Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan Inayahnya sehingga
saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah mengenai sirosis hepatis.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kenaikan pangkat dan
golongan kepegawaian di RSUD Cilegon

Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang


membantu dalam penyusunan makalah ini.

Demikian yang dapat saya sampaikan mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca dan khususnya tim penilai.

Cilegon, 1 April 2022

Penyusun

(.......................................)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................i

BAB 1.............................................................................................................................1

PENDAHULUAN..........................................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................................1

BAB II............................................................................................................................2

TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................2

A. Anatomi dan Fisiologi Hepar...........................................................................2

1. Anatomi Hepar..............................................................................................2

2. Sirkulasi Hepar.............................................................................................2

3. Fungsi Hati....................................................................................................3

B. Sirosis Hepatis..................................................................................................3

1. Definisi..........................................................................................................3

2. Epidemiologi.................................................................................................3

3. Etiologi..........................................................................................................4

4. Patogenesis....................................................................................................4

5. Gambaran Klinis...........................................................................................5

6. Komplikasi....................................................................................................5

7. Diagnosis dan Diagnosis Banding................................................................8

8. Tatalaksana.................................................................................................10

9. Prognosis.....................................................................................................15

BAB III.........................................................................................................................16

PENUTUP....................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................16

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Definisi sirosis berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah suatu proses
difus yang ditandai dengan fibrosis dan perubahan arsitektur hati normal menjadi struktur
nodul abnormal yang tidak memiliki organisasi lobular yang normal. Progresifitas kerusakan
hati ini dapat berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai beberapa tahun.1

Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), pada tahun 2000 sekitar 170 juta umat
manusia menderita sirosis hepatis. Angka ini meliputi sekitar 3% dari seluruh populasi
manusia di dunia dan setiap tahunnya kejadian baru sirosis hepatis bertambah 3 - 4 juta
orang.5 Angka prevalensi penyakit sirosis hepatis di Indonesia, secara pasti belum diketahui.
Secara keseluruhan rata – rata prevalensi sirosis adalah 3,5% seluruh pasien yang dirawat di
bangsal penyakit dalam, atau rata – rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang
dirawat.

Kasus sirosis hepatis sering ditemui, oleh dokter umum, di ruang emergensi, ruang
perawatan dan unit intensif (ICU), maupun dokter penyakit dalam ataupun dokter bedah
dikarenakan komplikasi yang ditimbulkan misalnya pecah varises esofagus. Sirosis Hepatis
juga merupakan masalah kesehatan yang penting secara global, dengan morbiditas dan biaya
perawatan kesehatan yang besar. Tanpa manajemen yang tepat sirosis hepatis dapat berakibat
fatal.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1) Anatomi dan Fisiologi Hepar


2) Anatomi Hepar
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh, memiliki berat 1200-1500 g dan terdiri
dari 1/5 dari total berat badan orang dewasa. Hepar terlindungi oleh tulang rusuk di kuadran
kanan atas. Hati tertahan oleh lampiran ligamen pada diafragma, peritoneum, pembuluh darah
besar, dan organ pencernaan bagian atas. Hati dibungkus oleh jaringan fibrosa tipis yang
tidak elastis yang disebut capsula fibrosa perivascularis (Glisson) dan sebagian tertutupi oleh
lapisan peritoneum. Hepar memiliki 4 lobus, dua lobus yang berukuran paling besar dan jelas
terlihat adalah lobus kanan yang berukuran lebih besar, sedangkan lobus kiri berukuran lebih
kecil dan berbentuk baji.

Diantara kedua lobus tersebut terdapat vena portae hepatis, jalur masuk dan keluarnya
pembuluh darah, saraf, dan ductus. Lobus kanan terbagi menjadi lobus quadratus dan lobus
caudatus karena adanya vesical biliaris, fisurra untuk ligamentum teres hepatis, vena cava
inferior, dan fisurra untuk ligamentum venosum. Hilus hepatis atau porta hepatis terdapat
pada permukaan posteroinferior dan terletak di antara lobus caudatus dan lobus quadratus.
Bagian atas ujung bebas omentum minus melekat pada pinggir porta hepatis dan terdapat
ductus hepaticus dexter dan sinister, cabang dextra dan sinistra arteria hepatica, vena porta,
serabut-serabut saraf simpatik dan para simpatik, serta beberapa kelenjar limfe hepar.

3) Sirkulasi Hepar
Hati menerima suplai darah ganda, 20% dari aliran darah adalah darah yang kaya
oksigen dari arteri hati, dan 80% adalah darah kaya nutrisi dari portal vena yang muncul
melalui perut, usus, pankreas, dan limpa. Kedua pembuluh darah memasuki hepar melalui
porta hepatika (liver hilus). Saat di dalam hilus, vena portal dan arteri hepatika terbagi dua ke
dalam cabang kanan dan kiri. Masing-masing lobus sebelum didistribusikan ke segmen hepar
dan mengalir ke sinusoid melalui saluran portal. Darah meninggalkan sinusoid kemudian
memasuki vena hepatika (tengah, kanan dan kiri) sebelum memasuki vena kava inferior.
Lobus kaudat menerima suplai darah dari vena portal dan arteri hepatika sementara saluran
vena hepatika secara langsung masuk ke dalam vena kava inferior. Arteri kistik menyediakan

2
suplai darah kantong empedu sedangkan proses drainase melalui vena kistik. Sebagian besar
suplai darah ke saluran-saluran empedu adalah dari retroduodenal hepar dari arteri kanan.

