Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan Inayahnya sehingga
saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah mengenai DHF (Dengue Hemorrhagic Fever).
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kenaikan pangkat dan
golongan kepegawaian di RSUD Cilegon.
Demikian yang dapat saya sampaikan mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca dan khususnya tim penilai.
Penyusun
(.......................................)
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................i
BAB 1.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................1
BAB II............................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................2
A. Definisi.............................................................................................................2
B. Epidemiologi....................................................................................................2
1. Virus..............................................................................................................3
2. Vektor...........................................................................................................3
3. Host...............................................................................................................4
5. Manifestasi Klinis.........................................................................................8
6. Diagnosis......................................................................................................9
7. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................11
8. Diagnosis Banding......................................................................................13
9. Penatalaksanaan..........................................................................................15
10. Pencegahan.................................................................................................22
BAB III.........................................................................................................................24
PENUTUP....................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................25
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam berdarah dengue (DBD)/ dengue hemorrhagic fever adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus dengan manifestasi klinis berupa
demam, nyeri otot (myalgia) dan/ atau nyeri sendi (arthralgia) yang disertai leukopenia, ruam
(maculopapular skin rush), limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.1,2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Definisi
Dengue Hemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis berupa demam yang terjadi secara mendadak 2-7
hari. Dapat disertai gejala perdarahan dengan atau tanpa adanya syok, dengan hasil
pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya trombositopenia (trombosit kurang dari
100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai normal. 1,4,5 Infeksi virus
dengue dapat disertai dengan terjadinya kebocoran plasma. Perubahan patofisiologi pada
infeksi virus dengue menentukan perbedaan perjalanan penyakit antara DHF dengan dengue
fever (DF). Perubahan patofisiologis tersebut dapat berupa kelainan hemostasis dan
perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan terjadinya
trombositopenia dan peningkatan hematokrit.1 Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus dengan manifestasi klinis
berupa demam, nyeri otot (myalgia) dan/ atau nyeri sendi (arthralgia) yang disertai
leukopenia, ruam (maculopapular skin rush), limfadenopati, trombositopenia dan diatesis
hemoragik.1,3,5
b. Epidemiologi
DHF secara internasional dianggap sebagai penyakit yang disebabkan virus dan di
transmisikan oleh nyamuk yang paling signifikan.DHF endemik lebih dari 100 negara di
seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan sub-tropis. Di Amerika Serikat, DHF yang
disebabkan oleh spesies Aedes aegypti dapat ditemukan secara musiman di Louisiana,
Florida bagian selatan, New Mexico, Arizona, Texas, Georgia, Alabama, Mississippi, North
dan South Carolina, Kentucky, Oklahoma, dan Tennessee. Dalam 50 tahun terakhir, kejadian
DF telah meningkat 30 kali lipat.3
2
tahun 2013, 2,35 juta kasus demam berdarah dilaporkan terjadi di Amerika saja, dimana 37,
687 kasus merupakan DHF berat. Setelah epidemi DHF yang pertama diketahui pada tahun
1953 sampai 1954 di Filipina, penyakit ini terus menyebar ke seluruh penjuru dunia.3
Indonesia pada tahun 2010 menempati urutan tertinggi kasus DHF di Asia Tenggara,
dengan jumlah kasus sebanyak 156.086 dan jumlah kematian sebanyak 1.358 orang. Data
menunjukkan Indonesia endemis DHF sejak tahun 1968 sampai dengan saat ini. Indonesia
terjadi peningkatan jumlah kasus dari tahun 1968 sampai tahun 2015, tercatat terdapat
126.675 penderita DHF di 34 provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang diantaranya meninggal
dunia.6
e. Vektor
Virus dengue ditularkan oleh gigitan vektor nyamuk Aedes aegypty dan Aedes
albopictus yang terinfeksi ke tubuh manusia dengan masa inkubasi 4-10 hari.Infeksi bisa
3
didapat melalui satu gigitan saja. Nyamuk Aedes aegypty biasanya mengigit pada siang hari.
