Anda di halaman 1dari 41

CASE REPORT

Nonalcoholic Fatty Liver Disease

Disusunoleh:
Michell (406182070)
Nadisa Tiofunda Budiman (406182071)
Ravenska Theodora (406182072)
Joshua KurniaTandi (406182073)
Ario Lukas (406182074)

Pembimbing:
dr. Shofiatul M., Sp.Rad
dr. Syarifah S., Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PERIODE 11 MARET 2019 – 14 APRIL 2019
LEMBAR PENGESAHAN

Nama (NIM) : Michell (406182070)


Nadisa Tiofunda Budiman (406182071)
Ravenska Theodora (406182072)
Joshua KurniaTandi (406182073)
Ario Lukas (406182074)
Universitas : Fakultas Kedokteran Tarumanagara
Judul : Nonalcoholic Fatty Liver Disease
Bagian : IlmuRadiologi RSUD Ciawi
Pembimbing : dr. Shofiatul M., Sp.Rad
dr. Syarifah S., Sp.Rad

Ciawi,26 Maret 2019

i
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
2. ISI .............................................................................................................. 1
2.1. Anatomi .............................................................................................. 1
2.1.1. Definisi Dan Etiologi............................................................... 6
2.1.2. Epidemiologi............................................................................ 7
2.1.3. Patofisiologi............................................................................. 8
2.1.4. Manifestasi Klinis.................................................................... 12
2.1.5. Diagnosis................................................................................. 14
2.1.6. Radiologi................................................................................. 17
2.1.7. Tatalaksana.............................................................................. 33
3. KESIMPULAN ........................................................................................ 36
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 37

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) atau perlemakan hati adalah


penyakit metabolik yang umum di masyarakat Indonesia. Penyakit ini didasari
terutama dari pola hidup yang tidak sehat, seperti makan makanan yang berlemak atau
kurang berolahraga. Penyakit NAFLD akan menurunkan fungsi kerja hati dalam
proses metabolisme tubuh. Patofisiologi NAFLD didasari pada 2-hit hypothesis,
walaupun sebenarnya mekanisme dari NAFLD belum dapat dipahami sepenuhnya.
Penyakit ini dapat bersifat kronis, dan bisa berlanjut menjadi penyakit hepar lain yang
lebih serius, bahkan dapat memengaruhi organ tubuh lainnya.
Sebuah studi populasi mendapatkan hasil prevalensi NAFLD sebesar 30,6%
di Indonesia. Faktor risiko yang utama dari NAFLD ini adalah sindrom metabolik,
seperti diabetes mellitus (DM), obesitas, dan hipertrigliseridemia. Penyakit ini dapat
terjadi dari berbagai jenjang usia, namun insiden NAFLD meningkat di populasi
lanjut usia. Meski begitu, belum banyak penelitian yang dilakukan mengenai NAFLD
di Indonesia.
Tim peneliti menemukan banyak kasus perlemakan hati selama menjalani
Kepaniteraan Klinik di bagian Radiologi RSUD Ciawi. NAFLD dapat ditemukan
melalui pemeriksaan ultrasound (USG). Hal ini membuat tim peneliti tertarik untuk
mempelajari lebih dalam lagi tentang NAFLD. Diharapkan dari case report ini, dapat
menambah keilmuan demi kemajuan kesehatan masyarakat Indonesia, khususnya di
daerah Ciawi.

iii
BAB II
ISI

ANATOMI
Hepar adalah kelenjar sekaligus organ terbesar di dalam tubuh. Pada fetus
yang matur, hepar lebih besar dua kali lipat ketika bertindak sebagai organ
hematopoetik. Semua nutrien dalam tubuh (kecuali lemak) yang diabsorbsi sistem
pencernaan akan dialirkan ke hepar lewat sistem vena porta. Hepar juga menyimpan
glikogen dan menyekresi empedu untuk emulsifikasi lemak. Empedu keluar dari
hepar lewat duktus biliaris hepatika dan menyatu menjadi duktus hepatika komunis.
Hepar akan terus memproduksi empedu, namun di antara waktu makan, empedu akan
disimpan di kantung empedu.1
Hepar berada di rongga abdomen kanan atas, dilindungi oleh tulang-tulang iga
torakal dan diafragma. Batas hepar normal berada di antara iga ke-7 sampai ke-11 di
sisi kanan dan melintasi garis tengah ke arah puting kiri. Hepar hampir mengisi penuh
regio hipokondrium kanan dan epigastrium yang memanjang hingga hipokondrium
kiri. Letak hepar lebih rendah ketika berdiri karena pengaruh gaya gravitasi.1
Hepar memiliki facies diafragmatica yang konveks dan facies visceralis yang
relatif datar bahkan konkaf, keduanya dipisahkan di anterior dengan tepi inferior
tajam di batas iga kanan. Facies diafragmatica hepar rata dan berbentuk kubah,
berhubungan dengan kelengkungan permukaan inferior diafragma.1

