PENATALAKSANAAN
JALAN
NAPAS
Tugas terpenting dari ahli anestesiologi adalah manajemen jalan napas
pasien. Meskipun banyak disiplin kedokteran yang menangani masalah jalan
napas berdasarkan masalah kegawatdaruratan, namun hanya beberapa yang
bertanggung jawab atas rutinitas, pertimbangan, pilihan dari keadaan intrinsik
pasien terhadap kontrol pernapasan. Data morbiditas dan mortilitas yang telah
dipublikasikan menunjukkan dimana kesulitan dalam menangani jalan napas dan
kesalahan dalam tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang buruk
bagi pasien tersebut. Keenan dan Boyan melaporkan bahwa kelalaian dalam
memberikan ventilasi yang adekuat menyebabkan 12 dari 27 pasien yang sedang
dioperasi mengalami mati jantung (cardiac arrest). Salah satu penyebab utama
dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk yang didata oleh American Society
of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup terhadap episode pernapasan
yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi tersebut. Tiga
kesalahan mekanis, yang terhitung terjadi sebanyak 75% pada saat tatalaksanan
jalan napas yaitu : ventilasi yang tidak adekuat (38%), intubasi esofagus (18%),
dan kesulitan intubasi trakhea (17%). Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari
studi kasus, mengalami kematian dan kerusakan otak. Sebanyak 300 pasien (dari
15411 pasien di atas), mengalami masalah sehubungan dengan tatalaksana jalan
napas yang minimal.
menjadi komplikasi dari tatalaksana jalan napas yang salah yaitu : trauma jalan
napas, pneumothoraks, obstruksi jalan napas, aspirasi dan spasme bronkus.
Berdasarkan data-data tersebut, telah jelas bahwa tatalaksana jalan napas yang
baik sangat penting bagi keberhasilan proses operasi dan beberapa langkah berikut
adalah penting agar hasil akhir menjadi baik, yaitu : (1) anamnesa dan
pemeriksaan fisik, terutama yang berhubungan dengan penyulit dalam sistem
pernapasan, (2) penggunaan ventilasi supraglotik ( seperti face mask, Laryngeal
Mask Airway/LMA), (3) tehnik intubasi dan ekstubasi yang benar, (4) rencana
alternatif bila keadaan gawat darurat terjadi.
ANATOMI JALAN NAPAS
Kata jalan napas (atau airway, dalam bahasa Inggris), mengarah kepada
saluran pernapasan
faring, laring, trakhea dan brokus. Jalan napas pada manusia merupakan suatu
saluran udara yang sangat penting dan saling berhubungan.
Karena jalan
Secara anatomis,
Daerah vertikal : C3, C4, C5 pada anak; C4, C5, C6 pada orang
dewasa
Tulang di daerah laring terdiri dari sembilan kartilago (terdapat tiga pasang
ditambah tiga lainnya),yang secara bersama-sama tulang rawan ini membentuk
rumah bagi plika vokalis, yang terbentang dari anterior sampai poterior
(kartilago thiroid sampai kartilago arytenoid). Kartilago thyroid yang berbentuk
seperti tameng, bertindak sebagai pelindung di bagian anterior bagi pita suara.
Otot-otot laring terdiri dari dua grup otot yaitu otot ekstrinsik yang bertugas
menggerakkan laring, dan otot intrinsik yang tugasnya berhubungan dengan otototot pada kartilago laring. Laring dipersarafi secara bilateral oleh dua cabang
saraf dari nervus vagus: nervur laringeus superior dan nervus laringeus rekuren.
Oleh karena nervus laringeus rekuren mempersarafi otot intrinsik laring (kecuali
kartilago krikothiroid), adanya trauma pada saraf ini dapat menyebabkan
kerusakan pita suara. Sebagai akibat dari trauma saraf unilateral, fungsi jalan
napas masih baik, tetapi kemampuan laring mencegah terjadinya aspirasi menjadi
menurun.
Membran krikothiroid memberikan perlindungan di ruang krikotiroid.
Membran ini, berukuran 9mm x 3mm, terdiri dari jaringan kekuningan yang
elastis yang terletak tepat di bawah jaringan subkutan kulit dan di daerah wajah.
Membran ini terletak di daerah anterior leher, yang berbatasan dengan kartilago
thyroid di superior dan kartilago krikoid di inferior. Membran ini dapat dirasakan
1-1,5 jari di bawah tonjolan laringeal (thyroid notch, atau Adams apple). Dua
pertiga atas dari membran ini dilalui oleh anastomosis dari arteri krikothiroid
superior kiri dan kanan yang berjalan secara horisontal. Di tengah membran
terdapat suatu tonjolah yang disebut conus elasticus, dan dua tonjolan besar
lainnya yang terletak di daerah lateral, yang lebih tipis dan melekat di mukosa
laring. Akibat adanya variasi anatomis terhadap jalannya pembuluh vena dan
arteri serta letaknya yang berdekatan dengan plika vokalis ( yaitu 0,9cm di atas
ligamen teratas), maka disarankan bahwa segala bentuk insisi dan pungsi terhadap
membran ini, dapat dilakukan pada sepertiga bawah dan diarahkan ke posterior.
Pada bagian dasar dari laring, terdapat karilago krikoid yang berbentuk
cincin, dan kartilago ini menggantung dari bagian bawah membran krikotiroid.
Kartilago krikoid berukuran 1cm di anterior dan 2cm di daerah posterior. Trakhea
dihubungkan dengan kartilago krikoid oleh ligamen krikotrakheal.
Trakhea
memiliki panjang ~15cm pada orang dewasa dan terdiri dari 17-18 buah kartilago
dibandingkan dengan yang kiri dan membentuk sudut yang lebih besar dengan
trakhea. Karena bronkus ini merupakan cabang langsung dari trakhea, maka
bahan-bahan yang teraspirasi, atau bahkan tube, cenderung lebih mudah masuk ke
bronkus kanan.
percabangan terakhir.
ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
Evaluasi preoperatif harus mencakup anamnesa atau riwayat terutama
yang berhubungan dengan jalan napas
Secara umum, intubasi sulit dilakukan akibat kondisi berikut ini : (1)
timbulnya masalah atau kondisi yang tidak memungkinkan untuk intubasi (misal
perut penuh, open globe), (2) anatomi saluran napas yang abnormal, (3) keadaan
gawat darurat, (4) trauma langsung pada laryng dan atau trakhea. Pemeriksaan
fisik harus lebih terfokus pada keadaan gigi geligi, adanya janggut, ukuran mulut,
kemampuan peregangan jaringan lunak di daerah submandibula, ekstensi
atlantooksipital, identifikasi membran krikothiroid dan adanya kelainan patologis
di faring.
Mallampati menyarankan bila basis lidah memiliki ukuran besar dan tidak
proporsional, maka kemungkinan besar sulit dilakukan laringoskopi dan intubasi;
penyulit timbul selain karena keadaan anatomis teteapi juga karena sudut antara
basis lidah dan laring yang sempit. Keadaan anatomis ini juga menyebabkan
glotis sukar dilihat.
proporsional tidak akan menghalangi jalan atau saluran menuju laryng, sudut
tidak sempit atau terbatasnya gerakan persendian. Lidah yang sangat besar tidak
hanya menghalangi laryng, tetapi juga menutupi ruangan faringeal dan struktur
lainnya, termasuk palatum, uvula dan pilar fausial. Untuk melihat tanda klinis ini,
pasien diminta duduk dengan kepala dalam posisi netral, membuka mulut selebarlebarnya dan menjulurkan lidahnya semaksimal mungkin. Klasifikasi Mallampati
berdasarkan pada seberapa jauh basis lidah mampu menutupi struktur daerah
faring.
menambah kelas keempat, yang menggambarkan suatu keadaan yang ekstrim dari
Mallampati kelas III, di mana palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah(tabel
23.3). Dalam kelas IV ini, hanya palatum durum saja yang masih tampak.
Hubungan yang signifikan ditemukan antara kelas dan derajat jalan napas dari
sulit tidaknya penampakan glotis melalui laringoskopi direk.
Penilaian yang
praktis dari metode ini dilihat dari mudahnya aplikasi. Sayangnya, indeks ini,
sama dengan sebagian lainnya, tidak terbukti cukup sensitif maupun spesifik
dalam menentukan sulit tidaknya mengintubasi pasien. Dalam percobaan dari 675
pasien, indeks ini ditemukan hanya 5 dari 12 kesulitan tatalaksana jalan napas dan
memberikan hasil 139 positif salah.
Perlu dicatat bahwa pemeriksaan tradisonal dari jalan napas, termasuk
klasifikasi Mallampati/Samson dan Young, jarak thiromental dan jarak
sternomental lebih menunjukkan ke arah kemampuan klinisi untuk melakukan
laringoskopi direk, tetapi hanya sebagian kecil yang mampu menggunakan
peralatan ventilator supraglotis ( contohnya LMA, Cuffed Orophrayngeal
Airway[COPA], Tracheal Esophageal Combitube) atau alat penunjuk visual
indirek (contohnya bronkoskopi fiberoptik, Bullard laryngoscope).