Nyamuk ini merupakan spesies tropis dan subtropis yang terdistribusi secara luas di seluruh
dunia yang hidup diantara antara garis lintang 35° LU dan 35 ° LS di bawah ketinggian 1000
m (3.300 kaki). Tahapan nyamuk yang belum matang sering ditemukan di habitat air,
terutama pada penampungan dengan air yang tenang dan menggenang seperti ember, bak
mandi, ban bekas, dan yang lainnya. 1,4,10
Wabah DHF juga dikaitkan dengan Aedes
albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies kompleks Aedes scutellaris. Masing-
masing spesies ini memiliki ekologi, perilaku dan distribusi geografis yang tertentu. Dalam
beberapa dekade terakhir, nyamuk Aedes albopictus ini telah menyebar dari Asia ke Afrika,
Amerika dan Eropa, yang dibantu oleh perdagangan internasional ban bekas, dimana telur
nyamuk disimpan ketika bannya menggenangkan air hujan. Telur tersebut dapat pula
bertahan hidup selama berbulan-bulan tanpa adanya air.8
f. Host
Setelah masa inkubasi yang terjadi sekitar 4-10 hari, infeksi oleh salah satu dari empat
serotipe virus dapat menghasilkan spektrum yang luas dari penyakit ini, walaupun sebagian
besar infeksi tidak menunjukkan gejala atau subklinis. Infeksi primer diduga menginduksi
munculnya kekebalan protektif seumur hidup dengan serotipe yang terinfeksi. 8 Individu yang
menderita infeksi dilindungi dari penyakit klinis dengan serotipe yang berbeda dalam 2-3
bulan dari infeksi primer, tetapi tanpa kekebalan lintas pelindung jangka panjang. Anak-anak
muda khususnya mungkin kurang mampu jika dibandingkan dengan orang dewasa untuk
mengimbangi kebocoran kapiler dan akibatnya memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami dengue shock.
Dalam proses transmisi, nyamuk menggigit penderita yang terinfeksi virus dengue,
dimana virus dengue banyak terdapat di dalam darah penderita terutama pada hari ke 5.
Beberapa penderita tidak menunjukkan gejala yang signifikan namun dapat mentransmisikan
virus ke dalam nyamuk yang menggigitnya. Setelah virus masuk ke dalam nyamuk, virus
tersebut akan memerlukan tambahan 8-12 hari inkubasi sebelum dapat ditularkan ke manusia
lain. Nyamuk tersebut tetap terinfeksi selama sisa hidupnya, yang mungkin dari beberapa hari
hingga beberapa minggu.8
Data terbaru menunjukkan bahwa aktivasi sel endotel bisa memediasi terjadinya
kebocoran plasma. Kebocoran plasma diduga berhubungan dengan efek fungsional daripada
merusak sel-sel endotel. Trombositopenia mungkin berhubungan dengan terjadinya
4
perubahan dalam megakaryocytopoieses oleh infeksi sel hematopoietik manusia dan
gangguan pertumbuhan sel progenitor, disfungsi platelet (aktivasi platelet dan agregasi)serta
terjadi peningkatan penghancuran atau konsumsi. Perdarahan mengakibatkan
trombositopenia dan disfungsi trombosit yang terkait atau disseminated intravascular
coagulation. Kesimpulannya, ketidakseimbangan sementara antara mediator inflamasi,
sitokin dan kemokin terjadi selama perjalanan dengue yang parah, didorong oleh beban virus
pada fase awal yang tinggi sehingga menyebabkan terjadinya disfungsi sel endotel vaskular
dan kekacauan sistem hemokoagulasi yang menyebabkan kebocoran plasma dan syok.
