Anda di halaman 1dari 4

Chaplin (1995: 53) memberikan pengertian perilaku sebagai segala sesuatu yang

dialami oleh individu meliputi reaksi yang diamati. Watson (1984: 272) menyatakan
bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan yang memiliki konsekuensi positif bagi
orang lain, tindakan menolong sepenuhnya yang dimotivasi oleh kepentingan sendiri
tanpa
mengharapkan sesuatu untuk dirinya. Kartono (2003: 380) menyatakan bahwa perilaku
prososial adalah suatu perilaku sosial yang menguntungkan di dalamnya terdapat
unsur-unsur kebersamaan, kerjasama, kooperatif, dan altruisme.
Sears (1991: 61) memberikan pemahaman mendasar bahwa masing-masing individu
bukanlah sematamata makhluk tunggal yang mampu hidup sendiri, melainkan sebagai
makhluk social yang sangat bergantung pada individu lain, individu tidak dapat
menikmati hidup yang wajar dan bahagia tanpa lingkungan sosial.
Empati diartikan sebagai perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain,
khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan
penderitaan orang lain (Sears, dkk, 1991: 69). Hal senada diungkapkan oleh Hurlock
(1999: 118) yang mengungkapkan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk
mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk
membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. Kemampuan untuk empati ini mulai
dapat dimiliki seseorang ketika menduduki masa akhir kanak-kanak awal (6 tahun)
dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua individu memiliki dasar kemampuan
untuk dapat berempati, hanya saja berbeda tingkat kedalaman dan cara
mengaktualisasikannya. Empati seharusnya sudah dimiliki oleh remaja, karena
kemampuan berempati sudah mulai muncul pada masa kanak-kanak awal (Hurlock,
1999: 118).
Perbedaan stereotype pria dan wanita menyebabkan perbedaan dalam perilaku
prososial antara pria dan wanita. Eisenberg dan Lennon (dalam Berndt, 1992)
menyatakan bahwa anak perempuan lebih mudah merasa tidak enak jika melihat orang
lain mengalami kesusahan.

Di tahun 1941, dua orang psikolog - Neil Miller dan John Dollard – dalam laporan hasil
percobaannya mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak
disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian kedua orang tersebut
mengindikasikan bahwa kita belajar (learn) meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan
tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja karena
instink. Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan ”social learning ” -
”pembelajaran sosial”. Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita
merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan
memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar
mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka ”para individu
harus dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika
melakukan apa yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak
melakukannya.”, demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard. Dua puluh
tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963), mengusulkan satu
perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan. Bandura
dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan
tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita bisa meniru
beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang
ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut ”observational
learning” - pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan Bandura dan
Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai perilaku agresif
hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya melalui film atau
bahkan film karton.

Kesejahteraan subjektif atau kebahagiaan saat ini merupakan topik yang cukup hangat
dibicarakan para ahli psikologi dengan label subjective well being (swb) (Diener dan
Diener, 2003). Istilah kesejahteraan subjektif menurut Diener merupakan istilah ilmiah
dari kebahagiaan. Penggunaan istilah kesejahteraan subjektif, bukan kebahagiaan
untuk menghindari kerancuan, karena kebahagiaan dapat bermakna ganda (Diener,
2000).
Diener dan Scollon (2003) menyebut dua komponen utama kesejahteraan subjektif,
yaitu kepuasan hidup dan afek. Uraian di bawah ini akan membahas masing-masing
komponen ditinjau dari pandangan ahli psikologi.
a. Afek. Perasaan (feeling) dan emosi (emotion) merupakan bagian integral dari
pengalaman manusia. Istilah perasaan mengarah pada macam-macam emosi dalam
aktivitas keseharian (Diener, 2000). Selanjutnya Tellegen et al. (1988) menyatakan
bahwa setiap pengalaman emosional akan berkaitan dengan aspek afektif atau feeling-
tone, yang dapat bervariasi antara sangat menyenangkan
sampai dengan sangat tidak menyenangkan. Selanjutnya Chwalisz et al. (1988)
menemukan bahwa orang yang mengalami luka berat atau mengalami trauma berat
untuk beberapa saat dirinya akan didominasi oleh afek negatif. Dalam waktu beberapa
minggu afek akan kembali ke posisi semula. Suh et al. (1998) dan Cousin (1989)
menemukan bahwa emosi seseorang sangat dipengaruhi budaya dimana dia tinggal.
b. Kepuasan hidup. Menurut Sheldon dan Houser-Marko (2001) kepuasan hidup akan
tercapai kalau terdapat kesesuaian antara apa yang dicita-citakan dengan kenyataan.
Kesesuaian itu dapat menyangkut prestasi atau dimensi kehidupan yang lain. Seperti
kepuasan terhadap keluarga, kepuasan terhadap sekolah dan kepuasan terhadap
kawan. Kepuasaan hidup ini dicerminkan dengan optimisme diri yang dimiliki oleh
individu (Seligman, 2002). Kepuasan hidup menurut Diener et al. (1999) merupakan
hasil dari perbandingan antara segala peristiwa yang dialami dengan harapan dan
keinginan.
Ada sejumlah kegiatan yang dapat dilakukan agar stres dapat terkelola dan
meningkatkan kesejahteraan subjektif individu:
1. melakukan gerakan yang menyenangkan dan bermanfaat. Misalnya berjalan,
membantu orang yang kesusahan. Menurut teori flow dalam psikologi positif,
perilaku ini akan meningkatkan kesejahteraan subjektif individu
(Csikszentmihalyi,1999).
2. Mengkonsumsi makanan yang seimbang, banyak kandungan serat seperti sayur
dan buah, biji-bijian dan menghindari makanan yang berbahaya seperti alkohol.
Menurut Myers (2003), makanan tersebut merupakan makanan yang dikonsumsi
mereka yang aktif beribadah dan membuat mereka lebih tahan stres dan lebih
sehat.
3. Berdoa, dan berkomunikasi dengan Tuhan dan melakukan kegiatan keagamaan
secara bersama-sama serta menumbuhkan nilai-nilai moral seperti pemaaf,
bersyukur, berperilaku gembira, aktif menolong individu yang membutuhkan
(Haidt,2003). Banyak ahli psikologi terutama di kalangan psikologi positif
meyakini, bahwa berdoa, pasrah, dan bersyukur merupakan cara yang jitu untuk
meningkatkan kesejahteraan subjektif (kebahagiaan) dan mereduksi stres.
Menurut Myers ada beberapa alas an mengapa agama diperlukan dalam
pengelolaan stress.
4. Berkeluarga dengan penuh kesetiaan.

