Anda di halaman 1dari 41

REFLEKSI KASUS HIDUP

Pembimbing :
dr. Martiana Suciningtyas TA, Sp.F.M
Disusun Oleh :
Idman Gushaendri
030001700138

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 19 APRIL 2021 - 14 MEI 2021
YOGYAKARTA 2021
Nama : Idman Gushaendri

NIM : 030001700138 – Usakti

Periode : 19 April 2021 – 15 Mei 2021

Pembimbing : dr. Martiana Suciningtyas TA, Sp.F.M

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
-----------

1. Kronologi Kasus

 Identitas
- Nama : Ny. S
- Usia : 40 tahun
- Pekerjaan : ART
- TB : 155cm
- BB : 45Kg
- Waktu pemeriksaan : 27 April 2021
 Kronologi
Seorang ART, Ny.S yang berusia 40 tahun diserang oleh majikannya
yang tidak puas dengan hasil pekerjaanya. Ny.S mengalami luka di
beberapa bagian tubuh dan berteriak meminta pertolongan dan dibawa ke
RS oleh tetangga yang mendengar teriakannya. TB : 155cm, BB : 45Kg,
TV : DBN
2. Positif dan Negatif pada kasus
 Positif :
- Kasus ini segera di ketahui dan terungkap pada saat cidera pasien
masih belum parah
- Tindakan kekerasan yang dilakukan majikan korban dapat diproses
secara hukum dengan segera
- Kekerasan yang diterima korban masih belum terlalu parah
 Negatif :
- Korban kemungkinan sudah lama mendapat tindakan kekerasan dan
tidak melapor dan kurangnya keterangan tentang kekerasan terkait
- Korban datang dengan tetangganya yang mana kemungkinan tidak
terlalu mengenal korban dan hanya membantu
- Korban dapat mengalami gangguan secara psikis walaupun lukanya
masih ringan
3. Masalah
 Tidak kekerasan oleh majikan
 Ny.S mengalami luka memar di beberapa bagian tubuh
- Di atas Os. Clavicula Dextra
- Pada bagian bawah leher kanan
- Di atas Os. Clavicula Sinistra
- Pada Gluteus sinistra bagian inferior
- Pada Paha bagian posterior dextra
 Pertelongan oleh tetangga dan dibawa ke RS
4. Analisis
 Deskripsi Luka
- Luka Memar

Trauma yang terjadi pada korban adalah kekerasan bersifat mekanik yang
berasal dari benda tumpul yang menyebabkan luka memar dibeberapa lokasi yatu
pada gluteus sinistra bagian inferior, pada paha bagian posterior dextra.
Mekanisme terbentuknya memar/contusio disebabkan oleh benturan benda
tumpul yang menyebabkan penghancuran atau robeknya jaringan subkutan atau
dermis tanpa menyebabkan putusnya kulit di atasnya atau mukosa. Hal tersebut
menyebabkan pecahnya pembuluh darah, terjadi ekstravasasi darah keluar dari
pembuluh darah dan terkumpul di bawah jaringan. Kumpulan darah disertai
dengan pembengkakan dan nyeri.
Sulit untuk menentukan durasi dari luka memar itu sendiri. Berikut
perubahan yang tampak pada tiap harinya.

Pada kasus ini luka memar yang tampak kebiruan yang mana dapat di
klasifikasikan bahwa kemungkinan luka ini sudah 1-3 hari yangmana
kemungkinan ini merupakan luka kekerasan yang sudah lama.

Luka lain yang ada pada korban ini adalah luka yang mana juga
merupakan luka memar tetapi tampak masuk kedalam durasi yang fresh dan
masih berwarna kemerahan yang mana ini merupakan luka kekerasan yang baru
saja terjadi dalam beberapa jam terakhir sebelum korban di periksa.

