Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK I

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

ASCITES PADA SIROSIS HEPATIS

Dosen Pembimbing :

dr. Prettysun Ang Mellow, Sp.PD

Penyusun :

Valiria 1522315027

Gien Fortunasia Wagi 1522315034

Yustinus Teddy 1522315023

Nico Christian Sunaryo 1522315041

Fakultas Kedokteran

Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

2016
SIROSIS HEPATIS
1.1 Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur
hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat adanya
nekrosis hepatoseluler.1
Epidemiologi
Sirosis hati mengakibatkan terjadinya 35.000 kematian setiap tahunnya di
Amerika. Di Indonesia data prevalensi sirosis hepatis belum ada. Di RS Sardjito
Yogyakarta jumlah pasien sirosis hepatis berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di
Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (data tahun 2004). Lebih dari 40%
pasien sirosis adalah asimptomatis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada
waktu pasien melakukan pemeriksaan rutin atau karena penyakit yang lain.2
1.2 Etiologi
Di negara barat penyebab dari sirosis hepatis yang tersering akibat alkoholik
sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil
penelitian di Indonesia menyebutkan penyebab terbanyak dari sirosis hepatis adalah
virus hepatitis B (30-40%), virus hepatitis C (30-40%), dan penyebab yang tidak
diketahui(10-20%). Adapun beberapa etiologi dari sirosis hepatis antara lain:
1. Virus hepatitis (B,C,dan D)
2. Alkohol (alcoholic cirrhosis)
3. Kelainan metabolik :
a. Hemokromatosis (kelebihan beban besi)
b. Penyakit Wilson (kelebihan beban tembaga)
c. Defisiensi Alpha l-antitripsin
d. Glikonosis type-IV
e. Galaktosemia
f. Tirosinemia
4. Kolestasis
5. Gangguan imunitas ( hepatitis lupoid )
6. Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotetrexat, amiodaron,INH, dan lain-lain)
7. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD)
8. Kriptogenik
9. Sumbatan saluran vena hepatika

2
1.3 Anatomi Hepar
Hepar adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-,1,8 kg atau
kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar kuadran
kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang
sangat kompleks5. Hepar menempati daerah hipokondrium kanan tetapi lobus kiri dari
hepar meluas sampai ke epigastrium. Hepar berbatasan dengan diafragma pada bagian
superior dan bagian inferior hepar mengikuti bentuk dari batas kosta kanan. Hepar
secara anatomis terdiri dari lobus kanan yang berukuran lebih besar dan lobus kiri yang
berukuran lebih kecil. Lobus kanan dan kiri dipisahkan oleh ligamentum falsiforme6.
Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis
kanan yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral
oleh ligamentum falsiformis yang terlihat dari luar7. Pada daerah antara ligamentum
falsiform dengan kandung empedu di lobus kanan dapat ditemukan lobus kuadratus dan
lobus kaudatus yang tertutup oleh vena cava inferior dan ligamentum venosum pada
permukaan posterior6. Permukaan hepar diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali
daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma.
Beberapa ligamentum yang merupakan peritoneum membantu menyokong hepar. Di
bawah peritoneum terdapat jaringan ikat padat yang disebut sebagai kapsula Glisson,
yang meliputi permukaan seluruh organ ; bagian paling tebal kapsula ini terdapat pada
porta hepatis, membentuk rangka untuk cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran
empedu. Porta hepatis adalah fisura pada hepar tempat masuknya vena porta dan arteri
hepatika serta tempat keluarnya duktus hepatika.

Hepar memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa melalui
vena porta hepatica dan dari aorta melalui arteri hepatika. Arteri hepatika keluar dari
aorta dan memberikan 80% darahnya kepada hepar, darah ini masuk ke hepar

3
membentuk jaringan kapiler dan setelah bertemu dengan kapiler vena akan keluar
sebagai vena hepatica. Vena hepatica mengembalikan darah dari hepar ke vena kava
inferior. Vena porta yang terbentuk dari vena lienalis dan vena mesenterika superior,
mengantarkan 20% darahnya ke hepar, darah ini mempunyai kejenuhan oksigen hanya
70 % sebab beberapa O2 telah diambil oleh limpa dan usus. Darah yang berasal dari
vena porta bersentuhan erat dengan sel hepar dan setiap lobulus dilewati oleh sebuah
pembuluh sinusoid atau kapiler hepatika. Pembuluh darah halus yang berjalan di antara
lobulus hepar disebut vena interlobular7.
Vena porta membawa darah yang kaya dengan bahan makanan dari saluran
cerna, dan arteri hepatika membawa darah yang kaya oksigen dari sistem arteri. Arteri
dan vena hepatika ini bercabang menjadi pembuluh-pembuluh yang lebih kecil
membentuk kapiler di antara sel-sel hepar yang membentik lamina hepatika. Jaringan
kapiler ini kemudian mengalir ke dalam vena kecil di bagian tengah masing-masing
lobulus, yang menyuplai vena hepatika. Pembuluh-prmbuluh ini menbawa darah dari
kapiler portal dan darah yang mengalami deoksigenasi yang telah dibawa ke hepar oleh
arteri hepatika sebagai darah yang telah deoksigenasi. Selain vena porta, juga
ditemukan arteriol hepar didalam septum interlobularis. Anterior ini menyuplai darah
dari arteri ke jaringan jaringan septum diantara lobules yang berdekatan, dan banyak
arterior kecil mengalir langsung ke sinusoid hepar, paling sering pada sepertiga jarak
ke septum interlobularis7.

Hepar terdiri atas bermacam-macam sel. Hepatosit meliputi 60% sel hepar,
sedangkan sisanya terdiri atas sel-sel epithelial sistem empedu dalam jumlah yang

4
bermakna dan sel-sel non parenkimal yang termasuk di dalamnya endothelium, sel
Kuppfer dan sel Stellata yang berbentuk seperti bintang5.
Hepatosit sendiri dipisahkan oleh sinusoid yang tersusun melingkari eferen vena
hepatika dan ductus hepatikus. Saat darah memasuki hepar melalui arteri hepatica dan
vena porta menuju vena sentralis maka akan didapatkan pengurangan oksigen secara
bertahap. Sebagai konsekuensinya, akan didapatkan variasi penting kerentanan jaringan
terhadap kerusakan asinus. Membran hepatosit berhadapan langsung dengan sinusoid
yang mempunyai banyak mikrofili. Mikrofili juga tampak pada sisi lain sel yang
membatasi saluran empedu dan merupakan penunjuk tempat permulaan sekresi
empedu. Permukaan lateral hepatosit memiliki sambungan penghubungan dan
desmosom yang saling bertautan dengan disebelahnya5.
Sinusoid hepar memiliki lapisan endothelial berpori yang dipisahkan dari hepatosit oleh
ruang Disse (ruang perisinusoidal). Sel-sel lain yang terdapat dalam dinding sinusoid
adalah sel fagositik Kuppfer yang merupakan bagian penting dalam sistem
retikuloendotelial dan sel Stellata (juga disebut sel Ito, liposit atau perisit) yang
memiliki aktivitas miofibriblastik yang dapat membantu pengaturan aliran darah
sinusoidal disamping sebagai faktor penting dalam perbaikan kerusakan hepar.
Peningkatan aktivitas sel-sel Stellata tampaknya menjadi faktor kunci pembentukan
fibrosis di hepar5.