4) Fungsi Hati
Hepar sebagai kelenjar terbesar di dalam tubuh mempunyai fungsi yang sangat
bervariasi. Tiga fungsi dasar hepar adalah membentuk dan mensekresikan empedu ke dalam
saluran intestinal, berperan pada berbagai metabolisme yang berhubungan dengan
karbohidrat, lipid dan protein, menyaring darah, menyingkirkan bakteri dan benda asing yang
masuk ke dalam darah.

5) Sirosis Hepatis
1. Definisi
Sirosis berasal dari bahasa Yunani, kirrhos yang berarti oranye atau kuning kecoklatan
dan osis yang berarti kondisi. Sirosis hati adalah stadium lanjut dari fibrosis hati yang secara
histologis didefinisikan sebagai keberadaan nodul regeneratif yang dikelilingi oleh fibrosis
luas (jaringan parut hati).

Sirosis hati adalah penyakit hati yang menahun yang difus yang ditandai dengan
adanya pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan
menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan
jaringan ikat dan nodul tersebut. Banyak bentuk kerusakan hati yang ditandai fibrosis.
Batasan fibrosis sendiri adalah penumpukan berlebihan matriks ekstraselular (seperti kolagen,
glikoprotein, proteoglikan) dalam hati. Respon fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat
reversibel. Namun pada sebagian besar pasien sirosis, proses fibrosis biasanya tidak
reversibel.

2) Epidemiologi
National Center for Health Statistics (NCHS) dan Centers for Disease Control (CDC)
memperkirakan bahwa pada tahun 2009 penyakit hati kronis dan sirosis mewakili penyebab
kematian ke-12 secara keseluruhan dan penyebab kematian ke lima untuk pasien berusia 45
hingga 54 tahun (Scaglione et al., 2015). Sirosis hati meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas di negara-negara maju. Keseluruhan mortalitas sirosis di dunia diperkirakan
1.030.000 penduduk per tahun. Sirosis hati merupakan penyebab keempat mortalitas di Eropa
Tengah, 170. 000 penduduk per tahun di Eropa, dan 33.539 penduduk per tahun di Amerika
(Tsochatzis et al., 2014). Pada 2010, sirosis hati diperkirakan 2% penyebab dari semua
kematian global,yang setara dengan satu juta kematian (Jimenez B et al., 2018). Satu studi

3
cross-sectional berbasis populasi di Italia menemukan 1,1% pada orang dewasa. Di
Indonesia, belum ada data resmi nasional tentang sirosis hepatik. Namun dari beberapa
laporan rumah sakit umum pemerintah, prevalensi sirosis hepatik yang di rawat di bangsal
penyakit dalam umumnya berkisar antara 3,6 - 8 4 % di Jawa dan Sumatra, sedangkan di
Sulawesi dan Kalimantan di bawah 1%. Secara keseluruhan rata-rata prevalensi sirosis adalah
3,5 % dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam atau rata-rata 47,4 % dari
seluruh pasien penyakit hepar yang dirawat dengan perbandingan pria dan wanita adalah 2,1 :
1 dan usia rata-rata 44 tahun.

3) Etiologi
Sirosis memiliki beberapa penyebab. Secara geografis etiologi sirosis hati di negara-
negara barat yang paling sering terjadi meliputi konsumsi alkohol, hepatitis C, dan penyakit
hati lemak non alkoholik (NAFLD). Sedangkan untuk wilayah Asia-Pasifik utamanya
disebabkan oleh hepatitis B. Etiologi lain dari sirosis hati yaitu penyakit bawaan seperti
hemokromatosis dan penyakit wilson, sirosis bilier primer, primary sclerosing cholangitis,
dan hepatitis autoimun. Beberapa kasus sirosis hati bersifat idiopatik atau kriptogenik. Di
Amerika Serikat konsumsi alkohol berlebihan, virus hepatitis kronis (jenis B dan C) adalah
penyebab paling umum (Dipiro et al., 2015). Di Indonesia 12 penyebab utama sirosis hepatis
adalah Hepatitis B (40%-50%) dan Hepatitis C (30%-40%).

4) Patogenesis
Transisi dari penyakit hepar kronis menjadi sirosis melibatkan peradangan, aktivasi
sel-sel stellata hati disertai dengan fibrogenesis, angiogenesis, serta kerusakan parenkim lesi
yang disebabkan oleh penyumbatan di vaskuler. Proses ini menyebabkan hepar mengalami
perubahan mikrovaskuler yang ditandai dengan remodeling sinusoidal (deposisi matriks
ekstraseluler dari sel stellata yang aktif berproliferasi), pembentukan intra hepatic shunt
(karena angiogenesis dan hilangnya sel parenkim), dan disfungsi endotel hepatik yang
ditandai dengan rilisnya vasodilator, yaitu nitric oxide. Pelepasan nitric oxide dihambat oleh
rendahnya aktivitas endothelial nitric oxide synthetase (hasil dari insufisiensi fosforilasi
protein kinase-B, kurangnya kofaktor, meningkatnya radical scavenging akibat oxidative
stress dan peningkatan konsentrasi inhibitor endogen nitric oxide), bersamaan dengan
peningkatan produksi vasokonstriktor (terutama stimulasi adrenergik dan tromboksan A2,
aktivasi renin-angiotensin sistem, hormon antidiuretik dan endotelin). Peningkatan resistensi
aliran darah portal adalah faktor utama terjadinya hipertensi portal pada sirosis. Vasodilatasi
splanknik dengan peningkatan aliran darah ke dalam sistem vena portal akan memperburuk

