PENDAHULUAN
Tulang belakang (vertebra) dimulai dari cranium sampai pada apex coccygeus,
membentuk skeleton dari leher, punggung dan bagian utama skeleton (tulang
cranium dari 33 vertebra dengan 5 pembagian regio yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5
lumbal, 5 sacral, dan 4 coccigeal. (1)
Vertebra merupakan suatu kesatuan yang kuat diikat oleh ligamen di depan
dan di belakang serta dilengkapi dengan diskus intervertebralis yang mempunyai
daya absorbsi tinggi terhadap tekanan atau trauma yang memberikan sifat
fleksibel dan elastis. Semua trauma tulang belakang harus dianggap sebagai suatu
trauma hebat sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transportasi ke rumah
sakit harus dilakukan secara hati-hati. (2) (3)
Cedera kolumna vertebralis, dengan atau tanpa defisit neurologis harus tetap
selalu dipikirkan pada pasien dengan trauma multipel. Kurang lebih dari 5%
pasien dengan cedera kepala juga mengalami cedera tulang belakang, sementara
25% pasien dengan cedera tulang belakang mengalami setidaknya cedera kepala
ringan. Kurang lebih 55% trauma tulang belakang terjadi pada regio servikal, 15%
pada regio torakal, 15% di regio sendi torakalumbal, dan 15% di area
lumbosacral.
Dokter dan petugas medis lain yang menangani pasien dengan trauma tulang
belakang harus selalu berhati hati bahwa manipulasi yang berlebihan dan
imobilisasi yang tidak adekuat akan menyebabkan kerusakan neurologis tambahan
dan memperburuk kondisi pasien. 5% pasien mengalami gejala neurologis atau
perburukan kondisi setelah sampai di unit gawat darurat. Hal ini disebabkan
iskemia atau terjadinya edema pada medulla spinalis, tetapi bisa juga disebabkan
akibat gagalnya pemasangan imobilisasi yang adekuat. Selama tulang belakang
pasien diproteksi dengan baik, pemeriksaan tulang belakang dan ekslusi trauma
spinal dapat ditunda dengan aman, terutama bila terjadi instabilitas sistemik
seperti hipotensi dan respirasi yang tidak adekuat. (4)
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Setiap ruas pada vertebra dapat bergerak satu dengan yang lain oleh karena
adanya dua sendi posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior. Pada
pandangan dari arah lateralis, vertebra membentuk lordosis di daerah servikal dan
lumbal. Sedangkan pada bagian thorakal membentuk khiposis. Keseluruhan
vertebra beserta diskus intervertebralisnya merupakan satu kesatuan yang kokoh
dengan diskus yang memungkinkan gerakan antara korpus ruas tulang belakang.
2
Lingkup gerak sendi pada vertebra servikal adalah yang terbesar. Vertebra torakal
berlingkup gerak sedikit karena adanya tulang rusuk yang membentuk toraks,
sedangkan vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup gerak yang lebih besar dari
torakal tetapi makin ke bawah lingkup geraknya semakin kecil. (5)
Secara umum, struktur tulang belakang tersususn atas dua yaitu :
1. Korpus vertebra beserta semua diskus intervertebralis yang berada di
antaranya.
2. Elemen posterior (kompleks ligamentum posterior) yang terdiri atas lamina,
pedikel, prosesus spinosus, proses transversus, dan pars artikularis,
ligamentum-ligamentum supraspinosum dan intraspinosum, ligamentum
flavum dan kapsul sendi.
Setiap ruas vertebra terdiri dari korpus pada bagian depan dan arkus neuralis
pada bagian belakang serta sepasang pedikel pada bagian kanan dan kiri, sepasang
lamina, 1 prosesus spinosus, prosesus transversus dan pars artikularis, ligamentum
supraspinosum dan ligamentum transversum. Beberapa ruang ruas tulang
belakang memiliki bentuk khusus, misalnya tulang servikal pertama yang disebut
atlas dan ruas tulang servikal kedua yang disebut odontoid. Kanalis spinalis
terbentuk antara korpus di bagian depan dan arkus neuralis di bagian belakang.
Kanalis spinalis di daerah servikal membentuk segitiga dan lebar, sedangkan di
daerah torakal terbentuk bulan dan kecil. Bagian lain yang menyokong
kekompakan ruas tulang belakang adalah komponen jaringan lunak yaitu
ligamentum longitudinal anterior, ligamentum longitudinal posterior, ligamentum
flavum, ligamentum interspinosus, dan ligamentum supraspinatus.
Stabilitas tulang belakang disususn oleh dua komponen, yaitu komponen
tulang dan komponen jaringan lunak yang membentuk suatu struktur dengan 3
pilar. Pertama yaitu, satu tiang atau kolom di depan yang terdiri atas korpus serta
diskus intervertebralis. Kedua dan ketiga yaitu kolom dibelakang kanan dan kiri
terdiri atas rangkaian sendi intervertebralis lateralis. Tulang belakang dikatakan
tidak stabil bila kolom vertikal terputus pada lebih dua komponen. (5)
3
Gambar 2. Sendi dan Ligamen Kolumna Vertebra
4
1. Bagian anterior adalah ligamentum longitudinale anterior dan 2/3 bagian
depan dari korpus vertebra dan diskus.