 Aspek medikolegal

Pada dasarnya tindakan yang dilakukan oleh pelaku adalah penganiayaan yang
dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP”) adalah penganiayaan
fisik. Tindak pidana penganiayaan itu sendiri diatur dalam Pasal 351 KUHP :
(1)  Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2)  Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3)  Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
(4)  Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5)  Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pada kasus ini tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku adalah juga terjadi
dalam lingkup rumah tangga yang mana juga di atur pada Pasal 44 ayat (1) KUHP yang
dapat mengancam pelaku minimal 5 tahun penjara

 Alur pada pasien

Pada kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan No. 1226 Tahun 2009 tentang Pedoman. Penatalaksanaan Pelayanan Terpadu
Korban Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Rumah Sakit. Berdasarkan alur
tersebut pada pasien harus di lakukan pemeriksaan fisik dan medikolegal, konseling
psikososial, hukum & Lab. Penunjang.

 Anamnesis
Pada kasus ini anamnesis masih belum lengkap. Anamnesis pada kasus kekerasan meliputi :
a. Anamnesis umum  usia, tanggal dan tempat lahir, status perkawinan, riwayat
kecelakaan, riwayat penyakit lain seperti hipertensi, DM, epilepsi, katalepsi, dan sinkop.
b. Anamnesis khusus  waktu kejadian dan pelaporan (tanggal dan jam), apakah korban
memberikan perlawanan (mungkin ada bekas tindak kekerasan dan kerokan kuku
menunjukkan sel epitel kulit dan darah dari pelaku), apakah alat yang digunakan untuk
melakukan tindakan kekerasan, apakah pernah pelaku melakukan tindakan serupa
sebelumnya, apakah majikannya memiliki kebiasaan melakukan hal tersebut.

 Pemeriksaan
Pemeriksaan umum : deskripsi penampilan (wajah, tipe rambut, hidung, mata, telinga),
keadaan emosional, apakah ada tanda bekas kekerasan (memar atau luka lecet pada
daerah mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha bagian dalam dan pinggang),
pemeriksaan tanda vital dan antropometri, pemeriksaan fisik jantung, paru dan abdomen
dan juga ekstremitas pasien (Status Generalis)
5. Kesimpulan
Pada kasus ini korban datang dengan keadaan sadar dan di temani oleh
tetangganya yang membantu membawa ke rumah sakit pada 27 April 2021.
Korban masih dapat menyebutkan identitasnya dan semua tanda vital korban
normal. Menurut keterangan korban dia mendapat tindakan kekerasan dari
majikannya yang juga dapat di buktikan dengan adanya luka memar pada
beberapa bagian yang kemungkinan diakibatkan oleh benturan benda tumpul,
luka memar pada bagian tubuh korban memiliki perbedaan yang mana masih ada
yang berwarna merah yangmana masih berdurasi kemungkinan hanya beberapa
jam dari kejadian, lalu terdapat juga yang sudah berwarna kebiruan yang
dicurigai merupakan bekas luka yang sudah lebih dari 1 hari.
6. Referensi
- Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta :
Bagian Kedokteran Forensik FKUI.
- Bardale R. Priciples of Forensic Medicine & Toxicology. India : Departement of
Forensic Medicine Goverment Medical College and Hospital Nagpur. 2011
REFLEKSI KASUS

Pembimbing :

dr. Martiana Suciningtyas TA, Sp.FM (K)

Disusun Oleh :

Moh. Fahmi Suratinoyo

030001700077

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 19 APRIL 2021 - 15 APRIL 2021


YOGYAKARTA 2021

1. Identitas pasien
Nama : Nn. Maryam
Jenis kelamin : perempuan
Usia : 25 tahun
Tinggi badan : 159cm
Berat bada : 50 kg
Agama : Islam
Alamat : Jl. Borrahe VII No. 7
Pendidikan : SMA
Tanggal Pemeriksaan : 26 April 2021
2. Kronologi Kasus
Nn. M, Seorang LC (lady / Ladies escort) Yang bekerja di tempat karaoke daerah
Yogyakarta berseteru dengan temannya sesama LC. Adu mulut berakhir dengan
serangan fisik dan Nn. M mengalami luka-luka di beberapa bagian tubuh. Nn. M
ditolong oleh teman lain dan dibawa ke IGD RS.

