Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan Inayahnya sehingga
saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah mengenai DHF (Dengue Hemorrhagic Fever).

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kenaikan pangkat dan
golongan kepegawaian di RSUD Cilegon.

Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang


membantu dalam penyusunan makalah ini.

Demikian yang dapat saya sampaikan mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca dan khususnya tim penilai.

Cilegon, 1 April 2022

Penyusun

(.......................................)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................i

BAB 1.............................................................................................................................1

PENDAHULUAN..........................................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................................1

BAB II............................................................................................................................2

TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................2

A. Definisi.............................................................................................................2

B. Epidemiologi....................................................................................................2

C. Etiologi dan Transmisi.....................................................................................3

1. Virus..............................................................................................................3

2. Vektor...........................................................................................................3

3. Host...............................................................................................................4

4. Patofisiologi dan Patogenesis.......................................................................5

5. Manifestasi Klinis.........................................................................................8

6. Diagnosis......................................................................................................9

7. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................11

8. Diagnosis Banding......................................................................................13

9. Penatalaksanaan..........................................................................................15

10. Pencegahan.................................................................................................22

BAB III.........................................................................................................................24

PENUTUP....................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................25

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam berdarah dengue (DBD)/ dengue hemorrhagic fever adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus dengan manifestasi klinis berupa
demam, nyeri otot (myalgia) dan/ atau nyeri sendi (arthralgia) yang disertai leukopenia, ruam
(maculopapular skin rush), limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.1,2

Demam berdarah dengue secara internasional dianggap sebagai penyakit yang


disebabkan virus dan di transmisikan oleh nyamuk yang paling signifikan. DHF endemik
lebih dari 100 negara di seluruh dunia, terutama daerah tropis dan sub-tropis. WHO
memperkirakan sekitar 50 juta kasus infeksi dengue tiap tahunnya.3 Menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan 50 sampai 100 juta infeksi demam berdarah terjadi
setiap tahun. Dari kasus ini 500.000 kasus DHF mengakibatkan 22.000 kematian yang
kebanyakan terjadi pada anak-anak. Berdasarkan data resmi yang disampaikan ke WHO,
kasus DB di seluruh Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat melampaui 1,2 juta pada
tahun 2008 dan lebih dari 3 juta pada tahun 2013. 3 DHF merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di Asia tropik termasuk Indonesia.4

Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah


air.Indonesia menempati urutan tertinggi kasus DHF tahun 2010 di Asean, dengan jumlah
kasus 156.086 dan kematian 1.358 orang. Pada tahun 2015, tercatat terdapat 126.675
penderita DHF di 34 provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang diantaranya meninggal dunia.
Hal ini disebabkan oleh terjadinya perubahan iklim dan rendahnya kesadaran masyararakat
untuk menjaga kebersihan lingkungan.4 Faktor kepadatan penduduk juga berperan memicu
tingginya kasus DHF, karena tempat hidup nyamuk hampir seluruhnya adalah buatan
manusia seperti dari kaleng bekas, ban bekas hingga bak mandi. Dengan tingginya jumlah
kasus DHF yang terjadi, pemahaman mengenai DHF dan penatalaksanaan yang tepat
diperlukan guna menurunkan angka mortalitas dan morbiditas di masyarakat.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

a. Definisi
Dengue Hemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis berupa demam yang terjadi secara mendadak 2-7
hari. Dapat disertai gejala perdarahan dengan atau tanpa adanya syok, dengan hasil
pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya trombositopenia (trombosit kurang dari
100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai normal. 1,4,5 Infeksi virus
dengue dapat disertai dengan terjadinya kebocoran plasma. Perubahan patofisiologi pada
infeksi virus dengue menentukan perbedaan perjalanan penyakit antara DHF dengan dengue
fever (DF). Perubahan patofisiologis tersebut dapat berupa kelainan hemostasis dan
perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan terjadinya
trombositopenia dan peningkatan hematokrit.1 Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus dengan manifestasi klinis
berupa demam, nyeri otot (myalgia) dan/ atau nyeri sendi (arthralgia) yang disertai
leukopenia, ruam (maculopapular skin rush), limfadenopati, trombositopenia dan diatesis
hemoragik.1,3,5

b. Epidemiologi
DHF secara internasional dianggap sebagai penyakit yang disebabkan virus dan di
transmisikan oleh nyamuk yang paling signifikan.DHF endemik lebih dari 100 negara di
seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan sub-tropis. Di Amerika Serikat, DHF yang
disebabkan oleh spesies Aedes aegypti dapat ditemukan secara musiman di Louisiana,
Florida bagian selatan, New Mexico, Arizona, Texas, Georgia, Alabama, Mississippi, North
dan South Carolina, Kentucky, Oklahoma, dan Tennessee. Dalam 50 tahun terakhir, kejadian
DF telah meningkat 30 kali lipat.3