1
Ressesus subfrenikus, perpanjangan kavitas peritoneal bagian superior, berada
diantara diafragma dan Facies diafragmatica hepar bagian anterior dan superior.
Ressesus subfrenikus kanan dan kiri dipisahkan oleh ligamentum falciforme, yang
memanjang diantara hepar dan dinding abdomen anterior. Ruang kompartemen
suprakolik dari kavitas peritoneal yang berada di bawah hepar dinamakan ruang
subhepatik.1
Ressesus hepatorenal (kantung Morison) adalah perpanjangan posterosuperior
dari ruang subhepatik, berada di antara facies visceralis bagian kanan dan ginjal kanan
serta kelenjar suprarenal. Ressesus hepatorenal sangat bergantung pada gaya gravitasi
pada posisi supinasi, dimana drainase cairan dari bursa omentum mengalir ke ressesus
ini. Ressesus hepatorenal berhubungan dengan ressesus subfrenikus di anterior.1
Facies diafragmatica hepar dilapisi peritoneum viseral, kecuali bagian
posterior yang dinamakan bare area of the liver, yang berhubungan langsung dengan
diafragma. Bare area dibatasi oleh refleksi dari peritoneum dari diafragma sampai
lapisan anterior dan posterior dari ligamen koronarium. Lapisan-lapisan ini akan
bertemu di sisi kanan membentuk ligamen triangulare dextra. Di dekat ujung hepar,
lapisan anterior dan posterior dari bagian kiri ligamentum coronarium akan bertemu
membentuk ligamentum triangulare sinistra.1
Facies visceralis hepar juga dibungkus dengan peritoneum viseralis, kecuali
pada fossa kantung empedu dan porta hepatis (fissura transversal dimana vena porta
hepatika, arteri hepatika, pembuluh limfe, pleksus saraf hepar, dan duktus hepar yang
menyuplai dan mendrainase hepar keluar masuk hepar). Facies visceralis hepar
memiliki permukaan yang banyak fissuranya dan impresi karena kontak dengan
organ-organ lain.1
Dua fissura yang terletak sagital terhubung di tengah oleh porta hepatis,
membentuk huruf H di facies visceralis. Fissura sagitalisdextra adalah garis yang
terbentuk di anterior oleh fossa kantung empedu dan oleh lekukan vena cava di
posterior. Fissura sagitalis sinistra (umbilikal) adalah garis yang terbentuk oleh fissura
untuk ligamentum teres hepatisdi anterior dan oleh fissura untuk ligamentum
venosum di posterior. Ligamentum teres hepatis adalah sisa fibrosa dari vena
umbilikal, yang membawa darah kaya oksigen dan nutrien dari plasenta ke fetus.
Ligamentum venosum adalah sisa fibrosa dari dari duktus venosusfetal, yang
mengalirkan darah dari vena umbilikal ke vena cava inferior.1

2
Impresi-impresi yang terbentuk di Facies visceralis hepar menggambarkan
hubungan hepar dengan beberapa organ, yaitu:
1. Bagian kanan dari lambung anterior (area gaster dan pilorus)
2. Bagian superior dari duodenum (area duodenal)
3. Omentum minus (memanjang ke fissura ligamentum venosum)
4. Kantung empedu (fossa untuk kantung empedu)
5. Fleksura kolik dextra dan kolon transversum dextra (area kolik)
6. Ginjal kanan dan kelenjar suprarenal (area renal dan suprarenal)

Secara eksternal, hepar dibagi menjadi dua lobus anatomis dan dua lobus
aksesorius oleh refleksi dari permukaan peritoneum. Fissuranya terbentuk dari
refleksi tersebut dan dari pembuluh-pembuluh darah untuk hepar dan kantung
empedu. Permukaan tengah ditentukan oleh tempat ligamentum falciforme dan fissura
sagitalis sinistra memisahkan lobus dextra hepar yang lebih besar dari lobus sinistra
hepar yang lebih kecil. Pada facies visceralis, kedua fissura sagitalis berjalan di tiap
sisi dua lobus aksesorius, yaitu lobus quadratus di anterior dan inferior dan lobus
caudatus di posterior dan superior.1

3
Lobus-lobus hepar diperdarahi oleh arteri yang berbeda. Lobus dextra hepar
diperdarahi oleh a. Hepatica dextra yang juga mempercabangkan a. Cystica yang akan
memperdarahi bagian proksimal dari gallbladder, sedangkan lobus sinistra hepar
diperdarahi oleh a. Hepaticasinistra. Kedua arteri ini merupakan cabang dari a.
Hepatica propria. Selain mempercabangkan a. Hepatica dextra dan sinistra, a.
Hepatica propria juga mempercabangkan a. Gastrica dextra. Arteri Hepatica propria
sendiri merupakan salah satu cabang dari a. Hepatica communis, selain a.
Gastroduodenalis. Arteri Hepatica communis merupakan salah satu cabang dari
Truncus Celiacus. Truncus Celiacus juga mempercabangkan a. Gastrica sinistra dan a.
Lienalis pula. Truncus Celiacus merupakan cabang dari aorta abdominalis, selain a.
Mesenterica superior dan inferior. Arteri yang memperdarahi hepar mensuplai 20-
25% darah untuk hepar.1
Untuk vena, vena porta hepatis membawa dan mensuplai 75-80% darah
menuju ke hepar. Darah di dalam vena porta memiliki tingkat oksigen 40% lebih
banyak daripada darah yang kembali ke jantung dari sirkulasi sistemik. Vena porta
hepatica juga membawa semua nutrien yang diserap oleh tubuh, kecuali lipid yang
akan diserap dan melewati liver melalui sistem limfatik. Vena porta hepatica
merupakan vena yang pendek sekitar 7-8 cm, namun lebar dan dibentuk dari v.
Mesenterica superior dan v. Splenica posterior. Vena porta hepatica lalu berhubungan
dengan vena cava inferior yang berada diatasnya. Vena porta hepatica merupakan
salah satu bagian dari trias porta yang terdiri dari Ductus Choledochus, A. Hepatica
propria, dan V. Porta hepatica itu sendiri.1
Vena porta hepatica terdiri dari cabang dextra dan sinistra dan akan menerima
darah yang kaya nutrien terutama berasal dari daerah abdomen, seperti gallbladder,
pankreas, dan juga limpa. Cabang sinistra banyak menerima darah dari v. Splenica,
sebagian besar dari hasil pemecahan sel darah merah dari limpa sedangkan cabang
dextra banyak menerima darah dari v. Mesenterica superior yang berasal dari usus.
Pada bagian cranial hepar, terdapat beberapa vena yang berfungsi untuk mendrainase
darah dari hepar menuju vena cava inferior, terdiri dari v. Hepatica dextra, intermedia,
dan sinistra.1
Hepar sendiri merupakan majorlymph-producing organ, karena sekitar
seperempat sampai setengah dari seluruh nodus limfatikus yang memasuki ductus
thoracicus berasal dari hepar. Pembuluh limfatik hepar terdiri dari pembuluh limfatik
superfisial dan deep, yang sebagan besar terbentuk di dalam ruang perisinusoid