1.4 Fisiologi Hepar


Hepar adalah suatu organ besar, dapat meluas, dan organ venosa yang mampu
bekerja sebagai tempat penampungan darah yang bermakna di saat volume darah
berlebihan dan mampu menyuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah. Selain
itu, hepar juga merupakan suatu kumpulan besar sel reaktan kimia dengan laju
metabolisme yang tinggi, saling memberikan substrat dan energi dari satu sistem
metabolisme ke sistem yang lain, mengolah dan mensintesis berbagai zat yang diangkut
ke daerah tubuh lainnya, dan melakukan berbagai fungsi metabolisme lain.6 Fungsi
metabolisme yang dilakukan oleh hepar adalah10 :
Metabolisme karbohidrat. Dalam metabolisme karbohidrat, hepar melakukan
fungsi sebagai berikut :
o Menyimpan glikogen dalam jumlah besar
o Konversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa
o Glukoneogenesis
5
o Pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme
karbohidrat
Hepar terutama penting untuk mempertahankan konsentrasi glukosa
darah normal. Penyimpanan glikogen memungkinkan hepar mengambil
kelebihan glukosa dari darah, menyimpannya, dan kemudian
mengembalikannya kembali ke darah bila konsentrasi glukosa darah rendah.
Fungsi ini disebut fungsi penyangga glukosa hepar.
Metabolisme lemak. Beberapa fungsi spesifik hepar dalam metabolisme lemak
antara lain :
o Oksidasi asam lemak untuk menyuplai energy bagi fungsi tubuh yang lain
o Sintesis kolesterol, fosfolipid, dan sebagian besar lipoprotein
o Sintesis lemak dari protein dan karbohidrat
Hepar berperan pada sebagian besar metabolisme lemak. Kira-kira 80
persen kolesterol yang disintesis didalam hepar diubah menjadi garam empedu
yang kemudian disekresikan kembali ke dalam empedu, sisanya diangkut dalam
lipoprotein dan dibawa oleh darah ke semua sel jaringan tubuh. Fosfolipid juga
disintesis di hepar dan ditranspor dalam lipoprotein. Keduanya digunakan oleh
sel untuk membentuk membran, struktur intrasel, dan bermacam-macam zat
kimia yang penting untuk fungsi sel.
Metabolisme protein. Fungsi hepar yang paling penting dalam metabolisme
protein adalah sebagai berikut :
o Deaminasi asam amino
o Pembentukan ureum untuk mengeluarkan ammonia dari cairan tubuh
o Pembentukan protein plasma
o Interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari asam
amino
Diantara fungsi hepar yang paling penting adalah kemampuan hepar
untuk membentuk asam amino tertentu dan juga membentuk senyawa kimia lain
yang penting dari asam amino. Untuk itu, mula-mula dibentuk asam keto yang
mempunyai komposisi kimia yang sama dengan asam amino yang akan
dibentuk. Kemudian suatu radikal amino ditransfer melalui beberapa tahap
transaminasi dari asam amino yang tersedia ke asam keto untuk menggantikan
oksigen keto.

6
Hepar merupakan tempat penyimpanan vitamin. Hepar mempunyai
kecenderungan tertentu untuk menyimpan vitamin dan telah lama diketahui
sebagai sumber vitamin tertentu yang baik pada pengobatan pasien. Vitamin
yang paling banyak disimpan dalam hepar adalah vitamin A, tetapi sejumlah
besar vitamin D dan vitamin B12 juga disimpan secara normal
Hepar menyimpan besi dalam bentuk ferritin. Sel hepar mengandung sejumlah
besar protein yang disebut apoferritin, yang dapat bergabung dengan besi baik
dalam jumlah sedikit ataupun banyak. Oleh karena itu, bila besi banyak tersedia
dalam cairan tubuh, maka besi akan berikatan dengan apoferritin membentuk
ferritin dan disimpan dalam bentuk ini di dalam sel hepar sampai diperlukan.
Hepar memiliki aliran darah yang tinggi dan resistensi vaskuler yang rendah.
Kira-kira 1050 milimeter darah mengalir dari vena porta ke sinusoid hepar setiap menit,
dan tambahan 300 mililiter lagi mengalir ke sinusoid dari arteri hepatika dengan total
rata-rata 1350 ml/menit. Jumlah ini sekitar 27 persen dari sisa jantung. Rata-rata
tekanan di dalam vena porta yang mengalir ke dalam hepar adalah sekitar 9 mmHg dan
rata-rata tekanan di dalam vena hepatika yang mengalir dari hepar ke vena cava
normalnya hampir tepat 0 mmHg. Hal ini menunjukkan bahwa tahanan aliran darah
melalui sinusoid hepar normalnya sangat rendah namun memiliki aliran darah yang
tinggi. Namun, jika sel-sel parenkim hepar hancur, sel-sel tersebut digantikan oleh
jaringan fibrosa yang akhirnya akan berkontraksi di sekeliling pembuluh darah,
sehingga sangat menghambat darah porta melalui hepar. Proses penyakit ini disebut
sirosis hepatis, Sistem porta juga kadang-kadang terhambat oleh suatu gumpalan besar
yang berkembang di dalam vena porta atau cabang utamanya. Bila sistem porta tiba-
tiba tersumbat, kembalinya darah dari usus dan limpa melalui system aliran darah porta
hepar ke sirkulasi sistemik menjadi sangat terhambat, menghasilkan hipertensi portal.
10

1.5 Patofisiologi
Sirosis hepatis termasuk 10 besar penyebab kematian di dunia Barat. Meskipun
terutama disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol, kontributor utama lainnya adalah
hepatitis kronis, penyakit saluran empedu, dan kelebihan zat besi. Tahap akhir penyakit
kronis ini didefinisikan berdasarkan tiga karakteristik :11
1. Bridging fibrous septa dalam bentuk pita halus atau jaringan parut lebar yang
menggantikan lobulus.

