Anda di halaman 1dari 8

MENINGITIS BAKTERIA AKUT

dr. SUSI HARGIONO, Sp.S.


TUBAN, 15 JUNI 2011

I. PENDAHULUAN
Meningitis berasal dari Bahasa Yunani yaitu Meninges yang berarti
membran atau selaput, dan akhiran itis yang berarti inflamasi atau
peradangan. Sehingga meningitis dapat diartikan sebagai suatu penyakit
infeksi pada selaput saraf otak yang mana selaput saraf otak sendiri terdiri
dari Duramater, arakhnoid, dan piamater.
Sedangkan ensefalitis sendiri merupakan penyakit inflamasi
parenkim otak dengan karakteristik klinis : demam, sakit kepala, dan
kesadaran menurun. Terkadang juga disertai defisit neurologi fokal atau
multifokal dan kejang fokal atau general. Dapat bersifat akut, subakut dan
kronis.
Ensefalitis dapat disebabkan oleh suatu proses infeksi atau non
infeksi. Terminologi proses inflamasi ini sebagian besar dihubungkan
dengan proses infeksi (virus, bakteri, fungi, parasit, dll). Sementara proses
inflamasi yang penyebabnya oleh non infeksi disebut sebagai
“ensefalopati”.
Untuk lebih jelasnya lagi, maka meningitis bakteria akut merupakan
penyakit infeksi susunan saraf pusat yang mengenai piamater, arakhnoid,
ruang subarakhnoid dapat meluas ke jaringan otak dan medula spinalis, dan
disebabkan oleh bakteri patogen. Meskipun beberapa antibiotika telah
dipergunakan sebagai pengobatan, angka kematian dan kecacatan pada
penderita dewasa masih tetap tinggi (10-30%), terutama yang disebabkan
bakteri S. Pneumoniae. Meningitis bakteri akut merupakan kedaruratan
medis, diperlukan diagnosis dan pengobatan sedini mungkin untuk
mengurangi angka kematian dan kecacatan.
Diagnosis pasti harus cepat ditegakkan dengan analisis cairan
serebrospinal yang didapatkan melalui puncture lumbal (LP). Dalam
tindakan LP merupakan kontraindikasi maka pemeriksaan kultur dan

1
pengecatan Gram harus dikerjakan. Apabila diragukan adanya kelainan
intrakranial, maka CT Scan harus dikerjakan sebelum melakukan LP.
Pemberian antibiotika yang cepat dan tepat sangat berguna, tetapi
belum cukup untuk memperbaiki prognosis penderita, terutama yang
disebabkan S. Pneumoniae. Penambahan terapi adjuvans dexamethasone
yang diberikan sedini mungkin atau bersamaan dengan pemberian pertama
antibiotika akan memberikan outcome yang memuaskan.
Prevensi dengan menggunakan vaksin dan antibiotika profilaksis
dapat mengurangi insiden dan menurunkan beban yang berhubungan
dengan kesehatan masyarakat.

II. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI


Insiden tahunan meningitis antara 4 sampai 6 kasus per 100.000
penduduk dunia yang berumur kurang dari 16 tahun, dengan penyebab
terbanyak S. Pneumoniae dan N. Meningitidis kurang lebih sebanyak 80%.
The Centers for Disease (1990) mempublikasikan studi surveilans
mengenai meningitis bakteri yang melaporkan bahwa penyebab terbanyak
adalah H. Influenzae (45%), S. Pneumoniae (18%), dan N. Meningitidis
(14%). Insiden meningitis dipengaruhi umur dan letak geografis. Pada
neonatus kurang 1 bulan penyebab dominan adalah S. Agalactiae (grup B.
strettococcus), pada anak usia 1 - 4 tahun oleh H. Influenzae, pada usia 5-29
tahun oleh N. Meningitidis, dan pada dewasa di atas 29 tahun disebabkan
oleh S. Pneumoniae. Angka kematian yang disebabkan bakteri S.
Pneumoniae sebanyak 19% (di mana anak di bawah 5 tahun sebesar 3% dan
pada dewasa di atas 60 tahun sebesar 31%).

III. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui jalur alamiah, yaitu melalui
pernafasan dan gastrointestinal, serta bisa juga dari jalur non-alamiah, yaitu
melalui mukosa dan kulit yang rusak.
Penyebab bakteri sampai ke letomeningen dan ruang subarakhnoid
melalui beberapa cara, yaitu sebagai berikut.

2
1. Hematogen atau bakteriemia dari infeksi di nasofaring, faringitis
tonsillitis, pneumonia, infeksi gigi.
2. Secara langsung melalui : robeknya duramater pada fraktur basis kranii,
tindakan bedah kepala, implantasi benda asing (implant cochlea),VP-
shun, deep brain stimulation, dan lumbal pungksi.
3. Perluasan dari thromboflebitis.
4. Perluasan dari abses serebri.
5. Melalui lamina kribiformis pada rhinorhoea kronis atau rekuren.
6. Perluasan langsung dari infeksi yang mengenai telinga tengah, sinus
paranasalis, kulit kepala atau muka.
Bakteri yang paling sering menyebabkan meningitis adalah H.
Influenzae, N. Meningitides, dan S. Pneumoniae. Koloni yang pertama di
nasofaring dengan cara melekat pada sel epitel mukosa nasofaring yang
tidak bersili. Untuk melekatkan diri pada sel epitel mukosa, bakteri-bakteri
tersebut mengeluarkan IgA protease yang merusak barrier mukosa.
Selanjutnya bakteri tersebut melekat pada sel epitel mukosa nasofaring
melalui interaksi antara struktur permukaan bakteri (finger-like projection/
Pili) dengan reseptor permukaan hospes. Setelah melekat pada sel epitel
nasofaring, mereka dibawa melewati membrane-bound vacuola menuju
ruang intra vaskuler, pada H. Influenzae, bakteri tersebut merusak apical
tight junction dari sel epitel dan masuk ke jalur intraseluler.
Bakteri dapat masuk ke peredaran darah berarti bakteri tersebut telah
dapat menghindari fagositosis oleh neutrofil karena adanya kapsel
lipopolisakarida. Setelah berada di peredaran darah otak, bakteri invasi ke
CSS melalui sel-sel pleksus khoroideus ventrikel lateralis dan tempat lain
yang mengalami perubahan sawar darah otak. Sel-sel pleksus khoideus dan
sel-sel kapiler otak mempunyai reseptor untuk melekat dengan struktur
permukaan sel bakteri yang spesifik.
Jika bakteri dapat masuk ruang subarakhnoid berarti pertahanan
tubuh hopses tidak adekuat. Pada umumnya di dalam CSS yang normal
tidak mengandung sel-sel fagositik, IgM, dan konsentrasi protein yang
rendah sehingga CSS merupakan pertahanan tubuh yang minimal. Pada

3
ruangan subarakhnoid yang terinfeksi, bakteri dapat cepat mengadakan
multiplikasi, dan di sini juga terjadi autolisis.
Pada sel dinding bakteri, bagian utama adalah peptidoglikan (untuk
bakteri gram (+) ) serta lipopolisakarida (untuk bakteri gram (-) ) dan
sitotoksin. Adanya lipopolisakarida dan infeksi ruangan subarakhnoid
merangsang monosit, makrofag, astrosit dan sel mikroglia mengeluarkan
tumor necrotic factor (TNF) , interleukin-interleukin, nitric oxide, dan
matriks metalloproteineases. TNF  dan interleukin 1 menginduksi leukosit
menjadi aktif dan mengadakan migrasi. Interleukin 6 adalah mediator utama
untuk respon sistemik terhadap infeksi meningeal dan meningkatkan
permeabilitas sel-sel endotel.
Pada kasus yang berat eksudasi da infeksi menyebabkan thrombosis
vena-vena meningeal, parenkim otak setempat, obstruksi aliran CSS, dan
hipertensi kranial yang diikuti adanya herniasi serebral dan serebeller.
Dengan terjadinya interaksi lebih lanjut, aliran darah meningkat,
ditambah dengan rusaknya sawar darah otak, terjadilah edema vasogenik
yang meningkatkan tekanan intrakranial. Edema sitotoksik juga terjadi
karena produk-produk inflamasi dari neutrofil dan bakteria yang selanjutnya
lebih meningkatkan tekanan dan menyebabkan edema interstisial dengan
cara menghambat aliran CSS dari ruang subarakhnoid ke dalam darah.
Terjadinya penurunan aliran darah ke otak, vaskulitis, gangguan
autoregulasi otak dan perfusi otak sangat terganggu sehingga terjadi
kerusakan otak lebih berat lagi. Proses-proses inilah tampaknya yang
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi sehingga usaha-usaha
sekarang lebih diarahkan untuk mengantisipasi proses-proses tersebut di
atas.

