Anda di halaman 1dari 42

ASUHAN KEPERAWATAN

TUMOR PARU

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I


Dosen pembimbing : Gipta Galih W., M. Kep., Sp. KMB

Disusun Oleh :
Nova Diyah Widhiyastuti
010701101
PSIK A Kelas B
Semester IV (Empat)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
NGUDI WALUYO UNGARAN
2009

1
LEMBAR PENGESAHAN

Makalah Keperawatan Medikal Bedah I yang berjudul ” Asuhan Keperawatan


Tumor Paru ” ini telah disetujui untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah I.

Pembimbing,

Gipta Galih Widodo, M. Kep., Sp. KMB

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................ii
DAFTAR ISI ...............................................................................................iii
A. TUJUAN PENULISAN ......................................................................1
B. DEFINISI.............................................................................................1
C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO..............................................
D. PATOFISIOLOGI .............................................................................
E. MANIFESTASI KLINIS. . .................................................................
F. KOMPLIKASI....................................................................................
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK......................................................
H. PENATALAKSANAAN MEDIS.......................................................
I. ASUHAN KEPERAWATAN ............................................................
DAFTAR PUSTAKA

3
A. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Menjelaskan asuhan keperawatan tumor paru.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan definisi dan hal-hal yang terkait dengan tumor paru.
b. Menjelaskan etiologi tumor paru.
c. Menjelaskan patofisiologi tumor paru.
d. Menjelaskan manifestasi klinis tumor paru.
e. Menjelaskan komplikasi dari tumor paru.
f. Menjelaskan pemeriksaan diagnostik untuk tumor paru.
g. Menjelaskan penatalaksanaan medis penyakit tumor paru.
h. Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan penyakit tumor
paru.

B. DEFINISI
Tumor paru bisa primer atau sekunder. Di Amerika, tumor ganas
primer paru dilaporkan menyebabkan kematian sebanyak 136.000 orang per
tahun (1987). Dibandingkan dengan kanker yang lain, kanker paru adalah
kanker yang terbanyak pada pria dan merupakan penyebab kematian
tertinggi. Tingginya kekerapan kanker paru ini banyak dikaitkan dengan
konsumsi rokok. Ini terbukti pada dekade 1980an di negara-negara yang
kampanye anti rokoknya giat, kekerapan menurun tapi sebaliknya dengan di
Indonesia yang cenderung meningkat kemungkinan karena konsumsi rokok
yang juga meningkat. Kebanyakan kasus berusia di atas 35 tahun, sebagian
besar mengenai laki-laki, pria : wanita (4:1 – 9:2). Umumnya kasus-kasus
kanker paru datang pada tingkat yang sudah lanjut, sehingga keberhasilan
pengobatan kecil sekali. Kasus tumor paru pertama dilaporkan para sarjana
di Eropa tahun 1747, sedangkan di Indonesia tahun 1923.
(Soeparman dan Sarwono Waspadji, 1990)
Pada sumber lain menyebutkan bahwa prevalensi kanker paru di
negara maju sangat tinggi, di USA tahun 1993 dilaporkan 173.000/tahun, di
Inggris 40.000/tahun, sedangkan di Indonesia menduduki peringkat 4 kanker

4
terbanyak. Di RS Kanker Dharmais Jakarta tahun 1998 tumor paru
menduduki urutan ke 3 sesudah kanker payudara dan leher rahim. Karena
sistem pencatatan kita yang belum baik, prevalensi pastinya belum diketahui,
tetapi klinik tumor dan paru di rumah sakit merasakan benar
peningkatannya. Di negara berkembang lain dilaporkan insidensinya naik
dengan cepat, antara lain karena konsumsi rokok berlebihan seperti di Cina
yang mengkonsumsi 30% rokok dunia. Sebagian besar kanker paru
mengenai pria (65%), life time risk 1:13 dan pada wanita 1:20.
(PAPDI, 2001)
1. Pengertian Tumor
a. Tumor = pembengkakan, tumor ganas dan tumor jinak.
b. Tumor adalah neoplasma pada jaringan yaitu pertumbuhan jaringan
baru yang abnormal.
c. Tumor adalah benjolan-benjolan berbentuk bulat atau berbenjol-
benjol terdapat pada organ, berbatas tegas dengan konsistensi yang
kenyal.
d. Tumor terjadi dengan adanya masa laten yang sangat panjang
dengan titik mulai yang tidak teridentifikasi.
(Hall, Guyton, 1997)
2. Anatomi dan Fisiologi Paru
a. Anatomi Saluran Pernafasan
Saluran pernafasan dimulai dari hidung, nasofaring, mulut,
orofaring, laring, trachea, bronkhus kiri dan kanan, bronkhiolus dan
alveolus. Paru - paru merupakan organ yang elastis, berbentuk
kerucut dan letaknya di dalam rongga dada atau thoraks. Kedua paru
saling terpisah oleh mediastinum sentral yang berisi jantung dan
beberapa pembuluh darah besar. Paru kanan lebih besar dari paru
kiri.
(Hall, Guyton, 1997)
b. Fisiologi
Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut,
dan letaknya di dalam rongga dada atau toraks. Kedua paru-paru

5
saling terpisah oleh mediastinum sentral yang berisi jantung dan
beberapa pembuluh darah besar. Setiap paru-paru mempunyai apeks
(bagian atas paru-paru) dan basis. Pembuluh darah paru-paru dan
bronkial, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru-paru pada
bagian hilus dan membentuk akar paru-paru. Paru-paru kanan lebih
besar daripada paru-paru kiri dan dibagi menjadi tiga lobus oleh
fisura interlobaris. Paru-paru kiri dibagi menjadi dua lobus.
Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai
dengan segmen bronkusnya. Paru-paru kanan dibagi menjadi 10
segmen sedangkan paru-paru kiri dibagi menjadi 9 segmen. Proses
patologis seperti atelektasis dan pneumonia seringkali hanya terbatas
pada satu lobus dan segmen saja. Karena itu pengetahuan tentang
anatomi segmen-segmen paru penting sekali, tidak hanya untuk ahli
radiologi, bronkoskopi dan ahli bedah toraks, tetapi juga bagi
perawat dan ahli terapi pernapasan, perlu mengetahui dengan tepat
letak lesi agar dapat menerapkan keahlian mereka sebagaimana
mestinya.
Suatu lapisan tipis yang kontinyu mengandung kolagen dan
jaringan elastis, dikenal sebagai pleura, melapisi rongga dada
(pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru-paru (pleura
viseralis). Di antara pleura parietalis dan viseralis terdapat suatu
lapisan tipis cairan pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua
permukaan itu bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah
pemisahan toraks dan paru-paru, yang dapat dianalogkan seperti dua
buah kaca objek akan saling melekat jika ada air. Kedua kaca objek
tersebut dapat bergeseran satu dengan yang lain tetapi keduanya
sulit untuk dipisahkan.
Jalan napas yang menghantarkan udara ke paru-paru adalah
sebagai berikut :
1). Hidung
2). Pharynx
3). Larynx