3. Positif dan negatif yang di rasa dalam kasus


a. Positif
 Kasus berisikan identitas korban berupa (nama, jenis kelamin dan
pekerjaan)
 Serta lokasi / tempat kejadian
 segera dibawa menuju IGD RS sehingga dapat di lihat luka yang
di temukan apakah sesuai dengan pengakuan korban atau tidak.
 Pasien datang dengan keadaan sadar dan kooperatif sehingga
dapat menjelaskan kronologis kejadian.
 Korban juga di antar oleh teman kerja yang memungkinkan
menjadi saksi mata.
b. Negatif
 Kronologis kejadian tidak di tampilkan dengan lengkap, siapa dan
kapan kejadian berlangsung.
 serta korban di serang apakah menggunakan alat atau tidak.
 Sebaiknya korban melaporkan terlebih dahulu ke pihak kepolisian
untuk kepentingan pembuatan VeR dan mendapatkan pendamping
untuk di lakukan pemeriksaan lebih lanjut.

4. Masalah yang akan dibahas


a. Anamnesis untuk mengetahui kronologis dan membuktikan terjadinya
penganiayaan pada korban yaitu alur mengapa bisa terjadi penyerangan
terhadap korban, jenis kekerasan yang dialami, kapan dan apakah korban
di serang menggunakan alat tertentu atau tidak .
b. Pemeriksaan fisik untuk mengetahui kualifikasi luka yang dialami oleh
korban untuk menetapkan hukuman yang sesuai seperti terdapat memar
dan luka gores pada korban

5. Analisis/pembahasan
Pada kasus ini belum di lakukan anamnesis lengkap. Anamnesis pada kasus
penganiayaan meliputi :

Anamnesis : Nama, Usia, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan, urutan


kejadian (kronologis kejadian), oleh siapa, kapan dan dimana kejadian tersebut
berlangsung , korban di serang menggunakan apa, berapa kali, orang-orang yang
berada di sekitar tempat kejadian.

Pemeriksaan Fisik : ( Inform Consent ) perlu di lakukan pemeriksaan keadaan


umum ( kesadaran dan kesan sakit), pemeriksaan tanda vital ( Tekanan Darah,
Frekuensi Nadi, Suhu dan Pernapasan ), Cuci tangan, gunakan sarung tangan.
Deskrpisi Luka :

Perlu diketahui apakah luka yang dialami oleh korban mengganggu pekerjaan
atau aktivitas sehari-hari atau tidak untuk menentukan kualifikasi luka korban.

Pada paha kiri bawah depan terdapat luka memar berbentuk bulat berwarna
merah keunguan dan luka gores dengan ukuran 7cm berbatas tegas.

Tampak pada lengan bawah kiri


(depan) sebuah luka memar
berwarna keunguan berukuran
2,5cm batas tidak tegas

Tampak pada lengan bawah kiri


sebuah luka gores berukuran
0,5cm berbatas tegas
Penganiayaan ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang
lain, tindakan penganiayaan yang sering terjadi ialah pemukulan dan kekerasan
fisik. selain menyebabkan luka pada badan atau anggota gerak tak jarang
membuat korban menjadi cacat fisik seumur hidup hingga kematian. Selain itu
tak jarang pula tindakan penganiayaan menimbulkan efek atau dampak pada
psikis korban seperti trauma, ketakutan, ancaman, hingga gangguan jiwa /
mental. Tidak sedikit penganiayaan dilakukan secara sengaja karena di sebabkan
oleh beberapa faktor yaitu dendam, pencemaran nama baik, perasaan di khianati
atau di rugikan. kualifikasi luka di bidang kedokteran dengan hukum pidana
berbeda sehingga harus disesuaikan. Kualifikasi luka umumnya hanya dibagi tiga
yaitu:

