Anda di halaman 1dari 42

BAB 1

PENDAHULUAN

Tulang belakang (vertebra) dimulai dari cranium sampai pada apex coccygeus,
membentuk skeleton dari leher, punggung dan bagian utama skeleton (tulang
cranium dari 33 vertebra dengan 5 pembagian regio yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5
lumbal, 5 sacral, dan 4 coccigeal. (1)
Vertebra merupakan suatu kesatuan yang kuat diikat oleh ligamen di depan
dan di belakang serta dilengkapi dengan diskus intervertebralis yang mempunyai
daya absorbsi tinggi terhadap tekanan atau trauma yang memberikan sifat
fleksibel dan elastis. Semua trauma tulang belakang harus dianggap sebagai suatu
trauma hebat sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transportasi ke rumah
sakit harus dilakukan secara hati-hati. (2) (3)
Cedera kolumna vertebralis, dengan atau tanpa defisit neurologis harus tetap
selalu dipikirkan pada pasien dengan trauma multipel. Kurang lebih dari 5%
pasien dengan cedera kepala juga mengalami cedera tulang belakang, sementara
25% pasien dengan cedera tulang belakang mengalami setidaknya cedera kepala
ringan. Kurang lebih 55% trauma tulang belakang terjadi pada regio servikal, 15%
pada regio torakal, 15% di regio sendi torakalumbal, dan 15% di area
lumbosacral.
Dokter dan petugas medis lain yang menangani pasien dengan trauma tulang
belakang harus selalu berhati hati bahwa manipulasi yang berlebihan dan
imobilisasi yang tidak adekuat akan menyebabkan kerusakan neurologis tambahan
dan memperburuk kondisi pasien. 5% pasien mengalami gejala neurologis atau
perburukan kondisi setelah sampai di unit gawat darurat. Hal ini disebabkan
iskemia atau terjadinya edema pada medulla spinalis, tetapi bisa juga disebabkan
akibat gagalnya pemasangan imobilisasi yang adekuat. Selama tulang belakang
pasien diproteksi dengan baik, pemeriksaan tulang belakang dan ekslusi trauma
spinal dapat ditunda dengan aman, terutama bila terjadi instabilitas sistemik
seperti hipotensi dan respirasi yang tidak adekuat. (4)

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Vertebra


Vertebra adalah pilar yang berfungsi sebagai penyangga tubuh dan
melindungi medulla spinalis. Vertebra terdiri atas 33 ruas tulang belakang yang
tersusun secara segmental yang terdiri atas 7 ruas tulang servikal (vertebra
cervical), 12 ruas tulang thorakal (vertebra thoracalis), 5 ruas tulang lumbal
(vertebra lumbalis), 5 ruas tulang sakral (vertebra sakralis) dan 4 ruas tulang
coccygeal. (5)

Gambar 1. Anatomi vertebra

Setiap ruas pada vertebra dapat bergerak satu dengan yang lain oleh karena
adanya dua sendi posterolateral dan diskus intervertebralis di anterior. Pada
pandangan dari arah lateralis, vertebra membentuk lordosis di daerah servikal dan
lumbal. Sedangkan pada bagian thorakal membentuk khiposis. Keseluruhan
vertebra beserta diskus intervertebralisnya merupakan satu kesatuan yang kokoh
dengan diskus yang memungkinkan gerakan antara korpus ruas tulang belakang.

2
Lingkup gerak sendi pada vertebra servikal adalah yang terbesar. Vertebra torakal
berlingkup gerak sedikit karena adanya tulang rusuk yang membentuk toraks,
sedangkan vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup gerak yang lebih besar dari
torakal tetapi makin ke bawah lingkup geraknya semakin kecil. (5)
Secara umum, struktur tulang belakang tersususn atas dua yaitu :
1. Korpus vertebra beserta semua diskus intervertebralis yang berada di
antaranya.
2. Elemen posterior (kompleks ligamentum posterior) yang terdiri atas lamina,
pedikel, prosesus spinosus, proses transversus, dan pars artikularis,
ligamentum-ligamentum supraspinosum dan intraspinosum, ligamentum
flavum dan kapsul sendi.

Setiap ruas vertebra terdiri dari korpus pada bagian depan dan arkus neuralis
pada bagian belakang serta sepasang pedikel pada bagian kanan dan kiri, sepasang
lamina, 1 prosesus spinosus, prosesus transversus dan pars artikularis, ligamentum
supraspinosum dan ligamentum transversum. Beberapa ruang ruas tulang
belakang memiliki bentuk khusus, misalnya tulang servikal pertama yang disebut
atlas dan ruas tulang servikal kedua yang disebut odontoid. Kanalis spinalis
terbentuk antara korpus di bagian depan dan arkus neuralis di bagian belakang.
Kanalis spinalis di daerah servikal membentuk segitiga dan lebar, sedangkan di
daerah torakal terbentuk bulan dan kecil. Bagian lain yang menyokong
kekompakan ruas tulang belakang adalah komponen jaringan lunak yaitu
ligamentum longitudinal anterior, ligamentum longitudinal posterior, ligamentum
flavum, ligamentum interspinosus, dan ligamentum supraspinatus.
Stabilitas tulang belakang disususn oleh dua komponen, yaitu komponen
tulang dan komponen jaringan lunak yang membentuk suatu struktur dengan 3
pilar. Pertama yaitu, satu tiang atau kolom di depan yang terdiri atas korpus serta
diskus intervertebralis. Kedua dan ketiga yaitu kolom dibelakang kanan dan kiri
terdiri atas rangkaian sendi intervertebralis lateralis. Tulang belakang dikatakan
tidak stabil bila kolom vertikal terputus pada lebih dua komponen. (5)

3
Gambar 2. Sendi dan Ligamen Kolumna Vertebra

Medulla spinalis berjalan melalui tiap-tiap vertebra dan membawa saraf


yang menyempaikan sensasi dan gerakan dari dan ke berbagai area tubuh.
Semakin tinggi kerusakan saraf tulang belakang, maka semakin luas trauma yang
diakibatkan. Misalnya, jika kerusakan saraf tulang belakang di daerah leher, hal
ini dapat berpengaruh pada fungsi di bawahnya dan menyebabkan seseorang
lumpuh pada kedua sisi mulai dari leher ke bawah dan disertai sensibilitas.
Kerusakan pada area sakral akan mengakibattkan kehilangan fungsi pada organ
yang dipersarafi oleh saraf yang melewati tulang sakral. (5)

2.2 Fungsi Vertebra


Vertebra memiliki fungsi penting bagi tubuh, yaitu :
1. Melindungi medulla spinalis dan serabut saraf
2. Menyokong berat badan
3. Berperan dalam perubahan posisi tubuh

2.3 Stabilitas Vertebra


Terdapat 3 konsep stabilitas vertebra menurut klasifikasi Dennis yang sering
disebut dengan “Teori 3 Kolom”, yaitu :

4
1. Bagian anterior adalah ligamentum longitudinale anterior dan 2/3 bagian
depan dari korpus vertebra dan diskus.
2. Bagian tengah (Middle) adalah 1/3 bagian posterior dari korpus vertebra
dan diskus serta ligamentum longitudinale posterior.
3. Bagian posterior adalah pedikel, lamina, facets, dan ligamentum
posterior.
Jika terjadi fraktur pada lebih dari satu kolum makan akan terjadi instabilitas
vertebra