7
2. Nodul parenkim yang terbentuk oleh regenerasi hepatosit, dengan ukuran
bervariasi dari sangat kecil (garis tengah < 3mm, mikronodul) hingga besar (garis
tengah beberapa sentimeter, makronodul).
3. Kerusakan arsitektur hepar keseluruhan.
Beberapa mekanisme yang terjadi pada sirosis hepatis antara lain kematian sel-
sel hepatosit, regenerasi, dan fibrosis progresif. Sirosis hepatis pada mulanya berawal
dari kematian sel hepatosit yang disebabkan oleh berbagai macam faktor. Sebagai
respons terhadap kematian sel-sel hepatosit, maka tubuh akan melakukan regenerasi
terhadap sel-sel yang mati tersebut. Dalam kaitannya dengan fibrosis, hepar normal
mengandung kolagen interstisium (tipe I, III, dan IV) di saluran porta, sekitar vena
sentralis, dan kadang-kadang di parenkim. Pada sirosis, kolagen tipe I dan III serta
komponen lain matriks ekstrasel mengendap di semua bagian lobulus dan sel-sel
endotel sinusoid kehilangan fenestrasinya. Juga terjadi pirau vena porta ke vena
hepatika dan arteri hepatika ke vena porta. Proses ini pada dasarnya mengubah sinusoid
dari saluran endotel yang berlubang dengan pertukaran bebas antara plasma dan
hepatosit, menjadi vaskular tekanan tinggi, beraliran cepat tanpa pertukaran zat terlarut.
Secara khusus, perpindahan protein antara hepatosit dan plasma sangat terganggu.11,12
1.6 Klasifikasi
Berdasarkan morfologi, Sherlock membagi sirosis hepatis atas 3 jenis, yaitu : 1,4
1. Mikronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran < 3 mm.
2. Makronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran > 3 mm.
3. Campuran
Yaitu gabungan dari mikronodular dan makronodular. Nodul-nodul yang
terbentuk ada yang berukuran < 3 mm dan ada yang berukuran > 3 mm.
Secara fungsional, sirosis hepatis terbagi atas : 1,4
1. Sirosis Hepatis Kompensata
Sering disebut dengan latent cirrhosis hepar. Pada stadium kompensata ini belum
terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat
pemeriksaan screening.
2. Sirosis Hepatis Dekompensata
Dikenal dengan active cirrhosis hepar, dan stadium ini biasanya gejala-gejala
sudah jelas, misalnya ; asites, edema dan ikterus.

8
1.7 Diagnosis
1. Gambaran Klinik
Stadium awal sirosis hepatis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan
pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan
penyakit lain. Gejala awal sirosis hepatis meliputi4 :
Perasaan mudah lelah dan lemah
Selera makan berkurang
Perasaaan perut kembung
Mual
Berat badan menurun
Pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, dan
hilangnya dorongan seksualitas.
Stadium lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama
bila timbul komplikasi kegagalan hepar dan hipertensi portal, meliputi4 :
Hilangnya rambut badan
Gangguan tidur
Demam tidak begitu tinggi
Adanya gangguan pembekuan darah, pendarahan gusi, epistaksis, gangguan
siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah
atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi,
bingung, agitasi, sampai koma.
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang bisa didapatkan dari penderita sirosis hepatis
antara lain4 :
a. SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST (aspartat aminotransferase)
dan SGPT (serum glutamil piruvat transferase) atau ALT (alanin
aminotransferase) meningkat tapi tidak begitu tinggi. AST lebih meningkat
disbanding ALT. Namun, bila enzim ini normal, tidak mengeyampingkan
adanya sirosis.
b. Alkali fosfatase (ALP), meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis
primer dan sirosis bilier primer.

9
c. Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), meningkat sama dengan ALP.
Namun, pada penyakit hati alkoholik kronik, konsentrasinya meninggi karena
alcohol dapat menginduksi mikrosomal hepatic dan menyebabkan bocornya
GGT dari hepatosit.
d. Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata dan meningkat
pada sirosis yang lebih lanjut (dekompensata).
e. Globulin, konsentrasinya meningkat akibat sekunder dari pintasan, antigen
bakteri dari sistem porta masuk ke jaringan limfoid yang selanjutnya
menginduksi immunoglobulin.
f. Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis factor koagulan akibat
sirosis.
g. Na serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas.
h. Pansitopenia dapat terjadi akibat splenomegali kongestif berkaitan dengan
hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
Selain itu, pemeriksaan radiologis yang bisa dilakukan, yaitu :
a. Barium meal, untuk melihat varises sebagai konfirmasi adanya hipertensi
porta.
b. USG abdomen untuk menilai ukuran hati, sudut, permukaan, serta untuk
melihat adanya asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran vena
porta, dan sebagai skrinning untuk adanya karsinoma hati pada pasien sirosis.
1.8 Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Berikut berbagai
macam komplikasi sirosis hati4 :
1. Hipertensi Portal4
2. Asites4
3. Peritonitis Bakterial Spontan. Komplikasi ini paling sering dijumpai yaitu infeksi
cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra
abdominal. Biasanya terdapat asites dengan nyeri abdomen serta demam4.
4. Varises esophagus dan hemoroid. Varises esophagus merupakan salah satu
manifestasi hipertensi porta yang cukup berbahaya. Sekitar 20-40% pasien sirosis
dengan varises esophagus pecah menimbulkan perdarahan4.
5. Ensefalopati Hepatik. Rnsefalopati hepatic merupakan kelainan neuropsikiatri
akibat disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur kemudian berlanjut sampai

10
gangguan kesadaran dan koma4. Ensefalopati hepatic terjadi karena kegagalan
hepar melakukan detoksifikasi bahan-bahan beracun (NH3 dan sejenisnya). NH3
berasal dari pemecahan protein oleh bakteri di usus. Oleh karena itu, peningkatan
kadar NH3 dapat disebabkan oleh kelebihan asupan protein, konstipasi, infeksi,
gagal hepar, dan alkalosis13. Berikut pembagian stadium ensefalopati hepatikum :
Stadium Manifestasi Klinis
0 Kesadaran normal, hanya sedikit ada penurunan daya
ingat, konsentrasi, fungsi intelektual, dan koordinasi.
1 Gangguan pola tidur
2 Letargi
3 Somnolen, disorientasi waktu dan tempat, amnesia
4 Koma, dengan atau tanpa respon terhadap rangsang
nyeri.

