Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN KASUS

KARSINOMA LARING

Oleh:

Dyna Aulia Millati


Mohammad Syahru Ramadhan
Nurazizah Yunus

Pembimbing:
dr. Hj. Hamita, Sp. THT-KL

BAGIAN/SMF THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN
BANJARMASIN

Januari, 2024
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................. i

DAFTAR ISI ......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................... 4

A. Anatomi Laring........................................................................ 4

B. Karsinoma Laring .................................................................... 13

BAB III LAPORAN KASUS ................................................................ 35

BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................... 53

BAB V PENUTUP ................................................................................. 62

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 63

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma laring merupakan penyakit keganasan yang mewakili sepertiga

dari seluruh kanker kepala dan leher. Karsinoma laring timbul dari jaringan epitel

skuamosa laring dan terbagi menjadi supraglotis, glottis, dan subglotis. Karsinoma

laring lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (masing-masing 5,8 kasus

per 100.000 vs 1,2 per 100.000). Selain itu, terdapat disparitas ras yang diamati

pada kanker laring, dimana orang Amerika keturunan Afrika muncul pada usia yang

lebih muda dan memiliki insiden serta mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan

dengan orang Kaukasia.1-2

Etiologi pasti karsinoma laring masih belum diketahui, namun ada beberapa

faktor yang berkaitan erat antara lain merokok; alkohol; sinar radioaktif; polusi

udara; dan asbestosis.1 Faktor resiko paling signifikan adalah konsumsi tembakau

dan alkohol. Perokok memiliki resiko 10 hingga 15 kali lebih tinggi terdiagnosis

karsinoma laring dibandingkan bukan perokok, dan perokok terberat memiliki

resiko 30 kali lebih besar. Paparan asbes, hidrokarbon aromatik polisiklik, dan debu

tekstil berpotensi meningkatkan risiko terjadinya karsinoma sel skuamosa (SCC)

laring.2

Diagnosis karsinoma laring dapat ditegakkan melalui anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan permeriksaan penunjang. Suara serak seringkali menjadi

gejala awal kanker glotis karena imobilitas atau fiksasi pita suara, dengan

odinofagia dan otalgia yang menjalar menandakan keberlanjutan penyakit.

1
2

Sebaliknya, odinofagia adalah gejala awal paling umum dari kanker supraglotis,

dan suara serak mengindikasikan keberlanjutan penyakit yang meluas hingga ke

glotis. Metastasis nodal muncul sebagai massa yang terfiksasi, keras, dan tidak

nyeri di leher. Gejala lanjut pada semua bagian termasuk penurunan berat badan,

disfagia, aspirasi, dan gejala sisa, serta gangguan saluran napas. Komponen

terpenting dari pemeriksaan fisik adalah penilaian invasif terhadap lesi primer

(termasuk laringoskopi indirek, pemeriksaan cermin, dan endoskopi fiber optik)

yang bertujuan untuk menilai ukuran atau luas lokal tumor, keterlibatan struktur di

sekitarnya, dan menilai mobilitas pita suara. Untuk semua kanker laring, baik yang

dicurigai berada pada stadium awal atau akhir, pencitraan lesi primer (CT Scan

leher dengan kontras) dan drainase kelenjar getah bening diindikasikan.

Pemeriksaan biopsi selama laringoskopi direk dilakukan terhadap dugaan lesi

primer, dan aspirasi jarum halus (FNA) pada setiap dugaan penyakit kelenjar getah

bening.3

Tingkat kelangsungan hidup relatif 5 tahun untuk semua stadium kanker

laring sangat bervariasi menurut lokasi dan stadium tumor. Berbagai faktor

memprediksi prognosis karsinoma laring yang dapat dikelompokkan menjadi faktor

host, tumor, dan pengobatan. Faktor host meliputi usia, jenis kelamin, status gizi,

status kinerja fisik dan psikologis, penyakit penyerta, dan respons imunologis.

Faktor tumor meliputi lokasi tumor, stadium TNM, derajat, dan adanya kanker

primer kedua. Faktor pengobatan mencakup semua pendekatan terapi yang tersedia

dan berbagai kombinasi modalitas ini, dan lokasi pengobatan (rumah sakit

akademis vs rumah sakit komunitas).4


3

Pengobatan kanker laring telah berubah secara signifikan selama 3 dekade

terakhir. Penyesuaian yang paling penting adalah penggunaan pendekatan

multidisiplin.5 Jika dulu pengobatan kanker laring hanya melalui pembedahan, saat

ini pendekatan pengobatan lebih mengarah pada preservasi organ dengan

kemoradiasi. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kemoradiasi memberikan

hasil yang serupa dengan laringektomi total. Selain itu, saat ini juga terdapat metode

endoskopi dalam penanganan kanker laring.3

Sekitar 60% pasien karsinoma laring datang dengan stadium lanjut (stadium

III atau IV). Karsinoma laring adalah salah satu penyakit onkologis yang tingkat

kelangsungan hidupnya dalam 5 tahun telah menurun selama 40 tahun terakhir, dari

66% menjadi 63%.2 Maka dari itu, diperlukan pemahaman yang baik tentang

karsinoma laring bagi tenaga kesehatan untuk.Pada makalah ini akan dilaporkan

sebuah kasus seorang pria berumur 39 tahun dengan karsinoma laring yang telah

terpasang trakeostomi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Laring

Laring merupakan struktur pipa musculoligamentosa dengan suatu kerangka

tulang rawan yang melindungi sistem respirasi inferior dan merupakan instrumen

penghasil suara. Kavitas laring berlanjut ke bawah bertemu trakea, dan di atas

membuka ke faring di posterioinferior lingua dan bukaan orofaringeum dari kavitas

oris.6

Gambar 2.1 Anatomi laring.6


(a. Hubungan laring dengan kavitas lain, b. Pandangan lateral laring)

Laring terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu supraglottis; glottis; dan

subglottis. Supraglottis merupakan bagian teratas laring diatas plica vocalis,

termasuk epiglottis. Glottis merupakan bagian tengah laring, dimana terdapat

struktur plica vocalis. Subglottis merupakan bagian terbawah dari laring diantara

plica vocalis dan trakea.7

4
5

Gambar 2.2 Bagian utama laring.7

Struktur laring terdiri dari tiga kartilago besar yang tidak berpasangan

(cricoidea, thyroidea, dan epiglottis), tiga kartilago yang lebih kecil (arytenoidea,

corniculate, dan cuneiformis), dan sebuah membrana fibroelastica larynges dan

sejumlah musculi intrinsik. Suplai darah utama menuju laring oleh arteria laryngea

superior dan arteria laryngea inferior. Persarafan motorium dan sensorium laring

diperoleh dari 2 cabang nervus vagus, yaitu nervus laryngeus superior dan nervus

laryngeus recurrens.6

Gambar 2.3 Kartilago dan ligamentum laring.6


6

Gambar 2.4 Vaskularisasi dan persarafan laring.6

Kavitas laringis centralis berbentuk tabung dan dibatasi oleh mukosa.

Dukungan arsitekturnya berasal dari membrana fibroelastica laryngis dan oleh

cartilagines laryngis menuju tempat melekatnya. Apertura superior aditus laryngis

(laryngeal inlet) membuka pada aspectus anterior pharynx tepat di bawah dan

posterior dari lingua. Tepi anterior laryngeal inlet dibentuk oleh mukosa yang

menutup tepi superior epiglottis. Tepi lateral laryngeal inlet dibentuk oleh lipatan-

lipatan mucosa (plica aryepiglottica), yang menutup tepi superior membrana

qudrangularis pharyngis dan jaringan lunak yang berdekatan, dan dua tuberculum

pada tepi yang lebih posterolateral dari aditus laryngis pada tiap sisi menandai

posisi cartilago cuneiformis dan cartilago corniculata yang mendasarinya. Tepi


7

posterior laryngeal inlet pada garis tengah dibentuk oleh lipatan mucosa yang

membentuk suatu depresi/cekungan (incisura interarytenoidea) di antara kedua

tuberculum corniculatum.6

Bukaan inferior cavitas laryngis berlanjut dengan lumen trachea, yang

sepenuhnya dikelilingi oleh cartilago cricoidea, dan berada di posisi horisontal

Lebih lanjut, bukaan inferior terusmenerus terbuka, sedangkan aditus laryngis dapat

tertutup oleh pergerakan ke bawah dari epiglottis.6

Gambar 2.5 Kavitas laring.6

Keterangan:
a. Pandangan posterolateral
b. Pandangan posterior (dipotong)
c. Pandangan superior melalui aditus larynges
d. Fotograf berlabel dari larynx, pandangan superior
8

a) Pembagian kavitas laring menjadi 3 regio utama

Dua pasang lipatan mucosa, plica vestibularis dan plica vocalis, yang berada

di medial dari dinding lateral cavitas laryngis, memendekkan dinding tersebut dan

membagi tengah menjadi 3 regio utama—vestibulum laryngis, spatium medius, dan

cavitas infraglottica:6

• Vestibulum laryngis merupakan ruangan atas cavitas laryngis di antara aditus

laryngis dan plica vestibularis, yang menutup ligamentum vestibulare dan

jaringan lunak yang terkait.

• Bagian tengah cavitas laryngis sangat tipis dan terletak di antara plica

vestibularis di atas dan plica vocalis di bawah.

• Cavitas infraglottica merupakan ruangan paling inferior dari cavitas laryngis

dan di antara plica vocalis (yang menutup ligamentum vocale dan jaringan

lunak terkait) dan bukaan inferior larynx.

b) Ventriculus laryngis dan sacculus laryngis

Pada tiap sisi, mucosa pada cavitas medius menonjol di lateral melalui celah

di antara ligamenta vestibulare dan vocale untuk memproduksi sebuah perluasan

ruangan berbentuk cekungan (ventriculus laringis). Sebuah perluasan tabung

memanjang pada tiap ventriculus (sacculus laryngis) berada di anterosuperior di

antara plica vestibularis dan cartilago thyroidea dan dapat mencapai setinggi

puncak cartilago thyroidea. Di dalam dinding sacculus laryngis tersebut terdapat

sejumlah glandulae mucosa/ glandulae sacculi laryngis. Cairan mucosus yang

disekresikan ke dalam sacculus laryngis melumasi plica vocalis.6


9

c) Rima vestibuli dan rima glottidis

Saat dilihat dari atas, terdapat bukaan segitiga (rima vestibuli) di antara dua

plica vestibularis yang berdekatan pada tempat masuk cavitas medial cavitas

laryngis. Apex dari bukaan tersebut terletak anterior dan basisnya dibentuk oleh

dinding posterior cavitas laryngis. Inferior dari plica vestibularis, plica vocalis

(plica vocalis nyata) dan mucosa yang berdekatan bagian tertutup cartilago

arytenoidea membentuk dinding lateral yang serupa, bukaan segitiga yang lebih

sempit (rima glottidis di antara 2 plica vocalis yang berdekatan). Bukaan tersebut

memisahkan cavitas medialis di atas dari cavitas infraglottica di bawah. Basis dari

bukaan segitiga tersebut dibentuk oleh lipatan mucosa (plica interarytenoidea) pada

dasar incisura interarytenoidea. Baik rima glottidis dan rima vestibuli dapat terbuka

dan tertutup oleh pergerakan cartilago arytenoidea dan berhubungan dengan

membrana fibroelastica laryngis.6

d) Otot Intrinsik

Musculi intrinsik larynx menyesuaikan tegangan di dalam ligamentum

vocale, membuka dan menutup rima glottidis, mengontrol dimensi dalam

vestibulum, menutup rima vestibuli dan memfasilitasi penutupan aditus laryngis.

Musculi tersebut bekerja terutama melalui:6

• Bekerja pada sendi-sendi cricothyroidea dan cricoarytenoidea

• Menyesuaikan jarak di antara epiglottis dan cartilago arytenoidea

• Menarik langsung ligamentum vocale

• Mendorong jaringan lunak yang berhubungan dengan membrana

quadrangularis dan ligamentum vestibularis menuju garis tengah


10

Musculus cricothyroideus merupakan satu-satunya musculi intrinsik larynx

yang dipersarafi oleh nervus laryngeus superior nervus vagus. Semua musculi

intrinsik lainnya dipersarafi oleh nervus laryngeus recurrens nervus vagus.6

Gambar 2.6 Otot intrinsik laring.6

e) Drainase Limfatik

Drainase limfatik mengaliri daerah di atas dan di bawah plica vocalis: 6

• Lymphaticus di atas plica vocalis mengikuti arteria laryngea superior dan

berakhir di dalam nodi cervicales profundi yang terkait dengan bifurcatio

carotidis arteria carotis communis.