MANAJEMEN KLINIS DARI JALAN NAPAS
Preoksigenasi
Preoksigenasi (disebut juga denitrogenasi) harus dipraktekkan bila
waktu memungkinkan. Prosedur ini menyebabkan pergantian volume nitrogen di
paru (meningkat sampai 69% dari kapasitas residu fungsional [FRC]) dengan
oksigen untuk menyediakan suatu tempat untuk proses difusi dalam pembuluh
darah kapiler alveolus setelah terjadinya apneu. Preoksigenasi dengan 100% O2
dan ventilasi spontan dengan face mask selama 5 menit dapat memeberikan
persediaan O2 untuk 10 menit setelah terjadi apneu (pada pasien tanpa penyakit
kardiovaskuler dan konsumsi oksigen normal). Pada satu penelitian pasien yang
sehat dan tanpa obesitas, dimana mereka diminta untuk menghirup O 2 100%
preoperatif, ternyata konsentrasi saturasi O2 dari pasien-pasien tersebut dapat
dipertahankan lebih dari 90 % selama 6 0,5 menit, sedangkan pada pasien
dengan obesitas mengalami desaturasi oksihemoglobin hingga kurang dari 90 %
dalam 2,7 0,25 menit. Udara pernapasan pasien (21% O2) akan mengalami
desaturasi oksihemoglobin hingga kurang dari 90% setelah kurang 2 menit dalam
kondisi yang ideal. Pasien dengan gagal napas, atau menderita suatu keadaan
yang mempengaruhi metabolisme atau volume paru, biasanya akan mengalami
desaturasi lebih cepat, disebabkan karena meningkatnya ekstraksi O2, FRC yang
menurun atau hubungan transpulmoner. Penyebab yang sering terjadi karena
tidak tercapainya maximum alveolar FI02 selama preoksigenasi adalah karena
sungkup yang kurang menutup, yang menyebabkan udara ruangan masuk.
Adapun metode preoksigenasi lainnya, dengan waktu yang lebih singkat,
dijelaskan berikut ini. Metode ini menggunakan 4 seri kapasitas vital pernapasan
dari 100% O2 selama lebih dari periode 30 detik, PaO 2 yang tinggi (339 torr)
dapat dicapai, tetapi waktu terjadinya desaturasi menjadi lebih pendek bila
dibanding dengan teknik bernapas dengan O2 100% selama 5 menit. Suatu teknik
kapasitas vital yang telah dimodifikasi, dimana pasien diminta untuk mengambil 8
kali napas panjang dengan selang 60 detik, menunjukkan adanya terjadinya
desaturasi menjadi lebih lama. Saya memilih teknik yang menggunakan sungkup
wajah yang ketat selama 3 menit atau lebih dari volume pernapasan tidal/tidal
volume breathing; sungkup dipasang segera setelah pasien dibuat merasa nyaman
di meja operasi dan tetap dipasang selama insersi kateter intravena dan
pemasangan monitor.
dinyatakan
dapat
oksihemoglobin >90% seorang pasien yang apneu. Dalam teknik ini oksigen
Sungkup anestesi adalah salah satu alat yang paling sering digunakan
untuk mengalirkan gas anestesi dan oksigen, serta sebagai alat ventilasi pasien
dalam keadaan apnea.
Untuk menguasai penggunaan sungkup wajah yang benar adalah suatu
tantangan dan meskipun banyak terdapat kemajuan dalam hal penatalaksanaan
jalan napas, tetap saja sungkup wajah lebih terpilih karena memiliki fungsi utama
sebagai alat untuk mengalirkan gas anestesi dan sebagai alat resusistasi. Ketika
induksi dimulai, status kesadaran pasien yang mulanya sadar, dengan jalan napas
jalan kompeten dan terlindungi, menjadi tidak sadar dimana jalan napas menjadi
tidak terlindungi dan berpotensi timbul obstruksi.
depresi pusat pernapasan akibat pengaruh obat anestesi yang disertai dengan
relaksasi otot-otot saluran pernapasan atas sehingga kemungkinan dapat timbul
hiperkapnea dan hipoksia. Oleh karena itu, ventilasi dengan bantuan sungkup
wajah sangat berperan penting dalam penatalaksanaan jalan napas.
Posisi pasien yang benar merupakan kunci sukses penggunaan sungkup
wajah yang tepat. Posisi pasien dalam keadaan supine, dimana kepala dan leher
diposisikan dalam keadaan menghirup (sniffing position).
ventilasi berlangsung baik karena basis lidah terdorong ke arah anterior dan
terbentuk suatu jalur mulai dari rongga mulut, faring dan trakhea sehingga
memudahkan laringoskopi.
Sungkup diletakkan pada wajah pasien, meliputi mulut dan hidung,
dengan menggunakan tangan kiri. Tali pengikat yang elastis digunakan agar
sungkup tidak bergeser; dapat digunakan pada pasien yang sadar, maupun yang
tidak sadar karena pembiusan dengan pernapasan spontan dan tidak terdapat
obstruksi. Tali pengikat ini sangat membantu bagi seorang klinisi yang memiliki
jari-jari yang pendek. Tetapi, perlu diingat bahwa pemakaian tali pengikat yang
terlalu lama dan ketat dapat meyebabkan neuropraksia sensoris dan motoris.
Setelah dilakukan induksi, sungkup dipegang dengan erat, yaitu dengan
cara meletakkan ibu jari dan telunjuk pada sungkup, sedangkan tiga jari lainnya
memegang rahang bawah pasien. Mandibula diusahakan ditarik ke atas.
Pada
kelainan gigi, berjanggut, diperlukan dua tangan atau tali pengikat agar sungkup
Tabel 23-2. Sindrom yang berperan sebagai penyulit dalam tatalaksana jalan napas
Keadaan Patologis
Keadaan Klinis yang Mempengaruhi Jalan Napas
Kongenital
Sindroma Pierre Robin
Sindroma
Treacher
(dysostosis mandibulofacial)
aurikula-vertebral)
Sindroma Down
Jembatan
hidung
tidak
terbentuk
dengan
baik;
Sindrom Alpert
Sindrom
Beckwith
(infantile
Makroglossia
gigantisme)
Cherubism
Cretinismus
mulut
Hilangnya jaringan thiroid; makroglossia; goiter; penekanan
Sindrom Meckel
laryngomalacia, stridor
Sindrom Hurler
Sindrom Hunter
Sindrom Pompe
DIDAPAT
Infeksi
Supraglotis
Croup
Abses (intraoral, retrofaringeal)
Edema laryng
Papilomatosis
Edema laryng
Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus
Infeksi virus kronis yang membentuk papiloma yang
Ludwigs Angina
Arthritis
Rheumatoid arthritis
Spondilitis ankilosis
Ankilosis sendi temporomandibula, artritis krikoarytenoid,
deviasi laryng, terbatasnya gerakan leher
Tumor Jinak
Kistik
Ankilosis
higroma,lipoma,
tulang
servikal,
jarang
terjadi
di
daerah
adenoma, goiter
Tumor Ganas
servikal
Lain-lain
Obesitas
Akromegali
Combustio
Pipa orofaring (oral airways), yang memiliki berbagai jenis ukuran, dapat
merangsang pasien yang kurang sadar dan menimbulkan batuk, muntah dan atau
spasme laring. Pasien harus berada dalam keadaan teranestesi, bila pipa orofaring
akan dimasukkan. Hal serupa berlaku juga untuk pemasangan LMA atau COPA.
Pipa nasofaring (nasal airways) kurang merangsang pasien, tetapi dapat
menyebabkan trauma pada rongga hidung dan perdarahan sehingga pemakaiannya
memerlukan
perhatian
khusus,
terutama
pada
pasien
dengan
kelainan
Spasme laring timbul akibat masuknya benda asing (contohnya oral atau nasal
airway), saliva, darah atau muntah karena glotis tersentuh, atau mungkin juga
karena anestesia yang ringan.
spontan terus menerus memompa udara ke arah pita suara yang tertutup. Untuk
menghilangkan spasme laring, maka segala bentuk perangsangan atau tindakan
yang dapat merangsang laring harus dihilangkan. Aliran udara tekanan positif
tetap diberikan secara kontinyu, memperdalam status anestesi dan menggunakan
obat relaksasi otot kerja cepat.
Apabila tidak ditemukannya hal-hal yang menjadi kontraindikasi
(misalnya perut penuh, risiko terjadinya aspirasi), ventilasi dengan sungkup dapat
digunakan selama manintenance. Atau dapat juga, sungkup ini hanya digunakan
untuk mengalirkan gas anestesi saja sampai status anestesi yang diinginkan
tercapai, dan digunakan alat lain untuk mendukung jalan napas (misal: trakheal
tube). Keputusan ini dibuat berdasarkan pertimbangan adakah penyakit yang
menjadi penyulit atau keperluan pembedahan.
Laryngeal Mask Airway (LMA)
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
Insersi LMA
Insersi LMA, seperti digambarkan oleh penemunya Dr. Archie J.L. Brain,
telah mengalami banyak modifikasi oleh beberapa penulis. Dalam tulisan ini akan
dibahas berbagai variasialternatif tersebut. Pemikiran awal Dr. Brain tentang
tentang alat ini adalah sebuah prose alami dan rutin kita alami yaitu menggantikan
benda asing di hipofaring makanan. Dr. Brain berniat meniru penempatan
makanan di hipofaring sehingga memungkinkan untuk menempatkan sebuah alat
yang kemudian berfungsi sebagai jalan nafas.