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan 50 sampai 100 juta


infeksi demam berdarah terjadi setiap tahun. Dari kasus ini 500.000 kasus DHF
mengakibatkan 22.000 kematian, kebanyakan terjadi pada anak-anak. Berdasarkan data resmi
yang disampaikan ke WHO, kasus demam berdarah di seluruh Amerika, Asia Tenggara dan
Pasifik Barat melampaui 1,2 juta pada tahun 2008 dan lebih dari 3 juta pada tahun 2013. Pada

2
tahun 2013, 2,35 juta kasus demam berdarah dilaporkan terjadi di Amerika saja, dimana 37,
687 kasus merupakan DHF berat. Setelah epidemi DHF yang pertama diketahui pada tahun
1953 sampai 1954 di Filipina, penyakit ini terus menyebar ke seluruh penjuru dunia.3

Indonesia pada tahun 2010 menempati urutan tertinggi kasus DHF di Asia Tenggara,
dengan jumlah kasus sebanyak 156.086 dan jumlah kematian sebanyak 1.358 orang. Data
menunjukkan Indonesia endemis DHF sejak tahun 1968 sampai dengan saat ini. Indonesia
terjadi peningkatan jumlah kasus dari tahun 1968 sampai tahun 2015, tercatat terdapat
126.675 penderita DHF di 34 provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang diantaranya meninggal
dunia.6

c. Etiologi dan Transmisi


d. Virus
DHF disebabkan oleh virus dengue.Virus dengue termasuk dalam genus Flavivirus,
keluarga Flaviviridae. Virus ini mengandung single-strand RNA sebagai genom. 8 Genom
virus dengue mengandung sekitar 11000 basis nukleotida, yang merupakan kode untuk satu
polyprotein tunggal yang dipecah secara pos menjadi 3 molekul protein struktural (C, prM,
dan E) yang membentuk partikel virus dan 7 protein nonstruktural ( NS1, NS2a, NS2b, NS3,
NS4a, NS4b, dan NS5) yang hanya ditemukan pada sel inang yang terinfeksi dan diperlukan
untuk replikasi virus.9Di antara protein non struktural, glikoprotein envelope yaitu NS1,
bersifat diagnostik dan patologis. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm, yang
terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 .Terdapat 4 serotipe
virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Genotipe atau garis keturunany ang berbeda
(virus yang sangat terkait dalam urutan nukleotida) telah diidentifikasi dalam setiap serotipe,
menyoroti keragaman genetic yang luas dari serotipe dengue. Di antara mereka, genotype
"Asia" DEN-2 danDEN-3 sering dikaitkan dengan infeksi berat penyakit yang disertai
dengan dengue sekunder. Infeksi dengan serotipe manapun akan memberi kekebalan seumur
hidup terhadap serotipe virus tersebut.8Di Indonesia keempat serotipe ini ditemukan, dengan
DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Penelitian terbaru menemukan adanya serotipe DEN-5
yang pertama kali diumumkan pada tahun 2013.9

e. Vektor
Virus dengue ditularkan oleh gigitan vektor nyamuk Aedes aegypty dan Aedes
albopictus yang terinfeksi ke tubuh manusia dengan masa inkubasi 4-10 hari.Infeksi bisa

3
didapat melalui satu gigitan saja. Nyamuk Aedes aegypty biasanya mengigit pada siang hari.
Nyamuk ini merupakan spesies tropis dan subtropis yang terdistribusi secara luas di seluruh
dunia yang hidup diantara antara garis lintang 35° LU dan 35 ° LS di bawah ketinggian 1000
m (3.300 kaki). Tahapan nyamuk yang belum matang sering ditemukan di habitat air,
terutama pada penampungan dengan air yang tenang dan menggenang seperti ember, bak
mandi, ban bekas, dan yang lainnya. 1,4,10
Wabah DHF juga dikaitkan dengan Aedes
albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies kompleks Aedes scutellaris. Masing-
masing spesies ini memiliki ekologi, perilaku dan distribusi geografis yang tertentu. Dalam
beberapa dekade terakhir, nyamuk Aedes albopictus ini telah menyebar dari Asia ke Afrika,
Amerika dan Eropa, yang dibantu oleh perdagangan internasional ban bekas, dimana telur
nyamuk disimpan ketika bannya menggenangkan air hujan. Telur tersebut dapat pula
bertahan hidup selama berbulan-bulan tanpa adanya air.8

f. Host
Setelah masa inkubasi yang terjadi sekitar 4-10 hari, infeksi oleh salah satu dari empat
serotipe virus dapat menghasilkan spektrum yang luas dari penyakit ini, walaupun sebagian
besar infeksi tidak menunjukkan gejala atau subklinis. Infeksi primer diduga menginduksi
munculnya kekebalan protektif seumur hidup dengan serotipe yang terinfeksi. 8 Individu yang
menderita infeksi dilindungi dari penyakit klinis dengan serotipe yang berbeda dalam 2-3
bulan dari infeksi primer, tetapi tanpa kekebalan lintas pelindung jangka panjang. Anak-anak
muda khususnya mungkin kurang mampu jika dibandingkan dengan orang dewasa untuk
mengimbangi kebocoran kapiler dan akibatnya memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami dengue shock.