a) Luka golongan C atau luka derajat pertama, korban tindak pidana hanya
memerlukan pemeriksaan atas kondisinya dan dari hasil pemeriksaan kedokteran
forensik tidak memerlukan perawatan lebih lanjut di rumah sakit. Kesimpulan
atas luka derajat pertama di dalam VR, dalam konteks hukum pidana
berhubungan dengan tindak pidana penganiayaan ringan sebagaimana ditentukan
di dalam pasal 352 KUHP (luka yang tidak berakibat penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian).
a. penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, dengan
penganiayaan ringan, dengan pidana penjara tiga bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
b. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan
itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya
b) Luka golongan B atau luka derajat kedua, yaitu luka yang memerlukan
perawatan terhadap korban tindak pidana untuk sementara waktu. Kesimpulan
yang diberikan atas luka derajat kedua adalah luka yang menyebabkan
terhalangnya melakukan jabatan/pekerjaan/ aktivitas untuk sementara waktu.
Kesimpulan dalam VR dihubungkan dengan pasal 351 ayat (1) KUHP.
a. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
b. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
c. Jika mengakibatkan kematian diancam dengan pidana tujuh tahun.
c) Luka golongan A atau luka derajat ketiga yaitu luka yang mengakibatkan luka
berat sehingga terhalang dalam menjalankan jabatan/pekerjaan/aktivitas. Hal ini
berhubungan dengan pasal 90 KUHP tentang luka berat. Kualifikasi luka derajat
ketiga dari hasil pemeriksaan kedokteran forensik, dikualifikasi sebagai
penganiayaan berat yang diatur di dalam Pasal 351 ayat (2) dan/atau Pasal 354
ayat (1).
a. Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam karna
melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama
delapan tahun.
b. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun

6. Kesimpulan
Penganiayaan ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang
lain. Pada kasus penganiayaan perlu di ketahui kualifikasi luka yang di temukan
untuk menetapkan hukum pidana yang sesuai dan dapat di berikan edukasi
kepada korban agar dapat terlebih dahulu melapor ke kepolisian untuk
mendapatkan surat permintaan visum. Berdasarkan informasi pada kasus ini
dapat di simpulkan bahwa luka yang dialami oleh korban adalah golongan C
karena luka yang di alami oleh korban tidak menghambat pekerjaan dan aktivitas
sehari-hari.
Daftar pustaka :
1. Santoso SP. Analisis Peran Visum et Repertum pada pelaku penganiayaan,
ditinjau dari pasal 351 ayat (1) kitab undang-undang hukum pidana (KUHP)
(studi kasus perkara undang undang nomor: 247/PID.B/2014/PN.Cibadak).
Jurnal Ilmiah WIDAYA. 2016;3:3
2. Ansar N. Penggunaan Alat Bukti Forensik dalam Pembuktian Tindak Pidana
Penganiayaan. 2020
3. Fikri F. Anlasis yuridis terhadap delik penganiayaan berencana. Jurnal ilmu
hukum legal opinion. 2013;2:1
REFLEKSI KASUS HIDUP

Pembimbing :
dr. Martiana Suciningtyas TA, Sp.F.M
Disusun Oleh :
Tifani Amalia Isma
030001700116

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 19 APRIL 2021 - 14 MEI 2021
YOGYAKARTA 2021
TUGAS REFLEKSI KASUS HIDUP

Nama : Tifani Amalia Isma

NIM : 030001700116

Kelompok : USAKTI

Periode : 19 April – 15 Mei 2021

Pembimbing : dr. Martiana Suciningtyas TA, Sp.FM (K)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

1. Identitas pasien
Nama : Tn.B
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 36 tahun
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 70 kg
Alamat :-
Pendidikan :-
Waktu pemeriksaan : 26 April 2021

2. Kronologi Kasus :
Tn.B, usia 36 tahun, mengendarai motor menuju ke rumah setelah pulang bekerja. Di tengah
jalan, sebuah mobil menabrak motor Tn.B jatuh berguling-guling ke pinggir jalan. Polisi
yang mengetahuinya langsung membawa ke IGD RS.

Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang-berat
Tanda vital : dbn

Deskripsi luka :
Pada leher tampak adanya cedera
pada dahi 3cm diatas alis terdapat luka memar dengan bentuk bulat, sewarna dengan kulit
agak kemerahan, arah tidak dapat ditentukan, kondisi luka bersih dengaan dasar kulit,
ukuran diameter 4cm
pada bibir 1cm sebelum ujung bibir tampak luka gores memanjang dengan bentuk tidak
beraturan arah tidak dapat ditentukan, kondisi luka bersih dengaan dasar kulit.
Pada siku kanan, terdapat luka memar dengan bentuk tidak beraturan dan berwarna merah,
tampak disertai luka lecet, arah tidak dapat ditentukan, kondisi luka bersih dengaan dasar kulit,
ukuran diameter 5cm

Pada paha kanan bagian luar, 10cm diatas lutut terdapat luka lecet tekan bentuk tidak
beraturan dalam jumlah lebih dari 1, arah tidak dapat ditentukan, kondisi luka bersih dengaan
dasar kulit, ukuran diameter 10cm.