6
4). Trachea
5). Bronchus dan bronchiolus.
Saluran pernafasan dari hidung sampai ke bronchiolus
dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Ketika udara masuk melalui
rongga hidung, maka dari itu udara akan disaring, dihangatkan, dan
dilembabkan.
Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa
respirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan bersel
goblet. Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang disekresi
oleh sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar
dapat disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang
hidung, sedangkan partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan
mukus. Gerakan silia mendorong lapisan mukus ke posterior di
dalam rongga hidung, dan ke superior dalam sistem pernapasan
bagian bawah menuju ke faring. Dari sinilah lapisan mukus akan
tertelan atau di batukkan keluar.
Air untuk kelembaban diberikan untuk lapisan mukus,
sedangkan panas yang disuplai ke udara inspirasi berasal dari
jaringan di bawahnya yang kaya akan pembuluh darah.
Jadi, udara inspirasi telah disesuaikan sedimikian rupa
sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas debu, bersuhu
mendekati suhu tubuh, dan kelembabannya mencapai 100 %.
Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara.
Larynx merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan
untuk otot dan mengandung pita suara. Di antara pita suara terdapat
ruang berbentuk segitiga yang bermuara ke dalam trachea dan
dinamakan glotis. Glotis merupakan pemisah antara saluran
pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah.
Meskipun laring merupakan dianggap berhubungan fungsi,
tetapi fungsinya sebagai organ pelindung jauh lebih penting. Pada
waktu menelan, gerakan laring ke atas, penutupan glotis dan fungsi
seperti pintu pada aditus laring dan epiglotis yang berbentuk daun,

7
berperan untuk mengarahkan makanan dan cairan masuk ke dalam
esofagus. Namun, jika benda asing masih mampu masuk melalui
glotis, maka laring yang mempunyai fungsi batuk akan membantu
menghalau benda asing dan sekret keluar dari saluran pernapasan
bagian bawah.
Trachea disokong oleh cincin tulang rawan yang berbentuk
seperti sepatu kuda yang panjangnya  5 inchi. Struktur trachea dan
bronchus dianalogkan dengan sebuah pohon, dan oleh karena itu
dinamakan pohon tracheal bronchial.
Tempat percabangan trachea menjadi cabang utama
bronchus kiri dan cabang utama bronchus kanan dinamakan Karina.
Karena banyak mengandung saraf dan dapat menimbulkan broncho
spasme hebat dan batuk, kalau saraf-saraf terangsang.
Cabang utama bronchus kanan dan kiri tidak simetris.
Bronchus kanan lebih pendek lebih besar dan merupakan lanjutan
trachea, yang arahnya hampir vertikal. Sebaliknya, bronchus kiri
lebih panjang, lebih sempit dan merupakan lanjutan trachea yang
dengan sudut yang lebih paten, yang mudah masuk ke cabang utama
bronchus kanan kalau udara tidak tertahan pada mulut atau hidung.
Kalau udara salah jalan, maka tidak masuk ke dalam paru-paru kiri,
sehingga paru-paru akan kolaps.
Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang-cabang
lagi menjadi segmen bronchus. Percabangan ini terus menerus
sampai pada cabang terkecil yang dinamakan bronchioulus
terminalis yang merupakan cabang saluran udara terkecil yang
mengandung alveolus.
Semua saluran udara di bawah tingkat bronchiolus terminalis
disebut saluran penghantar udara ke tempat pertukaran gas-gas di
luar bronchiolus terminalis. Terdapat asinus yang merupakan unit
fungsional paru-paru tempat pertukaran gas.
Asinus terdiri dari bronchiolus respiratorius yang kadang-
kadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli yang berasal dari

8
dinding mereka, puletus alviolaris yang seluruhnya dibatasi oleh
alveolus, dan saccus alveolus hanya mempunyai satu lapisan sel saja
yang tebal garis tengahnya, lebih kecil dibandingkan dengan tebal
garis tengah sel darah merah. Dalam setiap paru-paru terdapat
sekitar 300 juta alveolus dengan luas permukaan seluas lapangan
tenis.
Namun, alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang
dinamakan surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan permukaan
dan mengurangi resistensi terhadap pengembangan inspirasi,
mencegah kolaps pada alveolus pada waktu ekspirasi.
Paru-paru merupakan organ elastis berbentuk kerucut yang
terletak di dalam rongga thoraks. Setiap paru-paru mempunyai apex
dan basic. Pembuluh darah paru-paru dan bronchial, syaraf dan
pembuluh limfe memasuki tiap paru-paru pada bagian hilus dan
membentuk akar paru-paru. Pleura ada 2 macam yaitu pleura
parietal yang melapisi rongga dada/thoraks dan pleura viceralis yang
menutupi setiap paru.
Diantara pleura parietal dan pleura viceral, terdapat cairan
pleura seperti selaput tipis yang memungkinkan kedua permukaan
tersebut bergesekan satu sama lain selama respirasi, dan mencegah
pemisahan thoraks dan paru-paru. Paru-paru mempunyai 2 sumber
suplai darah, yaitu arteri bronkhialis dan arteri pulmonalis.
Sirkulasi bronchialis menyediakan darah teroksigenasi dari
sirkulasi sistemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan paru-paru. Arteri pulmonalis yang berasal dari ventrikel
kanan mengeluarkan darah vena campuran ke paru-paru di mana
darah itu mengambil bagian dalam pertukaran gas.
(Hall, Guyton, 1997)
3. Jenis Tumor Paru
a. Pembagian praktis untuk tujuan pengobatan.
1). SLCL (Small Cell Lung Cancer).

9
2). NSCLC (Non Small Cell Lung Cancer) : karsinoma skuamosa,
adenokarsinoma, karsinoma sel besar.
(PAPDI, 2001)
b. Klasifikasi histologis kanker paru WHO 1981.
1). Benigna.
2). Displasia / Carcinoma in situ.
3). Maligna.
I. Squamous cell Ca : 1. Epidemoid cell
2. Spindle cell
II. Small cell Ca : 1. Oat cell
2. Intermediate cell
3. Combined oat cell
III. Adeno Ca : 1. Acinar
2. Papilary
3. Broncho alveolar
4. Mucus secretory
IV. Giant cell Ca : 1. Giant cell
2. Clear cell
3. Solid-Ca tanpa musin
V. Carcinoids
VI. Mesotelioma : 1. Epitelial
2. Fibrous (spindle cell)
3. Biphasic
(PAPDI, 2001)
c. Secara organ.
1). Tumor bronkus
 Primer ganas (karsinoma bronkogenik sangat sering).
 Sekunder ganas  jarang.
 Jinak (adenoma bronkus) amat jarang.
2). Tumor parenkim paru
 Primer ganas (karsinoma sel alvelus)  amat jarang.
 Sekunder ganas  sering.