4
peningkatan tekanan portal. Vasodilatasi splanknik merupakan respon adaptif terhadap
perubahan hemodinamik intrahepatik pada sirosis yang mempunyai mekanisme berlawanan
dengan peningkatan tonus pembuluh darah hepar. Pada sirosis tingkat lanjut, vasodilatasi
splanknik, sirkulasi hiperdinamik dan hipertensi portal mempunyai peran utama dalam
patogenesis asites dan hepatorenal syndrome. Vasodilatasi sistemik selanjutnya menyebabkan
ventilasi atau perfusi paru, pada kasus yang berat dapat menyebabkan hepatopulmonary
syndrome dan hipoksemia arteri. Hipertensi portopulmonari ditandai dengan vasokonstriksi
paru yang disebabkan oleh disfungsi endotel paru-paru. Pembentukan dan peningkatan
ukuran varises karena faktor anatomi, hipertensi portal dan aliran darah kolateral, faktor
angiogenesis sehingga dapat terjadi perdarahan varises. Pelebaran pembuluh darah mukosa
lambung mengarah pada terjadinya portalhypertensive gastropathy. Selain itu, shunting dari
darah portal ke sirkulasi sistemik melalui portosystemic kolateral adalah penentu utama
terjadinya ensefalopati, penurunan first-pass effect dari obat per oral dan penurunan fungsi
sistem retikuloendotelial. Kapilarisasi sinusoid dan intrahepatic shunt juga penting karena
perubahan ini mengganggu perfusi hepatosit yang merupakan penyebab utama terjadinya
gagal hepar.

5) Gambaran Klinis
6) Asymptomatic (Tanpa gejala)
7) Hepatomegaly
8) Pruritus, icterus, eritrema palmar, spider nervi, hiperpigmentasi
9) Gynecomastia dan libido berkurang
10) Asites, edema, efusi pleura, dan kesulitan pernapasan
11) Malaise, anoreksia, dan penurunan berat badan
12) Ensefalopati
13) Komplikasi
a. Hipertensi Portal
Komplikasi sirosis ini umumnya terlihat pada sirosis lanjut dengan temuan khas
vasodilatasi splanknik (Angeli et al., 2018). Hipertensi portal didefinisikan sebagai
gradien tekanan vena porta yang melebihi 5 mmHg. Hipertensi portal terjadi karena
kenaikan resistensi vaskuler intrahepatik. Tekanan darah dalam sinusoid meningkat
ditransmisikan kembali ke pembuluh darah portal. Karena vena portal tidak memiliki

5
katup, tekanan tinggi ini ditransmisikan kembali ke vaskular lainnya, sehingga terjadi
splenomegali, portal-to-systemic shunting, dan komplikasi sirosis lainnya.

2) Varises Esofagus
Varises esofagus adalah komplikasi sirosis yang ditandai dengan pembesaran
abnormal pembuluh darah vena di esofagus bagian bawah. Aliran darah melalui hepar
terhambat secara progresif, tekanan vena porta hepatik yang meningkat mengakibatkan
terjadinya penurunan ketebalan dinding pembuluh darah dan pembesaran pembuluh darah
vena portal, pada permukaan usus dan esofagus bagian bawah. Pembesaran pembuluh
darah ini disebut varises gastroesofageal. Varises esofagus berkembang dengan laju 5-8%
per tahun pada pasien dengan sirosis dan hipertensi portal. Perdarahan varises terjadi pada
25-35% dari pasien dengan sirosis dan varises esofagogastrik yang besar. Sebagian besar
episode perdarahan terjadi dalam tahun pertama saat diagnosis varises ditegakkan.
Pendarahan dari varises esophagus dikaitkan dengan 15-20% kematian dini dan
menyebabkan sepertiga dari semua kematian.

3) Asites
Lima faktor utama yang terlibat dalam patogenesis asites adalah hipertensi portal,
hipoalbuminemia, retensi natrium, retensi air, dan peningkatan pembentukan getah
bening. Sirosis disertai asites menyebabkan volume plasma meningkat 50% di atas
normal, indeks jantung meningkat seperti kadar renin plasma dan norepinefrin. Sirosis
menimbulkan portal hipertensi, yang menghasilkan vasodilatasi arteri splanknik
Vasodilatasi arteri splanchnic kemudian menyebabkan penurunan volume darah sirkulasi
arteri dan aktivasi renin-angiotensin dan sistem saraf simpatis, yang menghasilkan
vasokonstriksi ginjal dan retensi natrium. Vasodilatasi splanknik menyebabkan
peningkatan tekanan kapiler dan permeabilitas yang berkontribusi terhadap asites. Dalam
kurun waktu 10 tahun sejak diagnosis ditegakkan, sekitar 50% pasien sirosis mengalami
komplikasi berupa asites. Pengembangan asites berhubungan dengan prognosis buruk
mengakibatkan kematian.

4) Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)


SBP adalah infeksi asites yang terjadi tanpa adanya sumber infeksi yang
berdekatan dan tidak berasal dari inflamasi intraabdominal. Spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan infeksi akut
asites, akumulasi cairan abnormal pada abdomen, tanpa kejelasan sumber infeksi

6
Mekanisme utama untuk infeksi SBP adalah translokasi bakteri dari lumen usus ke
kelenjar getah bening mesenteric dan lokasi ekstraintestinal lainnya. Organisme gram
negatif dari flora usus adalah penyebab paling sering. Translokasi tersebut difasilitasi oleh
shock pada sistem retikuloendotelial hati serta perubahan permeabilitas usus akibat edema
dan hipervolemia. Sistem retikuloendotelial hati ditekan pada pasien dengan sirosis.
Diakui bahwa 90% fungsi sel retikuloendotelial berada dalam sel Kupffer, sel endotel dan
sinusoidal. Pirau intrapepatik dengan hipertensi portal mengakibatkan penurunan kontak
mikroorganisme dengan sel retikuloendotelial. Selain itu, ada penurunan aktivitas
fagositosis. Faktor tambahan termasuk penurunan aktivitas dalam cairan asites dan
penurunan fibronektin, yang berkorelasi langsung dengan kadar protein total dalam cairan
asites. Protein cairan asites dalam SBP secara khas kurang dari 1,0 g / dL. SBP dapat
terjadi pada hingga 30% individu dan dapat memiliki tingkat kematian di rumah sakit
25%. Diagnosis ditegakkan dengan peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear (PMN)
cairan asites yang meningkat lebih dari 250 sel / mL.

5) Ensefalopati Hepatik
Ensefalopati hepatic disebut juga portal systemic encephalopathy (PSE) adalah
kelainan neuropsikiatrik kompleks yang dihasilkan dari penyakit hati parenkim kronis
dengan kegagalan sel hati, sering bersamaan dengan pirau sistemik portal, baik yang
terjadi secara alami atau dibuat secara pembedahan. Ensefalopati hepatic ditandai oleh
perubahan kepribadian, tingkat kesadaran, fungsi motorik, dan kognisi. Patogenesis yang
tepat dari ensefalopati hepatik tidak diketahui, akumulasi produk nitrogen yang berasal
dari usus dapat memiliki efek buruk pada fungsi otak dan diyakini memainkan peran
utama. Amonia yang diproduksi oleh usus dapat memasuki sirkulasi sistemik sebagai
akibat dari penurunan fungsi hati atau pintasan sistemik portal. Begitu berada di jaringan
otak, amonia dapat memblokir saluran klorida, memodulasi reseptor γ-aminobutyric acid
(GABA), meningkatkan reseptor benzodiazepine perifer, dan meningkatkan glutamin
otak. Beberapa bukti yang mendukung konsep bahwa amonia memainkan peran kunci
dalam patogenesis ensefalopati hepatic adalah Kadar amonia meningkat pada darah
portal, darah tepi, dan cerebrospinal fluid (CSF).

6) Sindrom Hepatorenal
Hepatorenal syndrome (HRS) adalah bentuk gagal ginjal fungsional tanpa patologi
ginjal yang terjadi pada sekitar 10% pasien dengan sirosis lanjut atau gagal hati akut.
sirosis dan asites ditandai dengan aktivasi dari renin-angiotensin dan sistem saraf

7
simpatik, menghasilkan peningkatan kadar renin, aldosteron, dan norepinefrin. Jika pasien
sirosis berhasil menjalani diuresis, kadar renin, aldosteron, norepinefrin, dan hormon
antidiuretik semuanya menurun. Namun, pada pasien dengan penyakit hati tahap akhir
yang dipersulit oleh sindrom hepatorenal, kadar renin, aldosteron, hormon antidiuretik,
dan norepinefrin akan meningkat secara terus-menerus meskipun ada upaya yang keras
dalam ekspansi volume. Hal ini terjadi biasanya terjadi karena penurunan resistensi
vaskular sistemik dan vasodilatasi arteriolar splanknik. Vasodilatasi splanknik terjadi
akibat peningkatan sintesis oksida nitrat. Kombinasi penurunan resistensi vaskular
sistemik dan arterial underfilling mengakibatkan stimulasi vasokonstriktor sistemik yang
kemudian menyebabkan vasokonstriksi ginjal. Pada tahap awal sirosis, peningkatan
vasodilator sistemik dan lokal dapat bertindak untuk menjaga fungsi ginjal. Vasodilator
meliputi prostasiklin, prostaglandin E2, nitrat oksida, atrium natriuretik peptida, dan
sistem kallikrein-kinin. Vasokonstriktor termasuk angiotensin II, nor-epinefrin,
neuropeptida Y, endotelin-1, adenosin, tromboksan A2, sisteinil leukotrien, dan F2-
isoprostan. Dengan perkembangan sindrom hepatorenal, penurunan produksi vasodilator
lokal dan peningkatan produksi vasokonstriktor, menyebabkan vasokonstriksi ginjal
intens yang mempengaruhi terutama korteks ginjal. Golongan obat seperti NSAID, dan
aspirin, berdasarkan penghambatan mereka yaitu sintesis prostaglandin, dapat
mengganggu produksi vasodilator lokal di ginjal dan dapat episode sindrom hepatorenal
pada pasien sirosis.