2. Bagian tengah (Middle) adalah 1/3 bagian posterior dari korpus vertebra
dan diskus serta ligamentum longitudinale posterior.
3. Bagian posterior adalah pedikel, lamina, facets, dan ligamentum
posterior.
Jika terjadi fraktur pada lebih dari satu kolum makan akan terjadi instabilitas
vertebra
5
2.4 Definisi Trauma Vertebra
Trauma vertebra adalah cedera pada tulang belakang yang mengenai
cervicalis, thoracalis, lumbalis, sacral, dan coccigeal dapat disebabkan oleh
trauma berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga,
dan sebagainya yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran atau lebih pada
tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologis. (7)
2.5 Etiologi
Berikut adalah penyebab terbanyak dari trauma pada tulang belakang :
1. Kecelakaan kendaraan bermotor
Kecelakaan mobil dan sepeda motor adalah penyebab utama trauma pada
tulang belakang. Terhitung lebih dari 35% dari trauma tulang belakang terjadi
setiap tahunnya akibat kecelakaan kendaraan bermotor.
2. Jatuh dari ketinggian
Trauma tulang belakang setelah usia 65 tahun paling sering disebabkan
oleh jatuh. Secara keseluruhan, jatuh menyebabkan lebih dari 15% trauma
tulang belakang.
3. Tindak kekerasan
Sekitar 12% trauma pada tulang belakang disebabkan oleh kekerasan, dan
paling sering melibatkan luka tembak dan pisau.
4. Olahraga dan cedera rekreasi
Kegiatan atletik seperti olagraga dan menyelam pada air dangkal dapat
menyebabkan sekitar 9% dari trauma tulang belakang. (8) (9)
6
1. Laki-laki
Trauma tulang belakang memengaruhi jumlah pria yang tidak
proporsional. Faktanya, wanita hanya menyebabkan sekitar 20% dari trauma
tulang belakang di Amerika Serikat.
2. Berada pada usia 16-30 tahun
Penelitian menunjukkan bahwa kasus-kasus trauma tulang belakang
paling sering terjadi pada usia produktif yaitu 16-30 tahun dikarenakan pada
usia tersebut sebagian besar memiliki mobilitas yang cukup tinggi untuk
beraktivitas terutama di luar ruangan.
3. Memiliki perilaku beresiko
Yang termasuk perilaku beresiko mngalami trauma tulang belakang yaitu
berolahraga tanpa mengenakan peralatan keselamatan yang tepat atau
melakukan tindakan pencegahan yang tidak tepat, serta menyelam ke air yang
terlalu dangkal. Kecelakaan kendaraan bermotor juga menjadi penyebab
utama dari trauma pada tulang belakang untuk orang di bawah 65 tahun. (8)
2.7 Klasifikasi
Trauma tulang belakang dapat dibagi atas fraktur, fraktur dislokasi, trauma
medulla spinalis tanpa abnormalitas radiografik (SCIWORA), atau cedera
penetrasi. Setiap pembagian diatas dapat lebih lanjut diuraikan sebagai stabil dan
tidak stabil.
a. Trauma stabil adalah trauma vertebra yang salah satu komponen tulang
belakang tersebut tidak akan tergeser oleh gerakan normal. Pada cedera
yang stabil, jika elemen saraf tidak rusak maka masih ada sedikit resiko
jaringan tersebut menjadi rusak.
b. Trauma tidak stabil adalah trauma vertebra dimana terdapat resiko
signifikan dari displacement dan konsukensi kerusakan lebih lanjut dari
jaringan saraf. (10)
Walaupun demikian, penentuan stabilitas tipe cedera tidak selalu sederhana
dan para ahlipun kadang-kadang berbeda pendapat. Oleh karena itu, terutama
dalam penatalaksanaan awal penderita, semua penderita dengan defisit neurologis
7
harus dianggap mempunyai trauma tulang belakang yang tidak stabil. Karena itu
penderita ini harus tetap diimobilisasi sampai ada konsultasi dengan ahli bedah
saraf/ortopedi. (10)
Berikut adalah tipe-tipe spesifik dari trauma tulang belakang
1. Atlanto-occipital Dislocation
Insidens atlanto-occipital dislocation diperkirakan sebanyak 5-8% dari
(11)
kecelakaan lalu lintas yang fatal. Cedera ini jarang terjadi dan timbul
sebagai akibat dari trauma fleksi dan distraksi yang hebat. Kebanyakan
penderita meninggal karena kerusakan batang otak. Kerusakan neurologis
yang berat ditemukan pada level saraf cranial bawah. Kadang-kadang
penderita selamat bila resusitasi segera dilakukan ditempat kejadian. (4)
Anak-anak usia <12 tahun paling sering mengalami cedera ini karena
memiliki sendi occipitoatlantal yang lebih datar dan karena rasio antara berat
kepala dan berat tubuhnya lebih besar disbanding orang dewasa.