Gambar 3. Konsep 3 kolum stabilitas vertebra

Instabilitas kolumna vertebralis ialah hilangnya hubungan normal antara


struktur anatomi dari kolumna vertebralis sehingga terjadi perubahan fungsi
alaminya. Kolumna vertebralis tidak lagi mampu menahan beban normal.
Deformitas yang permanen dari kolumna vertebralis dapat menyebabkan rasa
nyeri. Keadaan ini merupakan ancaman terjadinya kerusakan jaringan saraf yang
berat. Instabilitas dapat terjadi karena fraktur dari korpus vertebralis, lamina, dan
atau pedikel. Kerusakan dari jaringan lunak juga dapat menyebabkan dislokasi
dari komponen-komponen anatomi sehingga terjadi instabilitas. Fraktur dan
dislokasi dapat terjadi secara bersamaan. (6)

5
2.4 Definisi Trauma Vertebra
Trauma vertebra adalah cedera pada tulang belakang yang mengenai
cervicalis, thoracalis, lumbalis, sacral, dan coccigeal dapat disebabkan oleh
trauma berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga,
dan sebagainya yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran atau lebih pada
tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologis. (7)

2.5 Etiologi
Berikut adalah penyebab terbanyak dari trauma pada tulang belakang :
1. Kecelakaan kendaraan bermotor
Kecelakaan mobil dan sepeda motor adalah penyebab utama trauma pada
tulang belakang. Terhitung lebih dari 35% dari trauma tulang belakang terjadi
setiap tahunnya akibat kecelakaan kendaraan bermotor.
2. Jatuh dari ketinggian
Trauma tulang belakang setelah usia 65 tahun paling sering disebabkan
oleh jatuh. Secara keseluruhan, jatuh menyebabkan lebih dari 15% trauma
tulang belakang.
3. Tindak kekerasan
Sekitar 12% trauma pada tulang belakang disebabkan oleh kekerasan, dan
paling sering melibatkan luka tembak dan pisau.
4. Olahraga dan cedera rekreasi
Kegiatan atletik seperti olagraga dan menyelam pada air dangkal dapat
menyebabkan sekitar 9% dari trauma tulang belakang. (8) (9)

2.6 Faktor Resiko


Meskipun trauma tulang belakang merupakan hasil dari kecelakaan dan
dapat terjadi pada siapa saja, faktor-faktor tertentu dapat memengaruhi seseorang
memiliki resiko lebih tinggi mengalami cedera tulang belakang, diantaranya :

6
1. Laki-laki
Trauma tulang belakang memengaruhi jumlah pria yang tidak
proporsional. Faktanya, wanita hanya menyebabkan sekitar 20% dari trauma
tulang belakang di Amerika Serikat.
2. Berada pada usia 16-30 tahun
Penelitian menunjukkan bahwa kasus-kasus trauma tulang belakang
paling sering terjadi pada usia produktif yaitu 16-30 tahun dikarenakan pada
usia tersebut sebagian besar memiliki mobilitas yang cukup tinggi untuk
beraktivitas terutama di luar ruangan.
3. Memiliki perilaku beresiko
Yang termasuk perilaku beresiko mngalami trauma tulang belakang yaitu
berolahraga tanpa mengenakan peralatan keselamatan yang tepat atau
melakukan tindakan pencegahan yang tidak tepat, serta menyelam ke air yang
terlalu dangkal. Kecelakaan kendaraan bermotor juga menjadi penyebab
utama dari trauma pada tulang belakang untuk orang di bawah 65 tahun. (8)

2.7 Klasifikasi
Trauma tulang belakang dapat dibagi atas fraktur, fraktur dislokasi, trauma
medulla spinalis tanpa abnormalitas radiografik (SCIWORA), atau cedera
penetrasi. Setiap pembagian diatas dapat lebih lanjut diuraikan sebagai stabil dan
tidak stabil.
a. Trauma stabil adalah trauma vertebra yang salah satu komponen tulang
belakang tersebut tidak akan tergeser oleh gerakan normal. Pada cedera
yang stabil, jika elemen saraf tidak rusak maka masih ada sedikit resiko
jaringan tersebut menjadi rusak.
b. Trauma tidak stabil adalah trauma vertebra dimana terdapat resiko
signifikan dari displacement dan konsukensi kerusakan lebih lanjut dari
jaringan saraf. (10)
Walaupun demikian, penentuan stabilitas tipe cedera tidak selalu sederhana
dan para ahlipun kadang-kadang berbeda pendapat. Oleh karena itu, terutama
dalam penatalaksanaan awal penderita, semua penderita dengan defisit neurologis

7
harus dianggap mempunyai trauma tulang belakang yang tidak stabil. Karena itu
penderita ini harus tetap diimobilisasi sampai ada konsultasi dengan ahli bedah
saraf/ortopedi. (10)
Berikut adalah tipe-tipe spesifik dari trauma tulang belakang
1. Atlanto-occipital Dislocation
Insidens atlanto-occipital dislocation diperkirakan sebanyak 5-8% dari
(11)
kecelakaan lalu lintas yang fatal. Cedera ini jarang terjadi dan timbul
sebagai akibat dari trauma fleksi dan distraksi yang hebat. Kebanyakan
penderita meninggal karena kerusakan batang otak. Kerusakan neurologis
yang berat ditemukan pada level saraf cranial bawah. Kadang-kadang
penderita selamat bila resusitasi segera dilakukan ditempat kejadian. (4)
Anak-anak usia <12 tahun paling sering mengalami cedera ini karena
memiliki sendi occipitoatlantal yang lebih datar dan karena rasio antara berat
kepala dan berat tubuhnya lebih besar disbanding orang dewasa.
Pada pemeriksaan radiologi, dapat ditemulan soft tissue swelling yang
signifikan di daerah retrofaring pada vertebra cervical 2. Beberapa garis
anatomi menandai hubungan normal oksiput dengan C1. sebuah garis yang
ditarik ke bawah dari aspek cranial clivus ke Dens (Wackenheim line). Jika
jarak lebih besar dari 10 mm antara clivus dan dan dens dianggap abnormal.
Metode ini memiliki sensitivitas sekitar 50%. Interval yang lebih besar dari
13 mm antara posterior mandibula dan dens juga dianggap abnormal.
Sensitivitas metode ini adalah 25%. Rasio jarak antara basis dan arkus
posterior atlas juga harus bernilai < 1.0 untuk memastikan tidak adanya
dislokasi occipitoatlantal.
Klasifikasi Occipitoatlantal dislocation yang paling umum adalah
berdasarkan Traynelis and coleagus yang mengkategorikan trauma tersebut
menjadi 3 tipe. Pada tipe 1, terdapat dislokasi anterior dari oksiput terhadap
atlas. Tipe 2 merupakan hasil dari distraksi longitudinal. Hal ini dapat
menyebabkan defisit neurologis progresif. Pada tipe 3 terjadi dislokasi atau
subluksasi posterior.