7) Diagnosis dan Diagnosis Banding


Satu-satunya tes diagnosis sirosis hati yang paling akurat adalah biopsi hati. Namun
biopsi hati dapat menimbulkan komplikasi serius meskipun sangat jarang. Diagnosis
kemungkinan sirosis dapat dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik , pemeriksaan
laboratorium rutin, maupun pemeriksaan USG.

Tes penilaian hati rutin meliputi alkaline phosphatase, bilirubin, aspartate


transaminase (AST), alanine aminotransferase (ALT), dan γ-glutamyl transpeptidase (GGT).
Penanda tambahan aktivitas sintetik hati meliputi waktu albumin dan protrombin (PT).

a. Aminotransferase
Cedera hepatoceluler menyebabkan enzim-enzim aminotransferase, AST dan ALT
meningkatkan konsentrasi dalam plasma. Konsentrasi tertinggi dapat dilihat pada infeksi

8
virus akut dan cedera hati iskemik atau beracun. Dibanding ALT, AST lebih sering
meningkat. Namun, tidak selalu terjadi peningkatan pada pasien sirosis.

2) Alkaline Fosfatase
Alkaline fosfatase biasanya meningkat pada sirosis, tetapi tidak lebih dari dua
sampai tiga kali nilai normal. Alkaline phosphatase dan GGT meningkat pada plasma
akibat gangguan obstruktif yang mengganggu aliran empedu dari hepatosit ke saluran-
saluran empedu atau dari pohon empedu ke usus dalam kondisi seperti sirosis billier
primer, sklerosing kolangitis, kolestasis akibat obat, obstruksi saluran empedu, penyakit
hati kolestatik autoimun, dan kanker metastatik hati.

3) Gamma-glutamil transpeptidase (GGT)


Pada penyakit hepar berkorelasi cukup baik dengan alkali fosfatase dan bersifat
spesifik. GGT biasanya jauh lebih tinggi pada penyakit hepar kronis yang disebabkan
oleh alkohol dibandingkan penyebab lain. Alkohol dapat menginduksi GGT mikrosomal
hepatik, juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.

4) Bilirubin
Kenaikan kadar serum bilirubin terkonjugasi menunjukkan bahwa hati telah
kehilangan kurang lebih setengah kapasitas ekskretorisnya. Saat alkali fosfatase
meningkat dan tingkat aminotransferase normal, tingginya bilirubin terkonjugasi adalah
tanda penyakit kolestasis atau reaksi obat kolestasis. Jadi, pasien sirosis terkompensasi
kadar bilirubin normal. Namun, kadar akan meningkat sesuai progresivitas penyakit.

5) Albumin
Albumin merupakan substansi terbesar dari protein yang dihasilkan oleh hati.
Fungsi albumin adalah mengatur tekanan onkotik, mengangkut nutrisi, hormon, asam
lemak, dan zat sampah dari tubuh. Apabila terdapat gangguan fungsi sintesis sel hati
maka kadar albumin serum akan menurun (hipoalbumin) terutama apabila terjadi lesi sel
hati yang luas dan kronik. Kadar albumin dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
keparahan sirosis. Hipoalbuminemia tidak spesifik untuk penyakit hepar, karena kondisi
lain juga dapat terjadi hipoalbuminemia seperti gagal jantung, sindrom nefrotik, protein
kehilangan enteropati, atau malnutrisi.

6) Trombositopenia
Trombositopenia merupakan tanda yang relatif umum pada penyakit hati kronis
dan ditemukan pada 15 % sampai 70 % dari pasien sirosis. Penyebab utama adalah

9
hipertensi portal dan splenomegali kongestif. Penyerapan trombosit hingga 90% dapat
disebabkan oleh pembesaran limpa. Penurunan kadar trombopoietin juga dapat
berkontribusi terjadinya trombositopenia.

7) Prothrombin time
Waktu protrombin menunjukkan tingkat disfungsi sintetis di hepar. Prothrombin
time yang memanjang berarti kemampuan hepar untuk mensintesis faktor pembekuan
berkurang akibat sirosis.

8) Serum Natrium
Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas.

9) Tatalaksana
a. Penatalaksaan Sirosis Hati dengan Hipertensi Portal dan Varices Esofagus
Penatalaksanaan hipertensi portal dan varises esofagus meliputi tiga strategi yaitu :

2) Profilaksis primer untuk mencegah perdarahan ulang


Pasien dengan sirosis disertai hipertensi portal harus di skrining untuk varises
pada diagnosis. Profilaksis primer adalah penggunaan agen β-adrenergic blocking non
selektif seperti propanolol atau nadolol. Agen ini mengurangi tekanan portal dengan
mengurangi aliran vena porta melalui dua mekanisme yaitu penurunan curah jantung
dan penurunan aliran darah splanknik. Terapi dimulai dengan propanolol 20 mg dua
kali sehari atau nadolol 20 sampai 40 mg sekali sehari, dan dititrasi 2 sampai 3 hari
untuk dosis maksimal ditoleransi untuk denyut jantung 55 sampai 60 denyut/menit.
Terapi β-adrenergic bloker harus dilanjutkan tanpa batas. Β-blocker non-selektif
adalah satu-satunya terapi farmakologis untuk profilaksis primer perdarahan varises.
Sebuah meta-analisis dari uji coba terkontrol secara acak telah menunjukkan
kemanjurannya dalam menurunkan tingkat variasi pertama dari 24% menjadi 15%.
Studi ini melibatkan pasien dengan sirosis Child-Pugh kelas A dan B.

