Oleh:
Rhevy Asril Hudaiva
NIM 202311101117
Setiap vertebra terdiri dari dua bagian. Bagian anterior disebut badan
vertebra dan bagian posterior disebut arkus neuralis yang melingkari kanalis
neuralis yang dilalui oleh sumsum tulang belakang (Pearce, 2009). Struktur
kolumna fleksibel karena kolumna ini bersegmen-segmen dan tersusun dari
vertebra, sendi-sendi, dan bantalan fibrokartilago yang disebut diskus
intervertebralis (Pearce, 2009; Snell, 2011). Seperempat panjang dari kolumna
vertebralis disusun oleh diskus intervertebralis. Diskus ini terlihat paling tebal
di sisi anteriornya pada daerah servikal dan lumbal karena pada daerah ini
terjadi banyak gerakan kolumna vertebralis, sehingga menyebabkan posisi
tulang belakang menjadi lordosis. Sementara itu, pada daerah atas thorakal
terlihat lebih tipis dan terlihat lebih tebal pada daerah lumbal (Yueniwati,
2014).
Terdapat 4 kurva atau lengkung pada kolumna vertebralis jika dilihat dari
samping. Pada daerah servikal melengkung ke arah depan, daerah thorakal
melengkung ke arah belakang, daerah lumbal melengkung ke arah depan, dan
daerah pelvis melengkung ke arah belakang. Tiap daerah vertebra memiliki
perbedaan ukuran dan bentuk, namun semuanya memiliki persamaan dalam
struktur dasar. Masing-masing vertebra terdiri dari korpus, pedikel, lamina,
prosessus transversus, prosessus spinosus, prosessus artikularis superior dan
inferior (Yueniwati, 2014). Gambaran kolumna vertebralis dapat dilihat pada
gambar berikut ini:
Tulang pada manusia secara umum memiliki fungsi yaitu, sebagai Formasi
Kerangka dan sendi, Perlekatan otot, Sebagai pengungkit untuk bermacam-macam
aktivitas pergerakan, Menyokong berat badan, Proteksi, Hemopoiesis, Fungsi
imunologi dan sebagai Penyimpanan kalsium.
C. Epidemiologi
Menurut data dari Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Fraktur pada level lumbal merupakan fraktur vertebra terbanyak dalam studi ini.
Pasien terbanyak pada level ini adalah pasien lakilaki yaitu sejumlah 114 pasien
dari total 153 pasien (75%). Dengan kelompok usia pasien terbanyak berada pada
rentang usia 50-60 tahun sebanyak 33 pasien (21,6%). Sedangkan mode of injury
terbanyak dari fraktur pada level lumbal adalah akibat kecelakaan lalu lintas, yaitu
sebanyak 71 pasien (46%). Berdasarkan subtipe fraktur, yang terbanyak adalah
fraktur pada (53 A) sejumlah 140 pasien. Persentase jumlah pasien lumbal
sebanyak 34,6% dari seluruh pasien fraktur vertebra (Widhianto dkk., 2019)
D. Etiologi
Penyebab fraktur menurut Brubber dan Suddarth, 2002 adalah sebagai berikut:
a) Trauma langsung merupakan trauma yang sering meynebabkan fraktur.
Fraktur tersebut terjadi pada saat benturan dengan benda keras.
b) Putaran dengan kekuatan yang berlebihan (hiperfleksi) pada tulang akan
dapat mengakibatkan dislokasi atau fraktur.
c) Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian,
kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya.
d) Gangguan spinalis bawaan atau sejak kecil atau kondisi patologis yang
menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.
e) Postur tubuh obesitas dan kegemukan, body mekanik yang salah seperti
mengangkat benda berat.
f) Akibat hiperekstensi dislokasi, fraktur dan whislap radilks syaraf spinalis
dapat tertarik dan mengalami jejas/rileks. Pada trauma whislap radiks
colomna 5-7 dapat mengalami hal demikian dan gejala yang terjadi adalah
nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersebut disebut
hematorasis atau neuralgia radikularis traumatic yang reversible jika radiks
terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan
motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler
terutama radiks T.8 dan T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik dan
motoric pada dermatome dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma
sistema anastomeosis anterial anterior spinal.
g) Fraktur sering disebabkan trauma baik trauma langsung maupun tidak
langsung. Fraktur phatologis sering terjadi pada orang tua disebabkan oleh
osteoporosis, penderita tumor, infeksi. Fraktur stress atau fatique fraktur
disebabkan peningkatan drastic latihan pada atlit atau pada permulaan
aktivitas baru (Elizabeth.J.crowin, 2000).