Pada paha kanan dibagian sisi luar tampak luka lecet serut dan luka lecet gores disertai memar
berwarna kemerahan, arah tidak dapat ditentukan, kondisi luka bersih dengaan dasar kulit,
ukuran diameter 9cm.
Pada tungkai kanan bagian bawah 4 cm dibawah lutut tampak luka lecet gores, kondisi luka
bersih dengaan dasar kulit, ukuran diameter 4cm. Dan pada 4cm diatas mata kaki tampak luka
lecet tekan juga dengan kondisi luka bersih dengan dasar kulit ukuran diameter 3cm.

Pada lutut kiri tampak luka lecet gores dengan bentuk tidak beraturan arah tidak dapat
ditentukan, kondisi luka bersih dengaan dasar kulit, ukuran diameter 2cm.

Pada kaki kiri tampak luka lecet tekan dengan bentuk tidak beraturan arah tidak dapat
ditentukan, kondisi luka bersih dengaan dasar kulit, dengan jarak luka 1 dan yang lain diameter
10cm.
3. Positif dan negative yang didapat :
 Positif : pada kasus didapatkan identitas yang cukup sehingga dapat memudahkan
mencari informasi keluarga korban untuk diberi tahu. Polisi yang mengetahuinya juga
langsung dengan sergap membawa ke IGD RS sehingga dengan cepat dilakukan
penanganan terhadap korban. Luka yang ditampilkan sudah sangat jelas disertai gambar
dan ukurannya sehingga lebih mudah pada saat pembuatan ver.
 Negative : pada kasus tidak dijelaskan apakah korban memakai APD lengkap saat
mengendara atau tidak, apakah saat mengendara baik dari penabrak dan juga korban
dengan kecepatan tinggi atau tidak. Serta dalam kasus juga tidak dijelaskan pada saat
korban terguling kepinggir jalan apakah kepala korban sempat terbentur batu atau tidak
yang nantinya akan berpengaruh terhadap kondisi korban.

4. Masalah yang akan dibahas :


Pemeriksaan penunjang apa saja yang kira-kira dibutuhkan pada kasus ini? Serta apa saja
aspek hukum terkait dengan kecelakaan lalu lintas?

5. Analisis/pembahasan :
Pada anamnesis yang diperoleh dalam kasus ini mengarah kepada kecelakaan lalu lintas.
Namun belum diketahui penyebab pasti dari kecelakaan lalu lintas yang terjadi. Terlebih lagi
informasi yang didapatkan saat anamnesis tidak begitu akurat karena keluarga tidak begitu
mengetahui kronologis kejadian dan korban saat ini belum sadar penuh dan masih tidak bisa
belum bisa mengingat kejadian sebelum kecelakaan terjadi dengan jelas. Maka perlu
dilakukannnya pemeriksaan penunjang untuk dapat menyingkirkan kemungkinan penyebab-
penyebab kecelakaan lalu lintas. Seperti yang diketahui, kecelakaan lalu lintas juga sering
disebabkan karena pengemudi mengantuk atau dalam keadaan mabuk atau bisa samapi
dalam keadaan pengaruh obat-obatan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain screening alcohol dan obat-obatan.
Kadar puncak alcohol dalam darah tercapai dalam 30-90 menit sesudahnya, dan dalam 12
jam sudah tercapai keseimbangan kadar alcohol alcohol dalam darah, usus, dan jaringan
lunak. Kadar alcohol darah kemudian akan menurun dengan kecepatan bervariasi antara 12-
20 mg% perjam. Tekanan alcohol untuk menimbulkan gejala keracunan bervariasi
tergantung dari kebiasaan minum dan sensitivitas seseorang. Umumnya 35gr alcohol dapat
menimbulkan penurunan kemampuan untuk menduga jarak dan kecepatan serta
menimbulkan euphoria. Kadar alcohol dalam darah dapat dihitung dengan menggunakan
rumus :
a=cxpxr
a = jumlah alcohol yang diminum (g)
c = kadar alcohol dalam darah (mg%)
p = berat badan (kg)
r = konstanta (0.007)
pada kadar 30-40 mg% alcohol sudah dapat menimbulkan penciutan lapang pandang serta
penurunan ketajaman penglihatan.
Pada korban hidup, bau alcohol yang keluar dari udara pernafasan menjadi petunjuk awal.
Namun harus dapat dibuktikan Kembali dengan pemeriksaan laboratorium baik melalui urin
atau darah vena.
Untuk pemeriksaan obat-obatan bahan terpenting yang harus diambil adalah urin.
Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya narkotika minimal adalah kromatografi
lapis tipis (TLC). Untuk mengetahui seseorang apakah ian pecandu atau bukan dapat
diketahui dengan uji nalorfin, analisa urin, dan uji Marquiz.
Selain itu pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan ialah ct scan kepala untuk mengetahui
lokasi cedera pada kepla sehingga dapat dilkukan tatalksana yang sesuai sehingga dapat
berpengaruh terhadap kesembuhan korban.

