kutipan dan
abstrak. Istilah kedua akan dicari akan rapid respon time, diikuti oleh
serangan jantung dan istilah yang tersisa dalam pertanyaan PICOT. Langkah
terakhir dari pencarian adalah untuk menggabungkan hasil pencarian untuk
setiap istilah. Metode ini mempersempit hasil untuk artikel yang berkaitan
dengan pertanyaan klinis, sering mengakibatkan kurang dari 20. Hal ini juga
membantu untuk menetapkan batas akhir pencarian, seperti "subyek manusia"
atau "English," untuk menghilangkan studi hewan atau artikel di luar negeri
bahasa.
4) Langkah 4: Kritis menilai bukti.
Setelah artikel yang dipilih untuk review, mereka harus cepat dinilai untuk
menentukan yang paling relevan, valid, terpercaya, dan berlaku untuk
pertanyaan klinis. Studi-studi ini adalah "studi kiper." Salah satu alasan perawat
khawatir bahwa mereka tidak punya waktu untuk menerapkan EBP adalah
bahwa banyak telah diajarkan proses mengkritisi melelahkan, termasuk
penggunaan berbagai pertanyaan yang dirancang untuk mengungkapkan setiap
elemen dari sebuah penelitian. Penilaian kritis yang cepat menggunakan tiga
pertanyaan penting untuk mengevaluasi sebuah studi :
a. Apakah hasil penelitian valid? Ini pertanyaan validitas studi berpusat
pada apakah metode penelitian yang cukup ketat untuk membuat temuan
sedekat mungkin dengan kebenaran. Sebagai contoh, apakah para peneliti
secara acak menetapkan mata pelajaran untuk pengobatan atau kelompok
kontrol dan memastikan bahwa mereka merupakan kunci karakteristik
sebelum perawatan? Apakah instrumen yang valid dan reliabel digunakan
untuk mengukur hasil kunci?
b. Apakah hasilnya bisa dikonfirmasi? Untuk studi intervensi, pertanyaan
ini keandalan studi membahas apakah intervensi bekerja, dampaknya pada
hasil, dan kemungkinan memperoleh hasil yang sama dalam pengaturan
praktek dokter sendiri. Untuk studi kualitatif, ini meliputi penilaian apakah
pendekatan penelitian sesuai dengan tujuan penelitian, bersama dengan
mengevaluasi aspek-aspek lain dari penelitian ini seperti apakah hasilnya
bisa dikonfirmasi.
c. Akankah hasil membantu saya merawat pasien saya? Ini pertanyaan
penelitian penerapan mencakup pertimbangan klinis seperti apakah subyek
dalam penelitian ini mirip dengan pasien sendiri, apakah manfaat lebih
besar daripada risiko, kelayakan dan efektivitas biaya, dan nilai-nilai dan
preferensi pasien. Setelah menilai studi masing-masing, langkah berikutnya
adalah untuk mensintesis studi untuk menentukan
apakah mereka datang ke kesimpulan yang sama, sehingga mendukung
keputusan EBP atau perubahan.

5) Langkah 5: Mengintegrasikan bukti dengan keahlian klinis dan preferensi


pasien dan nilai-nilai.
Bukti penelitian saja tidak cukup untuk membenarkan perubahan dalam
praktek. Keahlian klinis, berdasarkan penilaian pasien, data laboratorium, dan
data dari program manajemen hasil, serta preferensi dan nilai-nilai pasien
adalah komponen penting dari EBP. Tidak ada formula ajaib untuk
bagaimana untuk menimbang masing-masing elemen; pelaksanaan EBP
sangat dipengaruhi oleh variabel kelembagaan dan klinis. Misalnya, ada
tubuh yang kuat dari bukti yang menunjukkan penurunan kejadian depresi
pada pasien luka bakar jika mereka menerima delapan sesi terapi kognitif-
perilaku sebelum dikeluarkan dari rumah sakit. Anda ingin pasien Anda
memiliki terapi ini dan begitu mereka. Tapi keterbatasan anggaran di rumah
sakit Anda mencegah mempekerjakan terapis untuk menawarkan pengobatan.
Defisit sumber daya ini menghambat pelaksanaan EBP.

6) Langkah 6: Evaluasi hasil keputusan praktek atau perubahan berdasarkan


bukti.
Setelah menerapkan EBP, penting untuk memantau dan mengevaluasi setiap
perubahan hasil sehingga efek positif dapat didukung dan yang negatif
diperbaiki. Hanya karena intervensi efektif dalam uji ketat dikendalikan tidak
berarti ia akan bekerja dengan cara yang sama dalam pengaturan klinis.
Pemantauan efek perubahan EBP pada kualitas perawatan kesehatan dan hasil
dapat membantu dokter melihat kekurangan dalam pelaksanaan dan
mengidentifikasi lebih tepat pasien mana yang paling mungkin untuk
mendapatkan keuntungan. Ketika hasil berbeda dari yang dilaporkan dalam
literatur penelitian, pemantauan dapat membantu menentukan.

