bedah
rawat
jalan
adalah
terlaksananya
prosedur
pembedahan yang aman akan tetapi lebih efektif dan lebih ekonomis dibanding
teknik bedah konvensional yang akan memberikan keuntungan terhadap pasien,
rumah sakit serta pihak yang membayar (asuransi). Pengelolaan anestesi yang
optimal pada bedah rawat jalan akan menghasilkan kondisi pembedahan yang
terbaik, pemulihan yang cepat, tidak ada komplikasi pascabedah, dan tercapai
kepuasan pasien yang setinggi-tingginya.
Kontroversi terkini dalam bedah rawat jalan mencakup keseluruhan aspek
bedah rawat jalan pada pasien dewasa termasuk pemilihan pasien, evaluasi dan
persiapan prabedah, pemeriksaan labaratorium sebagai skrining, pemilihan teknik
anestesi, konsep fast-track, pemulihan dan pemulangan pasien pascabedah,
penanganan
komplikasi
pasca
bedah
(nyeri
dan
mual
muntah)
serta
Pendahuluan
Teknik bedah rawat jalan dilakukan secara terpisah pertama kali tahun
1970 di Amerika Serikat. Dengan berkembangnya bidang anestesi dan
pembedahan maka bedah rawat jalan juga mengalami kemajuan yang pesat,
termasuk bedah rawat jalan pasien dewasa. Jumlah operasi yang dilakukan dengan
teknik bedah rawat jalan juga terus meningkat. Pada tahun 1994, sekitar 66%
operasi elektif di Amerika Serikat dilakukan dengan bedah rawat jalan. Saat ini,
Sekitar 70% pembedahan di Amerika Serikat telah dilakukan dengan bedah rawat
jalan.
Tujuan utama bedah rawat jalan adalah terlaksananya prosedur
pembedahan yang lebih efektif dan lebih ekonomis sehingga memberi keuntungan
terhadap pasien, rumah sakit serta pihak yang membayar (third party payrs).
Faktor utama pemilihan teknik bedah rawat jalan adalah penekanan biaya tetapi
tetap mempertahankan kualitas pengobatan, sehingga morbiditas akibat prosedur
pembedahan ataupun karena penyakit sebelumnya tidak lebih besar dibandingkan
dengan pasien rawat inap.
Keuntungan bagi pasien dengan teknik bedah rawat jalan ini adalah
mengurangi biaya, mengurangi waktu rawat sehingga waktu berpisah dengan
keluarga dan lingkungan menjadi lebih singkat, mengurangi waktu tunggu untuk
pembedahan, mengurangi resiko infeksi nosokomial rumah sakit, tidak
bergantung pada jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit sehingga pasien
lebih fleksibel dalam memilih jadwal operasi. Dibandingkan dengan pasien rawat
inap, pemeriksaan laboratorium berkurang serta mengurangi kebutuhan obat
pascabedah.
Hasil yang diharapkan pada penatalaksanaan anestesi (Value-based
anesthesia care)
Meningkatnya keinginan untuk mewujudkan peningkatan outcome pasien,
efektifitas biaya, dan pembatasan sumberdaya memaksa ahli anestesi untuk terus
melakukan penilaian dan evaluasi terhadap cost-to-benefit ratio pada setiap proses
dalam tindakan anestesi. Menurut Orkin, para konsumen layanan kesehatan
mencari pelayanan yang berdasarkan nilai, dimana outcome pasien yang terbaik
dapat dicapai dengan biaya yang rasional. Evaluasi yang objektif pada setiap
proses dalam anestesi (evaluasi prabedah, skrining laboratorium, pemilihan teknik
dan agen anestesi, efek pada outcome pasien, efek pada perawatan pascabedah,
dan pengaruh secara keseluruhan terhadap pelayanan kesehatan) harus selalu
dilakukan secara terintegrasi bila penyedia jasa kesehatan tetap ingin
mempertahankan nilai ekonomis dalam pelayanannya.