5
trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.5 Imunopatogenesis DHF
merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan
perubahan patogenesis DHF dan DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi sekunder
(secondary heterologous infection theory).1
Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga virus
binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi
fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyaipotensiuntuk
menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat
serotipe virus yang paling virulen.11
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan
dengan reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Sebagai respon terhadap
infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.1,11
Patogenesis terjadinya kebocoran plasma pada DHF dapat dilihat pada Gambar 1.
Pada gambar 1 digambarkan bahwa terjadi konsentrasi kompleks imun yang tinggi akibat
reinfeksi yang mengakibatkan reaksi amnestik antibodi. Infeksi virus dengue
6
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dapat dilihat pada Gambar 2. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh
tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang akan
terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu, replikasi virus
dengue terjadi juga di dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus
dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi
(virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
mengakibatkan perdarahan pada DBD. Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin diphosphat), sehingga trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial
system) sehingga terjadi trombositopenia (degranulasi trombosit). Agregasi trombosit ini
akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulapati
konsumtif (KID; koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degradation product ) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. 1,11
7
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan
kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang
terjadi.1
h. Manifestasi Klinis
Infeksi dengan hanya salah satu dari empat serotipe dengue dapat menghasilkan
spektrum penuh dan beratnya penyakit. Spektrum penyakit dapat berkisar dari, sindrom
demam non-spesifik ringan, demam berdarah klasik (DF), dengan bentuk parah dari penyakit,
DHF dan demam berdarah shock syndrome (DSS). Bentuk parah biasanya terwujud setelah
hari 2-7 fase demam dan sering ditandai dengan tanda-tanda peringatan klinis dan
laboratorium. Walaupun tidak ada agen terapeutik untuk infeksi dengue, kunci keberhasilan
penanganan adalah penggunaan waktu yang tepat dan kebijaksanaan perawatan suportif,
termasuk pemberian cairan isotonik intravena atau koloid, serta pemantauan ketat tanda-tanda
vital dan status hemodinamik, keseimbangan cairan, dan parameter hematologi.8
Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi
antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue dapat
tidak menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu demam
tanpa penyebab yang jelas, dengue fever (DF) dan bermanifestasi berat dengan dengue
hemorrhagic fever(DHF) tanpa syok atau dengue shock syndrome (DSS). 8Manifestasi klinis
bergantung pada strain virus, faktor host misalnya umur, dan status imun. Berikut ini adalah
bagan manifestasi klinis dari infeksi virus dengue.8
Pada umumnya pasien mengalami demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai
resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Gejala lain seperti
mual muntah, diare, ruam kulit, nyeri kepala serta nyeri otot dan tulang. Nyeri kepala dapat
8
menyeluruh atau terpusat pada supraorbita dan retroorbita. Nyeri otot terutama pada
tendon.1,2,10
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis dan
fase pemulihan. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi pada hari 1 – 3 hari
mencapai 40o C, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia,
artralgia dan sakit kepala.Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi faring dan
konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah.Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda
perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan
pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.Fase kritis, terjadi pada hari 3 – 6 sakit dan
ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya
kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam.Kebocoran plasma sering
didahului oleh leukopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit.Pada fase ini dapat
terjadi syok. Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari
ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum
penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik.10
i. Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 2011
terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris.
j. Demam akut, tinggi mendadak 2-7 hari pada beberapa kasus, eritema kulit, nyeri
seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala
k. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan
Uji tourniket positif (yang palinng umum)
Petekie, ekimosis, purpura
Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
Hematemesis dan/atau melena
l. Syok, dengan manifestasi takikardi, perfusi jaringan yang buruk ditandai dengan nadi
lemah, hipotensi, kulit pucat, dingin, lemah
Kriteria Laboratoris :
Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma atau tanda hemokonsentrasi
sebagai berikut :
9
o Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapatkan terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoalbuminemia.