Pada pemeriksaan radiologi, dapat ditemulan soft tissue swelling yang
signifikan di daerah retrofaring pada vertebra cervical 2. Beberapa garis
anatomi menandai hubungan normal oksiput dengan C1. sebuah garis yang
ditarik ke bawah dari aspek cranial clivus ke Dens (Wackenheim line). Jika
jarak lebih besar dari 10 mm antara clivus dan dan dens dianggap abnormal.
Metode ini memiliki sensitivitas sekitar 50%. Interval yang lebih besar dari
13 mm antara posterior mandibula dan dens juga dianggap abnormal.
Sensitivitas metode ini adalah 25%. Rasio jarak antara basis dan arkus
posterior atlas juga harus bernilai < 1.0 untuk memastikan tidak adanya
dislokasi occipitoatlantal.
Klasifikasi Occipitoatlantal dislocation yang paling umum adalah
berdasarkan Traynelis and coleagus yang mengkategorikan trauma tersebut
menjadi 3 tipe. Pada tipe 1, terdapat dislokasi anterior dari oksiput terhadap
atlas. Tipe 2 merupakan hasil dari distraksi longitudinal. Hal ini dapat
menyebabkan defisit neurologis progresif. Pada tipe 3 terjadi dislokasi atau
subluksasi posterior.
8
Perlu diperhatikan bahwa mortalitas dari dislokasi kepala-leher sangat
tinggi. Hanya 20% pasien yang datang ke rumah sakit dengan dislokasi
atlanto-occipital akut yang memiliki pemeriksaan neurologis normal. Sisanya
akan menderita defisit neurologis. Cedera arteri vertebralis dapat menyertai
dislokasi. Mekanisme trauma yang paling umum adalah disebabkan oleh gaya
ekstensi-rotasi. Semua dislokasi occipito-cervical harus ditangani dengan
pemasangan halo vest sesegera mungkin. (11)
Gambar 4. Foto radiologi X Ray pada pasien post kecelakaan lalu lintas. (A)
Tampak pembengkakan jaringan >2 cm di depan C2. (B) Tampak deformitas
occipitocervical 10 hari pasca kecelakaan. (C) Tampak dislokasi antara
oksiput dan vertebra C1 setelah dilakukan traksi 5 lb. (11)
(A) (B)
Gambar 5. (A) Hubungan yang normal antara ramus posterior mandibola
dengan vertbera C1 serta dens. (B) Potongan midsagittal yang melalui
cranicervical junction. B, basis; O, opisthion; A, arcus anterior atlas; C, arcus
posterior atlas. (11)
9
Gambar 6. Klasifikasi dislokasi dan subluksasi occipitocervical menurut
Traynelis. (11)
10
posterior dan satu atau dua fraktur pada arkus anterior, dengan pergeseran
masa lateral. Fraktur akan terlihat jelas dengan proyeksi open mouth dari
daerah C1 dan C2 dan dapat dikonfirmasikan dengan CT Scan. (4) (11)
11
3. C1 Rotary Subluxation
Cedera ini banyak ditemukan pada anak-anak. Dapat terjadi spontan
setelah terjadi cedera berat/ringan, dengan infeksi saluran napas atas atau
dengan rheumatoid arthritis. Penderita terlihat dengan rotasi kepala yang
persisten (torticollis). Pada orang dewasa, C1 rotary subluxation sering
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Sebagaimana pada anak-anak, pada
orang dewasa akan muncul gejala berupa “cock robin appearance” dengan
kepala miring dan rotasi ke sisi yang dislokasi. Cedera ini dapat didiagnosis
dengan baik melalui pemeriksan foto polos open-mouth odontoid view. “Wink
sign” dapat terlihat akibat dari overriding sendi C1-C2 pada satu sisi yang
normalnya berada pada sisi kontralateral. Jangan dilakukan rotasi paksa
untuk menanggulangi rotasi ini, sebaiknya dilakukan imobilisasi dan segera
rujuk.
Klasifikasi yang digunakan untuk cedera ini adalah klasifikasi Fielding &
Hawkins. Pada tipe I, dislokasi murni cedera rotasi. Pada tipe II, terjadi rotasi
malalignment dengan dislokasi anterior dari atlas <3-5 mm dan kemungkinan
terdapat defisiensi minimal dari ligament transversal. Pada tipe III terdapat
kombinasi dari rotasi-subluksasi dengan dislokasi >5 mm dan kemungkinan
terdapat defisiensi komplit dari ligament transversal, dan pada tipe IV terjadi
rotasi malalignment dan dislokasi ke posterior. (4) (11)
Gambar 10. CT Scan Axial pada pasien denga C1 rotary subluxation. (4)
12
Gambar 11. Klasifikasi Fielding & Hawkins pada C1 rotary subluxation. (11)
13
Gambar 12. Fraktur Odontoid. CT view pada Fraktur odontoid Tipe 1. (4)
14
klasifikasi Effendi. Tipe I, fraktur melalui pars interarticularis bilateral
dengan pergeseran <3 mm dan tanpa angulasi. Fraktur ini biasanya
disebabkan oleh trauma hiperekstensi dan axial load. Arkus neurol
fraktur, tapi diskus intervertebralis idan ligamentum longitudinale
anterior masih intak.