• Lymphaticus di bawah plica vocalis bermuara ke dalam nodi profundi yang

terkait dengan arteria thyroidea inferior atau dengan nodi yang berkaitan

dengan di depan ligamentum cricothyroideum atau trachea bagian atas.

f) Fungsi Laring

Laring merupakan sebuah sphincter canggih untuk systema respiratorium

inferior dan memberikan mekanisme untukmenghasilkan suara. Penyesuaian

ukuran cavitas centralis laryngis disebabkan oleh perubahan dalam ukuran rima
11

glotidis, rima vestibuli, dan aditus laryngis. Perubahan tersebut dihasilkan dari kerja

musculi dan mekanisme laryngealis. Berikut fungsi-fungsi laring:6

• Respirasi

Selama respirasi tenang, aditus laryngis, vestibulum laryngis, rima vestibuli,

dan rima glottidis terbuka. Cartilago arytenoidea abduksi dan rima glottidis

berbentuk triangular. Selama inspirasi paksa, cartilago arytenoidea

mengalami rotasi lateral, terutama oleh gerakan musculi cricoarytenoideus

posterior. Sebagai hasilnya, plica vocalis, terabduksi, dan rima glottidis

melebar membentuk jajaran genjang/rhomboid shape, yang secara efektif

meningkatkan diameter jalan nafas laryngealis. 6

Gambar 2.7 Fungsi respirasi laring.6

• Fonasi/produksi suara

Saat fonasi, cartilago arytenoidea dan plica vocalis teradduksi dan udara

didorong melalui rima glottidis yang tertutup. Gerakan ini menyebabkan plica

vocalis bergetar satu sama lain dan menghasilkan suara, yang kemudian

dimodifikasi oleh saluran nafas bagian atas dan cavitas oris. Tegangan dalam

plica vocalis dapat disesuaikan oleh musculi vocalis dan cricothyroideus. 6


12

Gambar 2.8 Fungsi fonasi laring.6

• Upaya penutupan

Upaya penutupan larynx terjadi saat udara tertahan di dalam cavitas thoracis

untuk menstabilkan truncus (misalnya, saat mengangkat beban berat) atau

bagian dari mekanisme untuk meningkatkan tekanan intraabdominalis.

Selama upaya penutupan tersebut, rima glottidis tertutup sepenuhnya, begitu

pula rima vestibuli dan bagian bawah vestibulum laryngis. Hasilnya adalah

jalan nafas yang tertutup rapat sepenuhnya. 6

Gambar 2.9 Fungsi penutupan laring.6


13

• Menelan

Saat menelan, rima glottidis, dan vestibulum laryngis tertutup dan aditus

laryngis menyempit. Lebih lanjut, larynx bergerak ke atas dan ke depan.

Gerakan ini menyebabkan epiglottis mengayun ke bawah menuju cartilago

arytenoidea dan secara efektif menyempitkan atau menutup aditus laryngis.

Pergerakan larynx ke atas dan ke bawah juga membuka esophagus, yang

melekat pada aspectus posterior lamina cartilaginis cricoideae. Semua

gerakan ini bersama-sama mencegah benda padat dan cairan untuk memasuki

jalan nafas dan memfasilitasi pergerakannya melalui recessus piriformis ke

dalam esophagus.6

Gambar 2.10 Fungsi menelan laring.6

B. Karsinoma Laring

1. Definisi

Karsinoma laring adalah keganasan yang berasal dari lokasi anatomi yang

disebut laring (juga dikenal sebagai “kotak suara”), yang secara anatomi terbagi

menjadi tiga wilayah termasuk laring supraglotis (meliputi epiglotis, pita suara
14

palsu, ventrikel, lipatan aryepiglotis, dan arytenoids), glotis (meliputi pita suara

sejati dan komisura anterior dan posterior) dan daerah subglotis. 8

Menurut serangkaian kasus besar yang baru-baru ini diterbitkan oleh Ciolofan

dkk, sebagian besar keganasan laring (lebih dari 98%) merupakan karsinoma sel

skuamosa yang berdiferensiasi baik, sedangkan kondrosarkoma; leiomyosarcoma;

dan melanoma hanya mencakup 2%−5% dari seluruh kasus kanker laring. Diantara

karsinoma sel skuamosa, bentuk yang berdiferensiasi baik dan sedang sedikit lebih

banyak dibandingkan tumor yang berdiferensiasi buruk, masing-masing

menyumbang 43,5% dan 41,5% dari seluruh kasus. Jumlah terbesar kasus kanker

laring berasal dari daerah glotis (yaitu sekitar dua pertiga), diikuti oleh daerah

supraglotis (sekitar 30%), sedangkan tumor transglotis dan tumor subglotis murni

umumnya lebih jarang terjadi.8

2. Epidemiologi

Di seluruh dunia, insidensi karsinoma laring telah meningkat sebesar 23%

selama sepuluh tahun terakhir. Namun, tingkat kasus kanker laring baru yang

disesuaikan dengan usia telah menurun di negara-negara dengan indeks

sosiodemografi yang lebih tinggi, yang sekali lagi mencerminkan perubahan dalam

perilaku merokok dan minum alkohol. Secara keseluruhan, kanker kepala dan leher

menyerang laki-laki dua hingga empat kali lebih banyak dibandingkan perempuan,

dengan perkiraan mencapai lebih dari 20 per 100.000. Hal ini dapat terjadi berkaitan

dengan pola spesifik jenis kelamin terhadap konsumsi rokok dan alkohol.9

Menurut World Cancer Report tahun 2020, 60% kasus kanker laring terjadi

pada masyarakat berpenghasilan rendah hingga sedang, dan 50% kasus muncul di
15

Asia. Pada tahun 2018, terdapat 177.000 kasus baru dan 95.000 kasus kematian

akibat kanker laring secara global. Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan

bahwa kanker laring lebih sering muncul pada pria berusia 51-60 tahun.10

3. Etiologi dan Faktor Resiko

Menurut American Cancer Society, faktor risiko utama karsinoma laring

adalah: penggunaan tembakau, konsumsi alkohol berlebihan, refluks

gastroesophageal, sindrom Plummer-Vinson, kelainan anatomi, paparan panas,

bahan kimia, asbes, nikel atau radiasi pengion, serta beberapa penyakit lainnya.

Peningkatan durasi dan frekuensi merokok, kebiasaan mengunyah sirih, dan

konsumsi alkohol meningkatkan risiko kanker kepala-leher dengan kecenderungan

ketergantungan dosis yang jelas pada populasi Nepal. Individu yang memiliki

ketiga kebiasaan tersebut: merokok, mengunyah sirih, dan minum minuman

beralkohol, memiliki risiko 12,83 kali lebih tinggi terkena kanker kepala-leher

dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki kebiasaan tersebut. 11

• Penggunaan tembakau

Merokok dianggap sebagai faktor risiko paling penting untuk kanker laring.

Sebagian besar (88 % hingga 98 %) penderita karsinoma laring adalah perokok.

Sekitar 87% kasus kanker laring di Eropa Tengah disebabkan oleh penggunaan

tembakau, dimana 75% dan 12% disebabkan oleh kebiasaan merokok saat ini dan

masa lalu. Efek karsinogenik dari asap tembakau berkorelasi dengan intensitas dan

durasi merokok. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Falk dkk.

mengamati hubungan dosis merokok dan karsinoma sel skuamosa laring. Risiko

relatifnya adalah 4,4 kali lipat pada pasien yang merokok hingga setengah bungkus
16

per hari, dan 10,4 kali lipat pada pasien yang merokok lebih dari dua bungkus per

hari. Selain itu, jumlah rokok dan durasi merokok berhubungan erat dengan risiko

kanker laring. Tampaknya efek merokok lebih penting pada kanker supraglotis

dibandingkan kanker glotis12

• Konsumsi alkohol

American Society of Clinical Oncology menyatakan bahwa 5% kasus kanker

di seluruh dunia mungkin terkait dengan alkohol. Alkohol merupakan faktor risiko

penting dalam patogenesis kanker laring. The World Cancer Research Foundation

telah menyimpulkan bahwa terdapat bukti kuat bahwa konsumsi alkohol pada

tingkat berapa pun meningkatkan risiko terkena kanker laring. Di Eropa, lebih dari

30% kematian akibat kanker laring disebabkan oleh alkohol. Hal ini sejalan dengan

tingginya tingkat konsumsi alkohol di wilayah tersebut. Memang benar, hubungan

antara konsumsi alkohol dan perkembangan kanker laring sebanding dengan dosis

dan durasi paparan. Jumlah kasus yang terkait dengan konsumsi alkohol secara

signifikan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Setiap tahun,

konsumsi alkohol global meningkat, sehingga alkohol dapat menjadi faktor risiko

utama berkembangnya kanker laring.

• Infeksi Human papillomavirus (HPV)

Dalam kebanyakan kasus, tumor HPV-positif bermanifestasi sebagai SCC

berdiferensiasi sedang. Kanker laring dengan HPV-positif lebih mungkin dikaitkan

dengan skor histologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan kasus-kasus HPV-

negatif. Sementara itu, efek karsinogenik tembakau dapat memberikan efek sinergis

dengan infeksi HPV, dan replikasi sel virus dapat meningkatkan mutagenesis dan
17

metaplasia akibat merokok. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang HPV dan

perannya dalam kanker laring.11

• Mengunyah sirih

Mengunyah sirih mempengaruhi modulasi epigenetik ekspresi gen, yang

mengarah pada karsinogenesis. Pengguna sirih kunyah di waktu senggang dan jam

kerja dilakukan untuk memperoleh efek farmakologis: euforia, peningkatan

kewaspadaan, perhatian terfokus, penekanan nafsu makan dan perbaikan

pencernaan. Pasien yang biasanya mengunyah sirih memiliki insiden kanker

epiglotis yang lebih tinggi.11

• Asbestos

Sejak tahun 1950-an, terdapat hubungan sebab akibat antara paparan asbes

dan berbagai tumor ganas. Kemungkinan peningkatan kanker laring secara

signifikan pada pasien yang terpapar asbes telah dilaporkan. Paparan asbes, serta

konsumsi tembakau dan alkohol sering kali digabungkan. Dampak gabungan dari

paparan asbes dan tembakau serta konsumsi alkohol secara signifikan lebih tinggi

dibandingkan jumlah masing-masing dampak. Kombinasi risiko ini penting,

meskipun pada akhirnya paparan asbes saja bukanlah penyebab kanker laring.

Selama studi tentang risiko kanker laring pada pekerja yang terpapar karsinogen

paru-paru, ditemukan hasil yang mengkonfirmasi hipotesis tentang efek

karsinogenik dari empat karsinogen paru-paru (asbes, bahan yang dapat terhirup,

silika kristal, kromium-IV dan kromium-VI dengan nikel) pada kanker laring.11
18

• Infeksi H. pylori

Dalam penelitian Zhou dkk. risiko terkena kanker laring pada orang yang

terinfeksi H. pylori adalah 2,87 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.

Tingkat deteksi DNA HPV yang tinggi pada jaringan kanker menegaskan bahwa

HPV adalah bagian dari mikrobiota area orofaring, karena hanya 7,2% pasien

kanker yang negatif terhadap Helicobacter pylori dan HPV.11

• Penyakit reflux gastroesofageal (GERD) dan reflux laringofageal (LPR)

Dalam sebagian besar penelitian melaporkan pasien yang menderita GERD

memiliki kemungkinan 2,37 kali lebih besar untuk didiagnosis dengan karsinoma

laring. Artinya, kerusakan jaringan inflamasi yang kronis atau berulang dapat

menyebabkan berkembangnya neoplasma ganas. Saat memeriksa air liur pasien

dengan karsinoma laring dini, ditemukan komponen LPR tipikal tingkat tinggi,

menunjukkan kemungkinan bahwa LPR, terutama refluks bilier, berperan dalam

perkembangan karsinoma laring.11

• Sindrom metabolik

Dalam studi populasi yang dilakukan di Korea, sindrom metabolik

merupakan faktor risiko independen untuk karsinoma laring, dan kejadian

karsinoma laring dengan sindrom metabolik 1,13 kali lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien tanpa sindrom metabolik. Perjalanan penyakit sindrom metabolik

yang kronis dikaitkan dengan risiko tertinggi terjadinya karsinoma laring. Glukosa

darah puasa tinggi, lingkar pinggang, trigliserida, tekanan darah tinggi dan

rendahnya kadar kolesterol HDL dikaitkan dengan peningkatan risiko karsinoma

laring.11
19

4. Klasifikasi

Mayoritas kanker laring primer adalah karsinoma sel skuamosa (SCC).