10
 Jinak  jarang.
(Soeparman dan Sarwono Waspadji, 1990)
d. Secara lengkap klasifikasi histologis tumor paru pada saluran nafas
bawah (jinak, ganas, primer, dan sekunder).
1). Tumor epitel
 Jinak
 Papiloma
 Adenoma
 Ganas
 Karsinoma sel skuamosa
 Karsinoma sel kecil undifferentiated
 Adenokarsinoma
 Karsinoma sel besar undifferentiated
 Karsinoma adenoskuamosa
 Karsinoid
 Karsinoma adenoid kistik
 Karsinoma muko-epidermoid
2). Tumor jaringan lunak
 Jinak
 Lipoma
 Fibroma
 Neurofibroma
 Limfangioma
 Hemangioma
 Leiomioma
 Mioblastoma
 Kondroma
 Kemodektoma
 Limfoangioleiomiomatoma
 Ganas
 Sarkoma
 Angiosarkoma

11
 Kondrosarkoma
 Fibrosarkoma
 Leimosarkoma
 Liposarkoma
 Mixed differentiated sarcoma
 Neurofibrosarkoma
 Osteosarkoma
 Rabdomiosarkoma
3). Tumor mesotelial
 Mesotelioma jinak
 Mesotelioma ganas
4). Tumor lainnya
 Jinak
 Ganas
 Karsinosarkoma
 Blastoma paru
 Melanoma ganas
 Limfoma maligna
5). Tumor sekunder
6). Tumor-like lession
 Hemartoma
 Lesi limfoproliferatif
 Tumorlet
 Granuloma eosinofilik
 Hemangioma sklerosing
 Inflammatory pseudotumor
(Soeparman dan Sarwono Waspadji, 1990)
4. Pembagian Stadium Klinis
Pada kanker paru, pembagian derajat tumor didasarkan pada
klasifikasi sistem TNM yang direkomendasikan oleh UICC 1987
(International Union Against Cancer) atau AJCC (American Joint
Committe for Staging 1983), antara UICC dan AJCC tidak ada perbedaan

12
prinsipil. Oleh UICC klasifikasi ini direvisi pada tahun 1997. adanya
sisitem ini amat memprmudah dalam menentukan jenis pengobatan dan
meramalkan prognosis seseorang pasien kanker paru.
T : adalah ukuran, lokasi, dan kemungkinan invasi lokal tumor primer.
N : adalah tingkat keterlibatan kelenjar sekitar tumor.
M : adalah gambaran ada tidaknya metastasis jauh.
Penentuan penderajatan klinis sistem TNM didasarkan pada
keadaan anatomis pennyakit. Keadaan anatomis penyakit didapatkan dari
anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, foto dada rutin dan khusus,
endoskopi termasuk bronkoskopi, esofagoskopi, mediastinoskopi,
torakosentesis atau torakoskopi dan pemeriksaan lainnya termasuk
pemeriksaan untuk mencari metastasis di luar dada.
Staging sistem TNM terdiri dari :
Occult Ca Tx No Mo Baru 1997 TNM
Stage 0 Tis Carcinoma In situ
Stage I T1-2 N0 Mo Stage IA T1N0M0
Stage II T1-2 N1 Mo Stage IB T2N0M0
Stage IIIA T3 N0-1 Mo Stage IIA T1N1M0
T1-3 N2 Mo Stage IIB T2N1M0
Stage IIIB T4 N0-3 Mo Stage IIIA T1-3N2M0
T3N1M0
T1-3 N3 Mo Stage IIIB T4 Any NM0
Any TN3M0
Stage IV T1-4 N1-3 M1 Stage IV Any T Any
NM1

Keterangan :
Tx : - tumor terbukti ganas didapat dari sekret bronkopulmoner, tapi
tidak terlihat secara bronkoskopis dan radiologis.
- tumor tidak bisa dinilai pada staging treatment.
Tis : carsinoma in situ (pre invasive carcinoma).
T1 : tumor, diameter < 3 cm.
T2 : tumor, diameter 3 cm atau terdapat atelektasis pada distal hilus.

13
T3 : tumor ukuran apapun meluas ke pleura, dinding dada, diafragma,
perikardium, < 2 cm dari karina, terdapat atelektasis total.
T4 : tumor ukuran apapun invasi ke mediastinum atau terdapat efusi
pleura maligna.
No : tidak ada kelenjar getah bening (KGB) yang terlibat.
N1 : metastasis KGB bronkopulmoner atau ipsilateral hilus.
N2 : metastasis KGB mediastinal atas sub carina.
N3 : metastasis KGB mediastinal kontra lateral atau hilus atau KGB
skalenus atau supraklavikular.
Mo : tidak ada metastasis jinak.
M1 : metastasis jinak pada organ (otak, hati, dll).
(PAPDI, 2001)
5. Tingkatan Kanker Paru
a. Stadium I
Pertumbuhan kanker masih terbatas pada paru-paru dan dikelilingi
oleh jaringan paru-paru.
b. Stadium II
Kanker telah menyebar dekat kelenjar getah bening.
c. Stadium III
Kanker telah menyebar keluar paru-paru.
d. Stadium IIIA
Kanker dapat dicabut dengan operasi bedah.
e. Stadium IIIB
Kanker tidak dapat dicabut dengan operasi bedah.
f. Stadium IV
Kanker telah menyebar dari tempat pertumbuhan awal ke bagian
tubuh lainnya. Kondisi ini disebut metastase.
(Soeparman dan Sarwono Waspadji, 1990)
6. Prognosis Tumor Paru
Angka hidup setelah 5 tahun 0-15%, tergantung pada :
 Stadium.
 Tipe tumor.

14
 Umur.
 Jenis terapi :
o Tumor soliter dengan tipe A (diferensiasi baik),dapat hidup
35-70 % dalam waktu 5 tahun.
o Tipe B (diferensiasi buruk), prognosis lebih bagus.
(Mubin, A. Halim, 2001)
a. Small Cell Lung Cancer (SCLC)
Dengan adanya perubahan terapi dalam 15-20 tahun belakangan
ini kemungkinan hidup rata-rata (median survival time) yang
tadinya < 3 bulan meningkat menjadi 1 tahun.
Pada kelompok Limited Disease kemungkinan hidup rata-rata
naik menjadi 1-2 tahun, sedangkan20 % daripadanya tetap hidup
dalam 2 tahun.
30 % meninggal karena komplikasi lokal tumor.
70 % meninggal karena karsinomatosis.
50 % bermetastasis ke otak (autopsi).
b. Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC)
Yang terpenting pada prognosis kanker paru ini adalah
menentukan stadium penyakit.
Dibandingkan dengan jenis lain NSCLC, karsinoma skuamosa
tidaklah seburuk yang lainnya. Pada pasien yang dilakukan
tindakan bedah, kemungkinan hidup 5 tahun setelah operasi
adalah 30 %.
Survival setelah tindakan bedah, 70 % pada occult carcinoma; 35-
40 % pada stadium 1; 10-15 % pada stadium II dan < 10 % pada
stadium III.
75 % karsinoma skuamosa meninnggal akibat komplikasi torakal,
25 % karena ekstra torakal, 2 % diantaranya meninggal karena
gangguan sistem saraf sentral.
40 % adenokarsinoma dan karsinoma sel besar meninggal akibat
kompllikasi torakal, 55 % karena ekstra torakal.

15
15 % adenokarsinoma dan karsinoma sel besar bermetastasis ke
otak dan 8-9 % meninggal karena kelainan sistem saraf sentral.
Kemungkinan hidup rata-rata pasien tumor metastasis bervariasi,
dari 6 bulan sampai dengan 1 tahun, hal ini sangat tergantung
pada :
 Performance status (skala Karnofsky)
Performance status berdasarkan skala WHO dan skala
Karnofsky.
Skala
Performance Status Skala WHO
Karnofsky
Aktivitas normal 0 90-100
Keluhan (+), berjalan dan 1 70-80
merawat diri sendiri
Aktivitas dalam waktu > 2 50-60
50 %, kadang perlu
bantuan
Aktivitas dalam waktu > 3 30-40
50 %, perlu bantuan
Di tempat tidur, perlu 4 10-20
waktu

 Luasnya penyakit.
 Adanya penurunan berat badan dalam 6 bulan terakhir.
(PAPDI, 2001)

C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


1. Etologi
Seperti umunya kanker yang lain, penyebab pasti kanker paru
belum diketahui, tetapi perjalanan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat
yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama di
samping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik, dan lain-
lain.

