oleh
Aditya Wahyu Kurniawan, S. Kep
NIM 112311101049
1. Kasus
Sirosis Hepatis
2. Proses Terjadinya Masalah
a. Anatomi Fisiologi
Anatomi Hati
Hepar adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau
kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar
kuadran kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh
dengan fungsi yang sangat kompleks (Amiruddin, 2006). Hepar menempati
daerah hipokondrium dextra tetapi lobus sinistra dari hepar meluas sampai ke
epigastrium. Hepar berbatasan dengan diafragma pada bagian superior dan
bagian inferior hepar mengikuti bentuk dari batas costa dextra. Batas atas
hepar berada sejajar dengan spatium intercostalis V dextra dan batas
bawahnya menyerong ke atas dari costa IX dextra ke costa VIII sinistra.
Hepar secara anatomis hepar terdiri dari lobus dextra yang berukuran lebih
besar dan lobus sinistra yang berukuran lebih kecil. Lobus dextra dan sinistra
dipisahkan oleh ligamentum falciforme. Pada daerah antara ligamentum
falciforme dengan kandung empedu di lobus kanan dapat ditemukan lobus
quadratus dan lobus caudatus yang tertutup oleh vena cava inferior dan
ligamentum venosum pada permukaan posterior. Hepar sendiri terbagi lagi
dalam 8 segmen berdasarkan aliran cabang pembuluh darah dan saluran
empedu yang dimiliki oleh masing-masing segmen (Putz & Pabst, 2006).
Permukaan hepar diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada
permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa
ligamentum yang merupakan peritoneum membantu menyokong hepar. Di
bawah peritoneum terdapat jaringan ikat padat yang disebut sebagai kapsula
Glisson, yang meliputi permukaan seluruh organ , bagian paling tebal kapsula
ini terdapat pada porta hepatis, membentuk rangka untuk cabang vena porta,
arteri hepatika, dan saluran empedu. Porta hepatis adalah fisura pada hepar
tempat masuknya vena porta dan arteri hepatika serta tempat keluarnya
duktus hepatica (Amiruddin, 2006).
Hepar memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa
melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteri hepatika. Arteri
hepatika keluar dari aorta dan memberikan 80% darahnya kepada hepar,
darah ini masuk ke hepar membentuk jaringan kapiler dan setelah bertemu
dengan kapiler vena akan keluar sebagai vena hepatica. Vena hepatica
mengembalikan darah dari hepar ke vena kava inferior. Vena porta yang
terbentuk dari vena lienalis dan vena mesenterika superior, mengantarkan
20% darahnya ke hepar, darah ini mempunyai kejenuhan oksigen hanya 70 %
sebab beberapa O2 telah diambil oleh limpa dan usus. Darah yang berasal
dari vena porta bersentuhan erat dengan sel hepar dan setiap lobulus dilewati
oleh sebuah pembuluh sinusoid atau kapiler hepatika. Pembuluh darah halus
yang berjalan di antara lobulus hepar disebut vena interlobular
Vena porta membawa darah yang kaya dengan bahan makanan dari
saluran cerna, dan arteri hepatika membawa darah yang kaya oksigen dari
sistem arteri. Arteri dan vena hepatika ini bercabang menjadi pembuluh-
pembuluh yang lebih kecil membentuk kapiler di antara sel-sel hepar yang
membentik lamina hepatika. Jaringan kapiler ini kemudian mengalir ke dalam
vena kecil di bagian tengah masing-masing lobulus, yang menyuplai vena
hepatika. Pembuluh-pembuluh ini menbawa darah dari kapiler portal dan
darah yang mengalami deoksigenasi yang telah dibawa ke hepar oleh arteri
hepatika sebagai darah yang telah deoksigenasi. Selain vena porta, juga
ditemukan arteriol hepar didalam septum interlobularis. Anterior ini
menyuplai darah dari arteri ke jaringan jaringan septum diantara lobules yang
berdekatan, dan banyak arterior kecil mengalir langsung ke sinusoid hepar,
paling sering pada sepertiga jarak ke septum interlobularis.
Karsinoma hepatoselular
Tumor hati primer yang berasal dari jaringan hati itu sendiri. Sirosis hati
merupakan salah satu faktor resiko terjadinya karsinoma hepatoselular. Gejala
yang ditemui adalah rasa lemah, tidak nafsu makan, berat badan menurun
drastis, demam, perut terasa penuh, ada massa dan nyeri di kuadran kanan
atas abdomen, asites, edema ekstremitas, jaundice, urin berwarna seperti teh
dan melena (Wijayakusuma, 2008).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang bisa didapatkan dari penderita sirosis hepatis
antara lain :
a. SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST (aspartat aminotransferase)
dan SGPT (serum glutamil piruvat transferase) atau ALT (alanin
aminotransferase) meningkat tapi tidak begitu tinggi. AST lebih meningkat
dibanding ALT. Namun, bila enzim ini normal, tidak mengenyampingkan
adanya sirosis hepatis
b. Alkali fosfatase (ALP), meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis
primer dan sirosis bilier primer.
c. Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), meningkat sama dengan ALP.