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia atau peningkatan hematokrit,
cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam berdarah dengue. Adanya pembesaran hati
selain dua kriteria klinis pertama adalah dugaan terjadinya demam berdarah dengue sebelum
onset kebocoran plasma. Efusi pleura (X-ray dada atau ultrasonografi) adalah bukti objektif
terjadinya kebocoran plasma dan terjadinya hipoalbumin dapat memperkuat diagnosis
terutama pada pasien anemia, perdarahan berat, kondisi ketika tidak adanya hematocrit dasar,
dan peningkatan hematocrit kurang dari 20% akibat pemberian terapi intravena secara dini.
Pada kasus syok, peningkatan hematokrit dan adanya trombositopenia, mendukung diagnosa
demam berdarah dengue. ESR yang rendah (kurang dari 10 mm/satu jam pertama) selama
syok membedakan DSS dari syok septik.1,8,9,
a. Derajat 1: Demam yang disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet
b. Derajat 2: Derajat 1, disertai perdarahan terjadinya spontan di kulit dan perdarahan
lainnya
c. Derajat 3: Adanya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di daerah sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab, dan tampak gelisah.
d. Derajat 4: Syok berat, dimana nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
10
Tidak adanya tanda kebocoran plasma
kebocoran plasma
DHF I Demam dan manifestasi Trombositopenia (AT
perdarahan (uji bendung positif) < 100000 sel/mm3)
Peningkatan HCT
dan adanya bukti ada kebocoran
>20%
plasma
DHF II Gejala pada derajat I disertai Trombositopenia (AT
dengan perdarahan spontan < 100000 sel/mm3)
Peningkatan HCT
>20%
DHF III Gejala pada derajat I atau II Trombositopenia (AT
disertai dengan kegagalan < 100000 sel/mm3)
Peningkatan HCT
sirkulasi (nadi lemah, hipotensi,
>20%
kulit dingin dan lembab serta
gelisah)
DHF IV Syok berat disertai dengan Trombositopenia (AT
tekanan darah dan nadi tidak < 100000 sel/mm3)
Peningkatan HCT
terukur
>20%
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menunjang diagnosis DHF adalah
pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus. Pemeriksaan yang umumya dan
signifikan dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap. Diagnosis DHF secara definitif
dapat dilakukan dengan isolasi virus, identifikasi virus dan serologis.11
a. Pemeriksaan Laboratorium
b. Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan darah yang dilakukaan secara rutin adalah kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah trombosit. Meningkatnya hematokrit yang pada pasien DHF
merupakan penanda terjadinya perembesan plasma. Selain itu dapat juga
ditemukantrombositopenia dan leukopenia. 8
Pada pemeriksaan darah lengkap
parameter yang diamati adalah terdapat trombositopenia (45% total leukosit).
11
activated partial thromboplastin time memanjang, dan fibrinogen rendah dan tingkat
degradasi produk fibrin yang tinggi merupakan tanda DIC.
d. Deteksi Antigen
Perkembangan baru dalam ELISA dan tes dot blot diarahkan ke amplop /
membran (E / M) antigen dan protein non-struktural 1 (NS1) yang menunjukkan
bahwa konsentrasi tinggi antigen tersebut dalam bentuk kompleks imun dapat
dideteksi pada pasien dengan infeksi dengue primer dan sekunder sampai sembilan
hari setelah onset penyakit. NS1 glikoprotein dihasilkan oleh semua flaviviruses dan
dikeluarkan dari sel mamalia. NS1 menghasilkan respon humoral yang sangat kuat.