16
a. Pajanan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat
karsinogenik. Dari banyak zat yang bersifat karsinogenik tersebut
antara lain :
b. Polusi udara
Pasien tumor paru lebih banyak di daerah urban yang banyak polusi
udaranya.
c. Genetik
Terdapat perubahan / mutasi beberapa gen yang berperan dalam
kanker paru, yakni proto oncogen, tumor suppressor gene, dan gene
encoding enzyme. Golongan darah A lebih tinggi 20 % berisiko
menderita kanker/tumor pada lambung dari pada golongan darah O.
Selain itu perubahan genetik termasuk perubahan atau mutasi dalam
gen normal dan pengaruh protein bisa menekan atau meningkatkan
perkembangan tumor.
d. Faktor fisik
Secara fisik, tumor berkaitan dengan trauma/pukulan berulang-ulang
baik trauma fisik maupun penyinaran. Penyinaran bisa berupa sinar
ultraviolet yang berasal ari sinar matahari maupun sinar lain seperti
sinar X (rontgen) dan radiasi bom atom.
e. Faktor nutrisi
Salah satu contoh utama adalah dianggapnya aflaktosin yang
dihasilkan oleh jamur pada kacang dan padi-padian sebagai pencetus
timbulnya tumor.
f. Penyebab bioorganisme
Misalnya virus. Pernah dianggap sebagai kunci penyebab tumor
dengan ditemukannya hubungan virus dengan penyakit tumor pada
binatang percobaan. Namun ternyata konsep itu tidak berkembang
lanjut pada manusia.
g. Faktor hormon
Pengaruh hormon dianggap cukup besar, namun mekanisme dan
kepastian peranannya belum jelas. Pengaruh hormon dalam

17
pertumbuhan tumor bisa dilihat pada organ yang banyak dipengaruhi
oleh hormon tersebut.
(Soeparman dan Sarwono Waspadji, 1990)
2. Faktor Resiko
a. Laki-laki
b. Usia > 40 tahun.
c. Perokok
d. Tinggal atau bekerja di lingkungan yang mengandung zat karsinogen
atau polusi.
e. Paparan industri atau lingkungan kerja tertentu.
f. Perempuan perokok pasif.
g. Riwayat pernah mendapat kanker organ lain atau anggota keluarga
dekat yang menderita kanker paru (masih dalam penelitian).
h. Tuberkulosis paru (scar cancer), angka kejadiannya sangat kecil.
(Soeparman dan Sarwono Waspadji, 1990)

D. PATOFISIOLOGI
Seperti yang kita ketahui bahwa tumor paru ini disebabkanoleh
beberapa faktor, di antaranya adalah rokok, pekerjaan / polusi, serta fibrosis
paru. Gejala-gejala yang timbul tergantung pada letak neoplasma, apakah di
perifer atau di sentral. Lesi di perifer mungkin tidak menimbulkan gejala dan
hanya dapat ditemukan melalui pemeriksaan rontgent toraks rutin.
Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus
yang terbesar. Lesi ini menyebabkan obstruksi dan ulserasi bronkus denga
diikuti supurasi di bagian distal. Akibat ulserasi bronkus ini, maka
menimbulkan suatu reaksi peradangan pada bronkus, ditandai dengan
demam. Selanjutnya terjadi penumpukan sekret, sehingga gejala yang timbul
berupa batuk. Akibat batuk yang terus-menerus ini, maka akan mengurangi
nafsu makan (anoreksia), sehingga terjadi penurunan intake, dan pada
akhirnya menyebabkan gangguan pemenuhan nutrisi. Obstruksi bronkus
sendiri dapat menyebabkan gangguan jalan nafas, biasanya timbul gejala

18
dispneu dan wheezing, serta menyebabkan empisema. Oleh karena itu,
terjadilah gangguan pertukaran gas.
Adanya gannguan pertukaran gas ini menyebabkan penurunan
jumlah oksigen yang masuk ke dalam jaringan. Karena kekurangan oksigen,
maka kompensasi yang timbul adalah tubuh akan merasa letih atau
kelemahan, sehingga akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Pada akhirnya
terjadilah intoleransi aktivitas.
(Long, Barbara C., 1996)
Pathway Tumor Paru
Rokok Pekerjaan atau polusi Fibrosis paru

Tumor paru

Ulserasi bronkus Metaplasia sel skuamosa


pada bronkus

Rx radang pada bronkus Obstruksi bronkus Jalan nafas


inefektif

Penumpukan sekret Empisema

Batuk
Gangguan pertukaran gas

Anoreksia O2 ke jaringan

Intake menurun Kelemahan / letih

Gangguan pemenuhan Intoleransi aktivitas


nutrisi

(Long, Barbara C., 1996)

19
E. MANIFESTASI KLINIS
 Manifestasi klinis pada penderita tumor paru adalah sebagai berikut :
a. Batuk yang terus menerus dan berkepanjangan.
b. Napas pendek-pendek dan suara parau.
c. Batuk berdarah dan berdahak.
 Gejala yang paling sering adalah batuk kering tidak produktif,
pada tahap akhir batuk menghasilkan dahak kental dan purulen.
Batuk yanng menunjukkan perubahan dalamkarakter harus
menimbulkan kecurigaan terhadap adanya kanker paru.
 Mengi terjadi jika mengalami obstruksi secara parsial,
pengeluaran sputum yang berwarna merah darah adalah hal yang
umum terjadi pada pagi hari.
d. Demam yang terjadi berulang mungkin terjadi pada beberapa pasien.
e. Nyeri adalah gejala akhir, sering dan berhubungan dengan metastasis
tulang.
f. Nyeri dada, kekakuan, disfalgia, edema pada leher dan kepala dan
gejala-gejala efusi pleural atau pericardial terlihat jika tumor
menyebar pada struktur yang berdekatan pada nodus limfe.
g. Nyeri pada dada, ketika batuk dan menarik napas yang dalam.
h. Hilang nafsu makan dan berat badan.
(PAPDI, 2001)

F. KOMPLIKASI
 Komplikasi yang biasanya terjadi bersamaan denga adanya tumor paru
adalah :
1. Pneumoni pada sisi yang kena.
2. Abses paru distal dari karsinoma.
3. Efusi pleura.
4. Pneumotoraks.
5. Emboli paru.
6. Gagal nafas.

20
 Invasi ke mediastinum dapat bermanifestasi :
1. Paralise N. Recurrent laringeal kiri.
2. Kelumpuhan nervus frenikus.
3. Obstruksi vena cava superior.
4. Disfagi (sulit menelan).
(Mubin, A. Halim, 2001)

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
 Prosedur Diagnostik
1. Foto dada secara posterior anterior (PA) dan lateral adalah
pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi adanya kanker
paru.
Pemeriksaan foto dada dengan cara tomografi lebih akurat
menunjang kemungkinan adanya tumor paru, bila denga cara foto
dada biasa tidak dapat memastikan keberadaan tumor. Pemeriksaan
penunjang radiologis lain yang kadang-kadanng dipergunakan juga
adalah brokografi, fluoroskopi, superior vena cavografi,ventilation /
perfusion scanning, ultrasound sonography.
2. Pemeriksaan computer tomography (CT Scan) dan magnetic
resonance imaging (MRI).
Pemeriksaan CT Scan pada dada lebih sensitive daripada
pemeriksaan foto dada biasa, karena dapat mendeteksi kelainana atau
nodul dengan diameter minimal 3 mm, walaupun positif palsu untuk
kelainan sebesar itu mencapai 25-60 %.
MRI tidak rutin dikerjakan karena ia hanya terbatas untuk
menilai kelainan tumor yang menginvasi ke dalam vertebra, medulla
spinal, mediastinum, disamping biayanya juga cukup mahal.
3. Pemeriksaan bone scanning.
Pemeriksaan ini diperlukan bila diduga ada tanda-tanda
metastasis ke tulang.

