Anda di halaman 1dari 74

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya kami
dapat menyelesaikan referat yang berjudul Meningitis dengan baik.

Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan
kepaniteraan klinik SMF Ilmu Ksehatan Anak Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. dr. Tommy Yuner Sirait, Sp.A , selaku dokter pembimbing.

2. Para Perawat dan Pegawai di Bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak

3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD Kabupaten Bekasi

Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik dan
bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis. Pada
akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat menghasilkan tulisan yang lebih
baik di kemudian hari.

Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca,
khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam menjalani aplikasi ilmu.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Cibitung, 20 september 2019

Penulis

1
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi susunan saraf pusat sampai sekarang masih merupakan keadaan yang membahayakan
kehidupan anak, dengan berpotensial menyebabkan kerusakan permanen pada pasien yang
hidup. Infeksi ini juga merupakan penyebab tersering demam disertai tanda dan gejala kelaian
susunan saraf pusat pada anak. pada anak Infeksi sebenarnya dapat disebabkan oleh mikroba
apapun, patogen spesifik yang dipengaruhi oleh umur dan status imun hospes dan epidemiologi
patogen. Pada umumnya, infeksi virus sistem saraf pusat jauh lebih sering daripada infeksi
bakteri, yang pada gilirannya lebih sering daripada infeksi jamur dan parasit. Infeksi pada sistem
saraf pusat (SSP) dapat dibagi menjadi dua kategori besar: yang utamanya melibatkan meninges
(meningitis) dan terbatas pada parenkim (ensefalitis).1,2,7
Meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan pada meninges atau
lapisan otak, 3 lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum tulang belakang yang terdiri
dari Duramater, Arachnoid dan Piamater. Secara klinis, meningitis bermanifestasi dengan
gejala meningeal (misalnya, sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia), serta pleositosis (peningkatan
jumlah sel darah putih) dalam cairan cerebrospinal (CSS). Tergantung pada durasi gejala,
meningitis dapat diklasifikasikan sebagai akut atau kronis. Meningitis secara anatomis dibagi
menjadi inflamasi dura, kadang-kadang disebut sebagai pachymeningitis (agak jarang) dan
leptomeningitis, yang lebih umum dan didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan arakhnoid
dan ruang subaraknoid.2
Penyebab paling umum peradangan pada meningens adalah akibat iritasi oleh infeksi
bakteri atau virus. Organisme biasanya masuk meningens melalui aliran darah dari bagian lain
dari tubuh ataupun dapat secara langsung (perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan
di dekat selaput otak.2
Meningitis piogenik (bakteri) terdiri dari peradangan meningens dan CSS
subarachnoid. Jika tidak diobati, meningitis bakteri dapat mengakibatkan kelemahan (debility)
seumur hidup atau kematian. Penyakit ini fatal sebelum era antimikroba, tapi dengan munculnya
terapi antimikroba, tingkat kematian secara keseluruhan dari meningitis bakteri mengalami
penurunan. Meskipun demikian, tetap sangat tinggi, mencapai sekitar 25%. Munculnya strain

2
bakteri resisten telah mendorong perubahan dalam protokol antibiotik di beberapa negara,
termasuk Amerika Serikat. Para agen infektif spesifik yang
terlibat pada meningitis bakteri bervariasi di antara berbagai kelompok umur pasien, dan
peradangan bisa berevolusi menjadi kondisi seperti ventriculitis, empiema, cerebritis.2
Meningitis juga bisa juga diklasifikasikan secara lebih spesifik berdasarkan etiologi nya.
Beberapa penyebab infeksi dan non-infeksi telah diidentifikasi. Contoh penyebab non-infeksi
yang umum termasuk obat-obatan ( misalnya, obat anti-inflammatory drugs [NSAID] ,
antibiotik dan carcinomatosis.
Meningitis akut bakteri, menunjukkan bakteri penyebab sindrom ini. Hal ini biasanya
ditandai dengan onset akut gejala meningeal dan pleositosis neutrophilic. Tergantung dari bakteri
spesifik penyebabnya, sindrom yang dapat disebut, misalnya, salah satu dari berikut: meningitis
Pneumococcal, meningitis Haemophilus influenzae, meningitis stafilokokus, meningitis
meningokokus , meningitis tuberkulosis. Tidak seperti subakut (1-7 hari) atau kronis (> 7 hari)
meningitis, yang memiliki etiologi infeksi dan non-infeksi yang sangat banyak, meningitis akut
(<1 hari) hampir selalu infeksi bakteri yang disebabkan oleh satu dari beberapa organisme
. Pasien dengan meningitis bakteri akut dapat dekompensasi sangat cepat, sehingga mereka
memerlukan perawatan darurat, termasuk terapi antimikroba, idealnya dalam waktu 30 menit
pada unit gawat darurat.2
Meningitis yang disebabkan oleh organisme nonbacterial, jamur dan parasit penyebab
meningitis juga disebut menurut agen spesifik penyebabnya, seperti meningitis kriptokokal,
meningitis Histoplasma, dan meningoencephalitis amebic.2
Meningitis viral, jika, setelah hasil pemeriksaan yang luas, meningitis aseptik ditemukan
memiliki etiologi virus, dapat direklasifikasi sebagai bentuk meningitis virus akut (misalnya,
meningitis enterovirus, meningitis herpes simplex virus [HSV]).2
Aseptic meningitis, dalam banyak kasus, penyebab meningitis tidak terlihat setelah
evaluasi awal dan karena itu diklasifikasikan sebagai meningitis aseptik. Pasien ini khas
memiliki onset akut gejala meningeal, demam, dan pleositosis serebrospinal yang biasanya jelas
limfositik. Ketika penyebab meningitis aseptik ditemukan, penyakit ini bisa direklasifikasi
sesuai dengan etiologi-nya. Jika metode diagnostik yang tepat dilakukan, etiologi virus spesifik
diidentifikasi dalam 55-70% kasus meningitis aseptik. Namun, kondisi ini juga bisa disebabkan
oleh agen bakteri, jamur, mikobakteri, dan parasit.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. T
Umur : 6 bulan
Alamat : Kp.siluman Rt/Rw 001/01 Ds. Manggung jaya Kec. Tambun selatan
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Jawa
Agama : Islam
No. RM : 162727
Tanggal Masuk : 18 September 2019
Tanggal Pemeriksaan : 19 September 219

II. IDENTITAS ORANG TUA

Nama Ayah : Tn. Edi


Usia : 30 Tahun
Pekerjaan : Pedagang
Nama Ibu : Ny. Risna
Usia : 29 Tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

III. ANAMNESIS

Dilakukan secara alloanamnesis dengan orang tua pasien pada tanggal 19 september 2019
diruang sakura kamar 3 RSUD Kabupaten Bekasi.

A. KELUHAN UTAMA

Kejang selama 5 menit disertai demam

4
B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang ke IGD RSUD Kabupaten bekasi diantar dengan kedua orang tuanya, dengan
keluhan kejang sebanyak 3 kali dengan durasi 5 menit, pasien kejang dengan kedua tangan
mengepal, kelojotan dan mata mendelik keatas, kejang disertai dengan demam selama 5 hari
SMRS . Keluhan tersebut disertai dengan batuk kering (+), pilek (+) demam (+). Muntah (+)
Sejak kurang lebih 1 bulan SMRS, pasien mengalami demam, tidak terlalu tinggi, hilang
timbul disertai batuk (+) dan pilek (+). Pasien dibawa berobat ke klinik dan diobati oleh bidan
keluhan berkurang namun timbul lagi.
Sejak kurang lebih 2 hari SMRS pasien kejang tidak disertai demam (+), batuk (+), pilek
(+). Pasien dibawa ke bidan, diberi obat paracetamol dan obat batuk dan pilek.
Sejak 1 hari SMRS pasien masih mengalami demam (+), kejang (+), frekuensi 3x/24 jam,
klojotan (+) (pada tangan) , dan mata mendelik keatas, durasi 5 menit.

C. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


 Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa
 Riwayat alergi tidak ada
 Riwayat trauma tidak ada

D. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


 Ibu pasien mengalami hal yang sama
 Riwayat alegi di sangkal
 Riwayat asma, DM, hipertensi disangkal

E. RIWAYAT PENGOBATAN
Pasien mengkonsumsi obat paracetamol, obat pilek dan batuk.

F. RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN


Kehamilan : pasien saat mengandung pasien G1P0A0, hamil 9 bulan periksa rutin
kebidan, mengkonsumsi secara rutin vitamin yang diberikan selama kehamilan.
Kelahiran : pasien lahir spontan di klinik dengan berat lahir 3000 gram, dan panjang
badan lahir 50 cm, neonates cukup bulan sesuai masa kehamilan.

5
G. RIWAYAT NUTRISI / MAKAN
0-6 bulan : ASI eksklusif

H. RIWAYAT PERKEMBANGAN
 Berbalik : 3 bulan
 Tengkurap : 4 bulan
 Merangkak : 6 bulan

I. RIWAYAT IMUNISASI
0 I II III
Hepatitis B Lahir 2 bulan
Polio Lahir 2bulan
BCG 1 bulan
DPT 2 bulan

J. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Pasien merupakan anak pertama, ayah pasien berusia 30 tahun, pendidikan SMP dan
bekerja sebagai pedagang bakso. Ibu pasien berusia 29 tahun, pendidikan SMP dan
bekerja sebagai ibu ruah tangga. Secara ekonomi keluarga pasien tergolong tingkat
ekonomi menengah kebawah.

IV. PEMERIKSAAN FISIK


A. STATUS GENERALIS
Tanggal pemeriksan 19 september 2019
Keadaan umum: sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Nadi : 154
Pernapasan : 28
Suhu : 37,6
Berat Badan : 7 kg
Anemis : tidak ada

6
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Dipsnea : tidak ada
Edema : tidak ada

Status gizi:
BB/U : +2 SD hingga -2 SD
TB/U : +2 SD hingga -2 SD
BB/TB : +2 SD HINGGA -2SD
KESAN : Gizi baik

Keadaan spesifik:
Kepala
 Bentuk : Normosefali,
 Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
 Mata : cekung (-), pupil bulat isokor, reflek cahaya +/+ normal,
konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-), edema palpebra -/-
 Hidung : sekret (-), napas cuping hidung (-)
 Telinga : sekret (-)
 Mulut : mulut dan bibir kering (-), sianosis (-).
 Tenggorokan : T1-T1 hiperemis (-)
 Leher : pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat

Thorak
Paru-paru
 Inspeksi : statis, dinamis simetris, retraksi subcostal (-)
 Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
 Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-), stridor (-).

7
Jantung
 Inspeksi : ictus kordis tidak terlihat
 Palpasi : thrill tidak terlihat, iktus tidak teraba
 Perkusi : dalam batas normal
 Auskultasi : irama reguler, BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-).

Abdomen
 Inspeksi : datar
 Palpasi : lemas, hepar dan lien tidak teraba.
 Perkusi : timpani
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Lipat paha dan genitalia: pembesaran KGB (-)
 Ektermitas : akral dingin (-), sianosis (-), edema pretibial (-), spastic (+), CRT
2 detik.

B. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

Pemeriksaan Tungkai kanan Tungkai kiri Lengan kanan Lengan kiri


Gerakan Normal Normal normal normal
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Normal Normal Normal Normal
Klonus - - - -
Reflek fisiologis meningkat Meningkat meningkat meningkat
Reflex patologis Babinsky (-) Babinsky (-) - -

Tanda rangsang meningeal:


Kaku kuduk :-
Bruzinsky I :-
Bruzinsky II : -
Kernig :-
Laseque :-

8
Motorik : 55 55
55 55

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 19 september 2019

Darah rutin:
Hemoglobin : 10.5
Hematokrit : 31
Eritrosit : 4,03
Trombosit : 317
Leukosit : 11,0

D. RESUME
Pasien anak balita 6 usia bulan datang ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan
kejang 2 kali selama 5 menit, keluhan disertai dengan demam 5 hari SMRS, batuk kering
(+), pilek (+). Pada pemeriksaan fisik semua dalam batas normal, pada pemeriksaan
laboratorium terdapat peningkatan pada Hematokrit 31 dan Leukosit 11,0 .

E. DIAGNOSIS
Suspek Meningitis

F. PENATALAKSANAAN
KAEN 3A 7 tpm makro IV
Ceftriaxone 350 mg 1x IV
Phenitoin 35 mg 2x IV
PCT drip 100 mg 3x K/P

9
G. USULAN PEMERIKSAAN
 Ct-scan kepala dengan kontras
 Limbal pungsi

H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonan
Qou ad funtionam : dubia ad bonam
Qou ad sanationam : dubia ad malam

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI
Peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk dura, arachnoid dan pia mater
yang melapisi otak dan medulla spinalis yang dapat disebabkan oleh beberapa etiologi (infeksi
dan non infeksi) dan dapat diidentifikasi oleh peningkatan kadar leukosit dalam likuor
cerebrospinal (LCS).3

3.2 ANATOMI
3.2.1 LAPISAN SELAPUT OTAK/ MENINGES
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah pachymeninx
atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea dan
piamater.

1. Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan suatu
lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang melapisi
otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah untuk
menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di antara
lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara
bagian-bagian otak.
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga
membentuk periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke dalam
tulang itu sendiri; lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis.Septa kuat yang berasal
darinya membentang jauh ke dalam cavum cranii. Di anatara kedua hemispherium
terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Ia melekat pada crista galli dan meluas ke
crista frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana
duramater bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri
membagi pars superior cavum cranii sedemikian rupa sehingga masing-masing
hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium cerebelli terbentang seperti tenda
yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa craniii posterior. Tentorium melekat di

11
sepanjang sulcus transversus os occipitalis dan pinggir atas os petrosus dan processus
clinoideus. Di sebelah oral ia meninggalkan lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat
lewatnya trunkus cerebri. Saluran-saluran vena besar, sinus dura mater, terbenam dalam
dua lamina dura.

Gambar 1. Lapisan-lapisan selaput otak/meninges 13

2. Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya terpisah
dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi spatium
subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan
dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu
anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.
Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam sinus-
sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi arachnoidea).
Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis superior dalam lacunae
lateralis. Diduga bahwa liquor cerebrospinali memasuki circulus venosus melalui villi.

12
Pada orang lanjut usia villi tersebut menyusup ke dalam tulang (foveolae granulares) dan
berinvaginasi ke dalam vena diploe.
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang
secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga
tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran
rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak
yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan cisterna yang berbatasan
dengan rongga sub arachnoid umum.
Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas subarachnoid
di antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini bersinambung
dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak pada aspek ventral
dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di bawah cerebrum terdapat
rongga yang lebar di antara ke dua lobus temporalis. Rongga ini dibagi menjadi cisterna
chiasmaticus di ats chiasma opticum, cisterna supraselaris di atas diafragma sellae, dan
cisterna interpeduncularis di antara peduncle cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis,
parietalis, dan temporalis dinamakan cisterna fissure lateralis (cisterna sylvii).

3. Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi permukaan
otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah di seluruh
otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di abwah corpus
callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis,
dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk
membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di
atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.

3.3.2 LIQUOR CEREBROSPINALIS (LCS)


1. Fungsi
LCS memberikan dukungan mekanik pada otak dan bekerja seperti jaket pelindung dari
air. Cairan ini mengontrol eksitabilitas otak dengan mengatur komposisi ion, membawa

13
keluar metabolit-metabolit (otak tidak mempunyai pumbuluh limfe), dan memberikan
beberapa perlindungan terhadap perubahan-perubahan tekanan (volume venosus volume
cairan cerebrospinal).