6. Sindroma Hepatorenal. Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal


akut berupa oligouri, peningkatan ureum, kreatinin, tanpa adanya kelainan organic
ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat
pada penurunan filtrasi glomerulus.
1.9 Penatalaksanaan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan untuk
mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah
kerusakan hati, pencegahan, dan penanganan komplikasi. Tatalaksana pasien sirosis
yang masih kompensata ditujukan untk mengurangi progresi kerusakan hati.
1. Penatalaksanaan Sirosis Kompensata
Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati, meliputi :
Menghentikan penggunaan alcohol dan bahan atau obat yang hepatotoksik
Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal yang dapat menghambat
kolagenik
Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif
Pada hemokromatosis, dilakukan flebotomi setiap minggu sampai
konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
Pada pentakit hati nonalkoholik, menurunkan BB akan mencegah
terjadinya sirosis

11
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi utama.
Lamivudin diberikan 100mg secara oral setiap hari selama satu tahun.
Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3MIU, 3x1 minggu
selama 4-6 bulan.
Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan
terapi standar. Interferon diberikan secara subkutan dengann dosis 5 MIU,
3x1 minggu, dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan
Untuk pengobatan fibrosis hati, masih dalam penelitian. Interferon, kolkisin,
metotreksat, vitamin A, dan obat-obatan sedang dalam penelitian.
2. Penatalaksanaan Sirosis Dekompensata
Asites
Tirah baring
Diet rendah garam : sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari
Diuretic : spiroolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretic bisa
dimonitor dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa edem kaki) atau 1,0
kg/hari (dengan edema kaki). Bilamana pemberian spironolakton tidak
adekuat, dapat dikombinasi dengan furosemide 20-40 mg/hari (dosis
max.160 mg/hari)
Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar (4-6 liter), diikuti
dengan pemberian albumin.
Peritonitis Bakterial Spontan
Diberikan antibiotik glongan cephalosporin generasi III seperti cefotaksim
secara parenteral selama lima hari atau quinolon secara oral. Mengingat
akan rekurennya tinggi maka untuk profilaksis dapat diberikan norfloxacin
(400 mg/hari) selama 2-3 minggu.
Varises Esofagus
Sebelum dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat penyekat beta
(propanolol)
Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau
okreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi
Ensefalopati Hepatik
Laktulosa untuk mengeluarkan ammonia
Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia

12
Diet rendah protein 0,5 gram.kgBB/hari, terutama diberikan yang kaya
asam amino rantai cabang
Sindrom Hepatorenal
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk SHR. Oleh karena
itu, pencegahan terjadinya SHR harus mendapat perhatian utama berupa
hindari pemakaian diuretic agresif, parasentesis asites, dan restriksi cairan
yang berlebihan.
1.10 Prognosis
Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor,
meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit lain yang
menyertai sirosis. Klasifikasi Child-Turcotte juga untuk menilai prognosis pasien
sirosis yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin,
albumin, ada tidaknya asites, ensefalopati, dan status nutrisi.
Klasifikasi Child-Turcotte berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka
kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A,B, dan C berturut-
turut 100%,80%, 60%

ASCITES
2.1 Definisi

13
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal dirongga peritoneum.
Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati kronis tetapi dapat pula disebabkan
penyakit lain.

2.2 Etiologi
Asites cenderung terjadi pada penyakit menahun (kronik). Paling sering terjadi
pada sirosis, terutama yang diisebabkan oleh alkoholisme. Asites juga bisa terjadi pada
penyakit non-hati, seperti kanker, gagal jantung, gagal ginjal dan tuberkulosis. Pada
penderita penyakit hati, cairan merembes dari permukaan hati dan usus. Hal ini
dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
hipertensi portal
menurunnya kemampuan pembuluh darah untuk menahan cairan
tertahannya cairan oleh ginjal
perubahan dalam berbagai hormon dan bahan kimia yang mengatur cairan tubuh.
Penyebab asites:
1. Kelainan di hati :
Sirosis, terutama yang disebabkan oleh alkoholisme
Hepatitis alkoholik tanpa sirosis
Hepatitis menahun
Penyumbatan vena hepatik
2. Kelainan diluar hati :
Gagal jantung
Gagal ginjal, terutama sindroma nefrotik

14
Perikarditis konstriktiva
Karsinomatosis, dimana kanker menyebar ke rongga perut
Berkurangnya aktivitas tiroid
Peradangan pankreas.
2.3 Klasifikasi
Derajat Asites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai berikut :
Tingkatan 1 : bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti.
Tingkatan 2 : mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam jumlah
cairan yang minimal.
Tingkatan 3 : dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi permukaan
abdomen tidak tegang.
Tingkatan 4 : asites permagna.

Klasifikasi asites berdasarkan penyebabnya:


Asites Tanpa Komplikasi
Asites yang tidak terinfeksi dan yang tidak terkait dengan pengembangan
sindrom hepatorenal. Asites dapat dinilai sebagai berikut:
o Grade 1 (mild), asites hanya terdeteksi oleh USG pemeriksaan.
o Grade 2 (moderate), ascites yang menyebabkan distensi perut simetris moderat.
o Grade 3 (large), ascites ditandai distensi abdomen.
Asites Refrakter
Asites yang tidak dapat dimobilisasi atau yang kambuh lebih awal (yaitu, setelah
terapi paracentesis) yang tidak dapat dicegah dengan terapi medis. Asites ini termasuk
dua subkelompok yang berbeda.
o Diuretic resistant ascites -- asites refrakter terhadap retriksi diet sodium dan
pengobatan diuretik intensif (spironolakton 400 mg / hari dan frusemid 160 mg
/hari selama setidaknya satu minggu, dan diet retriksi garam kurang dari 90
mmol / hari (5,2 g garam) / hari).

15
o Diuretic intractable ascites -- asites refrakter terhadap terapi karena
perkembangan komplikasi yang diinduksi diuretik yang menghalangi
penggunaan diuretik dosis efektif.

2.4 Patogenesis Pembentukan Asites


Ada dua faktor kunci yang terlibat dalam patogenesis pembentukan asites-yaitu:
retensi natrium dan air, dan portal (sinusoidal) hipertensi.