Pemilihan pasien
Keputusan untuk menentukan apakah pasien layak untuk menjalani bedah rawat
jalan harus berdasarkan penilaian individual masing-masing pasien, yang
ditentukan oleh kombinasi dari beberapa faktor termasuk patient consideration,
prosedur pembedahan, teknik anestesi, dan tingkat kemampuan dan kenyamanan
ahli anestesi.
Lamanya operasi bukan suatu kriteria untuk bedah rawat jalan, sebab hanya ada
sedikit hubungan antara lamanya anestesi dengan cepatnya pemulihan.
Penyelesaiannya adalah operasi yang lama harus diacarakan untuk operasi yang
paling pagi.
Penekanan pada pertimbangan biaya dalam pembedahan menyebabkan
peralihan dari bedah rawat inap menjadi bedah rawat jalan meningkat tajam. Hal
ini juga berdampak pada perubahan dalam kriteria seleksi pasien bedah rawat
jalan dan dimasukkannya pasien dengan kondisi medis yang kompleks, dimana
pada masa lalu dinyatakan tidak fit untuk bedah rawat jalan. Isu mengenai seleksi
pasien makin membesar karena hanya sedikit data dan penelitian mengenai
kriteria dalam seleksi pasien ini. Pada awal diperkenalkannya bedah rawat jalan
hanya pasien dengan status ASA I dan ASA II yang dipilih untuk prosedur bedah
rawat jalan. Saat ini, pasien yang digolongkan pada status ASA III dan ASA IV
juga merupakan calon operasi bedah rawat jalan asalkan penyakit sistemiknya
dalam keadaan stabil.
Penelitian yang dilakukan Friedman tahun 2004 untuk menilai metode
pemilihan pasien pada bedah rawat jalan terkini serta mengidentifikasi kriteria
pemilihan pasien untuk bedah rawat jalan menunjukkan bahwa tingkat keparahan
kondisi medis masih berhubungan dengan opini ahli anestesi untuk menerima atau
menolak prosedur bedah rawat jalan. Dalam penelitian tersebut tidak ditentukan
jenis operasi khusus yang akan dilakukan.
Pada kasus dimana terdapat gangguan jantung bedah rawat jalan dapat
dilakukan pada pasien dengan angina pectoris class II, CHF class I dan infark
miokard yang lebih dari 6 bulan, dengan catatan dalam keadaan gejala ringan atau
terkontrol. Begitu juga dengan kelainan katup yang asimtomatis, dapat dilakukan
bedah rawat jalan. IDDM dan Morbidly Obesity (MO) tanpa penyakit sistemik
bukan kontraindikasi untuk bedah rawat jalan. Dalam survey ini juga didapatkan
fakta bahwa sebagian besar ahli anestesi setuju untuk melakukan bedah rawat
jalan pada kasus suspek Malignant Hyperthermia.
Kasus yang ditolak oleh ahli anestesi untuk bedah rawat jalan dalam
survey tersebut termasuk Angina Pektoris class IV, CHF class IV dan severe MO
denganco-morbidities. Pasien dengan Miokard Infark dalam 1-6 bulan sebelum
operasi, CHF class III, MO dengan BMI 35-44 kg per meter persegi dengan
penyakit sistemik tidak termasuk kriteria pasien bedah rawat jalan. Sleep
apneu dengan anestesi regional serta sleep apneu dengan anestesi umum tanpa
pemberian narkotik pascabedah dapat diterima sebagai calon bedah rawat jalan,
kecualisleep apneu dengan anestesi regional dan anestesi umum yang disertai
dengan pemberian narkotik pascabedah. Pasien yang tidak ditemani orang dewasa
yang mendampingi tidak disetujui untuk bedah rawat jalan. University of Chicago
Hospitals telah memisahkan beberapa kelompok pasien yang tidak dapat dijadikan
calon untuk bedah rawat jalan:
a. Pasien dengan status fisik ASA III dan ASA IV yang unstable. Pasien
dengan kondisi ini diskrining pada saat evaluasi prabedah oleh ahli
anestesi, kemudian dirujuk kepada konsultan medis terkait dan bersama
dengan penatalaksanaan oleh ahli bedah, setelah itu baru direncanakan
untuk operasi setelah kondisinya stabil.
medis, mencari etiologinya, dan bila perlu melakukan koreksi yang tepat. Dengan
demikian dapat mengurangi pembatalan serta komplikasi bedah rawat jalan.1
Saat ini terdapat berbagai cara untuk melakukan evaluasi dan skrining pasien
bedah rawat jalan, seperti:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Pasien yang diskrining secara adekuat serta dengan persiapan prabedah yang baik
akan lebih efisien dalam biaya pada bedah rawat jalan.