2. Komposisi dan Volume


Cairan cerebrospinal jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Nilai normal rata-ratanya
yang lebih penting diperlihatkan pada tabel.

Tabel 1. Nilai Normal Cairan Cerebrospinal 13


LCS terdapat dalam suatu system yang terdiri dari spatium liquor cerebrospinalis
internum dan externum yang saling berhubungan. Hubungan antara keduanya melalui
dua apertura lateral dari ventrikel keempat (foramen Luscka) dan apetura medial dari
ventrikel keempat (foramen Magendie). Pada orang dewasa, volume cairan cerebrospinal
total dalam seluruh rongga secara normal ± 150 ml; bagian internal (ventricular) dari
system menjadi kira-kira setengah jumlah ini. Antara 400-500 ml cairan cerebrospinal
diproduksi dan direabsorpsi setiap hari.

3. Tekanan
Tekanan rata-rata cairan cerebrospinal yang normal adalah 70-180 mm air; perubahan
yang berkala terjadi menyertai denyutan jantung dan pernapasan. Takanan meningkat bila
terdapat peningkatan pada volume intracranial (misalnya, pada tumor), volume darah

14
(pada perdarahan), atau volume cairan cerebrospinal (pada hydrocephalus) karena
tengkorak dewasa merupakan suatu kotak yang kaku dari tulang yang tidak dapat
menyesuaikan diri terhadap penambahan volume tanpa kenaikan tekanan.

4. Sirkulasi LCS
LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari ventriculus lateralis ke dalam
ventriculus tertius, dan dari sini melalui aquaductus sylvii masuk ke ventriculus quartus.
Di sana cairan ini memasuki spatium liquor cerebrospinalis externum melalui foramen
lateralis dan medialis dari ventriculus quartus. Cairan meninggalkan system ventricular
melalui apertura garis tengah dan lateral dari ventrikel keempat dan memasuki rongga
subarachnoid. Dari sini cairan mungkin mengalir di atas konveksitas otak ke dalam
rongga subarachnoid spinal. Sejumlah kecil direabsorpsi (melalui difusi) ke dalam
pembuluh-pembuluh kecil di piamater atau dinding ventricular, dan sisanya berjalan
melalui jonjot arachnoid ke dalam vena (dari sinus atau vena-vena) di berbagai daerah –
kebanyakan di atas konveksitas superior. Tekanan cairan cerebrospinal minimum harus
ada untuk mempertahankan reabsorpsi. Karena itu, terdapat suatu sirkulasi cairan
cerebrospinal yang terus menerus di dalam dan sekitar otak dengan produksi dan
reabsorpsi dalam keadaan yang seimbang.

15
Gambar 2. Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis 14

3.1 EPIDEMIOLOGI

Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap patogen spesifik yang
lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1 – 12 bulan); 95 % terjadi antara 1
bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi pada setiap umur. Resiko tambahan adalah
kolonisasi baru dengan bakteri patogen, kontak erat dengan individu yang menderita penyakit
invasif, perumahan padat penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam, jenis kelamin laki-laki dan pada
bayi yang tidak diberikan ASI pada umur 2 – 5 bulan. Cara penyebaran mungkin dari kontak
orang ke orang melalui sekret atau tetesan saluran pernafasan.7

Meningitis Bakterial
Di Amerika Serikat, sebelum pemberian rutin vaksin conjugate-pneumococcal, insidens dari
meningitis bakteri ± 6000 kasus per tahun; dan sekitar setengahnya adalah pasien anak (≤18
tahun). N. meningitidis menyebabkan 4 kasus per 100.000 anak (usia 1 – 23 bulan). Sedangkan

16
S.pneumoniae menyebabkan 6,5 kasus per 100.000 anak (usia 1 – 23 bulan). Angka ini menurun
setelah pemberian rutin dari vaksin conjugate-pneumoccal pad aana-anak. Pengenalan dari
vaksin meningococcal baru-baru ini di Amerika Serikat diharapkan dapat mengurangi insidens
meningitis bacterial di kemudian hari. Insidens dari meningitis bacterial pada neonatus sekitar
0,15 kasus per 1000 bayi lahir cukup bulan dan 2,5 kasus per 1000 bayi lahir kurang bulan
(premature). Hampir 30% bayi baru lahir dengan klinis sepsis, berhubungan dengan adanya
meningitis bakterial. Sejak adanya pemberian antibiotik inisiasi intrapartum tahun 1996, terjadi
penurunan insidens nasional dari onset awal infeksi GBS (Group B Streptococcus) dari hampir
1,8 kasus per 1000 bayi lahir hidup pada tahun 1990 menjadi 0,32 kasus per 1000 bayi lahir
hidup pada tahun 2003.1,8
Secara umum, mortalitas dari meningitis bacterial bervariasi menurut usia dan jenis
pathogen, dengan angka tertinggi untuk S.pneumoniae. Mortalitas pada neonatus tinggi dan
meningitis bakterial juga menyebabkan long term sequelae yang menyebabkan morbiditas pada
periode neonatal. Mortalitas tertinggi yakni pada tahun pertama kehidupan, menurun pada
pertengahan (mid life) dan meningkat kembali di masa tua. Insidens lebih banyak pada kulit
hitam. Bayi laki – laki lebih sering terkena meningitis gram negatif, bayi perempuan lebih rentan
terhadap infeksi L.monocytogenes , sedangkan Streptococcus agalactiae (GBS) mengenai kedua
jenis kelamin.8

Di Indonesia, angka kejadian tertinggi pada umur antara 2 bulan-2 tahun. Umumnya
terdapat pada anak distrofik,yang daya tahan tubuhnya rendah. Insidens meningitis bakterialis
pada neonatus adalah sekitar 0.5 kasus per 1000 kelahiran hidup. Insidens meningitis pada bayi
berat lahir rendah tiga kali lebih tinggi dibandingkan bayi dengan berat lahir normal.
Streptococcus group B dan E.coli merupakan penyebab utama meningitis bakterial pada
neonatus. Penyakit ini menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (5-10%). Hampir 40%
diantaranya mengalami gejala sisa berupa gangguan pendengaran dan defisit neurologis.9-11

Meningitis Tuberkulosis
Di seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan kematian pada
anak. Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari seluruh kasus meningitis

17
bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai frekuensi yang lebih tinggi pada daerah
dengan sanitasi yang buruk.
Meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan di Indonesia karena morbiditas
tuberkulosis anak masih tinggi. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak terutama bayi dan
anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian jarang dibawah usia 3
bulan dan mulai meningkat dalam usia 5 tahun pertama, tertinggi pada usia 6 bulan sampai 2
tahun. Angka kematian berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya
18% pasien yang normal secara neurologis dan intelektual. Anak dengan meningitis tuberkulosis
yang tidak diobati, akan meninggal dalam waktu 3-5 minggu. Angka kejadian meningkat dengan
meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa.6,9,10

Meningitis Viral
Insidens meningitis viral di Amerika serikat yang secara resmi dilaporkan berjumlah lebih dari
10.000 kasus, namun pada kenyataannya dapat mencapai 75.000 kasus. Kekurangan dalam
pelaporan data ini disebabkan oleh gejala klinis yang tidak khas dan inabilitas beberapa virus
untuk tumbuh dalam kultur. Menurut data yang dilaporkan Centers for Disease Control and
Prevention (CDC), pasien rawat inap dengan meningitis viral sekitar 25.000 – 50.000 tiap
tahunnya.12
Di seluruh dunia, penyebab meningitis viral termasuk enterovirus, mumps virus mumps
(gondongan), virus measles (campak), virus varicella zoster (VZV) dan HIV. Gejala meningitis
dapat timbul hanya pada 1 dari 3000 kasus. Mumps menyebabkan 10-20% meningitis dan
meningoencephalitis di bagian negara dimana akses vaksin sulit. Insidens 20 kali lebih besar
pada tahun pertama kehidupan. Pada neonatus lebih dari 7 hari, meningitis aseptik sering
disebabkan oleh enterovirus. Vaksinasi mengurnagi insidens dari meningitis oleh virus mumps,
polio dan measles. Virus mumps dan measles sering menyebabkan meningitis pada anak usia
sekolah sampai kuliah. Enterovirus 1,3 – 1,5 kali lebih sering lebih sering menyebabkan
meningitis pada laki-laki dibanding perempuan , sedangkan virus mumps 3 kali lebih sering
menyerang laki-laki dibanding perempuan. Menurut WHO tahun 1997, meningitis enteroviral
dengan sepsis merupakan penyebab tersering ke-5 kematian pada neonatus. Diluar periode
neonatal mortalitas kurang dari 1%, begitu juga dnegan morbiditasnya.12

18
Meningitis virus lebih sering dijumpai pada anak daripada orang dewasa. Di negeri tropis
dan subtropis tingginya frekuensi meningitis virus tidak bergantung kepada musim seperti pada
negeri beriklim dingin yang angka kejadian tertingginya dijumpai pada musim panas dan musim
rontok.9

Meningitis Jamur
Meningitis jamur jarang ditemukan, namun dapat mengancam kehidupan. Walaupun semua
orang dapat terkena meningitis jamur, namun resiko tinggi terdapat pada orang yang menderita
AIDS, leukemia, atau bentuk penyakit imunodefisiensi ( sistem imun tidak mempunyai respon
yang adekuat terhadap infeksi) lainnya dan orang dengan imunosupresi (malfungsi dari sistem
imun sebagai akibat obat-obatan).5
Penyebab tersering dari meningitis jamur pada orang dengan defisiensi imun seperti HIV
adalah Cryptococcus. Penyakit ini merupakan salah satu dari penyebab tersering meningitis di
Afrika. Jamur lain yang dapat menyebabkan thrush, Candida, dapat menyebabkan meningitis
pada beberapa kasus, terutama pada bayi prematur dengan berat lahir sangat rendah. (very low
birth weight).5

3.2 ETIOLOGI
Penyebab tersering dari meningitis adalah mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit dan
jamur. Mikroorganisme ini menginfeksi darah dan likuor serebrospinal. Meningitis juga dapat
disebabkan oleh penyebab non-infeksi, seperti pada penyakit AIDS, keganasan, diabetes
mellitus, cedera fisik atau obat – obatan tertentu yang dapat melemahkan sistem imun
(imunosupresif).5

Meningitis dapat terjadi karena terinfeksi oleh virus, bakteri, jamur maupun parasit :
Virus :
Meningitis virus umumnya tidak terlalu berat dan dapat sembuh secara alami tanpa pengobatan
spesifik. Kasus meningitis virus di Amerika serikat terutama selama musim panas disebabkan
oleh enterovirus; walaupun hanya beberapa kasus saja yang berkembang menjadi meningitis.
Infeksi virus lain yang dapat menyebabkan meningitis, yakni :

19
 Virus Mumps
 Virus Herpes, termasuk Epstein-Barr virus, herpes simplexs, varicella-zoster, Measles,
and Influenza
 Virus yang menyebar melalui nyamuk dan serangga lainnya (Arboviruses)
 Kasus lain yang agak jarang yakni LCMV (lymphocytic choriomeningitis virus),
disebarkan melalui tikus.5

Bakteri :
Salah satu penyebab utama meningitis bakteri pada anak-anak dan orang dewasa muda
di Amerika Serikat adalah bakteri Neisseria meningitidis. Meningitis disebabkan oleh bakteri ini
dikenal sebagai penyakit meningokokus. Bakteri penyebab meningitis juga bervariasi menurut
kelompok umur.5
Selama usia bulan pertama, bakteri yang menyebabkan meningitis pada bayi normal
merefleksikan flora ibu atau lingkungan bayi tersebut (yaitu, Streptococcus group B, basili
enterik gram negatif, dan Listeria monocytogenes). Meningitis pada kelompok ini kadang -
kadang dapat karena Haemophilus influenzae dan patogen lain ditemukan pada penderita yang
lebih tua.
Meningitis bakteri pada anak usia 2 bulan – 12 tahun biasanya karena H. influenzae tipe
B, Streptococcus pneumoniae, atau Neisseria meningitidis. Penyakit yang disebabkan oleh
H.influenzae tipe B dapat terjadi segala umur namun seringkali terjadi sebelum usia 2 tahun.
Klebsiella, Enterobacter, Pseudomonas, Treponema pallidum, dan Mycobacterium
tuberculosis dapat juga mengakibatkan meningitis. Citrobacter diversus merupakan penyebab
abses otak yang penting.

20
Risk and/or Predisposing Factor Bacterial Pathogen

Age 0-4 weeks Streptococcus agalactiae (group B streptococci)


E coli K1
Listeria monocytogenes

Age 4-12 weeks S agalactiae


E coli
H influenzae
S pneumoniae
N meningitides

Age 3 months to 18 years N meningitidis


S pneumoniae
H influenza

Age 18-50 years S pneumoniae


N meningitidis
H influenza

Age older than 50 years S pneumoniae


N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli

Immunocompromised state S pneumoniae


N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli

Intracranial manipulation, including Staphylococcus aureus


neurosurgery Coagulase-negative staphylococci
Aerobic gram-negative bacilli, including
P aeruginosa

Basilar skull fracture S pneumoniae


H influenzae
Group A streptococci

21
CSF shunts Coagulase-negative staphylococci
S aureus
Aerobic gram-negative bacilli
Propionibacterium acnes

Tabel 2. Bakteri penyebab tersering menurut umur dan faktor predisposisi 2

Jamur:
Jamur yang menginfeksi manusia terdieri dari 2 kelompok yaitu, jamur patogenik dan
opportunistik. Jamur patogenik adalah beberapa jenis spesies yang dapat menginfeksi manusia
normal setelah inhalasi atau inflantasi spora. Secara alamiah, manusia dengan penyakit kronis
atau keadaan gangguan imunitas lainnya lebih rentan terserang infeksi jamur dibandingkan
manusia normal. Jamur patogenik menyebabkan histiplasmosis, blastomycosis,
coccidiodomycosis dan paracoccidiodomycosis. Kelompok kedua adalah kelompok jamur
apportunistik. Kelompok ini tidak menginfeksi orang normal. Penyakit yang termasuk disini
adalah aspergilosis, candidiasis, cryptococcosis, mucormycosis (phycomycosis) dan nocardiosis.
Infeksi jamur pada susunan saraf pusat dapat menyebabkan meningitis akut, subakut dan
kronik. Biasanya sering pada anak dengan imunosupresif terutama anak dengan leukemia dan
asidosis. Dapat juga pada anak yang imunokompeten. Cryptococcus neoformans dan
Coccidioides immitis adalah penyebab utama meningitis jamur pada anak imunokompeten.
Candida sering pada anak dengan imunosupresi dengan penggunaan antibiotik multiple,
penyakit yang melemahkan, resipien transplant dan neonatus kritis yang menggunakan kateter
vaskular dalam waktu lama. Berikut beberapa patogen jamur :5

Common Fungal Pathogens


Yeast forms
Candica Albicans
Crytococcus neoformans
Dimorphic Forms
Blastomyces dermatidis
Coccidioides immitis

22
Histoplasma capsulatum

Mold forms
Aspergillus

Tabel 3. Patogen Jamur yang Sering

Mikroorganisme yang sering menyebabkan meningitis berdasarkan usia :3


a. 0 – 3 bulan :
Pada grup usia ini meningitis dapat disebabkan oleh semua agen termasuk bakteri, virus,
jamur, Mycoplasma, dan Ureaplasma. Bakteri penyebab yang tersering seperti
Streptococcus grup B, E.Coli, Listeria, bakteri usus selain E.Coli ( Klebsiella, Serratia
spesies, Enterobacter), streptococcus lain, jamur, nontypeable H.influenza, dan bakteri
anaerob. Virus yang sering seperti Herpes simplekx virus (HSV), enterovirus dan
Cytomegalovirus.

b. 3 bulan – 5 tahun
Sejak vaksin conjugate HIB menjadi vaksinasi rutin di Amerika Serikat, penyakit yang
disebabkan oleh H.influenza tipe B telah menurun. Bakteri penyebab tersering meningitis
pada grup usia ini belakangan seperti N.meningitidis dam S.Pneumoniae. H. influenza
tipe B masih dapat dipertimbangkan pada meningitis yang terjadi pada anak kurang dari 2
tahun yang belum mendapat imunisasi atau imunisasi yang tidak lengkap. Meningitis
oleh karena Mycobacterium Tuberculosis jarang, namun harus dipertimbangkan pada
daerah dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi dan jika didapatkan anamnesis, gejala
klinis, LCS dan laboratorium yang mendukung diagnosis Tuberkulosis. Virus yang sering
pada grup usia ini seperti enterovirus, HSV, Human Herpesvirus-6 (HHV-6).