E. Klasifikasi
a) Fraktur kompresi (Wedge fractures)
Adanya kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan
membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang
mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh
kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat
pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat
lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi
lemah dan akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan
fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran
vertebra sebenarnya.
b) Fraktur remuk (Burst fractures)
Fraktur yang terjadi ketika ada penekanan corpus vertebralis secara
langsung, dan tulang menjadi hancur. Fragmen tulang berpotensi masuk ke
kanalis spinais. Terminologi fraktur ini adalah menyebarnya tepi korpus
vertebralis kearah luar yang disebabkan adanya kecelakaan yang lebih
berat dibanding fraktur kompresi. tepi tulang yang menyebar atau melebar
itu akan memudahkan medulla spinalis untuk cedera dan ada fragmen
tulang yang mengarah ke medulla spinalis dan dapat menekan medulla
spinalis dan menyebabkan paralisi atau gangguan syaraf parsial. Tipe
burst fracture sering terjadi pada thoraco lumbar junction dan terjadi
paralysis pada kaki dan gangguan defekasi ataupun miksi. Diagnosis burst
fracture ditegakkan dengan x-rays dan CT scan untuk mengetahui letak
fraktur dan menentukan apakah fraktur tersebut merupakan fraktur
kompresi, burst fracture atau fraktur dislokasi. Biasanya dengan scan MRI
fraktur ini akan lebih jelas mengevaluasi trauma jaringan lunak, kerusakan
ligamen dan adanya perdarahan.
c) Fraktur dislokasi
Terjadi ketika ada segmen vertebra berpindah dari tempatnya karena
kompresi, rotasi atau tekanan. Ketiga kolumna mengalami
kerusakansehingga sangat tidak stabil, cedera ini sangat berbahaya. Terapi
tergantung apakah ada atau tidaknya korda atau akar syaraf yang rusak.
Kerusakan akan terjadi pada ketiga bagian kolumna vertebralis dengan
kombinasi mekanisme kecelakaan yang terjadi yaitu adanya kompresi,
penekanan, rotasi dan proses pengelupasan. Pengelupasan komponen akan
terjadi dari posterior ke anterior dengan kerusakan parah pada ligamentum
posterior, fraktur lamina, penekanan sendi facet dan akhirnya kompresi
korpus vertebra anterior. Namun dapat juga terjadi dari bagian anterior ke
posterior. kolumna vertebralis. Pada mekanisme rotasi akan terjadi fraktur
pada prosesus transversus dan bagian bawah costa. Fraktur akan melewati
lamina dan seringnya akan menyebabkan dural tears dan keluarnya serabut
syaraf.
d) Cedera pisau lipat (Seat belt fractures)
Sering terjadi pada kecelakaan mobil dengan kekuatan tinggi dan tiba-tiba
mengerem sehingga membuat vertebrae dalam keadaan fleksi, dislokasi
fraktur sering terjadi pada thoracolumbar junction. Kombinasi fleksi dan
distraksi dapat menyebabkan tulang belakang pertengahan membetuk
pisau lipat dengan poros yang bertumpu pada bagian kolumna anterior
vertebralis. Pada cedera sabuk pengaman, tubuh penderita terlempar
kedepan melawan tahanan tali pengikat. Korpus vertebra kemungkinan
dapat hancur selanjutnya kolumna posterior dan media akan rusak
sehingga fraktur ini termasuk jenis fraktur tidak stabil.