8
Perlu diperhatikan bahwa mortalitas dari dislokasi kepala-leher sangat
tinggi. Hanya 20% pasien yang datang ke rumah sakit dengan dislokasi
atlanto-occipital akut yang memiliki pemeriksaan neurologis normal. Sisanya
akan menderita defisit neurologis. Cedera arteri vertebralis dapat menyertai
dislokasi. Mekanisme trauma yang paling umum adalah disebabkan oleh gaya
ekstensi-rotasi. Semua dislokasi occipito-cervical harus ditangani dengan
pemasangan halo vest sesegera mungkin. (11)

Gambar 4. Foto radiologi X Ray pada pasien post kecelakaan lalu lintas. (A)
Tampak pembengkakan jaringan >2 cm di depan C2. (B) Tampak deformitas
occipitocervical 10 hari pasca kecelakaan. (C) Tampak dislokasi antara
oksiput dan vertebra C1 setelah dilakukan traksi 5 lb. (11)

(A) (B)
Gambar 5. (A) Hubungan yang normal antara ramus posterior mandibola
dengan vertbera C1 serta dens. (B) Potongan midsagittal yang melalui
cranicervical junction. B, basis; O, opisthion; A, arcus anterior atlas; C, arcus
posterior atlas. (11)

9
Gambar 6. Klasifikasi dislokasi dan subluksasi occipitocervical menurut
Traynelis. (11)

2. Atlas (C1) Fracture


Fraktur atlas biasanya terjadi padai arcus anterior dan posterior yang
merupakan bagian paling lemah dari vertebra C1. Fraktur C1 pertama kali
dideskripsikan oleh Jefferson pada tahun 1921 sehingga fraktur ini juga
dinamai fraktur Jefferson. Mekanisme terjadinya cedera adalah axial loading,
seperti kepala tertimpa secara vertical oleh benda berat atau penderita terjatuh
dengan puncak kepala terlebih dahulu.
Pasien sering mengeluh ketidaknyamanan suboccipital yang berat dan
rasa tidak stabil. Terdapat retropharyngeal soft tissue swelling dengan ukuran
lebih besar dari 5 mm pada C3 yang dikombinasikan dengan fraktur pada C1
menjadi dugaan kuat terjadinya trauma bursting-type. Kombinasi dislokasi
massa lateral pada posisi open-mouth anteroposterior lebih dari 6,9 mm
merupakan indikasi dari insufisiensi ligament transversum. Tetapi
pengukuran ini tidak cukup sensitif untuk mendeteksi semua cedera.
Pada pemeriksaan CT scane potongan axial dapat dilihat dengan jelas
pola fraktur. Pola fraktur pada umumnya melibatkan fraktur arkus posterior,
lateral mass fractures, dan burst fracture yang dikombinasikan dengan
fraktur arkus anterior dan posterior. Burst fracture pada C1 sering disebut
Fraktur Jefferson. Pada trauma ini, terdapat satu atau dua fraktur pada arkus

10
posterior dan satu atau dua fraktur pada arkus anterior, dengan pergeseran
masa lateral. Fraktur akan terlihat jelas dengan proyeksi open mouth dari
daerah C1 dan C2 dan dapat dikonfirmasikan dengan CT Scan. (4) (11)

Gambar 7. Fraktur Jefferson. Open-mouth view radiograph. (10)

Gambar 8. CT scan potongan transversal memperlihatkan Fraktur Jefferson. (11)

Gambar 9. CT scan potongan transversal memperlihatkan pergeseran minimal


dari fraktur pada arkus posterior C1. (11)

11
3. C1 Rotary Subluxation
Cedera ini banyak ditemukan pada anak-anak. Dapat terjadi spontan
setelah terjadi cedera berat/ringan, dengan infeksi saluran napas atas atau
dengan rheumatoid arthritis. Penderita terlihat dengan rotasi kepala yang
persisten (torticollis). Pada orang dewasa, C1 rotary subluxation sering
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Sebagaimana pada anak-anak, pada
orang dewasa akan muncul gejala berupa “cock robin appearance” dengan
kepala miring dan rotasi ke sisi yang dislokasi. Cedera ini dapat didiagnosis
dengan baik melalui pemeriksan foto polos open-mouth odontoid view. “Wink
sign” dapat terlihat akibat dari overriding sendi C1-C2 pada satu sisi yang
normalnya berada pada sisi kontralateral. Jangan dilakukan rotasi paksa
untuk menanggulangi rotasi ini, sebaiknya dilakukan imobilisasi dan segera
rujuk.
Klasifikasi yang digunakan untuk cedera ini adalah klasifikasi Fielding &
Hawkins. Pada tipe I, dislokasi murni cedera rotasi. Pada tipe II, terjadi rotasi
malalignment dengan dislokasi anterior dari atlas <3-5 mm dan kemungkinan
terdapat defisiensi minimal dari ligament transversal. Pada tipe III terdapat
kombinasi dari rotasi-subluksasi dengan dislokasi >5 mm dan kemungkinan
terdapat defisiensi komplit dari ligament transversal, dan pada tipe IV terjadi
rotasi malalignment dan dislokasi ke posterior. (4) (11)

Gambar 10. CT Scan Axial pada pasien denga C1 rotary subluxation. (4)

12
Gambar 11. Klasifikasi Fielding & Hawkins pada C1 rotary subluxation. (11)

4. Axis (C2) Fractures


Aksis merupakan tulang vertebra terbesar dan mempunyai bentuk yang
istimewa karena itu mudah mengalami cedera.
a. Fraktur odontoid
Kurang 60% dari fraktur C2 mengenai odontoid, suatu tonjolan
tulang berbentuk pasak. Pada umumnya, pasien sering mengabaikan
cedera ini karena kurangnya gejala klinis dibandingkan nyeri leher.
Selain itu, jika pasien menderita trauma kepala atau sedang mabuk maka
cedera ini mudah terlewatkan. Mekanisme trauma fleksi dan ekstensi
dapat menyebabkan fraktur ini. Hiperfleksi menyebabkan pergeseran ke
anterior pada fraktur dens dan hiperekstensi menyebabkan pergeseran ke
posterior. Fraktur ini dapat diidentifikasi dengan foto rontgen servikal
lateral atau open-mouth odontoid process.
Klasifikasi fraktur odontoid dibagi berdasarkan lokasi frakturnya
pada odontoid. Klasifikasi yang paling sering digunakan adalah
klasifikasi Anderson & D’Alonzo. Tipe I terdiri atas cedera avulsi di
ujung dens. Tipe II terjadi pada dasar dens pada pertemuan dens dan
pusat axis. Sedangkan pada tipe III, fraktur telah berlanjut ke corpus axis.
(4) (11)

13
Gambar 12. Fraktur Odontoid. CT view pada Fraktur odontoid Tipe 1. (4)

Gambar 12. Fraktur Odontoid tipe I, II, dan III. (11)


b. Posterior Element Fractures
Fraktur hangman melibatkan elemen posterior C2 yaitu pars
interartikularis. 20% dari seluruh fraktur aksis disebabkan oleh fraktur
ini. Dapat disebabkan oleh kombinasi trauma tipe ekstensi, fleksi,
distraksi, dan axial loading pada vertebra cervical dan harus
dipertahankan dalam imobilisasi eksternal. Garis fraktur melalui arkus
neural pada axis. Fraktur ini diklasifikasikan berdasarkan modikasi dari