Namun, pada penyakit hati alkoholik kronik, konsentrasinya meninggi
karena alcohol dapat menginduksi mikrosomal hepatic dan menyebabkan
bocornya GGT dari hepatosit.
d. Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata dan
meningkat pada sirosis yang lebih lanjut (dekompensata)
e. Globulin, konsentrasinya meningkat akibat sekunder dari pintasan, antigen
bakteri dari sistem porta masuk ke jaringan limfoid yang selanjutnya
menginduksi immunoglobulin.
f. Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis factor koagulan
akibat sirosis
g. Na serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas.
h. Pansitopenia dapat terjadi akibat splenomegali kongestif berkaitan dengan
hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
Selain itu, pemeriksaan radiologis yang bisa dilakukan, yaitu :
a. Barium meal, untuk melihat varises sebagai konfirmasi adanya hipertensi
porta
b. USG abdomen untuk menilai ukuran hati, sudut, permukaan, serta untuk
melihat adanya asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran vena
porta, dan sebagai skrinning untuk adanya karsinoma hati pada pasien
sirosis. Gambaran USG tergantung pada tingkat berat ringannya penyakit.
Pada tingkat permulaan sirosis akan tampak hati membesar, permulaan
irregular, tepi hati tumpul. Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG,
yaitu tampak penebalan permukaan hati yang irregular. Sebagian hati
tampak membesar dan sebagian lagi dalam batas nomal.
c. Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hati akan
jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk nodul yang
besar atau kecil dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi biasanya
tumpul. Seringkali didapatkan pembesaran limpa.
d. Pemeriksaan Cairan Asites
Dilakukan dengan pungsi asites. Melalui pungsi asites dapat dijumpai tanda-
tanda infeksi (peritonitis bakterial spontan), sel tumor, perdarahan dan
eksudat. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap cairan pungsi antara lain
pemeriksaan mikroskopis; kultur cairan, dan pemeriksaan kadar protein,
amilase dan lipase
Selain itu juga dapat ditemukan hasil pemeriksaan sebagai berikut
Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan
Biopsi hati Mendeteksi infiltrat, fibrosis kerusakan jaringan hati.
Billirubin serum Meningkat karena gangguan seluler etidakmampuan hati
mengkonjugasi atau obstruksi billier.
Bilirubin terkonjugasi Meningkat pada penyakit hepatoselular dan obstruksi
bilier
Bilirubin tak Meningkat pada penyakit hepatoselular dan emolisis
terkonjugasi eritrosit
Urobilinogen urin Menurun pada obstruksi bilier dan meningkat pada
penyakit hepatoselular
Urobilinogen fekal Tidak ada sterkobilin pada obstruksi bilier dan
meningkat pada hemolisis eritrosit
Albumin serum Menurun karena penurunan sintesis
Globulin (Ig A dan Ig Meningkat, peningkatan sintesis
G)
Natrium serum Menurun, ketidakmampuan ekskresi air bebas pada
asites
SGOT dan SGPT Meningkat karena kerusakan seluler dan mengeluarkan
enzim.
Alkali fosfatase Meningkat karena penurunan ekskresi
GGT (Gamma-glutamil Meningkat pada penyakit hati alkoholik kronik.
transpeptidase)
Nitrogen urea darah Menurun pada penyakit hepatoselular berat dengan
(BUN) obstruksi sirkulasi portal
Kadar ammonia darah Meningkat pada penyakit hepatoselular berat dengan
obstruksi sirkulasi portal
Darah lengkap Hb/Ht dan SDM mungkin menurun karena perdarahan,
kerusakan SDM dan anemia terlihat dengan
hipersplenisme dan defesiensi besi, leukopenia mungkin
ada sebagai akibat hipersplenisme.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah sebagai berikut
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan terganggunya mekanisme
pengaturan (penurunan plasma protein).
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru
akibat asites, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan inadequate diet; ketidakmampuan menyerap nutrisi; ketidakmampuan
mencerna makanan; faktor psikologis.
4. Risiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan gangguan fungsi hati
(sirosis, hepatitis) dan adanya perubahan faktor pembekuan darah (penurunan
produksi prothrombin; fibrinogen; trombosit, gangguan metabolisme vitamin
K dan pelepasan tromboplastin).