Computer Assisted Information Gathering
Saat ini telah banyak tersedia tools dan media komputer yang bermanfaat
untuk evaluasi prabedah yang sangat membantu ahli anestesi dalam melakukan
evaluasi prabedah. HealthQuiz Plus 2 adalah sebuah program komputer yang
simpel dengan koneksi internet atau telepon untuk evaluasi prabedah. Program ini
dikembangkan oleh Michael F. Roizen, MD di University of Chicago. Program ini
hanya terdiri 4 pilihan (yes, no, not sure, dan next question). Pertanyaanpertanyaan dalam program HelathQuiz Plus 2 ditampilkan dalam format yang
sederhana dan mudah dimengerti. Pasien diberikan sebuah nomor rahasia (PIN)
yang hanya diketahui oleh dokter dan pasien bersangkutan. Data yang telah
disimpan hanya dapat diakses oleh dokter yang telah memiliki PIN khusus, dan
dapat ditransfer langsung ke komputer utama, di fax atau email ke komputer
bagian penjadwalan kamar operasi atau ke ahli bedah. Dengan demikian
kebutuhan kertas untuk menyimpan data tidak lagi dibutuhkan. Dan jika dokter
telah menggunakan sistem komputerisasi dalam penyimpanan data maka
kebutuhan sekretaris untuk menginput data dapat ditiadakan.
Sistem ini dapat dihubungkan dengan printer. Untuk keperluan tertentu dokter
dapat mencetak data yang penting seperti alergi terhadap bahan tertentu, kesulitan
atau permasalahan pada tindakan anestesi sebelumnya, gejala-gejala pasien, serta
izin operasi. Kanula intravena dipasang untuk pemberian obat anestesi nantinya
serta pemberian cairan bila diperlukan.
Premedikasi pasien bedah rawat jalan tidak jauh berbeda dengan pasien
yang dirawat sehingga tetap diberikan obat-obat premedikasi untuk anti cemas,
nyeri pascabedah, mual muntah serta untuk menurunkan risiko pneumonitis bila
terjadi aspirasi isi lambung selama pembedahan. Kebanyakan obat premedikasi
tidak memperlambat pemulihan bila diberikan dalam dosis yang tepat.
Benzodiazepin adalah obat yang paling sering digunakan untuk menurunkan
kecemasan dan memberikan sedasi untuk pasien bedah rawat jalan. Adanya
amnesia setelah premedikasi dengan benzodiazepin harus diperhatikan walaupun
tidak ada penelitian yang melaporkan adanya amnesia retrograd.
Opioid mungkin digunakan prabedah untuk menimbulkan efek sedasi,
mengendalikan hipertensi selama intubasi, dan untuk menurunkan nyeri setelah
operasi. Keefektifan opioid dalam menghilangkan kecemasan masih kontroversi.
Masalah yang dihubungkan dengan penggunaan opioid adalah hipoventilasi,
gatal-gatal, mual dan muntah, yang sangat tidak diinginkan pada pasien bedah
rawat jalan. Propofol kadang-kadang digunakan untuk sedasi sebelum induksi
anestesi dengan dosis 0,7 mg/kgbb intravena.