Aspek hukum terkait kecelakaan lalu lintas :


Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan,
Pengertian Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak
disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan
korban manusia dan/atau kerugian harta benda
- Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengemudi, Pemilik Kendaraan Bermotor,
dan/atau Perusahaan Angkutan. Pasal 234 :
> Ayat (1) Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang
dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.
> Ayat (2) Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan
Umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena
kelalaian atau kesalahan Pengemudi.
> Ayat (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika: a.
adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;
b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau
c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.

- Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah: Pasal 238


> Ayat (1) Pemerintah menyediakan dan/atau memperbaiki pengaturan, sarana, dan
Prasarana Lalu Lintas yang menjadi penyebab kecelakaan.
> Ayat (2) Pemerintah menyediakan alokasi dana untuk pencegahan dan penanganan
Kecelakaan Lalu Lintas.
Pasal 239 > Ayat (1) : Pemerintah mengembangkan program asuransi Kecelakaan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
> Ayat (2) Pemerintah membentuk perusahaan asuransi Kecelakaan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

- Hak Korban Pasal 240 Korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak mendapatkan:
> Pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya
Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah;
> Ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu
Lintas; dan
> Santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.
Pasal 241 "Setiap korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak memperoleh pengutamaan
pertolongan pertama dan perawatan pada rumah sakit terdekat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan".

6. Kesimpulan :
Dalam menangani suatu kasus khususnya kecelakaan lalu lintas perlu dilaksanakan manajemen
holistic, serta penting juga untuk mengetahui apakah kecelakaan tersebut murni karena
kecelakaan dan bukan merupakan suatu kesengajaan. Karena itu dibutuhkan banyak
keterangan sdari pihak, termasuk korban dan saksi, luka-luka pada korban, walaupun
kelihatannya tidak banyak, namun tidak boleh dianggap sepele, terutama jika korban terbentur
atau mengalami kekerasan di daerah kepala. Diperlukan pemeriksaan fisik maupun
pemeriksaan penunjang yang teliti sehingga didapatkan diagnosis yang pasti dan penanganan
yang baik untuk korban.

Daftar Pustaka

1. Sampurna. B. Ilmu Kedokteran Forensik dan Profesi. Universitas Indonesia. 2009


2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik FKUI
3. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta : Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
REFLEKSI KASUS HIDUP

Pembimbing :
dr. Martiana Suciningtyas TA, Sp.F.M
Disusun Oleh :
Sarifa
030001700154

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 19 APRIL 2021 - 14 MEI 2021
YOGYAKARTA 2021

Nama : SARIFA

NIM : 030001700154

Kelompok : USAKTI

Periode : 19 April 2021-14 Mei 2021

Pembimbing : dr. Martiana Suciningtyas TA, Sp.FM (K)

1. Identitas Pasien :
Nama : Ny. R

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 28 tahun

Tinggi badan : 160 cm

Berat badan : 55 kg

Agama :-

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat :-

Pendidikan :-

Tanggal pemeriksaan : 26 April 2021

2. Kronologi Kasus :
Ny,R, dihajar oleh suaminya di rumah. Dia langsung mengabari ibu kandungnya
dan dibawa ke IGD RS untuk dilakukan pemeriksaan.