16
a. Peran hipertensi portal
Hipertensi portal meningkatkan tekanan hidrostatik dalam sinusoid hati dan
menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga peritoneum. Namun, pasien dengan
hipertensi portal presinusoidal tanpa sirosis jarang berkembang menjadi asites. Dengan
demikian pasien tidak berkembang menjadi asites pada oklusi vena portal ekstrahepatik
kronis terisolasi atau non-penyebab sirosis hipertensi portal seperti fibrosis hepatik
kongenital, kecuali bila diikuti kerusakan fungsi hati seperti pada perdarahan
gastrointestinal. Sebaliknya, trombosis vena hepatik akut, menyebabkan hipertensi
portal postsinusoidal, biasanya berhubungan dengan asites. Hipertensi portal terjadi
sebagai konsekuensi dari perubahan struktural dalam hati pada sirosis dan peningkatan
aliran darah splanknikus. Deposisi kolagen progresif dan pembentukan nodul
mengubah arsitektur normal vaskular hati dan meningkatkan resistensi terhadap aliran
portal.
Sinusoid mungkin menjadi kurang dapat berdistensi dengan pembentukan
kolagen dalam ruang Disse. Meskipun hal ini mungkin memberikan impresi sistem
statik portal, studi terbaru menunjukkan bahwa aktivasi sel stellata hepatik secara
dinamis dapat mengatur nada sinusoidal hingga tekanan portal.
Sel endotel sinusoidal membentuk pori-pori membran ekstrim yang hampir
sepenuhnya permeabel terhadap makromolekul, termasuk protein plasma. Sebaliknya,
kapiler splanknikus memiliki ukuran pori 50-100 kali lebih rendah dari sinusoid
hepatik. Akibatnya, gradien tekanan onkotik trans-sinusoidal dalam hati hampir nol
ketika dalam sirkulasi splanknikus yaitu 0,8-0,9 (80% - 90% dari maksimum). Gradien
tekanan onkotik seperti ujung ekstrim pada efek spektrum minimal terhadap perubahan
konsentrasi albumin plasma tersebut terhadap pertukaran cairan transmicrovascular.
Oleh karena itu, konsep lama yang menyatakan asites dibentuk sekunder terhadap
penurunan tekanan onkotik adalah palsu, dan konsentrasi albumin plasma memiliki
pengaruh kecil pada laju pembentukan ascites. Hipertensi portal sangat penting
terhadap perkembangan asites, dan asites jarang terjadi pada pasien dengan gradien
vena portal hepatik <12 mmHg. Sebaliknya, insersi dari samping ke sisi portacaval
shunt menurunkan tekanan portal sering menyebabkan resolusi dari ascites.
b. Patofisiologi retensi natrium dan air
Penjelasan klasik retensi natrium dan air terjadi karena underfill atau overfill
yang disederhanakan. Pasien mungkin menunjukkan fitur baik underfill atau overfill
tergantung pada postur atau keparahan penyakit hati. Salah satu peristiwa penting dalam

17
patogenesis disfungsi ginjal dan retensi natrium pada sirosis adalah berkembangnya
vasodilatasi sistemik, yang menyebabkan penurunan volume darah arteri efektif dan
hiperdinamik circulation. Mekanisme yang bertanggung jawab atas perubahan fungsi
vaskular tidak diketahui tetapi mungkin melibatkan peningkatan sintesis nitrit oksida
vaskular, prostasiklin, serta perubahan konsentrasi plasma glukagon, substansi P, atau
gen kalsitonin terkait peptide.
Namun, perubahan hemodinamik bervariasi dengan postur, dan studi telah
menunjukkan perubahan yang nyata dalam sekresi peptida natriuretik atrium dengan
postur tubuh, serta perubahan sistemik hemodinamik. Selain itu, data menunjukkan
penurunan volume arterial efektif pada sirosis telah diperdebatkan. Hal ini telah
disepakati bahwa bagaimanapun dalam kondisi terlentang dan pada hewan percobaan,
terdapat peningkatan curah jantung dan vasodilatasi. Perkembangan vasokonstriksi
renal pada sirosis adalah sebagian respon homeostatis yang melibatkan peningkatan
aktivitas simpatik ginjal dan aktivasi sistem renin-angiotensin untuk menjaga tekanan
darah selama vasodilatasi sistemik. Penurunan aliran darah ginjal menurunkan laju
filtrasi glomerulus sehingga pengiriman dan ekskresi fraksional natrium. Sirosis
dikaitkan dengan peningkatan reabsorpsi natrium baik pada tubulus proksimal dan
tubulus distal. Peningkatan reabsorpsi natrium di tubulus distal adalah karena
peningkatan konsentrasi aldosteron di sirkulasi. Namun, beberapa pasien dengan asites
memiliki konsentrasi aldosteron plasma normal, yang mengarah ke saran bahwa
reabsorpsi natrium di tubulus distal mungkin berhubungan dengan sensitivitas ginjal
yang meningkat tehadap aldosteron atau mekanisme lain yang tidak diketahui.
Pada sirosis terkompensasi, retensi natrium dapat terjadi pada tidak adanya
vasodilatasi dan hipovolemia efektif. Hipertensi portal sinusoidal dapat mengurangi
aliran darah ginjal bahkan tanpa adanya perubahan hemodinamik dalam sirkulasi
sistemik, menunjukkan adanya hepatorenal reflex. Demikian pula, selain vasodilatasi
sistemik, keparahan penyakit hati dan tekanan portal juga berkontribusi terhadap
abnormalitas penanganan natrium dalam sirosis.
2.5 Diagnosis
1. Investigasi awal
Penyebab asites sering terlihat jelas dari histori dan pemeriksaan fisik. Namun,
penting untuk mengecualikan penyebab lain dari asites. Seharusnya tidak diasumsikan
bahwa pasien alkoholik memiliki penyakit hati alkoholik. Oleh karena itu, tes harus
diarahkan pada diagnosa penyebab asites. Investigasi ini penting untuk menegakkan

18
diagnostik termasuk diagnostik paracentesis dengan pengukuran albumin cairan asites
atau protein, jumlah neutrofil, kultur cairan asites, dan amilase cairan asites. Sitologi
cairan asites harus diminta ketika ada kecurigaan klinis kearah keganasan. Investigasi
lain harus mencakup USG abdomen untuk mengevaluasi penampakan dari pankreas,
hati, dan kelenjar getah bening serta adanya splenomegali yang mungkin menandakan
hipertensi portal. Tes darah harus diambil untuk pengukuran urea dan elektrolit, tes
fungsi hati, waktu protrombin, dan hitung darah lengkap.
2. Paracentesis abdomen

Daerah yang paling umum untuk pungsi asites adalah sekitar 15 cm lateral
umbilikus, dengan perawatan yang diambil untuk menghindari pembesaran hati atau
limpa, dan biasanya dilakukan di kiri atau kanan quadrant perut bawah. Arteri
epigastrium inferior dan superior berjalan dilateral umbilikus terhadap titik tengah
inguinalis dan harus dihindari. Untuk tujuan diagnostik, 10-20 ml cairan asites harus
ditarik (Idealnya menggunakan jarum suntik dengan jarum biru atau hijau) untuk
inokulasi asites menjadi dua botol kultur darah dan Tabung EDTA, dan tes. Komplikasi
pungsi asites terjadi pada sampai 1% dari pasien (hematoma abdomen) tapi jarang
serius ataumengancam nyawa. Komplikasi lebih serius seperti haemoperitoneum atau
perforasi usus jarang terjadi (<1/1000 prosedur). Paracentesis tidak kontraindikasi pada
pasien dengan profil koagulasi yang abnormal. Sebagian besar pasien dengan asites
karena sirosis memiliki perpanjangan waktu protrombin dan beberapa tingkat
trombositopenia. Tidak ada data yang mendukung penggunaan fresh frozen plasma
sebelum paracentesis meskipun jika trombositopenia hebat (< 40.000) paling dokter
akan memberikan trombosit untuk mengurangi risiko perdarahan.
3. Investigasi cairan asites
Jumlah neutrofil dan kultur cairan asites