23
c. 5 tahun – dewasa
Bakteri yang tersering menyebabkan meningitis pada grup usia ini seperti N.meningitidis
dan S.pneumoniae. Mycoplasma pneumonia juga dapat menyebabkan meningitis yang
berat dan meningoencephalitis pada grup usia ini. Meningitis virus pada grup ini tersering
disebabkan oleh enterovirus, herpes virus, dan arbovirus. Virus lain yang lebih jarang
seperti virus Epstein-Barr , virus lymphocytic choriomeningitis, HHV-6, virus rabies, dan
virus influenza A dan B.

Pada host yang immunocompromised, meningitis yang terjadi selain dapat disebabkan
oleh pathogen seperti di atas, harus juga dipertimbangkan oleh pathogen lain seperti
Cryptococcus, Toxoplasma, jamur, tuberculosis dan HIV.

Tabel 4. Etiologi Meningitis pada Anak

3.5 PATOGENESIS

Meningitis Bakterial 1
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :
1. Alian darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis, tonsillitis,
endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan biakan kuman
yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam cairan otak.

24
2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi dari
sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.
3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal dan
mielokel.
4. Meningitis pada neonates dapat terjadi oleh karena:
 Aspirasi cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh kuman-
kuman yang normal ada pada jalan lahir
 Infeksi bakteri secara transplacental terutama Listeria.

Gambar 3. Patogenesis Meningitis Bakterial

Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran hematogen. Saluran
napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta. Proses
terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen mempunyai tahap-tahap sebagai berikut :
1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi)
2. Bakteri menembus rintangan mukosa
3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel fagosit dan aktivitas
bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia.
4. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal

25
5. Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal
6. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.

Gambar 4. Patogenesis Meningitis Bakterial

Bakteri yang menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu melampaui semua
tahap dan masing-masing bakteri mempunyai mekanisme virulensi yang berbeda-beda, dan
masing-masing mekanisme mempunyai peranan yang khusus pada satu atau lebih dari tahap-
tahap tersebut. Terjadinya meningitis bacterial dipengaruhi oleh interaksi beberapa faktor, yaitu
host yang rentan, bakteri penyebab dan lingkungan yang menunjang.

26
Faktor Host
Beberapa faktor host yang mempermudah terjadinya meningitis:
1. Telah dibuktikan bahwa laki-laki lebih sering menderita meningitis dibandingkan dengan
wanita. Pada neonates sepsis menyebabkan meningitis, laki-laki dan wanita berbanding
1,7 : 1
2. Bayi dengan berat badan lahir rendah dan premature lebih mudah menderita meningitis
disbanding bayi cukup bulan
3. Ketuban pecah dini, partus lama, manipulasi yang berlebihan selama kehamilan, adanya
infeksi ibu pada akhir kehamilan mempermudah terjadinya sepsis dan meningitis
4. Pada bayi adanya kekurangan maupun aktivitas bakterisidal dari leukosit, defisiensi
beberapa komplemen serum, seperti C1, C3. C5, rendahnya properdin serum, rendahnya
konsentrasi IgM dan IgA ( IgG dapat di transfer melalui plasenta pada bayi, tetapi IgA
dan IgM sedikit atau sama sekali tidak di transfer melalui plasenta), akan mempermudah
terjadinya infeksi atau meningitis pada neonates. Rendahnya IgM dan IgA berakibat
kurangnya kemampuan bakterisidal terhadap bakteri gram negatif.
5. Defisiensi kongenital dari ketiga immunoglobulin ( gamma globulinemia atau
dysgammaglobulinemia), kekurangan jaringan timus kongenital, kekurangan sel B dan T,
asplenia kongenital mempermudah terjadinya meningitis
6. Keganasan seperti system RES, leukemia, multiple mieloma, penyakit Hodgkin
menyebabkan penurunan produksi immunoglobulin sehingga mempermudah terjadinya
infeksi.
7. Pemberian antibiotik, radiasi dan imunosupresan juga mempermudah terjadinya infeksi
8. Malnutrisi

Faktor Mikroorganisme
Penyebab meningitis bakterial terdiri dari bermacam-macam bakteri. Mikroorganisme
penyebab berhubungan erat dengan umur pasien. Pada periode neonatal bakteri penyebab utama
adalah golongan enterobacter terutama Escherichia Coli disusul oleh bakteri lainnya seperti
Streptococcus grup B, Streptococcus pneumonia, Staphylococuc sp dan Salmonella sp.
Sedangkan pada bayi umur 2 bulan sampai 4 tahun yang terbanyak adalah Haemophillus
influenza type B disusul oleh Streptococcus pneumonia dan Neisseria meningitides. Pada anak

27
lebih besar dari 4 tahun yang terbanyak adalah Streptococcus pneumonia, Neisseria
meningitides. Bakteri lain yang dapat menyebabkan meningitis bakterial adalah kuman batang
gram negative seperti Proteus, Aerobacter, Enterobacter, Klebsiella Sp dan Seprata Sp.

Faktor Lingkungan
Kepadatan penduduk, kebersihan yang kurang, pendidikan rendah dan sosial ekonomi
rendah memgang peranan penting untuk mempermudah terjadinya infeksi. Pada tempat penitipan
bayi apabila terjadi infeksi lebih mudah terjadi penularan. Adanya vektor binatang seperti anjing,
tikus, memungkinkan suatu predisposisi, untuk terjadinya leptospirosis.

Meningitis Tuberkulosis 9
Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis primer,
biasanya dari paru. Terjadinya meningitis bukanlah karena terinfeksinya selaput otak langsung
oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel pada
permukaan otak, sumsum tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah ke dalam rongga
arachnoid (rich dan McCordeck). Kadang-kadang dapat juga terjadi per-kontinuitatum dari
mastoiditis atau spondilitis.
Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan meningo-
ensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama batang otak (brain
stem) tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan gelatinosa dapat
menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis dan mengakibatkan hidrocephalus serta kelainan
saraf pusat. Tampak juga kelainan pembuluh darah seperti Arteritis dan Phlebitis yang
menimbulkan penyumbatan. Akibat penyumbatan ini terjadi infark otak yang kemudian
mengakibatkan perlunakan otak.

Meningitis Viral
Virus masuk tubuh manusia melalui beberapa jalan. Tempat permulaan masuknya virus dapat
melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh virus
tersebut akan menyebar keseluruh tubuh dengan beberapa cara:1
 Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan atau organ
tertentu.

28
 Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar ke
organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.
 Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah pertama kali masuk
(permukaan selaput lender) kemudian menyebar ke organ lain.
 Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak dipermukaan selaput lender dan
menyebar melalui system saraf.
Berikut contoh cara transmisi virus :12
 Enterovirus : biasanya melalui rute oral-fekal, namun dapat juga melalui rute saluran
respirasi
 Arbovirus : melalui artropoda menghisap darah, biasanya nyamuk
 Virus limfositik koriomeningitis – melalui kontak dengan tikus dan sejenisnya ataupun
bahan eksresinya.

Pada umumnya, virus masuk ke sistem limfatik, melalui penelanan enterovirus;


pemasukan membran mukosa oleh campak, rubela, VVZ atau HSV; atau dengan penyebaran
hematogen dari nyamuk atau gigitan serangga lain. Ditempat tersebut, mulai terjadi multiplikasi
dan masuk alirann darah menyebabkan infeksi beberapa organ. Pada stadium ini (fase
ekstraneural) ada sakit demam, sistemik, tetapi tidak terjadi multiplikasi virus lebih lanjut pada
organ yang ditempati, penyebaran sekunder sejumlah virus dapat terjadi. Invasi SSP disertai
dengan bukti klinis penyakit neurologis. HSV-1 mungkin mencapai otak dengan penyebaran
langsung sepanjang akson saraf.
Kerusakan neurologis disebabkan (1) oleh invasi langsung dan penghancuran jaringan
saraf oleh pembelahan virus secara aktif dan atau (2) oleh reaksi hospes terhadap antigen virus.
Kebanyakan penghancuran saraf mungkin karena invasi virus secara langsung, sedangkan respon
jaringan hospes yang hebat mengakibatkan demielinasi dan penghancuran vaskuler serta
perivaskuler dan (3) oleh reaksi aktivitas virus neurotropik yang bersifat laten.1,7

Meningitis Jamur
Infeksi pertama terbanyak terjadi akibat inhalasi yeast dari lingkungan sekitar. Pada saat dalam
tubuh host Cryptococcus membentuk kapsul polisakarida yang besar yang resisten terhadap
fagositosis. Produksi kapsul distimulasi oleh konsentrasi fisiologis karbondioksida dalam paru.

29
Keadaan ini meyebabkan jamur ini beradaptasi sangat baik dalam host mamalia. Reaksi
inflamasi ini menghasilkan reaksi kompleks primer paru kelenjar limfe (primary lung lymp node
complex) yang biasanya membatasi penyebaran organisme.
Kebanyakan infeksi paru ini tanpa gejala, tetapi secara klinis dapat terjadi seperti gejala
pneumonia pada infeksi pertama dengan gejala yang bervariasi beratnya. Keadaan ini biasanya
membaik perlahan dalam beberapa minggu atau bulan dengan atau tanpa pengobatan. Pada
pasien lainnya dapat terbentuk lesi pulmonar fokal atau nodular. Cryptococcus dapat dorman
dalam paru atau limfenodus sampai pertahanan host melemah. Cryptococcus neofarmans dapat
menyebar dari paru dan limfenodus torakal ke aliran darah terutama pada host yang sistem
kekebalannya terganggu. Keadaan ini dapat terjadi selama infeksi primer atau selama masa
reaktivasi bertahun-tahun kemudian. Jika terjadi infeksi jauh, maka tempat yang paling sering
terkena adalah susunan saraf pusat. Keadaan dimana predileksi infeksi ini terutama pada ruang
subarakhnoid, belum dapat diterangkan.
Ada beberapa faktor yang berperanan dalam patogenesis infeksi Cryptococcus
neofarmans pada susunan saraf pusat. Jamur ini mempunyai beberapa fenotif karakteristik yang
diaktakan berhubungan dengan invasi pada susunan saraf pusat seperti, produksi phenoloxidase,
adanya kapsul polisakarida,dan kemampuan untuk berkembang dengan cepat pada suhu tubuh
host.Informasi terakhir mengatakan bahwa melanin bertindak sebagai antioksidan yang
melindungi organisme ini dari mekanisme pertahanan tubuh host. Faktor karakteristik lainnya
yaitu kemampuan kapsul untuk melindungi jamur dari pertahanan tubuh
terutama fagositosis dankemampuan jamur untuk hidup dan berkembang pada suhu tubuh
manusia.

3.6 PATOFISIOLOGI

Meningitis Bakterial 1,2

Akhir – akhir ini ditemukan konsep baru mengenai patofisiologi meningitis bakterial, yaitu suatu
proses yang kompleks, komponen – komponen bakteri dan mediator inflamasi berperan
menimbulkan respons peradangan pada selaput otak (meningen) serta menyebabkan perubahan
fisiologis dalam otak berupa peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran darah otak,
yang dapat mengakibatkan tinbulnya gejala sisa. Proses ini dimulai setelah ada bakteriemia atau

30
embolus septik, yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam susunan saraf pusat dengan
jalan menembus rintangan darah otak melalui tempat – tempat yang lemah, yaitu di
mikrovaskular otak atau pleksus koroid yang merupakan media pertumbuhan yang baik bagi
bakteri karena mengandung kadar glukosa yang tinggi. Segera setelah bakteri berada dalam
cairan serebrospinal, maka bakteri tersebut memperbanyak diri dengan mudah dan cepat oleh
karena kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas fagositosis dalam cairan serebrospinal
melalui sistem ventrikel ke seluruh ruang subaraknoid.

Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis) akan melepaskan
dinding sel atau komponen – komponen membran sel (endotoksin, teichoic acid) yang
menyebabkan kerusakan jaringan otak serta menimbulkan peradangan di selaput otak
(meningen) melalui beberapa mekanisme seperti dalam skema tersebut di bawah, sehingga
timbul meningitis. Bakteri Gram negative pada waktu lisis akan melepaskan
lipopolisakarida/endotoksin, dan kuman Gram positif akan melepaskan teichoic acid (asam
teikoat).

Gambar 5. Patofisiologi Molekuler Meningitis Bakterial 1

31
Produk – produk aktif dari bakteri tersebut merangsang sel endotel dan makrofag di
susunan saraf pusat (sel astrosit dan microglia) memproduksi mediator inflamasi seperti
Interleukin – 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF). Mediator inflamasi berperan dalam
proses awal dari beberapa mekanisme yang menyebabkan peningkatan tekanan intracranial, yang
selanjutnya mengakibatkan menurunnya aliran darah otak. Pada meningitis bacterial dapat juga
terjadi syndrome inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) diduga disebabkan oleh karena
proses peradangan akan meningkatkan pelepasan atau menyebabkan kebocoran vasopressin
endogen sistem supraoptikohipofise meskipun dalam keadaan hipoosmolar, dan SIADH ini
menyebabkan hipovolemia, oliguria dan peningkatan osmolaritas urine meskipun osmolaritas
serum menurun, sehingga timbul gejala-gejala water intoxication yaitu mengantuk, iritabel dan
kejang.

Edema otak yang berat juga menghasilkan pergeseran midline kearah kaudal dan terjepit
pada tentorial notch atau foramen magnum. Pergeseran ke kaudal ini menyebabkan herniasi dari
gyri parahippocampal, cerebellum, atau keduanya. Perubahan intrakranial ini secara klinis
menyebabkan terjadinya gangguan kesadaran dan refleks postural. Pergeseran ke kaudal dari
batang otak menyebabkan lumpuhnya saraf kranial ketiga dan keenam. Jika tidak diobati,
perubahan ini akan menyebabkan dekortikasi atau deserebrasi dan dengan cepat dan progresif
menyebabkan henti nafas dan jantung.

Akibat peningkatan tekanan intrakranial adalah penurunan aliran darah otak yang juga
disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otak oleh trombus dan adanya penurunan
autoregulasi, terutama pada pasien yang mengalami kejang. Akibat lain adalah penurunan
tekanan perfusi serebral yang juga dapat disebabkan oleh karena penurunan tekanan darah
sistemik 60 mmHg sistole. Dalam keadaan ini otak mudah mengalami iskemia, penurunan
autoregulasi serebral dan vaskulopati. Kelainan – kelainan inilah yang menyebabkan kerusakan
pada sel saraf sehingga menimbulkan gejala sisa. Adanya gangguan aliran darah otak,
peningkatan tekanan intrakranial dan kandungan air di otak akan menyebabkan gangguan fungsi
metabolik yang menimbulkan ensefalopati toksik yaitu peningkatan kadar asam laktat dan
penurunan pH cairan srebrospinal dan asidosis jaringan yang disebabkan metabolisme anaerob,
keadaan ini menyebabkan penggunaan glukosa meningkat dan berakibat timbulnya
hipoglikorakia.