Untuk mengerti teknik insersi, kita harus mengetahui terlebih dahulu
proses deglutinasi : lubrikasi oleh saliva, pembentukan bolus makanan oleh lidah,
dimulainya refleks menelan akibat stimulasi makanan, peningkatan tekanan lidah
menghimpit bolus makanan terhadap palatum; mengarahkan bolus kearah dinding
faring posterior, masuk ke dalam hipofaring mengikuti bentuk palatum dan
dinding faring; ekstensi kepala dan fleksi leher membuka ruangan di belakang
laring sehingga memungkinkan perjalanan bolus kedalam hipofaring sampai
akhirnya mencapai spingter esophagus bagian atas kemudian memasuki
esophagus. Fungsi tersebut memungkinkan makanan mencapai esophagus dengan
sendirinya, menghindari struktur faring anterior dan respon refleks yang berarti
melindungi jalan nafas.
Metode insersi prototype melingkupi rotasi sampai 180 dan diawali
dengan penggunaan introducer untuk menghindari epiglottis terlipat ke bawah.
Teknik yang dewasa ini dianjurkan, diilustrasikan pada gambar 23-10 terbukti
kurang traumatik dan mempunyai tingkat kesuksesan 98%. Pada teknik ini,
sungkup dilubrikasi dengan lubrikan non silikon yang tidak mengandung anestesi
lokal (diumpamakan sebagai saliva), kemudian dikempiskan sampai membentuk
baji datar dan tipis (seperti makanan yang telah dikunyah). Tanganoperator yang
tidak dominan ditempatkan dibawah oksiput untuk mememfleksikan leher ke dada
dan mengektensikan kepala terhadap sendi atlanto-occipital (membuat ruang di
belakang laring: tindakan ini bertujuan untuk membuka mulut). Jari telunjuk
tangan yang dominan ditempatkan di celah antara sungkup dan barrel. Hard
Palatum diperlihatkan dan permukaan superior sungkup ditempatkan di daerah
tersebut. Dengan menggunakan jari telunjuk diberikan gaya keatas kearah kepala
pasien. Hal ini akan mnyebabkan sungkup menempel pada palatum dan mengikuti
bentuk palatum selama menyusuri faring dan hipofaring. Jari telunjuk tetap
memberi tekanan di celah tersebut sampai dirasakan adanya tahanan dari spingter
esofagus superior. Kesalahan yang biasa dilakukan adalah memberikan tekanan
kearah vektor posterior. Hal ini cederung menyebabkan ujung LMA melekat pada
dinding faring posterior sehingga terlipat yang berakibat kesalahan letak dan
trauma.
Pada saat insersi selesai, untuk mengeluarkan tangan yang digunakan
untuk insersi dilakukan dengan menstabilkan barrel LMA mengunakan tangan
yang tidak dominan.
sebagai asprasi dan tidak ada yang menyebabkan kematian, meskipun 5 pasien
membutuhkan ventilasi tekanan positif. Terdapat beberapa faktor predisposisi
diantaranya obesitas, demensia, operasi emergensi,operasi abdomen atas, posisi
tredelenburg, insuflasi intraperitoneal dan jalan nafas yang sulit. Jika digunakan
pada pasien dengan resiko rendah untuk regurgitasi, tingkat aspirasi pada
pemasangan LMA sama saja dengan semua anestesi umum non-LMA (~2 dari
10.000 kasus), meskipun insidensi refluks gastroesofagus dapat meningkat jika
dibandingkan dengan penggunaan face mask.
Beberapa bukti menunjukkan kemungkinan terjadi refluks gastroesofagus
selama penggunaan LMA dengan pasien pada posisi Tredelenburg atau litotomi.
Jika diketahu terdapat isi lambung pada tabung LMA, tindakan yang sama pada
penggunaan ETT harus dilaksanakan : Posisi Tredelenberg, oksigen 100%,
biarkan LMA pada tempatnya dan gunakan suction yang fleksibel ke dalam
tabung, perdalam anestesi jika dibutuhkan.
Ketika dilakukan penelitian pada pasien yang diperkirakan lambungnya
penuh, kejadian aspirasi akibat penggunaan LMA pada operasi emergensi atau
elektif tercatat sangat rendah. Laporan tersebut termasuk pasien dengan obesitas,
sering mengalami refluks gastroesofagus dan operasi sesar atau pengamanan jalan
nafas saat melahirkan dan pasien yang datang ke emergensi.
Selama resusitasi kardiopulmonal, insidensi regurgitasi gastroesofageal 4
kali lebih besar dengan bagvalve mask dibandingkan LMA.
Penggunaan LMA yang tidak biasa
Sejak pertama kali diperkenalkan, banyak data klinis menunjukkan LMA
dapat digunakan secara aman di ruang operasi dalam situasi klinis yang bervariasi.
Sejumlah situasi klinis yang biasanya ditangani dengan intubasi trakea dan
ventilasi mekanik dilakukan menggunakan LMA. Tabel 23-4 menunjukkan angka
situasi klinis tersebut, menjelaskan keuntungan dan peringatan penggunaan LMA
serta menyediakan referensi yang memadai. Beberapa kasus akan didiskusikan
selanjutnya.
LMA dan Ventilasi Tekanan Positif
mengandung lidokain
seringkali disalahkan untuk cedera saraf. Untuk mencegah cedera tersebut cuff
LMA seharusnya dikembangkan tidak lebih dari 60 cm H2O dan harus dimonitor
jika N2O digunakan. Penggunaan LMA yang lebih besar dengan tekanan yang
lebih kecil juga telah dianjurkan.
Satu kematian dihubungkan dengan penggunaan LMA. Seorang wanita tua
mengalami robek di esofagus setelah penggunaan LMA intubasi (LMA-Fastrach),
maninggal 9 minggu kemudian karena shock sepsis setelah serangkaian
komplikasi. Yang menarik, komplikasi sebenarnya adalah robekan kecil pada
esofagus akibat intubasi esofagus yang kurang hati-hati. Karena itu komplikasi
ini lebih merupakan kesalahan pemasangan bukan karena sifat LMA-Fastrach
sendiri. Tidak ada kematian lain akibat komplikasi pemasangan LMA dilaporkan
LMA-Proseal
Meskipun LMA original dan fleksibel LMA telah sukses digunakan untuk
ventilasi tekanan positif, keduanya tidak sesuai untuk hal ini karena dua alasan :
pertama, jika kedudukan tidak stabil di hipofaring, dapat terjadi inflasi gaster,
kedua, tekanan penutup terbatas sekitar 20 cm H2O. Pada tahun 1994 sebuah
prototipe LMA yang termasuk gastric drain didesain. Diyakini desain semacam ini
akan menurunkan risiko pengembangan gaster dan risiko aspirasi isi refluks
gaster. Selanjutnya diketahui bahwa desain tersebut yang juga terdiri dari cuff
kedua, dapat menerima ventilasi tekanan positif
sampai 40 cm H 2O.
komponen setinggi level gigi geligi, maka LMA-Proseal kemungkinan akan lebih
sulit dimasukkan ke dalam jalan nafas. Untuk alasan ini, disertakan alat insersi
dari stainless steel. Setelah pemasangan, alat insersi dilepas. Diharapkan desain
baru ini akan menambah kemampuan dan kenyamanan operator dalam
menggunakan LMA dengan aman pada ventilasi tekanan positif untuk pasien
berisiko aspirasi isi lambung.
vertebra thorakal bagian bawah, wajah akan menghadap ke atas, tidak ada
overlaping dari ketiga axis sehingga visualisasi kurang baik. Untuk mengatasi hal
ini, optimal sniff atau posisi Magill harus dilakukan. Posisi ini , leher sedikit
fleksi terhadap thoraks (35%) dan kepala ekstensi terhadap leher pada sendi
atlantooccipital, menghasilkan alignment terbaik dari mulut, faring dan laring.
(gbr 23-15B). Posisi snif dapat disimulasikan dengan membayangkan posisi leher
dan kepala pada pelari jarak jauh. Posisi seperti ini membuka jalan nafas secara
maksimal, memindahkan epiglotis dari garis visual dan mengurangi resistensi
jalan nafas secara maksimal. Posisi Magill dapat dicapai dengan menempatkan
bantal kecil (10 cm) di bawah kepala, sementara bahu tetap datar (gb 23-15B).
Kegagalan mempertahankan posisi ini selama laringoskopi adalah penyebab
tersering visualisasi yang buruk.
Bantal pada posisi snif yang nyaman untuk pasien sadar, tetapi mudah
dibentuk kembali setelah induksi anestesi yang ideal untuk posisi sniff telah
dikembangkan oleh Dr. Kaiduan Pi (gb. 23-16).
Overekstensi kepala pada leher dan/atau pergerakan mandibula ke anterior
setelah masuknya muscle relaxan dapat menggerakan kartilago tiroid dan laring
ke anterior sehingga menghalangi pandangan ke arah laring.
Pasien dengan obesitas mungkin membutuhkan pengaturan posisi lebih
lanjut untuk menghindarkan massa di dada menghalangi laringoskop saat masuk
ke dalam mulut. Hal ini bisa dilakukan dengan menempatkan bantal di bawah
skapula, bahu dan tengkuk. Mengangkat leher dan kepala diatas thoraks, agar ada
pengaruh gravitasi.
