Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul “Sirosis Hepatis”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, dr. Bayu Rusfandi Nst, SpPD, serta Chief of ward RA 2, dr. Andry
Syahreza dan dr. Wira P. Siregar yang telah meluangkan waktunya dan
memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga
penulis dapat menyelesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2017

Penulis
iii

DAFTAR ISI
Lembar pengesahan .................................................................................... i
Kata Pengantar ......................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Tujuan ................................................................................................... 2
1.3. Manfaat ................................................................................................. 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 3
2.1. Hati ........................................................................................................ 3
2.1.1.Anatomi ............................................................................................ 3
2.1.2.Fungsi ............................................................................................... 4
2.2. Sirosis Hati ............................................................................................ 5
2.2.1.Defenisi ............................................................................................ 5
2.2.2.Epidemiologi .................................................................................... 5
2.2.3.Klasifikasi ........................................................................................ 5
2.2.4.Etiologi ............................................................................................. 8
2.2.5.Pathogenesis ..................................................................................... 8
2.2.6.Manifestasi Klinis .......................................................................... 11
2.2.7.Diagnosis ........................................................................................ 12
2.2.8.Tatalaksana ..................................................................................... 16
2.2.9.Komplikasi ..................................................................................... 21
2.2.10 Prognosis ..................................................................................... 23
BAB 3 LAPORAN KASUS ..................................................................... 25
BAB 4 FOLLOW UP ............................................................................... 38
BAB 5 DISKUSI KASUS ......................................................................... 40
BAB 6 KESIMPULAN ............................................................................ 43

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 44


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sirosis hati merupakan hasil dari berbagai mekanisme kerusakan hati
berbeda yang berujung pada inflamasi nekrosis dan Fibrogenesis. Penyakit ini
secara klinis telah dianggap sebagai penyakit tahap akhir yang sering berakhir
pada kematian.1 Penyakit tersebut adalah salah satu penyebab utama masalah
morbiditas dan mortalitas di berbagai negara, serta berada pada urutan ke-14
sebagai penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia. Sirosis hati menyebabkan
1,03 juta kematian per tahun di seluruh dunia, 170.000 kematian per tahun di
Eropa, dan 33.539 kematian per tahun di Amerika Serikat.2
Sirosis hati juga menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia.
Prevalensi sirosis hati yang dirawat di ruang rawat Penyakit Dalam adalah
sekitar
3,6% - 8,4% di Jawa dan Sumatera, serta 47,4% dari berbagai penyakit hati yang
dirawat.3 Sirosis hati dapat disebabkan oleh banyak hal. Penyebabnya antara lain
adalah penyakit infeksi, penyakit keturunan dan metabolik, obat-obatan dan
toksin. Di negara barat penyebab terbanyak sirosis hepatis adalah konsumsi
alkohol, sedangkan di Indonesia terutama disebabkan oleh virus hepatitis B
maupun C.4
Terdapat beberapa karakteristik patologis yang umum pada banyak kasus
sirosis hati walaupun penyebab penyakit ini multifaktorial. Karakteristik tersebut
antara lain degenerasi dan nekrosis hepatosit, perubahan jaringan parenkim hati
menjadi jaringan fibrosis dan nodul – nodul regeneratif, serta hilangnya fungsi
hati.5 Terapi yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi progresivitas penyakit,
menghindarkan bahan-bahan yang dapat menambah kerusakan hati, pencegahan
serta penanganan komplikasi. Penanganan sirosis hati memerlukan kerjasama tim
medis, pasien, keluarga, serta lingkungan dalam pengelolaan penyakit ini. Edukasi
terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang
mungkin terjadi akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan, serta
diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas hidup penderita.6
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hati


Hati merupakan organ kelenjar paling berat dalam tubuh dengan berat
sekitar 1,4 kg pada orang dewasa, diperkirakan 1/50 dari berat badannya,
sedangkan pada bayi diperkirakan 1/8 berat badan bayi. Dari semua organ dalam
tubuh, hati merupakan organ dengan ukuran terbesar kedua setelah kulit.
Sebagian besar hati berada pada regio hipokondrium kanan dan epigastrium
rongga abdomen, serta bisa mencapai regio hipokondrium kiri.7 Permukaan atas
hati terletak bersentuhan dibawah diafragma, permukaan bawah terletak
bersentuhan diatas organ-organ abdomen. Batas atas hepar sejajar dengan ruang
interkosta V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga
VIII kiri.8
Terdapat dua lobus hati yaitu lobus kiri dan lobus kanan. Pada orang

dewasa lobus kanan 6 kali lebih besar daripada lobus kiri. Lobus kanan dan lobus
kiri dipisahkan oleh ligamentum falsiformis. Pada bagian inferior terdapat fisura
untuk ligamentum teres dan pada bagian posterior terdapat fisura untuk
ligamentum venosum. Hati dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang dinamakan
kapsul glisson dan dibungkus peritorium pada sebagian besar keseluruhan
permukaanya.7

Gambar 2.1. Anatomi Hati


Sumber: Netter, 2011.
2.1.2. Fungsi Hati
Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. Organ ini
penting bagi sistem pencernaan untuk sekresi empedu. Hati menghasilkan
empedu sekitar satu liter per hari, yang diekskresi melalui duktus hepatikus kanan
dan kiri yang kemudian bergabung membentuk duktus hepatikus komunis. Selain
sekresi empedu, hati juga melakukan berbagai fungsi lain mencakup hal-hal
berikut :
1. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak,
protein) setelah penyerapan mereka dari saluran cerna.
2. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan
senyawa asing lainnya.
3. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein-protein yang penting
untuk pembekuan darah serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid dan
kolesterol dalam darah.
4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga dan banyak vitamin.
5. Pengaktifan vitamin D, yang dilaksanakan oleh hati bersama dengan ginjal.
6. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang usang.
7. Ekskresi kolesterol dan bilirubin, yang merupakan produk penguraian yang
berasal dari pemecahan sel darah merah yang sudah usang.