3. Positif dan Negatif yang dirasakan dalam Kasus :


 Positif :
 Pasien langsung dibawa ke RS maka bekas luka yang terlihat masih sangat jelas
pada beberapa bagian tubuh
 Pasien masih dalam keadaan sadar sehingga memungkinkan kita sebagai tenaga
medis melakukan anamnesis secara langsung dan mendapatkan informasi lebih
banyak lagi
 Negatif :
 Kurangnya data yang dari pasien mengenai alur kejadian tersebut (dalam kasus
tidak dipaparkan secara jelas)
 Kurangnya Surat Pengantar dari Kepolisian, dimana surat tersebut berguna
dalam pembutan VeR yang nantinya VeR akan berguna sebagai alat bukti yang
sah di pengadilan

4. Masalah yang akan dibahas dalam Kasus :


Pada setiap pasien atau korban hidup, sebelum dilakukan pemeriksaan kedokteran
forensik terlebih dahulu harus dilaksanakan prosedur Persetujuan Tindakan Kedokteran atau
Informed Consent. Pasien atau korban harus dijelaskan tentang prosedur yang akan
dilakukan, tujuan, manfaat, alternatif tindakan, pengambilan dokumentasi, pengambilan
sampel bila diperlukan termasuk hal-hal lain seperti pembiayaan, pemeriksaan penunjang
dan lain-lain

PEMERIKSAAN KORBAN PERLUKAAN

a. Anamnesis : Anamnesis mencakup tentang keluhan utama, bagaimana peristiwa tersebut


terjadi, maupun riwayat penyakit sebelumnya yang pernah diderita. Apabila korban
dalam keadaan tidak sadar dapat dilakukan alloanamnesis. Semua anamnesis dicatat
dengan lengkap dan benar dalam berkas rekam medis. Meskipun demikian penarikan
kesimpulan hasil anamnesis harus dilakukan dengan hati-hati. Hasil anamnesis yang
tidak berhubungan dengan tindak pidana tidak perlu dituliskan dalam visum et repertum.
Jika anamnesis dilakukan pada korban dewasa maka upayakan anamnesis didapatkan
secara cermat baik dari korban maupun pengantar, nilai kejanggalan sikap istri, suami
atau pengantar lainnya, nilai pula kejangalan dari keretang yang diberikan korban,
tanyakan mengenai identitas lengkap, tanyakan tentang proses tejadinya kekerasan
secara rinci termasuk; urutan kejadian apa yang menjadi penyebab, kekerasan yang telah
terjadi, oleh siapa, kapan, dimana, dengan menggunakan apa, bagaimana terjadinya,
berapa kali, apa akbiat bagi korban, orang sekitar korbna pada saat kejadian, waktu jeda
antara saat kejadian dan saat meminta pertolongan medis, apa yang dilakukan korban
setelah kejadian, apa yang dilakukan korban setelah kejadian, keadaan kesehatannya
sebelum trauma, adakah riwayat penyakit dari perilaku sebelumnya, adakah faktor social
budaya ekonomi yang berpengaruh. Anamnesis harusnya dilakukan secara terpisah dari
suami atau yang mengantarnya setelah itu bandingkan dengan keterangan versi
pengantarnya.
 Ny,R, 28 tahun, dihajar oleh suaminya di rumah (Peristiwa jelas mengenai
kejadian tidak dicantumkan dalam kasus)
b. Pemeriksaan tanda-tanda vital : Pemeriksaan ini meliputi keadaan umum, tingkat
kesadaran, frekuensi nafas, frekuensi nadi, tekanan darah dan suhu. Tanda-tanda vital
perlu dituliskan nantinya pada visum et repertum apabila dokter menganggap bahwa
hasil pemeriksaan tersebut penting untuk menggambarkan keadaan penderita
sehubungan dengan tindak kekerasan yang dialaminya.
 Tidak ada data. (Data : TB 160 cm, BB 55 kg)
c. Deskripsi luka : Luka-luka yang ditemukan harus dideskripsikan dengan jelas, lengkap
dan baik, hal ini penting untuk mengetahui jenis kekerasan yang telah dialami oleh
korban. Bila perlu gunakan gambar dan dimasukkan dalam berkas rekam medis.
Deskripsikan luka secara sistematis dengan urutan sebagai berikut : regio, koordinat,
jenis luka, bentuk luka, tepi luka, dasar luka, keadaan sekitar luka, ukuran luka,
jembatan jaringan, benda asing dan sebagainya.
 Adanya luka memar pada dahi kanan dengan bentuk tidak beraturan, berwarna
kemerahan
 Adanya luka memar yang disertai bengkak pada dagu kanan, berwarna merah
kebiruan