Jika pada saat laringoskopi tidak didapatkan pandangan yang baik,
manuver
BURP
(backward-upward-rightward
pressure)
mungkin
dapat
kedua
teknik
diatas
adalah
untuk
rotasi
dan
translasi
sendi
membuat tanda posisi anterior laring. Seringkali untuk dapat melihat inlet laring
dibutuhkan tekanan posterior krikoid. Straight blade lebih membantu untuk
memindahkan epiglotis yang kaku, berbentuk omega dan tinggi letaknya. Karena
kartilago krikoid merupakan daerah paling sempit sampai usia 6-8 tahun, operator
harus sensitif terhadap tahanan dan selanjutnya ETT yang telah mudah melewati
pita suara. Hiperekstensi pada sendi atlantoocccipital dapat menyebabkan
sumbatan jalan nafas karena elastisitas relatif trakea. Pada anak-anak terdapat
risiko yang lebih tinggi saat intubasi atau ekstubasi endotrakea dangan pergerakan
kepala karena ukuran trakea yang pendek.
Dengan laringoskopi, lapang pandang laring dapat komplit, parsial atau
tidak terlihat sama sekali. Sistem penilaian lapang pandang laring yang telah
diterima secara umum dikembangkan oleh Cormack dan Lehane, yang
menjelaskan 4 tingkatan lapang pandang laring. Tingkat I termasuk visualisasi
seluruh permukaan glotis. Tingkat II visualisasi bagian posterior glotis. Tingkat III
visualisasi ujung epiglotis. Tingkat IV hanya memperlihatkan soft palatum. (Gb.
23-22) Sistem ini telah terbukti berguna tidak hanya sebagai alat untuk mencatat
lapang pandang laring pada seorang pasien, tetapi juga sebagai perediksi jalan
nafas preoperatif.
Setelah laring dapat terlihat, trakeal tube dimasukkan dengan tangan
kanan, hati-hati agar tidak merusak lapang pandang terhadap pita suara. Trakeal
tube harus dimasukkan minimal 2 cm di bawah pita suara agar terletak di mid
trakea. Ini kira-kira ukuran 21-23 cm pada skala. Pilihan ukuran tracheal tube
untuk dewasa apat digeneralisir, untuk wanita ukuran 7-8 cm id
Tabel 23-3 Ukuran LMA dan volume pengembangan
Ukuran
Berat pasien
LMA
Pengembangan
Volume
Tes
Ukuran
Pengembangan
Pengembangan
(%)
Maksimum
(ml)
(ml)
4
7
10
14
20
30
40
10
15
21
30
45
60
Neonatus/bayi
1,5
2
2,5
3
4
5
6
sd 5 kg
5-10 kg
10-20 kg
20-30 kg
>30 kg
Dewasa kecil
Dewasa normal
Dewasa besar
21
21
18
15.7
14.4
13.8
8.1
Volume
Situasi klinik
Telinga dan hidung
keuntungan
Saturasi O2
Pencegahan
Pengeluaran/
Perlindungan
Sitasi
A1-A9
nafas
Gigi
Pergerakan kepala
Seperti di atas
Peningkatan
Menurunkan disritmia
kewaspadaan
Mengurangi
ekstraksi
A10-A18
saat
perdarahan
Mengurangi epistaksis
Laring
Biopsi pita suara
Mulut, mandibula, Kasus penyelamatan
lidah
setelah
kegagalan
facemask
Adenotonsilektomi
A19
A20-A30
laringoskopi
Mengurangi
atau
kotoran Sebaiknya
trakea
Penyembuhan
menggunakan
postoperatif
A31-
A44
baik
Berkurangnya
A21,
Mungkin
sulit
laringospasm
Berkurangnya
bronkospasm
Bedah laser
Sungkup
dapat A45-A55
robek
Pembedahan besar Telah digunakan untuk Laringospasme
leher dan kepala
A56-A58
mungkin muncul
LMA
mungkin
berpindah tempat
Endarterektomy
Masker berlubang
Mengurangi stimulasi Distorsi
anatomi A43, A59
karotis
kardiovaskular
Trakeostomi
Smooth Emergence
Jalan nafas sulit
pembedahan
A60-A65
Perhatikan
perkutaneus
telah
sebagai
prosedur
(LMA
digunakan
masker
trakeostomi)
Operasi mikrolaring Glotis tidak tersumbat
Operasi
Glotis tidak tersumbat
A66-A68
A47, A69-
trakea/karina
A73
Tiroid/paratiroid
di bawah LMA
Observasi
dinamik Laringospasm
A56,
LMA
A69-
mungkin A79
berpindah tempat
Jika
melemahkan
suport trakea
Memperbaiki tekanan Valsava
dapat A44, A69,
intraokuler
terjadi
A80-A104
Laparoskopi
Kemungkinan
A105-A113
ginekologis
peningkatan
regurgitasi
dalam
posisi tredelenberg
Bronkoskopi
A114-A140
glotis
Oksigenasi/ventilasi
kontinyu
Lapang
pandang
Smooth emergence
Smooth wake up test
A141
A142-A146
Resusitasi
Sebagai
kardiopulmonal
pertama
jalan
nafas
A147-A148
Penyebaran obat
Operasi
perut
Harus
dipastikan A149-A151
bawah
edalaman anestesti
yang adekuat
Secara
umum A149,
merupakan
A152-A154
kontraindikasi,
Operasi
Mengurangi
Kardiothorak
kardiovaskular
meskipun
telah
digunakan
secara
aman
respon Dianggap
berguna
tidak A155-A157
karena
sering
dibutuhkan
Tabel 23-5 Keuntungan LMA pada operasi supraglotis
Meningkatkan perlindungan jalan nafas dari darah dan debris
Mengurangi respon kardiovaskuler
Mengurangi batuk
Mengurangi laringospasme setelah pengangkatan alat
Meningkatkan saturasi setelah pengangkatan alat
Kemampuan untuk mengalirkan oksigen sampai refleks jalan nafas kembali
Tabel 23-6 Perlengkapan untuk Laringoskopi
Oxygen source dan self inflating ventilation bag (e.g ambu bag)
Face mask+
Oropharyngeal and nasopharyngeal airways+
Tracheal tubes+
Tracheal tue stylet
Syringe for tracheal tube cuff inflation
Suction apparatus
yang
luas,
atau
risiko
injeksi
/absorpsi besar
langsung motoneuron dan pada reticular activating system. Pasien dengan sleep
apnea dapat lebih mudah mengalami obstruksi dengan sedasi minimal. Awake
state memberikan pemeliharaan terhadap tonus spingter esofagus atas dan bawah,
yang akan mengurangi risiko refluks. Pada saat terjadi refluks, pasien dapat
menutup glotis dan atau mengeluarkan bahan aspirasi dengan batuk sebgai hasil
bahwa refleks ini tidak tertekan oleh anestesi lokal.135 Terakhir, pasien dengan
risiko terjadi sekuele defisit neurologis (pasien dengan patologi vertebra servikan
yang tidak stabil) bisa menjalani monitoring sensori-motor setelah intubasi
trakeal. Dalam situasi emergensi, harus hati-hati(stimulkasi kardiovaskuler pada
pasien dengan iskemia kardiak atau risiko iskhemia, bronkhospasme, peningkatan
yekanan intraokuler, openingkatan tekan intrakranial)136 tetapi tidak ada
kontraindikasi absolut pada awake intubation. Kontraindikasi pada awake
intubation elektif termasuk pasien menolak atau tidak kooperatif (naak-anak,
retardasi mental berat, demensia, intoksikasi) atau alergi pada anestesi lokal.
Jika klinisi telah memutuskan untuk melakukan tindakan awake airway
management, pasien harus disiapkan secara fisik dan psikologis. Hampir semua
pasien dewasa akan menerima penjelasan tentang perlunya pemeriksaan airway
dalam keadaan sadar dan akan lebih kooperatif setelah mereka menyadari akan
pentingnya dan rasionalitas untuk setioap tindakan yang tidak nyaman itu.
Prosedur secara keseluruhan tidak perlu dijelaskan dalam sekali waktu. Klinisi
dapat menjelaskan bahwa pasien akan diamati jalan nafasnya dalam rangka untuk
merencanakan tindakan. Dfalam hal ini dapat termasuk tindakan endoskopi.
Setelah airway disiapkan dan diamati, pasien akan menyadari bahwa mereka harus
mengalami
ketidaknyamanan
lebih
lanjut selama
intubasi,
yang
dapat
efek
sedasi
dan
antitusifnya,
walaupun
perlu
hati-hati
dalam
dalam larutan 4 %. Dosis total yang diaplikasikan pada mukosa tidak boleh lebih
dari 200 mg pada dewasa. Kokain tidak boleh digunakan pada pasien yang
hipersensitif terhadap kokain, hipertensi, penyakit jantung iskemik, pre-eklamsi,
atau yang menggunakan monoamin oksidase inhibitor.137 Karena kokain
dimetabolisme oleh pseudokolinesterase, maka dikontraindikasikan untuk pasien
yang menderita defisiensi enzim ini.
Lidokain, anestesi lokal golongan amida, terdeia dalam banyak sediaan
dan dosis (Tabel 23-13). Pada pemberian topikal, memiliki puncak onset dalam 15
menit. Kadar toksis dalam plasma bukan tidak mungkin terjadi, namun tidak
umum terjadi pada pemberian untuk airway management.