Hati merupakan komponen sentral sistem imun. Tiap-tiap sel hati atau
hepatosit mampu melaksanakan berbagai tugas metabolik diatas, kecuali
aktivitas fagositik yang dilaksanakan oleh makrofag residen atau yang lebih
dikenal sebagai sel Kupffer. Sel Kupffer, yang meliputi 15% dari massa hati serta
80% dari total populasi fagosit tubuh, merupakan sel yang sangat penting dalam
menanggulangi antigen yang berasal dari luar tubuh dan mempresentasikan
antigen tersebut kepada limfosit.8,9

2.2. Sirosis Hati


2.2.1. Definisi
Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi
dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi
akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit
jaringan ikat, distorsi jaringan vascular, dan regenerasi nodularis parenkim hati.10
7

2.2.2. Epidemiologi
Lebih dari 40% pasien sirosis asimtomatis. Pada keadaan ini sirosis
ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsi.
Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 360 per
100.000 penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik
maupun infeksi virus kronik. Hasil penelitian lain menyebutkan 4% pasien
perlemakan hati akan mengakibatkan steatohepatitis nonalkoholik, serta 0,3%
pasien tersebut berakhir mengalami sirosis hati. Prevalensi sirosis hati akibat
steatohepatitis alkoholik dilaporkan 0,3% juga.10
Sirosis berada pada urutan ke-14 sebagai penyebab kematian terbanyak di
seluruh dunia, menyebabkan 1,03 juta kematian per tahun di seluruh dunia,
170.000 kematian per tahun di Eropa, dan 33.539 kematian per tahun di Amerika
Serikat.2 Prevalensi sirosis hati yang dirawat di ruang rawat Penyakit Dalam
adalah sekitar 3,6% - 8,4% di Jawa dan Sumatera, serta 47,4% dari berbagai
penyakit hati yang dirawat. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis
hati berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam
kurun waktu 1 tahun. Di Medan, dalam kurun waktu 4 tahun, dijumpai pasien
sirosis hati sebanyak
819 kasus (4%) dari seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam.3,10

2.2.3. Klasifikasi
Secara konvensional sirosis hati dibagi menjadi:10
1. Makronodular, dengan besar nodul lebih dari 3 mm.
2. Mikronodular, dengan besar nodul kurang dari 3mm.
3. Campuran mikro dan makronodular.

Secara klinis sirosis hati dibagi menjadi:10,11,12


1. Sirosis hati kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata.
2. Sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik yang
jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik
dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya dapat
dibedakan melalui biopsi hati.
Secara morfologis dan etiologi terbagi atas:

1. Sirosis Alkoholik
Sirosis alkoholik, atau secara historis disebut sirosis Laennec, disebabkan oleh
alkoholisme kronis. Perubahan pertama pada hati yang ditimbulkan alkohol
adalah akumulasi lemak secara bertahap di dalam sel-sel hati (infiltrasi
lemak) dan alkohol menimbulkan efek toksik langsung terhadap hati.
Akumulasi lemak mencerminkan adanya sejumlah gangguan metabolik yang
mencakup pembentukan trigliserida secara berlebihan, menurunnya
pengeluaran trigliserida dari hati dan menurunnya oksidasi asam lemak.10,11,12
Sirosis alkohol memiliki tiga stadium:
1) Perlemakan Hati Alkoholik
Stadium pertama dari sirosis alkohol yang relatif jinak, ditandai oleh
penimbunan trigliserida di hepatosit dan terjadi pada 90% pecandu alkohol
kronis. Alkohol dapat menyebabkan penimbunan trigliserida di hati yang
dapat meluas hingga mengenai lobulus hati. Hati menjadi besar, lunak,
berminyak dan berwarna kuning.10,11,12
2) Hepatitis Alkoholik
Stadium kedua sirosis alkohol dan diperkirakan diderita oleh 20- 40%

pecandu alkohol kronis. Kerusakan hepatosit mungkin disebabkan oleh


toksisitas produk akhir metabolisme alkohol, terutama asetaldehida dan ion
hidrogen.10,11
3) Sirosis Alkoholik

Pada stadium ini, sel hati yang mati diganti oleh jaringan parut. Pita-pita
fibrosa terbentuk dari aktivasi respon peradangan yang kronis dan
mengelilingi serta melilit di antara hepatosit yang masih ada. Peradangan
kronis menyebabkan timbulnya pembengkakan dan edema interstisium yang
membuat kolapsnya pembuluh darah kecil dan meningkatkan resistensi terhadap
aliran darah yang melalui hati yang menyebabkan hipertensi portal dan
asites.10,11
4) Sirosis Pascanekrosis
Sirosis pascanekrosis terjadi setelah nekrosis berbercak pada
jaringan hati, sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi
sebelumnya. Hepatosit dikelilingi dan dipisahkan oleh jaringan parut dengan
kehilangan banyak sel hati dan di selingi dengan parenkim hati normal, biasanya
mengkerut dan berbentuk tidak teratur dan banyak nodul.11
5) Sirosis Biliaris
Penyebab tersering sirosis biliaris adalah obstruksi biliaris pascahepatik.
Statis empedu menyebabkan penumpukan empedu di dalam massa hati dan
kerusakan sel-sel hati. Terbentuk lembar- lembar fibrosa di tepi lobulus, hati
membesar, keras, bergranula halus dan berwarna kehijauan. Ikterus selalu
menjadi bagian awal dan utama dari sindrom ini. Terdapat dua jenis sirosis
biliaris: primer (statis cairan empedu pada duktus intrahepatikum dan gangguan
autoimun) dan sekunder (obstruksi duktus empedu di ulu hati).11
9