Kehilangan cairan akibat puasa 6-8 jam tidak menjadi masalah, sehingga
tidak perlu dilakukan koreksi cairan yang hilang akibat puasa. Pemasangan kateter
intravena hanya untuk pemberian obat-obatan saja. Kebutuhan untuk pemberian
cairan operasi pasien bedah rawat jalan masih kontrovesial. Untuk operasi yang
sangat singkat seperti miringotomi mungkin tidak diperlukan pemberian cairan
dengan pengecualian bila puasanya lama atau tidak mampu minum segera setelah
operasi selesai dan bangun penuh.
Pasien yang akan menjalani bedah rawat jalan mungkin mempunyai risiko
aspirasi isi lambung, walaupun risiko ini tidak lebih besar daripada pasien yang
dirawat. Bisa dipertimbangkan pemberian obat-obat profilaksis untuk pasienpasien tertentu misalnya dengan hiatus hernia, obesitas, atau parturien. Obat-obat
profilaksis untuk mencegah aspirasi adalah:
-
10
pemeriksaan laboratorium skrining prabedah pada pasien sehat, tetapi pada pasien
dengan baseline disease yang signifikan (hipertensi, CAD, diabetes) memerlukan
pemeriksaan lanjutan (EKG, elektrolit, rontgen torak). Pertimbangan usia tidak
mengharuskan dilakukan pemeriksaan tambahan lanjutan. Hasil penelitian Schein
dan kawan-kawan pada pasien geriatri yang akan dilakukan operasi katarak
dengan lokal anestesi dan sedasi tidak didapatkan perbedaan yang signifikan
terhadap safety pembedahan antara kelompok yang dilakukan pemeriksaan
prabedah rutin geriatri (EKG, elektrolit, BUN, kreatinin, glukosa) dan kelompok
yang tidak dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut.
Sampai saat ini, Illinois Ambulatory Surgical Treatment Act menyarankan
pemeriksaan standar hemoglobin atau hematokrit dan urinalisis pada semua pasien
yang akan dilakukan bedah rawat jalan.
Pemilihan teknik anestesi
Pemilihan suatu teknik anestesi didasarkan pada kondisi kesehatan pasien,
prosedur
pembedahan
serta
keinginan
dan
permintaan
pasien,
bila
memungkinkan. Dalam bedah rawat jalan terdapat beberapa teknik anestesi yang
dapat dipilih:
a. Anestesi umum
b. Anestesi regional, dengan atau tanpa sedasi
c. Monitored Anestesi Care (MAC), anestesi lokal yang disertai dengan
sedasi, ahli anestesi memonitor tanda vital serta fungsi tubuh pasien
d. Anestesi lokal, mungkin tidak disertai oleh ahli anestesi dalam tim
pembedahan
Ahli anestesi akan mendiskusikan resiko dan keuntungan masing-masing
teknik dengan pasien, dan berdasarkan informasi yang dikumpulkan ahli anestesi
pada waktu skrining dan evaluasi prabedah pilihan anestesi yang terbaik akan
didiskusikan dengan pasien. Teknik anestesi yang optimal pada bedah rawat jalan
harus memenuhi kriteria:
a.
b.
c.
d.
11
Disamping itu, teknik anestesi yang dipakai harus mengambil peran dalam
peningkatan kualitas serta penurunan biaya, meningkatkan efisiensi penggunaan
kamar operasi, serta pemulangan pasien yang lebih cepat tanpa efek samping.
Belakangan, penggunaan Monitored Anesthesia Care (MAC) lebih dipilih oleh
banyak ahli anestesi sebagai alternatif dari anestesi umum dan anestesi regional
pada bedah rawat jalan.
Dikenalkannya
obat-obat
anestesi
yang
Pemakaian
propofol
sebagai maintenance
dengan
sifat
tidak
iritatif
terhadap
saluran
napas
dan solubility yang rendah dapat digunakan sebagai induksi inhalasi yang cepat
dan aman. Insidensi kejadian komplikasi respirasi sangat rendah sedangkan
kualitas induksinya sama baik bahkan lebih dibandingkan halotan.6
Sevofluran dan desfluran merupakan 2 obat anestesi inhalasi yang baru
diperkenalkan dan sangat berguna pada anestesi bedah rawat jalan. Kedua obat ini
dieliminasi dengan cepat dan menghasilkan recovery yang cepat dari anestesi.