F. Patofisiologi
Trauma yang terjadi pada tulang vertebra lumbal bisa terjadi karena trauma
langsung (benturan langsung) dan trauma tidak langsung (jatuh dan bertumpu
pada orang lain), serta bisa juga terjadi karena proses patologis misalnya
osteoprorosis, infeksi atau kanker. Akibat dari fraktur lumbal adalah bisa
terjadinya kerusakan pembuluh darah dan kortek pada jaringan lunak serta dapat
mengakibatkan penekanan pada fragmen tulang lumbal. Penekanan tersebut akan
menyebabkan kerusakan pada saraf jaringan lunak di medulla spinalis sehingga
menimbulkan nyeri. Terjadinya fraktur pada vertebra lumbal I akan menyebabkan
terjepitnya semua area ekstremitas bawah yang menyebar sampai pada bagian
belakang sehingga penderita biasanya akan mengalami hemiparase atau
paraplegia. Vertebra lumbal 2 berhubungan dengan daerah ekstremitasr bawah,
kecuali sepertiga atas aspek interior paha. Sehingga kerusakan pada vertebra
lumbal 2 akan menekan daerah kandung kemih yang menyebabkan terjepitnya
eksternitas bagian bawah dan sadel, sehingga penderita akan mengalami ganguan
bowel. Kerusakan pada daerah lumbal 4 akan mengganggu organ seks dan
genetalia, sehingga akan menyebabkan adanya penurunan libido. Sedangkan
kerusakan pada lumbal 5 akan menyebabkan sendi-sendi tidak dapat digerakkan
karena vertebra lumbal ke 5 berhubungan dengan pergelangan kaki, ekstremitas
bawah dan area sadel (Ross dan Wilson, 2011).
G. Manifestasi klinis
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi
2. Deformitas
3. Terjadi pemendekan tulang akibat kontraksi otot yang melekat diatas dan
dibawah tempat fraktur
4. Krepitus
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi akibat
trauma dan perubaan yang mengikuti fraktur
H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Istianah, 2017) Pemeriksan penunjang antara lain:
1. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
2. Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan fraktur
lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
4. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau menurun
pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin terjadi sebagai
respon terhadap peradangan.
I. Penatalaksanaan
b. Pemasangan alat dan proses penyatuan (fusi). Teknik ini adalah teknik
pembedahan yang dipakai untuk fraktur tidak stabil.
c. Pengelolaan penderita dengan paralisis meliputi hal-hal berikut.
1) Pengelolaan kandung kemih dengan pemberian cairan yang cukup,
kateterisasi, dan evakuasi kandung kemih dalam 2 minggu.
2) Pengelolaan saluran pencernaan dengan pemberian laksnsia (laxantia)
setiap dua hari.
3) Nutrisi dengan dengan diet tinggi protein secara intravena.
4) Cegah decubitus.
5) Fisioterapi untuk mencegah kontraktur.
J. Clinical Pathway
Fraktur lumbal
K.
Perdarahan mikroskopik Mengeblok Saraf Kerusakan
parasimpatis badan vertebrata
Peningkatan
Syok spinal tekanan kapiler Kerusakan Jalur
Iskemia dan Syaraf
hipoksemia
Nyeri akut Pelepasan
Histamin Paralisis dan
paraplegia Hambata
Gangguan pola
nafas n
Protein plasma mobilitas
hilang gangguan fungsi fisik
rectum dan
kandung kemih
hopovemtilasi
Edema
Gangguan
Penekanan Pola Napas eliminasi urin
Pembuluh darah Tidak Efektif
Penurunan
Perfusi Jaringan
Perfusi Perifer
Tidak Efektif
K. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian pada klien fraktur lumbal lebih menekankan pada keluhan utama
1. Biodata
Identitas klien, meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada usia muda), jenis
kelamin (kebanyakan laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor
tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), nomor register, dan diagnose
medis.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adala nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas,
inkontinensia urin dan alvi, nyeri tekan otot
b. Keluhan utama saat dikaji
Keluhan yang dikemukakan sampai dibawa ke RS dan masuk ke ruang
perawatan, komponen ini terdiri dari PQRST yaitu:
P: Pengkajian untuk menentukan factor atau eristiwa yang
mencetuskan keluhan nyeri.
Q: pengkajian sifat keluhan (karakter), seperti apa rasa nyeri yang
dirasakan atau digambarkan pasien.