32
Ensefalopati pada meningitis bakterial dapat juga terjadii akibat hipoksia sistemik dan
demam. Kelainan utama yang terjadi pada meningitis bakterial adalah peradangan pada selaput
otak (meningen) yang disebabkan oleh bahan – bahan toksis bakteri. Peradangan selaput otak
akan menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris, akibatnya terjadi refleks kontraksi otot – otot
tertentu untuk mengurangi rasa sakit, sehingga timbul tanda Kernig dan Brudzinksi serta kaku
kuduk. Manifestasi klinis lain yang timbul akibat peradangan selaput otak adalah mual, muntah,
iritabel, nafsu makan menurun dan sakit kepala. Gejala – gejala tersebut dapat juga disebabkan
karena peningkatan tekanan intracranial, dan bila disertai dnegan distorsi dari nerve roots, makan
timbul hiperestasi dan fotofobia.

Pada fase akut, bahan – bahan toksis bakteri mula – mula menimbulkan hiperemia
pembuluh darah selaput otak disertai migrasi neutrofil ke ruang subaraknoid, dan selanjutnya
merangsang timbulnya kongesti dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah hingga
mempermudah adesi sel fagosit dan sel polimorfonuklear, serta merangsang sel
polimorfonuklear untuk menembus endotel pembuluh darah melalui tight junction dan
selanjutnya memfagosit bakteri bakteri, sehingga terbentuk debris sel dan eksudat dalam ruang
subaraknoid yang cepat meluas dan cenderung terkumpul didaerah konveks otak tempat CSS
diabsorpsi oleh vili araknoid, di dasar sulkus dan fisura Sylvii serta sisterna basalis dan sekitar
serebelum.

Pada awal infeksi, eksudat hampir seluruhnya terisi sel PMN yang memfagosit bakteri,
secara berangsur-angsur sel PMN digantikan oleh sel limfosit, monosit dan histiosit yang
jumlahnya akan bertambah banyak dan pada saat ini terjadi eksudasi fibrinogen. Dalam minggu
ke-2 infeksi, mulai muncul sel fibroblas yang berperan dalam proses organisasi eksudat,
sehingga terbentuk jaringan fibrosis pada selaput otak yang menyebabkan perlekatan –
perlekatan. Bila perlekatan terjadi didaerah sisterna basalis, maka akan menimbulkan
hidrosefalus komunikan dan bila terjadi di aquaductus Sylvii, foramen Luschka dan Magendi
maka terjadi hidrosefalus obstruktif. Dalam waktu 48-72 jam pertama arteri subaraknoid juga
mengalami pembengkakan, proliferasi sel endotel dan infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan
adventisia, sehingga timbul fokus nekrosis pada dinding arteri yang kadang-kadang
menyebabkan trombosis arteri. Proses yang sama terjadi di vena. Fokus nekrosis dan trombus
dapat menyebabkan oklusi total atau parsial pada lumen pembuluh darah, sehingga keadaan
tersebut menyebabkan aliran darah otak menurun, dan dapat menyebabkan terjadinya infark.
33
Infark vena dan arteri luas akan menyebabkan hemiplegia, dekortikasi atau deserebrasi,
buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul selama beberapa hari pertama dirawat tidak
mempengaruhi prognosis, tetapi kejang yang sulit dikontrol, kejang menetap lebih dari 4 hari
dirawat dan kejang yang timbul pada hari pertama dirawat dengan penyakit yang sudah
berlangsung lama, serta kejang fokal akan menyebakan manifestasi sisa yang menetap. Kejang
fokal dan kejang yang berkepanjangan merupakan petunjuk adanya gangguan pembuluh darah
otak yang serius dan infark serebri, sedangkan kejang yang timbul sebelum dirawat sering
menyebakna gangguan pendengaran atau tuli yang menetap.

Trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik korteks serebri.
Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah atau karena hipoksia, invasi kuman
akan mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang fokal dang gangguan fungsi motorik berupa
paresis yang sering timbul pada hari ke 3-4, dan jarang timbul setelah minggu I-II; selain itu juga
menimbulkan gangguan sensorik dan fungsi intelek berupa retardasi mental dan gangguan
tingkah laku; gangguan fungsi intelek merupakan akibat kerusakan otak karena proses
infeksinya, syok dan hipoksia. Kerusakan langsung pada selaput otak dan vena di duramater atau
arakhnoid yang berupa trombophlebitis, robekan-robekan kecil dan perluasan infeksi araknoid
menyebabkan transudasi protein dengan berat molekul kecil ke dalam ruang subaraknoid dan
subdural sehingga timbul efusi subdural yang menimbulkan manifestasi neurologis fokal, demam
yang lama, kejang dan muntah.

Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak (blood brain barrier)
menyebabkan terjadinya edema sitotoksik, dan arena aliran CSS terganggu atau hidrosefalus
akan menyebabkan terjadinya edema interstitial.

Meskipun kuman jarang dapat dibiakkan dari jaringan otak, tetapi absorpsi dan penetrasi
toksin kuman dapat terjadi, sehingga menyebabkan edema otak dan vaskulitis; kelainan saraf
kranial pada meningitis bakterial disebabkan karena adanya peradangan lokal pada perineurium
dan menurunnya persediaan vaskular ke saraf cranial, terutama saraf VI, III dan IV, sedang
ataksia yang ringan, paralisis saraf kranial VI dan VII merupakan akibat infiltasi kuman ke
selaput otak di basal otak, sehingga menimbulkan kelainan batang otak.

Gangguan pendengaran yang timbul akibat perluasan peradanga ke mastoid, sehingga


timbul mastoiditis yang menyebabkan gangguan pendengaran tipe konduktif. Kelain saraf

34
kranial II yang berupa papilitis dapat menyebabkan kebutaan tetapi dapat juga disebabkan karena
infark yang luas di korteks serebri, sehingga terjadi buta kortikal. Manifestasi neurologis fokal
yang timbul disebabkan oleh trombosis arteri dan vena di korteks serebri akibat edema dan
peradangan yang menyebabkan infark serebri, dan adanya manifestasi ini merupakan petunjuk
prognosis buruk, karena meninggalakan manifestasi sisa dan retardasi mental.

Meningitis Tuberkulosis 1
Meningitis tuberculosis pada umumnya sebagai penyebaran tuberculosis primer, dengan focus
infeksi di tempat lain. Biasanya fokud infeksi primer di paru, namun Blockloch menemukan
22,8% dengan focus infeksi primer di abdomen, 2,1% di kelenja limfe leher dan 1,2% tidak
ditemukan adanya fokus infeksi primer. Dari focus infeksi primer, basil masuk ke sirkulasi darah
melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi berat
berupa tuberculosis milier atau hanya menimbulkan beberapa focus metastase yang biasanya
tenang.
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich pada tahun 1951, yakni
bahwa terjadinya meningitis tuberculosis adalah mula-mula terbentuk tuberkel di otak, selaupt
otak atau medulla spinalis, akibat penyebaran basil secara hematogen selama infeksi primer atau
selama perjalanan tuberculosis kronik (walaupun jarang). Kemudian timbul meningitis akibat
terlepasnya basil dan antigennya dari tuberkel yang pecah karena rangsangan mungkin berupa
trauma atau factor imunologis. Basil kemudia langsung masuk ke ruang subarachnoid atau
ventrikel. Hal ini mungkin terjadi segera setelah dibentuknya lesi atau setelah periode laten
beberapa bulan atau beberapa tahun. Bila hal ini terjadi pada pasien yang sudah tersensitisasi,
maka masuknya basil ke ruang subarachnoid menimbulkan reaksi peradangan yang
menyebabkan perubahan pada cairan cerebrospinal. Reaksi peradangan ini mula-mula timbul di
sekitar tuberkel yang pecah, tetapi kemudian tampak jelas di selaput otak pada dasar otak dan
ependim. Meningitis basalis yang terjadi akan menimbulkan komplikasi neurologis, berupa
paralisis saraf kranialis, infark karena penyumbatan arteria dan vena, serta hidrosefalus karena
tersumbatnya aliran cairan cerebrospinal.. perlengketan yang sama dalam kanalis sentralis
medulla spinalis akan menyebabkan spinal block dan paraplegia.

35
Meningitis Virus
Patogen virus dapat mencapai akses SSP melalui 2 jalur utama: hematogen atau neural.
Hematogen merupakan jalur tersering dari patogen viral yang diketahui. Penetrasi neural
menunjukkan penyebaran disepanjang saraf dan biasanya terbatas pada virus Herpes (HSV-1,
HSV-2, dan varicella zoster virus [VZV] B virus), dan kemungkinan beberapa enterovirus.
Pertahanan tubuh mencegah inokulum virus dari penyebab infeksi yang signifikan secara
klinis. Hal ini termasuk respon imun sistemik dan lokal, barier mukosa dan kulit, dan blood-brain
barrier (BBB). Virus bereplikasi pada sistem organ awal ( seperti mukasa sistem respiratorius
atau gastrointestinal ) dan mencapai akses ke pembuluh darah. Viremia primer memperkenalkan
virus ke organ retikuloendotelial (hati, spleen dan kelenjar limfe / limfonodus) jika replikasinya
timbul disamping pertahanan imunologis, viremia sekunder dapat timbul, dimana dipikirkan
untuk bertanggung jawab dalam SSP . Replikasi viral cepat tampaknya memainkan peranan
dalam melawan pertahanan host.
Mekanisme sebenarnya dari penetrasi viral kedalam SSP tidak sepenuhnya dimengerti.
Virus dapat melewati BBB secara langsung pada level endotel kapiler atau melalui defek natural
(area post trauma dan tempat lainyang kurang BBB). Respon inflamasi terlihat dalam bentuk
pleositosis; leukosit polimorfonuklear (PMN) menyebabkan perbedaan jumlah sel pada 24-48
jam pertama, diikuti kemudian dengan penambahan jumlah monosit dan limfosit. Limfosit CSS
telah dikenali sebagai sel T, meskipun imunitas sel B juga merupakan pertahanan dalam
melawan beberapa virus.
Bukti menunjukkan bahwa beberapa virus dapat mencapai akses ke SSP dengan transport
retrograde sepanjang akar saraf. Sebagai contoh, jalur ensefalitis HSV-1 adalah melalui akar
saraf olfaktori atau trigeminal, dengan virus dibawa oleh serat olfaktori ke basal frontal dan
lobus temporal anterior.

3.7 MANIFESTASI KLINIS


Meningitis mempunyai karakteristik yakni onset yang mendadak dari demam, sakit kepala dan
kaku leher (stiff neck). Biasanya juga disertai beberapa gejala lain, seperti :
 Mual
 Muntah
 Fotofobia (sensitif terhadap cahaya)

36
 Perubahan atau penurunan kesadaran

Meningitis Bakterial
Tidak ada satupun gambaran klinis yang patognomonik untuk meningitis bakterial. Tanda dan
manifestasi klinis meningitis bakterial begitu luas sehingga sering didapatkan pada anak-anak
baik yang terkena meningitis ataupun tidak. Tanda dan gambaran klinis sangat bervariasi
tergantung umur pasien, lama sakit di rumah sebelum diagnosis dan respon tubuh terhadap
infeksi.
Meningitis pada bayi baru lahir dan prematur sangat sulit didiagnosis, gambaran klinis
sangat kabur dan tidak khas. Demam pada meningitis bayi baru lahir hanya terjadi pada ½ dari
jumlah kasus. Biasanya pasien tampak lemas dan malas, tidak mau makan, muntah-muntah,
kesadaran menurun, ubun-ubun besar tegang dan membonjol, leher lemas, respirasi tidak teratur,
kadang-kadang disertai ikterus kalau sepsis. Secara umum apabila didapatkan sepsis pada bayi
baru lahir kita harus mencurigai adanya meningitis.
Bayi berumur 3 bulan – 2 tahun jarang memberi gambaran klasik meningitis. Biasanya
manifestasi yang timbul hanya berupa demam, muntah, gelisah, kejang berulang, kadang-kadang
didapatkan pula high pitch cry (pada bayi). Tanda fisik yang tampak jelas adalah ubun-ubun
tegang dan membonjol, sedangkan tanda Kernig dan Brudzinsky sulit di evaluasi. Oleh karena
insidens meningitis pada umur ini sangat tinggi, maka adanya infeksi susuan saraf pusat perlu
dicurigai pada anak dengan demam terus menerus yang tidak dapat diterangkan penyebabnya.
Pada anak besar dan dewasa meningitis kadang-kadang memberikan gambaran klasik.
Gejala biasanya dimulai dengan demam, menggigil, muntah dan nyeri kepala. Kadang-kadang
gejala pertama adalah kejang, gelisah, gangguan tingkah laku. Penurunan kesadaran seperti
delirium, stupor, koma dapat juga terjadi. Tanda klinis yang biasa didapatkan adalah kaku kuduk,
tanda Brudzinski dan Kernig. Nyeri kepala timbul akibat inflamasi pembuluh darah meningen,
sering disertai fotofobia dan hiperestesi, kaku kuduk disertai rigiditas spinal disebabkan karena
iritasi meningen serta radiks spinalis.
Kelainan saraf otak disebabkan oleh inflamasi lokal pada perineurium, juga karena
terganggunya suplai vaskular ke saraf. Saraf – saraf kranial VI, VII, dan IV adalah yang paling
sering terkena. Tanda serebri fokal biasanya sekunder karena nekrosis kortikal atau vaskulitis

37
oklusif, paling sering karena trombosis vena kortikal. Vaskulitis serebral menyebabkan kejang
dan hemiparesis.1

Manifestasi Klinis yang dapat timbul adalah:9


1. Gejala infeksi akut.
a. Lethargy.
b. Irritabilitas.
c. Demam ringan.
d. Muntah.
e. Anoreksia.
f. Sakit kepala (pada anak yang lebih besar).
g. Petechia dan Herpes Labialis (untuk infeksi Pneumococcus).
2. Gejala tekanan intrakranial yang meninggi.
a. Muntah.
b. Nyeri kepala (pada anak yang lebih besar).
c. Moaning cry /Tangisan merintih (pada neonatus)
d. Penurunan kesadaran, dari apatis sampai koma.
e. Kejang, dapat terjadi secara umum, fokal atau twitching.
f. Bulging fontanel /ubun-ubun besar yang menonjol dan tegang.
g. Gejala kelainan serebral yang lain, mis. Hemiparesis, Paralisis, Strabismus.
h. Crack pot sign.
i. Pernafasan Cheyne Stokes.
j. Hipertensi dan Choked disc papila N. optikus (pada anak yang lebih besar).

3. Gejala ransangan meningeal.


a. Kaku kuduk positif.
b. Kernig, Brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di atas terjadi,
sering terdapat keluhan sakit di daerah leher dan punggung.

38
Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat diandalkan sebagai
diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu dilakukan pungsi lumbal untuk
mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).

Gambar 6. Tanda Brudzinski

Gambar 7. Tanda Kernig

39
Gambar 8. Manifestasi klinis pada bayi / neonatus

Gambar 9. Manifestasi klinis pada anak dan dewasa

Gambar 10. Opisthotonus dan Blank starring pada M.Meningococcus

40
Meningitis Tuberkulosis 9,10
Secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun selaput otak
sudah terkena. Hal demikian terdapat apda tuberlukosis miliaris sehingga pada penyebaran miliar
sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun gejala meningitis belum tampak.