19
Semua pasien harus diskrining untuk mengetahui spontaneous bacterial
peritonitis (SBP), yang terapat dalam sekitar 15% pasien dengan sirosis dan
asites yang dirawat di rumah sakit. Jumlah neutrofil asites >250 sel/mm3
(0,25x109 / l) adalah diagnostik SBP dengan adanya diketahui perforasi viskus
atau inflamasi organ intrabdominal. Konsentrasi sel darah merah dalam asites
sirosis biasanya, 1.000 sel/mm3 dan cairan asites berdarah (>50.000 sel/mm3)
terjadi pada sekitar 2% dari sirosis. Pada sekitar 30% sirosis dengan asites
berdarah, terdapat karsinoma hepatoseluler yang mendasari. Namun, pada 50%
pasien dengan asites berdarah, penyebabnya tidak dapatditemukan. Pewarnaan
gram cairan asites tidak diindikasikan, karena jarang membantu. Kepekaan
hapusan untuk mikobakteri sangat buruk, sementara kultur cairan untuk
mikobakteri memiliki sensitivitas 50%. Beberapa studi telah menunjukkan
bahwa inokulasi cairan asites ke dalam botol kultur darah akan mengidentifikasi
organisme pada sekitar 72-90% kasus sedangkan mengirim cairan asites dalam
wadah steril ke laboratorium hanya akan mengidentifikasi organisme di sekitar
40% dari kasus SBP.
Protein cairan asites dan amilase cairan asites
Secara konvensional, jenis asites dibagi menjadi eksudat dan transudat,
di mana konsentrasi protein asites masing-masing >25 g/l atau <25 g / l. Tujuan
dari pembagian seperti ini adalah untuk membantu mengidentifikasi penyebab
asites. Jadi, pada keganasan secara klasik menyebabkan asites eksudatif dan
sirosis menyebabkan asites transudat. Namun, ada banyak kesalah pahaman di
praktek klinis. Misalnya, sering dianggap bahwa asites jantung adalah transudat
meskipun kasusnyajarang terjadi, protein asites >25 g/l pada 30% pasien dengan
sirosis tanpa komplikasi, dan pasien dengan sirosis dan asites TB mungkin
memiliki asites rendah protein. Gradien serum asites-albumin (SA-AG) jauh
unggul dalam kategorisasi asites dengan akurasi 97% (Tabel 1). Hal ini dihitung
sebagai:
SA-AG = konsentrasi albumin serum - konsentrasi albumin cairan asites

20
Amilase asites tinggi adalah diagnostik untuk asites pankreas, amilase
cairan asites harus ditentukan dalam pasien dimana ada kecurigaan klinis
penyakit pankreas.
Sitologi cairan asites
Hanya 7% dari sitologi cairan asites positif, pemeriksaan sitologi
memiliki akurasi 60-90% dalam diagnosis asites keganasan, terutama ketika
beberapa ratus mililiter cairan yang diuji dan teknik konsentrasi yang
digunakan. Dokter harus bekerja sama dengan departemen sitologi lokal mereka
untuk mendiskusikan kebutuhan cairan sebelum parasentesis. Tetapi investigasi
sitologi cairan asites bukan merupakan pilihan untuk diagnosis karsinoma
hepatoseluler primer.
2.6 Penatalaksanaan
1. Bed rest
Istirahat Pada pasien dengan sirosis dan asites, asumsi postur tegak dikaitkan
dengan aktivasi renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatik, pengurangan
di tingkat filtrasi glomerulus dan ekskresi natrium, serta respon menurun terhadap
diuretik. Efek ini bahkan lebih mencolok dalam hubungan dengan latihan fisik moderat.
Data ini sangat menyarankan bahwa pasien harus diobati dengan diuretik saat istirahat.
Namun, belum ada studi klinis yang menunjukkan keberhasilan peningkatan diuresis
dengan istirahat atau durasi penurunan rawat inap. Tirah baring dapat menyebabkan
atrofi otot, dan komplikasi lainnya, serta memperpanjang lama tinggal di rumah sakit,
tirah baring umumnya tidak direkomendasikan untuk manajemen pasien dengan asites
tanpa komplikasi.
2. Retriksi diet garam

21
Retriksi diet garam saja dapat membuat balans natrium negatif pada 10% pasien.
Pembatasan natrium telah terkait dengan persyaratan diuretik lebih rendah, resolusi
asites lebih cepat , dan masa di RS lebih pendek. Di masa lalu, makanan garam sering
dibatasi sampai 22 atau 50 mmol / hari, diet ini dapat menyebabkan malnutrisi protein
dan hasil yang serupa, dan tidak lagi dianjurkan. Diet khas Inggris berisi sekitar 150
mmol natrium per hari, dimana 15% dari penambahan garam dan 70% dari makanan
kemasan. Diet garam harus dibatasi, 90 mmol/hari (5,2 g) garam dengan menerapkan
pola makan tidak tambah garam dan menghindari bahan makanan yang telah disiapkan
(misalnya, kue). Bimbingan ahli diet dan informasi leaflet akan membantu dalam
mendidik pasien dan kerabat tentang retrriksi garam. Obat tertentu, terutama dalam
bentuk tablet effervescent, memiliki kandungan natrium yang tinggi.
Antibiotik intravena umumnya mengandung 2,1-3,6 mmol natrium per gram
dengan pengecualian siprofloksasin yang berisi 30 mmol natrium dalam 200 ml (400
mg) untuk infus intravena. Meskipun secara umum lebih baik untuk menghindari infus
cairan yang mengandung garam pada pasien dengan asites, ada peluang, seperti
berkembang menjadi sindroma hepatorenal atau gangguan ginjal dengan hiponatremia
berat, jika sesuai dan diindikasikan untuk memberikan ekspansi volume dengan
kristaloid atau koloid. Untuk pasien sindrom hepatorenal, International Ascites club
merekomendasikan infus garam normal.
3. Peran retriksi air
Tidak ada studi tentang manfaat atau bahaya pembatasan air pada resolusi asites.
Kebanyakan ahli setuju bahwa tidak ada peran pembatasan air pada pasien dengan
asites tampa komplikasi. Namun, pembatasan air untuk pasien dengan asites dan
hiponatremia telah menjadi standar praktek klinis di banyak pusat-pusat. Namun,
terdapat kontroversi nyata tentang pengelolaan terbaik pasien, dan saat ini kami tidak
tahu pendekatan yang terbaik. Kebanyakan hepatologis mengobati pasien dengan
pembatasan air yang parah. Namun, berdasarkan pemahaman kita tentang patogenesis
hiponatremia, pengobatan ini mungkin tidak logis dan dapat memperburuk tingkat
keparahan pusat hipovolemia efektif yang mendorong sekresi non-osmotik hormon
antidiuretik (ADH). Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan ADH sirkulasi lebih
lanjut, dan penurunan fungsi ginjal lebih lanjut. Gangguan klirens air bebas diamati
pada 25 - 60% pasien dengan asites akibat sirosis, dan banyak berkembang menjadi
hiponatremia spontan. karena itu, beberapa hepatologists, termasuk
penulis,menganjurkan ekspansi plasma lebih lanjut untuk menormalkan dan