2.2.4. Etiologi
Terdapat berbagai macam penyebab yang dapat mengakibatkan sirosis hati,
namun sampai saat ini belum ada penyebab yang pasti. Hal – hal yang sering
disebut menyebabkan sirosis hati:11
 Virus hepatitis B, C, dan D.
 Alkohol.
 Obat-obatan atau toksin.
 Kelainan metabolik: hemokromatosis, penyakit Wilson, defisiensi α1-
antitripsin, diabetes melitus, glikogenosis tipe IV, galaktosemia,
tirosinemia, fruktosa intoleran.
 Kolestasis intra dan ekstra hepatik.
 Gagal jantung dan obstruksi aliran vena hepatika.
 Gangguan imunitas.
 Sirosis biliaris primer dan sekunder.
 Idiopatik atau kriptogenik.

2.2.5. Patogenesis
Tiga mekanisme patologik utama yang berkombinasi untuk menjadi sirosis
adalah kematian sel hati, regenerasi, dan fibrosis progresif. Regenerasi adalah
respons normal pejamu. Dalam kaitannya dengan fibrosis, hati normal
mengandung kolagen interstisium (tipe I, III, dan IV) di saluran porta dan sekitar
vena sentralis, dan kadang – kadang di parenkim. Di ruang antara sel endotel
sinusoid dan hepatosit (ruang Disse) terdapat rangka retikulin halus kolagen tipe
IV. Pada sirosis, kolagen tipe I dan III serta komponen lain matriks ekstrasel
mengendap di semua bagian lobulus dan sel – sel endotel sinusoid kehilangan
fenestrasinya. Juga terjadi pirau vena porta ke vena hepatika dan arteri hepatika ke
vena porta. Proses ini pada dasarnya mengubah sinusoid dari saluran endotel yang
berlubang-lubang dengan pertukaran bebas antara plasma dan hepatosit, menjadi
saluran vascular tekanan tinggi beraliran cepat tanpa pertukaran zat terlarut. Secara
khusus, perpindahan protein (misalnya albumin, faktor pembekuan, lipoprotein)
antara hepatosit dan plasma sangat terganggu. 13
Sumber utama kelebihan kolagen pada sirosis tampaknya adalah sel stelata
perisinusoid penyimpan lemak, yang terletak di ruang Disse. Walaupun secara
normal berfungsi sebagai penyimpan vitamin A dan lemak, sel ini mengalami
pengaktivan selama terjadinya sirosis, kehilangan simpanan retinil ester, dan
berubah menjadi sel mirip miofibroblas. Rangsangan untuk sintesis dan
pengendapan kolagen dapat berasal dari beberapa sumber, yaitu13:
1. Peradangan kronis, disertai produksi sitokin peradangan seperti faktor nekrosis
tumor (TNF), limfotoksin, dan interleukin 1.
2. Pembentukan sitokin oleh sel endogen yang cedera (sel Kupffer, sel endotel,
hepatosit, dan sel epitel saluran empedu.
3. Gangguan matriks ekstrasel.
4. Stimulasi langsung sel stelata oleh sitokin.
Transisi dari penyakit hati kronik menjadi sirosis hati melibatkan proses
inflamasi, aktivasi sel stelata di mana selanjutnya terjadi fibrogenesis, angiogenesis
dan lesi parenkimal yang hilang oleh karena oklusi vaskular. Terjadinya fibrosis
hati menggambarkan ketidakseimbangan antara produksi matriks ekstraselular dan
proses degradasinya. Matriks esktraselular yang merupakan tempat perancah
(scaffolding) normal untuk hepatosit, terdiri dari jaringan kolagen, glikoprotein dan
proteoglikan. Sel-sel stelata yang berada pada ruang perisinusoid berfungsi untuk
memproduksi matriks ekstraselular.14,15
Pada penderita hepatitis C kronik dan sirosis, terjadi peningkatan TGF-1,
yang selanjutnya akan merangsang sel stelata yang aktif untuk memproduksi
kolagen tipe I. Enkapsulasi atau penggantian jaringan yang terluka oleh bekas luka
kolagen inilah yang disebut dengan fibrosis. Peningkatan deposisi kolagen dalam
ruang Disse (ruang antara hepatosit dan sinusoid) dan pengurangan fenestra
endotel akan menimbulkan kapilarisasi sinusoid. Sel-sel stelata yang aktif juga
mempunyai sifat konstriksi. Kapilarisasi dan konstriksi oleh sel-sel stelata dapat
memacu hipertensi portal.15 Dengan terjadinya hipertensi portal, aliran balik dan
statis substansi vasodilator berupa nitric oxide mulai terakumulasi. Vasodilatasi
dari arteri splanchnic mengubah hemodinamika dalam mikrosirkulasi splanchnic.
Arus masuk darah arteri yang cepat dan tinggi ke dalam mikrosirkulasi splanchnic
adalah faktor utama yang meningkatkan tekanan hidrostatik pada kapiler
splanchnic yang menyebabkan produksi splanchnic limfatik berlebihan akibat
kembalinya aliran getah bening. Kebocoran cairan pada kelenjar getah bening dari
hati dan organ splanchnic lainnya merupakan mekanisme terakumulasi cairan di
rongga abdomen. Retensi natrium dan retensi ginjal terus-menerus menyebabkan
pembentukan asites.16
Selain infeksi oleh virus hepatitis B dan C, alkohol merupakan salah satu
penyebab yang paling sering ditemukan pada penderita sirosis hepatis. Etanol yang
terdapat pada alkohol diserap paling banyak di usus halus, dan sedikit diserap oleh
lambung. Gastric alcohol dehydrogenase (ADH) menginisiasi metabolisme
alkohol. Terdapat 3 sistem enzim yang berkerja dalam proses metabolisme alkohol
di hati, yaitu ADH sitosolik, microsomal ethanol oxidizing system (MEOS) dan
peroksisomal katalase. Oksidasi etanol paling banyak terjadi melalui sistem ADH,
11
untuk membentuk asetaldehid, di mana asetaldehid merupakan molekul yang
sangat reaktif yang dapat menimbulkan beberapa efek. Kemudian asetaldehid
dimetabolisme menjadi asetal oleh aldehid dehidrogenase (ALDH). Asupan dari
etanol meningkatkan akumulasi intraselular dari trigliserida dengan meningkatkan
serapan dari asam lemak dan dengan menurunkan oksidasi asam lemak serta
sekresi lipoprotein. Sintesis protein, glikosilasi dan sekresi terganggu.17,18
Kerusakan oksidatif terhadap membran hepatosit terjadi oleh karena
pembentukan reactive oxygen species (ROS), yaitu asetaldehid. Asetaldehid adalah
molekul yang sangat reaktif yang berkombinasi dengan protein untuk membentuk
protein-acetaldehyde adducts. Dengan adanya hepatosit yang rusak yang
dimediasi oleh asetaldehid, reactive oxygen species tertentu dapat mengaktivasi sel
Kupffer. Sebagai hasilnya, sitokin profibrogenik diproduksi di mana akan
menginisiasi dan menyebabkan aktiviasi sel stelata secara terus menerus,
dengan hasil produksi
berupa kolagen yang berlebihan dan matriks ekstraselular. Jaringan ikat terdapat
pada kedua zona periportal dan perisentral, yang dimana akhirnya
menyambungkan trias portal dengan vena sentral membentuk nodul-nodul
regeneratif. Kehilangan sel-sel hepatosit terjadi, dan dengan peningkatan produksi
dan deposit dari kolagen serta dengan destruksi dari hepatosit yang terus menerus
terjadi, hati berkontraksi dan ukurannya menyusut. Proses ini umumya memakan
waktu bertahun-tahun untuk terjadi.17,18