Dalam proses transmisi, nyamuk menggigit penderita yang terinfeksi virus dengue,
dimana virus dengue banyak terdapat di dalam darah penderita terutama pada hari ke 5.
Beberapa penderita tidak menunjukkan gejala yang signifikan namun dapat mentransmisikan
virus ke dalam nyamuk yang menggigitnya. Setelah virus masuk ke dalam nyamuk, virus
tersebut akan memerlukan tambahan 8-12 hari inkubasi sebelum dapat ditularkan ke manusia
lain. Nyamuk tersebut tetap terinfeksi selama sisa hidupnya, yang mungkin dari beberapa hari
hingga beberapa minggu.8

Data terbaru menunjukkan bahwa aktivasi sel endotel bisa memediasi terjadinya
kebocoran plasma. Kebocoran plasma diduga berhubungan dengan efek fungsional daripada
merusak sel-sel endotel. Trombositopenia mungkin berhubungan dengan terjadinya

4
perubahan dalam megakaryocytopoieses oleh infeksi sel hematopoietik manusia dan
gangguan pertumbuhan sel progenitor, disfungsi platelet (aktivasi platelet dan agregasi)serta
terjadi peningkatan penghancuran atau konsumsi. Perdarahan mengakibatkan
trombositopenia dan disfungsi trombosit yang terkait atau disseminated intravascular
coagulation. Kesimpulannya, ketidakseimbangan sementara antara mediator inflamasi,
sitokin dan kemokin terjadi selama perjalanan dengue yang parah, didorong oleh beban virus
pada fase awal yang tinggi sehingga menyebabkan terjadinya disfungsi sel endotel vaskular
dan kekacauan sistem hemokoagulasi yang menyebabkan kebocoran plasma dan syok.

g. Patofisiologi dan Patogenesis


DHF merupakan mosquito-borne viral disease yang disebabkan oleh virus dengue
dengan tipe antigen yang berbeda, yaitu tipe 1-4.1,4 Walaupun DF dan DHF disebabkan oleh
virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan
perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah hemokonsentrasi yang khas pada DHF yang
bisa mengarah pada kondisi renjatan. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang
diduga karena proses imunologi.11 Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi
klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan
berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi
viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas
mulai. Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah respon imun
humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus dan
proses sitolisis. Peran limfosit T baik T-helper (CD4) maupun T-sitotoksis (CD8) juga
berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Monosit dan makrofag berperan
dalam fagositosis virus namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan sekresi sitokin oleh makrofag. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap
virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell).
Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik
makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-
sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel
B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi
netralisasi, antibodi hemagglutinasi, dan antibodi fiksasi komplemen. 1,8

Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang


terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat
terjadi manifestasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan

5
trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.5 Imunopatogenesis DHF
merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan
perubahan patogenesis DHF dan DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi sekunder
(secondary heterologous infection theory).1

Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga virus
binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi
fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyaipotensiuntuk
menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat
serotipe virus yang paling virulen.11

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection


yang menyatakan DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang
berbeda. Jika terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi
tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh
merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit
yang berat.1

Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan
dengan reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Sebagai respon terhadap
infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.1,11

Patogenesis terjadinya kebocoran plasma pada DHF dapat dilihat pada Gambar 1.
Pada gambar 1 digambarkan bahwa terjadi konsentrasi kompleks imun yang tinggi akibat
reinfeksi yang mengakibatkan reaksi amnestik antibodi. Infeksi virus dengue

menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi


sehingga virus berkembang di makrofag. Infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan
aktivasi T-helper dan T-sitotoksis sehingga diproduksilah limfokin dan interferon gamma.
Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresikanlah berbagai mediator
inflamasi, seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6, dan histamin yang
megakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadilah kebocoran plasma.

6
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dapat dilihat pada Gambar 2. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh
tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang akan
terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu, replikasi virus
dengue terjadi juga di dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus
dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi
(virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.

Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan


permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke
ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai
lebih dari 30% dan berlangsung selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang erat
hubungannya dengan kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti dengan
adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di
dalam rongga serosa (efusi pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi secara adekuat
akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena itu
pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.1,11

Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
mengakibatkan perdarahan pada DBD. Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin diphosphat), sehingga trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial
system) sehingga terjadi trombositopenia (degranulasi trombosit). Agregasi trombosit ini
akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulapati
konsumtif (KID; koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degradation product ) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. 1,11

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga


walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi dengan baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin kalikrein sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DHF diakibatkan oleh

7
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan
kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang
terjadi.1

Trombositopenia pada infeksi dengue tejadi melalui mekanisme supresi sumsum


tulang, destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada
masa awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit.
Setelah tubuh dapat mengkompensasi, maka akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis.
Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia akan menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan adanya stimulasi thrombopoiesis sebagai mekanisme
kompensasi terhadap keadaan thrombositopenia.