22
menghambat rangsangan pelepasan ADH. Studi diperlukan untuk menentukan
pendekatan terbaik. Terdapat data yang muncul mendukung bahwa penggunaan
antagonis reseptor vasopresin 2 tertentu dalam pengobatan dilusi hiponatremia, tetapi
apakah ini meningkatkan morbiditas dan mortalitas secara keseluruhan belum
diketahui. Hal ini penting untuk menghindari hiponatremia berat pada pasien yang
menunggu transplantasi hati karena dapat meningkatkan risiko mielinolisis pontine
pusat selama resusitasi cairan dalam operasi.

4. Manajemen hiponatremia pada pasien dengan terapi diuretik


Natrium serum 126 mmo/l
Untuk pasien dengan asites yang memiliki natrium serum 126 mmol/l,
seharusnya tidak ada pembatasan air, dan diuretik dapat dengan aman dilanjutkan,
menunjukan bahwa fungsi ginjal ini tidak memburuk atau belum secara signifikan
memburuk selama terapi diuretik.
Natrium serum 125 mmol/l
Untuk pasien dengan hiponatremia sedang (natrium serum 121-125
mmol/l), terbagi pendapat pada tindakan apa yang terbaik berikutnya. Pendapat
internasional, di mana konsensus para ahli internasional dicari dan dilaporkan,
bahwa diuretik harus dilanjutkan. Namun, tidak ada atau sedikit data yang
mendukung tindakan yang terbaik, dan pandangan pribadi kami adalah untuk
mengadopsi pendekatan yang lebih hati-hati. Kita percaya bahwa diuretic harus
dihentikan sekali natrium serum 125 mmol/l dan pasien diobservasi. Semua ahli
dilapangan merekomendasikan diuretik dihentikan jika natrium serum 120
mmol/l. Jika ada peningkatan yang signifikan kreatinin serum atau kreatinin
serum >150 mol/ l, kita akan merekomendasikan ekspansi volume. Gelofusine,
Haemaccel, dan Solusi albumin 4,5% mengandung konsentrasi natrium setara
dengan salin normal (154 mmol/l). Hal ini akan memperburuk retensi garam
tetapi kita mengambil pandangan bahwa lebih baik untuk memiliki asites dengan
fungsi ginjal normal dari pada berkembang dan berpotensi menjadi gagal ginjal
ireversibel. Pembatasan air harus disediakan untuk mereka yang secara klinis
euvolaemic dengan hiponatremia parah, klirens air bebas menurun, dan yang
tidak sedang terapi diuretik, dan di antaranya kreatinin serum normal.

23
5. Diuretik
Diuretik telah menjadi andalan pengobatan asites sejak tahun 1940 ketika
pertama kali tersedia. Banyak agen diuretik telah dievaluasi selama bertahun-tahun
tetapi dalam praktek klinis dalam hal ini Inggris telah membatasi terutama
spironolactone, amilorid, furosemid, dan bumetanide.
Spironolactone
Spironolactone merupakan antagonis aldosteron, bekerja terutama pada tubulus distal
untuk meningkatkan natriuresis dan mempertahankan kalium. Spironolactone adalah
obat pilihan di awal pengobatan asites karena sirosis. Dosis harian inisial 100 mg bisa
ditingkatkan sampai 400 mg untuk mencapai natriuresis adekuat. Berjalan lambat 3-5
hari antara awal pengobatan spironolactone dan terjadinya efek. studi kontrol
natriuretik telah menemukan bahwa spironolactone mencapai natriuresis lebih baik dan
diuresis dari loop diuretic seperti furosemide. Efek samping paling sering spironolakton
pada sirosis adalah yang berkaitan dengan ativitas antiandrogenik nya, seperti
penurunan libido, impotensi, dan ginekomastia pada pria dan ketidakteraturan
menstruasi pada wanita (meskipun sebagian besar wanita dengan asites tidak
menstruasi saja). Ginekomastia dapat secara signifikan berkurang ketika canrenoate
kalium hidrofilik derivatif digunakan, tetapi ini tidak tersedia di Inggris. Tamoxifen
pada dosis 20 mg dua kali sehari telah terbukti berguna dalam pengelolaan
gynaecomastia. Hiperkalemia merupakan komplikasi signifikan yang sering membatasi
penggunaan spironolactone dalam pengobatan asites.

Furosemid
Furosemid adalah diuretik loop yang menyebabkan tanda natriuresis dan diuresis pada
subyek normal. Hal ini umumnya digunakan sebagai tambahan untuk pengobatan
spironolactone karena keberhasilan rendah bila digunakan sendirian pada sirosis. Dosis
awal frusemid adalah 40 mg/hari dan umumnya meningkat setiap 2-3 hari sampai dosis
tidak melebihi 160 mg/hari. Tinggi dosis frusemid berhubungan dengan gangguan
elektrolit berat dan alkalosis metabolik, dan harus digunakan hatihati. Furosemid dan
spironolactone bekerja simultan meningkatkan efek natriuretik.
Diuretik lain
Amiloride bekerja pada tubulus distal dan menginduksi diuresis pada 80% pasien
dengan dosis 15-30 mg/hari. Hal ini kurang efektif dibandingkan dengan spironolakton
atau kalium canrenoate. Bumetanide mirip dengan frusemid dalam kerja dan efikasi.