2.2.6. Manifestasi Klinis


Gejala awal sirosis sering asimtomatis sehingga kadang ditemukan pada
waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan
penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan
lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan
menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada
membesar, serta hilangnya gairah seksualitas. Bila sudah lanjut (dekompensata),
gejala-gejala lebih menojol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan
hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak
begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan
gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih seperti teh pekat,
muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar
berkonsentrasi, bingung, agitasi, hingga koma.10
Sesuai dengan Konsensus Baveno IV, sirosis hati dapat diklasifikasikan
menjadi empat stadium klinis, sebagai berikut:15
Tabel 2.1. Klasifikasi Konsensus Baveno IV
Stadium Tanda Klinis
Stadium 1 Tidak ada varises, tidak ada asites
Stadium 2 Varises, tanpa asites
Stadium 3 Asites, dengan atau tanpa varises
Stadium 4 Perdarahan dengan atau tanpa asites
Stadium 1 dan 2 dimasukkan dalam kelompok sirosis kompensata, sementara
staiudm 3 dan 4 dimasukkan dalam kelompok sirosis dekompensata.

2.2.7. Diagnosis
Sirosis sering dikatakan penyakit diam karena pasien tidak menunjukkan
gejala sampai fase dekompensata. Oleh karena itu pada anamnesis harus
ditanyakan tentang faktor risiko yang mempengaruhi pasien sirosis. Kuantitas dan
durasi konsumsi alkohol merupakan faktor penting dalam diagnosis awal sirosis.
Faktor risiko yaitu transmisi hepatitis B dan C (misalnya, kelahiran di daerah
endemis, risiko paparan sejarah seksual, intranasal atau penggunaan obat intravena,
tindik tubuh atau tato, kontaminasi dengan darah atau cairan tubuh), serta riwayat
transfusi dan riwayat pribadi atau keluarga terhadap penyakit autoimun atau hati.19
Sirosis fase kompensata bermanifestasi anoreksia dan penurunan berat

badan, kelemahan, kelelahan, dan bahkan osteoporosis sebagai akibat dari


malabsorpsi vitamin D dan kekurangan kalsium. Sedangkan fase dekompensata
dapat mengakibatkan komplikasi seperti asites, peritonitis bakteri spontan,
ensefalopati, dan varises hipertensi portal.19,20 Kebanyakan pasien dengan sirosis
menyebabkan terjadinya asites. Temuan fisik yang paling berguna dalam
mengkonfirmasi adanya asites adalah shifting dullness pada perkusi. Tanda lain
yang sering ditemukan adalah vascular spider (spider angiomata, spider
telangiectasias) adalah lesi vaskular yang biasanya ditemukan pada badan, wajah,
dan ekstremitas atas. Meskipun patogenesis vascular spider belum jelas, namun
diyakini bahwa kehadirannya pada pria dikaitkan dengan peningkatan rasio
estradiol dan testosteron bebas. Vascular spider tidak spesifik untuk sirosis, dimana
juga terjadi selama kehamilan dan pada pasien dengan malnutrisi berat. Jumlah dan
ukuran dari vascular spider telah terbukti berkorelasi dengan tingkat keparahan
penyakit hati kronis.19 Tanda – tanda yang dapat ditemukan dalam pemeriksaan
fisik antara lain:10
13