12
Kedalaman anestesi dengan kedua obat ini lebih terkendali. Kekurangannya, obat
ini lebih mahal dibanding obat anestesi inhalasi lainnya. Tidak seperti sevofluran,
desfluran tidak dapat dipergunakan untuk induksi inhalasi karena bersifat iritatif
terhadap saluran napas.
Pemberian pelemas otot yang bersifat intermediate atau short acting nondepolarizing lebih disukai daripada suksinil kolin karena kemungkinan adanya
mialgia, malignant hipertermi, dan hiperkalemia. Walau demikian, suksinil kolin
memberikan onset yang paling cepat dan terutama digunakan bila ada risiko
aspirasi isi lambung. Reversal pelemas otot non-depolarisasi harus diberikan bila
ada keraguan bahwa masih ada efek relaksasi otot. Tetapi harus diingat bahwa
pemberian prostigmin dapat meningkatkan kejadian muntah.
Opioid yang sering digunakan adalah fentanil untuk tambahan analgesi
selama anestesi. Bila tersedia lebih baik remifentanil karena memiliki lama kerja
yang lebih singkat dibanding fentanil dan tidak memiliki efek kumulatif.
Walaupun pertimbangan pada anestesi bedah rawat jalan harus
dicapai rapid recovery dan cost effectiveness menyebabkan penggunaan obat
anestesi dibatasi, kejadian awareness dan recall pada bedah rawat jalan dengan
anestesi umum tidak meningkat dibanding bedah rawat inap, dengan dosis dan
tatalaksana anestesi yang sama.
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa anestesi regional lebih aman
daripada anestesi umum. Anestesi regional yang biasa dipakai untuk bedah rawat
jalan adalah spinal anestesi, epidural anestesi, caudal anestesi, blok saraf tepi,
regional anestesi intravena dan infiltrasi.
Faktor utama yang menyebabkan keterlambatan pemindahan pasien
(discharge) dengan anestesi spinal sebelumnya adalah pemulihan dari residual
blokade
motorik,
dalam delayed
efek
simpatolitik
dari
blok
inability.
subarakhnoid,
Efek
samping
berperan
ini
dapat
13
dosis konvensional anestesi lokal tunggal. Teknik ini mampu meningkatkan costeffectiveness pada bedah rawat jalan. Tetapi, efek samping seperti pruritus dan
nausea akan meningkat dengan penggunaan fentanil walaupun dalam dosis kecil
pada blok subarakhnoid. Permasalahan lain dari spinal anestesi termasuk back
pain, PDPH, dan transient radicular irritation karena lidokain.
Kombinasi antara low cost dan kepuasan pasien yang menggambarkan
kualitas terbaik dari prosedur anestesi mungkin dapat dicapai dengan
teknik Monitored Anesthesia Care (MAC) dengan syarat anestesi pada prosedur
pembedahan tersebut dapat dicapai dengan teknik ini (seperti bedah superficial
dan prosedur endoskopi). Perkembangan dalam teknik sedasi dan analgesi untuk
melengkapi anestesi lokal infiltrasi telah meningkatkan penggunaan teknik MAC
dalam pembedahan. Kepuasan pasien dengan teknik MAC juga berhubungan
dengan efektifitas terhadap pengendalian nyeri dan tidak adanya efek samping
pascabedah yang umum terjadi pada teknik anestesi spinal atau anestesi umum.
Keberhasilan teknik MAC bukan hanya tergantung dari ahli anestesi tetapi juga
kemampuan ahli bedah dalam melakukan infiltrasi lokal yang efektif serta gentle
handling terhadap jaringan tubuh selama introperatif. Banyak penelitian yang
menyebutkan bahwa teknik MAC lebih cost-effective daripada anestesi spinal atau
anestesi umum.