1. Stadium prodromal
Gejala biasanya didahului oleh stadium prodromal berupa iritasi selaput otal. Meningitis
biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau hanya terdapat kenaikan suhu ringan, jarang
terjadi akut dengan panas tinggi. Sering di jumpai anak mudah terangsang (iritabel) atau anak
menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala. Malaise,
snoreksia, obstipasi, mual dan muntah juga sering ditemukan. Belum tampak manifestasi
kelainan neurologis.

2. Stadium transisi
Stadium prodromal disusul dengan stadium transisi dengan adanya kejang. Gejala diatas menjadi
lebih berat dan muncul gejala meningeal, kaku kuduk dimana seluruh tubuh mulai menjadi kaku
dan opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih tinggi, ubun-ubun menonjol dan umumnya juga
terdapat kelumpuhan urat saraf mata sehingga timbul gejala strabismus dan nistagmus. Sering
tuberkel terdapat di koroid. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran lebih menurun hingga
timbul stupor. Kejang, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial dan gerakan involunter
(tremor, koreoatetosis, hemibalismus).

3. Stadium terminal
Stadium terminal berupa kelumpuhan kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam, pupil melebar
dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur, kadang-kadang
menjadi pernafasan Cheyne-Stokes (cepat dan dalam). Hiperpireksia timbul dan anak meninggal
tanpa kesadarannya pulih kembali

Tiga stadium diatas biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan yang
lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum anak meninggal.

41
Meningitis Viral
Biasanya gejala dari meningitis viral tidak seberat meningitis dan dapat sembuh alami tanpa
pengobatan yang spesifik.
Umumnya permulaan penyakit berlangsung mendadak, walaupun kadang-kadang
didahului dengan panas selama beberapa hari. Gejala yang ditemukan pada anak besar ialah
panas dan nyeri kepala mendadak yang disertai dengan kaku kuduk. Gejala lain yang dapat
timbul ialah nyeri tenggorok, nausea, muntah, penurunan kesadaran, nyeri pada kuduk dan
punggung, fotophobia, parestesia, myalgia. Gejala pada bayi tidak khas. Bayi mudah terangsang
dan menjadi gelisah. Mual dan muntah sering dijumpai tetapi gejala kejang jarang didapati. Bila
penyebabnya Echovirus atau Coxsackie, maka dapat disertai ruam dengan panas yang akan
menghilang setelah 4-5 hari. Pada pemeriksaan ditemukan kaku kuduk, tanda Kernig dan
Brudzinski kadang-kadang positif.

Variasi lain dari infeksi viral dapat membantu diagnosis, seperti :


 Gastroenteritis, rash, faringitis dan pleurodynia pada infeksi enterovirus
 Manifestasi kulit, seperti erupsi zoster dari VZV, makulopapular rash dari campak dan
enterovirus, erupsi vesikular dari herpes simpleks dan herpangina dari infeksi coxsackie
virus A
 Faringitis, limfadenopati dan splenomegali mengarah ke infeksi EBV
 Immunodefisiensi dan pneumonia, mengarah ke infeksi adenovirus, CMV atau HIV
 Parotitis dan orchitis ke arah virus Mumps

Meningitis Jamur
Gejala klinis dari meningitis jamur sama seperti meningitis jenis lainnya; namun, gejalanya
sering timbul bertahap. Sebagai tambahan dari gejala klasik meningitis seperti sakit kepala,
demam, mual dan kekakuan leher, orang dengan meningitis jamur juga mengalami fotofobia,
perubahan status mental, halusinasi dan perubahan personaliti.5

42
3.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pungsi Lumbal 1
Pungsi lumbal adalah cara memperoleh cairan serebrospimal yang paling sering dilakukan pada
segala umur, dan relatif aman
Indikasi
1. Kejang atau twitching
2. Paresis atau paralisis termasuk paresis N.VI
3. Koma
4. Ubun-ubun besar membonjol
5. Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
6. TBC milier
7. Leukemia
8. Mastoiditis kronik yang divurigai meningitis
9. Sepsis

Pungsi lumbal juga dilakukan pada demam yang tidak diketahui sebabnya dah pada
pasien dengan proses degeneratif. Pungsi lumbal sebagai pengobatan dilakukan pada meningitis
kronis yang disebabkan oleh limfoma dan sarkoidosis. Cairan serebrospinal dikeluarkan
perlahan-lahan untuk mengurangi rasa sakit kepala dan sakit pinggang. Pungsi lumbal berulang-
ulang juga dilakukan pada tekanan intrakranial meninggi jinak (beningn intracranial
hypertension), pungsi lumbal juga dilakukan untuk memasukkan obat-obat tertentu.
Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah sekitar tempat pungsi,
tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh adanya proses desak ruang dalam otak
(space occupaying lesion) dan pada kelainan pembekuan yang belum diobati. Pada tekanan
intrakranial meninggi yang diduga karena infeksi (meningitis) bukan kontraindikasi tetapi harus
dilakukan dnegan hati-hati.

43
Komplikasi
Sakit kepala, infeksi, iritasi zat kimia terhadap selaput otak, bila penggunaan jarum pungsi tidak
kering, jarum patah, herniasi dan tertusuknya saraf oleh jarum pungsi karena penusukan tidak
tepat yaitu kearah lateral dan menembus saraf di ruang ekstradural.

Alat dan Bahan


1. Sarung tangan steril
2. Duk berlubang
3. Kassa steril, kapas, dan plester
4. Jarum pungsi lumbal no. 20 dan 22 beserta stylet
5. Antiseptik: povidon iodine dan alkohol 70%
6. Tabung reaksi untuk menampung cairan serebrospina

Prosedur
1. Pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal (dahi ditarik ke
arah lutut), ektremitas bawah fleksi maksimum (lutut ditarik ke arah dahi), dan sumbu
kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan tempat tidur.
2. Tentukan daerah pungsi lumbal di antara vertebra L4 dan L5 yaitu dengan menemukan garis
potong sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) dan garis antara kedua spina iskhiadika
anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi dapat pula dilakukan antara L4 dan L5 atau
antara L2 dan L3 namun tidak boleh pada bayi.

44
Gambar 11. Lumbal Pungsi

3. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm dengan larutan
povidon iodin diikuti dengan larutan alkohol 70% dan tutup dengan duk steril di mana daerah
pungsi lumbal dibiarkan terbuka.
4. Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah memakai sarung
tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik pungsi tersebut selama 1 menit.
5. Tusukkan jarum spinal/stylet pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan jarum perlahan-
lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan mulut jarum terbuka ke atas
sampai menembus duramater. Jarak antara kulit dan ruang subarakhnoid berbeda pada tiap
anak tergantung umur dan keadaan gizi. Umumnya 1,5-2,5 cm pada bayi dan meningkat
menjadi 5 cm pada umur 3-5 tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm. (gambar di bawah ini.)
6. Lepaskan stylet perlahan-lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran cairan yang
lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke kranial. Ambil cairan untuk
pemeriksaan.
7. Cabut jarum dan tutup lubang tusukan dengan plester

45
Pengukuran Tekanan Cairan Serebrospinal
Bila tusukan jarum pungsi lumbal tepat dan LCS mengalir keluar, manometer pengukur tekanan
LCS dihubungkan dengan pangkal jarum pungsi lumbal tersebut. LCS dibiarkan mengalir
mengisi manometer, dan tingginya cairan yang mengisi manometer diukur dalam milimeter air.
Nilai normal tekanan LCS 50-200 mm pada keadaan tenang. Pada anak yang berontak, menangis
atau batuk tekanan akan meningkat.

Pemeriksaan LCS
Biasanya pada LP yang berhasil LCS yang keluar ditampung dalam botol steril untuk
pemeriksaan lengkap. Cairan yang keluar diperhatikan kejernihan dan warnanya, kemudian
ditentukan adanya protein yang meninggi dengan menggunakan uji Pandy dan Nonne.
Pada uji Pandy 1-2 tetes LCS diteteskan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah
diisi dengan 1 ml larutan fenol jenuh (carbolic acid). Bila kadar protein meninggi akan
didapatkan warna putih keruh atau endapan putih dalam tabung reaksi tersebut.
Pada uji Nonne, 0,5 ml LCS dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah
diisi dengan 1 ml larutan amonium-sulfat jenuh. Bila kadar protein LCS meningkat didapati
cincin putih pada perbatasan kedua cairan tersebut.
Pada kesempatan selanjutnya ditentukan jumlah dan diferensiasi sel, kadar protein,
glukosa dan kuman dengan preparat langsung maupun kultur. Pada keadaan normal LCS
berwarna jernih seperti akuadest, tetapi pada neonatus bisa xantokrom

Sel
Untuk menghitung jumlah sel LCS harus segar, harus sudah dihitung dalam waktu 1 jam sesduah
pungsi, karena jika terlalu lama sebagia sel menempel di dinding tabung/botol, sebagian sudah
lisis sehingga mempengaruhi perhitungan. Jumlah sel leukosit normal pada bayi sampai umur 1
tahun adalah 10 sel/ µl, 1-4 tahun 8 sel/ µl, reamaj dan dewasa 2,59 ± 1,73 leukosit /µl. Eritrosit
biasanya tidak terdapat pada anak dan orang dewasa, kecuali pada pungsi traumatik. Adanya sel
neoplastik, plasmasit, sel stem dan eosinofil dalam LCS selalu abnormal.
Sel eritrosit berlebihan dalam LCS menunjukkan adanya perdarahan atau pungsi
traumatik, untuk membedakannya segera lakukan pemutaran (centrifuge) dan perhatikan

46
supernatanya. Apabila supernatan berwarna xantokrom berarti perdarah lama, jika jernih berarti
pungsi traumatik.
Apabila terdapat peninggian jumlah sel dan terutama PMN, maka kemungkinan pasien
menderita meningitis bakterial, atau pada meningitis virus dini atau neoplasma.di Bagian ilmu
kesehatan anak FKUI dipakai patokan jumlah sel LCS normal pada anak 20/3 per µl dan pada
neonatus minggu pertama 100/3 per µl, tetapi tergantung juga pada keadaan klinis pasien dan
diferensiasi sel.

Protein
Kadar protein normal 20-40 mg/dl. Kadar ini meningkat pada sindrom Guillain Barre, tumor
intrakranial atau intraspinal, perdarah intrakranial, penyakit degeneratif dan meningitis.
Pada neonatus kadar protein agak lebih tinggi, yaitu 40-80 mg/dl pada umur 0-2 minggu,
dan 30-50 mg/dl pada umur 2-4 minggu. Pada neonatus dengan berat badan lahir rendah kadar
protein lebih tinggi lagi rata-rata 100 mg/dl. Kadar protein yang tinggi pada neonatus mungkin
disebabkan oleh fungsi sawar darah otak yang belum matang dan adanya perdarahan-perdarahan
kecil saat partus.

Glukosa
Kadar normal glukosa dalam LCS antara ½ - 2/3 kadar glukosa plasma, biasanya 50-90 mg/dl.
Bila memeriksa kadar glukosa LCS perlu pula ditentukan kadar glukosa plasma dan kedua nilai
ini dibandingkan. Bila kadar glukosa LCS kurang dari 50% kadar glukosa plasma, maka dapat
dikatakan bahwa kadar glukosa dalam LCS merendah. Penurunan kadar glukosa dalam LCS
didapati pada pasien dengan meningitis bakterial, karsinomatosis selaput otak dan lain-lain.
Mikroorganisme
Pemeriksaan mikroorganisme perlu dilakukan yang pertama-tama dengan pewarnaan gram.
Dengan melihat bentuk kuman dan gram dapat diduga diagnosisnya secara cepat. Biakan LCS
dalam media dan uji sensitivitas terhadap obat dapat menentukan kuman penyebab yang
sebenarnya dan obat yang serasi.

47
Meningitis bakterial
- Darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit jika ada
indikasi.
- Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan menentukan etiologi :
 Didapatkan cairan keruh atau opalesens dengan Nonne (-)/(+) dan Pandy (+)/(++).
 Jumlah sel 100-10.000/m3 dengan hitung jenis predominan polimorfonuklear, protein
200-500 mg/dl, glukosa <40 mg/dl. Pada stadium dini jumlah sel dapat normal
dengan predominan limfosit.
 Apabila telah mendapat antibiotik sebelumnya, gambaran LCS dapat tidak spesifik.
- Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap diberikan pemberian
antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak mengubah nilai diagnostik kecuali
identifikasi kuman, itupun jika antibiotiknya senstitif)
- Jika memang kuat dugaan kearah meningitis, meskipun terdapat tanda-tanda peningkatan
tekanan intracranial, pungsi lumbal masih dapat dilakukan asalkan berhati-hati.
Pemakaian jarum spinal dapat meminimalkan komplikasi terjadinya herniasi.
- Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda dan gejala peningkatan
tekanan intracranial oleh karena lesi desak ruang.
- Pemeriksaan CT-Scan dengan kontras atau MRI kepala (pada kasus berat atau curiga ada
komplikasi seperti empiema subdural, hidrosefalus dan abses otak)
- Pada pemeriksaan elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan umum.

Meningitis Tuberkulosis
- Pemeriksaan meliputi darah perifer lengkap, laju endap darah, dan gula darah. Leukosit
darah tepi sering meningkat (10.000-20.000 sel/mm3). Sering ditemukan hiponatremia
dan hipokloremia karena sekresi antidiuretik hormon yang tidak adekuat.
- Pungsi lumbal :
 Liquor serebrospinal (LCS) jernih, cloudy atau xantokrom
 Jumalh sel meningkat antara 10-250 sel/mm3 dan jarang melebihi 500 sel/mm3.
Hitung jenis predominan sel limfosit walaupun pada stadium awal dapat dominan
polimorfonuklear.

48
 Protein meningkat di atas 100 mg/dl sedangkan glukosa menurun dibawah 35 mg/dl,
rasio glukosa LCS dan darah dibawah normal
 Pemeriksaan BTA (basil tahan asam) dan kultur M.Tbc tetap dilakukan.
 Jika hasil pemeriksaan LCS yang pertama meragukan, pungsi lumbal ulangan dapat
memperkuat diagnosis dengan interval 2 minggu.
- Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) dan Latex particle agglutination dapat mendeteksi kuman Mycobacterium di
cairan serebrospinal (bila memungkinkan).
- Pemeriksaan pencitraan CT-Scan atau MRI kepala dengan kontras dapat menunjukkan
lesi parenkim pada daerah basal otak, infark, tuberkuloma, maupun hidrosefalus.
- Foto rontgen dada dapat menunjukkan gambaran penyakit Tuberkulosis.
- Uji Tuberkulin dapat mendukung diagnosis
- Elektroensefalografi (EEG) dikerjakan jika memungkinkan dapat menunjukkan
perlambatan gelombang irama dasar.9

Meningitis Viral
- Pemeriksaan hematologi dan kimia harus dilakukan
- Pemeriksaan LCS merupakan pemeriksaan yang penting dalam pemeriksaan penyebab
meningitis. CT Scan harus dilakukan pada kasus yang berkaitan dengan tanda neurologis
abnormal untuk menyingkirkanlesi intrakranial atau hidrosefalus obstruktif sebelum pungsi
lumbal (LP). Kultur LCSD tetap kriteria standar pada pemeriksaan bakteri atau piogendari
meningitis aseptic. Lagi-lagi, pasien yang tertangani sebagian dari meningitis bakteri dapat
timbul dengan pewarnaan gram negative dan maka timbul aseptic. Hal berikut ini merupakan
karakteristik LCS yangdigunakan untuk mendukung diagnosis meningitis viral:
 Sel: Pleocytosis dengan hitung WBC pada kisaran 50 hingga >1000x 109/L darah telah
dilaporkan pada meningitis virus, Sel mononuclear predominan merupakan aturannya,
tetapi PMN dapat merupakan sel utama pada 12-24 jam pertama; hitung sel biasanya
kemudian didominasi oleh limfosit pada pola LCS klasik meningitisviral. Hal ini
menolong untuk membedakan meningitis bakterial dari viral, dimana mempunyai lebih
tinggi hitung sel dan predominan PMN pada sel pada perbedaan sel; hal ini merupakan
bukan merupakan aturan yang absolute bagaimanapun.