21
 Macam-macam Pemeriksaan Diagnostik Tumor Paru
1. Pemeriksaan Sitologi
Pemeriksaan sitologi sputum rutin dikerjakan terutama bila
pasien ada keluhan seperti batuk. Pemeriksaan sitologi tidak selalu
memberikan hasil positif karena ia sangat tergantung kepada :
a. Letak tumor terhadap bronkus.
b. Jenis tumor.
c. Teknik mengeluarkan sputum.
d. Jumlah sputum yang diperiksa (dianjurkan pemeriksaan 3-5 hari
berturut-turut).
e. Waktu pemeriksaan sputum.
2. Pemeriksaan Hispatologi
a. Brokoskopi
 Modifikasi dari bronkoskopi serat optic dapat berupa :
Trans bronchial lung biopsy (TBLS) denga tuntunan
fluroskopi.
Belakangan ini sering dikembangkan pemeriksaan
fluorescence bronchoscopy denga memakai fluorescence
exchancing agent seperti Hp D (hemato porphyrin
derivative) memberikan konsentrat fluoresensi pada
jaringan kanker.teknik yang lebih baru lagi adalah denag
auto fluorescence bronchoscopy. Hasil pemeriksaan ini
menunjukkan 50 % lebih sensitif daripada white light
bronchoscopy untuk deteksi karsinoma in situ dan
displasia berat.
Ultrasound bronchoscopy, juga dikembangkan pada saat
iniuntuk mendeteksi tumor perifer, tumor endobronkial,
kelenjar getah bening mediastinum dan lesi daerah hilus.
Hasil positif dengan bronkoskopi ini dapat mencapai 95 %
untuk tumor yang letaknya sentral dan 70-80 % untuk
tumor yang letaknya perifer.
Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)

22
 Dikerjakan terhadap nodul getah bening di hilus atau
mediastinum. Hasilnya akan lebih baik bila dituntun dengan
CT Scan.
b. Biopsi Trans Torakal (TTB)
Biopsy dengan TTb terutama untuk lesi yang letaknya
perifer dengan ukuran < 2 cm, sensitivitasnya mencapai 90-95 %.
Komplikasi pneumotoraks dapat mencapai 20-25 % dan
hemoptisis sampai 20 %. Dengan persiapan yang lebih baik,
komplikasi ini bias diperkecil. Hasil pemeriksaan akan lebih baik
bila ada tuntunan CT Scan, USG atau fluoroskopi. Biopsy
terhadap kelenjar getah bening yang teraba, dapat dilakukian
secara Daniel’s biopsy yakni pada kelenjar-kelenjar getah bening
supraklavikular skaleneus.
c. Torakoskopi
Biopsy tumor di daerah pleura memberikan hasil yang
lebih baik dengan cara torakoskopi daripada cara membuta
(blind). Untuk tumor yang letaknya di permukaan pleura viseralis
dengan cara Video Assisted Thorascoscopy hasil biopsy yang
diperoleh sensitivitas dan spesivisitasnya dapat mencapai 100 %,
sedangkan komplikasi yang terjadi amat kecil.
d. Mediastimoskopi
Lebih dari 20 % kanker paru bermetastasis ke
mediastinum, terutama Small Cell Ca dan Large Cell Ca. untuk
mendapatkan tumor metastasis atau kelenjar getah bening yang
terlibat dapat dilakukan dengan cara mediastinoskopi, alat
mediastinoskop dimasukkan melalui insisi suprasternal. Hasil
biopsy memberikan nilai positif 40 %. Dari studi lain nilai
negative palsu pada mediastinoskopi di dapat sebesar 8-12
(diikuti dengan torakotomi).

23
e. Torakotomi
Torakotomi untuk diagnostik kanker paru dikerjakan bila
bermacam-macam prosedur non invasive dan invasive
sebelumnya gagal mendapatkan sel tumor.
3. Pemeriksaan Serologi
Beberapa tes yang dipakai adalah :
 CEA ( Carsinoma Embryonic Antigen).
 NSE (Neuron Specific Enolase).
 Cyfra 21-1 (Cytokeratin fragments 19).
NSE diketahui spesifik untuk Small Cell Carsinoma dan
sensitivitasnya dilaporkan 52 %, sedangkan Cyfra 21-1 mencapai 50
% untuk kelompok LD (limited disease)-SCLC.
Pada kelompok ED (extensive disease) SCLC, sensitivitas
NSE 42 % dan Cyfra 21-1 50 %.
Bila pemeriksaan ini digabung, maka sensitivitas jadi 78 %
untuk kelompok Ld dan 82 % untuk kelompok ED. Uji serologis
tumor marker tersebut di atas sampai saat ini masih dapat dipakai
untuk evaluasi pengobatan kanker paru.
(PAPDI, 2001)

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penentuan keadaan jinak atau ganas tumor paru secara keseluruhan
tidak tergantung pada gambaran histologis saja. Perangai biologis
menampakkan diri berdasarkan : lokasi, penyebaran, dan pengaruh
fungsional. Suatu tumor paru yang histologis ganas bisa jadi tidak fatal
apabila dia tumbuh lambat dan dioperasi sampai bersih sebelum dia menjalar
kemana-mana. Dalam pengobatan tumor paru, kita terlebih dahulu harus
mengetahui jenis histologi / sitologisnya, derajat (stadium) penyakit, dan
penampilan orang sakit (performance status).
1. Pembedahan
Dikerjakan pada tumor stadium I, stadium II jenis karsinoma,
adenokarsinoma dan karsinoma sel besar undifferentiated.

24
Dikerjakan secara khusus pada stadium III secara individual yang
mencakup 3 kriteria :
a. Karakteristik biologis tumor.
Secara penelitian, tumor yang berasal dari sel skuamosa atau
epidermoid menunjukkan hasil yang baikpada pembedahan.
Sedangkan hasil yang cukup baik terdapat pada pembedahan tumor
yang berasal dari adenokarsinoma dan karsinoma sel besar
undifferentiated. Sedangkan karsinoma sel gandum (Oat cells =
karsinoma sel kecil undifferentiated) memberi hasil buruk pada
pembedahan.
b. Letak tumor dan pembagian stadium klinis.
Kriteria ini menentukan teknik reseksi terbaik yang dilakukan.
c. Keadaan fungsional penderita.
Pada keadaan dimana operasi tidak akan banyak menolong
karena terdapat penyakit degeneratif lain atau penyakit gangguan
kardiovaskuler, operasi harus lebih dipertimbangkan masak-masak.
Pemeriksaan spirometri dapat memeperlihatkan kondisi
adekuat untuk keadaan parunya sendiri terutama dengan menilai
angka Forced Vital Capacity (FVC) dan angka FEV1, yaitu :
1). Pasien dapat mentolerir operasi pneumonektomi, bila FEV1 2,5
liter atau 80 % predicted.
2). Gangguan ventilasi berat dimana pasien tidak dapat menerima
operasi, bila FEV1 1,2 liter atau 40 % predicted.
3). Gangguan ventilasi ringan dengan angka FEV1 = 2,25 liter atau
67 %-85 % dari predicted.
4). Gangguan ventilasi sedang dengan FEV1 = 1,2 liter atau nilainya
40 %-66 % predicted.
Harapan pasca bedah :
Angka kelangsungan hidup dapat mencapai 50 %-60 %
terlihat pada pasien dengan berbagai T, N, dan M pada stadium II.
Kegagalan operasi terjadi bila terdapat metastasis yang tidak dapat
dideteksi sebelum operasi. Oleh karena itu, diperlukan pengobatan