Tipe II, fraktur ini merupakan fraktur bipedicular dengan pergeseran >3
mm dan angulasi C2 terhadap C3. Fraktur ini disebabkan oleh axial load
dengan hiperekstensi leher yang menyebabkan fraktu arkus neural yang
diikuti fleksi akibat distrupsi diskus intervertebralis C2-C3. Trauma ini
sering terjadi ada fraktue kompresi anterosuperior pada C3 atau
posteroinforior corpus vertebra C2. Terdapat dua varian dari fraktur tiper
II. Tipe IIA memperlihatkan angulasi signifikan tetapi memiliki
pergeseran minimal (Jarang melebihi 2-3 mm) dan termasuk distrupsi
signifikan dari diskus dan ligamentum longitudinale posterior. Trauma
ini sering disebabkan oleh trauma fleksi-distraksi. Sedangkan tipe III
fraktur hangman merupakan cedera tidak stabil dengan pergeseran dan
angulasi yang berat, berhubungan dengan dislokasi unilateral atau
bilateral dari C2 terhadap C3. Distrupsi ligamentum longitudinale
posterior dan diskus intervertebral C2-C3 juga terjadi pada trauma ini.
Trauma ini juga berhubungan dengan cedera saraf. Tipe III terjadi
dengan 3 pola dasar; fraktur arkus neural bilateral anterior hingga facet
joints dengan dislokasi posterior; cedera rotasi dengan fraktur arkus
neural pada satu sisi anterior hingga facet joint pada sisi kedua yang
mengakibatkan dislokasi facet unilateral; dan dislokasi facet bilateral
dengan fraktur pada arkus neural posterior hingga facet joint. Tipe III
juga disebabkan oleh trauma fleksi-distraksi diikuti hiperekstensi. (11)
15
Gambar 13. Fraktur Hangman dengan angulasi minimal dan tanpa
pergeseran yang signifikan pada fragmen fraktur. (11)
Gambar 14. Fraktur Hangman. (A) Axial; (B) Sagittal paramedian; (C)
Sagittal Midline CT reconsructions. (4)
Gambar 15. Fraktur Hangman. (A) Tipe I; (B) Tipe II; (C) Tipe IIA; (D)
Tipe III. (11)
16
c. Fraktur C2 lainnya
Sekitar 20% dari fraktur axis yang nonodontoid dan nonhangman’s,
termasuk fraktur body, pedikel, lateral mass, lamina, dan prosesus
spinosus. (4)
5. Fractures and Dislocations (C3-C7)
Fraktur C3 saangat jarang terjadi, hal ini mungkin disebabkan letaknya
berada diantara aksis yang mudah mengalami cedera dengan titik penunjang
tulang servikal yang mobile, seperti C5 dan C6, dimana terjadi fleksi dan
ekstensi tulang servikal terbesar. (4)
6. Trauma Vertebra Thorakal dan Lumbal
Thoracolumbar junction merupakan daerah yang paling sering mengalami
cedera pada trauma thoracal dan lumbal. Sering terjadi pada pasien-pasien
muda akibat kecelakaan high-energy. Lebih dari 50% fraktur terjadi antara
T11 dan L1, dan 30% diantara L2 dan L5. Lebih dari 50% terjadi karena
kecelakaan bermotor dan 25% akibat jatuh dari ketinggian lebih dari 6 kaki.
Trauma ini bahkan sering didapatkan pada pengemudi mobil yang memakai
sabuk pengaman namun pada saat kecelakaan mengendarai mobil dalam
kecepatan tinggi. Cedera neurologis komplit terjadi pada 20% kasus dan
cedera neurologis inkomplit pada 15% kasus.
Trauma thoracolumbal biasanya disebabkan karena aplikasi 1 atau 2 gaya
vector. Gaya paling umum adalah kompresi axial, kompresi lateral, fleksi,
ekstensi, distraksi, shear, dan rotasi. Namun yang paling sering adalah
kombinasi gaya fleksi-rotasi atau fleksi-distraksi. (11)
17
Gambar 16. (A) Axial compression force selalu menyebabkan kompresi atau
burst fractures. (B) Flexion forces menyebabkan kompresi atau burst
fractures atau jika gayanya berat maka menyebabkan Fraktur Chance. (C)
Lateral compression forces menyebabkan fraktur kompresi, yang
kompresinya asimetris dan burst fractures. (D) Shear forces cenderung
menghasilkan trauma tidak stabil seperti fraktur-dislokasi. € Extension forces
menyebabkan trauma ankylosed spine. (F) Flexion-distraction menyebabkan
fraktur Chance. (G) Flexion-rotation forces menyebabkan pola fraktur yang
bervariasi termasuk fraktur korpus vertebra dan distrupsi elemen posterior. (11)
18
a. Klasifikasi Denis
Denis menganalisa trauma thoracal dan lumbal dengan CT Scan lalu
mengklasifikasikannya sebagai fraktur kompresi, burst fractures, trauma
fleksi-distraksi, dan fraktur dislokasi.