49
 Protein: Kadar protein LCS biasanya sedikit meningkat, tetapi dapat bervariasi dari
normal hingga setinggi 200 mg/dL.
- Studi Pencitraan : Pencitraan untuk kecurigaan meningitis viral dan ensefalitis dapat
termasuk CT Scan kepala dengan dan tanpa kontras, atau MRI otak dengan gadolinium. CT
scan dengan contrast menolong dalam menyingkirkan patologi intrakranial. Scan contrast
harus didapatkan untuk mengevaluasi untuk penambahan sepanjang mening dan untuk
menyingkirkan cerebritis, abses intrakranial, empyema subdural, atau lesi lain. Secara
alternative, dan jika tersedia, MRI otak dengan gadolinium dapat dilakukan. MRI dengan
contrast merupakan standar kriteria pada memvisualisasikan patologi intrakranial pada
encephalitis viral. HSV-1 lebih sering mempengaruhi basal frontal dan lobus temporal
dengan gambaran sering lesi bilateral yang difus.
- Tes Lain : Semua pasien yang kondisinya tidak membaik secara klinis dalam24-48 jam harus
dilakukan rencana kerja untuk mengetahui penyebab meningitis. Dalam kasus ensefalitis
yang dicurigai, MRI dengan penambahan kontras dan visualisasi yang adekuat dari frontal
basal dan area temporal adalah diperlukan. EEG dapat dilakukan jika ensefalitis atau kejang
subklinis dicurigai pada pasien yang terganggu, Periodic lateralized epileptiform discharge
(PLEDs) seringkali terlihat pada ensefalitis herpetic.
- Prosedur : Pungsi Lumbal merupakan prosedur penting yang digunakan dalam mendiagnosis
meningitis viral. Prosedur potensial lain, tergantung pada indikasi individu dan keparahan
penyakit, termasuk monitoring tekanan intrakranial, biopsi otak, dan drainase ventricular atau
shunting.

Meningitis Jamur 14
Selain gejala klinis, sangat penting dilakukan pemeriksaan radiologis paru-paru dan organ
lainnya, skin test,antibodi serum dan pemeriksaan cairan serebrospinal. Isolasi kuman dari lesi
dan cairan serebrospinal merupakan pembantu diagnostik yang penting. Pada meningitis, perlu
dilakukan pemeriksaan CT scan dan MRI. Perubahan cairan serebrospinal pada meningitis jamur
seperti pada meningitis tuberkulosis. Tekanan meningikat bervariasi, pleiositosis moderat,
biasanya kurang adri 1000 sel/mm3, dengan predominan limfosit. Kecuali pada kasus yang akut,
sel dapat meningkat lebih dari 1000/mm3 dengan predominan polimorfonuklear. Glukosa

50
bisanya agak menurun (subnormal) dan protein meningkat kadang-kadang sampai pada kadar
yang sangat tinggi.

Tabel. 5. Gambaran Cairan Serebrospinal pada meningitis berdasarkan agen etiologinya 2

3.9 DIAGNOSIS

Meningitis Bakterial
Diagnosis meningitis bakterial tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala dan tanda saja.
Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku kuduk dan adanya tanda rangsang
meningeal kemungkinan dapat pula terjadi pada meningismus, meningitis TBC dan meningitis
aseptic. Hamper semua penulis mengatakan bahwa diagnosis pasti meningitis hanya dapat dibuat
dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis melalui pungsi lumbal. Oleh Karena itu setiap pasien
dengan kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi lumbal.1
Umumnya cairan serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh, tetapi pada stadium dini
dapat diperoleh cairan yang jernih. Reaksi Nonne dan Pandy umumnya didapatkan positif kuat.
Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter kubik cairan yang sebagian besar terdiri dari sel

51
polimorphonuclear (PMN). Pada stadium dini didapatkan jumlah sel hanya ratusan permilimeter
kubik dengan hitung jenis lebih banyak limfosit daripada segmen. Oleh karena itu pada keadaan
sedemikian, pungsi lumbal perlu diulangi keesokan harinya untuk menegakkan diagnosis yang
pasti. Keadaan seperti ini juga ditemukan pada stadium penyembuhan meningitis purulenta.
Kadar protein dalam CSS meninggi. Kadar gula menurun tetapi tidak serendah pada meningitis
tuberkulosa. Kadar klorida kadang-kadang merendah.9
Dari pemeriksaan sediaan langsung dibawah mikroskop mungkin dapat ditemukan
kuman penyebab, walaupun hal tersebut jarang terjadi. Diferensiasi kuman yang dapat dipercaya
hanya ditentukan secara pembiakan (kultur) dan percobaan binatang. Tidak ditemukan kuman
pada sediaan langsung bukanlah kontra-indikasi terhadap diagnosis. Pada pemeriksaan darah tepi
ditemukan leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri (Shift to the left). Umumnya
terdapat anemia megaloblastik.9

Meningitis Tuberkulosis
Diagnosis dapat ditentukan atas dasar gambaran klinis serta yang terpenting ialah gambaran
CSS. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila ditemukan kuman tuberkulosis dalam CSS. Uji
tuberkulin yang positif, kelainan radiologis yang tampak pada foto roentgen thorak dan
terdapatnya sumber infeksi dalam keluarga hanya dapat menyokong diagnosis. Uji tuberkulin
pada Meningitis tuberkulosis sering negatif karena reaksi anergi (false-negative), terutama dalam
stadium terminalis.9

Meningitis Viral
Diagnosis etiologis hanya dapat dibuat dengan isolasi virus. Dalam prakteknya, pemeriksaan
serologis tidak dikerjakan berhubung dengan banyaknya jenis virus yang dapat menyebabkan
penyakit ini.
Diagnosis biasanya dapat dibuat berdasarkan gejala klinis, kelainan CSS dan perjalanan
penyakit yang self-limited. Biakan CSS terhadap kemungkinan penyebab mikroorganisme lain
harus dikerjakan (fungus, leptospira, mikobakterium) agar kemungkinan mikroorganisme
penyebab lain dapat disingkirkan.

52
Selain biakan CSS, pemeriksaan lain seperti uji tuberkulin, foto Roentgen thorak,
mencari sumber tuberkulosis harus dikerjakan agar dapat menyingkirkan kemungkinan
meningitis tuberkulosa.

Meningitis Jamur 14
Diagnosis spesifik dapat dibuat dari hapusan cairan serebrospinal dan dari kultur dan juga
dengan menemukan antigen spesifik dengan immunodifusion latex particle aggregation atau
perbandingan antigen recognition test. Pemeriksaan cairan serebrospinal harus termasuk
pemeriksaan tubercle basilli dan leukosit abnormal oleh karena banyak terjadi infeksi bersama
jamur dengan tuberkulosa dan leukemia atau limfoma

2.10. DIAGNOSIS BANDING 1


 Abses otak
 Encephalitis
 Herpes Simplex
 Herpes Simplex Encephalitis
 Neoplasma
 Kejang demam
 Subarachnoid Hemorrhage

3.11. KOMPLIKASI 1-2

Komplikasi dini :
 Syok septik, termasuk DIC
 Koma
 Kejang (30-40% pada anak)
 Edema serebri
 Septic arthritis
 Efusi pericardial
 Anemia hemolitik

53
Komplikasi lanjut :
 Gangguan pendengaran samapi tuli
 Disfungsi saraf kranial
 Kejang multipel
 Paralisis fokal
 Efusi subdural
 Hidrocephalus
 Defisit intelektual
 Ataksia
 Buta
 Waterhouse-Friderichsen syndrome
 Gangren periferal

Kejang
Kejang merupakan komplikasi yang penting dan sering terjadi hampir 1 dari 5 pasien. Insidens
lebih tinggi pada usia kurang dari 1 tahun, mencapai 40%. Pasien meninggal akibat dari iskemik
yang difus pada susunan saraf pusat atau dari komplikasi sistemik.
Walaupun dengan terapi antibiotik yang efektif, komplikasi neurologis tetap terjadi pada
30% pasien.

Edema Serebral
Beberapa derajat dari edema serebral sering terjadi pada meningitis bakterial. Komplikasi ini
merupakan penyebab penting kematian.

Kelumpuhan saraf kranial dan infark serebri


Kelumpuhan saraf kranial dan efek dari terganggunya aliran darah otak, seperti infark,
merupakan penyebab dari peningkatan tekanan intrakranial. Pada kasus tertentu, pungsi lumbal
atau insersi drain ventrikular diperlukan untuk mengurangi efek dari peningkatan ini. Pada infark
serebri, sel endotelial bengkak, proliferasi ke dalam lumen pembuluh darah dan sel yang
terinflamasi menginfiltrasi dinding pembuluh darah. Nekrosis fokal pada dinding arteri dan vena
memicu terjadinya trombosis. Trombosis vena lebih sering terjadi dibandingakan arteri.

54
Kerusakan parenkim otak
Kerusakan parenkim otak dapat menyebabkan :
 Defisit sensoris dan motoris
 Serebral palsi
 Learning disabilities
 Retardasi mental
 Buta kortikal
 Kejang

Serebritis
Inflamasi biasanya meluas sepanjang ruang perivaskuler sampai ke parenkim otak. Biasanya,
seribritis merupakan akibat dari penyebaran infeksi langsung, baik akibat infeksi otorhinologik
ataupun meningitis atau melalui penyebaran hematogen dari fokus infeksi ekstrakranial.

Ventrikulitis
Infeksi pada system ventrikel primer atau sekunder penyebaran mikroorganisem dari ruang
subaraknoid karena pasang surut CSS atau migrasi kuman yang bergerak. Komplikasi sering
terjadi pada neonates, pernah dilaporkan sampai 92% pada bayi dengan meningitis purulenta.
Apabila ventrikulitis disertai obstruksi aquaductus Sylvii, maka infeksinya menjadi stempat
(terlokalisasi) seperti abses, dengan peningkatan tekanan intracranial yang cepat dan dapat
menyebabkan herniasi. Pada ventrikulitis perlu pengobatan dengan antibiotic parenteral secara
massif, irigasi dan drainase secara periodic.

Efusi Subdural
Kemungkinan adanya efusi subdural perlu dipikirkan apabila demam tetap ada setelah 72 jam
pemberian antibiotic dan pengobatan suportif yang adekuat, ubun-ubun besar tetepa membonjol,
gambaran klinis meningitis tidak membaik, kejang fokal atau umum, timbul kelainan neurologis
fokal atau muntah-muntah. Diagnosis ditegakkan dengan transiluminasi kepala atau pencitraan.
Transiluminasi kepala dinyatakan positif bila daerah translusen asimetri, pada bayi berumur
kurang dari 6 bulan daerah trasnlusen melebihi 3cm, dan pada bayi berumur 6 bulan atau lebih
daerah trasnslusen melebihi 2 cm. selanjutnya efusi subdural mempunyai 4 kemungkinan: a.

55
kering sendiri, bila jumlahnya sedikit; b.menetap atau bertambah banyak; c. membentuk
membrane yang berasal dari fibrin; d. menjadi empiema.
Pengobatan efusi subdural masih controversial, tetapi biasanya dilakukan tap subdural
apabila terdapat penenkanan jaringan otak, demam menetap, kesadaran menurun tidak membaik,
peningkatan tekanan intracranial menetap, dan empiema. Dilakukan tap subdural tiap 2 hari
(selang sehari) sampai kering. Kalau dalam 2 minggu tidak kering dikonsulkan ke Bagian Bedah
Saraf untuk dikeringkan. Kalau lebih dari 2 minggu tidak kering akan terbentuk membrane yang
berasal dari fibrin dan dapat menghalangi pertumbuhan otak. Membrane akan membentuk
neovaskular yang ujungnya menempel di korteks serebri dan dapat merupakan focus iritatif akan
timbulnya epilepsy di kemudian hari. Pengeluar cairan satu kali tap maksimal 30ml pada kedua
sisi. Cairan yang keluar pada permulaan berwarna xantokrom, setelah tap beberapa kali menjadi
kuning muda.

Gangguan cairan dan elektrolit


Pada pasien meningitis bacterial kadang disertai dengan hipervolemia (edema), oliguria, gelisah,
iritabel, dan kejang. Hal ini disebabkan oleh karena SIADH, sekresi ADH berlebihan. Diagnosis
ditegakkan dengan meninmbang ulang pasien, memeriksa elektrolit serum, mengukur volume
dan osmolaritas urin dan mengukur berat jenis urin. Pengobatan dengan restriksi pemberian
cairan, pemberian diuretic (furosemid). Pada pasien berat dapat diberikan sedikit natrium.

Tuli
Kira-kira 5-30% pasien meningitis bacterial mengalami komplikasi tuli terutama apabila
disebabkan oleh S.penumoniae. Tuli konduktif disebabkan oleh karena infeksi telinga tengah
yang menyertai meningitis. Yang terbanyak tuli sensorineural. Tuli sensorineural lebih sering
disebabkan oleh karena sepsis koklear daripada kelainan N.VIII. Gangguan pendengaran dapat
dideteksi dalam waktu 48 jam sakit dengan BAEP. Biasanya penyembuhan terjadi pada akhir
minggu ke-2, tetapi yang berat menetap.
Pemberian deksametason dapat mengurangi komplikasi gangguan pendengaran apabila
diberikan sebelum pemberian antibiotic dengan dosis 0,6mg/kgBB/hari intravena diabgi 4 dosis
selama 4 hari. Komplikasi lain berupa hidrosefalus, kejang, hemiparesis, tetraparesis, dan

56
retardasi mental. Pada hidrosefalus dikonsulkan ke Bagian Bedah Saraf untung pemasangan
pirau ventrikulo-peritoneal.