5. Perubahan proses berpikir berhubungan dengan kemunduran fungsi hati dan
peningkatan kadar ammonia
6. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan PENUMPUKAN
garam empedu di bawah kulit
7. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan tubuh
akibat penyakit yang dialami
8. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kondisi penyakit yang dialami
9. Ansietas berhubungan dengan respon fisiologis terhadap penyakit
c. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Kriteria hasil Intervensi Rasional
1 Kelebihan volume cairan Volume cairan Keseimbangan Manajemen cairan
berhubungan dengan tubuh klien cairan 1. Pantau tanda-tanda vital 1. memantau TTV untuk mengetahui
terganggunya mekanisme akan seimbang Indikator: klien adanya perubahan yang abnormal
pengaturan (penurunan dalam 2 x 24 1. Asites tidak ada 2. Pantau hasil laboratorium akibat retensi cairan pada klien
plasma protein). jam setelah 2. Edema perifer yang relevan dengan retensi 2. memantau status hemodinamika
perawatan dan tidak ada cairan (penurunan untuk mengidentifikasi kondisi
terapi 3. Distensi hemtokrit, peningkatan klien
diberikan pembuluh osmolalitas urin) 3. hasil laboratorium dipantau guna
darah leher 3. Kaji lokasi dan keberadaan mengetahui adanya nilai abnormal
tidak ada edema beserta kemungkinan komplikasi
4. Catat pemberian diuretik yang akan timbul
sesuai resep 4. mengkaji edema untuk mengetahui
5. Pertahankan pencatatan perjalanan dan karakteristik
intake dan output secara penyakit
akurat 5. diuretik digunakan untuk
6. Batasi intake cairan mengeluarkan cairan yang
7. Kolaborasikan dengan tim berlebihan dalam tubuh
media lain jika tanda dan 6. intake dan output dipantau untuk
gejala dari kelebihan mengetahui keseimbangan cairan
volume cairan menetap atau tubuh klien
bertambah buruk 7. pembatasan intake cairan untuk
mengatasi asites
8. kolaborasi tindakan medis jika
kondisi klien memburuk akibat
retensi cairan
3. Pola nafas tidak efektif Pola nafas NOC: Respiratory NIC: Airway Management 1. Distres pernapasan dan
berhubungan dengan menjadi efektif status 1. Kaji fungsi pernapasan, perubahan tanda vital dapat
asites dan restriksi setelah Indikator: catat kecepatan pernapasan, terjadi sebagai akibat stres
pengembangan toraks dilakukan 1. Frekuensi dispnea, sianosis dan fisiologi atau dapat
akibat asites, distensi tindakan pernafasan perubahan tanda vital menunjukkan terjadinya syok
abdomen serta adanya keperawatan dalam rentang akibat hipoksia.
cairan dalam rongga selama 2 x 24 normal 2. Kaji pengembangan dada 2. Ekspansi paru menurun pada
toraks jam 2. Kedalaman dan posisi trakea area kolaps. Deviasi trakea ke
pernafasan arah sisi yang sehat pada tension
dalam rentang 3. Auskultasi bunyi napas pneumothorax.
normal 3. Bunyi napas dapat menurun/tak
4. Identifikasi etiologi/faktor ada pada area kolaps
pencetus (kolaps spontan, 4. Pemahaman penyebab kolaps
trauma, keganasan, infeksi, paru penting untuk memilih
komplikasi ventilasi tindakan terapeutik lainnya.
mekanik) 5. Meningkatkan inspirasi minimal,
5. Pertahankan posisi nyaman meningkatkan ekspansi paru dan
(biasanya dengan ventilasi pada sisi yang sehat
meninggikan kepala tempat 6. Pemberian obat untuk
tidur). mengurangi mengurangi keluhan
6. Kolaborasi pemberian obat klien
sesuai indikasi
Amiruddin, R. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Fisiologi dan Biokimia
Hati Edisi 4. Jakarta:Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran UI
Baradero, M., Dayrit, M. W., Siswadi. Y. 2008. Klien Gangguan Hati: Seri
Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Ganong, W.F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Guyton & Hall. 2004. Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC
Junqueira, L.C.,et all. 1997. Histologi Dasar. Jakarta: EGC
Konthen, P.G. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF Ilmu Penyakit
Dalam. Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo
Mansjoer, A., dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Jakarta:
Nurdjanah, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Sirosis hati Edisi 4. Pusat
Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI: Jakarta.
Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. (Brahm U. Pendit: Penerjemah). Ed. 6. Jakarta: EGC
Putz, R. & Pabst, R. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Batang Badan,
Panggul, Ekstremitas Bawah Edisi 22 Jilid 2. Jakarta: EGC
Setiawan, P.B., dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo: Surabaya
Sudoyo, A. W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Departemen ilmu
penyakit dalam FKUI
Sutadi, S.M. 2003. Sirosis hati. USU digital library. Medan : Fakultas Kedokteran
Bagian Ilmu Penyakit Dalam USU
Wijayakusuma, H. 2008. Tumpas Hepatitis Dengan Ramuan Herbal. Jakarta:
Pustaka Bunda.