Sembilan puluh lima persen kasusnya adalah SCC yang timbul dari lapisan epitel

skuamosa berlapis pada laring. Patologi kanker laring lainnya termasuk SCC

verukosa, adenokarsinoma, tumor kelenjar ludah minor, karsinoma sel spindel,

fibrosarkoma, kondrosarkoma, tumor neuroendokrin, dan penyakit metastasis.

Empat puluh persen kanker laring akan terdiagnosis pada stadium lanjut (penyakit

stadium III atau IV). Glottis (51%) adalah tempat tersering terjadinya kanker laring,

diikuti oleh supraglotis (32%) dan subglotis (2%).13

5. Patofisiologi

Diasumsikan secara luas bahwa SCC muncul dari progenitor pra-maligna,

diikuti oleh pertumbuhan sel klonal dengan perubahan genetik kumulatif dan

perubahan fenotipik yang mengarah pada keganasan invasif. Untuk semua varian

kanker, sering terjadi perubahan genetik, seperti inaktivasi gen penekan tumor dan

aktivasi proto-onkogen melalui penghapusan; mutasi titik; metilasi promotor; dan

amplifikasi gen. Ini adalah mekanisme utama karsinogenesis. Califano dkk.

menggambarkan model perkembangan genetik untuk SCC kepala dan leher

berdasarkan analisis perubahan genetik yang paling sering terjadi pada tumor

kepala dan leher.14


20

Gambar 2.11 Model hipotesis karsinogenesis SCC.14

Pada tahap awal karsinogenesis, terjadi hilangnya heterozigositas 9p21 yang

merupakan lokus kromosom tempat CDKN2A berada. CDKN2A mengkodekan

dua transkrip berbeda, p16 dan p14ARF. Insiden p16/HPV positif di SCC laring

umumnya rendah dan bervariasi berdasarkan geografis. Namun, ekspresi p16 lebih

sering diamati pada bukan perokok, wanita, dan pasien SCC laring yang lebih

muda. Baik p16 dan p14ARF terlibat dalam mengatur siklus sel G1 dan memediasi

degradasi p53 oleh MDM2. Di SCC laring, tingkat ekspresi p16INK4a berkurang

secara signifikan, dan hipermetilasi telah terbukti menjadi mekanisme umum yang

menyebabkan penurunan regulasi ini. Hilangnya fungsi gen penekan tumor p53

memainkan peran penting dalam perkembangan kanker. Biasanya, p53

menyebabkan penghentian siklus sel, penuaan sel, dan perbaikan DNA ketika sel

terpapar agen berbahaya. Jika perbaikan DNA tidak efektif, p53 menginduksi

apoptosis untuk menghilangkan sel-sel yang rusak. Inaktivasi p16 dan p53 dapat

mengganggu kontrol siklus sel normal dan mendorong pertumbuhan sel yang tidak

terkendali. Waktu inaktivasi p53 pada tumorigenesis SCC laring masih

kontroversial. Beberapa penelitian menunjukkan ekspresi yang menyimpang pada


21

displasia awal, namun sebagian besar menunjukkan mutasi hanya terjadi pada akhir

evolusi tumor.14

Gen lain yang berperan penting dalam mengatur siklus sel adalah 9p34

(penekan tumor atau onkogen NOTCH1), 11p15 (HRAS onkogen), 3q26 (onkogen

PIK3CA), dan 10q23 (gen penekan tumor PTEN). Mutasi RAS mengaktifkan jalur

Raf/MEK/ERK dan jalur PI3K, keduanya terlibat dalam proliferasi sel, diferensiasi,

dan kelangsungan hidup sel. Mutasi RAS dan amplifikasi PIK3CA telah dikaitkan

dengan kelangsungan hidup bebas perkembangan yang lebih buruk.14

NOTCH1 telah terbukti memiliki aktivitas penekan onkogenik dan tumor.

Dalam SCC laring, NOTCH1 bertindak sebagai gen penekan tumor, dan sebagian

besar mutasinya adalah mutasi hilangnya fungsi ligan mirip faktor pertumbuhan

epidermal (EGF) atau domain intraseluler NOTCH (NICD).14

Reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR) adalah anggota keluarga

reseptor transmembran tirosin kinase. Setelah berikatan dengan ligan alaminya di

lingkungan ekstraseluler, EGFR memulai kaskade sinyal intraseluler, mengaktifkan

efektor hilir yang mendorong proliferasi sel. Dalam beberapa kasus, sel-sel tertentu

memperoleh kemampuan untuk memproduksi ligan EGFR secara berlebihan atau

meningkatkan jumlah EGFR pada permukaannya. Hal ini menciptakan jalur

pertumbuhan autokrin, yang menyebabkan proliferasi sel yang tidak terkendali,

angiogenesis, dan peningkatan kelangsungan hidup sel, seperti yang terjadi pada

SCC laring. Ekspresi EGFR biasanya meningkat secara progresif dengan

meningkatnya derajat displasia, dan sangat meningkat pada banyak SCC kepala-

leher yang mengalami transformasi penuh. Tingkat EGFR yang tinggi pada SCC
22

kepala-leher dikaitkan dengan kelangsungan hidup yang lebih pendek secara

keseluruhan dan progresi perkembangan bebas.14

Perubahan genetik umum lainnya yang diamati pada tahap awal

karsinogenesis SCC laring adalah hilangnya wilayah kromosom 3p. Perubahan

pada kromosom 3p ini berhubungan dengan hilangnya gen penekan tumor.

Disregulasi pensinyalan EGFR dan hilangnya wilayah kromosom 3p merupakan

peristiwa genetik yang mendorong SCC laring.14

Mutasi akhir pada SCC laring termasuk hilangnya heterozigosis 17p dan

mutasi titik pada p53. Mutasi ini ditemukan pada sekitar 50% sel ketika displasia

epitel berkembang menjadi karsinoma invasif.14

Gen lain yang menarik perhatian khusus dalam proses karsinogenesis laring

adalah 11q13 dan cyclin D1. Faktanya, amplifikasi 11q13 dan ekspresi berlebih dari

cyclin D1 terjadi pada lebih dari 45% kasus SCC kepala-leher dan berhubungan

dengan peningkatan laju metastasis kelenjar getah bening dan prognosis buruk

secara keseluruhan.14

Studi Ha dkk. menunjukkan bahwa sebagian besar perubahan transkripsi pada

karsinogenesis kepala-leher terjadi selama transisi dari mukosa normal ke lesi

pramaligna. Memang benar, berdasarkan bukti saat ini, mutasi yang terjadi pada

transisi dari karsinoma in situ ke karsinoma invasif jauh lebih sedikit dibandingkan

mutasi yang tercatat pada tahap awal karsinogenesis. 14

Salah satu mutasi terbaru menyangkut protein adhesi sel. E-cadherin (CDH1)

adalah protein permukaan yang memediasi kontak sel-sel. Hilangnya kontak sel-sel

telah dikaitkan dengan invasi tumor dan potensi metastasis pada banyak jenis
23

kanker. Mekanisme inaktivasi E-cadherin pada SCC laring masih belum

diketahui.14

6. Diagnosis dan Manifestasi Klinis

a) Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Suara serak yang berlangsung lebih dari 3 minggu, atau odynophagia/disfagia

yang berlangsung lebih dari 6 minggu memerlukan rujukan ke dokter spesialis

THT. Anamnesis lengkap dan pemeriksaan fisik diperlukan selama evaluasi awal.

Keluhan yang muncul antara lain suara serak, perubahan suara, sakit tenggorokan,

stridor, dispnea, disfagia, odynophagia, otalgia, pneumo-nia, hemoptisis, massa di

leher, dan penurunan berat badan. Gejala dapat bervariasi berdasarkan bagian laring

yang terkena penyakit dan stadium saat timbulnya penyakit. Kanker glotis

cenderung muncul pada tahap lebih awal dibandingkan kanker supraglotis dan

subglotis karena perubahan suara yang dini. Gejala yang berhubungan dengan

kanker supraglotis meliputi nyeri, otalgia, odynophagia, disfagia, dan massa di

leher akibat metastasis serviks. Tumor subglotis dapat muncul dengan obstruksi

jalan napas. Penting untuk menilai penyakit penyerta pasien, status fungsional, dan

sistem dukungan sosial. Perhatian khusus harus diberikan pada fungsi pernafasan

pasien, karena hal ini harus dipertimbangkan ketika menentukan pilihan

pengobatan.13

Pemeriksaan lengkap kepala dan leher penting, juga mengidentifikasi

penyakit primer kedua, menilai gigi, mengidentifikasi limfadenopati leher, dan

menentukan status gizi. Laringoskopi fiberoptik akan memungkinkan visualisasi


24

lesi, evaluasi patensi jalan napas, dan penilaian posisi dan mobilitas pita suara.

Pemeriksaan cermin juga dapat membantu memvisualisasikan lesi. 13

b) Pencitraan

Pencitraan sangat membantu dalam menentukan luasnya penyakit, termasuk

mengungkap penyakit leher dan metastasis, invasi tulang rawan, dan perluasan ke

ruang pre-epiglotis dan paraglotis. Pencitraan leher untuk penyakit glotis in situ,

stadium I, atau mungkin kanker glotis stadium awal II dapat diabaikan, kecuali jika

pembedahan dipertimbangkan. Untuk penyakit lanjut, pasien harus menjalani

pencitraan struktural, CT, atau MRI dengan kontras untuk menentukan invasi ruang

pre-epiglotis atau paraglotis dan penyebaran ekstralaring, sebagai bagian dari

pemeriksaan stadium awal. CT dan MRI merupakan modalitas pencitraan awal

yang tepat untuk leher. CT berguna dalam penilaian penyakit submukosa, invasi

ekstralaring, serta metastasis serviks. CT dapat sangat membantu dalam mendeteksi

invasi tulang rawan. Namun, terdapat kekhawatiran bahwa CT dapat

memperkirakan invasi tulang rawan berlebihan dan menyebabkan stadium kanker

laring yang berlebihan. MRI sangat ideal untuk memvisualisasikan jaringan lunak,

termasuk penyebaran ke ruang pre-epiglotis dan paraglotis. CT dan MRI memiliki

Tingkat akurasi 87-93% dalam penegakan stadium.13

Lokasi tersering metastasis distal pada kanker laring yaitu paru-paru, diikuti

hepar. Rontgen dada direkomendasikan untuk skrining lesi paru pada bukan

perokok. Namun dengan tingginya angka kejadian perokok atau mantan perokok,

pemeriksaan CT harus dilakukan. CT abdomen atau USG hepar dapat dilakukan

jika ada peningkatan kecurigaan.13


25

Kebutuhan akan PET/CT dalam premedikasi masih diperdebatkan. PET

membantu dalam mendeteksi lesi/nodus halus yang aktif secara metobolik.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa PET/CT mengubah manajemen

kanker pada 18-31% kasus.13

c) Pemeriksaan dengan anestesi

Pemeriksaan dibawah anestesi umum terus menjadi standar perawatan

dibanyak institusi. Visualisasi tumor yang optimal serta biopsi dapat dilakukan

dibawah laringoskopi direk. Laringoskopi direk memungkinkan visualisasi situs

yang sulit dinilai, termasuk subglotis, komisura anterior, dan ventrikel.