R: pengkajian untuk menentukan area atau lokasi keluhan nyeri, apakah
nyeri menyebar dan aoakah menjalar ke area lain.
S: pengkajian nyeri dengan menilai skala nyeri pasien dengan nilai 0-
10
T: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada siang hari atau malam hari
c. Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit degenerative pada tulang belakang, seperti
osteoporosis dan osteoarthritis yang memungkinkan terjadinya kelainan
pada tulang belakang. Penyakit lainnya, seperti hipertensi, riwayat cedera
tulang belakang sebelumya, diabetes mellitus, penyakit jantung, anemia,
pengunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, dan obat-obat
adiktif erlu ditanyakan agar pengkajian lebih komprehensif.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
3. Keadaan umum dan tanda-tanda vital
Kondisi klien yang mengalami cedera tulang belakang tidak mengalami
penurunan kesadaran. Tanda-tanda vital mengalami perubahan seperti
bradikardia, hipotensi, dan tanda-tanda syok neurogenic, terutama trauma
servikal dan thoraks bagian atas.
4. Pemeriksaan Fisik
a. System pernafasan
Perubahan system pernafasan bergantung pada gradasi blok saraf parasimpatis
(klien mengalami kelumpuhan otot-otot pernafasan) dan perubahan karena
adanya kerusakan jalur simpatik desenden akibat trauma pada tulang belakang
sehingga jaringan saraf di medulla spinalis terputus.
b. System kardiovaskuler
Pengkajian system kardiovaskuler pada klien cedera tulang belakang
didapatkan renjatan (syok hipovolemik) dengan intensitas sedang dan berat.
Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera tulang belakang pada beberapa
keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia, berdebar-debar, pusing
saat melakukan perubahan posisi, dan ekstremitas dingin atau pucat.
Bradikardia merupakan tanda perubahan perfusi jaringan otak. Kulit yang
tampak pucat menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah.
Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda
awal dari suatu renjatan.
c. System pencernaan
Pada keadaan spinal syok, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus
paralitik, dimana secara klinis didapatkan hilangnya bowel sound, kembung,
dan defakasi tidak ada. Keadaan ini merupakan gejala awal dari tahap syok
spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
Pemenuhan nutrisi berkurang karena adanya mual dan intake nutrisi yang
kurang.
d. System neuromuskuler
1. Tingkat kesadaran
Tingkat keterjagaan dan respons terhadap lingkungan adalah indicator
paling sensitive untuk disfungsi system persarafan. Beberapa system
digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
keterjagaan. Pada keadaan lanjut, kesadaran klien cedera tulang belakang
biasanya berkisar dari letargi, stupor, semikoma sampai koma.
2. Pemeriksaan fungsi serebral
Pemeriksaan dilakukan dengan mengobservasi penampilan, tingkah
laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motoric klien. Klien yang
telah lama mengalami cedera tulang belakang biasanya mengalami
perubahan status mental.
3. Pemeriksaan khusus pada tulang belakang
Pada penderita dengan keluhan nyeri pinggang dan ada dugaan
menimbulkan iritasi radik saraf, perlu dilakukan pemeriksaan fisik
khusus pinggang, yaitu tes straight leg raising test, pemeriksaan reflex,
kekuatan otot, dan pemeriksaan sensasi.
Pemeriksaan straight leg raising test, dilakukan saat pasien
berbaring. Dilakukan fleksi kaki pada daerah sendi panggul dengan seni
lutut ekstensi dan ukur sudut fleksi pada saat penederita mengeluh nyeri
yang menjalar ke inferior dari bawah sendi lutut, ada posisi fleksi 30-70
derajat. Nyeri menjalar dari bawah lutut merupakan tanda khas adanya
iritasi dari radik saraf (L1 dan S5) pada tulang belakang. Tes ini dapat
diulang pada saat pasien duduk dengan mengekstensikan lutut dan
menimbulkan nyeri menjalar dibawah lutut, untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya malingering.
Pada penderita straight leg raising positive, dapat dilakukan
pemeriksaan cross straight leg raising test, dengan melakukan ekstensi
fleksi kaki pada sendi panggul yang kontralateral dari kaki simtomatik.