h. Manifestasi Klinis
Infeksi dengan hanya salah satu dari empat serotipe dengue dapat menghasilkan
spektrum penuh dan beratnya penyakit. Spektrum penyakit dapat berkisar dari, sindrom
demam non-spesifik ringan, demam berdarah klasik (DF), dengan bentuk parah dari penyakit,
DHF dan demam berdarah shock syndrome (DSS). Bentuk parah biasanya terwujud setelah
hari 2-7 fase demam dan sering ditandai dengan tanda-tanda peringatan klinis dan
laboratorium. Walaupun tidak ada agen terapeutik untuk infeksi dengue, kunci keberhasilan
penanganan adalah penggunaan waktu yang tepat dan kebijaksanaan perawatan suportif,
termasuk pemberian cairan isotonik intravena atau koloid, serta pemantauan ketat tanda-tanda
vital dan status hemodinamik, keseimbangan cairan, dan parameter hematologi.8

Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi
antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue dapat
tidak menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu demam
tanpa penyebab yang jelas, dengue fever (DF) dan bermanifestasi berat dengan dengue
hemorrhagic fever(DHF) tanpa syok atau dengue shock syndrome (DSS). 8Manifestasi klinis
bergantung pada strain virus, faktor host misalnya umur, dan status imun. Berikut ini adalah
bagan manifestasi klinis dari infeksi virus dengue.8

Pada umumnya pasien mengalami demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai
resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Gejala lain seperti
mual muntah, diare, ruam kulit, nyeri kepala serta nyeri otot dan tulang. Nyeri kepala dapat

8
menyeluruh atau terpusat pada supraorbita dan retroorbita. Nyeri otot terutama pada
tendon.1,2,10

Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis dan
fase pemulihan. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi pada hari 1 – 3 hari
mencapai 40o C, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia,
artralgia dan sakit kepala.Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi faring dan
konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah.Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda
perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan
pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.Fase kritis, terjadi pada hari 3 – 6 sakit dan
ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya
kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam.Kebocoran plasma sering
didahului oleh leukopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit.Pada fase ini dapat
terjadi syok. Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari
ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum
penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik.10

i. Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 2011
terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris.

Kriteria klinis berdasarkan WHO 2011 :8

j. Demam akut, tinggi mendadak 2-7 hari pada beberapa kasus, eritema kulit, nyeri
seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala
k. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan
 Uji tourniket positif (yang palinng umum)
 Petekie, ekimosis, purpura
 Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
 Hematemesis dan/atau melena
l. Syok, dengan manifestasi takikardi, perfusi jaringan yang buruk ditandai dengan nadi
lemah, hipotensi, kulit pucat, dingin, lemah
Kriteria Laboratoris :
 Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
 Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma atau tanda hemokonsentrasi
sebagai berikut :

9
o Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapatkan terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoalbuminemia.
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia atau peningkatan hematokrit,
cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam berdarah dengue. Adanya pembesaran hati
selain dua kriteria klinis pertama adalah dugaan terjadinya demam berdarah dengue sebelum
onset kebocoran plasma. Efusi pleura (X-ray dada atau ultrasonografi) adalah bukti objektif
terjadinya kebocoran plasma dan terjadinya hipoalbumin dapat memperkuat diagnosis
terutama pada pasien anemia, perdarahan berat, kondisi ketika tidak adanya hematocrit dasar,
dan peningkatan hematocrit kurang dari 20% akibat pemberian terapi intravena secara dini.
Pada kasus syok, peningkatan hematokrit dan adanya trombositopenia, mendukung diagnosa
demam berdarah dengue. ESR yang rendah (kurang dari 10 mm/satu jam pertama) selama
syok membedakan DSS dari syok septik.1,8,9,

Berdasarkan tingkat keparahan, WHO (2004) membagi demam berdarah dengue


menjadi 4 derajat, yaitu : 8,11

a. Derajat 1: Demam yang disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet
b. Derajat 2: Derajat 1, disertai perdarahan terjadinya spontan di kulit dan perdarahan
lainnya
c. Derajat 3: Adanya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di daerah sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab, dan tampak gelisah.
d. Derajat 4: Syok berat, dimana nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

Table 1. Klasifikasi infeksi dengue berdasarkan tingkat keparahan


DF/DHF Derajad Gejala Laboratorium
DF Demam disertai 2 atau lebih  Leukopenia (wbc <
gejala : 5000 sel/mm3)
 Trombositopenia (AT
 Sakit kepala
< 150000 sel/mm3)
 Nyeri retro orbital
 Peningkatan HCT (5-
 Myalgia 10%)
 Athralgia  Tidak ada bukti
 Ruam