4
(Disse). Drainase limfatik hepar dibagi menjadi bagian anterior dan posterior. Bagian
anterior yang terdiri dari bagian anterior facies diafragma dan fascies visceralis hepar,
serta pembuluh limfa dalam yang menyertai trias portal akan mendrainase menuju
limfonodus hepaticus, lalu menuju limfonudus celiacus, dan berakhir pada
cysternachyli, sebuah kantong pada bagian inferior dari ductusthoracicus.1
Bagian posterior, yang terdiri dari bagian posterior facies diafragma dan facies
visceralis hepar memiliki 2 opsi, didrainase menuju limfonodus phrenicus atau
bergabung bersama pembuluh limfatik dalam yang berjalan bersama v. Hepatica dan
melalui vena cava inferior dan akan terdrainase ke dalam limfonodus mediastinal
posterior dan bagian efferennya akan menuju ductus thoracicus. Selain itu ada
beberapa limfonodus yang mengikuti rute berbeda, diantaranya, limfonodus gastrica
sinistra yang mendrainase bagian permukaan posterior dari lobus sinistra hepar dan
limfonodus parasternal yang mendrainase bagian anterior-sentral dari facies
diafragma sepanjang ligamentum falciforme.1
Persarafan dari hepar diinervasi oleh plexus hepaticus, yang cabang-
cabangnya berjalan bersama cabang-cabang dari a. Hepatica dan v. Porta hepatica
dalam hepar. Plexus ini mengandung serat-serat saraf simpatis dari plexus Celiacus
dan serat-serat saraf parasimpatis dari bagian anterior dan posterior vagal trunks.
Fungsi dari persarafan ini yang telah diketahui adalah vasokonstriksi, selain itu fungsi
lainnya masih belum jelas. Untuk kepentingan bedah, hepar dibagi menjadi 8 segmen
yang berhubungan masing-masing dengan cabang sekunder atau tersier dari trias
portal. Segmen I dimulai dari lobus caudatus, dan segmen II – VIII dinamakan sesuai
dengan arah putaran jarum jam.1

5
DEFINISI
Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) merupakan adanya lemak dalam
sel-sel hati (hepatosit) yang sebagian besar terdiri atas trigliserida melebihi 5% dari
seluruh berat hati. Diagnosis dibuat berdasarkan analisis spesimen biopsi jaringan
hati, yaitu ditemukannya minimal 5-10% sel lemak dari keseluruhan hepatosit.
Dikatakan pula non-alkoholik dengan batasan konsumsi alkohol tidak melebihi
20gram per hari. Spektrum penyakit perlemakan hati ini mulai dari simple steatosis,
nonalcoholic steatohepatitis (NASH), fibrosis dan sirosis hati. NASH merupakan
perlemakan hati pada tingkat yang lebih berat dan berdasarkan penelitian
kemungkinan NAFLD berkembang menjadi NASH sebesar 25%.2

ETIOLOGI
Kondisi yang umumnya berkaitan dengan NAFLD adalah sindrom metabolik,
termasuk diabetes mellitus (DM), obesitas, dan hipertrigliseridemia. Berikut adalah
etiologi dari penyakit fatty liver3:
 Kelainan metabolik didapat
- Diabetes mellitus
- Dyslipidemia
- Kwashiorkor dan marasmus
- Obesitas, dan lain-lain
 Obat-obatan sitotoksik dan sitostatik
- L-asparaginase
- Azacitidine
- Cisplatin
- 5-fluorouracil
- Methotrexate
- Tetracycline
 Obat dan toksin lain
- Amiodarone
- Camphor
- Chloroform
- Cocaine
- Ethanol

6
- Ethylbromide
- Esterogens
- Glucocortidoids
- Griserofulvin
- Nifedipine
- Nitrofurantoin
- NSAIDS
- Tamoxifen
 Kelainan metabolisme bawaan sejak lahir
- Abetalipoproteinemia
- Hepatosteatosis familial
- Galactosemia
- Glycogen storage disease
- Homosistiuria
- Tirosinemia
- Weber-Christian syndrome
- Wilson disease
 Prosedur operasi
 Kondisi-kondisi lain

EPIDEMIOLOGI
Dari banyak penelitian yang dilakukan, nonalcoholic fatty liver disease
(NAFLD) merupakan salah satu penyakit hati kronik yang umum ditemukan di
masyarakat. Prevalensi insiden NAFLD diperkirakan sebesar 20-30% pada negara
Barat, dan 15% pada negara Asia. Di Indonesia, penelitian mengenai perlemakan hati
masih belum banyak. Sebuah studi populasi yang dilakukan oleh Hasan dkk
mendapatkan prevalensi sebesar 30,6%. Penyakit ini dapat terjadi pada semua usia,
namun paling sering dialami pada dekade keempat dan kelima kehidupan.
Berdasarkan pada suatu penelitian yang dilakukan di pinggiran kota Jakarta,
didapatkan prevalensi NAFLD terbanyak pada usia pertengahan (37,2%).2
Prevalensi ini meningkat seiring dengan meningkatnya faktor-faktor risiko
seperti, obesitas, diabetes mellitus (DM), dislipidemia, dan sindrom metabolik. Di
Amerika Serikat sekitar 25% populasi orang dewasa mengalami penyakit ini. Dengan

7
perkiraan 33,8% dengan obesitas dan 10,6% diabetes mellitus (DM) tipe 2.
Diperkirakan 20-30% diantaranya berada dalam fase yang lebih berat.3
Steatohepatitis non alkoholik dapat terjadi pada semua usia, termasuk anak-
anak, meskipun predileksi tertinggi pada usia 40 tahun ke atas. Untuk jenis kelamin,
laki-laki lebih dominan dari berbagai penelitian, meskipun banyak penelitian pula dari
berbagai negara yang menyebutkan bahwa faktor risiko lebih besar pada perempuan,
penelitian menyebutkan bahwa pria memiliki lemak viseral 2 kali lipat daripada
perempuan, dimana lemak viseral profil proinflamasi yang lebih daripada lemak
subkutan dan juga lemak viseral akan melepaskan asam lemak bebas langsung ke
dalam aliran vena porta dan menyebabkan potensi overload pada hepar. Berbagai
macam faktor-faktor risiko lain juga semakin meningkatkan kemungkinan timbulnya
NAFLD.4