Tabel 23.13. Bentuk sedian lidokain
Sedian
Injeksi/larutan topikal
Dosis
1 %, 2 %, 4 %
Larutan lengket
1 %, 2 %
Salep
1 %, 5 %
Aerosol
10 %
Tetrakain adalah anestesi lokal golongan amida dengan lama kerja yang
lebih panjang daripada kokain dan lidokain. Tersedia dalam bentuk larutan 0,5 %,
1% dan 2 %.
Diabsorpsi cepat dari saluran nafas dan pencernaan dan toksisitas setelah
pemberian secara nebulisasi pernah dilaporkan dengan dosis serendah 40 mg,
walaupun dosis aman pada dewasa adalah 100 mg.
Benzokain terkenal di antara beberapa klinisi karena onsetnya yang sangat
cepat (< 1 menit) dan durasinya yang singkat ( 10 menit). Tersedia dalam bentuk
larutan 10 %, 15 % dan 20 %. Pernah dikombinasikan dengan tetrakain
(Hurricaine , Beutlich Pharmaceuticals) untuk memperpanjang masa kerja.
Pemberian 0,5detik aerosol Hurircaine mengantarkan 30 mg benzocain, dosis
toksisnya 100 mg. Sedian lain yang umum adalah spray Cetacaine, merupakan
kombinasi antara benzocaine dan Tetracaine, butylaminobenzoate, benzalkonium
klorida, dan cetyyldimethylethyl ammonium bromide. Benzocaine mungkin
dipersarafi
oleh
cabang
nervus
vagus,
fasialis
dan
epiglotis, lipatan ariepiglotika, dan aritenoid. Cabang yang berasal dari SLN,
berada lateral dari kornu tulang hioid. Kemudian menembus membran tirohiod
dan berjalan di bawah mukosa resesus piriformis. Bagian sisa dari SLN, cabang
eksterna, memberikan inervasi motorik untuk otot krikotirid. Beberapa blok
terhadap nervus ini telah diuraikan. Dalam banyak contoh, aplikasi anestesi
topikal dalam rongga mulut akan menyediakan analgesia yang adekuat. Blok
eksternal dilakukan pada pasien dalam posisi terlentang dengan kepala ekstensi
dan klinisi berdiri ipsilateral dengan nervus yang akan diblok. Di bawah sudut
mandibula, klinisi mengidentifikasi kornu superior dari tulang hioid (gambar 2328). Menggunakan satu tangan, kornu ditekan secara langsung ke arah medial,
memindahkan kornu hioid ipsilateral menjauhi klinisi. Kehati-hatian diperlukan
untuk menentukan lokasi arteri karotis dan kemudian menggesernya jika
diperlukan. Jarum diinsersikan secara langsung di atas kornu hioid, dan kemudian
menggerakkan kartilago ke arah anterior-kaudal sampai jarum dapat melewati
ligamen sedalam 1-2 cm (gambar 23-29A). Sebelum menginjeksikan anestesi
lokal, dilakukan tes aspirasi untuk memastikan sudah masuk ke dalam faring atau
struktur vaskuler. Anestesi lokal dengan epinefrin (1,5-2 ml) diinjeksikan ke
dalam ruangan antara membran tirohioid dan mukosa faring. SLN juga dapat
diblok dengan cara teknik blok noninvasive. Pasien diminta untuk membuka
mulut lebar, dan dan lidah dipegang menggunakan spatula lidah atau kawat.
Forsep sudut kanan (Forsep Jackson-Krause) dengan kapas yang telah direndam
dalam obat anestesi lokal ditempatkan di lateral lidah dan ke dalam sinus
piriformis bilateral. Dibiarkan selama 5 menit.
Gambar 23-28
Gambar 23-28. Ketika akan dilakukan blok SLN, kornu superior hioid
kontralateral ditekan untuk membantu mengidentifikasi anatomisnya. Jarum
diinsersikan setinggi membran tirohioid sediki di bawah kornu kartilago tiroid
mayor.
Persarafan sensoris dari pita suara dan trakea berasal dari nervus laringeus
rekuren. Penyuntikan anestesi lokal transtrakeal mudah untuk dilakukan untuk
menghasilkan analgesia yang adekuat dan tekniknya dibicarakan secara detil di
ketika keadaan pasien dengan sekresi yang minimal, anestesia topikal diberikan
pada airway. Pasien menerima 4mg midazolam intravena. Intubasi airway
oraldilakukan tanpa menghilangkan refleks muntah dan flexible fiberoptic
bronchoscope diguanakn juga pada airway. Visualisasi ligamentum vokalis, dan
lidokain 4 % sebanyak 4 ml disuntikan melalui fiberscope working chanel. Ujung
distal fiberscope dimasukkan ke dlam laring, dan 7,0-id tuba endotrakheal, yang
telah ke dalam badan insersi fiberscope, dimasukkan ke dalm trakhea. Fiberscope
dipindahkan sementara struktur karina, trakhea dan terakhir tuba trakheal diamati.
Sirkuit anestesi dilekatkan ke tuba trakheal dan pengeluaran karbondioksida tetap
diamati oleh Kapnografi. Dilakukan pemeriksaan status neurologis motorik dan
sensoris singkat oleh ahli bedahnya dan dilakukan induksi anestesi umum.
Penggunaan bronkhoskopi fiberoptik dalam manajemen airway.
Bronkhoskopi fiberoptik (Fiberoptic bronchoscope/FOB) adalah instrumen
yang terdapat dimana-mana dalam bidang anestesi, terdapat pada 99% anggota
ASA aktif yang disurvey.142 Teknik fiberoptic-aided intubation pertama kali
dilakukan dengan menggunkan choledochoscope pada pasien dengan stills
disease.143 Pada akhir 1980, penggunaan FOB fleksibel memberikan kemajuan
dalam manajemen pasien dengan kesulitan jalan nafas.144 Sekarang telah
diterima secara umum untuk keadaan klinis yang bervariasi, FOB merupakan alat
yang penting bagi ahli anestesi yang harus mengelola pasien sadar ataupun tidak,
yang sulit untuk diintubasi. 145 FOB telah terbukti sebagai alat yang paling
bermanfaat dalam setiap keadaan.
Tidak ada indikasi yang paling benar/tetap untuk teknik FOB-aided
intubation, seperti yang ada pada laringoskopi direk (misal pada rangkaian induksi
cepat pasien dengan lambung penuh). Akan tetapi, banyak situasi klinis dimana
FOB sebagai bantuan tidak langsung dalam mengamankan jalan nafas, terutama
jika klinisi telah melakukan usaha terbaik dengan kemampuannya menggunakan
intubasi yang rutin.141 Termasuk didalamnya adalah untuk mengantisipasi
intubasi yang sulit yang didapat dari riwayat atau pemeriksaan fisik, intubasi yang
sulit yang tidak diantisipasi (dimana teknik yang lain gagal), obstruksi airway atas
dan bawah, penyakit vertebra servikal yang stabil/tidak, efek massa pada saluran
nafas atas atau bawah, risiko pada gigi atau kerusakan dan awake intubation.141
Tidak seperti perlatan yang lainnya yang digunakan untuk mengintubasi trakea,
FOB juga dapat memberikan visualisasi struktur di bawah pita suara. Sebagai
contoh, dapat mengidentifikasi penempatan dari tracheal tube atau membantu
penempatan Double lumen tracheal tube. Mungkin juga membantu diagnosis
dalam trakhea atau bronkhus, atau dalam toilet pulmonal (gambar 25-30).
Gambar 25-30.
Gambar 25-30. FOB mungkin akan berguna untuk diagnosis dan terapi struktur di
bawah pita suara termasuk segmen brokhus dan tolit (lihat gambar 23-3). (A)Web
laringeal. (B) tumor bronkhus.
Kontraindikasi FOB-aided intubation adalah relatif, dan berhubungan
dengan keterbatasan alat (Tabel 23-14).
Tabel 23-14. Kontraindikasi FOB
Hipoksia
Sekresi jalan nafas yang banyak yang tidak dapat diatasi dengan suction atau
antisialagogues
Perdarahan dari saluran nafas atas atau bawah yang tidapat diatasi dengan suction
Alergi terhadap anestesi lokal
Tidak kooperatif
Karena elemen optiknya kecil (lensa objektifnya berdiameter 2 mm atau
kurang), sekret jalan nafas sedikit saja , darah atau debris juga dapat
mengkaburkan pandangan. Maka perlu untu dibersihkan terlebih dahulu dengan
pemberian antisialagogues im/iv (misal glycopyrrolate 0,2-0,4 mg, atropin ,5-1
mg) akan berefek mengeringkan dalam waktu 15 menit, tetapi hati-hati pada
pasien yang intoleran terhadap peningkatan denyut jantung. Vasokonstriksi
mukosa hidung diperlukan untuk mengurangi perdarahan jika melalui hidung
dengan menggunakan oxymetazoline, phenylephrine, atau kokain topikal. Jika
awake intubation direncanakan dengan menggunakan FOB, agar berhasi maka
pasien harus dapat kooperatif, tidak ada sekret, dengan sedikit pergerakan dari
trakhea memerlukan banyak waktu, terutama bagi klinisi yang belum cakap
dengan peralatannya, maka kontraindikasi penggunaannya untuk pasien hipoksia
atau impindeng hipoksia dan perlu dipertimbangkan untuk digunakan metode lain
yang lebih cepat (LMA atau pembedahan airway).
Elemen bronkhoskopi fiberoptik. FOB adalah alat yang rapuh, dengan
bagian optik dan nonoptik. Elemen penting mengandung anyaman serat kaca.