7) Langkah 7: Menyebarluaskan hasil EBP.


Perawat dapat mencapai hasil yang indah bagi pasien mereka melalui EBP,
tetapi mereka sering gagal untuk berbagi pengalaman dengan rekanrekan dan
organisasi perawatan kesehatan mereka sendiri atau lainnya. Hal ini
menyebabkan perlu duplikasi usaha, dan melanggengkan pendekatan klinis
yang tidak berdasarkan buktibukti. Di antara cara untuk menyebarkan inisiatif
sukses adalah putaran EBP di institusi Anda, presentasi di konferensi lokal,
regional, dan nasional, dan laporan dalam jurnal peer-review, news letter
profesional, dan publikasi untuk khalayak umum.
2.12 Pelaksanaan EBP Pada Keperawatan
1) Mengakui status atau arah praktek dan yakin bahwa pemberian perawatan
berdasarkan fakta terbaik akan meningkatkan hasil perawatan klien.
2) Implementasi hanya akan sukses bila perawat menggunakan dan mendukung
“pemberian perawatan berdasarkan fakta”.
3) Evaluasi penampilan klinik senantiasa dilakukan perawat dalam penggunaan
EBP.
4) Praktek berdasarkan fakta berperan penting dalam perawatan kesehatan.
5) Praktek berdasarkan hasil temuan riset akan meningkatkan kualitas praktek,
penggunaan biaya yang efektif pada pelayanan kesehatan.
6) Penggunaan EBP meningkatkan profesionalisme dan diikuti dengan evaluasi
yang berkelanjutan.
7) Perawat membutuhkan peran dari fakta untuk meningkatkan intuisi, observasi
pada klien dan bagaimana respon terhadap intervensi yang diberikan. Dalam
tindakan diharapkan perawat memperhatikan etnik, sex, usia, kultur dan status
kesehatan.

2.13 Hambatan Pelaksanaan EBP Pada Keperawatan


1) Berkaitan dengan penggunaan waktu.
2) Akses terhadap jurnal dan artikel.
3) Keterampilan untuk mencari.
4) Keterampilan dalam melakukan kritik riset.
5) Kurang paham atau kurang mengerti.
6) Kurangnya kemampuan penguasaan bahasa untuk penggunaan hasil-hasil riset.
7) Salah pengertian tentang proses.
8) Kualitas dari fakta yang ditemukan.
9) Pentingnya pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana untuk menggunakan
literatur hasil penemuan untuk intervensi praktek yang terbaik untuk diterapkan
pada klien.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Trend adalah hak yanag sangat mendaar dalam berbagai pendekatan
analisa, trend juga dapat didefenisikan salah satu gambaran ataupun informasi
yang terjadi pada saat ini yang biasanya sedang populer dimasyarakat. Isu adalah
suatu peristiwa atau kejadian yang dapat diperkirakan terjadi terjadi atau tidak
terjadi pada masa mendatang. Isu adalah sesuatu yang sedang dibicarakan oleh
banyak orang namun masih belum jelas faktanya atau buktinya. Indonesia
merupakan negara kepulauan yang dihuni oleh penduduk dengan berbagai
agama/kepercayaan dan adat istiadat. Setiap penduduk yang menjadi warga
negara Indonesia harus beragama/berkeyakinan. Ini sesuai dengan sila pertama
Pancasila : Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana di Indonesia menjadikan aspek
ketuhanan sebagai dasar paling utama. Setiap warga negara diberi kebebasan
untuk memilih kepercayaan yang dianutnya.

B. Saran
Diharapkan lebih baik lagi dalam penusunan makalah agar pembaca dapat
memahami isi dengan mudah. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Andrew H. Travers, Thomas D. Rea, Bentley J. Bobrow, Dana P. Edelson, Robert


A.Berg, Michael R. Sayre, Marc D. Berg, Leon Chameides, Robert E. O'Connor and
Robert A. Swor. 2010. CPR Overview. American Heart Association. Volume 4

David Markenson, Jeffrey D. Ferguson, Leon Chameides, Pascal Cassan, Kin-Lai,


Chung, Jonathan Epstein, Louis Gonzales, Rita Ann Herrington, Jeffrey L. Pellegrino,
Norda Ratcliff and Adam Singer. 2010. First Aid. American Heart Association.
Volume 17

Anda mungkin juga menyukai