19
endplate. (C) hanya melibatkan inferior endplate. (D) Kombinasi burst
fracture dan rotational forces, dengan corpus vertebra bergeser ke bidang
coronal. (E) Fraktur yang eksentrik, juga bergeser ke bidang koronal. (11)
20
Gambar 20. Klasifikasi Denis pada trauma fleksi-dislokasi. (Aa-b) Terjadi
pada satu level melewati tulang. (Ba-c) Terjadi pada level ligament dan
diskus. (Ca-b) Pada 2 level dengan cedera pada kolumna vertebra
melewati tulang dan diskus. (11)
b. Fraktur Lumbal
Tanda radiografi berhubungan dengan fraktur lumbar dan bentuknya
menyerupai fraktu thorakal dan thorakolumbal. Namun, karena pada bagian
ini umumnya mengenai cauda equine maka jarang yang berdampak pada
defisit neurologis yang komplit. (4)
21
hanya memiliki resiko yang kecil untuk menjadi rusak. Cedera tidak stabil
adalah cedera yang memiliki resiko yang signifikan untuk terjadinya
displasme dan kerusakan yang lebih lanjut pada jaringan saraf.
Pada cedera tulang belakang yang lebih lanjut, kerusakan dapat dilihat
mulai saat cedera. Dimana apabila terjadi gerakan pada tulang belakang ini
akan menyebabkan kerusakan yang lebih buruk pada lesi. Oleh karena itu,
penting untuk mencurigai semua cedera sebagai cedera yang tidak stabil
sampai terbukti sebaliknya. Untungnya, hanya 10% dari patah tulang
belakang tidak stabil dan kurang dari 5% berhubungan dengan kerusakan
sumsum.
2. Patofisiologi
a. Perubahan primer. Cedera fisik mungkin terbatas pada kolumna
vertebral, termasuk komponen jaringan lunaknya dan bervariasi dari
strain ligamen ke fraktur vertebra dan dan fraktur-dislokasi.
Sumsum tulang belakang dan/atau akar saraf dapat terluka, baik
oleh trauma awal atau ketidakstabilan struktural yang sedang
berlangsung dari segmen tulang belakang, menyebabkan kompresi
22
langsung, perpindahan energi yang parah, gangguan fisik atau
kerusakan suplai darah.
b. Perubahan sekunder. Selama beberapa jam dan beberapa hari
setelah cedera tulang belakang terjadi, perubahan biokimia dapat
menyebabkan gangguan seluler yang lebih lanjut dan perluasan
kerusakan neurologis awal.
3. Mekanisme Trauma
Ada 3 mekanisme dasar pada trauma tulang belakang yaitu :
a. Trauma Traksi. Pada vertebra lumbal, usaha otot yang tertahan
dapat menimbulkan avulsi prosessus transversus. Pada vertebra
servikal, prosessus spinosus ketujuh dapat mengalami avulsi
(fraktur clay-shoveller).
b. Trauma Langsung. Trauma penetrasi pada tulang belakang, luka
bakar, dan trauma akibat pisau menjadi trauma langsung yang
paling sering,
c. Trauma Tidak Langsung. Ini adalah penyebab yang paling sering
dari kerusakan tulang belakang. Umumnya terjadi akibat jatuh dari
ketinggian dan menyebabkan kolapsnya kolumna vertebra pada
poros vertikalnya, atau pada gerakan bebas leher atau badan akibat
kekerasan. Berbagai tekanan atau paksaan dapat terjadi pada tulang
belakang (sering terjadi secara simultan) seperti axial compression,
fleksi, kompresi lateral, fleksi-rotasi, fleksi-distraksi dan ekstensi
23
Gambar 22. Mekanisme cedera. Spina biasanya cedera lewat salah satu dari
dua cara (a) jatuh pada kepala atau bagian leher; (b) pukulan pada dahi,
yang memaksa leher berhiperekstensi
24
ligamen posterior robek, cedera bersifat tak stabil dan badan vertebra
bagian atas dapat miring ke depan di atas badan vertebra di bawahnya;
pada leher, tipe subluksasi ini sering terlewatkan karena pada saat
dilakukan sinar X vertebra telah kembali ke tempatnya.
3. Pergeseran aksial (kompresi)
Kekuatan vertikal yang menimpa segmen lurus pada spina servikal
atau lumbal akan menimbulkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan
mematakan lempeng vertebra dan menyebabkan fraktur vertikal pada
vertebra. Dengan kekuatan yang lebih besar, bahan diskus di dorong
masuk ke dalam badan vertebral, menyebabkan fraktur remuk (burst
fracture). Karena unsur posterior utuh, keadaan ini didefinisikan sebagai
cedera stabil. Tetapi, fragmen tulang dapat terdorong ke belakang ke
dalam kanalis spinalis dan inilah yang mnjadikan fraktur ini berbahaya.