 Patofisiologi

Faktor resiko utama yang mencetuskan NAFLD adalah obesitas, diabetes


melitus (DM) tipe 2, sindrom metabolik, dan dislipidemia.5 Day di tahun 1988
mengajukan suatu teori yang dinamakan 2-hit hypothesis yang menyatakan
disregulasi metabolisme asam lemak mengarah ke steatosis, yang berhubungan
dengan beberapa adaptasi selular dan perubahan jalur sinyal yang membuat hepatosit

8
menjadi rentan terhadap hit yang kedua. Hit yang kedua bisa terdiri dari satu atau
beberapa gangguan lingkungan atau genetik yang membuat nekrosis dan inflamasi
hepatosit.3

A. Steatosis Hepar

Hit yang pertama, steatosis hepar, adalah gambaran histologik yang khas dari
NAFLD dan merupakan hasil akhir dari akumulasi asam lemak bebas yang berlebih.
Normalnya, asam lemak bebas disuplai ke hepar melalui penyerapan intestinal atau
dari lipolisis jaringan adiposa, dimana asam lemak bebas disimpan dalam bentuk
trigliserid. Di hepar, asam lemak bebas dioksidasi oleh mitokondria, diesterifikasi
menjadi trigliserida, disintesis menjadi fosfolipid dan ester kolesterol, dan
diekskresikan dalam bentuk very-low-density lipoprotein (VLDL). Metabolisme
asam lemak diregulasi oleh katekolamin, glukagon, hormon pertumbuhan, dan
insulin. Akumulasi trigliserid hepatik terjadi ketika metabolisme asam lemak
bergeser menjadi lipogenesis. Pergeseran ini terjadi ketika jumlah asam lemak bebas
yang disuplai ke hepar dari intestinal atau adiposa melebihi kebutuhan oksidasi
mitokondria, sintesis fosfolipid dan ester kolesterol. Trigliserid juga akan menumpuk
di hepar ketika sintesis lipoprotein menurun atau aliran keluar lemak dari hepar
terhambat.3

Resistensi insulin akibat akumulasi asam lemak bebas berlebih dipercaya


sebagai faktor utama perkembangan steatosis. Hal ini didukung dari temuan
laboratorium dan bukti klinis dimana ada hubungan pasien NAFLD dengan resistensi
insulin dan hiperinsulinemia. Proses ini melibatkan akumulasi metabolit toksik lipid,
yaitu diasilgliserol, seramid, dan fattyacyl-CoA di sel otot yang mengarah ke defek
persinyalan insulin dan kerusakan metabolisme glukosa otot skeletal. Peningkatan
insulin mengaktivasi lipogenesis secara denovo.3

Kelebihan dan disfungsi jaringan adiposa viseral pada pasien NAFLD


mempromosikan hipersekresi insulin lebih lanjut secara sekunder dari resistensi
insulin. Peningkatan sekresi dari sitokin proinflamasi, seperti TNF-α, IL-6, resistin,
visfatin, dan plasminogen activator inhibitor-1, terjadi seiring dengan penurunan
sekresi sitokin anti inflamasi adiponektin. Penurunan adiponektin juga terlihat pada
pasien DM tipe 2, obesitas, dan sindrom metabolik; berkorelasi dengan pasien
NAFLD. Derajat resistensi insulin jaringan adiposa, yang dilihat dari konsentrasi

9
asam lemak non esterifikasi dikalikan dengan kadar insulin puasa, lebih berguna
untuk menentukan keparahan NAFLD dibandingkan dengan serum adiponektin.3
Leptin juga berpotensi menghasilkan resistensi insulin, dan mengarah ke
steatosis hepar. Leptin yang menurun mengakibatkan gangguan regulasi pemisahan
lemak antara beta oksidasi mitokondria dan sintesis trigliserid di hepar. Faktor genetik
dipercaya berperan dalam NAFLD, namun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
Reseptor hormon nuklear diteliti berperan dalam metabolisme asam empedu dan
absorbsi intestinal dari lemak yang dimakan dan vitamin larut lemak. Aktivasi dari
reseptor hormon tersebut mencetuskan lipogenesis secara denovo.3

B. Steatohepatitis

Hit yang kedua adalah steatohepatitis. Steatohepatitis mungkin terjadi dari


proses adaptasi yang dirancang untuk mengurangi risiko dari dampak asam lemak
jenuh rantai panjang di hepar. Jika reaksi proteksi berlebih atau salah, lipotoksisitas
bisa terjadi, dan berpotensi mengaktivasi beberapa jalur persinyalan di hepar dan
mengakibatkan apoptosis hepatosit dan aktivasi sel stelata.3

Peningkatan asam lemak bebas secara langsung berefek toksik terhadap


hepatosit melalui beberapa mekanisme, salah satu contohnya lewat stimulasi TNF-α.
Kejadian-kejadian tersebut akan meningkatkan oksidasi dan pembuangan asam lemak
dan mungkin meningkatkan stres oksidatif lewat produksi derivat asam dikarboksilat.
Asam lemak bebas juga berdampak toksik terhadap membran sel, yang membuat
asam lemak etil eter toksik dan menyebabkan kerusakan mitokondria yang melebihi
kemampuan mekanisme proteksi untuk melawan toksisitas asam lemak bebas
terhadap hepar.3

10
Sumber: https://www.researchgate.net/figure/Schematic-illustration-of-the-
multiple-parallel-hits-hypothesis-of-NAFLD-development_fig2_325946827