25
ajuvan meliputi imunoterapi spesifik atau non spesifik dengan
kombinasi sitostatik dan radioterapi.
2. Radioterapi
Walaupun operasi merupakan pengobatan terpilih untuk tumor
paru, sebenarnya lebih dari 75 % pasien ditemukan sudah dalam keadaan
lanjut, sehingga diperlukan radioterapi.
Indikasi radioterapi :
 Pasien dengan tumor paru yang operabel, tetapi karena resiko
tinggi, maka pembedahan tidak dapat dilakukan.
 Pasien kanker jenis adenokarsinoma atau sel skuamosa yang
inoperabel yang diketahui terdapat pembesaran kelenjar getah
bening pada hilus ipsilateral dan mediastinal.
 Pasien dengan karsinoma bronkus dengan histologi sel gandum
atau karsinoma anaplastik pada satu paru, tetapi terdapat
penyebaran nodul pada kelenjar getah bening di bawah
subklavikula.
 Pasien kambuhan sesudah lobektomi atau pneumonektomi tanpa
bukti pennyebaran di luar rongga dada.
Dosis yang umum dipakai adalah 5.000-6.000 rad dalamjangka
waktu 5-6 minggu. Pengobatan biasanya berlangsung 5 kali seminggu
dengan dosis 180-200 rad setiap hari.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah esofagitis, yang akan
menghilang 1 minggu sampai 10 hari sesudah pengobatan selesai. Juga
bisa terdapat pneumonitis yang pada foto dada akan terlihat sebagai
bayangan eksudat di daerah tempat penyinaran.
Radioterapi paliatif
Fungsi paling utama radioterapi padapasien dengan tumor
paru adalah sebagai terapi paliatif yang juga penting untuk
meningkatkan kualitas hidup. Dosis menengah radiasi dapat
menghentikan gejala batuk darah, nyeri dada atau batuk yang
mengganggu.

26
 Obstruksi vena cava superior
Keadaan ini membutuhkan radioterapi segera karena vena
cava superior didesak oleh tumor dan juga karena tekanan pada
pembuluh darah akibat pembesaran kelenjar getah bening
mediastinal.
Gejala obstruksi lebih sering terjadi pada karsinoma sel
skuamosa dan sel gandum daripada adenokarsinoma.
 Kompresi medula spinalis
Merupakan keadaan darurat lain. Bila terdapat defisit
neuologi yang lain, dibutuhkan tindakan laminektomi dekompresi,
yamg disusul oleh radioterapi.
 Metastasis ke paru dan tulang
Pemberian radiasi 4.000 rad memberi hasil yang baik,
sekaligus menghilangkan keluhan defisit neurologinnya.
 Metastasis tulang
Diberikan dosis sampai 1.000 rad untuk 1-2 kali
pengobatan, atau kadang-kadang 3.000 rad dalam 2 minggu, yang
akan memberi hasil baik dalam menghilangkan nyeri.
3. Obat-Obatan / Kemoterapi
Dipergunakan terutama untuk kasus tumor yang menyebar dan
sebagai tambahan pada keadaan dimana radioterapi dan pembedahan
tidak menunjukkan hasil yang baik.
Karsinoma sel skuamosa
Sangat responsif terhadap pemberian kemoterapi. Sitostatik
tunggal seperti alkylating agent, anti metabolit, antibiotik, dan
turunan-turunannya memberi hasil yang positif dalam mengecilkan
ukuran tumor. Bila diberikan secar kombinasi, angka respon
bertambah sampai 75 % -95 %.
Non SmallCell Carcinoma
Kurang memberi hasil yang baik dengan kemoterapi. Hasil
terbaik yang pernah dilaporkan, ialah bila pemberian bersama

27
radioterapi 4.000-5.000 rad selama 4-5 minggu ditambah
siklofosfamid 1 gram/m2 setiap minggu.
4. Imunoterapi
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hasil yang baik pada
pemberian imunoterapi untuk kasus karsinoma bronkogenik. Sebabnya
adalah pasien cenderung mengalami penurunan jumlah limfosit-T yang
dapat dilihat pada keadaan alergi sampai delayed hipersensivity.
Imunosupresi paling banyak dan terutama terjadi pada keadaan
metastasis dan sangat sedikit terjadi pada tumor yang operabel. Untuk
pasienyang tidak merupakan calon operasi telah dicobakan
imunostimulator non spesifik, seperti BCG atau Corynebacterium
parvum dengan atau tanpa diikuti kemoterapi atau radioterapi.
Keuntungan yang didapat adalah peninggian angka kelangsunga
hidup dan menghindari gangguan toksik hematologikakibat sitostatik.
Beberapa penyelidik lain melaporkan hal yang kontradiktif mengenai
manfaatimunoterapi ini. Beberapa imunoterapi yang dipakai adalah :
a. Imuno-modulator, seperti Thymosin.
b. Transfer Factor dan imun-stimulator, seperti methanol extraction
residues dan BCG.
Sebagai kesimpulan, telah dicoba dikemukakan beberapa
pandangan klinis dan aspek karsinoma paru dengan variasi pengobatan
yang masih dalam taraf penyelidikan. Yang sangat diharapkan adalah
usaha untuk mendapatkan diagnosis dini, sehingga pendekatan terapi
yang adekuat dapat dilakukan dan angka harapan hidup pada penderita
karsinoma paru di masa mendatang akan meningkat.
(Soeparman dan Sarwono Waspadji, 1990)
 Terapi Umum
1. Jika tumor jinak, maka lakukan eksisi bedah.
2. Jika tumor ganas :
a. Small cell : kemoterapi.
b. Non small cell :
 Stadium I-IIIa : bedah dilanjutkan radio terapi kemoterapi.

28
 Stadium IIIb-IV : radioterapi dilanjutkan kemoterapi.
c. Imunoterapi paliatif.
3. Bantu pasien untuk mencari posisi yang paling sedikit nyerinya.
4. Dalam tindakan psikologis mengurangi ansietas dengan memberikan
informasi yang sering, sederhana, dan jelas tentang apa yang sedang
dilakukan untuk mengatasi kondisi dan apa makna respon terhadap
pengobatan.
5. Untuk menjaga keseimbangan, maka perhatikan posisi tubuh.
6. Atur diet yang sesuai.
 Terapi Komplikasi : tidak ada
(Mubin, A. Halim, 2001)

I. ASUHAN KEPERAWATAN
I. Pengkajian
a. Pengumpulan Data
1. Biodata
 Berisikan nama, alamat, pekerjaan, status perkawinan,
agama usia, suku, jenis kelamin, diagnosa medik, terapi,
tanggal masuk rumah sakit dan tanggal di kaji, nama orang
yang menanggung biaya klien dan hubungannya dengan
klien.
2. Keluhan utama
 Berisi keluhan klien dan alasan klien masuk ke rumah sakit.
3. Riwayat kesehatan
 Merupakan sumber data subjektif tentang status kesehatan
klien yang memberikan gambaran tentang masalah
kesehatan aktual maupun potensial.
 Riwayat kesehatan terdiri atas riwayat kesehatan sekarang,
riwayat kesehatan masa lalu dan riwayat kesehatan keluarga
yang akan dijabarkan dalam bentuk genogram.