10
 Tidak adanya tanda kebocoran plasma
kebocoran plasma
DHF I Demam dan manifestasi  Trombositopenia (AT
perdarahan (uji bendung positif) < 100000 sel/mm3)
 Peningkatan HCT
dan adanya bukti ada kebocoran
>20%
plasma
DHF II Gejala pada derajat I disertai  Trombositopenia (AT
dengan perdarahan spontan < 100000 sel/mm3)
 Peningkatan HCT
>20%
DHF III Gejala pada derajat I atau II  Trombositopenia (AT
disertai dengan kegagalan < 100000 sel/mm3)
 Peningkatan HCT
sirkulasi (nadi lemah, hipotensi,
>20%
kulit dingin dan lembab serta
gelisah)
DHF IV Syok berat disertai dengan  Trombositopenia (AT
tekanan darah dan nadi tidak < 100000 sel/mm3)
 Peningkatan HCT
terukur
>20%

e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menunjang diagnosis DHF adalah
pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus. Pemeriksaan yang umumya dan
signifikan dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap. Diagnosis DHF secara definitif
dapat dilakukan dengan isolasi virus, identifikasi virus dan serologis.11

a. Pemeriksaan Laboratorium
b. Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan darah yang dilakukaan secara rutin adalah kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah trombosit. Meningkatnya hematokrit yang pada pasien DHF
merupakan penanda terjadinya perembesan plasma. Selain itu dapat juga
ditemukantrombositopenia dan leukopenia. 8
Pada pemeriksaan darah lengkap
parameter yang diamati adalah terdapat trombositopenia (45% total leukosit).

c. Pemeriksaan Faal Pembekuan Darah


Pemeriksaan faal pembekuan darah dapat digunakan sebagai acuan untuk
memandu terapi pada pasien dengan adanya manifestasi perdarahan yang parah. Pada
pemeriksaan faal pembekuan darah biasanya ditemukan protrombin time memanjang,

11
activated partial thromboplastin time memanjang, dan fibrinogen rendah dan tingkat
degradasi produk fibrin yang tinggi merupakan tanda DIC.

d. Deteksi Antigen
Perkembangan baru dalam ELISA dan tes dot blot diarahkan ke amplop /
membran (E / M) antigen dan protein non-struktural 1 (NS1) yang menunjukkan
bahwa konsentrasi tinggi antigen tersebut dalam bentuk kompleks imun dapat
dideteksi pada pasien dengan infeksi dengue primer dan sekunder sampai sembilan
hari setelah onset penyakit. NS1 glikoprotein dihasilkan oleh semua flaviviruses dan
dikeluarkan dari sel mamalia. NS1 menghasilkan respon humoral yang sangat kuat.
Banyak penelitian telah diarahkan menggunakan deteksi NS1 untuk membuat
diagnosis awal infeksi virus dengue. Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam
hari pertama sampai hari ke delapan dengan sensitivitas 63%-93,4% dan spesifisitas
100%. 8

e. Tes Serologi
IgG/IgM

Respon antibodi terhadap infeksi terdiri dari munculnya berbagai jenis


immunoglobulin.Isotipe imunoglobulin IgM dan IgG memiliki nilai diagnostik pada
demam berdarah.Antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari ke-3-5 setelah onset
penyakit, meningkat dengan cepat sekitar dua minggu dan menurun sampai tingkat
yang tidak terdeteksi setelah 2-3 bulan. Karena kemunculan antibodi IgM yang
terlambat, yaitu setelah lima hari demam, tes serologis berdasarkan antibodi ini yang
dilakukan selama lima hari pertama penyakit klinis biasanya akan menunjukkan hasil
yang negatif.

Antibodi IgG dapat terdeteksi pada tingkat yang rendah pada akhir minggu
pertama, yang kemudian akan meningkat dan tetap untuk periode yang lebih lama
(selama bertahun-tahun). IgG terdeteksi mulai hari ke 3-5 demam. Meningkat hingga
minggu ke-3 dan dapat menghilang setelah 60-90 hari.Pada infeksi primer IgG mulai
terdeteksi pada hari ke-14 dan pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari
ke-2.dapat terdeteksi selama lebih dari 60 tahun dan jika tidak ada gejala. Setelah
infeksi primer, IgG mencapai tingkat puncak dalam darah setelah 14-21 hari.Selama
infeksi berikutnya, tingkat puncaknya lebih awal dan titer biasanya lebih
tinggi.Selama infeksi dengue sekunder (ketika host sebelumnya telah terinfeksi virus

12
dengue), titer antibodi meningkat dengan cepat.Antibodi IgG dapat terdeteksi pada
tingkat tinggi, bahkan pada tahap awal, dan bertahan dari beberapa bulan sampai
periode seumur hidup.