Setiap serat berdiameter 8-12 m, dan dilapisi oleh lapisan kaca sekunder.
Cladding berguna untuk menjaga bayangan disetiap serat sebagai cahaya yang
direleksikan dengan rate 10000 kali per meter ketika bergerak dari lensa objektif
ke lensa okuler pada pegangan operator.
Persiapan
intubation, harus dipastikan bahwa peralatan bekerja dengan baik. Satu urutan
ispeksi dilakukan seperti pada tabel 23-15.
Penggunaan bronkhoskopi fiberoptik. FOB dipegang dengan tangan non
dominan, ibu jari pada tuas pengontrol. Lengan yang dominan berfungsi untuk
menahan dan memegang insertion cord. Banyak operator menukar posisi tangan
tadi, tetapi ibu jari dari tangan nondominan harus mahir untuk mengontrol
gerakan kasar dari level kontrolnya. Semua ahli endoskopi berpengalaman
mengetahui bahwa kontrol yang halus dibutuhkan untuk memegang badan dari
endoskopi.
Insertion shaft dilicinkan dengan pelicin larut air, dan dimasukkan melalui
lumen ETT. ETT yang sesuai harus dipilih, tetapi semakin besar rasio antara
diameter interna ETT dan diameter eksterna insertion shaft, maka semakin besar
resiko tertahan di dalam saluran nafas seperti yang pernah terjadi pada 20-30 %
tindakan (Gambar 23-32).141 Kejadiantersebut terjadi apabila ada klep antara dua
alat ini karena perbedaan ukuran. Mungkin juga melibatkan epiglotis, kartilago
kornikulata/aritenoid, plika ariepiglotika, atau pita suara.147 Metode lain telah
diuraikan untuk mengtasi kejadian tersebut, termasuk penggunaan ETT yang
kecil, rotasi dari dataran ETT 90 derajat searah jarum jam dan atau berlawanan
arah jarum jam, penggunaan soft-tipped ETT, meminta pasien bernafas dalam
selama memasukan ETT, dan doble setup ETT, yang menggunakan ETT kecil (5.0
id) didalam ETT yang adekuat secara klinis (misal 7.5 id) untuk mengatasi klep
akibat perbedaan ukuran.
Klinisi memilih rute intubasi, baik oral atau nasal, terganrung dari
kebutuhan klinisi, kebutuhan dokter bedah, pengalaman operator, dan teknik
intubasi lain yang tersedia jika FOB-aided intubation gagal. Faaktor terakhir ini
penting karena jika usaha intubasi nasal gagal. Mungkin akan ada perdarahan
yang signifikan yang mengaburkan visualisasi teknik indirek lain. Rute nasal
dipertimbangkan lebih mudah oleh beberapa klinisi. Perbedaan antara rute nasal
dan oral akan didiskusikan dalam tabel 23-16.
Variasi intubating oral airways (IOA) secara komersial tersedia. Fungsi
utamanya adalah untuk jalur visual yang jelas dari mulut ke faring, membuat
broinkhoskop tetap di tengah, mencegah pasien menggigit, dan menyediakan
airway yang bebas untuk ventilasi spontan atau dengan mask. Karakteristik
umumdari semua IOA adalah saluran sepanjang jalan nafas harus cukup untuk
membiarkan pasase dari ETT. Ovassapian airway (Gambar 23-33) menyediakan
dua set semisrkuler, incomplete flexible flanges yang menstabilakn ETT ( sampai
9.0 id) di garis tengah tapi memungkinkanpemindahannya dari jalan nafas setelah
intubasiselesai sehingga IOA bisa dipindahkan dari mulut. Permukaan lidah yang
datar dari jalan nafas memberikan stabilitas lateral dan rotasi yang baik.PatilSyracuse endoscopic airway dan Luomanen aral airway (gambar 23-33)
menyediakan dua set semisirkuler juga didesain untuk FOB-aided intubation.
Masing-masing memiliki lekukan sentral, terbuka di lidah (Patil syracuse) atau
palatal (Luomanen), yang memudahkan pemindahan ETT. Permukaan lingual
yang datar memberikan stabilitas yang baik. Meskipun model IOA ini
menyediakan akses ke faring, lebih besar dibandingkan dengan jalan nafas yang
lain dan sering tidak nyaman bagi pasien. Williams airway (Gambar 23-33) dan
Berman airway untuk intubasi oral buta. Sering sulit untu memanipulasi ujung
dari fiberscope ketika di dalam pentempitan jalan nafas ini. Jalan nafas ini
memiliki ukuran kecil dan ditoleransi lebih baik oleh pasien yang sadar, tetapi
kurang stabil dalam lidah. Karena lumen interna berebntuk bulat sempurna, pada
Williams airway, ETT
intubasi. Hal ini akan sulit apabila apabila ETT memiliki circuit adapter. Berman
airway menghiolangkan masalah ini dengan cara terbagi sepanjang satu sisi.
Plastik disisi berlawanan tipis dan dapat ditempa. Apabila iterincisor adekuat,
airway dapat terbuka secara lateral untuk memudahkan pemindahannya dari ETT.
Setelah berhasil diarahkan menuju supragloyis, ahli endokopi mevisualisasi
pita suara. Jika penutupan glotis, muntah, atau batuk terjadi karena struktur
laring terstimulasi FOB,operator dapat menggunakan anestesi lokal,
menambah sedasi, atau mengangkat endoskop dan memperbaiki tahap
persiapan. Klinisi juga mungkin akan memutuskan terus memasukan FOB.
Tindakan harus diambil tergantung dari setiap situasi klinis; pada skenario
elektif, masih ada waktu untuk menambah analgesia pada airway, tetapi pada
pasien dengan gagal nafas mengancam, maka ketidaknyamanan pasien dapat
ditoleransi. Sekali masuk ke dalam laring, opertor memilih struktur seperti
karina, untuk membuat landmark ketika ETT dimasukkan Sederhana karena
FOB telah masuk ke dalam trakea, tidak ada jaminan intubasi akan berhasil.
Seperti disebutkan di atas, 20-30% dari ETT disertai dengan kaitan. Maka
dari itu, seorang pasien dengan kondisi jalan nafas yang kritis, tidak boleh
diinduksi anestesi umum, dengan asumsi bahwa ETT akan mudah untuk
lewat.
Sekali ETT memasuki trachea, klinisi dapat memilih untuk melihat ETT
dan tanda anatomi (misalnya carina tracheal) untuk memastikan tempat ETT yang
tepat sebelum FOB ditarik.
Terdapat sejumlah variasi dan alat tambahan pada intubasi dengan bantuan
FOB. Pembaca dianjurkan untuk merujuk ke literatur primer pada tabel 23-17.
Walaupun intubasi dengan bantuan FOB merupakan tehnik yang memiliki banyak
manfaat dan bersifat vital, namun terdapat beberapa kekurangan, dimana sebagian
besar telah didiskusikan sebelumnya. Pada tabel 23-18 terdapat sebab-sebab
utama terjadinya kegagalan pada intubasi dengan bantuan FOB.
Alat-alat Intubasi Fiberoptic yang Rigid. Alat-alat fiberoptic dapat
menghasilkan tampilan tidak langsung dari larynx dan bertindak sebagai pemandu
ETT untuk intubasi. Lebih dari 1/3 dari seluruh anestesi dilakukan melalui akses
dengan alat-alat ini. Alat-alat ini juga dapat digunakan pada pembukaan mulut
yang terbatas (0,4 cm pada kasus Bullard). Alat ini terdiri dari blade seperti
laringoskop yang terbuat dari stainless-steel yang kaku yang meliputi kabel
fiberoptik dengan komponen mata pada bagian proksimal dan lensa objektif pada
bagian distal. Blade ini memiliki bentuk kurva anatomis untuk menyesuaikan
dengan posisi netral dari rongga mulut manusia: jalur antara pharynx dan
hypopharynx. Penyesuaian susunan dari rongga mulut, pharyngeal dan tracheal
tidak diperlukan. Pencahayaan disediakan oleh kabel fiberoptik yang kedua yang
mentransmisikan cahaya dari baterai atau sumber cahaya berdiri yang bebas.
Bullard-scope, yang memiliki ukuran dewasa serta anak-anak, telah diteliti
sebagai yang terbaik. Alat ini memiliki kabel fiberoptik yang terfixir pada bagian
posterior dari blade. Lensa komponen mata memiliki diopsi yang dapat
disesuaikan. Juga terdapat sebuah saluran yang berada pada sisi panjang blade.
Sekali laring divisualisasikan, ETT dimasukkan dengan stylet yang menempel,
walaupun teknik lain sudah dijelaskan. Akhir-akhir ini, keuntungan dari Bullardscope di atas blade laryngoscope tradisional dalam manajemen pasien dengan
kerusakan tulang belakang dan pasien obese telah diteliti.
Upsher Scope (Mercury Medical, Clear Water, FL) tersedia dalam ukuran
dewasa. Alat ini tidak menggunakan stylet namun ETT dipegang dan dimasukkan
melalui lumen berbentuk C pada pisau. Pada alat ini tidak terdapat saluran kerja.
Komponen matanya dapat difokuskan.