Menurut Santrock (1999), cinta romantic sangat penting diantara para mahasiswa.
Sedangkan menurut Erikson (dalam Papalia, 2000), membentuk suatu hubungan intim
adalah salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi seorang mahasiswa yang
berada pada tahap perkembangan dewasa awal. Penelitian yang dilakukan oleh Kanin,
Davidson, dan Sheck (dalam Sears dkk, 1994) menunjukkan bahwa orang yang sedang
jatuh cinta akan mengalami perasaan perasaan yang sifatnya psikologis dan diikuti pula
oleh beberapa reaksi fisiologis. Penelitian survey yang dilakukan oleh Brigham (dalam
Brigham dkk, 1986) juga menunjukkan fenomena yang hampir sama. Mendefinisikan
cinta adalah tugas yang sulit (Masters dkk, 1992). Sedangkan menurut Hendrick &
Hendrick (1992), tidak ada satupun fenomena yang dapat menggambarkan apa itu
cinta. Pada akhirnya, cinta merupakan seperangkat keadaan emosional dan mental
yang kompleks. Jika kita berbicara tentang cinta seseorang terhadap orang lain,
mungkin definisi yang tepat adalah yang dikemukakan oleh Robert Heinlein (dalam
Masters dkk, 1992) yaitu cinta adalah suatu kondisi dimana kebahagiaan individu yang
dicintai tersebut sangat penting bagi diri orang yang mencintai. Menurut Rubin (dalam
Hendrick dan Hendrick, 1992), cinta itu adalah suatu sikap yang diarahkan seseorang
terhadap orang lain yang dianggap istimewa, yang mempengaruhi cara berpikir, merasa
dan bertingkah laku.

Pribadi yang berfungsi utuh menurut Rogers adalah individu yang memakai kapasitas
dan bakatnya, merealisasi potensinya, dan bergerak menuju pemahaman yang lengkap
mengenai dirinya sendiri dan seluruh rentang pengalamannya.
Rogers menggambarkan 5 ciri kepribadian yang berfungsi sepenuhnya sebagai
berikut :
1) terbuka untuk mengalami (openess to experience);
2) hidup menjadi (existential living);
3) keyakinan organismik (organismic trusting);
4) pengalaman kebebasan (experiental freedom);
5) kreativitas (creativity)

Bandura (dikutip oleh Sarwono, 1997) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari
perilaku agresif dipelajari dari model yang dilihat dari dalam keluarga, dalam lingkungan
kebudayaan setempat atau melalui media massa. Kenakalan remaja sangat terkait
dengan hubungan yang tidak baik antara orangtua dengan anak atau apa yang
dilihatnya di rumah, sekolah, dan di kalangan teman (Sarwono, 1997). Lingkungan
merupakan faktor yang paling berperan dalam membentuk perilaku anak. Lingkungan
keluarga dan lingkungan masyarakat setempat sama-sama memiliki peranan penting
(Sarwono, 1997). Faktor lingkungan keluarga merupakan lingkungan terdekat bagi
remaja, sehingga keluarga juga merupakan sumber bagi timbulnya agresi (Tarmudji,
2001). Gunarsa dan Gunarsa (1995) mengatakan bahwa lingkungan keluarga adalah
lingkungan pertama, di mana anak memperoleh pengalaman-pengalaman pertama
yang mempengaruhi hidupnya. Keluarga sangat penting bagi pembentukan pribadi
anak.
WHO (dikutip oleh Sarwono, 2000) mendefinisikan remaja ke dalam tiga kriteria yaitu
biologik, psikologik, dan sosial ekonomi. Secara lengkap remaja didefinisikan sebagai
suatu masa: (a) individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-
tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, (b) individu
mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi
dewasa, (c) terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri. WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai
batasan usia remaja. Masa remaja adalah suatu masa dimana remaja berada dalam
keadaan labil dan emosional (Gunarsa, 2000). Menurut Kartono (1995), masa remaja
khususnya pada masa pubescens (berusia 12-17 tahun) umumnya mengalami suatu
krisis. Bila remaja merasa tidak bahagia dipenuhi banyak konflik batin, baik konflik yang
berasal dari dalam dirinya, pergaulannya maupun keluarganya. Dalam kondisi seperti
itu remaja akan mengalami frustrasi dan akan menjadi sangat agresif (Kartono, 1998).

Anda mungkin juga menyukai