14
klasifikasi Effendi. Tipe I, fraktur melalui pars interarticularis bilateral
dengan pergeseran <3 mm dan tanpa angulasi. Fraktur ini biasanya
disebabkan oleh trauma hiperekstensi dan axial load. Arkus neurol
fraktur, tapi diskus intervertebralis idan ligamentum longitudinale
anterior masih intak.
Tipe II, fraktur ini merupakan fraktur bipedicular dengan pergeseran >3
mm dan angulasi C2 terhadap C3. Fraktur ini disebabkan oleh axial load
dengan hiperekstensi leher yang menyebabkan fraktu arkus neural yang
diikuti fleksi akibat distrupsi diskus intervertebralis C2-C3. Trauma ini
sering terjadi ada fraktue kompresi anterosuperior pada C3 atau
posteroinforior corpus vertebra C2. Terdapat dua varian dari fraktur tiper
II. Tipe IIA memperlihatkan angulasi signifikan tetapi memiliki
pergeseran minimal (Jarang melebihi 2-3 mm) dan termasuk distrupsi
signifikan dari diskus dan ligamentum longitudinale posterior. Trauma
ini sering disebabkan oleh trauma fleksi-distraksi. Sedangkan tipe III
fraktur hangman merupakan cedera tidak stabil dengan pergeseran dan
angulasi yang berat, berhubungan dengan dislokasi unilateral atau
bilateral dari C2 terhadap C3. Distrupsi ligamentum longitudinale
posterior dan diskus intervertebral C2-C3 juga terjadi pada trauma ini.
Trauma ini juga berhubungan dengan cedera saraf. Tipe III terjadi
dengan 3 pola dasar; fraktur arkus neural bilateral anterior hingga facet
joints dengan dislokasi posterior; cedera rotasi dengan fraktur arkus
neural pada satu sisi anterior hingga facet joint pada sisi kedua yang
mengakibatkan dislokasi facet unilateral; dan dislokasi facet bilateral
dengan fraktur pada arkus neural posterior hingga facet joint. Tipe III
juga disebabkan oleh trauma fleksi-distraksi diikuti hiperekstensi. (11)

15
Gambar 13. Fraktur Hangman dengan angulasi minimal dan tanpa
pergeseran yang signifikan pada fragmen fraktur. (11)

Gambar 14. Fraktur Hangman. (A) Axial; (B) Sagittal paramedian; (C)
Sagittal Midline CT reconsructions. (4)

Gambar 15. Fraktur Hangman. (A) Tipe I; (B) Tipe II; (C) Tipe IIA; (D)
Tipe III. (11)

16
c. Fraktur C2 lainnya
Sekitar 20% dari fraktur axis yang nonodontoid dan nonhangman’s,
termasuk fraktur body, pedikel, lateral mass, lamina, dan prosesus
spinosus. (4)
5. Fractures and Dislocations (C3-C7)
Fraktur C3 saangat jarang terjadi, hal ini mungkin disebabkan letaknya
berada diantara aksis yang mudah mengalami cedera dengan titik penunjang
tulang servikal yang mobile, seperti C5 dan C6, dimana terjadi fleksi dan
ekstensi tulang servikal terbesar. (4)
6. Trauma Vertebra Thorakal dan Lumbal
Thoracolumbar junction merupakan daerah yang paling sering mengalami
cedera pada trauma thoracal dan lumbal. Sering terjadi pada pasien-pasien
muda akibat kecelakaan high-energy. Lebih dari 50% fraktur terjadi antara
T11 dan L1, dan 30% diantara L2 dan L5. Lebih dari 50% terjadi karena
kecelakaan bermotor dan 25% akibat jatuh dari ketinggian lebih dari 6 kaki.
Trauma ini bahkan sering didapatkan pada pengemudi mobil yang memakai
sabuk pengaman namun pada saat kecelakaan mengendarai mobil dalam
kecepatan tinggi. Cedera neurologis komplit terjadi pada 20% kasus dan
cedera neurologis inkomplit pada 15% kasus.
Trauma thoracolumbal biasanya disebabkan karena aplikasi 1 atau 2 gaya
vector. Gaya paling umum adalah kompresi axial, kompresi lateral, fleksi,
ekstensi, distraksi, shear, dan rotasi. Namun yang paling sering adalah
kombinasi gaya fleksi-rotasi atau fleksi-distraksi. (11)

17
Gambar 16. (A) Axial compression force selalu menyebabkan kompresi atau
burst fractures. (B) Flexion forces menyebabkan kompresi atau burst
fractures atau jika gayanya berat maka menyebabkan Fraktur Chance. (C)
Lateral compression forces menyebabkan fraktur kompresi, yang
kompresinya asimetris dan burst fractures. (D) Shear forces cenderung
menghasilkan trauma tidak stabil seperti fraktur-dislokasi. € Extension forces
menyebabkan trauma ankylosed spine. (F) Flexion-distraction menyebabkan
fraktur Chance. (G) Flexion-rotation forces menyebabkan pola fraktur yang
bervariasi termasuk fraktur korpus vertebra dan distrupsi elemen posterior. (11)

Pemeriksaan X Ray thoracolumbal posisi AP dan lateral menjadi


pemeriksaan radiologi konvensional yang dapat kita lakukan. Namun CT
Scan menjadi modalitas utama untuk mengevaluasi trauma thoracolumbar
karena lebih baik dalam menilai fraktur kompresi dari burst fractures dan
mencegah misdiagnosis. Sedangkan MRI dapat dijadikan modalitas untuk
menilai jaringan lunak dan cedera medulla spinalis. Modalitas ini membantu
mengidentifikasi edema, hemoragik, hematom, kompresi dan transeksi
elemen saraf. (11)

18
a. Klasifikasi Denis
Denis menganalisa trauma thoracal dan lumbal dengan CT Scan lalu
mengklasifikasikannya sebagai fraktur kompresi, burst fractures, trauma
fleksi-distraksi, dan fraktur dislokasi.

Gambar 17. Klasifikasi Denis pada fraktur kompresi thoracolumbar. (A)


Fraktur melibatkan kedua endplates. (B) Fraktur hanya pada superior
endplate. (C) Fraktur hanya pada inferior endplate. (D) Korteks anterior
tertekuk dan retak dengan kedua endplate masih intak. (11)

Gambar 18. Klasifikasi Denis pada burst fractures thoracolumbar. (A)


Fraktur melibatkan kedua endplate. (B) Hanya melibatkan superior

19
endplate. (C) hanya melibatkan inferior endplate. (D) Kombinasi burst
fracture dan rotational forces, dengan corpus vertebra bergeser ke bidang
coronal. (E) Fraktur yang eksentrik, juga bergeser ke bidang koronal. (11)

Gambar 19. Klasifikasi Denis pada trauma fleksi-distraksi (Fraktur


Chance dan variannya). (A) Fraktur melewati tulang. (B) Fraktur
melewati ligament dan diskus intervertebralis. (C) Fraktur pada 2 level
columna vertebra dan melewati tulang. (D) Fraktur pada 2 level columna
vertebra dan melewati diskus intervertebralis. (11)