Laringoskopi direk juga memungkinkan palpasi tumor dan struktur laring. Prosedur

laringoskopi menggunakan endoskopi fleksibel kini menjadi cara pemeriksaan dan

biopsy yang aman dan efektif.13

d) Pemeriksaan tambahan

Berbagai tes lain tersedia untuk mengevaluasi pasien. Tes fungsi paru dapat

memberikan informasi mengenai sisa fungsi paru, terutama jika operasi laring

parsial dipertimbangkan. Pemeriksaan laboratorium rutin sebelum perawatan

meliputi hitung darah lengkap, kimia, dan panel koagulasi. Tingginya kadar

kalsium, peningkatan alkali fosfat, atau kadar enzim hati yang abnormal bisa

menjadi tanda metastasis. Prealbumin, albumin, fungsi tiroid, dan transferrin

berguna dalam menilai status gizi.13

e) Stadium kanker laring

Penentuan stadium kanker laring didasarkan pada sistem penentuan tumor-

node-metastasis (TNM) yang dikembangkan oleh American Joint Committee on


26

Cancer. Informasi penentuan stadium dikumpulkan dari pemeriksaan fisik, evaluasi

endoskopi, dan pencitraan. Penentuan stadium yang akurat sangat penting dalam

perencanaan dan untuk menentukan modalitas terapi yang tepat. 13

Tabel 2.1 Tumor Primer (T): Supraglotis.13


Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak ada bukti tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada satu subsitus supraglotis dengan mobilitas korda vokalis
normal
T2 Tumor melibatkan lebih dari subsitus yang berdekatan supraglotis atau glottis
atau wilayah diluar supraglotis (pangkal lidah, valekula, dinding medial sinus
piriformis), tanpa fiksasi laring
T3 Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi korda vokalis dan/atau menginvasi
daerah pasca-cricoid, jaringan pre-epiglotis, ruang paraglotis, dan/atau korteks
bagian dalam kartilago tiroid
T4a Tumor menginvasi kartilago tiroid dan/atau menginvasi jaringan diluar laring
(misalnya trakea, jaringan lunak leher, termasuk otot ekstrinsik dalam lidah, otot
pengikat, tiroid, dan esofagus)
T4b Tumor menginvasi ruang prevertebral, melingkupi arteri karotis, atau menginvasi
struktur mediastinum

Tabel 2.2 Tumor Primer (T): Glotis.13


Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak ada bukti tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada plica vocalis dengan mobilitas normal (mungkin melibatkan
komisura anterior/posterior)
T1a Tumor terbatas pada satu korda vokalis
T1b Tumor melibatkan kedua korda vokalis
T2 Tumor meluas ke supraglotis dan/atau subglotis, dan/atau dengan gangguan
mobilitas
T3 Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi korda vokalis dan/atau menginvasi
ruang paraglotis, dan/atau korteks internal dari kartilago tiroid
T4a Tumor menginvasi kartilago tiroid dan/atau menginvasi jaringan diluar laring
T4b Tumor menginvasi ruang prevertebral, melingkupi arteri karotis, atau menginvasi
struktur mediastinum

Tabel 2.3 Tumor Primer (T): Subglotis.13


Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak ada bukti tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada subglotis
T2 Tumor meluas ke korda vokalis, dan/atau dengan gangguan mobilitas
T3 Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi korda vokalis
27

T4a Tumor menginvasi kartilago krikoid atau tiroid dan/atau menginvasi jaringan
diluar laring
T4b Tumor menginvasi ruang prevertebral, melingkupi arteri karotis, atau menginvasi
struktur mediastinum

Tabel 2.4 Kelenjar Getah Bening Regional (N).13


Nx Kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada bukti metastasis kelenjar getah bening regional
N1 Metastasis ke kelenjar getah bening ipsilateral tunggal, dimensi terbesar 3 cm
N2a Metastasis pada kelenjar getah bening ipsilateral tunggal, dimensi terbesar >3 cm
hingga ≤6 cm
N2b Metastasis pada kelenjar getah bening ipsilateral multipel, dimensi terbesar ≤6 cm
N2c Metastasis pada kelenjar getah bening bilateral atau kontralateral, dimensi
terbesar ≤6 cm
N3 Metastasis pada kelenjar getah bening, dimensi terbesar >6 cm

Tabel 2.5 Metastasis Jauh (M).13


Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Metastasis jauh

7. Tatalaksana

Paradigma pengobatan saat ini dalam penatalaksanaan kanker laring berfokus

pada penyembuhan sambil menjaga laring bila memungkinkan dan mengupayakan

hasil yang memberikan kualitas hidup terbaik. Untuk pasien dengan kanker stadium

awal (T1 dan T2), reseksi endoskopi dan laringektomi parsial terbuka diupayakan

untuk reseksi lengkap sambil mempertahankan laring. Untuk pasien dengan

penyakit lanjut (T3 dan T4), pengobatan dengan terapi kemoradiasi telah muncul

sebagai pendekatan standar. Meskipun demikian, pembedahan memainkan peran

penting dalam pengobatan pasien yang dipilih dengan cermat. Bagi mereka yang

memiliki penyakit lanjut dan fungsi yang buruk, atau mereka yang memiliki

kontraindikasi terhadap kemoradiasi, pembedahan tetap menjadi pengobatan

utama.15
28

Pemilihan pendekatan bedah versus non-bedah sebagai pengobatan awal

untuk kanker laring bergantung pada faktor-faktor individual pasien seperti usia dan

penyakit penyerta, lokasi tumor primer, luas dan volume tumor primer, dan adanya

metastasis kelenjar getah bening atau lokasi kanker laring, kemungkinan metastasis

di daerah nodal yang berisiko menyebar, meskipun tanpa bukti adanya penyakit.

Pilihan pengobatan juga dipengaruhi oleh keterlibatan komisura anterior dan

kemampuan mencapai visualisasi endoskopi yang memadai. Ketersediaan keahlian

bedah dan radiasi onkologi, serta layanan rehabilitasi yang memadai, merupakan

pertimbangan mendasar. Faktor penting lainnya dalam memilih pengobatan

termasuk mobilitas, gangguan, atau fiksasi pita suara, fungsi suara dan menelan

sebelum pengobatan, keinginan pasien dan kebutuhan gaya hidup terkait dengan

morbiditas pengobatan, dan kepatuhan pasien.15

Hasil pengobatan kanker laring yang lebih buruk berhubungan dengan

stadium T atau N lanjut, volume tumor besar, keterlibatan komisura anterior atau

invasi tulang rawan, invasi mendalam ke ruang preepiglotis atau paraglotis,

berkurangnya mobilitas pita suara, dan obstruksi jalan napas yang memerlukan

trakeostomi.15

Kanker laring dapat diobati dengan berbagai prosedur pembedahan.

Meskipun laringektomi total (TL) mengorbankan laring secara keseluruhan,

pendekatan dalam bidang bedah laring konservasi bertujuan untuk

mempertahankan struktur dan fungsi laring sambil mempertahankan fisiologis

bicara dan menelan tanpa mengurangi peluang penyembuhan. Operasi laring

konservasi dilakukan pada pasien dengan kanker laring stadium awal dengan
29

pendekatan termasuk bedah mikro laser transoral dan laringektomi parsial

terbuka.15

Bedah laring konservasi harus dilakukan hanya jika ahli bedah dapat dengan

yakin mencapai batas bebas tumor. Hasil fungsional dari operasi laring konservasi

sangat bergantung pada peran operasi sebagai satu satunya modalitas dalam

pengobatan, karena penggunaan terapi radiasi adjuvan pasca operasi setelah reseksi

tidak lengkap dapat membahayakan hasil fungsional, terutama setelah laringektomi

parsial terbuka. Melakukan operasi konservasi laring dengan kebutuhan yang

diantisipasi untuk terapi radiasi pasca operasi karena margin positif bukanlah

pendekatan yang dapat diterima.15

Radiasi sinar eksternal dapat menjadi pengobatan primer atau sekunder untuk

kanker laring. Perkembangan radioterapi termodulasi intensitas memungkinkan

penargetan kanker yang lebih tepat, sehingga mengurangi kerusakan pada jaringan

normal di sekitarnya. Radiasi dianggap tepat untuk mengobati tumor T1, T2, dan

T3 kecil. Radiasi adjuvan dipertimbangkan pasca operasi untuk kanker laring

stadium lanjut, margin positif, penyebaran ekstrakapsular, atau perluasan perineural

atau angiolimfatik.13

Radiasi digunakan untuk mengobati penyakit leher yang diketahui atau

penyakit dengan risiko metastasis serviks 20% atau lebih besar. Radioterapi

idealnya dimulai dalam waktu 6 minggu setelah operasi. Skenario lain penggunaan

radiasi dalam pengobatan kanker laring mencakup pengobatan paliatif untuk kanker

yang tidak dapat dioperasi dan kandidat bedah yang buruk. Kemoterapi sering

digunakan bersamaan dengan radiasi sebagai radiosensitizer, tetapi juga sebagai


30

pengobatan induksi dan paliasi pada kanker laring. Agen yang paling sering

digunakan adalah cisplatin dan 5-fluorouracil. Pengobatan definitif dengan

kemoterapi dan radiasi tanpa pembedahan digambarkan sebagai pengobatan

pelestarian organ. Cisplatin yang dikombinasikan dengan radiasi memiliki kontrol

lokoregional dan pelestarian laring yang lebih baik dibandingkan dengan

kemoterapi induksi yang diikuti dengan radiasi dan radiasi saja. Standar perawatan

saat ini adalah kemoradiasi definitif untuk penyakit stadium III atau IV untuk

memungkinkan potensi pelestarian organ. Laringektomi total masih diindikasikan

untuk terapi penyelamatan dan pada lesi T4 lanjut, termasuk lesi dengan invasi

dasar lidah yang signifikan atau kerusakan tulang rawan. 13,16

Obat terapeutik baru yang menargetkan jalur berbeda saat ini sedang

diselidiki. Yang paling menonjol adalah antibodi monoklonal reseptor faktor

pertumbuhan epidermal (EGFR), cetuximab. EGFR diekspresikan secara

berlebihan pada banyak kanker kepala dan leher, termasuk kanker laring.

Cetuximab bertindak sebagai penghambat kompetitif terhadap EGFR dan telah

terbukti meningkatkan pengobatan penyakit dan menurunkan angka kematian bila

dikombinasikan dengan radiasi.13

Berikut ini adalah jenis terapi pembedahan karsinoma laring:

• Bedah Mikro Laser Transoral

Bedah mikro laser transoral adalah pendekatan endoskopi invasif minimal

yang menggabungkan penggunaan laringoskopi suspensi dengan mikroskop

operasi, laser pemotongan jaringan, dan instrument bedah mikro untuk mereseksi

tumor primer. Tumor direseksi secara keseluruhan atau sedikit demi sedikit,
31

tergantung pada kebijakan dokter bedah. Mempertahankan setidaknya 1 kompleks

arytenoid untuk mempertahankan fungsi laring. Kualitas suara pasca operasi

bervariasi berdasarkan luasnya tumor, dengan hasil optimal untuk lesi membranosa

pita suara T1 dan tumor supraglotis yang tidak melibatkan pita suara. Kualitas suara

setelah operasi buruk untuk kanker yang melibatkan arytenoid atau kanker yang

meluas ke ruang paraglotis. Tidak seperti laringektomi parsial terbuka, kerangka

tulang rawan laring dipertahankan utuh dalam bedah mikro laser transoral, sehingga

tidak memerlukan trakeostomi, proses menelan pasca operasi lebih cepat, dan masa

rawat inap di rumah sakit lebih singkat. Hasil onkologis dari bedah mikro laser

transoral telah terbukti sebanding dengan laringektomi parsial terbuka.15,17

• Laringektomi Parsial Terbuka

Terdiri dari beragam teknik bedah terbuka, mulai dari hemilaryngektomi

(laringektomi parsial vertical), laringektomi supraglotis (laringektomi parsial

horizontal), hingga laringektomi parsial suprakrikoid. Komplikasi laringektomi

parsial terbuka meliputi perdarahan, infeksi, fistula laringokutaneus, penyembuhan