Banyak penelitian telah diarahkan menggunakan deteksi NS1 untuk membuat
diagnosis awal infeksi virus dengue. Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam
hari pertama sampai hari ke delapan dengan sensitivitas 63%-93,4% dan spesifisitas
100%. 8
e. Tes Serologi
IgG/IgM
Antibodi IgG dapat terdeteksi pada tingkat yang rendah pada akhir minggu
pertama, yang kemudian akan meningkat dan tetap untuk periode yang lebih lama
(selama bertahun-tahun). IgG terdeteksi mulai hari ke 3-5 demam. Meningkat hingga
minggu ke-3 dan dapat menghilang setelah 60-90 hari.Pada infeksi primer IgG mulai
terdeteksi pada hari ke-14 dan pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari
ke-2.dapat terdeteksi selama lebih dari 60 tahun dan jika tidak ada gejala. Setelah
infeksi primer, IgG mencapai tingkat puncak dalam darah setelah 14-21 hari.Selama
infeksi berikutnya, tingkat puncaknya lebih awal dan titer biasanya lebih
tinggi.Selama infeksi dengue sekunder (ketika host sebelumnya telah terinfeksi virus
12
dengue), titer antibodi meningkat dengan cepat.Antibodi IgG dapat terdeteksi pada
tingkat tinggi, bahkan pada tahap awal, dan bertahan dari beberapa bulan sampai
periode seumur hidup.
Tingkat antibodi IgM secara signifikan lebih rendah pada kasus infeksi
sekunder.Oleh karena itu, rasio IgM / IgG biasanya digunakan untuk membedakan
antara infeksi dengue primer dan sekunder.Trombositopenia biasanya diamati antara
hari ketiga dan kedelapan penyakit yang diikuti oleh perubahan hematokrit lainnya.
Baik IgG dan IgM memberikan kekebalan protektif terhadap serotipe virus yang
menginfeksi.8,12
f. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)
dilakukan dengan tujuan melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua
hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan
ultrasonografi.Kelainan yang bisa didapatkan antara lain dilatasi pembuluh darah paru,
kardiomegali atau efusi perikard, dan hepatomegaly. 1
13
g. Diagnosis Banding
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan apabila terdapat kesesuaian klinis dengan
demam tifoid, chikungunya, dan campak. Pada awal perjalanan penyakit yaitu pada fase
demam, diagnosis banding dapat mencakup infeksi bakteri, virus, atau infeksi parasit yang
mirip dengan infeksi dengue seperti demam tifoid, campak, malaria dan demam
chikungunya.10
Demam berdarah dengue berbeda dengan demam tifoid, dimana jenis demam tifoid
yang lama dan suhu tubuh lebih meningkat biasanya pada sore hari dan menurun pada pagi
hari.Pola demam berperti anak tangga. Gejala lain sama dengan DHF seperti sakit kepala,
mual, muntah, nyeri otot. Pada pemeriksaan penunjang dilakukan uji widal.10
Pada penyakit malaria, gejala klinis yang muncul yaitu biasanya demam menggigil
secara berkala dan biasanya terjadi sakit kepala secara bersamaan, suhu badan menurun,
terdapat anemia, splenomegali (pembesaran limpa), dan terjadi ikterus (hemolisis dan
gangguan hepar). Namun pada demam berdarah dengue, demam terjadi secara mendadak,
suhu dapat mencapai 380C - 400C yang terjadi 2 hingga 7 hari, terdapat manifestasi
perdarahan, hepatomegali, terdapat tanda-tanda syok, lemah, mual, muntah, sakit kepala,
diare, dan ruam merah dan sakit pada otot dan persendian. Pada tes laboratorium demam
berdarah dengue biasanya dilakukan uji serologi IgM, IgG, dan ELISA, dan mendeteksi
antigen viral dengan metode PCR serta dengan cara fluorosensi imunoglobulin. Sedangkan
pada malaria, tes laboratorium bisanya ditemukan parasit dalam darah yang dipulas dengan
Giemsa.8
Campak biasanya muncul dengan gejala klinis berupa adanya bercak merah yang
dapat hilang apabila di tekan. Bercak merah timbul pada hari ke-3 sampai dengan hari ke 5,
yang kemudian akan berkurang pada minggu kedua dan menimbulkan bekas terkelupas dan
14
bercak kehitaman. Bercak merah muncul diawali dengan adanya keluhan pilek dan batuk
ketika munculnya demam pada hari pertama.Sedangkan bercak yang timbul pada demam
berdarah dengue muncul pada hari ke-2 sampai 3. Pada hari ke-4 dan 5 bercak menghilang
tanpa diikuti proses terkelupas dan bercak kehitaman pada kulit. Selain gejala klinis tersebut
yang membedakan penyakit demam berdarah dengue dengan campak adalah pada demam
berdarah dengue terjadi penurunan trombosit/trombositopenia (<100.000/uL) dan terjadi
hemokonsentrasi lebih dari 20%. Selain itu pada DHF akan tampak hasil positif pada
pemeriksaan antibodi IgG dan IgM.8
Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DHF, oleh karena
didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP
sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang, tidak
dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat
kembali normal daripada ITP.
Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia
demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan darah
tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukemia. Pada anemia aplastik anak
sangat anemik, demam timbul karena infeksi sekunder. 3
h. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan
terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal
terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari
ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan
berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada
kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah
pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya
kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu
diwaspadai.Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup,
lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi
simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk
15
mengatasi keluhan dispepsia.Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid
sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan
DHF dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam
5 kategori, sebagai berikut:14,15
16
a) Hb, Ht dan trombosit dalam batas normal atau jumlah trombosit antara
100.000 – 150.000, pasien dapat dipulangkan dan dilakukan observasi dengan
anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam
berikutnya untuk dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, Leukosit dan trombosit setiap
24 jam. Apabila keaadaan pasien memburuk, pasien segera dibawa kembali ke
Instansi Gawat Darurat
b) Hb, Ht normal tetapijumlah trombosit
c) Hb, Ht meningkat dan jumlah trombosit normal atau turun pasien juga
dianjurkan untuk dirawat inap di rumah sakit
(Sumber : Pan American Health Orgabization : Dengue and dengue hemorrhagic Fever :
Guidlines for Prevention and Control : PAHO : Washington D.C, 1994:67)
17
Setelah dilakukan pemberian cairan pasien dilakukan pemeriksaan HB, Ht
setiap 24 jam
c. Apabila Hb, HT meningkat 10 – 20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian
cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan trombosit dilakukan
tian 12 jam.
d. Apabila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan
sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dangan peningkatan Ht > 20 %
Gambar 3. Pemberian cairan pada pasien DHF dewasa di ruang rawat inap
18
Apabila setelah dilakukan pemberian terapi cairan awal 6 – 7 ml/ kgBB/ jam
tadi keadaan pasien tetap tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi
meningkat, tekanan nadi menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita
harus menaikkan jumlah cairan infus yang diberikan menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua
jam kemudian dilakukan evaluasi kembali. Apabila keadaan pasien menunjukkan
adanya perbaikan maka jumlah cairan yang diberikan dapat dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam. Apabila keaadaan pasien tidak menunjukkan adanya perbaikan maka
jumlah cairan infus yang diberikan dinaikkan menjadi 15ml/kgBB/jam. Dilakukan
pemantaun terhadap kondisi pasien, apabila dalam perkembangannya kondisi menjadi
memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan
protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada pasien dewasa.Bila syok telah teratasi
maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi cairan awal.
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya
pada penatalaksanaan SSD yaitu jenis cairan dan jumlah serta kecepatan cairan yang
akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan
di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat,
cairan salin) maupun koloid dapat diberikan.Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya
dibutuhkan dalam penatalaksanaan SSD antara lain memiliki sifat bertahan lama di
intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu system koagulasi
tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.WHO menganjurkan terapi kristaloid
sebagai cairan standar pada terapi DHF karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid
lebih mudah didapat dan lebih murah. Keuntungan lainnya penggunaan kristaloid
antara lain komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam
temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik. Secara umum,
penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DHF aman dan efektif. Selain pemberian
cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pada fase awal, cairan
kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila
renjatan telah teratasi (ditandai dengan TD sistolik 100mmHg dan tekanan nadi lebih
dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang
cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1cc/kgBB/jam)
jumlah cairan dikurangi menjadi 7ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 – 120 menit
keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam.Bila dalam 60 – 120
menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian caira menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila
24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta
diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika
rebsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan
turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi edema
paru atau gagal jantung dapat terjadi).