29
4. Riwayat psikososial
 Tentang lingkungan rumah klien serta siapa yang menjadi
pengasuh klien.
5. Riwayat spiritual
 Tentang support sistem dalam keluarga dan bagaimana
kegiatan keagamaan dalam keluarga.
6. Riwayat hospitalisasi
 Pemahaman keluarga tentang sakit dan rawat inap.
 Pemahaman klien tentang sakit dan rawat inap.
7. Keadaan umum
Lemah, sesak yang disertai dengan nyeri dada.
8. Kebutuhan dasar
Pola makan : nafsu makan berkurang karena adanya sekret
dan terjadi kesulitan menelan (disfagia),
penurunan berat badan.
Pola minum : frekuensi minum meningkat (rasa haus).
 Jumlah cairan yaitu 600-800 mldalam 24 jam.
Pola tidur : susah tidur karena adanya batuk / nyeri dada.
Aktivitas : keletihan, kelemahan.
 Eliminasi (BAB dan BAK).
 Personal hygiene.
 Aktivitas / mobilitas fisik.
9. Pemeriksaan fisik
 Di dapatkan dengan empat cara, inspeksi, palpasi, perkusi,
auskultrasi pada bagian tubuh klien untuk meneggakkan
suatu diagnosa.
Sistem pernafasan
 Sesak nafas, nyeri dada.
 Batuk produktif tak efektif.
 Suara nafas : mengi dan inspirasi.
 Sesak, paralysis pita suara.

30
Sistem kardiovaskuler
 Takikardi, disritmia.
 Menunjukkan efusi (gesekan perikardial).
Sistem integumen
Sistem gastrointestinal
 Anoreksia, disfagia, penurunan intake makanan, berat
badan menurun.
Sistem urinarius
 Peningkatan frekuensi / jumlah urin.
Sistem neurologi
 Perasaan takut / takut hasil pembedahan.
 Kegelisahan.
10. Data penunujang
 Foto dada, posterior anteror dan lateral.
 CT Scan / MRI.
 Bronkoskopi.
 Sitologi.
o TTB, biopsi kelenjar getah bening leher.
b. Pengelompokan Data
1. Data subjektif
Perasaan lemah.
Sesak nafas, nyeri dada.
Batuk tak efektif.
Serak, haus.
Anoreksia, disfagia, berat badan menurun.
Peningkatan frekuensi.
Takut.
2. Data obyektif
Batuk produktif.
Takikardi / disritmia.
Menunjukkan efusi.
Sianosis, pucat.

31
Edema.
Demam.
Gelisah.
c. Analisa Data
Data Penyebab Masalah
Ds : Rokok Bersihan jalan nafas
 Sesak nafas inefektif
 Gelisah Tumor paru
 Batuk tak
efektif. Metaplasia sel
Do : skuamosa pada
 Batuk bronkus
produktif
 Takikardi Obstruksi bronkus
 Bunyi nafas
mengi
Ds : Obstruksi bronkus Gangguan
 Sesak nafas pertukaran gas
(dyspneu) Empiema
Do :
 Gelisah Gangguan
 Sianosis pertukaran gas

Ds : Ulserasi bronkus Nutrisi kurang dari


 Anoreksia, kebutuhan.
disfagia Reaksi radang
 Penurunan pada bronkus
BB
 Kelemahan Penumpukan
Do : sekret
 Demam
 Batuk Batuk

32
Anoreksia

Intake menurun

Gangguan
pemenuhan nutrisi
Ds : Gangguan Intoleransi aktivitas
 Kelemahan pertukaran gas
Do :
 Sesak nafas Suplai O2 ke
 Sianosis jaringan menurun
 Takikardi
Kelemahan / letih

Intoleransi
aktivitas

II. Diagnosa Keperawatan


1. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan obstruksi
bronkus, ditandai dengan :
Sesak nafas.
Bunyi nafas mengi.
Batuk produktif tak efektif.
Lemah, gelisah.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan empisema, ditandai
dengan :
Sesak nafas (dyspneu).
Gelisah.
Sianosis.
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake
menurun, ditandai dengan :
Anoreksia, disfagia, penurunan BB.
Kelemahan.

33
Demam.
Batuk.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan
menurun, ditandai dengan :
Kelemahan.
Sesak nafas.
Sianosis.
Takikardi.
5. Hypertermi berhubungan dengan reaksi inflamasi.
6. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan kompensasi paru
yang meningkat.
7. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi.
8. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan.

III. Intervensi Keperawatan


1. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan obstruksi
bronkus.
Tujuan :
Bersihan jalan nafas efektif, dengan kriteria:
 Tidak sesak.
 Batuk berkurang / hilang.
 Tidak ada mengi.
 Nyeri dada hilang.
 Takikardi berkurang / hilang.
 Tidak gelisah.
Tindakan / Intervensi Rasional
Mandiri :
 Auskultasi dada untuk Pernafasan ronkhi
karakter bunyi nafas dan menunjukkan tertahannya
adanya sekret. sekret atau obstruksi jalan
nafas.
 Bantu pasien untuk nafas Porsi duduk memungkinkan
efektif, batuk efektif ekspansi paru dan penekanan

34
dengan posisi duduk dan menguatkan upaya batuk
memekan daerah dada. untuk memobilisasi dan
membuang sampah.
Lebih merangsang terjadinya
 Penghisapan bila batuk batuk efektif.
lemah. Mendorong pasien untuk
nafas efektif dan nafas lebih
 Kaji nyeri dan kelemahan. dalam untuk mencegah
kegagalan pernafasan.
Kolaborasi :
 Gunakan oksigen Memberiakn hidrasi
humidifikasi, berikan maksimal membantu
cairan tambahan melalui penghilangan / pengenceran
IV sesuai indikasi. sekret untuk meningkatkan
pengeluaran.
 Berikan bronkodilator, Menghilangkan spasme
expectorant atau analgesik bronkus untuk memperbaiki
sesuai indikasi. aliran udara.

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan empisema.


Tujuan :
Pertukaran gas lancar, dengan kriteria :
 Sianosis hilang.
 Edema hilang.
Tindakan / Intervensi Rasional
Mandiri :
 Auskultasi paru untuk Konsolidasi dan kurangnya
gerakan uadara dan bunyi gerakan udara pada posisi
nafas tidak normal. dada menunjukkan aliran
udara tidak normal pada
lobus paru.
 Selidiki kegelisahan dan Dapat menunjukkan
perubahan mental. peningkatan, hipoksia, atau

35
komplikasi seperti
penyimpangan mediastinal
ada pasien tumor paru.
 Pertahankan kepatenan Memaksimalkan ekspansi
jalan nafas dengan paru dan drainase sekret
memberikan posisi duduk dimana obstruksi jalan nafas
terlentang sampai posisi mempengaruhi ventilasi.
miring.
 Catat terjadinya demam. Demam dalam 24 jam
pertama, pada tumor paru
terkadang menunjukkan
adanya atelektasis, infeksi,
atau peningkatan metastasis.
Kolaborasi :
 Berikan oksigen tambahan. Memaksimalkan sediaan O2.
 Awasi atau buat gambaran Penurunan PaO2 atau
GDA nadi oksimetri, catat peningkatan PaCO2 dapat
kadar Hb. menunjukkan kebutuhan
untuk dukungan ventilasi.