luka yang buruk, obstruksi jalan napas yang memerlukan trakeostomi, pneumonia

aspirasi, disfagia, dan disfonia. Laringektomi parsial terbuka kadang-kadang

digunakan dalam pengobatan utama kanker supraglotis T3 yang tidak dapat

dilakukan bedah mikro laser transoral. Sekali lagi, pemilihan pasien untuk tumor

stadium lanjut ini sangat penting karena hanya sedikit tumor T3 yang dapat

menjalani laringektomi parsial terbuka.15,17

• Laringektomi Total
32

Laringektomi total adalah pengobatan standar untuk kanker laring stadium

lanjut bagi pasien yang tidak dapat menjalani perawatan mempertahakan organ

akibat invasi ekstensif ke tulang rawan tiroid, penyebaran ke luar laring, atau

penyakit penyerta multipel dan parah. Laringektomi total menghilangkan seluruh

laring, otot tali, limfatik paratrakeal, dan lobus tiroid ipsilateral dalam beberapa

kasus. Meskipun laringektomi total sering kali memberikan peluang terbaik untuk

penyembuhan, konsekuensinya adalah trakeostoma permanen dan hilangnya suara

asli. Komplikasi laringektomi total yang paling umum adalah infeksi luka dan

fistula faringokutaneus, terjadi pada 50% pasien yang sebelumnya menerima

radiasi. Oleh karena itu, flap jaringan bervaskularisasi bebas atau bertangkai untuk

menutupi penutupan faring yang direkonstruksi selama penyelamatan laringektomi

total mungkin disarankan untuk mengurangi risiko dan tingkat keparahan

fistula.15,17

8. Komplikasi

Komplikasi radiasi dapat dibagi menjadi manifestasi awal dan akhir. Pasien

berjuang dengan mucositis, luka bakar, odinofagia, disfagia, dan edema selama

pengobatan radiasi. Pasien mungkin mengalami penurunan berat badan karena efek

ini, sehingga memerlukan dukungan makanan, terkadang melalui tabung

gastrostomi perkutan. Komplikasi penurunan berat badan seringkali dapat

berlangsung melebihi waktu pengobatan. Komplikasi lanjut meliputi xerostomia,

edema, kehilangan pengecapan, hipotiroidisme, stenosis laring/esofagus, aspirasi,

osteo/kondroradionekrosis, dan disfungsi pita suara. Pasien mungkin memerlukan

pemasangan trakeostomi setelah perawatan karena perubahan anatomi dan fungsi


33

laring. Tingkat ketergantungan trakeostomi jangka panjang diperkirakan 25%-30%

pada kanker laring stadium lanjut (T3 dan T4). Prediktor ketergantungan

trakeostomi mencakup perlunya trakeostomi sebelum pengobatan, perluasan

subglotis, dan kanker laring stadium lanjut (T3 dan T4).13

Komplikasi pembedahan mencakup komplikasi standar dari semua

pembedahan, termasuk infeksi, perdarahan, hematoma, seroma, dan kerusakan

luka. Ada komplikasi unik pada operasi kanker laring. Operasi kepala dan leher

dianggap terkontaminasi bersih dan berisiko lebih tinggi terhadap infeksi pasca

operasi. Fistula dapat terbentuk antara kulit dan lokasi reseksi/rekonstruksi ketika

prosedur terbuka diperlukan. Risiko terjadinya fistula meningkat secara signifikan

akibat radiasi dan kemoradiasi sebelumnya. Pasien yang menjalani operasi laring

endoskopi atau konservasi dapat mengalami obstruksi jalan napas jika trakeostomi

tidak dilakukan selama operasi. Aspirasi dapat terlihat pada pasien yang menjalani

laringektomi parsial dan dapat mengakibatkan infeksi saluran pernapasan.

Kebakaran saluran napas adalah komplikasi unik dari Bedah Mikro Laser

Transoral.13

9. Prognosis

Dengan pengembangan pendekatan diagnostik dan terapeutik yang

berkelanjutan, fungsi perbaikan pasca operasi, kualitas hidup, dan tingkat

kelangsungan hidup 5 tahun pasien karsinoma laring telah meningkat pesat,

sementara metastasis dan kekambuhan lokal masih menjadi penyebab utama

kematian pada pasien karsinoma laring.18


34

Yafeng dkk. menyelidiki faktor prognostik dan nilai perawatan bedah

pasien dengan karsinoma laring yang baru didiagnosis dengan metastasis jauh.

Mereka menemukan bahwa pasien yang tidak menjalani operasi tumor primer

memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk meninggal akibat kanker

dibandingkan mereka yang menjalaninya; selain itu, stadium T, metastasis otak,

dan perawatan bedah merupakan faktor prognostik pasien dengan karsinoma laring

stadium M1.18
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas

Nama : Tn. R

Usia : 39 tahun

Pekerjaan : Petugas loket

Pendidikan : SMA

Agama : Islam

Suku : Banjar

Alamat : Jl. RE Martadinata, Gang Proklamasi, RT 21 No. 9

Nomor rekam medis : 01-54-XX-XX

Tanggal pemeriksaan : 13 Januari 2024

II. Anamensis
Autoanamnesis dilakukan dengan pasien pada 13 Januari 2024 pukul 16.00

WITA.

a. Keluhan Utama: Suara serak

b. Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang rencana operasi laringektomi pada hari senin (15/01/2024).

Awalnya pasien mengeluhkan suara serak sejak 8 bulan terakhir. Keluhan suara

serak dirasakan terus menerus dan memberat. Pasien mencoba meminum air panas,

namun keluhan suara serak tidak berkurang. Keluhan nyeri menelan tidak ada.

Pasien juga mengeluhkan sesak nafas sejak 4 bulan terakhir. Pasien lalu dibawa ke

RSUD Ulin untuk dilakukan operasi trakeostomi. Pada saat operasi trakeostomi,

35
36

ditemukan benjolan pada pita suara pasien, lalu dilakukan biopsi.

Setelah dilakukan pemsangan trakeostomi, pasien merasakan benjolan di

leher yang semakin membesar. Keluhan nyeri pada benjolan disangkal. Pasien juga

mengeluhkan batuk yang semakin progresif, dan terkadang disertai darah sejak

terpasang trakeostomi. Pasien mengalami penurunan berat badan sebanyak 8 kg

dalam 9 bulan. Keluhan batuk lama, dan keringat di malam hari disangkal. Keluhan

hidung tersumbat, penurunan penciuman disangkal. Keluhan telinga seperti gatal,

nyeri telinga, berdarah, keluar cairan disangkal.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi (-), diabetes mellitus (-), asma (-), riwayat keganasan (-).

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Hipertensi (-), diabetes mellitus (-), asma (-), riwayat keganasan (-).

e. Riwayat Pengobatan

Operasi trakeostomi di RSUD Ulin Banjarmasin pada tanggal 16 November

2023.

f. Riwayat Kebiasaan

Merokok 2 bungkus per hari selama 10 tahun, namun telah berhenti 10 tahun

lalu. Konsumsi alkohol (+).

III. Pemeriksaan Fisik

a. Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran/GCS : Compos mentis / E4V5M6

Tanda Vital :
37

- Tekanan darah : 120/80 mmHg

- Frekuensi nadi : 84 x/menit

- Frekuensi napas : 20 x/menit

- Suhu : 36.3 °C

- SpO2 : 99% tanpa suplementasi oksigen

b. STATUS LOKALIS

Telinga

Inspeksi : Ukuran dan bentuk normal, fistula (-/-), massa (-/-), edema

(-/-), sekret (-/-)

Palpasi : Nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tarik

aurikula (-/-)

MAE : Hiperemi (-/-), edema (-/-), sekret (-/-), serumen (+/+) minimal, furunkel (-

/-), hifa (-/-)

MT : Intak (+/+), refleks cahaya (+/+), warna (mengkilat/suram), retraksi (-/-),

bulging (-/-), hiperemi (-/-), granulasi (-/-), kolesteatoma (-/-)

Tes Pendengaran :

Tes Rinne : +/+

Tes Weber : Tidak ada lateralisasi

Tes Schwabach : Sama dengan pemeriksa / sama dengan pemeriksa

Kesimpulan : Pendengaran normal

Hidung

Inspeksi : Bentuk nomal, deformitas (-), hiperemi (-), massa (-) krepitasi(-), deviasi

septum (-/-)
38

Palpasi : Nyeri tekan (-), krepitasi (-)

Sinus : Nyeri tekan sinus frontalis (-/-), nyeri tekan sinus maksilaris(-/-), nyeri tekan

sinus etmoidalis (-/-)

Rinoskopi Anterior :

Vestibulum : Lapang (+/+), edema (-/-), hiperemi (-/-), massa(-/-), sekret (-/-)

Kavum Nasi : Lapang (+/+), hiperemi (-/-), massa polip (-/-), edema konka (-/-),

sekret (+ minimal/+ minimal) mucoid bening, konka (eutrofi/eutrofi), permukaan

licin (-/-), fenomena palatum mole (+/+), pasase udara (efektif/efektif).

Rinoskopi Posterior : tidak dilakukan

Transluminasi : tidak dilakukan

Tenggorok

a. Rongga Mulut

1. Bibir : Simetris, mukosa lembab, stomatitis (-), ulkus (-)

2. Gingiva : Hiperemi (-), ulkus (-), massa (-), perdarahan (-)

3. Gigi Geligi : Lengkap, berlubang (-), karies (-)

4. Lidah : Deviasi (-), massa (-), ulkus (-), pseudomembran (-), gerak lidah (+) ke

segala arah

5. Palatum : Warna (normal/normal), massa (-), ulkus (-), plak (-)

6. Uvula : Tidak simetris, pseudomembran (-), ulkus (-), hiperemi (-)

b. Orofaring :

1. Faring : Warna (normal), refleks muntah (+), post nasal drip (-), edem (-), massa

(-)

2. Tonsil :Ukuran T1/T1


39

3. Konsistensi : Kenyal/kenyal

4. Warna : normal/normal

5. Permukaan : licin/licin

6. Kripta : -/-

7. Detritus : -/-, ulkus (-/-), granul (-/-)

8. Laringoskopi Indirek : Tidak dilakukan

Leher

Inspeksi : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), massa (+) berwarna sesuai

warna kulit sekitarnya; ikut bergerak saat menelan, terpasang kanul trakeostomi,

sekret (+) pada kanul, pasase udara trakeokanul (+) efektif.

Palpasi : Nyeri tekan (-), pembesaran tiroid (-), massa (+) keras; nyeri tekan (-);

jumlah 1; berlokasi di anterior leher; ukuran 7.5x8x1.5 cm; batas tegas; permukaan

berdungkul; dan terfiksir, pembesaran KGB submandibula (-), KGB servikalis

anterior (-), KGB servikalis posterior (-), KGB supraklavikula (-)

Pemeriksaan Nervus Kranial

N I : (+/+) N VIII : N.Vestibularis (+/+), N.Koklearis (+/+) N II : (+/+) N IX, X :

N.Glosofaringeus (+), N. Vagus (+) N III, IV, VI : (+/+) N XI : (+/+) N V : (+/+) N

XII : (+/+) N VII : (+/+).