20
Gambar 20. Klasifikasi Denis pada trauma fleksi-dislokasi. (Aa-b) Terjadi
pada satu level melewati tulang. (Ba-c) Terjadi pada level ligament dan
diskus. (Ca-b) Pada 2 level dengan cedera pada kolumna vertebra
melewati tulang dan diskus. (11)
b. Fraktur Lumbal
Tanda radiografi berhubungan dengan fraktur lumbar dan bentuknya
menyerupai fraktu thorakal dan thorakolumbal. Namun, karena pada bagian
ini umumnya mengenai cauda equine maka jarang yang berdampak pada
defisit neurologis yang komplit. (4)

2.8 Patofisiologi Trauma Tulang Belakang


1. Trauma Stabil dan Tidak Stabil
Cedera pada tulang belakang membawa ancaman ganda, yaitu
kerusakan pada kolumna vertebral dan kerusakan pada jaringan saraf.
Cedera tulang dibagi menjadi dua, yaitu cedera tulang stabil dan tidak
stabil. Cedera stabil adalah di mana komponen vertebra tidak akan tergeser
oleh gerakan normal. Pada cedera stabil jika ada elemen saraf tidak rusak

21
hanya memiliki resiko yang kecil untuk menjadi rusak. Cedera tidak stabil
adalah cedera yang memiliki resiko yang signifikan untuk terjadinya
displasme dan kerusakan yang lebih lanjut pada jaringan saraf.

Gambar 21. Elemen struktur pada Vertebra. Garis vertikal memperlihatkan


klasifikasi Denis.. Tiga unsur itu adalah kompleks posterior, komponen
pertengahan dan kolumna anterior. Konsep ini sangat berguna untuk menilai
stabilitas cedera lumbalis

Pada cedera tulang belakang yang lebih lanjut, kerusakan dapat dilihat
mulai saat cedera. Dimana apabila terjadi gerakan pada tulang belakang ini
akan menyebabkan kerusakan yang lebih buruk pada lesi. Oleh karena itu,
penting untuk mencurigai semua cedera sebagai cedera yang tidak stabil
sampai terbukti sebaliknya. Untungnya, hanya 10% dari patah tulang
belakang tidak stabil dan kurang dari 5% berhubungan dengan kerusakan
sumsum.
2. Patofisiologi
a. Perubahan primer. Cedera fisik mungkin terbatas pada kolumna
vertebral, termasuk komponen jaringan lunaknya dan bervariasi dari
strain ligamen ke fraktur vertebra dan dan fraktur-dislokasi.
Sumsum tulang belakang dan/atau akar saraf dapat terluka, baik
oleh trauma awal atau ketidakstabilan struktural yang sedang
berlangsung dari segmen tulang belakang, menyebabkan kompresi

22
langsung, perpindahan energi yang parah, gangguan fisik atau
kerusakan suplai darah.
b. Perubahan sekunder. Selama beberapa jam dan beberapa hari
setelah cedera tulang belakang terjadi, perubahan biokimia dapat
menyebabkan gangguan seluler yang lebih lanjut dan perluasan
kerusakan neurologis awal.

3. Mekanisme Trauma
Ada 3 mekanisme dasar pada trauma tulang belakang yaitu :
a. Trauma Traksi. Pada vertebra lumbal, usaha otot yang tertahan
dapat menimbulkan avulsi prosessus transversus. Pada vertebra
servikal, prosessus spinosus ketujuh dapat mengalami avulsi
(fraktur clay-shoveller).
b. Trauma Langsung. Trauma penetrasi pada tulang belakang, luka
bakar, dan trauma akibat pisau menjadi trauma langsung yang
paling sering,
c. Trauma Tidak Langsung. Ini adalah penyebab yang paling sering
dari kerusakan tulang belakang. Umumnya terjadi akibat jatuh dari
ketinggian dan menyebabkan kolapsnya kolumna vertebra pada
poros vertikalnya, atau pada gerakan bebas leher atau badan akibat
kekerasan. Berbagai tekanan atau paksaan dapat terjadi pada tulang
belakang (sering terjadi secara simultan) seperti axial compression,
fleksi, kompresi lateral, fleksi-rotasi, fleksi-distraksi dan ekstensi

23
Gambar 22. Mekanisme cedera. Spina biasanya cedera lewat salah satu dari
dua cara (a) jatuh pada kepala atau bagian leher; (b) pukulan pada dahi,
yang memaksa leher berhiperekstensi

Cedera tak langsung biasanya terjadi bila kolumna spinalis mengalami


kolaps pada poros vertikalnya, khususnya saat jatuh dari tempat tinggi atau
bila seseorang terjebak di bawah reruntuhan. Arah kekuatan pada setiap
spina ditentukan oleh posisi kolumna vertebra pada saat benturan. Segmen
servikal dan lumbal yang fleksibel dapat juga mengalami cedera karena
gerakan bebas yang hebat pada leher atau badan. Tipe-tipe pergerseran yang
penting :
1. Hiperekstensi (Kombinasi distraksi dan ekstensi)
Hiperekstensi jarang terjadi pada daerah thorakolumbal tetapi amat
sering ditemukan pada leher misalnya karena pukulan pada wajah atau
dahi akan memaksa kepala hiperekstensi ke belakang dan tak ada yang
menyangga oksiput hingga kepala itu membentur bagian atas punggung.
Ligamen anterior dan diskus dapat rusak atau arkus saraf mungkin
mengalami fraktur. Biasanya cedera itu stabil, tetapi fraktur pada
pedikulus C2 (fraktur orang yang digantung) sering tidak stabil.
2. Fleksi
Jika ligamen posterior tetap utuh, fleksi paksaan akan meremukkan
badan vertebral menjadi baji. Ini adalah cedera yang stabil dan
merupakan tipe fraktur vertebral yang palig sering ditemukan. Jika

24
ligamen posterior robek, cedera bersifat tak stabil dan badan vertebra
bagian atas dapat miring ke depan di atas badan vertebra di bawahnya;
pada leher, tipe subluksasi ini sering terlewatkan karena pada saat
dilakukan sinar X vertebra telah kembali ke tempatnya.
3. Pergeseran aksial (kompresi)
Kekuatan vertikal yang menimpa segmen lurus pada spina servikal
atau lumbal akan menimbulkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan
mematakan lempeng vertebra dan menyebabkan fraktur vertikal pada
vertebra. Dengan kekuatan yang lebih besar, bahan diskus di dorong
masuk ke dalam badan vertebral, menyebabkan fraktur remuk (burst
fracture). Karena unsur posterior utuh, keadaan ini didefinisikan sebagai
cedera stabil. Tetapi, fragmen tulang dapat terdorong ke belakang ke
dalam kanalis spinalis dan inilah yang mnjadikan fraktur ini berbahaya.
Kerusakan neurologik sering terjadi.
4. Fleksi, kompresi dan distraksi posterior
Kombinasi fleksi dengan kompresi anterior dan distraksi posterior
dapat mengganggu kompleks vertebra. Fragmen tulang dan bahan diskus
dapat bergeser ke dalam kanalis spinalis. Berbeda dengan fraktur
kompresi murni, keadaan ini merupakan cedera tak stabil dengan resiko
progresi yang tinggi.
Fleksi lateral yang terlalu banyak dapat menyebabkan kompresi pada
setengah korpus vertebra dan distraksi pada unsur lateral dan posterior
pada sisi sebaliknya. Kalau permukaan dan pedikulus remuk, lesi
bersifat tak stabil.
5. Fleksi yang digabungkan dengan rotasi dan pemuntiran
Cedera spina yang paling berbahaya adalah akibat kombinasi fleksi,
rotasi dan pemuntiran. Ligamen dan kapsul sendi teregang sampai batas
kekuatannya. Mereka dapat robek, permukaan sendi dapat mengalami
fraktur atau bagian atas dari satu vertebra dapat terpotong. Akibatnya
adalah pergeseran atau dislokasi ke depan vertebra di atas, dengan atau