WU-scope (Pentax) adalah alat lain dimana endoskopi fiberoptik yang
fleksibel dimasukkan melalui saluran di antara 3 bagian pegangan stainless steel
dan blade. Saluran kedua yang lebih besar menerima ETT. Saluran kerja terdapat
sepanjang lumen endoskopi. Diproduksi dua ukuran dewasa. Pada saat larynx
divisualisasikan dan ETT dimasukkan ke dalam trachea, kedua bagian stainlesssteel dari blade laryngoskopi dikeluarkan dari mulut. Tidak seperti dua alat
sebelumnya, WU-scope dapat juga digunakan untuk intubasi nasal dengan
memasukkan bagian anterior dari blade saja dan pegangannya. ETT yang
sebelumnya ditempatkan pada pharynx melalui nares dapat ditempatkan pada
bagian anterior dari blade.
Kemudian intubasi retrograde dari jalan nafas dilakukan pada pasien pada posisi
duduk dengan penempatan perkutan dari kateter no.18 melalui cricothyroid
menggunakan larutan saline dengan 10 ml syringe untuk mendeteksi udara yang
berhubungan dengan jalan masuk tracheal. (setelah anestesi lokal inisial infiltrasi
pada kulit diatas membrane). Jarumnya diposisikan diatas membran midcricothyroid dengan sudur 45o dari dada. Setelah dilakukan aspirasi udara bebas,
lapisan Teflon dari kateter dimasukkan kedalam trachea. Kawat pembimbing
radiology dengan diameter 0,035 inchi dan panjang 110 inchi dimasukkan melalui
kateter sampai ujung proksimalnya muncul dari mulut. ETT 7,0 ditempatkan pada
kawat dan dibimbing ke dalam trachea. Kawatnya di keluarkan dengan
mendorongnya ke lubang kecil perkutan dan menariknya dari ujung proksimal
saluran trachea. Auskultasi suara nafas pada lapang paru sejalan dengan adanya
tekanan positif dari ventilasi bantuan. Saat saturasi oksigennya membaik, pasien
diberi sedasi dangan midazolam intravena.
Penggunaan Intubasi Kawat Retrograde dalam Manajemen Jalan Nafas.
Intubasi Kawat Retrograde (Retrograde Wire Intubation / RWI) meliputi
penarikan antegrade atau membimbing ETT kedalam trachea menggunakan kawat
atau kateter yang sudah dimasukkan ke trachea melewati lubang kecil perkutan
melalui membran cricothyroid atau membran cricotracheal dan secara buta
dimasukkan retrograde ke dalam
Larynx, hypopharynx, pharynx dan keluar dari mulut atau hidung. Intubasi
retrograde pertama kali dilakukan pada 1960 oleh Butler dan Cirillo, dengan
penempatan kateter uretra berwarna merah melalui trakeostomi sebelumnya, naik
melalui laring dan keluar melalui mulut. Teknik perkutaneus yang digunakan saat
ini ditemukan oleh Walters tahun 1963, menggunakan kateter epidural. Tahun
1993 teknik ini termasuk dalam algoritme penyulit jalan napas ASA.
Tabel 23-18. Penyebab kegagalan selama intubasi dengan bantuan Fiberoptik
Kurangnya pengalaman: tidak latihan intubasi rutin
Gagal memberikan anestesi yang cukup: sekresi tidak kering, teknik yang terburu-buru
Gagal membersihkan jalan napas dengan baik: dosis yang kurang atau teknik yang
terburu-buru
Rongga hidung berdarah: vasokontriksi yang tidak adekuat, teknik yang terburu-buru,
memasukkan ETT dengan paksa
Kerusakan pada dasar lidah atau epiglotis: terbatasnya pilihan intubasi jalan napas,
kebutuhan akan chin lift/jaw thrust
Sedasi yang tidak adekuat pada pasien yang sadar
Tersangkut: ETT terlalu besar
Pengaburan FOB: penghisapan atau oksigen tidak berkerja pada saluran, bronkoskopi
yang dingin.
Peralatan dasar yang digunakan pada teknik intubasi retrograd tercantum
pada tabel 23-19.
Intubasi retrograd telah digambarkan pada berbagai kondisi klinis sebagai
teknik intubasi primer (pilihan atau mendesak) dan setelah kegagalan pada
laringoskopi langsung, intubasi fiberoptik, intubasi LMA. Indikasi yang utama
adalah ketidakmampuan untuk memvisualisasikan lipatan vokal karena adanya
darah, sekresi, atau variasi anatomi, tulang servikal yang tidak stabil, keganasan
pada saluran napas atas, dan fraktur mandibula. Kontraindikasi termasuk
berkurangnya akses ke membran krikotiroid atau ligamen krikotrakheal (oleh
karena deformitas leher yang berat, obesitas, massa), penyakit laringotrakheal
(stenosis, keganasan, infeksi), koagulopati, dan penyakit infeksi kulit.
Tipe J
Lain-lain: mata skalpel, hook nerve, forceps Magill, sutura silk 30, kateter
epidural.
Gambaran kawat intubasi retrograd (Gambar. 23-35). RWI biasanya
dilakukan pada posisi supinasi, walaupun posisi duduk juga sering digunakan
pada pasien dengan gangguan jalan napas. Ekstensi kepala atau leher
mangakibatkan posisi kartilago krikoid dan trakhea terletak lebih anterior dan
m.Sternokleidomastoideius lebih lateral, walaupun pada kasus 2, ini tidak selalu
terjadi. Kulit harus dipersiapkan. Jika pasien sadar, anestesi lokal dilakukan diatas
lokasi punksi. Anestesi lokal harus diberikan untuk menghindari ketidaknyamanan
dan reflek napas. Secara umum, anestesi topikal pada trakhea, laring, faring, dan
saluran hidung disukai. Anestesi translaringeal merupakan teknik yang biasanya
dilakukan sejak dibutuhkannya perkutaneus trakhea selama RWI. Di atas dan di
bawah lipatan vokal dianestesi.
Seperti ditulis sebelumnya, membran krikoid (CTM) dan ligamen
krikotrakheal (CTL) adalah tempat yang potensial untuk punksi translaringeal.
Walaupun CTM punya keuntungan karena langsung anterior pada permukaan
posterior yang luas dari kartilago krikoid, dengan demikian melindunggi esofagus
dari jarum punksi, jarum diletakkan didekat proksimal (0,9-1,5 cm) dari lipatan
vokal dan bisa terjadi sedikit kesalahan tempat sewaktu intubasi.
Tabel 23-20. Komplikasi yang berhubungan dengan intubasi retrograd
Perdarahan (11)
Empisema subkutaneus (4)
Pneumomediastinum (1)
Sesak napas (1)
Kateter ke caudal (2)
Trauma saraf trigeminus (1)
Pneumothorak (1)
Walaupun dulunya dilakukan dengan jarum Tuohy dan kateter epidural,
peningkatan diameter yang lebih kecil, kawat kaku dengan atraumatik J telah
membuat modifikasi guidewire terkenal. Guidewire umumnya berdiameter 0,0320,038 inchi, dan dapat melewati kateter 18G intravena. Umumnya panjangnya 110
dan 120 cm. Persyaratan untuk panjang hanya kawat 2 kali lebih panjang dari
trakheal tube yang digunakan, jadi tidak masalah dimanapun kawat berada, kedua
ujungnya sealau terhubung ke operator.
Jarum atau kateter masuk ke trakhea 90 terhadap potongan sagital dan
korona bila memungkinkan (tidak seperti kasus 2). Pada orientasi ini, bila terlalu
jauh jarum akan memasuki aspek posterior kartilago krikoid, dan tidak
maksimal. Kepala dan laring pasien dapat dimanipulasi secara eksternal sesuai
kebutuhan.
kesalahan railroading
Stylet
Murphy eye
digunakan
Railroading berkurang
tidak
dapat
keluar
melalui
Murphy eye
Mahal
diletakkan
kawat,
diutamakan untuk
untuk
ETT
meningkatkan
Bronkoskopi
fiberoptik
diatas
diutamakan
Mahal
diletakkan untuk
meningkatkan
penggantian ETT
kawat
Visualisasi
Railroading tidak ada
Margin
Silk sutura
berkurang
of
Susah
error menempatkan
suture
untuk
silk
Railroading berkurang
ETT kecil
adekuat
Batas kesalahan: jarak dibawah lipatan vokal dimana endotrakheal tube berada
pada saat yang sama dengan pemindahan kawat petunjuk. Bila jarak tidak
adekuat, ada risiko ekstubasi segera.
Railroading: perbedaan ukuran kawat petunjuk dan endotrakheal tube.
Kasus 3: Kombitube Esofageal Trakheal
Pria berusia 55 tahun dengan riwayat sirisis dan varices esofagus memerlukan
kontrol jalan napas karena perdarahan gastrointestinal atas yang akut dan rekuren.
Terpisah dari adanya darah segar pada jalan napas, pemeriksaan fisik pada jalan
napas eksternal dilakukan secara konstan dengan laringoskopi rutin. Lebih jauh
lagi, dulunya dia telah diintubasi beberapa kali. Setelah bebrapa kali induksi,
laring tidak dapat terlihat pada tiga laringoskopi karena darah segar dari esofagus.
Dari ketiganya, ETT tidak erlihat, dan tidak adnya bunyi napas diatas thorak
bersamaan dengan adanya banyak darah pada ETT mengacu kepada diagnosis
intubasi esofagus. Kombitube esofageal trakheal ukuran besar untuk dewasa
(Kendall, Mansfield, NY) dibutuhkan, dimasukkan ke jalan napas, faring dan
distal jadi inflasi. Ventilasi pada lumen faring yang perforasi menghasilkan suara
napas bilateral pada auskultasi, dan saturasi oksigen meningkat mencapai >90%.