IV. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium darah (23-12-2023)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

Hemoglobin 13.5 12.0-16.0 g/dl


40

Leukosit 10.3 4.0-10.5 ribu/ul

Eritrosit 4.68 4.00-5.30 juta/ul

Hematokrit 41.7 37.0-47.0 %

Trombosit 403 150-450 ribu/ul

RDW-CV 12.4 12.1-14.0 %

MCV 89.1 80.0-92.0 fl

MCH 28.8 28.0-32.0 pg

MCHC 32.4 33.0-37.0 %

Basofil % 0.5 0.0-1.0 %

Eosinofil % 3.0 1.0-3.0 %

Neutrofil % 71.2 50.0-81.0 %

Limfosit % 18.5 20.0-40.0 %

Monosit % 6.8 2.0-8.0 %

Basofil # 0.05 <1.0 ribu/ul

Eosinofil # 0.31 <3.0 ribu/ul

Neutrofil # 7.37 2.50-7.00 ribu/ul

Limfosit # 1.91 1.25-4.0 ribu/ul

Monosit # 0.70 0.30-1.0 ribu/ul

Hasil PT 11.2 9.9-13.5 detik

INR 1.02 -

Control Normal PT 11.4 -

Hasil APTT 32.2 22.2-37.0 detik


41

Control Normal APTT 26.1 -

GDP 93 80-115 mg/dl

GD2PP 151 <140.00 mg/dl

SGOT 26 5-34 U/l

SGPT 32 0-55 U/l

Ureum 17 0-50 mg/dl

Kreatinin 0.83 0.57-1.11 mg/dl

Natrium 138 136-145 Meq/L

Kalium 3.9 3.5-5.1 Meq/L

Chlorida 104 98-107 Meq/L

Anti HIV Non reaktif non reaktif

HBsAg Non reaktif non reaktif

b. Laboratorium darah (16-01-2024)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

Hemoglobin 11.7 12.0-16.0 g/dl

Leukosit 15.8 4.0-10.5 ribu/ul

Eritrosit 4.09 4.00-5.30 juta/ul

Hematokrit 36.4 37.0-47.0 %

Trombosit 256 150-450 ribu/ul

RDW-CV 12.2 12.1-14.0 %

MCV 89.0 80.0-92.0 fl


42

MCH 28.6 28.0-32.0 pg

MCHC 32.1 33.0-37.0 %

Basofil % 0.1 0.0-1.0 %

Eosinofil % 0.1 1.0-3.0 %

Neutrofil % 93.8 50.0-81.0 %

Limfosit % 3.7 20.0-40.0 %

Monosit % 2.3 2.0-8.0 %

Basofil # 0.01 <1.0 ribu/ul

Eosinofil # 0.01 <3.0 ribu/ul

Neutrofil # 14.80 2.50-7.00 ribu/ul

Limfosit # 0.58 1.25-4.0 ribu/ul

Monosit # 0.36 0.30-1.0 ribu/ul

Natrium 136 136-145 Meq/L

Kalium 4.2 3.5-5.1 Meq/L

Chlorida 105 98-107 Meq/L

Albumin 2.9 3.5-5.2 g/dl

Kalsium 7.5 8.4-10.0 Mg/dl

FT3 2.52 4.00-8.30 Pmol/l

FT4 13.71 10.50-19.40 Pmol/l

TSHs 0.1271 0.5500-4.7800 uIU/ml


43

c. Laboratorium Patologi Anatomi (01/12/2023)

d. Foto Thorax AP/Lat (11/12/2023)


44

e. Foto Cervical AP/Lateral (15/11/2023)

f. MSCT Scan Laring Tanpa Dan Dengan Kontras (27/12/2023)


45

g. Laporan operasi (15/01/2023)

h. Follow-up pasien

Subjective Objective Assesment Planning


14 Januari 2024 (HP-1)
Demam (-), Pemeriksaan fisik Karsinoma • Pro
sesak (-), pilek (- Status generalis Laring Laryngectomy
), batuk (±) KU: Tampak sakit sedang T4N0M0 + total + Diseksi
Kesadaran: compos mentis Terpasang Leher +
(E4V5M6) Trakeostomi Tiroidektomi
Tanda Vital • Inform
TD: 110/60 mmHg Consent
HR: 80 x/menit • Pasang infus
RR: 18 x/menit dan puasa
T: 36.7 C sesuai
SpO2: 99% tanpa suplementasi • TS Anestesi
oksigen • Premedikasi
Inj Ceftriaxone
Auris dextra et sinistra: 2 gr ( 1 jam
- Preaurikula: Kelainan sebelum OK),
kongenital (-/-), radang (-/-), skin test
tumor (-/-), trauma (-/-) dahulu
- Aurikula: Kelainan kongenital • Sedia darah
(-/-), radang (-/-), tumor (-/-), PRC 2 Kolf
46

trauma (-/-), nyeri tekan tragus


(-/-)
- Retroaurikula: Edema (-/-),
hiperemis (-/-), nyeri tekan (-/-),
sikatriks (-/-), fistula (-/-),
fluktuasi (-/-)
- CAE: Kelainan kongenital (-/-
), kulit hiperemis (-/-), sekret (-/-
), serumen (minimal/minimal),
edema (-/-), jaringan granulasi (-
/-), massa (-/-), kolesteatoma (-/-
)
- MT: Intak (+/+), warna (putih
mengkilap/mengkilap), refleks
cahaya (+/+)
- Tes pendengaran: Tes rinne
(+/+), Tes weber tidak terdapat
lateralisasi, Tes schwabach
(sama dengan pemeriksa/sama
dengan pemeriksa)

Hidung:
- Keadaan luar: Deformitas (-),
warna sama dengan kulit sekitar,
massa (-)
- Rhinoskopi anterior: Mukosa
(hiperemis -/-), edema -/-),
sekret (minimal, darah (-
)/minimal, darah (-), krusta (-/-),
concha (eutrofi/eutrofi), septum
deviasi (-), polip (-/-), pasase
udara (efektif/efektif)
- Nyeri tekan pada sinus
maxillaris (-/-), nyeri tekan sinus
frontalis (-)

Mulut dan orofaring:


Mulut:
-Uvula: Simetris, Edem (-)
- Faring: Mukosa hiperemis (-),
granula (-), post nasal drip (-),
reflex muntah (+)

Maksilofasial:
Bentuk: deformitas (-)
47

Paresis N. Cranialis: tidak ada


parase

Leher:
Inspeksi : Terpasang kanul
trakeostomi, sekret (+) pada
kanul Pasase udara pada
trakeokanul (+) efektif,
pembeseran KGB (-)
Palpasi : Pembesaran KGB (-),
massa (+), keras, nyeri tekan (-),
warna sesuai warna kulit
15 Januari 2024 (HP-2)
Nyeri post Pemeriksaan fisik Post Op • Inf RL 20 tpm
operasi (+), Status generalis Laringektomi • Inj ketorolac 3x
demam (-), mual KU: Tampak sakit sedang total + 30 mg iv
(-), muntah (-) Kesadaran: compos mentis tiroidektomi • Inj ceftriaxon 2x
(E4V5M6) total POD 0 1 g iv
Tanda Vital • Inj as.
TD: 110/60 mmHg Tranexamat 3x
HR: 80 x/menit 500 mg
RR: 18 x/menit • Inj
T: 36.7 C Dexametason 3x
SpO2: 99% tanpa suplementasi 1 amp iv
oksigen • Inj bisolvon 2x
1 amp iv
Auris dextra et sinistra: • Nebul dengan
- Preaurikula: Kelainan
ventolin ½ resp
kongenital (-/-), radang (-/-), + aquades 2 cc
tumor (-/-), trauma (-/-)
• Posisi ½ duduk
- Aurikula: Kelainan kongenital
• Tidak boleh
(-/-), radang (-/-), tumor (-/-),
menelan
trauma (-/-), nyeri tekan tragus
(-/-) • Tidak boleh
- Retroaurikula: Edema (-/-), bicara
hiperemis (-/-), nyeri tekan (-/-), • Tidak boleh
sikatriks (-/-), fistula (-/-), menoleh/
fluktuasi (-/-) menunduk
- CAE: Kelainan kongenital (-/- • Cek lab :
), kulit hiperemis (-/-), sekret (-/- calsium, T3, T4,
), serumen (minimal/minimal), TsH
edema (-/-), jaringan granulasi (-
/-), massa (-/-), kolesteatoma (-/-
)
48

- MT: Intak (+/+), warna (putih


mengkilap/mengkilap), refleks
cahaya (+/+)
- Tes pendengaran: Tes rinne
(+/+), Tes weber tidak terdapat
lateralisasi, Tes schwabach
(sama dengan pemeriksa/sama
dengan pemeriksa)

Hidung:
- Keadaan luar: Deformitas (-),
warna sama dengan kulit sekitar,
massa (-)
- Rhinoskopi anterior: Mukosa
(hiperemis -/-), edema -/-),
sekret (minimal, darah (-
)/minimal, darah (-), krusta (-/-),
concha (eutrofi/eutrofi), septum
deviasi (-), polip (-/-), pasase
udara (efektif/efektif)
- Nyeri tekan pada sinus
maxillaris (-/-), nyeri tekan sinus
frontalis (-)

Mulut dan orofaring:


Mulut:
-Uvula: Simetris, Edem (-)
- Faring: Mukosa hiperemis (-),
granula (-), post nasal drip (-),
reflex muntah (+)

Maksilofasial:
Bentuk: deformitas (-)
Paresis N. Cranialis: tidak ada
parase

Leher:
Inspeksi : Luka operasi tertutup
perban, rembesan (-), terpasang
kanul trakeostomi, sekret (+)
pada kanul Pasase udara pada
trakeokanul (+) efektif,
pembeseran KGB (-)
Palpasi : TDL
16 Januari 2024 (HP-3)
49

Nyeri post Pemeriksaan fisik Post Op • Telah dilakukan


operasi (+), Status generalis Laringektomi rawat luka
demam (-), mual KU: Tampak sakit sedang total + • Inf RL 20 tpm
(-), muntah (-) Kesadaran: compos mentis tiroidektomi • Inj ketorolac 3x
(E4V5M6) total POD 1 30 mg iv
Tanda Vital • Inj ceftriaxon 2x
TD: 110/60 mmHg 1 g iv
HR: 80 x/menit • Inj as.
RR: 18 x/menit Tranexamat 3x
T: 36.7 C 500 mg
SpO2: 99% tanpa suplementasi • Inj
oksigen Dexametason 3x
1 amp iv
Auris dextra et sinistra: • Inj bisolvon 2x
- Preaurikula: Kelainan
1 amp iv
kongenital (-/-), radang (-/-),
• Nebul dengan
tumor (-/-), trauma (-/-)
ventolin ½ resp
- Aurikula: Kelainan kongenital
+ aquades 2 cc
(-/-), radang (-/-), tumor (-/-),
• Posisi ½ duduk
trauma (-/-), nyeri tekan tragus
(-/-) • Tidak boleh
- Retroaurikula: Edema (-/-), menelan
hiperemis (-/-), nyeri tekan (-/-), • Tidak boleh
sikatriks (-/-), fistula (-/-), bicara
fluktuasi (-/-) • Tidak boleh
- CAE: Kelainan kongenital (-/- menoleh/
), kulit hiperemis (-/-), sekret (-/- menunduk
), serumen (minimal/minimal), Cek lab : calsium,
edema (-/-), jaringan granulasi (- T3, T4, TsH
/-), massa (-/-), kolesteatoma (-/-
)
- MT: Intak (+/+), warna (putih
mengkilap/mengkilap), refleks
cahaya (+/+)
- Tes pendengaran: Tes rinne
(+/+), Tes weber tidak terdapat
lateralisasi, Tes schwabach
(sama dengan pemeriksa/sama
dengan pemeriksa)

Hidung:
- Keadaan luar: Deformitas (-),
warna sama dengan kulit sekitar,
massa (-)
- Rhinoskopi anterior: Mukosa
(hiperemis -/-), edema -/-),
50

sekret (minimal, darah (-


)/minimal, darah (-), krusta (-/-),
concha (eutrofi/eutrofi), septum
deviasi (-), polip (-/-), pasase
udara (efektif/efektif)
- Nyeri tekan pada sinus
maxillaris (-/-), nyeri tekan sinus
frontalis (-)

Mulut dan orofaring:


Mulut:
-Uvula: Simetris, Edem (-)
- Faring: Mukosa hiperemis (-),
granula (-), post nasal drip (-),
reflex muntah (+)

Maksilofasial:
Bentuk: deformitas (-)
Paresis N. Cranialis: tidak ada
parase

Leher:
Inspeksi : Terpasang kanul
trakeostomy yang tertutup oleh
perban, terpasang drain berisi
darah(+) kanul Pasase udara
pada trakeokanul (+) efektif
Palpasi : TDL
17 Januari 2024 (HP-4)
51