1 . Spider telangiektasi,
suatu lesi vascular yang dikelilingi beberapa vena – vena kecil. Tanda ini
sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya tidak
diketahui, ada anggapan dikaitkan dengan peningkatan rasio estradiol/testosterone
bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan selama hamil, malnutrisi berat, bahkan
ditemukan pula pada orang sehat, walau umumnya ukuran lesi keci

2. Eritema palmaris,
Yaitu warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Hal ini juga
dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormone estrogen. Tanda ini juga tidak
spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artritisreumatoid,
hipertiroidisme, dan keganasan hematologi.
3. Muchrche,
Yaitu perubahan pada kuku-kuku berupa pita putih horizontal dipisahkan
dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui diperkirakan
akibat hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi
hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom nefrotik.
4. Jari gada
yang sering ditemukan pada sirosis bilier yaitu osteoartropati hipertrofi
suatu periostitis proliferative kronik, menimbulkan nyeri.
5. Kontraktur Depuytren,
akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontraktur fleksi jari – jari
berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan dengan
sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pada pasien diabetes melitus, distrofi
refleks simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi alkohol.
6. Ginekomastia
secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae pada
laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu, ditemukan
juga hilangnya rambut dada dan aksila pada laki-laki, sehingga megalami perubahan
kea rah feminisme. Kebalikannya, pada perempuan menstruasi cepat berhenti
sehingga dikira fase menopause.
7. Atrofi testis
hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertil. Tanda ini menonjol pada
sirosis alkoholik dan hemokromatosis.

8. Hepatomegali, bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular.
9. Splenomegali
Sering ditemukan terutama pada sirosis dengan penyebab nonalkoholik.
Pembesaran ini dikaitkan dengan kongesti pulpa merah lien karena hipertensi porta.
10. Asites,
penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi porta dan
hipoalbuminemia.
11. Caput medusa, juga terjadi akibat hipertensi porta.
12. Fetor hepatikum,
Yaitu bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan
konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan porto sistemik yang berat.
13. Ikterus,
pada kulit dan membrane mukosa akibat hiperbilirubinemia. Bila konsentrasi
bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tidak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh.
14. Asterixis
bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepak-ngepak dari tangan,
dorsofleksi tangan.

Tanda-tanda lain yang dapat menyertai diantaranya:


a. Demam yang tidak tinggi akibat nekrosis hepar.
b. Batu pada vesika felea akibat hemolisis
c. Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini akibat
sekunder infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.

Ketika curiga atau teridentifikasi adanya kelainan hati, pemeriksaan fungsi


hati, hitung darah lengkap (CBC) dengan trombosit, dan tes waktu protrombin
harus dilakukan. Pemeriksaan umum fungsi hati termasuk enzim serum aspartate
transaminase (AST), alanine transaminase (ALT), alkaline phosphatase, dan g-
glutamyl- transferase; bilirubin serum total, direk, and indirek; dan albumin serum.
ALT dianggap merupakan tes skrining yang paling efektif untuk mengidentifikasi
kerusakan hati metabolik atau diinduksi obat, tapi seperti tes fungsi hati lainnya,
tes tersebut terbatas dalam memprediksi tingkat peradangan dan dalam
memperkirakan keparahan fibrosis. Satu studi menemukan bahwa jumlah
trombosit kurang dari
160.000 per mm3 memiliki sensitivitas 80% untuk mendeteksi sirosis pada pasien
dengan hepatitis C kronis.19,21
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk mendiagnosa sirosis
hepatis adalah:19
15

Tabel 2.2. Pemeriksaan Laboratorium pada Diagnosis Sirosis Hati


Jenis Pemeriksaan Hasil
Aminotransferase: ALT dan AST Normal atau sedikit meningkat
Alkali fosfatase/ALP Sedikit meningkat
Gamma-glutamil transferase: γGT Korelasi dengan ALP, spesifik khas
akibat alkohol sangat meningkat
Bilirubin Meningkat pada SH lanjut, prediksi
penting mortalitas
Albumin Menurun pada SH lanjut
Globulin Meningkat terutama IgG
Waktu protrombin Meningkat/penurunan produksi faktor
V/VII dari hati
Natrium darah Menurun akibat peningkatan ADH
dan aldosteron
Trombosit Menurun (hipersplenism)
Leukosit dan neutrofil Menurun (hipesplenism)
Anemia Makrositik, normositik dan mikrositik