3) Pengobatan untuk pendarahan varises (variceal hemorrhage)


Tujuan pengobatan awal meliputi (1) resusitasi volume darah yang memadai
(2) perlindungan jalan nafas dari aspirasi darah (3) koreksi koagulopati yang
signifikan dan / atau trombositopenia dengan plasma beku dan trombosit segar (4)
profilaksis terhadap SBP dan infeksi lainnya (5) kontrol perdarahan (6) pencegahan
perdarahan ulang, dan (6) pemeliharaan fungsi hati. Penting untuk dipertimbangkan
10
intubasi elektif pada pasien dengan perdarahan aktif untuk melindungi jalan nafas dari
aspirasi, terutama jika ada bersamaan ensefalopati hati. Stabilisasi volume darah
secara cepat untuk mempertahankan hemoglobin 8 g / dL dengan volume ekspansi
untuk mempertahankan tekanan darah sistolik 90 hingga 100 mmHg dan denyut
jantung kurang dari 100 denyut / menit dianjurkan. Pasien dengan perdarahan akibat
varises beresiko tinggi terkena infeksi, termasuk infeksi spontaneous bacterial
peritonitis. Seharusnya antibiotik jangka pendek diberikan kepada semua pasien
dengan sirosis dan perdarahan varises akut. Norfloxacin (400 mg dua kali sehari
selama 7 hari) atau antibiotik kuinolon dengan spektrum aktivitas yang serupa
(misalnya, levofloxacin, ciprofloxacin) adalah agen yang sering digunakan. Di sebuah
studi terbaru, ceftriaxone intravena (1 g / hari) ditemukan lebih unggul daripada
norfloxacin pada pasien dengan sirosis yang sangat dekompensasi. Segera setelah
perdarahan varises diduga, pemberian agen vasoaktif harus diinisiasi. Agen-agen ini
termasuk terlipressin, dan somatostatin atau analognya. Terlipressin memiliki efek
samping yang lebih sedikit daripada vasopresin dan merupakan satu-satunya agen
farmakologis yang mungkin memiliki manfaat bertahan hidup pada pasien dengan
pendarahan varises akut. Octreotide telah terbukti memiliki khasiat yang sama dengan
sclerotherapy dalam mengendalikan perdarahan dan aman dengan sangat sedikit efek
samping. Terapi obat vasoaktif (biasanya octreotide) untuk menghentikan atau
memperlambat perdarahan secara rutin digunakan sejak awal dalam manajemen
pasien untuk memungkinkan stabilisasi pasien. Pengobatan dengan octreotide harus
dimulai sejak dini untuk mengendalikan perdarahan dan memfasilitasi endoskopi.
Octreotide diberikan sebagai bolus IV 50 mcg diikuti oleh infus kontinu 50 mcg / jam
dan dilanjutkan selama 5 hari setelah perdarahan varises akut. Pasien harus dimonitor
untuk hipo atau hiperglikemia. Sebuah uji coba prospektif multicenter terbaru yang
membandingkan terlipressin, somatostatin, dan octreotide menemukan bahwa ketiga
nya sama efektif dalam mengendalikan perdarahan varises akut dan mencegah episode
perdarahan dini.

4) Profilaksis sekunder untuk mencegah perdarahan ulang pada pasien yang sudah
berdarah
Setelah perdarahan akut terlah terkontrol, pencegahan sekunder dari
perdarahan ulang adalah yang terpenting. Terapi lini pertama untuk pencegahan
perdarahan varises berulang adalah kombinasi terapi farmakologis dan EVL. β-

11
Blocker telah terbukti menurunkan tingkat rebleeding dari 63% menjadi 42% dan
mengurangi angka kematian dari 27% menjadi 20 %. Propranolol dapat diberikan 20
mg dua kali sehari atau nadolol 20-40 mg sekali sehari, dan dititrasi setiap minggu
untuk mencapai tujuan denyut jantung 55-60 denyut / menit atau dosis maksimal
ditoleransi. Pasien harus dimonitoring untuk bukti gagal jantung, bronkospasme, atau
intoleransi glukosa. Pada pasien yang memiliki respons tidak lengkap terhadap
monoterapi β-blocker, dapat mempertimbangkan penambahan isosorbide mononitrate.
Dengan terapi kombinasi, angka rebleeding tampaknya lebih rendah namun biaya
lebih mahal. Jika pasien tidak dapat mentolerir β-blocker, EVL adalah perawatan
endoskopi yang disukai untuk mencegah pencegahan perdarahan ulang. Meskipun
EVL lebih efektif daripada sclerotherapy dalam mencegah rebleeding, risiko
rebleeding setelah EVL etap tinggi, mencapai 30-50% pada 2 tahun. Kombinasi dari
β-blocker nonselektif dan EVL telah terbukti hasilnya dalam tingkat penurunan
perdarahan kembali varises, transfusi yang lebih rendah, kambuhnya varises esofagus
yang lebih rendah, dan peningkatan kelangsungan hidup. Namun, ada sedikit
peningkatan efek samping dengan terapi kombinasi. Sesi EVL harus dilakukan setiap
7–14 hari hingga penghapusan variceal lengkap tercapai. Pengawasan dilakukan terus
menerus setiap 6-12 bulan untuk menyaring varian berulang.