25
tanpa dibarengi kerusakan tulang. Semua fraktur-dislokasi bersifat tak
stabil dan terdapat banyak resiko munculnya kerusakan neurologik.
6. Translasi horizontal.
Kolumna vertebralis ‘teriris‘ dan segmen bagian atas atau bawah
dapaat bergeser ke anteroposterior atau ke lateral. Lesi bersifat tidk
stabil dan kerusakan saraf sering terjadi. (10)

2.9 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi. Kerusakan melintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi
motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai syok spinal.
Gejala yang biasa dikeluhkan oleh pasien dengan trauma tulang belakang
adalah: nyeri mulai dari leher sampai bawah, kehilangan fungsi (missal tidak
dapat menggerakkan lengan), kehilangan atau berubahnya sensasi di berbagai area
tubuh.

2.10 Diagnosis
1. Primary Survey
a. Airway
- Menilai jalan napas sambil tetap mempertahankan proteksi
cervical spine
- Membuat jalan napas definitif sesuai kebutuhan
b. Breathing
Menilai dan menyediakan oksigenasi adekuat dan bantuan ventilasi
sesuai kebutuhan. (4)
c. Circulation
- Jika pasien mengalami hipotensi, kita harus mampu
membedakannya antara syok hipovolemik, syok neurogenik atau
syok spinal. Syok Hipovolemik, ditandai dengan takikardi,
konstriksi perifer dan hipotensi. Syok Neurogenik muncul karena
kerusakan simpatis pada tulang belakang, pembuluh darah

26
perifer dilatasi dan mengakibatkan hipotensi namun tidak
mempengaruhi peningkatan denyut jantung. Kombinasi dari
paralisis, perfusi yang bagus pada area perifer, bradikardi serta
hipotensi dengan tekanan diastol yang rendah adalah tanda Syok
Neurogenik. Penggunaan cairan sresusitasi yang berlebihan
dapat menyebabkan pulmonari edem, dalam hal ini atropin dan
vasopresor mungkin dibutuhkan. Spinal syok terjadi ketika
tulang belakang rusak akibat dari trauma. Bahkan bagian tubuh
yang berkaitan dengan medula spinalis dapat terlibat, dibawah
level yang terjadi trauma dapat muncul flasid dari otot, refleks
dan sensasi yang menghilang. Apabila refleks primitif
menghilang, perbaikan akan muncul dengan berjalannya waktu.
(10)

- Resusitasi cairan untuk syok hipovolemik


- Jika terjadi spinal cord injury, resusitasi cairan harus dipandu
dengan memantau tekanan vena sentral (CVP). Beberapa pasien
harus dibantu dengan inotropik.
- Ketika melakukan pemeriksaan dubur, sebelum memasukkan
kateter urin harus menilai tonus sphincter rectal dan sensasi
perianal.
d. Disability (Pemeriksaan Neurologis Singkat)
- Menilai level kesadaran dan menilai pupil
- Menentukan skor Glasgow Coma Scale (GCS)
- Mengenali paralisis/parese.
e. Exposure and Environmental Control
Pasien harus benar-benar dibuka pakaiannya, biasanya dengan
memotong pakaiannya untuk memfasilitasi pemeriksaan dan
penilaian. Setelah pakaian pasien dilepas dan penilaian selesai,
pasien harus diberikan selimut yang hangat atau alat pemanasan
eksternal untuk mencegah hipotermia. Cairan intravena juga harus

27
dihangatkan sebelum diinfuskan, dan lingkungan yang hangat harus
(4)
dipertahankan
2. Secondary Survey
a. Menggali AMPLE history
 Allergies
 Medications
 Past Medical Histroy, Pregnancy
 Last Meal
 Evenst surrounding injury, Environment). (4)
Kecurigaan terhadap adanya trauma tulang belakang sangat
penting meskipun tanda dan gejalanya minimal. Setiap pasien
dengan trauma tumpul diatas clavikula, cedera kepala, atau
kehilangan kesadaran patut dicurigai adanya trauma tulang belakang
sampai terbukti sebaliknya. Setiap pasien dengan mekanisme cidera
jatuh dari ketinggian atau kecelakaan deselerasi dalam kecepatan
tinggi harus diperlakukan sebagai trauma thoracolumbar. Pada
trauma multipel juga dapat dimungkinkan memiliki trauma tulang
belakang, trauma yang lebih ringan namun disertai dengan nyeri di
daerah leher/punggung/terdapat gejala neurologis di anggota tubuh.
(10)

b. Menilai ulang level kesadaran dan pupil


c. Menilai GCS score
d. Pemeriksaan Fisik
1) Leher
Pasien biasanya datang dengan menyangga kepalanya
menggunakan tangannya sendiri. Kepala dan wajah harus
dilakukan pemeriksaan, apakah ada jejas yang memungkinkan
adanya trauma indirek kepada tulang belakang. Leher harus
diinspeksi untuk melihat adanya deformitas, memar atau luka
penetrasi. Tulang dan jaringan lunak disekitar leher dipalpasi
apakah ada tenderness atau pelebaran space antar processus

28
spinoss yang menunjukkan ketidakstabilan kolumna posterior.
Bagian belakang leher juga harus dilakukan pemeriksaan tapi
pada keseluruhan pemeriksaan tidak boleh menggerakkan
servikal karena meningkatkan resiko trauma tulang belakang
pada trauma yang tidak stabil.

Gambar 23. Memar pada wajah biasanya dicurigai sebagai trauma


akibat hiperekstensi leher.

2) Punggung
Pasien dilakukan “log-roll” untuk mencegah pergerakan dari
columna vertebralis. Punggung dilakukan inspeksi apakah ada
deformitas, trauma tembus, hematoma, atau jejas. Tulang dan
jaringan lunak dipalpasi dengan referensi pada interspinous
space. Kemudian menilai krepitasi, peningkatan nyeri dengan
palpasi, hematom, dan gap. Adanya hematom, gap atau step
adalah tanda adanya ketidakstabilan.

Gambar 24. (a) Imobilisasi dimana pasien diletakkan diatas papan


datar, kepalanya disanggah dengan karung pasir, lalu difiksasi di
bagian dahi, dan dipasangkan semi-rigid collar; (b,c) Pemeriksaan
fisik pada punggung dengan tekni log-roll.