Pencitraan dengan ultrasonografi (USG), computed tomography (CT) scan,


atau magnetic resonance imaging (MRI) dari hati yang irregular dan nodular serta
dengan gangguan fungsi hati digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis dari sirosis
hepatis. CT scan dan MRI pada umumnya lemah dalam mendeteksi perubahan
morfologi berkaitan dengan sirosis pada fase awal, tapi dapat menunjukkan
nodularitas dan atrofi lobar dan perubahan hipertrofi secara akurat, serta asites dan
varises pada penyakit lanjut. Meskipun MRI kadang-kadang sulit membedakan
antara regenerasi atau nodul displastik dan karsinoma hepatoseluler, namun
merupakan pencitraan terbaik yang digunakan sebagai studi lanjutan untuk
menentukan apakah adanya perubahan bentuk dan ukuran lesi. Pencitraan CT fase
portal dapat digunakan untuk menilai patensi vena portal, meskipun volume dan
arah alirannya tidak dapat ditentukan secara akurat. Meskipun jarang digunakan,
magnetic resonance angiography (MRA) dapat menilai perubahan hipertensi portal
yang termasuk volume aliran dan arahnya, serta trombosis vena porta. Satu studi
melaporkan bahwa MRI dapat secara akurat mendiagnosis sirosis dan memberikan
korelasi dengan beratnya.20,22
Biopsi hati merupakan baku emas untuk diagnosis sirosis hepatis. Sensitivitas dan
spesifisitas untuk diagnosis yang akurat dari sirosis dan berbagai etiologi dari 80
menjadi 100 persen, tergantung pada jumlah dan ukuran sampel histologis dan
metodenya. Pengambilan sampel biopsi hati dilakukan melalui perkutan, transjugular,
laparoskopi, atau dengan biopsy jarum halus. Sebelum prosedur, CBC dengan trombosit
dan waktu pengukuran protrombin harus diperoleh. Pasien harus dianjurkan untuk
menahan diri dari konsumsi aspirin dan obat anti inflamasi non steroid selama 7 sampai
10 hari sebelum biopsi untuk meminimalkan risiko perdarahan.10,19
2.2.8. Tatalaksana
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan
mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan – bahan yang bisa
menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Bilamana
tidak ada koma hepatik, diberikan diet yang mengandung protein 1g/kgBB dan
kalori sebanyak
2.000 – 3.000 kkal/hari.10
Terdapat 3 jenis diet khusus penyakit hati. Hal ini didasarkan pada gejala
dan keadaan penyakit pasien. Jenis diet penyakit hati tersebut adalah diet hati I
(DH I), diet hati II (DH II), diet hati III (DH III). Selain itu pada diet penyakit hati
ini juga menyertakan diet garam rendah I.
1. Diet garam rendah I (DGR I)
Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema, asites dan atau atau
hipertensi berat. Pada pengolahan makanannya tidak menambahkan garam dapur.
Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya. Kadar Natrium pada Diet
garam rendah I ini adalah
200-400 mg Na.
2. Diet hati I (DH I)
Diet Hati I diberikan bila pasien dala keadaan akut atau bila prekoma sudah dapat
diatasi dan pasien sudah mulai mempunyai nafsu makan. Melihat keadaan pasien,
makanan diberikan dalam bentuk cincang atau lunak. Pemberian protein dibatasi
(30 g/hari) dan lemak diberikan dalam bentuk mudah dicerna. Formula enteral
dengan asam amino rantai cabang (Branched Chain Amino Acid /BCAA) yaitu
leusin, isoleusin, dan valin dapat digunakan. Bila ada asites dan diuresis belum
sempurna, pemberian cairan maksimal 1 L/hari.
3. Diet hati II (DH II)
Diet hati II diberikan sebagai makanan perpindahan dari diet hati II kepada pasien
dengan nafsu makannya cukup. Menurut keadaan pasien, makanan diberikan dalam
bentuk lunak / biasa. Protein diberikan 1 g/Kg berat badan dan lemak sedang (20-
25% dari kebutuhan energi total) dalam bentuk yang mudah dicerna. Makanan ini
cukup mengandung energi, zat besi, vitamin A & C, tetapi kurang kalsium dan
tiamin. Menurut beratnya retensi garam atau air, makanan diberikan sebagai diet
hati II rendah garam. Bila asites hebat dan diuresis belum baik, diet mengikuti pola
Diet Rendah garam I.
4. Diet hati III (DH III)
Diet hati III diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet Hati II atau kepada
pasien hepatitis akut (hepatitis Infeksiosa/A dan hepatitis serum/B) dan sirosis hati
17
yang nafsu makannya telah baik, telah dapat menerima protein, lemak, mineral dan
vitamin tapi tinggi karbohidrat.23
Tatalaksana pasien sirosis yang kompensata ditujukan untuk mengurangi
Progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujuan untuk menghilangkan etiologi,
diantaranya:10
1. Alkohol dan bahan – bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati
dihentikan penggunaannya.
2. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat
kolagenik.
3. Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau imunosupresif.
4. Pada hemokromatosis flebotomi, setiap minggu sampai konsentrasi besi
menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
5. Pada penyakit hati nonalkoholik, menurunkan berat badan dapat
mencegah terjadinya sirosis.

6. Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida)


merupakan terapi utama.
a. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap
hari selama 1 tahun, namun pemberian lamivudine setelah 9 – 12 bulan
menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat.
b. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, 3 kali seminggu
selama 4 – 6 bulan, namun ternyata juga banyak yang kambuh.
7. Pada hepatitis C kronis, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan
terapi standar.
a. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5
MIU 3 kali seminggu
b. Ribavirin 800 – 1.000 mg/hari selama 6 bulan.
8. Pada pengobatan fibrosis hati, pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah pada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Pengobatan untuk
mengurangi aktivasi dari sel stelata bisa merupakan salah satu pilihan.
a. Interferon mempunyai aktivitas antifibrotik yang dihubungkan dengan
pengurangan aktivasi sel stelata.
b. Kolkisin memiliki efek antiperadangan dan mencegah pembentukan
kolagen, namun belum terbukti dalam penelitian sebagai antifibrosis dan
sirosis.
c. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan sebagai antifibrosis. d. Obat –
obatan herbal juga sedang dalam penelitian.
Interferon tidak boleh diberikan pada pasien dengan karakteristik:23
1. Pasien sirosis dekompensata.
2. Pasien dengan gangguan psikiatri.
3. Pasien yang sedang hamil.
4. Pasien dengan penyakit autoimun aktif.