5) Penatalaksaan Sirosis Hati dengan Asites


Tujuan terapeutik untuk pasien dengan asites adalah untuk mengontrol asites,
mencegah atau meringankan gejala terkait asites (dyspnea, nyeri perut dan distensi),
mencegah SBP dan sindrom hepatorenal. Untuk pasien dengan asites, gradien albumin
serum-asites harus ditentukan. Jika gradien serumasites albumin lebih besar dari 1,1 g /
dL (> 11 g / L), pasien hampir pasti memiliki hipertensi portal. Pengobatan asites
sekunder akibat hipertensi portal termasuk larangan mengkonsumsi alkohol, pembatasan
natrium (hingga 2 g / hari), dan terapi diuretik. Tujuan terapi tersebut untuk meningkatkan
ekskresi natrium urin hingga lebih dari 78 mmol / hari. Diuretik hemat kalium seperti
spironolactone diberi pada awal terapi dalam dosis 100-200 mg / hari. Spironolactone
dapat ditingkatkan secara hatihati hingga 400 mg / hari, tetapi perlu diperhatikan efek
samping seperti hiperkalemia dan asidosis metabolik. Dosis spironolakton tidak perlu
dibagi dan dapat diberikan sekali sehari. Efek spironolakton dapat dicatat sejak dini 3 hari
setelah mulai pengobatan. Terapi yang efektif dengan spironolakton biasanya
menghasilkan pembalikan kelainan potassium sodium dalam urin, dengan peningkatan

12
ekskresi natrium hingga lebih dari 10 mEq / hari dan menurun dalam sekresi kalium.
Diuretik hemat kalium lainnya termasuk amiloride dan triamterene, sering kali perlu
ditambahkan. Loop diuretik, seperti furosemide diberikan pada awalnya dengan dosis 20–
40 mg / hari dan bisa meningkat menjadi 160 mg. Torsemide diberikan dengan dosis 10–
20 mg / hari dan dapat ditingkatkan menjadi 80 mg / hari

6) Penatalaksanaan sirosis hati dengan Ensefalopati Hepatik


Pendekatan pertama untuk pengobatan HE bertujuan untuk mengidentifikasi
penyebab dan pencetusnya. Pendekatan pengobatan meliputi (1) pengurangan konsentrasi
amonia darah oleh pembatasan diet, dengan terapi obat yang bertujuan menghambat
produksi amoniak atau meningkatkan ekskresi amoniak (laktulosa dan antibiotik) (2)
penghambatan Reseptor γ-aminobutyric acid-benzodiazepine oleh flumazenil. Untuk
mengurangi konsentrasi amonia darah pada pasien ensefalopati hepatik, asupan protein
dibatasi (sambil mempertahankan asupan kalori) sampai situasi klinis membaik. Asupan
protein dapat dititrasi kembali berdasarkan toleransi dengan total 1 hingga 1,5 g / kg /
hari. Pengobatan utama HE dengan laktulosa dan rifaximin, pengukuran amonia tidak
dapat digunakan sebagai acuan dan tidak digunakan untuk memulai atau memandu
pengobatan . Hindari obat penenang dan opiat; pembatasan protein tidak bermanfaat.
Untuk mengurangi konsentrasi ammonia dalam hepatik ensefalopati, dimmulai dengan
laktulosa 45 mL oral setiap jam (atau 300 mL sirup laktulosa dengan 700 mL air
diberikan sebagai enema retensi, ditahan selama 60 menit) sampai katarsis dimulai. Dosis
kemudian diturunkan menjadi 15-30 mL secara oral setiap 8-12 jam. Terapi antibiotik
dengan metronidazole atau neomycin dicadangkan untuk pasien yang belum merespons
diet dan laktulosa. Rifaximin 550 mg dua kali sehari ditambah laktulosa dapat digunakan
untuk pasien dengan respon yang tidak adekuat terhadap laktulosa saja. Manajemen pada
pasien dengan sirosis yang kekurangan zinc diberikan suplementasi seng asetat (220 mg
dua kali sehari) direkomendasikan untuk jangka panjang

7) Penatalaksanaan sirosis hati dengan Sindrom Hepatorenal


1) Tidakan Pencegahan
Sindrom hepatorenal berkembang pada pasien dengan infeksi bakteri sistemik
(SBP, hepatitis alkoholik berat atau keduanya) dan penting untuk memberikan
pengobatan profilaksis untuk menjaga terhadap perkembangannya. Termasuk
pemberian albumin intravena (1,0 g / kg) pada hari pertama diagnosis SBP atau
sepsis, dan dosis lain albumin (1,0 g / kg) setelah 48 jam perawatan antibiotik. Telah

13
dipastikan bahwa norfloxacin sangat efektif dalam mencegah SBP berulang pada
sirosis. Sebuah studi menunjukkan bahwa profilaksis primer dengan norfloxacin tidak
hanya mengurangi kejadian SBP tetapi, juga menunda perkembangan sindrom
hepatorenal dan meningkatkan kelangsungan hidup. 68 pasien yang memenuhi kriteria
inklusi secara acak untuk menerima norfloxacin (400 mg / hari) atau plasebo.
Hasilnya, terjadi penurunan kemungkinan infeksi SBP pada 1 tahun, penurunan
kejadian sindrom hepatorenal, dan kelangsungan hidup pada penerima norfloxacin
dibandingkan dengan pasien yang menerima plasebo saja.