Hepatic progenitor cells (HPCs) adalah sel yang memperbaiki jejas hepar.
Namun, aktivasinya juga mengaktivasi sel stelata secara tidak langsung untuk
mempromosikan fibrosis hepar. Autofagi adalah proses dasar lain dari hepatosit yang
melibatkan autodigesti protein dan organel yang tidak dibutuhkan. Penuaan
mengakibatkan penurunan dari autofagi, dan NAFLD akan menurunkan regulasi
autofagi. Hasil akhirnya berupa penurunan pembuangan mitokondria yang rusak,
penguatan stres oksidatif, peningkatan stres retikulum endoplasma, aktivasi
persinyalan Jun N-terminal kinase (JNK) / c-Jun, dan perburukan resistensi insulin.3
Asam lemak jenuh yang berlebih akan memengaruhi retikulum endoplasma
dengan mencetuskan proses adaptasi yang dinamakan unfolded protein response.
Respons ini akan menginduksi autofagi, tapi dengan kondisi paparan asam lemak
jenuh berkepanjangan, protein sensor stres akan terinduksi dan mengaktivasi jalur
apoptosis lewat JNK. Hasil akhirnya berupa peningkatan fibrogenesis hepar. Hasil
dari proses peradangan paru ini adalah non alcoholic steatohepatitis (NASH).3

11
MANIFESTASI KLINIS NAFLD
Pasien-pasien dengan NAFLD seringkali tidak menunjukkan adanya gejala
ataupun tanda-tanda telah terjadinya penyakit hati. Keluhan yang sering dikeluhkan
pasien adalah rasa lemah, malaise, keluhan tidak nyaman dan seperti ada yang
mengganjal pada perut bagian kanan atas. Rasa mengganjal disebabkan karena
hepatomegali yang bahkan dapat merupakan satu-satunya kelainan fisik yang
didapatkan. Kelainan pun juga terkadang baru dapat ditemukan saat pasien melakukan
pemeriksaan lain. NAFLD juga bisa merupakan komplikasi dari penyakit seperti
asites, perdarahan esofagus, maupun hepatoma.2
Klasifikasi Brunt2
Grading untuk steatosis:
 Grade 1: <33% hepatosit terisi lemak
 Grade 2: 33-66% hepatosit terisi lemak
 Grade 3: >66% hepatosit terisi lemak
Grading untuk steatohepatitis:
 Grade 1: Ringan
 Grade 2: Sedang
 Grade 3: Berat
Biopsi hati tetap merupakan gold standard pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis dan untuk membedakan apakah telah terjadi inflamasi pada
insiden NAFLD. Namun, masih cukup banyak perdebatan apakah perlu dilakukannya
biopsi karena prognosis dari penyakit ini baik, lalu belum adanya pengobatan yang
benar-benar efektif, serta biaya yang cukup tinggi menjadi alasan, oleh karena itu,
pemeriksaan penunjang lain seperti radiologi dan lab darah sangat dimaksimalkan
sebagai pemeriksaan alternatif non invasif.2
Sindrom metabolik merupakan kelainan yang sangat berkaitan dengan
NAFLD. Skrining untuk pasien-pasien dengan obesitas sentral, hiperlipidemia,
hipertensi, dan diabetes dapat dilakukan untuk memantau apakah telah terjadi
komplikasi lebih lanjut, salah satunya adalah NAFLD bahkan lebih berisiko
berkembang menjadi steatohepatitis, terutama apabila ditemukan adanya bukti telah
terjadi perlemakan hati pada pemeriksaan yang dilakukan secara insidentil. Apabila
telah dilakukan skrining, pertanyaan selanjutnya apakah perlu dilakukan biopsi hepar?
Rekomendasi dari American Association for the Study of Liver Diseases adalah

12
apabila ditemukan adanya bukti telah terjadi perlemakan hati, tidak perlu dilakukan
biopsi apabila pasien tidak memiliki faktor-faktor risiko definitif, pemeriksaan lab
hepar normal, dan tidak ada bukti terjadi sirosis hepar. Pasien-pasien tersebut cukup
dipantau dan dimonitor dengan melakukan pemeriksaan lab.6
Yang terpenting untuk diketahui adalah riwayat konsumsi alkohol untuk
membedakan apakah perlemakan hati diakibatkan oleh alkohol atau penyebab lain.
Konsumsi alkohol yang signifikan adalah >21 standard drinks/week untuk pria dan
>14 standard drinks/week untuk wanita atau <20-40 g alkohol per hari.6
Diagnosis banding dari NAFLD adalah alcoholic fatty liver, autoimmune
hepatitis, hepatitis C, primary biliary cirrhosis, Wilson disease.2 Penilaian NAFLD
dapat dilakukan dengan menghitung Liver Fat Score dengan beberapa kriteria seperti
sindrom metabolik, DM tipe 2, fasting serum insulin, fasting serum AST, dan
AST/ALT ratio. Untuk sistem skoring progresivitas NAFLD dapat dihitung
menggunakan NAFLD fibrosis score yang menilai 6 komponen, maupun
menggunakan FIB-4 score.7

13
DIAGNOSIS
 Biopsi Hati
Biopsi hati merupakan gold standard untuk menegakkan diagnosis dan masih
menjadi satu-satunya metode untuk membedakan steatosis nonalkoholik dengan
perlemakan tanpa atau disertai inflamasi. Namun, secara histologis pemeriksaan ini
tidak dapat membedakan dengan kerusakan hati akibat alkohol. Masih terdapat
perdebatan tentang kegunaan biopsi hati dalam praktek sehari-hari untuk menegakkan
diagnosis NAFLD. Alasan yang menentang antara lain karena NAFLD merupakan
penyakit yang sebagian besar memiliki prognosis yang baik, belum tersedianya terapi
yang benar-benar efektif, dan risiko serta biaya dari tindakan biopsi itu sendiri. Oleh
karena itu, biopsi hati umumnya diperlukan apabila teknik pencitraan tidak dapat
mendiagnosa, dan untuk mengkonfirmasi adanya NASH, fibrosis, dan sirosis. Sampai
saat ini, pemeriksaan radiologis dan kimia darah terus-menerus dioptimalkan dan
diteliti sebagai pemeriksaan alternatif yang non-invasif.2