Pengobatan sirosis hati dekompensata:10


1. Asites
a. Tirah baring.
b. Diet rendah garam.
c. Diuretik
 Spironolakton dengan dosis 100 – 200 mg 1 kali sehari. ii. Respons diuretik
bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari tanpa adanya edema
kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki.

 Bila tidak adekuat, bisa dikombinasi dengan furosemide 20-40 mg/hari.


Pemberian furosemide bisa ditambah dosisnya bisa tidak ada respons, maksimal
dosisnya 160 mg/hari.

d. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa 4 – 6


liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
2. Ensefalopati hepatik
a. Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan amonia.
b. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil amonia
c. Diet protein dikurangi sampai 0,5 g/kgBB/hari, terutama diberikan yang
kaya asam amino rantai cabang.
3. Varises esophagus
a. Sebelum berdarah dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat
beta blocker (propranolol).
b. Waktu perdarahan akut bisa diberikan preparat somatostatin atau okreotid,
diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligase endoskopi.
4. Transplantasi hati
a. Terapi definitif pada pasien sirosis dekompensata.
Secara lebih ringkas, pengobatan pada sirosis dengan komplikasi disajikan di
dalam. Tabel 2.3.:8
19

Tabel 2.3. Pengobatan Sirosis dengan Komplikasi


Komplikasi Terapi Dosis
Asites Tirah baring
Diet rendah garam 5,2 gr atau 90 mmol/hari
Obat antidiuretik: diawali 100-200 mg sekali sehari
spironolakton, bila respon maks 400 mg
tidak adekuat dikombinasi
Furosemide 20-40 mg/hari, maks 160
mg/hari
Parasintesis bila asites 8-10 g IV per liter cairan
sangat besar 4-6 L dan parasintesis (jika >5L)
dilindungi pemberian
Albumin
Restriksi cairan Direkomendasikan jika
natrium serum kurang dari
120-125 mmol/L
Ensefalopati Laktulosa 30-45 mL sirup oral 3-4
Hepatikum kali/hari atau 300 mL enema
sampai 2-4 kali BAB/hari
dan perbaikan status mental.
Neomisin 4-12 g oral/hari dibagi tiap
6-8 jam;dapat ditambahkan
pada pasien yang refrakter
Glukosa
Varises Propanolol 40-0 mg oral 2 kali/hari
Esofagus Isosorbid mononitrat 20 mg oral 2 kali/hari
Saat perdarahan akut
diberikan somastatin atau
okreotid diterruskan
skleroterapi atau ligasi
endoskopi
Peritonitis Pasien asites dengan
Bakterial jumlah sel PMN >250/mm3
Spontan mendapat profilaksis untuk
mencegah PBS dengan
sefotaksim dan Albumin
Albumin 2 g IV tiap 8 jam
1,5 g/kg IV dalam 6 jam, 1
g/kg IV hari ke 3
Norfloksasin 400 mg oral 2 kali/hari
untuk terapi, 400 mg oral 2
kali/hari untuk perdarahan
gastrointestinal, 400 mg oral
per hari untuk profilaksis
Trimethoprim/ 1 tablet oral/ hari selama 7
sulfamethoxazole hari untuk perdarahan
gastrointestinal
Hepatorenal Transjugular intra hepatic portosystemic shunt efektif
Syndrome menurunkan hipertensi porta dan memperbaiki HRS serta
(HRS) menurunkan perdarahan gastrointestinal. Bila terapi medis
gagal dipertimbangkan transplantasi hati merupakan definitif.
2.2.9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sirosis hati:
1. Perdarahan varises esofagus
Perdarahan varises esofagus merupakan komplikasi serius yang sering terjadi
akibat hipertensi portal. Dua puluh sampai 40% pasien sirosis dengan varises
esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan. Angka kematiannya sangat tinggi,
sebanyak duapertiganya akan meninggal dalam waktu satu tahun walaupun
dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini dengan beberapa cara.10
2. Ensefalopati hepatikum
Disebut juga koma hepatikum. Merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat
disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia),
selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang
berlanjut sampai koma. Timbulnya koma hepatikum akibat yang sudah sangat
rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali.10
3. Peritonitis bakterialis spontan
Peritonitis bakterialis spontan yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri
tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala,
namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.10
4. Sindrom hepatorenal
Keadaan ini terjadi pada penderita penyakit hati kronik lanjut, ditandai oleh
kerusakan fungsi ginjal dan abnormalitas sirkulasi arteri menyebabkan
vasokonstriksi ginjal yang nyata dan penurunan GFR. Dan dapat terjadi gangguan
fungsi ginjal akut berupa oliguri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya
kelainan organik ginjal.10
5. Karsinoma hepatoseluler
Karsinoma hepatoseluler berhubungan erat dengan 3 faktor yang dianggap
merupakan faktor predisposisinya yaitu infeksi virus hepatitis B kronik, sirosis
hati dan hepatokarsinogen dalam makanan. Meskipun prevalensi dan etiologi
dari sirosis berbeda- beda di seluruh dunia, namun jelas bahwa di seluruh negara,
karsinoma hepatoseluler sering ditemukan bersama sirosis, terutama tipe
makronoduler.10
6. Asites
Penderita sirosis hati disertai hipertensi portal memiliki sistem pengaturan volume
cairan ekstraseluler yang tidak normal sehingga terjadi retensi air dan natrium.
Asites dapat bersifat ringan, sedang dan berat. Asites berat dengan jumlah cairan
21
banyak menyebabkan rasa tidak nyaman pada abdomen sehingga dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari.10