Nyeri post op Pemeriksaan fisik Post • Inf Rl 20 tpm


(<), ludah Status generalis laryngectomy • Inj ketorolac 3x
bercampur darah KU: Tampak sakit sedang total + 30 mg iv
(-), demam (-), Kesadaran: compos mentis tiroidectomy • Inj ceftriaxon 2x
sesak (-) (E4V5M6) total POD 2 1 g iv
Tanda Vital • Inj as.
TD: 110/60 mmHg Tranexamat 3x
HR: 80 x/menit 500 mg
RR: 18 x/menit • Inj
T: 36.7 C Dexametason 3x
SpO2: 99% tanpa suplementasi 1 amp iv
oksigen • Inj bisolvon 2x
1 amp iv
Auris dextra et sinistra: • Nebul dengan
- Preaurikula: Kelainan
ventolin ½ resp
kongenital (-/-), radang (-/-),
+ aquades 2 cc
tumor (-/-), trauma (-/-)
• Posisi ½ duduk
- Aurikula: Kelainan kongenital
• Tidak boleh
(-/-), radang (-/-), tumor (-/-),
menelan
trauma (-/-), nyeri tekan tragus
(-/-) • Tidak boleh
- Retroaurikula: Edema (-/-), bicara
hiperemis (-/-), nyeri tekan (-/-), • Tidak boleh
sikatriks (-/-), fistula (-/-), menoleh/
fluktuasi (-/-) menunduk
- CAE: Kelainan kongenital (-/- • Cek lab :
), kulit hiperemis (-/-), sekret (-/- calsium, T3, T4,
), serumen (minimal/minimal), TsH (hari ini)
edema (-/-), jaringan granulasi (-
/-), massa (-/-), kolesteatoma (-/-
)
- MT: Intak (+/+), warna (putih
mengkilap/mengkilap), refleks
cahaya (+/+)
- Tes pendengaran: Tes rinne
(+/+), Tes weber tidak terdapat
lateralisasi, Tes schwabach
(sama dengan pemeriksa/sama
dengan pemeriksa)

Hidung:
- Keadaan luar: Deformitas (-),
warna sama dengan kulit sekitar,
massa (-)
- Rhinoskopi anterior: Mukosa
(hiperemis -/-), edema -/-),
52

sekret (minimal, darah (-


)/minimal, darah (-), krusta (-/-),
concha (eutrofi/eutrofi), septum
deviasi (-), polip (-/-), pasase
udara (efektif/efektif)
- Nyeri tekan pada sinus
maxillaris (-/-), nyeri tekan sinus
frontalis (-)

Mulut dan orofaring:


Mulut:
-Uvula: Simetris, Edem (-)
- Faring: Mukosa hiperemis (-),
granula (-), post nasal drip (-),
reflex muntah (+)

Maksilofasial:
Bentuk: deformitas (-)
Paresis N. Cranialis: tidak ada
parase

Leher:
Inspeksi : Terpasang kanul
trakeostomy yang tertutup oleh
perban, terpasang drain berisi
darah(+) kanul Pasase udara
pada trakeokanul (+) efektif
Palpasi : TDL
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien atas nama Tn. R dengan usia 39 tahun dirawat di Bangsal THT RSUD

Ulin Banjarmasin dengan keluhan suara serak dan sesak nafas yang telah terpasang

trakeostomi. Pasien didiagnosis dengan karsinoma laring T4N0M0 yang

direncanakan pembedahan laringektomi.

Pasien awalnya mengeluhkan suara serak sejak 8 bulan yang lalu. Keluhan

suara serak dirasakan menetap dan progresif. Keluhan nyeri menelan disangkal.

Pasien juga mengeluhkan sesak nafas menetap yang muncul 4 bulan yang lalu, dan

akhirnya pasien dibawa ke RSUD Ulin dan dilakukan trakeostomi. Pasien juga

mengeluhkan muncul benjolan di leher yang dirasakan semakin membesar. Pasien

juga mengalami penurunan berat badan dalam 8 kg dalam 9 bulan. Pasien juga

mengeluhkan batuk yang terkadang disertai darah setelah terpasang trakeostomi.

Berdasarkan teori, laring adalah salah satu organ dengan sejumlah fungsi biologis

penting yang memfasilitasi fonasi dan menelas, melindungi jalan napas dan

mengoptimalkan aliran udara. Disfungsi pada laring dapat menimbulkan gangguan-

gangguan fungsional laring.19

Kriteria rujukan mendesak pada pasien yang diduga menderita kanker laring

berdasarkan pedoman NICE yaitu benjolan di leher yang tidak diketahui

penyebabnya (yang baru timbul, atau benjolan yang sebelumnya tidak terdiagnosis

dan telah berubah dalam jangka waktu tiga hingga enam minggu), pembengkakan

terus-menerus pada kelenjar parotis atau submandibular, sakit tenggorokan atau

nyeri terus-menerus yang tidak diketahui penyebabnya, nyeri unilateral yang tidak

53
54

diketahui penyebabnya di daerah kepala dan leher selama lebih dari empat minggu,

dan otalgia dengan otoskopi normal.20

Gejala kanker laring bergantung pada lokasi asal lesi. Tumor glotis sering kali

muncul dengan suara serak, meskipun sebagian besar pasien yang mengalami hal

ini pada praktik umum tidak mungkin menderita kanker laring. Bahkan tumor glotis

yang kecil sekalipun akan mempunyai efek nyata pada suara akibat terganggunya

karakteristik getaran normal pita suara. Gejala kanker laring antara lain disfagia,

odynophagia, otalgia, stridor, dyspnoea, dan hemoptisis. Tumor juga dapat muncul

dengan limfadenopati serviks metastatik tanpa gejala laring; Hal ini umum terjadi

pada lesi supraglotis karena banyaknya suplai limfatik ke laring. Sebaliknya, lesi

glotis bermetastasis lambat karena pita suara tidak mendapat pasokan limfatik yang

baik. Oleh karena itu, pasien yang mengalami limfadenopati dan disertai faktor

risiko onkologis kepala dan leher harus dirujuk sejak dini, bahkan tanpa adanya

gejala laring yang jelas.20

Sekitar 5% hingga 15% pasien kanker laring datang dengan obstruksi jalan

napas (stridor dan dispnea), 81% dari penyakit pasien ini diklasifikasikan sebagai

T4 dan 82% sebagai stadium IV. Terapi standar untuk obstruksi jalan napas yaitu

intubasi. Jika pasien tidak dapat diintubasi, perangkat supraglotis atau sungkup

wajah bisa digunakan, dan jika gagal bisa dilakukan krikotirotomi. Setelah jalan

napas terkontrol, trakeostomi dilakukan yang sebaikan pada tingkat cincin trakea

pertama untuk memastikan bahwa margin trakea terjamin.21


55

Gambar 4.1 Algoritma manajemen obstruksi jalan napas pasien onkologi.21

Penurunan berat badan kritis, yang didefinisikan sebagai penurunan berat

badan yang tidak disengaja sebesar ≥5% dalam 1 bulan atau ≥10% dalam 6 bulan,

merupakan fenomena umum pada pasien kanker kepala-leher dengan prevalensi

sekitar 30% hingga 55% dari seluruh pasien. Meskipun prevalensi penurunan berat

badan kritis pada pasien dengan kanker laring rendah (12%), pada kelompok pasien

kanker laring supraglotis lebih sering mengalami penurunan berat badan kritis

(34%), kemungkinan berhubungan dengan disfagia.22

Pasien merupakan laki-laki yang memiliki riwayat merokok selama 10 tahun

dan mengonsumsi 2 bungkus per hari. Pasien juga mengonsumsi alkohol.

Berdasarkan teori, eisiko laki-laki dua kali lipat terkena kanker laring dibandingkan
56

perempuan. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan laki-laki terhadap kebiasaan

merokoknya. Produk tembakau, terutama tembakau tanpa asap menjadi penyebab

utamanya. Selain itu, penggunaan alkohol berlebihan juga dianggap sebagai faktor

risiko berkembangnya karsinoma sel skuamosa, terutama bila dikombinasikan

dengan produk tembakau.23

Pada pemeriksaan fisik ditemukan massa di anterior leher. Massa memiliki

konsistensi keras, berjumlah 1, batas tegas, ukuran 7.5x8x1.5 cm, permukaan

berdungkul, dan terfiksir. Berdasarkan teori, semua pasien yang datang dengan

gejala laring atau yang berhubungan dengan kanker laring harus menjalani

pemeriksaan kepala dan leher secara mendetail. Pada palpasi leher penting

diperhatikan bekas luka sebelumnya (misalnya operasi tiroid, yang dapat

menyebabkan suara serak), limfadenopati (yang dapat disebabkan oleh infeksi atau

metastasis), nyeri tekan atau gejala atau tanda lain yang memastikan atau

mengecualikan kemungkinan adanya penyakit tersebut. Pada pemeriksaan fisik

leher penting untuk menilai luas lokal tumor, mencatat ukuran dan keterlibatan

struktur di sekitarnya, serta menilai mobilitas pita suara. Pemeriksaan leher

menyeluruh sangat penting, tidak hanya untuk menilai metastasis nodus tetapi juga

perluasan lesi primer. Laringoskopi cermin indirek, jika tersedia, dapat memberikan

petunjuk mengenai kemungkinan diagnosis.20

Hasil pemeriksaan MSCT laring tanpa dan dengan kontras ditemukan massa

laring area glottis kiri yang melibatkan vocal cord kiri, meluas ke subglottis,

paraglottic space kiri, serta sedikit mengerosi lamina thyroid kiri. Tidak ditemukan

pembesaran KGB maupun metastasis otak. Pasien didiagnosis karsinoma laring


57

T4N0M0. Berdasarkan teori, pencitraan radiologi melalui CT atau MRI sangat

penting dalam evaluasi penuh terhadap setiap dugaan lesi laring. CT biasanya

menjadi pemeriksaan pilihan pertama. MRI lebih unggul dibandingkan CT dalam

menilai invasi tulang rawan dan membedakan struktur jaringan lunak; namun, hal

ini tidak dapat dilakukan jika terdapat benda asing dari logam (misalnya alat pacu

jantung), lebih mahal dan memakan waktu serta rentan terhadap artefak gerak. 20

Berdasarkan American Joint Committee on Cancer, penegakan stadium

kanker laring menggunakan sistem TNM dapat dilakukan berdasarkan pemeriksaan

fisik, evaluasi endoskopi, dan pencitraan.13

Tabel 4.1 Tumor Primer (T): Glotis.13


Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak ada bukti tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas pada plica vocalis dengan mobilitas normal (mungkin melibatkan
komisura anterior/posterior)
T1a Tumor terbatas pada satu korda vokalis
T1b Tumor melibatkan kedua korda vokalis
T2 Tumor meluas ke supraglotis dan/atau subglotis, dan/atau dengan gangguan
mobilitas
T3 Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi korda vokalis dan/atau menginvasi
ruang paraglotis, dan/atau korteks internal dari kartilago tiroid
T4a Tumor menginvasi kartilago tiroid dan/atau menginvasi jaringan diluar laring
T4b Tumor menginvasi ruang prevertebral, melingkupi arteri karotis, atau menginvasi
struktur mediastinum

Tabel 4.2 Kelenjar Getah Bening Regional (N).13


Nx Kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada bukti metastasis kelenjar getah bening regional
N1 Metastasis ke kelenjar getah bening ipsilateral tunggal, dimensi terbesar 3 cm
N2a Metastasis pada kelenjar getah bening ipsilateral tunggal, dimensi terbesar >3 cm
hingga ≤6 cm
N2b Metastasis pada kelenjar getah bening ipsilateral multipel, dimensi terbesar ≤6 cm
N2c Metastasis pada kelenjar getah bening bilateral atau kontralateral, dimensi
terbesar ≤6 cm
N3 Metastasis pada kelenjar getah bening, dimensi terbesar >6 cm

Tabel 4.3 Metastasis Jauh (M).13


Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai
58

M0 Tidak ada metastasis jauh


M1 Metastasis jauh

Gambar 4.2 Penegakan stadium kanker laring berdasarkan AJCC. 13

Pasien mengatakan saat dilakukan operasi trakeostomi ditemukan benjolan

pada pita suara pasien dan kemudian dilakukan biopsi. Hasil pemeriksaan patologi

anatomi ditemukan squamous cell carcinoma. Berdasarkan teori, karsinoma sel

skuamosa merupakan jenis tumor ganas laring primer yang paling sering

ditemukan, yaitu lebih dari 95% kasus. Sisanya tumor yang berasal dari kelenjar

ludah minor, neuroepithelial, tumor jaringan lunak dan jarang timbul dari tulang

kartilaginosa laring. Laring merupakan organ yang dilapisi epitel skuamosa yang
59

berubah bentuk karena pajanan trauma atau akibat rangsangan karsinogenik.