14
Gambaran yang didapatkan dari biopsi hati antara lain steatosis, infiltrasi sel
radang, hepatocyte ballooning dan nekrosis, nukleus glikogen, Mallory’shyaline, dan
fibrosis. Umumnya, perlemakan didominasi oleh gambaran sel makrovesikular yang
mendesak inti hepatosit ke tepi sel. Karakteristik dari perlemakan hati nonalkoholik
adalah ditemukannya perlemakan hati dengan atau tanpa inflamasi. Untuk
menyatakan adanya steatohepatitis nonalkoholik, komponen utamanya adalah
inflamasi yang terdiri dari neutrofil, sel mononuclear yang ditemukan pada lobulus-
lobulus hati. Jika tidak terdapat sel-sel inflamasi tersebut maka pasien masih dalam
tahap perlemakan hati saja.2
Sampai saat ini masih terdapat kontroversi dalam interpretasi histopatologi
dan kriteria untuk membedakan perlemakan hati sederhana dan steatohepatitis
nonalkoholik. Oleh karena itu, dilakukan pengembangan modifikasi sistem skoring
oleh peneliti-peneliti North American Steatohepatitis Clinical Research Network
untuk menilai lesi nekroiflamasi pada NAFLD tersebut, yaitu NAFLD Activity Score
(NAS), sistem ini menilai tiga gambaran utama (steatosis, degenerasi balon sel hati,
dan inflamasi lobular) dan bertujuan untuk menentukan diagnosis serta dapat pula

15
digunakan untuk menentukan keparahan dan respons terhadap terapi.
Dari NAFLD Activity Score (NAS) diatas, akan dijumlahkan skor steatosis,
degenerasi balon sel hati (ballooning), dan inflamasi lobular. Skor 0 – 2 menunjukkan
“bukan NASH” dan skor ≥ 5 menunjukkan “definite NASH”.2
 Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membedakan secara akurat
steatosis dengan steatohepatitis, atau perlemakan hati alkoholik dengan nonalkoholik.
Konsentrasi aspartate aminotransferase (AST / SGPT) dan alanine aminotransferase
(ALT / SGOT) umumnya mengalami peningkatan ringan sampai sedang dan paling
sering didapatkan kelainan hasilnya pada pasien perlemakan hati non alkoholik.
Kenaikan enzim biasanya tidak melebihi empat kali dengan rasio AST:ALT kurang
dari satu. Namun, pada kasus fibrosis lanjut perbandingan ini dapat mendekati atau
melebihi angka satu. Enzim hati yang normal juga dapat ditemui pada beberapa
pasien atau pada penyakit hati yang sudah lanjut.2
Pemeriksaan lain seperti g-glutamine transferase hampir selalu meningkat,
fosfatase alkali dapat meningkat sampai dua kali dari angka normal. Ferritin darah
dan saturasi transferin juga dapat meningkat. Sedangkan pemeriksaan albumin,
bilirubin dan waktu protrombin biasanya masih dalam batas normal, kecuali jika
terjadi sirosis hati. Karena dislipidemia dan DM merupakan salah satu faktor risiko
dari penyakit ini, maka konsentrasi trigliserida dan kadar gula darah juga dapat
meningkat.2
 Radiologi
Gambaran radiologi fatty liver disease disebabkan karena peningkatan jumlah
lemak di parenkim hepar. Gambarannya dapat berupa gambaran difus dan homogen
atau heterogen, dengan deposit lemak fokal pada hati yang normal ataupun area focal
fat sparing pada perlemakan hati yang difus. Gambaran homogen merupakan
gambaran yang paling umum, sementara gambaran heterogen dan fokal dapat
menunjukkan gangguan perfusi, penyakit infiltrative difus, lesi noduler atau massa.
Massa perlemakan fokal terjadi paling umum di sekitar ligamentum falciforme,
biasanya di tepi anterolateral segmen medial. Lack of mass effect: distribusi
pembuluh darah dan struktur tidak terganggu di dalam area perlemakan.

16
Modalitas terpenting yang digunakan untuk menilai hepatic steatosis adalah
USG, CT, MRI, dan MR spectroscopy. Belum terdapat metode non invasif yang dapat
membedakan NASH dan simple steatosis.8

Tanda Imaging Klasik pada Fatty Liver Disease

RADIOGRAFI

Foto polos tidak memiliki peran yang signifikan dalam penilaian fatty liver disease.9

COMPUTED TOMOGRAPHY

CT digunakan secara luas dalam mengevaluasi pada orang dewasa. Karena


adanya radiasi pengion, maka pemeriksaan ini tidak dilakukan pada anak-anak.
Keredaman fisiologis dari parenkim hepar pada unenhanced CT bervariasi dari 55
sampai 65 HU; pada keadaan normal, hepar lebih padat 10 HU dibanding limpa; tiap
mg trigliserida per gram hepar menurunkan densitas sebesar 1.6 HU. Area
perlemakan terlihat hipodens (kurang padat dibanding limpa) sementara hepar normal

17
terlihat hiperdens. Vena porta dan vena hepatica lebih terlihat padat dibandingkan
dengan densitas parenkim yang menurun. Deposit lemak fokal umum : segmen 4,
anterior di dekat fisura ligament falciforme. Cutoff yang paling banyak digunakan
yaitu HU≤40.8

Terdapat 5 poin penilaian kualitatif untuk menilai derajat hepatic steatosis


berdasarkan keredaman hepar dan visualisasi pembuluh darah hepar (vena porta dan
vena hepatica) :