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake


menurun.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi terpenuhi, dengan kriteria :
 Nafsu makan meningkat.
 Disfagia hilang.
 Berat badan dapat dipertahankan atau bahkan
meningkat.
Tindakan / Intervensi Rasional
Mandiri :
 Kaji kemampuan pasien Faktor ini menentukan
untuk makan, batuk, dan pemilihan jenis makanan,
mengatasi sekresi. sehingga pasien terlindungi

36
dari aspirasi.
 Timbang berat badan Mengevaluasi keefektifan
sesuai indikasi. atau mengubah kebutuhan
pemberian nutrisi.
 Tingkatkan kenyamanan Perbaiki lingkungan dan
lingkungan yang baik sosialisasi waktu makan
untuk sosialisasi saat dapat meningkatkan
makan. pemasukan dan
menormalkan fungsi makan.
 Berikan makanan dalam Meningkatkan proses
jumlah kecil dan dalam pencernaan dan toleransi
wakktu yang sering dan pasien terhadap nutrisi yang
teratur. diberikan.
Kolaborasi :
 Konsultasi dengan ahli Merupakan sumber yang
gizi. efektif mengidentifikasi
kebutuhan klien.
 Untuk pemberian NGT. Memungkinkan pasien lebih
mudah diberikan tanpa
menimbulkan aspirasi.

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan


menurun.
Tujuan :
Aktivitas kembali normal, dengan kriteria :
 Tidak lemah.
 Sianosis hilang.
 Tidak sesak.
Tindakan / Intervensi Rasional
Mandiri :
 Berikan lingkungan tenang Dengan tindakan ini
dan batasi pengunjung menurunkan stress dan
selama perawatan, dorong rangsangan berlebihan,

37
penggunaan manajemen meningkatkan istirahat.
stress dan pengalihan yang
cepat.
 Perhatikan dispneu, Menetapkan kemampuan
peningkatan pasien dan memudahkan
kelemahanperubahan tanda pilihan intervensi.
vital, takikardi selama dan
setelah aktivitas.
 Jelaskan pentingnya Menghemat enrgi
istirahat dalam rencana untukpenyembuhan,
pengobatan dan perlunya pembatasan aktivitas
keseimbangan aktivitas berdampakpositif terhadap
dan istirahat. pasien dalam perbaikan
kegagalan pernafasan.
 Bantu aktivitas perawatan Menimbulkan kelelahan dan
diri dan berikan membantu keseimbangan
peningkatan aktivitas suplai serta gerakan otot.
selama fase penyembuhan.

5. Hypertermi berhubungan dengan reaksi inflamasi.


Tujuan : Tidak terjadi peningkatan suhu yang drastis.
Tindakan / Intervensi Rasional
 Kompres dingin pada Kompres dingin pada daerah
daerah dahi, axilla dan tersebut akan menyebabkan
lipatan paha. terjadinya proses penyerapan
secara konduksi dari tubuh
ke alat kompres.
 Berikan minum sebanyak Minum yang banyak dapat
mungkin (2000- mengurangi panas.
3000cc/hari).
 Kenakan pakaian yang Pakaian tipis akan menyerap
mudah menyerap panas. keringat sehingga
menghilangkan hambatan

38
keluarnya panas melalui
udara.
 Observasi vital sign. Meningkatnya vital sign
merupakan indikator dalam
menentukan intervensi
selanjutnya.
 Petalaksanaan Pemberian Antibiotik untuk membunuh
obat antibiotik kuman

6. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan kompensasi paru


yang meningkat.
Tujuan : Pola tidur klien teratur.
Tindakan / Intervensi Rasional
 Kaji waktu dan lamanya Jumlah jam tidur yang
klien tidur. kurang dan pola tidur yang
tidak teratur
menggambarkan adanya
gangguan istirahat tidur.
 Rapikan tempat tidur klien. Tempat tidur yang rapi dan
bersih memberi rasa
nyaman untuk tidur.
 Beri posisi yang Posisi yang menyenagkan
menyenangkan yang tidak dan tidak menekan
menekan jalan nafas. diafragma akan
mempermudah ekspansi
paru sehingga klien dapat
memulai untuk tidur
nyenyak.
 Ciptakan lingkungan yang Lingkungan yang tenang
tenang dapat merangsang klien
untuk tidur

7. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi.

39
Tujuan : Nyeri hilang/berkurang, klien tidak mengeluh nyeri.
Tindakan / Intervensi Rasional
 Kaji penyebab, lokasi dan Mengetahui penyebab,
intensitas nyeri. lokasi dan intensitas nyeri
sehingga dapat menetapkan
intervensi selanjutnya.
 Beri posisi yang Memberikan posisi yang
menyenangkan. membuat klien lebih rileks
sehingga mencegah
terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial.
 Ajarkan teknik relaksasi, Meningkatkan suplai
yakni nafas dalam. oksigen, sehingga jaringan
di sekitar otak dapat
merelaksasikan jaringan
yang terganggu dan dapat
mengurangi nyeri.
 Batasi pengunjung dan Dapat mengurangi
beri lingkungan yang rangsangan eksternal yang
nyaman bisa memicu adanya
rangsangan nyeri

8. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan.


Tujuan : klien tidak merasakan kecemasan.
Tindakan / Intervensi Rasional
 Kaji persepsi klien Persepsi yang positif
terhadap penyakitnya. membantu kerja sama dalam
proses perawatan dan dapat
mengurangi kecemasan.
 Beri support pada klien Support yang mendukung
bahwa ia akan sembuh. dapat melegakan perasaan
klien dan mengurangi
kecemasan.

40
 Anjurkan keluarga untuk Menghilangkan rasa
selalu dekat dengan pasien. keterasingan, sehingga
cemas berkurang.
 Beri dorongan spiritual Meyakinkan klien, selain
pada klien. dengan pengobatan dan
perawatan, masih ada yang
berkuasa untuk
menyembuhkan
penyakitnya.

IV. Implementasi
Implementasi merupakan perwujudan dari rencana keperawatan
yang disesuaikan dengan intervensi yang telah dibuat dengan
menetapkan waktu pelaksanaan.
V. Evaluasi
Evaluasi merupakan pengukuran dari keberhasilan rencana
keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien. Tahap evaluasi
merupakan penilaian dari proses keperawatan yang telah dilakukan
dengan mengacu pada kriteria yang telah ditetapkan.
(Doenges, 2000)

J. DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E., dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman
Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawat Pasien, Edisi 3.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hall, Guyton. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Long, Barbara C. 1996. Perawatn Medikal bedah (Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan), Halaman 462-481. Alih bahasa : Yayasan Ikatan

41
Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung : Yayasan
IAPK Pajajaran.
Mubin, A. Halim. 2001. Pandekatan Praktis Ilmu Penyakit Dalam :
Diagnosis dan Terapi, Halaman 218-219. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
PAPDI ( Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia ). 2001. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II, Edisi ketiga, Halaman 915-927. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.
Soeparman dan Sarwono Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II,
Halaman 745-753. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

42

Anda mungkin juga menyukai