2) Terapi Vasopresor
Terapi kombinasi dengan midodrine dan oktreotida mungkin efektif dan aman
sebagai terapi vasopresor. midodrine adalah vasokonstriktor sistemik dan oktreotida
adalah penghambat vasodilator endogen. Obat-obatan ini seharusnya digunakan
setidaknya 7-14 hari karena biasanya terjadi peningkatan fungsi ginjal secara
perlahan. Terapi harus diarahkan untuk mengurangi kadar kreatinin serum hingga di
bawah 1,5 mg / dL (130 µmol / L). Dosis yang dianjurkan untuk midodrine biasanya
7,5 mg secara subkutan tiga kali sehari, dan untuk oktreotida, 200 μg secara subkutan
tiga kali sehari. Pemberian albumin secara bersamaan (1,0 g / kg di hari pertama,
diikuti oleh 20-40 g / hari) tampaknya diperlukan sebagai obat vasokonstriktor dengan
efek yang menguntungkan.

3) Transjugular Intrahepatic Shunt (TIPS)


Transjugular Intrahepatic Shunt sebagai pengobatan untuk hepatorenal tipe 1
pada pasien sirosis mengikuti peningkatan hemodinamik sistemik dengan kombinasi
midodrine, oktreotida, dan albumin. Pasien sirosis dengan sindrom hepatorenal tipe 1
menerima terapi medis hingga kreatinin serumnya menurun menjadi kurang dari 1,5
mg / dL untuk setidaknya 3 hari diikuti oleh TIPS jika tidak ada kontraindikasi. Pasien
dinilai di 1 minggu dan pada 1, 3, 6, dan 12 bulan pasca-TIPS. Semua pasien
menerima midodrine oral (2,5 mg / dL), oktreotida intravena (25 ug / jam), dan
intravena albumin (50 g / hari). Terapi medis dengan midodrine dan oktreotida
menyebabkan peningkatan pada 10 dari 14 pasien sebagaimana dibuktikan dengan
penurunan kreatinin serum dari 2,6 mg / dL menjadi 0,84 mg / dL. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa TIPS adalah pengobatan yang efektif untuk sindrom
hepatorenal tipe 1 pada pasien dengan sirosis asites dan pasien dengan peningkatan

14
fungsi ginjal menggunakan pengobatan kombinasi midodrine, oktreotida, dan
albumin.

4) Dialisis
Pasien dengan sindrom hepatorenal dapat diobati dengan dialysis. Hal ini
paling sering dilakukan ketika seorang pasien sedang menunggu untuk transplantasi
hati. Namun, sebagian besar pasien dengansindrom hepatorenal yang menjalani
dialisis tidak bertahan tanpa adanya transplantasi hati.

5) Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi,
beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai. Prognosis sirosis hati
dapat diukur dengan kriteria Child-Turcotte-Pugh. Kriteria Child-Turcotte-Pugh Kriteria
Child-Turcotte-Pugh merupakan modifikasi dari kriteria ChildPugh, banyak digunakan oleh
para ahli hepatologi saat ini. Kriteria ini digunakan untuk mengukur derajat kerusakan hati
dalam menegakkan prognosis kasus-kasus kegagalan hati kronik.

Child-Turcotte-Pugh A : 5-6 (prognosis baik)

Child-Turcotte-Pugh B : 7-9 (prognosis sedang)

Child-Turcotte-Pugh C : 10-15 (prognosis buruk)

15
BAB III

PENUTUP

16
DAFTAR PUSTAKA

Nurdjanah S. Sirosis hati. Dalam: Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Buku ajar
ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI, 2007.

Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, dan Loscalzo J. Harrison's
Principles of Internal Medicine. Edisi 18. New York NY, McGraw Hill Education.2010

Scaglione S, Kliethermes S, Cao G, Shoham D, Durazo R, Luke A, Volk ML. The


Epidemiology of Cirrhosis in the United States: A Population-based Study. J Clin
Gastroenterol. 2015 Sep;49(8):690-6.

Braet F, Wisse E. Structural and functional aspects of liver sinusoidal endothelial cell
fenestrae: a review. Comp Hepatol. 2002 Aug 23;1(1):1. 

Cheney CP, Goldberg EM, Chopra S. Cirrhosis and portal hypertension : an overview. In :
Friedman LS and Keeffe EB, eds.Handbook of Liver Disease. 2nd ed. China, Pa : Churchill
Livingstone; 2004: 125-138

Kolios G, Valatas V, Kouroumalis E. Role of Kupffer cells in the pathogenesis of liver


disease. World J Gastroenterol. 2006 Dec 14;12(46):7413-20. 

Kusumobroto O Hernomo. Sirosis Hati dalam buku ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi I. Jakarta:
Jayabadi; 2007.

17

Anda mungkin juga menyukai