21
saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena
untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan
tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan
napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik serta
jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2ml/kgBB/kam. Pemantauan kadar hemoglobin,
hematoktrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perkalanan
penyakit.
Bila stelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan kemudian
dievaluasi detelah 20-30 menit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan
plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi
bila nilai hematokrit menurun , berarti terjadi perdarahan ( internal bleeding) maka
pada penderita diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai
kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-
sifat cairan tersebut.Pemberian koloid sendiri mulu-mula diberikan dengantetesan
cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena
sentral dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB
(maksimal 1-1,5 1/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 smH2O. Bila
keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap
gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila
tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan belum
teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor. Pemeriksaan – pemeriksaan
yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis,
AGD, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kereatinin.
22
Gambar 6. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
h. Pencegahan
Demam berdarah dapat dicegah dengan melakukan memberantas terhadap jentik-
jentik nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN (Pembersihan
Sarang Nyamuk), yaitu :
23
a. Membersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti: bak mandi / WC, drum, dan
lain-lain) sekurang-kurangnya 1 kali seminggu
b. Menutup dengan rapat tempat penampungan air, seperti ember, drum, dan lainlain
agar tidak menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk di tempat tersebut.Taburkan
bubuk ABATE pada tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras untuk
membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi hal ini setiap 2- 3 bulan sekali
c. Buang sampah pada tempatnya dan mengubur barang-barang bekas, seperti kaleng
bekas, ban bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air hujan,
agar tidak menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Menutup lubanglubang pagar
pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen
d. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap di
dalam pakaian.
24
BAB III
PENUTUP
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Dalam Buku
ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi V. Editor : Sudoyo AW dkk. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : 2007.
2. Wahono TD. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan; 2004.
3. Sanyaolu, et al. 2017. Global epidemiology of Dengue Hemorrhagic Fever: An
Update. Journal of Human Virology & Retrovirology. 5(6);00179
4. Hairani LK. Gambaran epidemiologi demam berdarah di Indonesia. FKM UI. 2009.
5. Lestari K. Epidemiologi dan pencegahan Demam Berdarah dengue di Indonesia.
Farmaka. 2007; 5:12-29.
6. Kemenkes RI. INFODATIN. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI:
Situasi Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: 2014.
7. Dinas Kesehatan Provinsi Bali. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Bali. Hal : 27-28; 54-
55
8. World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2011.p.5-45
9. Heilman, JM., wolff, JD., Beards GM., Basden, BJ. 2014.Dengue fever: a Wikipedia
clinical review. Open Medicine. 8(4)e105
10. Tanto, Chris et al. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Media Aesculapius. Jakarta:
2014.
11. Hadinegoro, S.Sri Rezeki, Pitfalls and Pearls.(2004). Diagnosis dan Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics Problem. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. Hal 63-72
12. Suzanne Moore Shepherd. 2014. Dengue. Pennsylvania. Hospital of University of
Pennsylvania.
13. Falconar AK, de Plata E, Romero-Vivas CM. Altered enzyme-linked immunosorbent
assay immunoglobulin M (IgM)/IgG optical density ratios can correctly classify all
primary or secondary dengue virus infections 1 day after the onset of symptoms, when
all of the viruses can be isolated. Clinical and Vaccine Immunology, 2006, 13:1044–
1051.
14. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana
pelayanan kesehatan, 2005.p.19-34 1
15. Chen,K., Pohan, H. T., Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah
Dengue. Medicinus. 2009; 22 (1)
16. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas
Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.
26