29
Gambar 25. Memar di punggung bawah harus dicurigai sebagai fraktur
vertebra lumbalis

3) Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis lengkap harus dilakukan pada setiap
kasus, dan mungkin dilakukan berulang kali selama beberapa
hari pertama. Pemeriksaan setiap dermatom, myotome dan
refleks harus dilakukan.
Fungsi medulla spinalis kolumna longitudinalis juga dinilai;
traktus kortikospinalis (posterolateral cord, ipsilateral motor
power), traktus spinotalamikus (anterolateral cord, contralateral
pain dan suhu), serta kolumna posterior (ipsilateral propriosepsi).
Sacral sparing harus dilakukan pemeriksaan dengan melihat
flexi kaki, active anal squeeze dan intact perianal sensation
untuk melihat lesi sebagian atau komplit. Pasien yang tidak
sadarkan diri sulit untuk dilakukan pemeriksaan. Clue untuk
adanya trauma tulang belakang adalah riwayat jatuh atau
kecelakaan akibat kecepatan tinggi, trauma kepala, flaccid anal
spincter, hipotensi dengan bradikardi dan nyeri dibagian atas
klavikula.

30
Respons Motorik
 Diafragma berfungsi normal C3, C4, C5
 Mengangkat bahu C4
 Fleksi siku (biceps) C5
 Ekstensi pergelangan tangan C6
 Ekstensi siku C7
 Fleksi pergelangan tangan C7
 Abduksi jari tangan C8
 Membusungkan dada T1-T12
 Fleksi panggul L2
 Ekstensi lutut L3-L4
 Fleksi dorsal pergelangan kaki L5-S 1
 Fleksi plantar pergelangan kaki S1-S2
Respons sensorik
 Paha anterior L2
 Lutut anterior L3
 Pergelangan kaki anterolateral L4
 Jempol kaki dan jari kedua dorsal L5
 Kaki lateral S1
 Betis posterior S2
 Perineum S2-S5

31
Gambar 26. Pemeriksaan Neurologis

Gambar 27. ASIA Score

32
e. Evaluasi ulang
Melakukan evaluasi ulang untuk melihat adanya cedera lain yang
berkaitan. (10)

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain:
a. Pemeriksaan Radiologi
1) Foto x-ray : Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tulang
vertebra, untuk melihat adanya fraktur ataupun pergeseran pada
vertebra, serta untuk memperlihatkan sifat dan tingkat lesi
tulang. Pemeriksaan ini wajib dilakukan untuk semua korban
kecelakaan yang mengeluh sakit atau kekakuan pada leher,
punggung, atau parastesia perifer, semua passion cedera kepala
atau cedera wajah parah (vertebra cervical), pasien dengan
fraktur costa atau seat-belt bruising (vertebra thorakal), dan
trauma pelvis atau abdomen yang berat (vertebra thoracolumbal).
Hal ini dapat ditemukan selama secondary survey. Begitupun
dengan pasien yang tidak sadar harus diperiksakan foto X-ray
tulang belakang sebagai bagian dari work-up rutin. Namun
pemeriksaan ini harus dilakukan dengan hati-hati dengan
pergerakan dan manipulasi minimal.
Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari
karena adanya superposisi. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
Posisi AP
f. Alignment : Processus spinosus line, pedicle line,
interpediculare distance.
g. Bone : Body Height (Menilai endplate), burst fracture,
winking owl sign.

33
h. Discuss Intervertebralis
Posisi Lateral
i. Alignment : Anterior body line, posterior body line, spinolamellar
line, processus spinosus line
j. Bone : Body Height (Menilai endplate), burst fracture
k. Khusus untuk foto Cervical, menilai adanya soft tissue swelling pada
C2 dan C6.
l. Discuss intervertebralis
m. Environment (Curvatura vertebra). (10)

Gambar 28. Foto X Ray Cervical normal posisi AP dan Lateral. (12)

Gambar 29. Foto X Ray Thorax normal posisi AP dan Lateral (13)

34
Gambar 30. Foto X Ray Lumbar posisi AP dan lateral. (12)

2) Computerized Tomography (CT Scan) : Pemeriksaan ini sifatnya


membuat gambar vertebra 2 dimensi. Pemeriksaan vertebra
dilakukan dengan melihat irisan-irisan yang dihasilkan CT scan.
CT scan harus dilakukan dalam kasus-kasus yang meragukan
untuk menyingkirkan kemungkinan fraktur karena memiliki
visualisasi yang baik dari elemen posterior. CT scan ideal untuk
memperlihatkan kerusakan struktur di setiap vertebra dan
dislokasi dari fragmen tulang ke kanalis vertebrae. Area sulit
seperti vertebra cervical bagian atas, cervico-thoracic junction
dan segmen vertebra thoracal bagian atass sering dikaburkan
oleh bahu atau costa sehingga memerlukan pemeriksaan CT scan
maupun MRI. Adapun kelemahan dari CT Scan adalah tingkat
radiasi yang tinggi.

35
Gambar 31. CT Scan vertebra lumbalis potongan sagittal dan axial. (13)

3) Magnetic Resonance Imaging (MRI): Pemeriksaan ini


menggunakan gelombang frekuensi radio untuk memberikan
informasi detail mengenai jaringan lunak di daerah vertebra.
Gambaran yang akan dihasilkan adalah gambaran 3 dimensi .
MRI sering digunakan untuk mengetahui kerusakan jaringan
lunak pada ligament, discus intervertebralis, struktur saraf dan
diindikasikan untuk semua pasien yang memiliki deficit
neurologis dan yang akan dioperasi. (10)

Gambar 32. MRI vertebra lumbalis potongan sagittal dan axial. (13)

36
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan seperti darah
rutin, LED, fungsi ginjal, clotting dan bleeding time dan lain-lain. (14)

2.11 Penatalaksanaan
Semua penderita korban kecelakaan yang memperlihatkan gejala adanya
kerusakan pada tulang belakang seperti nyeri leher, nyeri punggung, kelemahan
anggota gerak atau perubahan sensitivitas harus dirawat seperti merawat pasien
kerusakan tulang belakang sampai dibuktikan bahwa tidak ada kerusakan tersebut.
(15)

Jika trauma tulang belakang bersifat stabil (jarang), pasien dapat


dipasangkan firm collar atau lumbar brace untuk mensupport tulang belakangnya
agar tidak menyebabkan ketegangan lebih lanjut, kemudian pasien dapat ditangani
secara konservatif dan dilakukan rehabilitasi sesegera mungkin. Namun, jika
defisit neurologis berkembang, maka hal ini menjadi indikasi dilakukan operasi
dekompresi dan fusi.
Jika pasien memiliki trauma yang tidak stabil, maka terapi konservatif
masih dapat digunakan bergantung pada ketersediaan unit spesial yang dilengkapi
perawatan sepanjang waktu, perawatan kandung kemih, fisioterapi khusus dan
terapi okupasi. Setelah beberapa minggu, cedera akan menjadi stabil secara
spontan dan pasien dapat menjalani rehabilitasi secara intensif. Namun operasi
dini lebih banyak dipilih oleh pasien yang tidak memiliki fasiitas keperawatan
yang berpengalaman untuk mencegah resiko deformitas tulang belakang.
Indikasi dilakukan operasi reduksi atau dekompresi dan stabilisasi adalah
adanya defisit neurologis progresif yang dibuktikan dengan adanya foto MRI yang
menunjukkan kompresi saraf. (10)
Mobilisasi dini merupakan syarat penting dalam penanganan trauma tulang
belakang sehingga penyakit yang timbul pada kelumpuhan akibat cidera tulang
belakang seperti infeksi saluran napas, infeksi saluran kencing atau dekubitus
dapat dicegah. Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu
melakukan reposisi untuk menghilangkan penyebab yang menekan medula