Konsep Fast-track anesthesia
Konsep fast-track dalam pembedahan pertama kali diperkenalkan pada
awal tahun 1990. Dengan konsep ini maka pasien dapat pulang lebih cepat dari
rumah sakit dan melakukan aktifitas normalnya setelah menjalani operasi. Prinsip
utama pada fast-track anesthesia adalah pasien tidak melewati PACU (fase I
recovery), pasien langsung dipindahkan dari kamar operasi menuju ruang
pemulihan fase 2 (fase II recovery). Fast-track anesthesia tumbuh karena
kebutuhan untuk pengendalian biaya kesehatan, tetapi keuntungan paradigma ini
lebih besar daripada hanya pengurangan biaya perawatan, termasuk juga
outcome dan kepuasan pasien. Meningkatnya penggunaan teknik bedah minimally
invasive, perkembangan obat-obat baru termasuk yang mula kerjanya cepat, durasi
14
kerja lebih cepat, obat-obatan analgesik dan pelemas otot merupakan bagian
dalam perkembangan fast-track anesthesia.
Keuntungan fast-track anesthesia:
Pemulihan cepat
a. Mengurangi lama tinggal di rumah sakit
b. Mengurangi kebutuhan monitoring dan lembar observasi
c. Mengizinkan pasien kembali dengan cepat ke lingkungan yang lebih
menyenangkan
d. Mengurangi biaya perawatan di ruang pemulihan
Kerugian fast-track anesthesia:
a.
b.
c.
d.
e.
Nilai
2
1
0
2
1
0
15
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
14
mengurangi
resiko
obstruksi
jalan
napas
dan
gangguan
16
Pemulihan (Recovery)
Pemulihan adalah suatu proses yang secara tradisional dibagi atas 3 bagian
yang saling tumpang tindih yaitu early recovery, intermediate recovery, dan late
recovery. Early recovery dimulai dari dihentikannya obat anestesi supaya pasien
bangun, kembalinya refleks proteksi jalan napas, dan dimulainya aktifitas
motorik. Intermediate recovery bila sudah mencapai kriteria untuk dapat
dipulangkan ke rumah. Late recovery mulai dari dipulangkan sampai pulihnya
fungsi fisiologis ke keadaan seperti sebelum pembedahan.
Aldrete merancang suatu sistem skoring untuk menentukan kapan pasien
fit untuk keluar dari PACU. Nilai skoring 0, 1, atau 2 ditujukan untuk aktifitas
motorik, respirasi, sirkulasi, kesadaran, dan warna kulit. Total skor maksimalnya
10. Penggunaan pulse oksimetri dapat menolong lebih akuratnya indikator
oksigenasi, dan diusulkanlah suatu modifikasi skoring aldrete yang mengganti
kriteria warna pada Aldrete skor dengan SpO2 pada modifikasi sistem skoring
Aldrete.
Table 2. Modified Aldrete Scoring System
Aktifitas: mampu menggerakkan ekstremitas
4 ekstremitas
2 ekstremitias
0 ekstremitias
Respirasi
Mampu nafas dalam dan batuk
Dispneu atau nafas terbats
Apneu
Sirkulasi
BP 6 20 mmHg dari nilai sebelum anestesi
BP 6 2050 mmHg dari nilai sebelum anestesi
BP 6 50 mmHg dari nilai sebelum anestesi
Kesadaran
Sadar penuh
Respon bila dipanggil
Tidak ada respon
Saturasi oksigen
Saturasi oksigen > 92% dengan udara bebas
Saturasi oksigen > 90% dengan bantuan oksigen
tambahan
Saturasi oksigen < 90% walaupun dengan oksigen
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
17
tambahan
Tersediannya obat-obatan anestesi yang lebih cepat onset serta lebih
pendek durasinya (seperti propofol, sevofluran, desfluran, dan remifentanil)
membuka jalan untuk pemulihan yang lebih cepat setelah anestesi umum,
penggunaan analgetik preemtif non opioid (seperti anestesi lokal, ketamin,
NSAID, COX-2inhibitors, ibuprofen, dan parasetamol) serta antiemetik (seperti
droperidol,
metoklopramid, 5-HT3
antagonist,
dan
deksametason)
akan
18
b.
c.
d.
e.