3.12. TATA LAKSANA

Meningitis bakterial
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis. Idealnya kultur
darah dan likuor cerebrospinal (LCS) harus diperoleh sebelum antibiotik yang diberikan. Jika
bayi yang baru lahir dengan ventilator dan penilaian klinis menunjukkan pungsi lumbal mungkin
berbahaya, dapat ditunda hingga bayi stabil. Pungsi lumbal yang dilakukan beberapa hari
pengobatan awal berikut masih menunjukkan kelainan seluler dan kimia namun hasil kultur bisa
negatif.8
Mencari akses intravena, dan pemberian cairan. Neonatus dengan meningitis rentan untuk
mengalami hiponatremia akibat SIADH. Perubahan ini elektrolit juga berkontribusi terhadap
timbulnya kejang, terutama selama 72 jam pertama penyakit.
Peningkatan tekanan intrakranial sekunder akibat edema serebral jarang pada
bayi. Monitor kadar gas darah dengan ketat untuk memastikan oksigenasi yang memadai dan
Stabilitas metabolism.
MRI dengan gadoteridol, ultrasonografi, atau CT scan dengan kontras yang dibutuhkan
untuk menggambarkan kelainan intrakranial. Pediatric Academic Societies merekomendasikan
bahwa MRI dengan kontras harus dilakukan untuk neonatus dengan komplikasi meningitis 7-10
hari setelah memulai pengobatan untuk memastikan bahwa tidak ada penyulit yang
terjadi. Semua bayi yang baru lahir sembuh dari meningitis harus dinilai auditory evoked
Potential untuk skrining adanya ketulian.
Pada bayi dan anak-anak, Manajemen meningitis bakteri akut melibatkan kedua terapi
antimikroba yang tepat dan terapi suportif. Semua pasien harus evaluasi audiologic setelah
Selesai terapi.
Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan memantau pasien dengan memeriksa tanda-
tanda vital dan status neurologis dan balans cairan, menetapkan jenis yang dan volume cairan,
risiko edema otak dapat diminimalkan. Anak harus menerima cairan cukup untuk menjaga

57
tekanan darah sistolik pada sekitar 80 mm Hg, output urin 500 mL/m2/hari, dan perfusi jaringan
yang memadai. Meskipun menghindari SIADH adalah penting, mengurangi hidrasi pasien dan
Risiko penurunan perfusi serebral sama-sama penting juga.
Dopamin dan agen inotropik lain mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah dan
sirkulasi yang memadai.8
Bila anak dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara
intravena perlahan-lahan, apabila kejang belum berhenti pemberian diazepam dapat diulang
dengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang berhenti dilanjutkan dengan pemberian
fenobarbital dengan dosis awal 10-20mg/kgBB IM, 24 jam kemudian diberikan dosis rumatan 4-
5mg/kgBB/hari. Apabila dengan diazepam intravena 2 kali berturut-turut kejang belum berhenti
dapat diberikan fenitoin dengan dosis 10-20mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan dengan
kecepatan dalam 1 menit jangan melebihi 50 mg atau 1mg/kgBB/menit. Dosis selanjutnya
5mg/kgBB/hari diberikan 12-24 jam kemudian. Bila tidak tersedia diazepam, dapat digunakan
langsung phenobarbital dengan dosis awal dan selanjutnya dosis maintenance.1

Terapi antibiotik
Neonatus
Antibiotik harus diberikan segera setelah terdapat akses vena pada pasien dengan meningitis
bakteri. Secara konservatif, pengobatan antimikroba awal atau inisial terdiri dari ampisilin dan
kombinasi aminoglikosida (ampisilin dan cefotaxime juga). Jika S pneumoniae dicurigai,
vankomisin harus ditambahkan. Terapi empiris awal untuk penyakit late-onset pada bayi
prematur harus mencakup agen antistaphylococcus dan seftazidim, amikasin, atau meropenem.8
Ampisilin memiliki cakupan yang baik untuk coccus gram-positif, termasuk
streptococcus grup B, enterococcus, L monocytogenes, beberapa strain dari E coli, dan jenis H
influenzae B. Ampisilin juga dapat mencapai kadar yang adekuat dalam likuor cerebrospinal
(LCS).8
Aminoglikosida (misalnya, gentamisin, tobramycin, amikasin) mempunyai aktivitas yang
baik terhadap hampir kebanyakan basil Gram-negatif, termasuk P. aeruginosa dan Serratia
marcescens. Namun, aminoglikosida hanya dapat mencapai kadar marginal pada cairan LCS dan
ventrikel, bahkan ketika meninges meradang.8
Beberapa generasi ketiga sefalosporin mencapai kadar yang baik dalam LCS dan telah

58
muncul sebagai agen efektif terhadap infeksi gram negatif. Seftriakson berkompetisi dengan
bilirubin untuk pengikatan oleh albumin, dan dosis terapeutik ceftriaxone menurunkan cadangan
albumin dalam serum bayi baru lahir sebesar 39%, dengan demikian, ceftriaxone dapat
meningkatkan risiko ensefalopati bilirubin, terutama pada bayi baru lahir beresiko
tinggi. Seftriakson juga menyebabkan sludging (lumpur) empedu. Tidak satupun dari
sefalosporin memiliki aktivitas terhadap L. monocytogenes dan enterococcus dan, karenanya,
tidak boleh digunakan sebagai agen tunggal untuk pengobatan awal.Kombinasi ampisilin dan
Sefalosporin generasi ketiga diperlukan.
Jika patogen terbukti menjadi bakteri yang rentan ampisilin dengan low minimum
inhibitory concentration (MIC) ampisilin, maka ampisilin dapat dilanjutkan sendiri. Cefotaxime
dan seftriakson juga mempunyai aktivitas yang baik terhadap kebanyakan S.pneumoniae resisten
penisilin. Baik vankomisin dan cefotaxime harus diberikan pada pasien dengan meningitis S.
pneumonia sebelum hasil uji resistensi antibiotik tersedia.
Di antara aminoglikosida, gentamisin dan tobramycin telah digunakan secara ekstensif
dalam kombinasi dengan ampisilin. Meskipun kekhawatiran kadarnya pada LCS, agen ini telah
terbukti efektif bila dikombinasikan dengan antibiotik beta laktam-untuk pengobatan meningitis
yang disebabkan oleh organisme seperti streptococcus grup B dan enterococcus yang sensitif. 8
Infeksi yang melibatkan Staphylococcus S, anaerob, atau P. aeruginosa mungkin
memerlukan antimikroba lainnya, seperti oksasilin, methicillin, vankomisin, atau kombinasi dari
seftazidim dengan aminoglikosida. Penetrasi LCS dan keamanan agen antimikroba harus
menentukan penggunaan.
Agen etiologi dan penemuan klinis menjadi dasar dari lama pengobatan, namun
pengobatan selama 10 hari - 21-hari biasanya cukup untuk infeksi Streptococcus grup B. Waktu
yang lebih lama dibutuhkan untuk mensterilkan LCS dengan meningitis oleh bacil gram negatif,
dan biasanya diperlukan pengobatan selama 3-4 minggu .8
Lumbal pungsi ulangan diindikasi pada keadaan tidak adanya perbaikan klinis atau
meningitis yang disebabkan oleh strain S pneumonia yang resisten atau dengan basil enterik
gram negatif. Pada neonatus dengan meningitis basil gram negatif, pemeriksaan CSS selama
pengobatan diperlukan untuk memverifikasi kultur steril.Pemeriksaan ulang terhadap CSS
untukpemeriksaan kimia dan kultur harus dilakukan 48-72 jam setelah memulai pengobatan;
specimen lebih lanjut diperlukan bila tidak didapatkan sterilitas ataupun perbaikan klinis.8

59
Antibiotic Admin- Dose for birth Dose for birth Dose for birth Dose for birth
istration weight < 2000g weight >2000g weight < 2000g weight >2000g
Route and age 0-7 d and age 0-7 d and age >7 d and age >7 d

Penicillins

Ampicillin IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h

Penicillin-G IV 50,000 U q12h 50,000 U q8h 50,000 U q8h 50,000 U q6h

Oxacillin IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h

Ticarcillin IV, IM 75 mg q12h 75 mg q8h 75 mg q8h 75 mg q6h

Cephalosporins

Cefotaxime IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h

Ceftriaxone IV, IM 50 mg once 50 mg once 50 mg once 75 mg once


daily daily daily daily

Ceftazidime IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q8h

Tabel 6. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus berdasarkan berat
badan dan usia (mg/kg/dosis atau U/kg/dosis untuk dosis tertinggi diantara rentang dosis)
dan interval pemberian.8

60
Antibiotic Admin- Desired Initial dose Initial dose Dose for Dose for
istration Serum level for birth for birth birth birth
Route (mcg/mL) weight < weight weight < weight
2000g and >2000kg and 2000g and >2000g
age 0-7 d age 0-7 d age >7 d and age >7
(mg/kg / (mg/kg / (mg/kg / d (mg/kg /
dose)* dose)* dose)* dose)*

Aminoglycosides

Amikacin † IV, IM 20-30 7.5 q12h 10 q12h 10 q8h 10 q8h


(peak), < 10
(trough)

Gentamicin † IV, IM 5-10 (peak), 2.5 q12h 2.5 q12h 2.5 q8h 2.5 q8h
< 2.5
(trough)

Tobramycin † IV, IM 5-10 (peak), 2.5 q12h 2.5 q12h 2.5 q8h 2.5 q8h
< 2.5
(trough)

Glycopeptide

Vancomycin* † IV, IM 20-40 15 q12h 15 q8h 15 q8h 15 q6h


(peak), < 10
(trough)

*Dose stated is highest within dosage range.


† Serum levels must be monitored when patient has kidney disease or is receiving other
nephrotoxic drugs; adjust doses accordingly.

61
Tabel 7. Antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus yang membutuhkan dosis
berdasarkan kadar serum 8

Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak tahun 2004, terapi empirik untuk neonatus
dengan meningitis bakterial sebagai berikut :11
 Umur 0-7 hari
- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Sefotaksim 100 mg/kgBB/hari
setiap 12 jam IV atau
- Seftriakson 50 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV atau
- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Gentamisin 5 mg/kgBB/hari
setiap 12 ajm IV.
 Umur >7 hari
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 6 jam IV + Gentamisin 7,5 mg/kgBB/hari
setiap 12 jam IV atau
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV atau
- Seftriakson 75 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV.

Bayi dan anak


Pemberian antibiotik yang cepat pasien yang dicurigai meningitis adalah penting. Pemilihan
antibiotik inisial harus memiliki kemampuan melawan 3 patogen umum: S pneumoniae, N
Meningitidis, dan H.influenzae.
Menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA) practice guidelines for bacterial
meningitis tahun 2004, kombinasi dari vankomisin dan ceftriaxone atau cefotaxime dianjurkan
bagi mereka yang dicurigai meningitis bakteri, dengan terapi ditargetkan berdasarkan pada
kepekaan patogen terisolasi. Kombinasi ini memberikan respon yang adekuat terhadap
pneumococcus yang resisten penisilin dan H. Influenza tipe B yang resisten beta-laktam. Perlu
diketahui, Ceftazidime mempunyai aktivitas yang buruk terhadap penumococcus dan tidak dapat
digunakan sebagai substitusi untuk cefotaxime atau ceftriaxone.8
Oleh karena buruknya penetrasi vankomisin pada susunan saraf pusat, dosis yang lebih
tinggi 60 mg/kg/hari dianjurkan untuk mengatasi infeksi susunan saraf pusat. Cefotaxime atau
ceftriaxone cukup adekuat untuk pneumococcus yang peka. Namun, bila S.pneumonia terisolasi

62
mempunya MIC yang lebih tinggi untuk cefotaxime, dosis tinggi cefotaxime (300 mg/kg/hari)
dengan vankomisisn (60 mg/kg/hari) bisa menjadi pilihan.8
Terapi dengan Carbapenem merupakan pilihan yang baik patogen yang resisten
sefalosporin. Meropenem lebih dipilih dibandingkan imipenem oleh karena resiko kejang lebih
rendah. Antibiotik lain seperti oxazolidinon (linezolid), masih dalam penelitian. Fluorokuinolon
dapat menjadi pilihan untuk pasien yang tidak dapat menggunakan antibiotik jenis lain atau
gagal pada terapi sebelumnya.8
Pada pasien yang alergi beta-laktam (penisilin dan sefalospori) dapat dipilih vankomisin
dan rifampisin untuk kuman S.pneumoniae. Kloramfenikol juga direkomendasikan pada pasien
dengan meningitis meningococcal yang alergi beta-laktam.8
Penilaian LCS pada akhir terapi tidak dapat memprediksi akan terjadinya relaps atau
rekrudesensi dari meningitis. H.influenzae tipe B dapat menetap pada sekret nasofaring walopun
setelah terapi meningitis. Untuk alasan tersebut, pasien harus diberikan Rifampisin 20 mg/kg
dosis single selama 4 hari bila anak dengan resiko tinggi tinggal di rumah ataupun pusat
penitipan anak. N.meningitidis dan S.pneumoniae biasanya dapat di eradikasi dari nasofaring
setelah terapi meningitis berhasil.8

Antibiotic Dose (mg/kg/d) IV Maximum Daily Dose Dosing Interval

Ampicillin 400 6-12 g q6h

Vancomycin 60 2-4 g q6h

Penicillin G 400,000 U 24 million q6h

Cefotaxime 200-300 8-10 g q6h

Ceftriaxone 100 4g q12h

Ceftazidime 150 6g q8h

Cefepime* 150 2-4 g q8h

Imipenem † 60 2-4 g q6h

Meropenem 120 4-6 g q8h

Rifampin 20 600 mg q12h

63
*Minimal experience in pediatrics and not licensed for treatment of meningitis.
† Caution in use for treatment of meningitis because of possible seizures.

Tabel 8. Dosis antibiotik pada bayi dan anak dengan meningitis bakterial 8

Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi dan anak dnegan
meningitis bakterial sebagai berikut : 10
 Usia 1 – 3 bulan :
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Sefotaksim 200-300
mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
 Usia > 3 bulan :
- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Kloramfenikol 100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dnegan hasil kultur
dan resistensi.

Durasi pemberian antibiotik menurut IDSA 2004 guidelines for management of bacterial
meningitis adalah sebagai berikut :8
 N meningitidis - 7 hari
 H influenzae - 7 hari
 S pneumoniae - 10-14 hari
 S agalactiae - 14-21 hari
 Bacil aerob Gram negatif - 21 hari atau or 2 minggu
 L monocytogenes - 21 hari atau lebih

Terapi Deksametason
Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis bakterial yang
menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses inflamasi, penurunan edema
serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit didapatkan kerusakan otak.8

64
Begitu juga pada penelitian bayi dan anak dengan meningitis H.infulenzae tipe B yang
mendapat terapi deksametason menunjukkan penurunan signifikan insidens gejala sisa
neurologis dan audiologis, dan juga terbukti memperbaiki gangguan pendengaran. Oleh karena
itu IDSA merekomendasikan penggunaan deksametason pada kasus meningits oleh H.influenza
tipe B 10 – 20 menit sebelum atau saat pemberian antibiotik dengan dosis 0,15 – 0,6 mg/kg
setiap 6 jam selama 2-4 hari.1,8
Namun pemberian deksametason dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke SSP. Oleh
karena itu pemberiannya harus dengan pemikiran yang matang berdasarkan kasus, resiko dan
manfaatnya.8

Bedah
Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali jika ada komplikasi seperti empiema
subdural, abses otak, atau hidrosefalus.10

Meningitis Tuberkulosis 9
Berdasarkan rekomendasi American Academic of Pediatrics 1994 diberikan 4 macam obat
selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian INH dan Rifampisin selama 10 bulan.
Dasar pengobatan meningitis tuberkulosis adalah pemberian kombinasi obat anti-
tuberkulosa ditambah dengan kortikosteroid, pengobatan simptomatik bila terdapat kejang,
koreksi dehidrasi akibat masukan makanan yang kurang atau muntah-muntah dan fisioterapi.

Dosis obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah sebagai berikut:


1. Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 300 mg/hari.
2. Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari dengan maksimum dosis 600 mg/hari.
3. Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2000 mg/hari.
4. Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2500 mg/hari.
5. Prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu dilanjutkan dengan tappering off
untuk menghindari terjadinya rebound phenomenon.

65
Meningitis Viral
Kebanyakan meningitis viral jinak dan self-limited. Biasanya hanya perlu terapi suportif dan
tidak memerlukan terapi spesifik lainnya. Pada keadaan tertentu antiviral spesifik mungkin
diperlukan.
Pada pasien dengan defisiensi imun (seperti agammaglobulinemia), penggantian
imunoglobulin dapat digunakan sebagai terapi infeksi kronik enterovirus.

Herpes simplex meningitis


Manajemen antivirus HSV meningitis adalah kontroversial. Acyclovir (10 mg / kg IV q8h) telah
diberikan untuk HSV-1 dan HSV-2 meningitis. Beberapa ahli tidak menganjurkan terapi
antivirus kecuali bila diikuti dengan ensefalitis.