2.2.10. Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor,
meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang
menyertainya. Salah satu system skoring yang digunakan adalah kriteria
Child- Turcotte-Pugh. Kriteria Child-Turcotte-Pugh merupakan modifikasi dari
kriteria Child-Pugh, dan telah banyak digunakan oleh para ahli hepatologi saat ini.
Kriteria ini digunakan untuk mengukur derajat kerusakan hati dalam menegakkan
prognosis kasus-kasus sirosis hepatis.10

Tabel 2.5. Kriteria Child-Turcotte-Pugh10


Nilai
Parameter 1 2 3
Ensefalopati Tidak ada Terkontrol dengan Kurang terkontrol
terapi
Asites Tidak ada Terkontrol dengan Kurang terkontrol
Terapi
Bilirubin (mg/dL) <2 2-3 >3
Albumin (g/L) >3,5 2,8-3,5 <2,8
INR <1,7 1,7-2,2 >2,2

Keterangan:
Child-Turcotte-Pugh A: 5-6 poin (prognosis baik: angka kesintasan 1 dan
2 tahun pertama= 100% dan 85%)
Child-Turcotte-Pugh B: 7-9 poin (prognosis sedang: angka kesintasan
1 dan 2 tahun pertama= 81% dan 60%)
Child-Turcotte-Pugh C: 10-15 (prognosis buruk: angka kesintasan 1 dan 2
tahun pertama= 45% dan 35.
BAB III

KESIMPULAN
23

DAFTAR PUSTAKA

1. Schuppan D, Afdhal NH. Liver Cirrhosis. The Lancet. 2008 Mar


14;371(9615):838-51.
2. Tsochatzis EA, Bosch J, Burroughs AK. Liver cirrhosis. The Lancet. 2014
May 23;383(9930):1749-61.
3. Kusumobroto HO. Sirosis Hati. Dalam: Sulaiman HA, Akbar HN,
Lesmana LA, Noer HM, editor. Buku Ajar Penyakit Hati. Jakarta:
Jayabadi. 2007. hlm:335.
4. Sudoyo WA, et al, editor. Buku Ajar Penyakit Dalam, Edisi ke 5, Jilid I.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. hlm: 668.
5. Zhou WC, Zhang QB, Qiao L. Pathogenesis of liver cirrhosis. World
Journal of Gastroenterology: WJG. 2014 Jun 21;20(23):7312.
6. Budhiarta DM. Penatalaksanaan dan Edukasi Pasien Sirosis Hati dengan
Varises Esofagus di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2014. E-Journal
Medika. Juli 2016;5(7):1-5.
7. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. USA:
John Wiley & Sons Co. 2009.p:945.
8. Amirudin R. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam: Sudoyo WA, Setiyohadi
th
B, Alwi I, et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. 5 Ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2009.
hlm: 627-33.
th
9. Sherwood L. Fisiologi Manusia. 8 Ed. Jakarta: EGC. 2014
10. Nurdjanah S. Sirosis Hati. Dalam: Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, et
th
al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. 5 Ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2009. hlm: 668-72.
11. Daniel K, Issekbacher. Penyakit Hati Yang Berkaitan Dengan Alkohol
Dan Sirosis. Harrison: Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13.
Jakarta : EGC. 2012.hlm:1665-9.
12. Sylvia A, Price, Lorraine M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2003.hlm:494-5.
th
13. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Volume 2. 7 Ed.
Jakarta: EGC. 2007. hlm: 671-2.
14. Tsochatzi EA, Bosch J, Burroughs AK. Liver cirrhosis. 2014 Jan21. [cited
2017 August 14]. Available from: http://news.medlive.cn/uploadfil
e/20140326/13958054684195.pdf
15. Kusumobroto HO. Buku ajar ilmu penyakit hati. In: Sulaiman HA, Akbar
HN, Lesmana LA. Noer HM, editors. Sirosis hati. 1st ed. Jakarta: Sagung
Seto;2012.p.348-349.
16. Moore CM, Thiel DH. Cirrhotic ascites review: pathophysiology,
diagnosis and management. 2013 May27. [cited 2017 August
14];5(5):251-263. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC366 4283 /#B17
17. Kasper, Fauci, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Cirrhosis and its
complications. In: Bacon RB, editor. Harrison’s principle of internal
medicine.19th ed. United States: McGraw-Hill Education; 2012.p.2058-
2059.
18. 19. Lombard C. Pathology of cirrhosis. Stanford University. [cited 2017
August 14].Available from:http://med.stanford.edu/irt/edtech /video/fall
2015auth/html/pdf/inde222-10-02-2015-09-lect-Lombard-1.pdf
19. Heidelbaugh JJ, Bruderly M. Cirrhosis and Chronic Liver Failure: Part I.
Diagnosis and Evaluation. 2006 Sept [cited 2017 June 2]; 74(5): 756-762.
Available from: www.aafp.org/afp
20. Runyon BA, Gores G, Talwalkar JA. Chirrocis. National Institute of
Diabetes and Digestive and Kidney Disease. 2014 March [cited 2017 June
2];14: 1-14. Available from: https://www.niddk.nih.gov/health-
information /liver-disease/cirrhosis.
21. Dufour DR, Lott JA, Nolte FS, Gretch DR, Koff RS, Seeff LB. Diagnosis
and monitoring of hepatic injury. I. Performance characteristics laboratory
tests. Clin Chem. 2000 Dec [cited 2017 June 3];46:2027-49. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11106349
22. Tsochatzis E, Bosch J, Burroughs AK. Liver Cirrhocis. UCL Institute of
Liver and Digestive Health. 2014 Jan [cited 2017 August 14]; 1-10.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/ S0140-6736(14)60121-5
23. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus nasional penatalaksanaan
hepatitis B di Indonesia. PPHI. 2012.

Anda mungkin juga menyukai