Ambulasi
Mual/muntah
Nyeri
Perdarahan akibat pembedahan
19
distensi kandung kemih, nyeri, kecemasan, efek sisa dari anestesi spinal atau
epidural.
Menunggu pasien untuk bisa minum tanpa terjadi muntah juga memperlambat
pemulangan pasien. Penelitian mengenai masalah ini membuktikan bahwa tidak
terdapat pengaruh yang signifikan terhadap kejadian PONV pada pasien yang
telah memiliki toleransi untuk minum dengan yang tidak sebelum pasien
dipulangkan.
Pemulangan pasien setelah anestesi regional
Sejumlah teknik anestesi regional dapat dipakai untuk bedah rawat jalan,
mulai dari anestesi spinal sampai ke blok ekstremitas. Pasien yang dilakukan
anestesi regional mempunyai kriteria pemulangan yang sama dengan pasien yang
di anestesi umum.
Anestesi regional memiliki keuntungan dan masalah pada bedah rawat
jalan. Pemulangan pasien dengan regional anestesi lebih cepat daripada anestesi
umum. Kejadian PONV, dizziness, dan nyeri yang biasa terjadi pada anestesi
umum lebih rendah pada anestesi regional.
Anestesi spinal merupakan teknik yang simpel dan reliable dipergunakan
secara luas saat ini. Karena short-acting lidokain sering dipakai pada bedah rawat
jalan untuk anestesi spinal. Masalahnya lidokain yang dipakai untuk spinal
anestesi dapat menyebabkan kejadian TRI (Transient Radicular Irritation).
Namun masalah ini dapat dikurangi dengan metode spinal mini-dose, yaitu
mencampur lidokain dosis kecil dengan opioid (contohnya lidokain 15-30 mg
dengan fentanil 12,5-25 g). Kejadian PDPH (Post Dural Punctre Headache) akibat
spinal juga menjadi masalah pada bedah rawat jalan. Penggunaan jarum spinal
yang lebih kecil (no. 29) dan jenis pencil point akan mengurangi kejadian
tersebut.
Sebelum pemulangan pasien bedah rawat jalan dengan anestesi spinal
harus yakin bahwa blok sensorik, motorik, dan simpatik telah mengalami regresi.
Kriteria yang dapat dipakai untuk menilai hal tersebut termasuk: sensasi normal
perianal (S4-5), fleksi plantar, propriosepsi pada ibu jari kaki.
20
21
banyaknya efek
samping
yang
berhubungan
dengan
22
nerve
stimulation/TENS),
akupunktur,
serta
percutaneus
23
regional.
Penggunaan propofol untuk induksi serta rumatan anestesi.
Menghindari pemakaian N2O.
Menghindari pemakaian obat anestesi volatil
Meminimalkan pemakaian opioid intraoperatif dan pascabedah.
Meminimalkan pemakaian prostigmin
Pemberian cairan yang adekuat.
24
dosis
45 mg IV
1 mg/kg IV
12.5 mg IV
0.6251.25 mg IV
0.5 mg/kg IM
0.351.5 mg IV
0.52 mg IM/IV
510 mg IM/IV
6.2525 mg IV
4 mg IV
Transdermal patch
waktu
At induction
End of surgery
End of surgery
End of surgery
End of surgery
End of surgery
End of surgery
End of surgery
At induction
End of surgery
Prior evening or 4 h
2 mg IV
before surgery
End of surgery
antiemetik
(akupunktur,transcutaneous
electrical
profilaksis
nerve
non
stimulation,
farmakologi
acupoint
25
Propofol 20 mg dapat juga dipakai sebagai rescue therapy PONV pada pasien
yang masih berada di PACU, sama efektifnya dengan ondansetron.