Kerusakan neurologik sering terjadi.
4. Fleksi, kompresi dan distraksi posterior
Kombinasi fleksi dengan kompresi anterior dan distraksi posterior
dapat mengganggu kompleks vertebra. Fragmen tulang dan bahan diskus
dapat bergeser ke dalam kanalis spinalis. Berbeda dengan fraktur
kompresi murni, keadaan ini merupakan cedera tak stabil dengan resiko
progresi yang tinggi.
Fleksi lateral yang terlalu banyak dapat menyebabkan kompresi pada
setengah korpus vertebra dan distraksi pada unsur lateral dan posterior
pada sisi sebaliknya. Kalau permukaan dan pedikulus remuk, lesi
bersifat tak stabil.
5. Fleksi yang digabungkan dengan rotasi dan pemuntiran
Cedera spina yang paling berbahaya adalah akibat kombinasi fleksi,
rotasi dan pemuntiran. Ligamen dan kapsul sendi teregang sampai batas
kekuatannya. Mereka dapat robek, permukaan sendi dapat mengalami
fraktur atau bagian atas dari satu vertebra dapat terpotong. Akibatnya
adalah pergeseran atau dislokasi ke depan vertebra di atas, dengan atau
25
tanpa dibarengi kerusakan tulang. Semua fraktur-dislokasi bersifat tak
stabil dan terdapat banyak resiko munculnya kerusakan neurologik.
6. Translasi horizontal.
Kolumna vertebralis ‘teriris‘ dan segmen bagian atas atau bawah
dapaat bergeser ke anteroposterior atau ke lateral. Lesi bersifat tidk
stabil dan kerusakan saraf sering terjadi. (10)
2.10 Diagnosis
1. Primary Survey
a. Airway
- Menilai jalan napas sambil tetap mempertahankan proteksi
cervical spine
- Membuat jalan napas definitif sesuai kebutuhan
b. Breathing
Menilai dan menyediakan oksigenasi adekuat dan bantuan ventilasi
sesuai kebutuhan. (4)
c. Circulation
- Jika pasien mengalami hipotensi, kita harus mampu
membedakannya antara syok hipovolemik, syok neurogenik atau
syok spinal. Syok Hipovolemik, ditandai dengan takikardi,
konstriksi perifer dan hipotensi. Syok Neurogenik muncul karena
kerusakan simpatis pada tulang belakang, pembuluh darah
26
perifer dilatasi dan mengakibatkan hipotensi namun tidak
mempengaruhi peningkatan denyut jantung. Kombinasi dari
paralisis, perfusi yang bagus pada area perifer, bradikardi serta
hipotensi dengan tekanan diastol yang rendah adalah tanda Syok
Neurogenik. Penggunaan cairan sresusitasi yang berlebihan
dapat menyebabkan pulmonari edem, dalam hal ini atropin dan
vasopresor mungkin dibutuhkan. Spinal syok terjadi ketika
tulang belakang rusak akibat dari trauma. Bahkan bagian tubuh
yang berkaitan dengan medula spinalis dapat terlibat, dibawah
level yang terjadi trauma dapat muncul flasid dari otot, refleks
dan sensasi yang menghilang. Apabila refleks primitif
menghilang, perbaikan akan muncul dengan berjalannya waktu.
(10)
27
dihangatkan sebelum diinfuskan, dan lingkungan yang hangat harus
(4)
dipertahankan
2. Secondary Survey
a. Menggali AMPLE history
Allergies
Medications
Past Medical Histroy, Pregnancy
Last Meal
Evenst surrounding injury, Environment). (4)
Kecurigaan terhadap adanya trauma tulang belakang sangat
penting meskipun tanda dan gejalanya minimal. Setiap pasien
dengan trauma tumpul diatas clavikula, cedera kepala, atau
kehilangan kesadaran patut dicurigai adanya trauma tulang belakang
sampai terbukti sebaliknya. Setiap pasien dengan mekanisme cidera
jatuh dari ketinggian atau kecelakaan deselerasi dalam kecepatan
tinggi harus diperlakukan sebagai trauma thoracolumbar. Pada
trauma multipel juga dapat dimungkinkan memiliki trauma tulang
belakang, trauma yang lebih ringan namun disertai dengan nyeri di
daerah leher/punggung/terdapat gejala neurologis di anggota tubuh.
(10)
28
spinoss yang menunjukkan ketidakstabilan kolumna posterior.
Bagian belakang leher juga harus dilakukan pemeriksaan tapi
pada keseluruhan pemeriksaan tidak boleh menggerakkan
servikal karena meningkatkan resiko trauma tulang belakang
pada trauma yang tidak stabil.