Tingkat antibodi IgM secara signifikan lebih rendah pada kasus infeksi
sekunder.Oleh karena itu, rasio IgM / IgG biasanya digunakan untuk membedakan
antara infeksi dengue primer dan sekunder.Trombositopenia biasanya diamati antara
hari ketiga dan kedelapan penyakit yang diikuti oleh perubahan hematokrit lainnya.
Baik IgG dan IgM memberikan kekebalan protektif terhadap serotipe virus yang
menginfeksi.8,12

Gambar 1. Keadaan IgG dan IgM berdasarkan onset gejala 8,12

f. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)
dilakukan dengan tujuan melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua
hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan
ultrasonografi.Kelainan yang bisa didapatkan antara lain dilatasi pembuluh darah paru,
kardiomegali atau efusi perikard, dan hepatomegaly. 1

13
g. Diagnosis Banding
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan apabila terdapat kesesuaian klinis dengan
demam tifoid, chikungunya, dan campak. Pada awal perjalanan penyakit yaitu pada fase
demam, diagnosis banding dapat mencakup infeksi bakteri, virus, atau infeksi parasit yang
mirip dengan infeksi dengue seperti demam tifoid, campak, malaria dan demam
chikungunya.10

Demam berdarah dengue berbeda dengan demam tifoid, dimana jenis demam tifoid
yang lama dan suhu tubuh lebih meningkat biasanya pada sore hari dan menurun pada pagi
hari.Pola demam berperti anak tangga. Gejala lain sama dengan DHF seperti sakit kepala,
mual, muntah, nyeri otot. Pada pemeriksaan penunjang dilakukan uji widal.10

Demam berdarah dengue dengan demam chikungunya berbeda. Pada demam


chikungunya biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan cara penularannya mirip
dengan penularan influenza. Pada demam chikungunya, serangan demam mendadak lebih
mendadak dibandingkan dengan demam berdarah dengue, masa demam lebih pendek, suhu
lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, adanya injeksi konjungtiva dan lebih
sering disertai dengan nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis
hampir sama dengan demam berdarah dengue. Pada demam chikungunya tidak ditemukan
adanya perdarahan gastrointestinal, syok, dan tidak terjadinya peningkatan.1

Pada penyakit malaria, gejala klinis yang muncul yaitu biasanya demam menggigil
secara berkala dan biasanya terjadi sakit kepala secara bersamaan, suhu badan menurun,
terdapat anemia, splenomegali (pembesaran limpa), dan terjadi ikterus (hemolisis dan
gangguan hepar). Namun pada demam berdarah dengue, demam terjadi secara mendadak,
suhu dapat mencapai 380C - 400C yang terjadi 2 hingga 7 hari, terdapat manifestasi
perdarahan, hepatomegali, terdapat tanda-tanda syok, lemah, mual, muntah, sakit kepala,
diare, dan ruam merah dan sakit pada otot dan persendian. Pada tes laboratorium demam
berdarah dengue biasanya dilakukan uji serologi IgM, IgG, dan ELISA, dan mendeteksi
antigen viral dengan metode PCR serta dengan cara fluorosensi imunoglobulin. Sedangkan
pada malaria, tes laboratorium bisanya ditemukan parasit dalam darah yang dipulas dengan
Giemsa.8

Campak biasanya muncul dengan gejala klinis berupa adanya bercak merah yang
dapat hilang apabila di tekan. Bercak merah timbul pada hari ke-3 sampai dengan hari ke 5,
yang kemudian akan berkurang pada minggu kedua dan menimbulkan bekas terkelupas dan

14
bercak kehitaman. Bercak merah muncul diawali dengan adanya keluhan pilek dan batuk
ketika munculnya demam pada hari pertama.Sedangkan bercak yang timbul pada demam
berdarah dengue muncul pada hari ke-2 sampai 3. Pada hari ke-4 dan 5 bercak menghilang
tanpa diikuti proses terkelupas dan bercak kehitaman pada kulit. Selain gejala klinis tersebut
yang membedakan penyakit demam berdarah dengue dengan campak adalah pada demam
berdarah dengue terjadi penurunan trombosit/trombositopenia (<100.000/uL) dan terjadi
hemokonsentrasi lebih dari 20%. Selain itu pada DHF akan tampak hasil positif pada
pemeriksaan antibodi IgG dan IgM.8

Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DHF, oleh karena
didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP
sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang, tidak
dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat
kembali normal daripada ITP.

Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia
demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan darah
tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukemia. Pada anemia aplastik anak
sangat anemik, demam timbul karena infeksi sekunder. 3

h. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan
terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal
terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari
ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan
berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada
kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah
pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya
kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu
diwaspadai.Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup,
lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi
simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk

15
mengatasi keluhan dispepsia.Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid
sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan
DHF dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam
5 kategori, sebagai berikut:14,15

1) Penanganan suspek DHF tanpa Syok


Protokol ini sebagai pedoman dalam memberikan pertolongan pertama pada
pasien yang menderita DHF atau yang dicurigai menderita DHF di Instalasi Gawat
Darurat. Protokol ini juga digunakan sebagai sebagai petunjuk dalam memutuskan
apakah pasien harus dirawat atau tidak.