Perubahan epitel normal menjadi ganas biasanya diawali oleh leukoplakia,

hiperplasia, keratosis non atipik, keratosis atipik, karsinoma insitu dan karsinoma

mikroinvasif. Karsinoma sel skuamosa laring merupakan hasil dari interaksi banyak

faktor etiologi seperti konsumsi tembakau dan atau alkohol yang lama, bahan

karsinogen lingkungan, status sosial ekonomi, pekerjaan yang berbahaya, faktor

makanan dan kerentanan genetik.24

Pada pasien dilakukan laringektomi total dan tiroidektomi total. Berdasarkan

teori, laringektomi total digunakan untuk pengobatan kanker laring penyakit lanjut

T3 dan T4, kanker laring yang gagal dalam kemoterapi dan radiasi. Kanker

subglotis sering muncul pada stadium lanjut dengan keterlibatan tulang rawan yang

luas dan seringkali memerlukan laringektomi total. Prosedur ini mengangkat laring,

tulang hyoid, tulang rawan tiroid, tulang rawan krikoid, dan trakea proksimal.

Sebagian faring dan pangkal lidah juga dapat direseksi. Trakea yang tersisa dibawa

ke kulit menciptakan stoma permanen. Laringektomi total merupakan pengobatan

yang efektif untuk kanker stadium lanjut, namun memiliki tingkat kekambuhan

secara keseluruhan sebesar 37% pada tumor glotis stadium III dan IV.13

Pasien yang menjalani laringektomi total akan bernapas melalui lubang bedah

di leher (disebut stoma), karena pengangkatan laringnya akan memutuskan

sambungan faring dari rongga mulut sehingga inspirasi dapat dilakukan melalui

mulut atau hidung. Pengangkatan struktur laring akan menyebabkan gangguan

berbicara, menelan, dan bernapas serta mungkin mempunyai efek psikologis yang

luar biasa pada pasien. Laringektomi total melibatkan pengangkatan pita suara dan
60

semua ikatan otot yang memungkinkan keduanya bersatu untuk menghasilkan

suara, yang kemudian menghasilkan suara seseorang. Pengangkatan laring dapat

mempengaruhi struktur di sekitarnya yang terlibat dalam proses menelan, seperti

faring dan kerongkongan. Selain itu, laringektomi total dapat memengaruhi

pernapasan, karena pasien menjadi “pernafasan leher,” bernapas melalui stoma,

atau lubang, yang tercipta di leher akibat pengangkatan laring. 25

Penatalaksanaan kelenjar tiroid selama laringektomi masih kontroversial.

American National Comprehensive Cancer Network merekomendasikan

hemitiroidektomi ipsilateral dengan laringektomi pada karsinoma laring stadium

lanjut. Tiroidektomi dilakukan untuk kemungkinan invasi oleh tumor. Karsinoma

laring dapat menyerang kelenjar tiroid melalui perluasan langsung atau lebih jarang

dapat menyebar secara tidak langsung melalui saluran limfatik atau pembuluh

darah. Namun, invasi kelenjar tiroid oleh karsinoma laring stadium lanjut (T3 dan

T4) jarang terjadi dengan insiden keseluruhan sekitar 5–12,6%. Selain itu, pasien

yang menjalani tiroidektomi mungkin menderita disfungsi tiroid dan paratiroid.

Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa tiroidektomi hanya disarankan dengan

laringektomi jika terdapat invasi kelenjar tiroid, perluasan subglotis, invasi tulang

rawan tiroid, atau keterlibatan puncak sinus piriformis.26

Pada pemeriksaan laboratorium post operasi didapatkan hipoalbumin (2.9

g/dl), hipokalsemia (7.1 Mg/dl), penurunan kadar FT3 (2.52 Pmol/l), dan penurunan

kadar TsHs (0.1271 uIU/ml). Berdasarkan teori, disfungsi kelenjar tiroid setelah

laringektomi merupakan kondisi klinis yang serius. Dilaporkan terjadi lebih sering

saat melakukan tiroidektomi (hemi atau total) dengan laringektomi, dibandingkan


61

saat melakukan laringektomi saja, dengan insiden 50–89%. Hipotiroidisme terjadi

pada 62,5% pasien yang menjalani tiroidektomi dan pada 6,7% pasien yang

menjalani laringektomi tanpa tiroidektomi. Disfungsi tiroid dapat menyebabkan

tertundanya penyembuhan luka, sembelit, dan depresi.26 Hipokalsemia adalah

komplikasi pasca operasi yang paling umum setelah tiroidektomi, dengan

prevalensi keseluruhan 7-51%. Prevalensi hipokalsemia 6 bulan setelah operasi

adalah 3,6% dan prevalensi hipokalsemia permanen adalah 1,5-4%.27 Albumin

merupakan molekul protein dalam eritrosit yang berikatan dengan oksigen dan

karbon dioksida untuk membantu metabolisme dan transportasi nutrisi ke jaringan,

menjaga integritas mikrovaskuler sehingga dapat mencegah masuknya

mikroorganisme ke dalam pembuluh darah. Jika kadar albumin menurun hal ini

dapat mengganggu proses pengangkutan nutrisi ke jaringan. Albumin serum

umumnya berkurang selama keadaan hiperinflamasi. Hipoalbuminemia dikaitkan

dengan peningkatan angka kematian pada pasien penyakit kronis dan pasien kritis

yang dirawat di rumah sakit.28,29


BAB V

KESIMPULAN

Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 39 tahun dengan keluhan

suara serak sejak 8 bulan yang lalu yang telah terpasang trakeostomi selama sekitar

2 bulan. Pemeriksaan status lokalis ditemukan membran timpani masih intak,

dengan warna suram pada telinga kiri. Pasien didiagnosis karsinoma laring

T4N0M0. Tatalaksana yang diberikan adalah pemebedahan total laringektomi +

total tiroidektomi. Pasien di edukasi untuk tidak mengonsumi alcohol dan rokok.

Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 13 Januari 2024, dan saat ini masih dalam

perawatan di RSUD Ulin Banjarmasin.

62
DAFTAR PUSTAKA

1. Massie GC, Permana AD, Boesoirie SF. Patient characteristics of laryngeal


carcinoma at RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung in 2017-2022. Atlantis
Press International BV; 2023. doi:10.2991/978-94-6463-280-4_41

2. Steuer CE, El‐Deiry M, Parks JR, Higgins KA, Saba NF. An update on
larynx cancer. CA Cancer J Clin. 2017;67(1):31-50. doi:10.3322/caac.21386

3. Koroulakis A, Agarwal M. Laryngeal cancer. Br J Hosp Med.


2023;12(2):254-255.

4. Bradford CR, Ferlito A, Devaney KO, Mäkitie AA, Rinaldo A. Prognostic


factors in laryngeal squamous cell carcinoma. Laryngoscope Investig
Otolaryngol. 2020;5(1):74-81. doi:10.1002/lio2.353

5. Utami AT, Aditya P, Aroeman NA. Laryngeal cancer treatment: An update


review. High Technol. 2021;27(11).

6. Drake LR, Vogl WA, Mitchell AA. Dasar-dasar anatomi Gray. 2nd ed.
Elsevier; 2019.

7. Board PPTE. Childhood laryngeal tumors treatment. NCBI Bookshelf.


Published online 2022:1-11.

8. Nocini R, Molteni G, Mattiuzzi C, Lippi G. Updates on larynx cancer


epidemiology. Chinese J Cancer Res. 2020;32(1):18-25.
doi:10.21147/j.issn.1000-9604.2020.01.03

9. Gormley M, Creaney G, Schache A, Ingarfield K, Conway DI. Reviewing


the epidemiology of head and neck cancer: definitions, trends and risk
factors. Br Dent J. 2022;233(9):780-786. doi:10.1038/s41415-022-5166-x

10. Pinakaratna A, Utama MS, Permana AD. Profile and characteristic of


laryngeal cancer in radiotherapy department of Hasan Sadikin General
Hospital. Oto Rhino Laryngol Indones. 2023;53(1):40-50.
doi:10.32637/orli.v53i1.489

11. Igissin N, Zatonskikh V, Telmanova Z, Tulebaev R, Moore M. Laryngeal


cancer: epidemiology, etiology, and prevention: A narrative review. Iran J
Public Health. 2023;52(11):2248-2259. doi:10.18502/ijph.v52i11.14025

12. Zvrko E, Gledović Z, Ljaljević A. Risk factors for laryngeal cancer in


Montenegro. Arh Hig Rada Toksikol. 2008;59(1):11-18. doi:10.2478/10004-

63
64

1254-59-2008-1863

13. Tamaki A, Miles BA, Lango M, Kowalski L, Zender CA. AHNS Series: Do
you know your guidelines? Review of current knowledge on laryngeal
cancer. Head Neck. 2018;40(1):170-181. doi:10.1002/hed.24862

14. Liberale C, Soloperto D, Marchioni A, Monzani D, Sacchetto L. Updates on


larynx cancer: Risk factors and oncogenesis. Int J Mol Sci. 2023;24(16).
doi:10.3390/ijms241612913

15. Obid R, Redlich M, Tomeh C. The treatment of laryngeal cancer. Oral


Maxillofac Surg Clin North Am. 2019;31(1):1-11.
doi:10.1016/j.coms.2018.09.001

16. Cîrstea AI, Berteșteanu Șerban VG, Scăunașu RV, et al. Management of
locally advanced laryngeal cancer—From risk factors to treatment, the
experience of a tertiary hospital from Eastern Europe. Int J Environ Res
Public Health. 2023;20(6). doi:10.3390/ijerph20064737

17. Jenckel F, Knecht R. State of the art in the treatment of laryngeal cancer.
Anticancer Res. 2013;33(11):4701-4710.

18. Yang W, Mei X, Zhou Y, et al. Risk factors and survival outcomes of
laryngeal squamous cell carcinoma patients with lung metastasis: A
population-based study. Auris Nasus Larynx. 2021;48(4):723-730.
doi:10.1016/j.anl.2020.11.009

19. Hull JH, Backer V, Gibson PG, Fowler SJ. Laryngeal dysfunction:
Assessment and management for the clinician. Am J Respir Crit Care Med.
2016;194(9):1062-1072. doi:10.1164/rccm.201606-1249CI

20. Williamson JS, Biggs TC, Ingrams D. Laryngeal cancer: an overview.


Trends Urol Men’s Heal. 2012;3(6):14-17. doi:10.1002/tre.295

21. J LG, A GP, M GG, et al. Emergency surgical treatment of upper airway
obstruction in oncological patients: Bibliographic review and proposal for
management algorithm. Head Neck Cancer Res. 2018;03(01):1-5.
doi:10.21767/2572-2107.100023

22. Jager-Wittenaar H, Dijkstra PU, Vissink A, Van Der Laan BFAM, Van Oort
RP, Roodenburg JLN. Critical weight loss in head and neck cancer -
prevalence and risk factors at diagnosis: An explorative study. Support Care
Cancer. 2007;15(9):1045-1050. doi:10.1007/s00520-006-0212-9

23. Cahyanti D, Syarif S, - S, Suzanna E. Multimodality diagnosis of laryngeal


cancer in “Dharmais” National Cancer Hospital (DNCH). Indones J Cancer.
65

2023;17(1):36. doi:10.33371/ijoc.v17i1.1021

24. Irfandy D, Rahman S. Diagnosis dan penatalaksanaan tumor ganas laring. J


Kesehat Andalas. 2015;4(2):6-8. doi:10.25077/jka.v4i2.310

25. Schaab H. Patient education and support pre and post total laryngectomy
patient education and support pre and post total laryngectomy. Capstone Proj
Sci Disord. 2017;(1). https://ir.library.illinoisstate.edu/cpcsd/1

26. El-Sebai Ali M, Atef Ebada H, El-Shaheed MA, Musaad Abd ElFattah A,
Kamal ES. Routine thyroidectomy with total laryngectomy: Is it really
indicated? A randomized controlled trial. Ann Med Surg. 2022;74(December
2021):103309. doi:10.1016/j.amsu.2022.103309

27. Chen Z, Zhao Q, Du J, et al. Risk factors for postoperative hypocalcaemia


after thyroidectomy: A systematic review and meta-analysis. J Int Med Res.
2021;49(3). doi:10.1177/0300060521996911

28. Spicer N. Global health. JAMA - J Am Med Assoc. 2015;42(3):89-99.

29. Nipper CA, Lim K, Riveros C, et al. The Association between serum albumin
and post-operative outcomes among patients undergoing common surgical
procedures: An analysis of a multi-specialty surgical cohort from the
National Surgical Quality Improvement Program (NSQIP). J Clin Med.
2022;11(21):1-14. doi:10.3390/jcm11216543

Anda mungkin juga menyukai