Tes positive akan menyebabkan neri kontralateral atau pada kaki
simtomatik, yang mencerminkan iritasi radik saraf. Pemeriksaan reflex
patella yang mencerminkan saraf L4 dan Achilles yang mencerminkan
saraf S1.
Kekuatan otot kaki karena kelainan saraf pada penderita nyeri
pinggang dilakukan pemeriksaan inversi kaki dan fleksi dorsal dari
pergelangan kaki yang mencerminkan iritasi saraf L1. Gangguan fleksi
dorsal dari ibu jari kaki mencerminkan kelainan pada saraf L5. Gangguan
eversi dari kaki mencerminkan kelainan saraf S1.
Gangguan sensoris pada penderita nyeri pinggang pada bagian
medial dan pergelangan kaki menyatakan kelainan pada saraf L4,
kelainan sensasi pada dorsum kaki mencerminkan di saraf L5. Kelainan
sensori pada lateral dan pergelangan kaki mencerminakan kelainan saraf
S1, apabila ada gangguan sensoris peri anal, gangguan reflek anal, dan
tonus spingter kemungkinan adanya kelainan sindroma kauda equine.
Dilakukan juga pemeriksaan saraf (sensorik, motoris dan reflek)
dan pemeriksaan vaskuler di kaki untuk menguatkan diagnose kelainan
saraf yang terjadi pada penderita dengan nyeri pinggang. Misalnya
kelainan saraf yang keluar dari L3-L4 akan menyebabkan tes sensori
lateral tungkai berkurang, kelemahan otot ekstensor lutut dan penurunan
tes reflek patella. (Bakta, 2017).
e. Sistem perkemihan
Bila terjadi lesi pada ekuina (kandung kemih dikontrol oleh pusat S2-S4)
atau dibawah pusat spinal kandung kemih akan menyebabkan interupsi
hubungan antara kandung kemih dan pusat spinal. Pengosongan kandung
kemih secara periodic tergantung dari reflex local dinding kandung
kemih. Pada keadaan ini, pengosongan dilakukan oleh aksi otot-otot
detrusor dan harus diawali dengan kompresi secara manual pada dinding
perut atau dengan meregangkan perut. Pengosongan kandung kemih
yang bersifat otomatis seperti ini disebut kandung kemih otonom.
Trauma pada ekuina, pasien mengalami hilangnya reflex kandung kemih
yang bersifat sementara dan pasien mungkin mengalami inkontinensia
urinarius, ketidakmampuan mengomunikasika kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan control
motoric dan postural. Kaji keadaan urin meliputi warna, jumlah, dan
karakteristik urin, termasuk berat jenis urin. Penurunan jumlah urin dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunya perfusi pada
ginjal.
f. Sistem integumen
Kaji adanya perubahan warna kulit, abrasi, memar pada punggung. Pada
pasien telah lama dirawat di rumah sering didapatkan adanya decubitus
pada bokong.
g. Sistem Muskuloskeletal
Paralisis motoric dan paralisis alat-alat dalam tergantung pada ketinggian
terjadinya trauma. Gejala gangguan motoric sesuai dengan distribusi
segmental dari syaraf yang terkena.
1. Diagnosa Keperawatan
1) Pola Napas Tidak Efektif b.d hambatan upaya nafas, kelemahan otot
pernafasan d.d penggunaan otot bantu pernafasan, dyspnea, ortopnea, pola
nafas abnormal.
2) Nyeri Akut b.d agen pencedera fisik d.d mengeluh nyeri, tampak
meringis, pola nafas berubah, frekuensi nadi meningkat, tekanan darah
meningkat.
3) Perfusi Perifer Tidak Efektif b.d Peningkatan tekanan darah d.d nadi
perifer menurun atau tidak teraba, akral teraba dingin, warna kulit pucat,
turgor kulit menurun, edema.
4) Gangguan eliminasi urin b.d kelemahan otot pelvis d.d desakan
berkemih urgensi, urin menetes, enuresis, distensi kandung kemih,
berkemih tidak tuntas
5) Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang d.d
mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas, kekuatan otot menurun, nyeri
saat bergerak, gerakan terbatas.
2. Intervensi Keperawatan
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi
II. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.