IV. GEJALA KLINIS


Gejala utama meningitis bakterial akut : fibris, nyeri kepala, muntah
dan kaku kuduk.
Pada anamnesis didapat : demam mendadak, sakit kepala, mual dan
muntah, anoreksia, kejang, dan sakit pada sendi. Pada pemeriksaan fisik,

4
tanda yang khas untuk meningitis adalah didapatkannya kaku kuduk. Kaku
kuduk pada meningitis bakterialis akut sangat nyata, sehingga dapat dengan
mudah ditemukan. Pada stadium lebih lanjut, dapat dijumpai tanda
hidrosefalus seperti nyeri kepala yang berat, muntah-muntah, kejang,
papiledema.
Perjalanan klinis meningitis bakterialis pada orang dewasa biasanya
diawali dengan infeksi saluran nafas atas yang ditandai dengan panas badan
dan keluhan-keluhan pernafasan diikuti dengan munculnya gejala-gejala
SSP seperti nyeri kepala dan kaku kuduk yang nyata. Gejala lain yang
mungkin ada adalah muntah-muntah, penurunan kesadaran, kejang, dan
fotofobia.
Pada pemeriksaan klinis dicari adanya tanda iritasi meningen
(Kernig, Brudzinski I-IV), kelainan saraf kranial, gejala neurologi fokal,
timbulnya rash, petekhiae di kulit dan mungkin terjadi penurunan
kesadaran.

V. DIAGNOSIS
LP harus dikerjakan sesegera mungkin pada penderita yang diduga
menderita meningitis bakterial akut. Dalam hal adanya tanda dan gejala
papil edema, defisit neurologi fokal, koma, maka LP harus ditunda dan
harus dikerjakan CT Scan terlebih dahulu. LP tidak dikerjakan bila
didapatkan infeksi kulit di daerah LP dan gangguan perdarahan yang tidak
dapat diatasi.
Pemeriksaan CSS dan darah
 Hasil analisis CSS pada meningitis bakterial akut sebagai berikut.
- CSS keruh dan berwarna kekuningan (xanthokrom)
- Leukosit meningkat antara 500-35.000/ mm3, terutama PMN
- Kadar gula menurun, < 45 mg/ 1000 ml
- Kadar protein meningkat, > 70-80 mg/dl
- Kultur dan pengecatan gram
 Pemeriksaan darah :
- Darah tepi

5
 Leukosit meningkat/ kadang-kadang leukoponia
 Trombosit normal atau menurun
- Kultur dan pengecatan gram
- Pemeriksaan serum secara Eliza dan Bactericidal antibody test, PCR
 Pemeriksaan tambahan :
- X foto thoraks, sinus paranasalis, dan mastoid.
- CT Scan, MRI
- EEG