CMV Meningitis
Gansiklovir (dosis induksi 5 mg / kg q12h IV, dosis pemeliharaan 5 mg /kg q24h) dan foskarnet
(dosis induksi 60 mg / kg q8h IV, pemeliharaan dosis 90-120 mg / kg q24h IV) digunakan untuk
CMV meningitis pada host yang immunocompromised.

HIV Meningitis
Terapi antiretroviral (ART) mungkin diperlukan untuk pasien dengan meningitis HIV yang
terjadi selama sindrom serokonversi akut.

Meningitis Jamur 2

Candida
Terapi awal pilihan untuk meningitis Candida adalah amfoterisin B (0,7 mg / kg / hari).
Flusitosin (25 mg / kg qid) biasanya ditambahkan dan disesuaikan untuk mempertahankan
tingkat serum 40-60 mcg / mL, di berikan selama 6-12 minggu, bergantung dari efektivitas terapi
dan adanya efek samping.Terapi Azole dapat digunakan untuk follow-up terapi atau pengobatan
supresi. Peniadaan material prostetik (misalnya, shunts ventriculoperitoneal) adalah komponen
penting dalam terapi meningitis Candida yang berkaitan dengan prosedur bedah saraf.

66
Coccidioides immitis
Amfoterisin B merupakan drug of choice meningitis oleh coccidioides, diberikan secara
intravena dan intratekal. Dosis inisial intratekal 0,1 mg untuk 3 kali suntikan pertama.
Selanjutnya dosis ditingkatkan 0,25 – 0,5 mg 3-4 kali setiap minggu. Efek samping pemberian
secara intratekal seperti meningitis aseptic, nyeri punggung dan tungkai. Mikonazol dapat
diberikan secara intravena dan intratekal pada pasien yang tidak dapat mentorelansi dosis tinggi
dari Amfoterisin B.6
Regerensi lain menyebutkan flukonazol oral (400 mg / hari) sebagai terapi untuk C
immitis ataupun dengan dosis yang lebih besar flukonazol (1000 mg / hari) atau dengan
Kombinasi flukonazol dan amfoterisin B kombinasi flukonazol.

Histoplasma Capsulatum
Rekomendasi terapi meningitis capsulatum H adalah amfoterisin B liposomal di IV 5-mg/kg/hari
untuk total 175 mg / kg diberikan selama 4-6 minggu, diikuti oleh itraconazole oral 200-300 mg
dua kali untuk tiga kali sehari minimal 1 tahun atau sampai resolusi kelainan CSS dan antigen
Histoplasma.2,6

Meningitis cryptococcal
Dengan AIDS
Untuk terapi awal, amfoterisin B (0,7-1 mg / kg / hari, IV) selama paling sedikit 2
minggu, dengan atau tanpa flusitosin (100 mg / kg PO) terbagi dalam 4 dosis . preparat
Liposomal amfoterisin B dapat digunakan pada pasien dengan atau yang cenderung akan
berkembang menjadi disfungsi ginjal (amfoterisin B 3-4 liposom mg / kg / hari atau lipid
amfoterisin B kompleks 5 mg / kg / hari).
Untuk terapi konsolidasi, flukonazol (400 mg / d selama 8 minggu).Itrakonazol adalah
alternatif jika flukonazol tidak ditolerir. Untuk terapi pemeliharaan, terapi antifungi jangka
panjang dengan flukonazol (200 mg / d) yang paling efektif (disbanding itraconazole dan
amfoterisin B 1 mg / kg / minggu) untuk mencegah kambuh. Risiko relaps tinggi pada pasien
dengan AIDS. Dalam banyak kasus, meningitis kriptokokus menyebabkan TIK meningkat.
Mengukur tekanan pembukaan selama pungsi lumbar sangat dianjurkan. Buatlah upaya untuk
mengurangi tekanan tersebut dengan pungsi lumbal berulang, menguras lumbal, atau shunt atau

67
pemberian manitol, juga telah digunakan.Peran agen baru, seperti vorikonazol dan posaconazole,
belum diselidiki.Echinocandins tidak memiliki aktivitas terhadap kriptokokus. Untuk pengobatan
optimal untuk terkait HIV kriptokokal meningitis akut di wilayah terbatas sumber daya, agen-
agen yang digunakan adalah amfoterisin B dan flukonazol. Go to HIV-1 SSP Kondisi Asosiasi –
Meningitis untuk informasi lengkap tentang topic ini.

Tanpa AIDS
Untuk terapi induksi dan konsolidasi, amfoterisin B (0,7-1 mg / kg / hari) plus flusitosin
(100 mg / kg / hari) selama paling sedikit 4 minggu. Ini dapat diperpanjang sampai 6 minggu
komplikasi neurologis. Kemudian, flukonazol (400 mg / d) untuk minimal 8 minggu.Pungsi
lumbar dianjurkan setelah 2 minggu untuk mendokumentasikan sterilisasi dari CSS. Jika infeksi
berlanjut, terapi induksi lagi dianjurkan (6 minggu).

3.13 PENCEGAHAN

Meningitis Bakterial
Melakukan imunisasi yang direkomendasikan tepat waktu dan sesuai jadwal merupakan
pencegahan terbaik. Menjalani kebiasaan hidup sehat, seperti istirahat yang cukup, tidak kontak
langsung dengan penderita lain juga dapat membantu. Bila hamil, resiko meningitis oleh bakteri
Listeria (listeriosis) dapat dikurangi dengan memasak daging dengan benar, hindari keju yang
terbuat dari susu tanpa pasteurisasi.
Berikut beberapa vaksin untuk tiga bakteri penyebab meningitis: Neisseria meningitidis,
Streptococcus pneumoniae and Haemophilus influenzae type b (Hib):

Vaksin Meningococcus
Terdapat dua macam vaksin untuk Neisseria meningitidis yang tersedia di America Serikat.
Vaksin Meningococcus polisakarida (Menomune®). Vaksin Meningococcus conjugate,
Menactra® and Menveo®. Vaksin Meningococcus tidak dapat mencegah semua tipe penyakit,
namun dapat memberikan proteksi orang-orang yang dapat sakit jika tidak diberi vaksin. Vaksin
meningococcus conjugate di rekomendasikan rutin untuk orang berusia 11 – 18 tahun dan anak
serta dewasa yang mempunyai resiko tinggi.

68
Vaksin Pneumococcal
Terdapat dua tipe dari vaksin pneumococcus yang tersedia : Vaksin polisakarida dan konjugasi.
Vaksin pneumococcus konjugasi, PCV7 (Prevnar®), yang diproduksi akhir tahun 2000,
merupakan vaksin pertama yang digunakan untuk anak-anak usia kurang dari 2 tahun. PCV13
(Prevnar 13®), diproduksi awal tahun 2010, menggantikan PCV7. Vaksin pneumococcus
sebagai pencegahan penyakit pada anak-anak usia 2 tahun atau lebih dan dewasa sudah
digunakan sejak tahun 1977. Pneumovax®, 23-valent polysaccharide vaccine (PPSV) di
rekomendasikan untuk dewasa usia 65 tahun atau lebih, untuk usia 2 tahun atau lebih yang
mempunyai resiko tinggi penyakit Pneumococcus (termasuk penyakit sel sabit, infeksi HIV, atau
kondisi imunokompromais, dan untuk usia 19-64 tahun yang merokok dan mempunyai asma.

Vaksin Hib
Vaksin Haemophilus influenzae tipe b (Hib) mempunyai efektivitas yang tinggi melawan
meningitis bakterial oleh bakteri Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin Hib dapat mencegah
can prevent pneumonia, epiglottitis, dan infeksi serius lainnya yang disebabkan oleh bakteri Hib.
Vaksin ini di rekomendasikan untuk semua anak usia kurang dari 5 tahun di Amerika Serikat,
dan biasa diberikan pada bayi mulai usia 2 bulan. Vaksin Hib dapat dikombinasikan dengan
vaksin lainnya.

Meningitis Tuberkulosis
Vaksiniasi BCG memberikan efek proteksi (hampir 64%) terhadap meningitis TB. Peningkatan
berat badan dibandingkan umur berhubungan dengan penurunan resiko dari penyakit ini.

Meningitis Viral
Seseorang yang menderita infeksi virus dapat sewaktu-waktu berkembang menjadi meningitis.
Tidak terdapat vaksin untuk penyebab tersering dari meningitis virus. Cara terbaik untuk
mencegahnya adalah dengan mencegah terjadinya infeksi virus. Namun, hal ini sulit dilakukan
oleh karena seseorang dapat menderita infeksi virus dan menyebarkan virus tersebut walaupun
tidak terlihat sakit.
Berikut beberapa cara untuk mengurangi resiko terserang infeksi virus atau
menyebarkannya ke orang lain :

69
 Cuci tangan dengan benar dan sering, terutama setelah mengganti popok, menggunakan
toilet, batuk atau bersin dan memegang hidung.
 Bersihkan benda-benda yang mungkin terkontaminasi, seperti pegangan pintu dan remote
control tv dengan sabun dan air, lakukan desinfeksi dengan mengencerkannya dengan
cairan pemutih yang mengandung klorin.
 Hindari berciuman atau bertukar gelas minuman, alat makan, lipstick atau benda lain
dengan seseorang yang sakit atau dengan orang lain saat kita sakit.
 Pastikan seluruh anggota keluarga sudah divaksin. Vaksinasi termasuk jadwal vaksinasi
anak-anak dapat mencegah anak melawan beberapa penyakit yang da[at menyebabkan
meningitis virus. Termasuk vaksin untuk campak dan gondongan (MMR) serta cacar air (
vaksin Varicella-zoster).

 Hindari gigitan nyamuk atau serangga lainnya yang membawa penyakit yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia.
 Kontrol tikus dan sejenisnya.

Meningitis Jamur
Seseorang dengan imunosupresi (infeksi HIV) dapat mencoba menghindari kotoran dari burung,
kegiataan yang berhubungan dengan debu dan kotoran lainnya, teerutama jika tinggal di region
geografis dimana terdapat jamur seperti Histoplasma, Coccidioides atau spesies Blastomyces.
Seseorang dengan HIV tidak dapat terhindar sepenuhnya. Beberapa pedoman merekomendasikan
profilaksis anti jamur jika tinggal di regio geografis dimana insidens infeksi jamur sangat tinggi.

3.14 PROGNOSIS

Meningitis bakterial 1
Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara lain:
1. Umur pasien
2. Jenis mikroorganisme
3. Berat ringannya infeksi
4. Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan

70
5. Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan

Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir yang menderita
meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat disertai DIC mempunyai prognosis yang
kurang baik. Apabila pengobatan terlambat ataupun kurang adekuat dapat menyebabkan
kematian atau cacat yang permanen. Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten terhadap
antibiotik bersifat fatal.
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang adekuat dan
pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan dapat diturunkan. Walaupun
kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh bakteri gram negatif masih sulit diturunkan, tetapi
meningitis yang disebabkan oleh bakteri-bakteri seperti H.influenzae, pneumokok dan
meningokok angka kematian dapat diturunkan dari 50-60% menjadi 20-25%. Insidens sequele
Meningitis bakterialis 9-38%, karena itu pemeriksaan uji pendengaran harus segera dikerjakan
setelah pulang, selain pemeriksaan klinis neurologis. Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan
dengan temuan klinis pada saat itu.1,9

Meningitis Tuberkulosis
Sebelum ditemukannya obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas meningitis tuberkulosis hampir
100%. Dengan obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas dapat diturunkan walaupun masih tinggi
yaitu berkisar antara 10-20% kasus. Penyembuhan sempurna dapat juga terlihat. Gejala sisa
masih tinggi pada anak yang selamat dari penyakit ini, terutama bila datang berobat dalam
stadium lanjut. Gejala sisa yang sering didapati adalah gangguan fungsi mata dan pendengaran.
Dapat pula dijumpai hemiparesis, retardasi mental dan kejang. Keterlibatan hipothalamus dan
sisterna basalis dapat menyebabkan gejala endokrin. Saat permulaan pengobatan umumnya
menentukan hasil pengobatan.

Meningitis Viral 9
Penyakit ini self-limited dan penyembuhan sempurna dijumpai setelah 3-4 hari pada kasus ringan
dan setelah 7-14 hari pada keadaan berat.

71
Meningitis Jamur
Pada pasien yang tidak diobati, biasanya fatal dalam beberapa bulan tetapi kadang-kadang
menetap sampai beberapa tahun dengan rekuren,remisi dan eksaserbasi. Kadang-kadang jamur
pada cairan serebrospinal ditemukan selama tiga tahun atau lebih. Telah dilaporkan beberapa
kasus yang sembuh spontan.

72
BAB IV
KESIMPULAN

Meningitis adalah proses infeksi dan inflamasi yang terjadi pada selaput otak. Infeksi ini
disertai dengan frekuensi komplikasi akut dan resiko morbiditas kronis yang tinggi. Klinis
meningitis dan pola pengobatannya selama masa neonatus (0 – 28 hari) biasanya berbeda dengan
polanya pada bayi yang lebih tua dan anak – anak. Meningitis dapat terjadi karena infeksi virus,
bakteri, jamur maupun parasit. Meskipun demikian, pola klinis meningitis pada masa neonatus
dan pasca – neonatus dapat tumpang tindih, terutama pada penderita usia 1 – 2 bulan dimana
Streptococcus group B, H. influenzae tipe B, meningococcus, dan pneumococcus semuanya
dapat menimbulkan meningitis.
Tanpa memandang etiologi, kebanyakan penderita dengan infeksi sistem saraf pusat
mempunyai sindrom yang serupa. Gejala – gejala yang lazim adalah : nyeri kepala, nausea,
muntah, anoreksia, gelisah dan iritabilitas. Sayangnya, kebanyakan dari gejala – gejala ini sangat
tidak spesifik. Tanda – tanda infeksi sistem saraf pusat yang lazim, disamping demam adalah :
fotofobia, nyeri dan kekakuan leher, kesadaran kurang, stupor, koma, kejang – kejang dan defisit
neurologis setempat. Keparahan dan tanda – tanda ditentukan oleh patogen spesifik, hospes dan
penyebaran infeksi secara anatomis
Penyakit ini menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang signifikan di seluruh
dunia. Keadaan ini harus ditangani sebagai keadaan emergensi. Kecurigaan klinis meningitis
sangat dibutuhkan untuk diagnosis. Bila tidak terdeteksi dan tidak diobati, meningitis dapat
mengakibatkan kematian.
Selama pengobatan meningitis, perlu dimonitor efek samping penggunaan antiobiotik
dosis tinggi; periksa darah perifer serial, uji fungsi hati dan uji fungis ginjal. Perlu dilakukan
pemantauan ketat terhadap tumbuh kembang pasien yang sembuh dari meningitis.

73
DAFTAR PUSTAKA
1. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 40-6, 339-71
2. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Mar 29th, 2011. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview. Accessed May 29th,2011.
3. Sitorus MS. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3546/1/anatomi-mega2.pdf. Accessed
June 1st, 2011.
4. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention. Updated: August
6th, 2009 Available from : http://www.cdc.gov/meningitis/about/causes.html. Accessed
May 29th, 2011.
5. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier saunders;
2005. h. 106-13.
6. Prober CG. Central Nervous System Infection. Dalam : Behrman, Kliegman, Jenson,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. h.
2038-47.
7. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview. Accessed May 29th, 2011.
8. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta: Bagian
Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.
9. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid 1.
Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 189-96.
10. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2004 : 200 – 208.
11. Cordia W,dkk. Meningitis Viral. Updated: Mar 29th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1168529-overview. Accessed May 29th, 2011.
12. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention. Updated: August
6th, 2009 Available from : http://www.cdc.gov/meningitis/about/ prevention.html.
Accessed June 1st, 2011.

74

Anda mungkin juga menyukai