24
Secara umum, pendekatan '' stepped care'' yang digunakan dalam pengelolaan ascites
dimulai dengan diet pembatasan garam sederhana, bersama dengan meningkatnya dosis
spironolactone. Furosemid hanya ditambahkan bila 400 mg spironolakton sendiri telah
terbukti inefektif. Pada pasien dengan edema berat tidak perlu untuk memperlambat
laju harian penurunan berat badan. Sekali edema telah diselesaikan tetapi asites
berlanjut, maka tingkat penurunan berat badan tidak melebihi 0,5 kg/hari. Selama
diuresis dikaitkan dengan deplesi volume intravaskular (25%) yang mengarah ke ginjal,
hati penurunan ensefalopati (26%), dan hiponatremia (28% . Sekitar 10% pasien dengan
sirosis dan asites memiliki asites refrakter. Pada pasien yang gagal merespons
pengobatan, riwayat diet dan obat-hati harus diperoleh. Penting untuk memastikan
bahwa mereka tidak memakan obat yang kaya akan natrium, atau obat yang
menghambat garam dan ekskresi air seperti obat-obatan antiinflamasi non-steroid.
Kepatuhan retriksi natrium makanan harus dipantau dengan pengukuran ekskresi
natrium urin. Jika natrium urin melebihi asupan sodium yang direkomendasikan, dan
pasien tidak menanggapi pengobatan, maka dapat diasumsikan bahwa pasien non-
compliant.
6. Terapi paracentesis
Pasien dengan asites besar atau refrakter biasanya managemen inisial oleh
paracentesis ulanagan dengan volume besar. Beberapa studi klinis terkontrol telah
menunjukkan bahwa besar Volume paracentesis dengan penggantian koloid cepat,
aman, dan effective. Penelitian pertama menunjukkan bahwa seri volume besar
paracentesis (4-6/hari) dengan infus albumin (8g/liter asites yang hilang) lebih efektif
dan berhubungan dengan komplikasi lebih sedikit dan durasi rawat inap yang lebih
singkat dibandingkan dengan terapi diuretik. Penelitian ini diikuti oleh penelitian lain
yang mengevaluasi efikasi, keamanan, kecepatan paracentesis, perubahan
hemodinamik setelah paracentesis, dan kebutuhan terapi penggantian koloid.
Paracentesis total umumnya lebih aman dari paracentesis berulang, jika ekspansi
volume diberikan pasca-paracentesis. Jika ekspansi volume pascaparacentesis gagal
memberikan volume ekspansi dapat menyebabkan gangguan sirkulasi, gangguan fungsi
ginjal dan elektrolit.
Setelah paracentesis, mayoritas asites berulang (93%) jika terapi diuretik tidak
dihidupkan kembali, tapi berulang pada hanya 18% pasien yang diobati dengan
spironolactone. Memperkenalkan kembali diuretik setelah paracentesis (biasanya

25
dalam 1-2 hari) tampaknya tidak meningkatkan risiko disfungsi sirkulasi
postparacentesis.
7. Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS)
Peningkatan tekanan portal adalah salah satu faktor utama yang berkontribusi
terhadap patogenesis asites, tidak mengherankan bahwa TIPS adalah perawatan yang
sangat efektif untuk asites refrakter. Ini berfungsi sebagai sisi pada sisi portocaval shunt
yang dipasang dengan anestesi lokal dan sedasi intravena, dan menggantikan
penggunaan pembedahan yang ditempatkan di portocaval atau mesocaval shunts.
Sejumlah studi uncontrolled telah diterbitkan menilai efektivitas TIPS pada pasien
dengan asites refrakter. Dalam kebanyakan studi keberhasilan teknis dicapai pada 93-
100% kasus, dengan kontrol dari asites dicapai dalam 27-92% dan resolusi lengkap
sampai dengan 75% kasus. TIPS menghasilkan penurunan sekunder aktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron, dan meningkatkan ekskresi natrium.
Percobaan acak prospektif telah menunjukkan TIPS lebih efektif dalam
mengendalikan asites dibandingkan dengan paracentesis volume besar. Namun, tidak
ada konsensus mengenai dampak TIPS pada kelangsungan hidup bebas transplantasi
pada pasien dengan asites refraktori. Dalam satu studi TIPS tidak berpengaruh pada
survival sementara yang lain telah melaporkan peningkatan survival baik dibandingkan
dengan terapeutik paracentesis.
2.7 Prognosis
Perkembangan asites dikaitkan dengan mortalitas 50% dalam waktu dua tahun
diagnosis. Asites refrakter setelah terapi medis, 50% meninggal dalam waktu enam
bulan. Meskipun memperbaiki manajemen dan kualitas cairan, pasien hidup sambil
menunggu transplantasi hati, perawatan seperti terapi paracentesis dan TIPS tidak
memperbaiki masa bertahan hidup jangka panjang tanpa transplantasi untuk pasien.
paling karena itu, ketika setiap pasien dengan sirosis berkembang menjadi asites,
kesesuaian untuk transplantasi hati harus dipertimbangkan. Perhatian harus diberikan
untuk fungsi ginjal pada pasien dengan asites pra-transplantasi, disfungsi ginjal
menyebabkan morbiditas lebih besar dan pemulihan tertunda setelah transplantasi hati
dan berhubungan dengan tinggal lama di ICU dan rumah sakit.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Sutadi SM. Sirosis hati. Usu repository. 2003. [cited on 2011 February 23rd]. Available
from : URL : http:// repository.usu.ac.id/ bitstream/ 123456789 /3386/1/ penydalam-
srimaryani5.pdf
2. Suyono,Sufiana,Heru,Novianto,Riza,Musrifah. Sonografi sirosis hepatis di RSUD Dr.
Moewardi. Kalbe. 2006. [cited on 2011 February 23rd]. Available from : URL :
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09_150_Sonografisirosishepatis.pdf/09_150_So
nografisirosishepatis.html
3. Raymon T.Chung, Daniel K.Podolsky. Cirrhosis and its complications. In : Kasper DL
et.al, eds. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th Edition. USA : Mc-Graw
Hill; 2005. p. 1858-62.
4. Nurdjanah Sitti. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
UI; 2006. hal. 443-53.
5. Amiruddin Rifai. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran UI; 2006. hal. 415-6.
6. Faiz O, Moffat D. The liver, gall-bladder, biliary tree. In : Anatomy at a glance. USA:
Blackwell Publishing Company; 2002. p. 44-5.
7. Lindseth, Glenda N. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam : Sylvia
A.Price et.al, eds. Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ;
2006. Hal.472-5.
8. Netter FH. Surface and bed of liver. In : Atlas of Human Anatomy. 4th Edition. USA :
Saunders Elsevier; 2006. p. 287.
9. Douglas Eder. Histology. In : Laboratory Atlas of Anatomy and Physiology. 4th
Edition. USA : McGraw-Hill Science; 2001. p.35
10. Hall & Guyton. Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2004. hal. 902-6.
11. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Hati dan saluran empedu Dalam : Hartanto H,
Darmaniah N, Wulandari N. Robbins Buku Ajar Patologi. 7th Edition. Volume 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. hal. 671-2.
12. Taylor CR. Cirrhosis. emedicine. 2009. [cited on 2011 February 23rd]. Available from:
URL : http://emedicine.medscape.com/article/366426-overview

27
13. Marc S. Sabatine, Sirosis dalam Buku Saku Klinis, The Massachusetts General
Hospital Handbook of Internal Medicine, 2004, p.106-10
14. David C. Dale, Daniel D.Fedeman, AMP Medicine 2007 Edition, Washington D.C.,
2007,p.IX : 1-26

28

Anda mungkin juga menyukai