Seseorang yang menderita DHF di IGD dilakukan pemeriksaan Hemoglobin


(Hb), hematokrit dan trombosit apabila didapatkan :

16
a) Hb, Ht dan trombosit dalam batas normal atau jumlah trombosit antara
100.000 – 150.000, pasien dapat dipulangkan dan dilakukan observasi dengan
anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam
berikutnya untuk dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, Leukosit dan trombosit setiap
24 jam. Apabila keaadaan pasien memburuk, pasien segera dibawa kembali ke
Instansi Gawat Darurat
b) Hb, Ht normal tetapijumlah trombosit
c) Hb, Ht meningkat dan jumlah trombosit normal atau turun pasien juga
dianjurkan untuk dirawat inap di rumah sakit

Gambar 2. Penanganan pasien DHF tanpa syok

b. Pemberian cairan pada suspek DHF dewasa di ruang rawat


Pasien yang menderita DHF tanpa adanya perdarahan spontan dan masif dan
tanpa adanya syok maka diberikan cairan infus kristaloid di ruang rawat dengan
jumlah seperti rumus berikut ini:

Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan :

1500 + 20 x (BB dalam kg – 20)

(Sumber : Pan American Health Orgabization : Dengue and dengue hemorrhagic Fever :
Guidlines for Prevention and Control : PAHO : Washington D.C, 1994:67)

17
Setelah dilakukan pemberian cairan pasien dilakukan pemeriksaan HB, Ht
setiap 24 jam

c. Apabila Hb, HT meningkat 10 – 20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian
cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan trombosit dilakukan
tian 12 jam.
d. Apabila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan
sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dangan peningkatan Ht > 20 %

Gambar 3. Pemberian cairan pada pasien DHF dewasa di ruang rawat inap

e. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%


Tubuh akan mengalami defisit sebanyak 5% ketika terjadinya peningkatan Ht
> 20 %. Terapi awal yang dilakukan adalah dengan pemberian infus cairan kristaloid
sebanyak 6-7 ml/kgBB/jam.Pasien kemudian dievaluasi kondisi pasien setelah 3-4
jam pemberian cairan.Apabila terjadinya perbaikan kondisi yang ditandai dengan
adanya Ht turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat
maka jumlah cairan yang diberikan harus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam.Setelah
itu 2 kemudian dilakukan pemantauan kembali, apabila kondisi pasien tetap membaik
maka pemberian cairan dapat dihentikan dalam waktu 24-48 jam kemudian.

18
Apabila setelah dilakukan pemberian terapi cairan awal 6 – 7 ml/ kgBB/ jam
tadi keadaan pasien tetap tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi
meningkat, tekanan nadi menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita
harus menaikkan jumlah cairan infus yang diberikan menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua
jam kemudian dilakukan evaluasi kembali. Apabila keadaan pasien menunjukkan
adanya perbaikan maka jumlah cairan yang diberikan dapat dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam. Apabila keaadaan pasien tidak menunjukkan adanya perbaikan maka
jumlah cairan infus yang diberikan dinaikkan menjadi 15ml/kgBB/jam. Dilakukan
pemantaun terhadap kondisi pasien, apabila dalam perkembangannya kondisi menjadi
memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan
protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada pasien dewasa.Bila syok telah teratasi
maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi cairan awal.

Gambar 4. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%

f. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHFdewasa


Perdarahan maksud adalah yang pada hidung/epistaksis yang tidak terkendali
walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan
melena atau hematosezia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak
atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 cc/kgBB/jam.
19
Pada keadaan ini jumlah cairan yang diberikandan kecepatan pemberian cairan tetap
seperti keadaan DHF tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi,
pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht
dan trombosit serta hemostasis harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan
trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.

Pemberian heparin dapat diberikan apabila secara klinis dan laboratoris


ditemukan adanya tanda-tanda KID.Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi.FFP dapat diberikan apabila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan
(PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10g
%.Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DHF dengan perdarahan spontan
dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/uL disertai atau tanpa KID dan Hb
<10g/dL.

Gambar 5. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD

g. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa


Pasien dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus
diingat adalah bahwa renjatan ini harus segera diatasi oleh karena itu penggantian
cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom
syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DHF tanpa renjatan,
20
dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DHF mendapatkan
pertolongan / pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya
kewaspadaan terhadap tanda – tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang
tidak adekuat.

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya
pada penatalaksanaan SSD yaitu jenis cairan dan jumlah serta kecepatan cairan yang
akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan
di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat,
cairan salin) maupun koloid dapat diberikan.Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya
dibutuhkan dalam penatalaksanaan SSD antara lain memiliki sifat bertahan lama di
intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu system koagulasi
tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.WHO menganjurkan terapi kristaloid
sebagai cairan standar pada terapi DHF karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid
lebih mudah didapat dan lebih murah. Keuntungan lainnya penggunaan kristaloid
antara lain komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam
temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik. Secara umum,
penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DHF aman dan efektif. Selain pemberian
cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pada fase awal, cairan
kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila
renjatan telah teratasi (ditandai dengan TD sistolik 100mmHg dan tekanan nadi lebih
dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang
cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1cc/kgBB/jam)
jumlah cairan dikurangi menjadi 7ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 – 120 menit
keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam.Bila dalam 60 – 120
menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian caira menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila
24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta
diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika
rebsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan
turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi edema
paru atau gagal jantung dapat terjadi).