2) Punggung
Pasien dilakukan “log-roll” untuk mencegah pergerakan dari
columna vertebralis. Punggung dilakukan inspeksi apakah ada
deformitas, trauma tembus, hematoma, atau jejas. Tulang dan
jaringan lunak dipalpasi dengan referensi pada interspinous
space. Kemudian menilai krepitasi, peningkatan nyeri dengan
palpasi, hematom, dan gap. Adanya hematom, gap atau step
adalah tanda adanya ketidakstabilan.
29
Gambar 25. Memar di punggung bawah harus dicurigai sebagai fraktur
vertebra lumbalis
3) Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis lengkap harus dilakukan pada setiap
kasus, dan mungkin dilakukan berulang kali selama beberapa
hari pertama. Pemeriksaan setiap dermatom, myotome dan
refleks harus dilakukan.
Fungsi medulla spinalis kolumna longitudinalis juga dinilai;
traktus kortikospinalis (posterolateral cord, ipsilateral motor
power), traktus spinotalamikus (anterolateral cord, contralateral
pain dan suhu), serta kolumna posterior (ipsilateral propriosepsi).
Sacral sparing harus dilakukan pemeriksaan dengan melihat
flexi kaki, active anal squeeze dan intact perianal sensation
untuk melihat lesi sebagian atau komplit. Pasien yang tidak
sadarkan diri sulit untuk dilakukan pemeriksaan. Clue untuk
adanya trauma tulang belakang adalah riwayat jatuh atau
kecelakaan akibat kecepatan tinggi, trauma kepala, flaccid anal
spincter, hipotensi dengan bradikardi dan nyeri dibagian atas
klavikula.
30
Respons Motorik
Diafragma berfungsi normal C3, C4, C5
Mengangkat bahu C4
Fleksi siku (biceps) C5
Ekstensi pergelangan tangan C6
Ekstensi siku C7
Fleksi pergelangan tangan C7
Abduksi jari tangan C8
Membusungkan dada T1-T12
Fleksi panggul L2
Ekstensi lutut L3-L4
Fleksi dorsal pergelangan kaki L5-S 1
Fleksi plantar pergelangan kaki S1-S2
Respons sensorik
Paha anterior L2
Lutut anterior L3
Pergelangan kaki anterolateral L4
Jempol kaki dan jari kedua dorsal L5
Kaki lateral S1
Betis posterior S2
Perineum S2-S5
31
Gambar 26. Pemeriksaan Neurologis
32
e. Evaluasi ulang
Melakukan evaluasi ulang untuk melihat adanya cedera lain yang
berkaitan. (10)
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain:
a. Pemeriksaan Radiologi
1) Foto x-ray : Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tulang
vertebra, untuk melihat adanya fraktur ataupun pergeseran pada
vertebra, serta untuk memperlihatkan sifat dan tingkat lesi
tulang. Pemeriksaan ini wajib dilakukan untuk semua korban
kecelakaan yang mengeluh sakit atau kekakuan pada leher,
punggung, atau parastesia perifer, semua passion cedera kepala
atau cedera wajah parah (vertebra cervical), pasien dengan
fraktur costa atau seat-belt bruising (vertebra thorakal), dan
trauma pelvis atau abdomen yang berat (vertebra thoracolumbal).
Hal ini dapat ditemukan selama secondary survey. Begitupun
dengan pasien yang tidak sadar harus diperiksakan foto X-ray
tulang belakang sebagai bagian dari work-up rutin. Namun
pemeriksaan ini harus dilakukan dengan hati-hati dengan
pergerakan dan manipulasi minimal.
Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari
karena adanya superposisi. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
Posisi AP
f. Alignment : Processus spinosus line, pedicle line,
interpediculare distance.
g. Bone : Body Height (Menilai endplate), burst fracture,
winking owl sign.
33
h. Discuss Intervertebralis
Posisi Lateral
i. Alignment : Anterior body line, posterior body line, spinolamellar
line, processus spinosus line
j. Bone : Body Height (Menilai endplate), burst fracture
k. Khusus untuk foto Cervical, menilai adanya soft tissue swelling pada
C2 dan C6.
l. Discuss intervertebralis
m. Environment (Curvatura vertebra). (10)
Gambar 28. Foto X Ray Cervical normal posisi AP dan Lateral. (12)
Gambar 29. Foto X Ray Thorax normal posisi AP dan Lateral (13)
34
Gambar 30. Foto X Ray Lumbar posisi AP dan lateral. (12)
35
Gambar 31. CT Scan vertebra lumbalis potongan sagittal dan axial. (13)
Gambar 32. MRI vertebra lumbalis potongan sagittal dan axial. (13)
36
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan seperti darah
rutin, LED, fungsi ginjal, clotting dan bleeding time dan lain-lain. (14)
2.11 Penatalaksanaan
Semua penderita korban kecelakaan yang memperlihatkan gejala adanya
kerusakan pada tulang belakang seperti nyeri leher, nyeri punggung, kelemahan
anggota gerak atau perubahan sensitivitas harus dirawat seperti merawat pasien
kerusakan tulang belakang sampai dibuktikan bahwa tidak ada kerusakan tersebut.