37
spinalis, dengan harapan dapat mengembalikan fungsi medula spinalis yang
terganggu akibat penekanan tersebut. Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam
waktu enam jam pascatrauma untuk mencegah kerusakan medula spinalis yang
permanen. Tidak boleh dilakukan dekompresi dengan cara laminektomi, karena
akan menambah instabilitas tulang belakang. (15)
Pemberian obat juga dapat diberikan yaitu dengan menggunakan
kortikosteroid. Namun berdasarkan beberapa percobaan yang dilakukan di USA
dan beberapa Negara lain, penggunaan methylprednisolone IV masih meragukan
manfaatnya dan saat ini hanya dipandang sebagai pilihan untuk pasien yang
mengalami cedera dengan onset beberapa jam pertama. (10)
Berikut adalah penanggulangan trauma tulang belakang dan medula spinalis,
meliputi:
1. Prinsip umum
 Pikirkan selalu kemungkinan adanya cedera medula spinalis
 Mencegah terjadinya cedera kedua
 Lakukan evaluasi dan rehabilitasi
2. Tindakan
 Adakan imobilisasi di tempat kejadian (dasar papan)
 Optimalisasi faal ABC: jalan napas, pernafasan, dan peredaran darah
 Penanganan kelainan yang lebih urgen
 Pemeriksaan neurologik untuk menentukan tempat lesi
 Pemeriksaan radiologik (kadang diperlukan)
 Tindakan bedah (dekompresi, reposisi, atau stabilisasi). (15)

2.12 Komplikasi
Defisit neurologis sering berkembang beberapa jam atau hari pada trauma
medula spinalis akut, meskipun sudah mendapat terapi optimal. Salah satu tanda
adanya kemunduran neurologis adalah adanya defisit sensoris. Pasien dengan
trauma medula spinalis beresiko tinggi terjadi aspirasi, karena itu perlu
pemasangan NGT. Adapun resiko komplikasi lainnya adalah ulkus dekubitus,
pneumonia, infeksi pasca operasi, dll. (15)

38
2.13 Prognosis
1. Pada awal tahun 1990, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada
pasien dengan lesi komplit mencapai 100%. Namun kini, angka
ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan trauma quadreplegia
mencapai 90%. Perbaikan yang terjadi dikaitkan dengan pemakaian
antibiotik untuk mengobati pneumonia dan infeksi traktus urinarius.
2. Pasien dengan trauma belakang komplit berpeluang sembuh kurang dari
5%. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma,
peluang perbaikan adalah nol.
3. Prognosis trauma belakang inkomplit lebih baik. Jika fungsi sensoris
masih ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali lebih dari 50%.
(15)

39
BAB 3
KESIMPULAN

Vertebra pada orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan 5 pembagian regio
yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal. Fungsi vertebra yaitu
melindungi medullaspinalis dan serabut saraf, menyokong berat badan dan
berperan dalam perubahan posisi tubuh.
Trauma vertebra adalah cedera pada tulang belakang yang mengenai
cervicalis, thoracalis maupun lumbalis dapat disebabkan oleh trauma berupa jatuh
dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan sebagainya yang
dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran atau lebih tulang vertebra sehingga
mengakibatkan defisit neurologis.Adapun tipe-tipe spesifik dari trauma tulang
belakang meliputi atlanto-occipital dislocation, atlas (C1) fracture, C1 rotary
subluxation, axis (C2) fracture, fractures and dislocations (C3-C7), dan trauma
vertebra thoracal dan lumbal. Mekanisme trauma yang menjadi dasar pada trauma
tulang belakang yaitu trauma traksi, trauma langsung, dan tidak langsung dengan
tipe-tipe pergeseran meliputi hiperekstensi, fleksi, pergeseran axial (kompresi),
fleksi-kompresi-dan distraksi posterior, fleksi yang digabungkan dengan rotasi
dan pemuntiran, serta translasi horizontal.
Setiap pasien dengan mekanisme cedera jatuh dari ketinggian atau kecelakaan
deselerasi dalam kecepatan tinggi harus diperlakukan sebagai trauma
thoracolumbar. Pada trauma multipel juga dapat dimungkinkan memiliki trauma
tulang belakang, trauma yang lebih ringan namun disertai dengan nyeri di daerah
leher/punggung/terdapat gejala neurologis di anggota tubuh.
Adapun penatalaksanaan trauma tulang belakang meliputi imobilisasi di
tempat kejadian, optimalisasi ABC, penanganan kelainan yang lebih urgen,
pemeriksaan neurologis, dan tindakan bedah (dekompresi, reposisi, atau
stabilisasi).

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Moore K. Essential Clinical Anatomy. 2nd ed.: Baltimore : Williams and


Wilkins; 2002.

2. Rasjad. Ilmu Bedah Ortopode Makassar: Lamumpatue; 2003.

3. Roper S. Spine Fracture: In : Dept. Neurosurgery University of Florida; 2003.

4. American College of Surgeons Commitee on Trauma. ATLS Student Course


Manual. 9th ed. USA; 2012.

5. Schreiber D. Spinal Cord Injuries. [Online].; 2005 [cited 2019 April 8.


Available from: www.emedicine.com/emerg/topic553.htm.

6. Hanafiah H. Penatalaksanaan Trauma Spinal. Majalah Kedokteran Nusantara.


2007 Juni; 40 (2).

7. Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah Jakarta: EGC; 2005.

8. Staff MC. Mayo Clinic. [Online]. [cited 2019 4 9. Available from:


https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/spinal-cord-injury/symptoms-
causes/syc-20377890.

9. Garrison A. NCBI. [Online].; 2004 [cited 2019 4 9. Available from:


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1350951/.

10. Eisenstein S, Masry WE. Injuries of the Spine. In Solomon L, Warwick D,


Nayagam S. Apley's System of Orthopaedics and Fractures. 9th ed. London:
Hodder Education; 2010.

11. Tay B, Eismont F. Injuries of the Upper Cervical Spine. In Herkowitz H,


Garfin S, Eismont F, Bell G, Balderston R. Rothman-Simeone The Spine. 6th
ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p. 1315.

12. Thompson JC. Netter;s Concise Orthopaedic Anatomy. 2nd ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2010.

13. Hacking C. Radiopaedia. [Online]. [cited 2019 4 17. Available from:

41
https://radiopaedia.org/cases/normal-lumbosacral-ct?lang=us.

14. Rajasekaran S. Spinal Infections and Trauma. In. India: Jaypee Brothers
Medical Publisher; 2011.

15. Rizal A. Penatalaksanaan Ortopedi Terkini untuk Dokter Layanan Primer. In.
Jakarta: Mitra Wacana Media; 2014. p. 95-111.

42

Anda mungkin juga menyukai