VI. TERAPI
Terapi meningitis bakterial akut dibagi dua : terapi umum dan terapi
spesifik. Untuk menurunkan angka kejadian dan angka kematian diperlukan
usaha preventif.
1. Terapi Umum
a. Tirah baring total, cegah dikubitus
b. Pemberian cairan yang adekuat, terutama untuk penderita syok
c. Terapi 5B
1) Blood : Tensi harus dipertahankan normal
2) Brain : Apabila tekanan intrakranial meningkat diberi
mannitol/ kortikosteroid
3) Breathing : Pernafasan harus bebas
4) Bowel : Kalori harus dipertahankan sesuai keadaan
penderita
5) Bladder : Hindari infeksi kandung kemih
d. Terapi simtomatik : antikonvulsan, analgetik, dll.
2. Terapi Spesifik : Dengan pemberian antibiotika
a. Antibiotika yang dipergunakan harus dengan dosis yang adekuat,
larut dalam lemak, dapat menembus BBB, aktif dalam CSS yang
bersifat asam dan diberikan secara intravena.
b. Antibiotika dapat mempengaruhi bakteri dengan beberapa cara
sebagai berikut.
1) Dengan merintangi replikasi dari informasi genetik.

6
2) Mengganggu translasi genetik sintesis protein.
3) Dengan mengubah struktur fungsi dinding sel.
4) Dengan membatasi fungsi membran sel.

VII. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi :
a. Komplikasi segera : Edema otak, hidrocefalus, vaskulitis, trombosis
sinus otak, abses/ efusi subdural, gangguan pendengaran.
b. Komplikasi jangka panjang : Gangguan pertumbuhan dan
perkembangan pada pasien anak, epilepsi.

VIII. PROGNOSIS
Prognosis meningitis bakterialis tergantung pada kecepatan
mendiagnosis dan memberi terapi. Dengan pemberian antibiotika yang
tepat, penyakit ini pada umumnya dapat diatasi, walaupun seringkali
kematian disebabkan oleh hebatnya respon imunologi pada pasien.
Kematian paling banyak ditemukan pada pasien yang terinfeksi S.
Pneumoniae dan pasien yang datang dengan penurunan kesadaran.

IX. DAFTAR PUSTAKA


1. Gilroy J, 2000. Infectious Disiases in Basic Neurology Third Edition.
McGraw-Hill. pp:432-439
2. Quagliarello V.J, Scheld WM, 1997. Treatment of Bacterial Meningitis.
N Engl J Med, March 6.
3. Hasbun R, Abrahams J, jekel J. Quagliarello VJ, 2001. Computed
Tomography Of The Head Before lumbar Puncture In Adults With
Suspected Meningitis. N Engl J Med, 345, No(24)
4. De Gans J, Van de Beek D, 2002. Dexamethasone In Adults with
Bacterial Meningitis. N Engl J Med, 347(20).
5. Prasad K, Karlupia N, 2007. Prevention of Bacterial Meningitis: An
overview of Cochrane sistematic review. Respiratory Medicine, vol.
101: 2037 – 2043.

7
6. Van de Beek D, de Gans J, Tunkel AR, Wijdicks EFM, 2006.
Community-Acquired Bacterial Meningitis in Adults. N Engl J Med,
354(1).
7. Peltola H, 2005. Incidence of Haemophilus Influenzae Type b Meningitis
During 18 Years of Vaccine Use: Observational Stusy Using Routine
Hospital Data. BMJ 330.
8. Roos KL, 1996. Meningitis 100 Maxims. London: Arnold.
9. Chaudhuri A, 2004. Adjuntive Dexamethasone Treatment in Acute
Bacterial Meningitis. The Lancet Neurology Vol. 3.
10. Van de Beek D, de Gans J, Spanjaard L, 2004. Clinical Feutures and
Prognostic Factors in Adults with Bacterial Meningitis. N Engl J Med,
Vol. 351.
11. Hartono Hesainy, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Penyakit
Saraf 2008: 365 – 381.
12. Ganiem Rizal Ahmad, Kelompok Study Neuro Infeksi, Infeksi pada
Sistem Saraf 2011: 1 – 10.

Anda mungkin juga menyukai