Kejadian mual muntah setelah pasien dipulangkan juga cukup tinggi, 17%
mengalami mual dan 8% mengalami muntah setelah pasien dipulangkan pada
bedah rawat jalan. Untuk profilaksis kejadian ini dapat diberikan ondansetron 4
mg atau deksametason 4-10 mg. Sebuah penelitian memperlihatkan bahwa
pencegahan mual muntah setelah pemulangan cukup efektif dengan pemberian
ondansetron disintegrating tablet/ ODT, acupoint stimulation, dan skopolamin
transdermal. Ondansetron ODT terbukti secara signifikan mengurangi kejadian
mual muntah setelah pemulangan pasien dan meningkatkan kepuasan pasien
terhadap pengelolaan PONV pada bedah rawat jalan. Dosis ondasetron ODT yang
digunakan sama dengan ondansetron tablet oral biasa, 8 mg.
Penatalaksanaan setelah pasien pulang dari rumah sakit
Pasien bedah rawat jalan harus disertai orang dewasa yang bertanggung
jawab membawanya pulang dan menjaganya dirumah karena akan mengurangi
kejadian adanya efek yang tidak diinginkan, meningkatkan kenyamanan pasien.
Dianjurkan pasien harus diberikan instruksi tertulis tentang prosedur diet, obat,
aktifitas, dan nomor telepon bila ada kejadian emergensi. Pasien secara rutin
diminta untuk tidak minum alkohol, menyetir, membuat keputusan penting dalam
24 jam.
Komplikasi
pascabedah
harus
sudah
tertangani
sebelum
pasien
26
kenyamanan pasien merupakan salah satu tujuan utama bedah rawat jalan. Faktor
yang menentukan kenyamanan pasien adalah keramahan personil kamar bedah,
diskusi ahli bedah dengan pasien tentang apa yang ditemukan saat pembedahan,
pengelolaan PONV dan nyeri pascabedah, pemasangan jalur vena yang adekuat,
dan menghindari keterlambatan.
Ringkasan
Kemajuan dalam bidang anestesi dan teknik pembedahan menyebabkan
teknik bedah rawat jalan berkembang pesat, jumlah pasien bedah rawat jalan juga
terus mengalami peningkatan.
Peranan ahli anestesi dalam pengelolaan perioperatif sangat penting dalam
tim bedah rawat jalan dalam mencapai keberhasilan teknik bedah rawat jalan.
Evaluasi pada setiap proses dalam anestesi pada bedah rawat jalan
(evaluasi prabedah, skrining laboratorium, pemilihan obat dan teknik anestesi,
efek pada outcome pasien, efek pada perawatan pascabedah, serta pengaruh secara
keseluruhan terhadap pelayanan) melahirkan kontroversi-kontroversi dalam
rangka mencari strategi terbaik untuk meningkatkan kualitas bedah rawat jalan
agar lebih cost-effectiveness, aman, serta tetap menjaga kualitas pelayanan
sehingga menjamin kepuasan pasien.
Pendekatan multimodal serta penggunaan obat-obat dan teknik non
farmakologi yang lebih aman, sederhana, dan lebih cost effective dalam
pengelolaan
komplikasi
pascabedah
(nyeri
dan
mual
muntah)
akan
memaksimalkan keuntungan teknik bedah rawat jalan serta outcome pasien yang
lebih baik.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
2005.
Bisri T. Seri Buku Literasi Anestesiologi: Ambulatory anesthesia. 2007.
Friedman Z, Chung F, Wong DT. Ambulatory surgery adult patient selection
criteria-a survey of canadian anesthesiologists. Can J Anesth 2004; 51(5):
437-43.
27
4.
5.
10.
White PF. Ambulatory anesthesia advances into the new millenium. Anesth
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
816-26.
Pavlin DJ, Chen C, Penaloza DA, Polissar NL, Buckley FP. Pain as a factor
complicating recovery and discharge after ambulatory surgery. Anesth Analg
14.
15.
1470-72.
White PF. The role of non-opioid analgesic techniques in the management
16.
28
17.
Tinjauan Pustaka
29
Oleh :
Igun Winarno, Satrio Adi W, Benita P, Eka Adhiany
Dicky hartawan, Aditya Kisara, Fajrian Noor, Aunun Rofiq, Rindarto, Hijrinelli
Pembimbing :
dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn
30