Darah yang banyak di hisap dari lumen esofagus. Pasien dilakukan angiografi
dimana terjadi embilisasi varises esofagus. Kombitube esofageal trakheal
dipindahkan dan pasien diintubasi dengan laringoskopi langsung.
Riwayat Kombitube Trakheal esofageal. Kombitube Trakheal esofageal
dikembangkan dari konsep Esophageal Operator Airway (ESO), yang
dikenalkan tahun 1968. ESO terdiri dari trakheal-like tube, panjang 34 cm,. Ini
dimasukkan ke esofagus, jadi terletak pada kaudal dan posterior carina trakhea. 16
lubang yang berhubungan dengan lumen sentral diposisikan sehingga berada di
hipoparing ketika dimasukkan pada kedalaman yang tepat. Masker wajah pada
ujung proksimal digunakan untuk mencuri jalan napas. Ventilasi dicapai dengan
pemberian tekanan positif pada apertura proksimal yang terbuka. Sayangnya,
masalah/ komplikasi yang bermakna timbul setelah ESO digunakan dalam praktek
sehari-hari (Tabel 23-22).
untuk
mengganti
kombitube
esofageal
trakheal
menjadi
adaptasi dengan cepat pada situasi klinis penting untuk suksesnya management
jalan napas. Pada kasus ini juga tersedia lighted stylet yang dapat digunakan pada
skenario yang sama. Walaupun alat ini berguna untuk kasus tertentu, tidak ada
klinisi yang terbiasa dengan cara kerjanya. Situasi kritis bukan merupakan
kesempatan untuk mencoba teknologi yang tidak biasa.
Peralatan Lainnya
Peningkatan jumlah management peralatan jalan napas telah tersedia
secara komersial. Walaupun cakupan ensklopedia alat yang dijelaskan pada bab
ini masih kurang, namun dapat dilihat ringkasannya dibawah ini.
Lighted Stylets
Alat ini bertumpu pada transilluminasi jalan napas. Sumber cahaya di
masukkan ke trakhea yang akan menghasilkan nyala dengan batas tegas pada
jaringan diatas laring dan trakhea. Cahaya yang sama diletakkan di esofagus tidak
akan menghasilkan nyala atau menghasilkan nyala difus.Sejumlah peralatan telah
tersedia, termasuk disposable, sebagian
banyak kasus intubasi yang dilaporkan berhasil dengan alat ini, beberapa masalah
ditemui: secara umum, cahaya untuk operasi harus redup agar batas nyala terlihat
jelas, stylet tip harus sukses terletak di trakhea, tapi tidak di arah anterior, dapat
memberikan false-negative, kadang susah memindahkan stylet semi kaku dari
ETT setelah intubasi.
Airway Bougie
Merupakan seri dari stylet padat atau hampa, semimalleable yang dapat
dimanipulasi ke trakhea. ETT kemudian dimasukkan diatas bougie dan diteruskan
ke trakhea. Bougie ini murah dan dapat dengan mudah dipindahkan. Penemunya
Eschmann (Eschmann Health Care, Kent, England) tahun 1949. Panjangnya 60
cm, 15Fr-gauge, dan sudut 40 derajat 3,5 cm dari ujung distalnya (gambar 23-37).
Dibentuk dari basa polyester, dapat ditempa. Ini dapat sangat membantu ketika
laring tidak dapat dilihat dengan laringoskopi. Aalat ini (juga dikenal dengan gum
elastic bougie) dapat dimanipulasi dibawah epiglotis, segmen sudutnya langsung
keanterior laring. Sekali telah mamasuki laring dan trakhea, rasa tertahan timbul
ketika melewati struktur kartilago.
Prosedur Transtrakheal Invasive Minimal
Ketika akses jalan napas dari mulut atau hidung gagal atau tidak tersedia
(contoh, trauma maksilofacial, faringeal, laringeal, patologis atau deformitas),
akses emergensi via ekstrathoracic trakhea adalah rute yang mungkin terhadap
jalan napas. Klinisi harus terbiasa dengan teknik alternative oksigenasi dan
ventilasi ini. Keputusan untuk berhasil dengan prosedur insasive adalah sulit, dan
banyak klinisi akan bimbang terhadap risiko kematiannya pada pasien. Dilakukan
pada situasi tertentu, seperti aspirasi transtrakheal untuk analgesik jalan napas atau
intubasi retrograde elektif. Walaupun trakheostomi dan krikotiroidotomi dibawah
cakupan bab ini, teknik perkutaneus dapat dipertimbangkan.
Krikotiroidotomi, krikotirotomi, koniotomi, dan minitrakheostomi adalah
sama untuk membentuk saluran napas melalui membran krikotiroid. Anatomi dari
struktur ini dan sekitarnya telah didiskusikan pada awal bab. Walaupun
krikotirotomi adalah prosedur pilihan pada situasi emergensi, ini juga dapat
diterapkan pada situasi tertentu ketika adanya akses terbatas ke trakhea (contoh,
kyphoscoliosis cervical yang berat). Krikotirotomi kontraindikasi pada neonatus
dan anak dibawah 6 tahun, dan pada pasien dengan fraktur laringeal.
Percutaneus Transtracheal Jet Ventilation (TTJV)
Percutaneus Transtracheal Jet Ventilation (TTJV), adalah bentuk dari
krikotiroidotomi, paling dikenal pada anestesiologist. Algoritme penyulit jalan
napas ASA mencantumkan Percutaneus Transtracheal Jet Ventilation sebagai
pilihan bila tidak dapat dilakukan mask-intubasi, intubasi. TTJV mudah dan relatif
aman dengan arti mempertahankan kehidupan pasien pada situasi kritis. Kateter
intravena 12,14 atau 16 dengan syringe 5 ml atau lebih, kosong atau terisi
sebagian (anestesi saline atau lokal), harus digunakan untuk memasuki jalan
napas. Pasien dalam posisi supinasi, dengan kepala pada midline atau ekstensi
terhadap leher dan thorak (jika tidak kontraindikasi oleh situasi klinis). Setelah
persiapan aseptik, anestesi lokal disuntikkan diatas membran krikotiroid (jika
pasien sadar dan waktu memungkinkan). Tangan kanan klinisi berada pada sisi
kanan pasien, menghadap kearah kepala. Klinisi dapat menggunakan tangan non
dominan untuk menstabilkan laring. Jarum kateter dimasukkan pada sudut tepat di
kauda ketiga membran. Sejak saat punksi kulit aspirasi syringe harus konstan.
Aspirasi yang bebas dari udara menunjukkan telah memasuki trakhea. Jarum
kateter harus dilepaskan, dan hanya kateter yang memasuki jalan napas. Walaupun
teknik ini telah dijelaskan dengan angiokateter, peralatan yang terbuat dari
material kink-resistant dan dengan asesori port telah ada (gambar 23-38).
Sekali kateter berhasil terletak di jalan napas, sumber oksigen tertahan.
Klinisi mempunyai beberapa pilihan pada kasus ini. Bila sistem bertekanan tinggi
tersedia sebagai contoh sumber oksigen meteran dan dapat diatur dengan katup
pengontrol (gambar 23-39) dan penghubung Luer-lock 25-30 psi oksigen dapat
disalurkan langsung lewat kateter, dengan laju 1-1,5 detik dengan rata-rata 12
insuflasi/menit. Jika kateter 16 telah diletakkan, sistem ini akan mengantarkan
volume tidal 400-700 ml. Penutupan mulut atau hidung secara manual mungkin
diperlukan selama fase insuflasi (tapi tidak pada ekshalasi) jika terdapat
kebocoran udara yang bermakna pada jalan napas. Jika sistem seperti ini tidak
ada, gas dari mesin anestesi (15 mm diameter bag.dalam female adapter) dapat
digunakan untuk menyediakan tekanan tinggi. (gambar 23-40).
Sistem tekanan rendah tidak dapat menyediakan cukup aliran untuk
mengembangkan dada secara adekuat untuk ventilasi. Hubungan yang mudah ke
kateter trakhea dapat dicapai dengan menempatkan cuff ETT ke 50-10 ml syringe,
menggunakan ujung distal syiringe untuk menahan kateter, sementara adapter 15
mm ETT disesuaikan pada sirkuit anestesi atau ambu bag (gambar 23-41).
Sistem krikotiroidotomi perkutaneus telah dikembangkan. Peralatan ini
menyediakan akses yang luas yang adekuat untuk oksigenasi dan ventilasi dengan
sistem tekanan rendah. Melker emergency cricothyroidotomy catheter set (Cook
Critical Care, Bloomington, IN) menggunakan Seldinger- teknik catheter-over-awire yang familiar bagi praktisi anestesia (gambar 23-42). Alat ada dalam
berbagai ukuran canula (diameter internal 3,5-, 4-, dan 6-mm). Persiapan dan
posisi pasien sama dengan penggunaan jarum pada krikotiroidotomi. Insisi
vertikal 1-1,5 cm pada kulit dibuat pada sepertiga bawah membran krikotiroid. 45
(peralatan dan personil) serta penilaian yang menentukan keefektifan dari teknik
manapun.
perubahan MAP
menit