(15)
37
spinalis, dengan harapan dapat mengembalikan fungsi medula spinalis yang
terganggu akibat penekanan tersebut. Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam
waktu enam jam pascatrauma untuk mencegah kerusakan medula spinalis yang
permanen. Tidak boleh dilakukan dekompresi dengan cara laminektomi, karena
akan menambah instabilitas tulang belakang. (15)
Pemberian obat juga dapat diberikan yaitu dengan menggunakan
kortikosteroid. Namun berdasarkan beberapa percobaan yang dilakukan di USA
dan beberapa Negara lain, penggunaan methylprednisolone IV masih meragukan
manfaatnya dan saat ini hanya dipandang sebagai pilihan untuk pasien yang
mengalami cedera dengan onset beberapa jam pertama. (10)
Berikut adalah penanggulangan trauma tulang belakang dan medula spinalis,
meliputi:
1. Prinsip umum
Pikirkan selalu kemungkinan adanya cedera medula spinalis
Mencegah terjadinya cedera kedua
Lakukan evaluasi dan rehabilitasi
2. Tindakan
Adakan imobilisasi di tempat kejadian (dasar papan)
Optimalisasi faal ABC: jalan napas, pernafasan, dan peredaran darah
Penanganan kelainan yang lebih urgen
Pemeriksaan neurologik untuk menentukan tempat lesi
Pemeriksaan radiologik (kadang diperlukan)
Tindakan bedah (dekompresi, reposisi, atau stabilisasi). (15)
2.12 Komplikasi
Defisit neurologis sering berkembang beberapa jam atau hari pada trauma
medula spinalis akut, meskipun sudah mendapat terapi optimal. Salah satu tanda
adanya kemunduran neurologis adalah adanya defisit sensoris. Pasien dengan
trauma medula spinalis beresiko tinggi terjadi aspirasi, karena itu perlu
pemasangan NGT. Adapun resiko komplikasi lainnya adalah ulkus dekubitus,
pneumonia, infeksi pasca operasi, dll. (15)
38
2.13 Prognosis
1. Pada awal tahun 1990, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada
pasien dengan lesi komplit mencapai 100%. Namun kini, angka
ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan trauma quadreplegia
mencapai 90%. Perbaikan yang terjadi dikaitkan dengan pemakaian
antibiotik untuk mengobati pneumonia dan infeksi traktus urinarius.
2. Pasien dengan trauma belakang komplit berpeluang sembuh kurang dari
5%. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma,
peluang perbaikan adalah nol.
3. Prognosis trauma belakang inkomplit lebih baik. Jika fungsi sensoris
masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali lebih dari 50%.
(15)
39
BAB 3
KESIMPULAN
Vertebra pada orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan 5 pembagian regio
yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal. Fungsi vertebra yaitu
melindungi medullaspinalis dan serabut saraf, menyokong berat badan dan
berperan dalam perubahan posisi tubuh.
Trauma vertebra adalah cedera pada tulang belakang yang mengenai
cervicalis, thoracalis maupun lumbalis dapat disebabkan oleh trauma berupa jatuh
dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan sebagainya yang
dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran atau lebih tulang vertebra sehingga
mengakibatkan defisit neurologis.Adapun tipe-tipe spesifik dari trauma tulang
belakang meliputi atlanto-occipital dislocation, atlas (C1) fracture, C1 rotary
subluxation, axis (C2) fracture, fractures and dislocations (C3-C7), dan trauma
vertebra thoracal dan lumbal. Mekanisme trauma yang menjadi dasar pada trauma
tulang belakang yaitu trauma traksi, trauma langsung, dan tidak langsung dengan
tipe-tipe pergeseran meliputi hiperekstensi, fleksi, pergeseran axial (kompresi),
fleksi-kompresi-dan distraksi posterior, fleksi yang digabungkan dengan rotasi
dan pemuntiran, serta translasi horizontal.
Setiap pasien dengan mekanisme cedera jatuh dari ketinggian atau kecelakaan
deselerasi dalam kecepatan tinggi harus diperlakukan sebagai trauma
thoracolumbar. Pada trauma multipel juga dapat dimungkinkan memiliki trauma
tulang belakang, trauma yang lebih ringan namun disertai dengan nyeri di daerah
leher/punggung/terdapat gejala neurologis di anggota tubuh.
Adapun penatalaksanaan trauma tulang belakang meliputi imobilisasi di
tempat kejadian, optimalisasi ABC, penanganan kelainan yang lebih urgen,
pemeriksaan neurologis, dan tindakan bedah (dekompresi, reposisi, atau
stabilisasi).
40
DAFTAR PUSTAKA
12. Thompson JC. Netter;s Concise Orthopaedic Anatomy. 2nd ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2010.
41
https://radiopaedia.org/cases/normal-lumbosacral-ct?lang=us.
14. Rajasekaran S. Spinal Infections and Trauma. In. India: Jaypee Brothers
Medical Publisher; 2011.
15. Rizal A. Penatalaksanaan Ortopedi Terkini untuk Dokter Layanan Primer. In.
Jakarta: Mitra Wacana Media; 2014. p. 95-111.
42