 Grade 1: Pembuluh darah hepar menunjukkan keredaman yang lebih rendah


dibanding parenkim hepar sampai ke 1/3 perifer hepar
 Grade 2 : Pembuluh darah hepar menunjukkan keredaman yang lebih rendah
dibanding parenkim hepar sampai ke 1/3 tengah hepar
 Grade 3 : Pembuluh darah hepar menunjukkan keredaman yang lebih rendah
dibanding parenkim hepar pada 1/3 tengah hepar
 Grade 4 : Pembuluh darah hepar menunjukkan keredaman yang sama dengan
parenkim hepar
 Grade 5 : Pembuluh darah hepar menunjukkan keredaman yang lebih besar
dibandingkan parenkim hepar9

18
19
20
21
22
23
ULTRASOUND

USG transabdominal merupakan modalitas imaging yang digunakan untuk


mengevaluasi dan mendiagnosis hepatic steatosis karena biaya yang murah, non
invasif, dan tersedia luas. Echogenisitas hepar normal sama atau sedikit melebihi
korteks renal atau limpa. Pada USG, diffuse fatty liver memiliki karakteristik hiper-
echogenisitas parenkim hepar relatif terhadap ginjal kanan atau limpa. Dapat pula
terlihat sebagai keredaman gelombang ultrasound (penetrasi gelombang yang buruk
atau sulit), penurunan visualisasi tepi vaskuler, hilangkan ketegasan diafragma, dan
hepatomegali.8

 Kriteria visual (paling banyak digunakan) : korteks renal tampak lebih


hipointens relative dibanding liver. Tepi pembuluh darah intrahepatic menjadi
tidak jelas atau tidak dapat divisualisasi.
 Kuantitatif : menggunakan penilaian amplitude backscatter8

Derajat akumulasi lemak pada hepar dapat diklasifikasikan secara subjektif


dengan USG sebagai ringan, sedang, dan berat. Penilaian kualitatif untuk hepatic
steatosis sebagai berikut :

 Ringan : Peningkatan ringan echogenisitas hepar dengan visualisasi dinding


vena porta dan vena hepatica
 Sedang : Peningkatan echogenisitas hepar menghalangi visualisasi dinding
vena porta dan vena hepatica
 Berat : Peningkatan echogenisitasliver dengan keredaman posterior signifikan
yang mengganggu evaluasi parenkim liver dalam dan diafragma.

USG memiliki beberapa keterbatasan dalam mendeteksi hepatic steatosis difus


dan fokal. USG sangat operator dependent, dan dibatasi oleh gas abdomen dan postur
tubuh pasien. Seperti CT, USG bukan merupakan metode kuantitatif dan mungkin
tidak dapat membedakan simple steatosis dengan fibrosis lanjut atau sirosis awal.
USG memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah untuk mendeteksi lemak
dalam jumlah kecil di hepar. Untuk mendeteksi akumulasi lemak sedang dan berat
(>30% pada pemeriksaan histologi), sensitivitas dan spesifisitas berkisar antara 60%
sampai 95% dan 84% sampai 100%.9

24
25
26
27
28
Pada gambar USG diatas terlihat organ hepar pasien dengan fatty liver yang berat.
Terlihat ukuran hepar yang membesar dengan tepi rata dan sudut tumpul, serta
peningkatan homogen intensitas echoparenchym dari hepar.

29
Pada gambar diatas dengan pasien yang sama, tampak pula adanya ascites dengan
gambaran intensitas echocairan yang mengisi cavum abdomen sampai pelvis dimana
ascites dapat menjadi salah satu manifestasi dari sirosis hepar.

30
MRI
Menggunakan in/out of phase dan Dixon fat only imaging untuk memverifikasi
adanya lemak.8

31
32
TATALAKSANA

TERAPI NON-FARMAKOLOGI
Modifikasi gaya hidup dengan pembatasan diet dan olahraga teratur adalah
pilihan pengobatan pertama untuk NAFLD. Penurunan berat badan dan peningkatan
aktivitas fisik dapat mengurangi lemak pada hati, meningkatkan kontrol glukosa dan
sensitivitas insulin, serta dapat memperbaiki gambaran histopatologis. Secara umum
direkomendasikan bahwa pasien dengan NAFLD dapat menurunkan 10% dari berat
badan mereka secara bertahap. Penurunan berat badan umumnya mengurangi
steatosis hepar, dicapai dengan diet rendah kalori saja atau bersamaan dengan
peningkatan aktivitas fisik.5
Kombinasi diet rendah kalori (pengurangan harian 500-1.000 kkal) dan
olahraga intensitas sedang dapat memberikan hasil yang baik untuk mempertahankan
penurunan berat badan.6 Jika sumber daya tersedia, pendekatan multi disiplin dengan
terapi perilaku, pengaturan diet, dan pemantauan oleh ahli gizi profesional dan ahli
olahraga lebih berhasil dibandingkan dengan pendekatan preskriptif.5

TERAPI FARMAKOLOGI
Perawatan farmakologis harus dibatasi, diberikan pada pasien yang mengalami
NASH dan fibrosis yang terbukti secara biopsi.6
 Thiazolidinedione
Thiazolidinedione sebagai Insulin sensitizers (pioglitazone dan rosiglitazone)
dapat memperbaiki steatosis, peradangan, balloning, dan mungkin fibrosis,
tetapi memiliki efek samping dapat menaikkan berat badan.5 Risiko dan
manfaat harus didiskusikan dengan setiap pasien sebelum memulai terapi.6
 Vitamin E
Vitamin E (rr a-tokoferol) yang diberikan dengan dosis harian 800 IU/hari dapat
memperbaiki histologi hati pada orang dewasa nondiabetes dengan NASH yang
terbukti dengan biopsi sehingga dapat dipertimbangkan untuk diberikan.
Belum ada data lebih lanjut yang mendukung efektivitas vitamin E untuk
mengobati NASH pada pasien diabetes, NAFLD tanpa biopsi, sirosis NASH, atau
sirosis kriptogenik sehingga tidak dianjurkan untuk digunakan.6