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan


terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadin renjatan ( karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20%

21
saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena
untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan
tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan
napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik serta
jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2ml/kgBB/kam. Pemantauan kadar hemoglobin,
hematoktrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perkalanan
penyakit.

Bila stelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan kemudian
dievaluasi detelah 20-30 menit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan
plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi
bila nilai hematokrit menurun , berarti terjadi perdarahan ( internal bleeding) maka
pada penderita diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai
kebutuhan.

Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-
sifat cairan tersebut.Pemberian koloid sendiri mulu-mula diberikan dengantetesan
cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena
sentral dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB
(maksimal 1-1,5 1/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 smH2O. Bila
keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap
gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila
tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan belum
teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor. Pemeriksaan – pemeriksaan
yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis,
AGD, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kereatinin.

22
Gambar 6. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

h. Pencegahan
Demam berdarah dapat dicegah dengan melakukan memberantas terhadap jentik-
jentik nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN (Pembersihan
Sarang Nyamuk), yaitu :

23
a. Membersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti: bak mandi / WC, drum, dan
lain-lain) sekurang-kurangnya 1 kali seminggu
b. Menutup dengan rapat tempat penampungan air, seperti ember, drum, dan lainlain
agar tidak menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk di tempat tersebut.Taburkan
bubuk ABATE pada tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras untuk
membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi hal ini setiap 2- 3 bulan sekali
c. Buang sampah pada tempatnya dan mengubur barang-barang bekas, seperti kaleng
bekas, ban bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air hujan,
agar tidak menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Menutup lubanglubang pagar
pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen
d. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap di
dalam pakaian.

24
BAB III

PENUTUP

Demam berdarah Dengue (DBD) didefinisikan sebagai suatu penyakit yang


disebabkan oleh infeksi satu dari empat virus dengue, yaitu DENV1, DENV2, DENV3, dan
DENV4, engan nyamuk dari genus Aedes sebagai vektor utama penyakit ini. Gejala klinis
yang dapat ditimbulkan oleh Demam Dengue adalah adanya demam mendadak tinggi (390C-
400C) terus menerus, pola bifasik, selama 2-7 hari, disertai nyeri kepala, nyeri otot (myalgia)
dan sendi (atralgia), nyeri retro-orbital, fotofobia, gangguan pencernaan (diare atau
konstipasi), nyeri perut, sakit dan tenggorokan. Demam Dengue dan Demam Berdarah
Dengue dapat dibedakan dengan ada atau tidaknya kebocoran plasma.

Diagnosis Demam Dengue memerlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.
Demam Dengue ditangani dengan pasien dianjurkan untuk bed rest selama fase akut,
menjaga suhu tubuh pasien tetap < 38,00C, pemberian antipiretik jika suhu > 38,00C serta
memenuhi kebutuhan cairan pasien dengan minum yang cukup.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Dalam Buku
ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi V. Editor : Sudoyo AW dkk. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : 2007.
2. Wahono TD. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan; 2004.
3. Sanyaolu, et al. 2017. Global epidemiology of Dengue Hemorrhagic Fever: An
Update. Journal of Human Virology & Retrovirology. 5(6);00179
4. Hairani LK. Gambaran epidemiologi demam berdarah di Indonesia. FKM UI. 2009.
5. Lestari K. Epidemiologi dan pencegahan Demam Berdarah dengue di Indonesia.
Farmaka. 2007; 5:12-29.
6. Kemenkes RI. INFODATIN. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI:
Situasi Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: 2014.
7. Dinas Kesehatan Provinsi Bali. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Bali. Hal : 27-28; 54-
55
8. World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2011.p.5-45
9. Heilman, JM., wolff, JD., Beards GM., Basden, BJ. 2014.Dengue fever: a Wikipedia
clinical review. Open Medicine. 8(4)e105
10. Tanto, Chris et al. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Media Aesculapius. Jakarta:
2014.
11. Hadinegoro, S.Sri Rezeki, Pitfalls and Pearls.(2004). Diagnosis dan Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics Problem. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. Hal 63-72
12. Suzanne Moore Shepherd. 2014. Dengue. Pennsylvania. Hospital of University of
Pennsylvania.
13. Falconar AK, de Plata E, Romero-Vivas CM. Altered enzyme-linked immunosorbent
assay immunoglobulin M (IgM)/IgG optical density ratios can correctly classify all
primary or secondary dengue virus infections 1 day after the onset of symptoms, when
all of the viruses can be isolated. Clinical and Vaccine Immunology, 2006, 13:1044–
1051.
14. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana
pelayanan kesehatan, 2005.p.19-34 1
15. Chen,K., Pohan, H. T., Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah
Dengue. Medicinus. 2009; 22 (1)
16. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas
Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.

26

Anda mungkin juga menyukai