33
 Statin & asam lemak omega-3
Pasien dengan NAFLD yang memiliki dislipidemia perlu diterapi dengan statin dan
agen penurun lipid lainnya, yang dapat dengan aman diberikan pada pasien dengan
NAFLD dan NASH untuk mengurangi risiko penyakit arteri koroner. Statin dapat
digunakan untuk mengobati dislipidemia pada pasien dengan NAFLD dan NASH
tetapi harus dihindari pada pasien dengan sirosis terdekompensasi. Statin (misalnya,
atorvastatin 20 mg setiap hari) dengan atau tanpa vitamin C dan E dapat
meningkatkan hasil tes hati dan mencegah perburukan NAFLD.5
Asam lemak omega-3 tidak digunakan sebagai pengobatan spesifik NAFLD atau
NASH, tetapi dapat membantu mengobati hipertrigliseridemia pada pasien dengan
NAFLD.6

TERAPI OPERATIF
 Bariatric surgery

Pada pasien obesitas dengan NASH dan komorbiditas metabolik lainnya,


operasi bariatrik foregut dapat menyebabkan perbaikan yang signifikan terhadap
gambaran histologis hepar.

 Transplantasi Hati
Beberapa pasien dengan sirosis terdekompensasi yang diakibatkan NASH
dapat diobati dengan transplantasi hati, tetapi sering terjadi rekurensi selama
periode pasca transplantasi.5

PENCEGAHAN
NAFLD dapat dicegah dengan cara menjaga berat badan optimal, berolahraga
secara teratur, dan mengobati segala komorbiditas metabolik terkait seperti diabetes
dan dislipidemia. Menghindari lemak jenuh, asupan fruktosa tinggi, dan konsumsi
alkohol juga dapat mengurangi perkembangan NAFLD.5

KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

Kondisi steatosis sebenarnya jinak, namun steatohepatitis sering menjadi


progresif. Satu pertiga pasien NAFLD mengalami remisi dalam 7 tahun, sebagian
besar tergantung dari rendahnya penurunan berat badan. Karena NAFLD sering

34
berkoeksistensi dengan satu atau lebih komponen sindrom metabolik, membuat
prognosis NAFLD menjadi bersifat jangka panjang. Komplikasi jangka panjang dari
steatosis simpel berasal dari penyakit kardiovaskular dan aterosklerosis. Usia lanjut,
DM, ballooning, dan fibrosis pada biopsi hepar penting untuk menentukan
progresifitas.5
Studi cross-sectional menunjukkan 30-40% pasien NASH bisa berkembang
menjadi fibrosis, dengan sirosis hepatis teridentifikasi pada 10-15%. Pasien yang
sudah memasuki tahap NASH berisiko mengalami gagal hepar dan kanker hepar,
selain peningkatan signifikan dari risiko penyakit kardiovaskular.5,10

35
BAB III
KESIMPULAN

Non-Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) adalah penyakit dimana


hepatosit terisi lemak trigliserida melebihi batas toleransi yang seharusnya. NAFLD
ditentukan dari temuan biopsi dimana terdapat 5-10% sel lemak dari keseluruhan
hepatosit.
NAFLD merupakan penyakit yang umum di masyarakat, terutama insidensinya
meningkat seiring dengan peningkatan faktor-faktor risiko seperti, obesitas, diabetes
mellitus (DM), dislipidemia, dan sindrom metabolik.
Patofisiologi NAFLD didasarkan pada 2-hit hypothesis, yaitu steatosis hepar dan
steatohepatitis. Manifestasi klinis NAFLD tidak khas, seperti rasa lemah, malaise,
keluhan tidak nyaman dan seperti ada yang mengganjal pada perut bagian kanan atas
karena pembesaran hepar.
Pemeriksaan NAFLD bisa dilakukan melalui uji laboratorium, biopsi hati, dan
pencitraan radiologi. Pada kasus yang kami temukan, kami menggunakan USG untuk
mendeteksi NAFLD. Ditemukan gambaran ukuran hepar yang membesar dengan tepi
rata dan sudut tumpul, serta peningkatan homogen intensitas echoparenchym dari
hepar. USG juga bisa digunakan untuk menilai derajat penyakit NAFLD.
Tatalaksana NAFLD bisa secara farmakologik maupun non-farmakologik. Modifikasi
gaya hidup merupakan tatalaksana yang utama sekaligus menjadi tindakan
pencegahan. Prognosis penyakit ini sebenarnya baik, namun jika dibiarkan dapat
berkembang menjadi penyakit hepar yang lebih progresif.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Moore K, Dalley A, Agur A. Moore Cinically Oriented Anatomy. 7th ed.


Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2014.
2. Alwi I, Setiati S, Sudoyo A, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam A. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
3. Feldman M, Friedman L, Brandt L. Sleisenger and Fordtran’s Gastrointestinal
and Liver Disease. 10th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016.
4. Ballestri S, Nascimbeni F, Baldelli E, Marrazzo A, Romagnoli D, Lonardo A.
NAFLD as a Sexual Dimorphic Disease : Role of Gender and Reproductive
Status in the Development and Progression of Nonalcoholic Fatty Liver
Disease and Inherent Cardiovascular Risk. Adv Ther. 2017;
5. Goldman L, Schafer A. Goldman-Cecil Textbook of Medicine. 25th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2016.
6. Chalasani N, Younossi Z, Lavine JE, Charlton M, Cusi K, Rinella M, et al. The
Diagnosis and Management of Nonalcoholic Fatty Liver Disease : Practice
Guidance From the American Association for the Study of Liver Diseases.
2018;67(1):328–57.
7. Dyson JK, Anstee QM, Mcpherson S. Non-alcoholic fatty liver disease : a
practical approach to diagnosis and staging. 2014;211–8.
8. Harisinghani M, Chen J, Weissleder R. Primer of Diagnostic Imaging. 6th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2019.
9. Sahani D, Samir A. Abdominal Imaging. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier; 2017.
10. Kasper D, Fauci A, Hauser S, Longo D. Harrison’s Principle of Internal
Medicine. 19th ed. Chicago: McGraw-Hill; 2015.

37

Anda mungkin juga menyukai