o Adanya luka memar pada leher kiri, bentuk tidak beraturan dengan diameter kurang
lebih 1 cm
o Adanya luka memar yang terlihat samar pada daerah pundak kanan pasien, bentuk tidak
beraturan memanjang sekitar 5 cm

o Adanya luka memar berwarna kemerahan pada daerah dada, dengan bentuk tidak
beraturan seperti bekas cakaran dengan panjang sekitar 3-5 cm

o Adanya luka memar berwara merah keunguan pada bagian perut kiri, dengan bentuk
tidak beraturan dengan panjang 3-4 cm dan lebar 3 cm

PERUT KIRI

o Adanya luka memar berwara merah keunguan pada bagian lengan atas kiri,
dengan bentuk tidak beraturan dengan panjang 4 cm dan lebar 3 cm
LENGAN ATAS KIRI

5. Analisis/Pembahasannya
Aspek Medikolegal
 Definisi
UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004 Pasal 1
angka 1 (UU PKDRT) memberikan pengertian bahwa “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga”
Menurut UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 2 lingkup rumah tangga meliputi :
o Suami, isteri, dan anak
o Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang suami, istri, dan anak
karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga; dan/atau
o Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut

 Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Mengacu kepada UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 5 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud :
o Kekerasan fisik menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 6
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat. Kekerasan fisik yang dialami korban seperti: pemukulan menggunakan tangan
maupun alat seperti (kayu, parang), membenturkan kepala ke tembok, menjambak
rambut, menyundut dengan rokok atau dengan kayu yang bara apinya masih ada,
menendang, mencekik leher
o Kekerasan psikis menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 7
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan psikis berupa makian, ancaman
cerai, tidak memberi nafkah, hinaan, menakut-nakuti, melarang melakukan aktivitas di
luar rumah
o Kekerasan seksual menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 8
Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang
yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, maupun pemaksaan hubungan
seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual seperti memaksa isteri
melakukan hubungan seksual walaupun isteri dalam kondisi lelah dan tidak siap
termasuk saat haid, memaksa isteri melakukan hubungan seks dengan laki-laki lain
o Penelantaran rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 9 Penelantaran rumah
tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Penelantaran seperti meninggalkan isteri dan anak tanpa memberikan nafkah, tidak
memberikan isteri uang dalam jangka waktu yang lama bahkan bertahun-tahun

 Etiologi
Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya
yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu :
o Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri
o Ketergantungan ekonomi
o Kekerasan sebagai alat untuk menyelasaikan konflik
o Persaingan
o Frustasi
o Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hokum

 Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga


o Dampak Jangka Pendek : Kekerasan Terhadap Perempuan yang dimaksud dengan
dampak jangka pendek kekerasan adalah cedera fisik yang diderita oleh korban (luka-
luka, patah tulang, kehilangan fungsi alat tubuh atau indera, keguguran kandungan, dll),
gejala sisa di bidang kesehatan dan psikologis ( Kecemasan, depresi, sindrom trauma
wanita babak belur, sindrom trauma pemerkosaan, penyalahgunaan alkohol dan narkoba,
dan risiko melakukan bunuh diri), serta dampak terhadap pendidikan dan pertumbuhan
anak terutama bila dalam kasus kekerasan rumah tangga
o Dampak Kekerasan Jangka Panjang : Penelitian yang telah membuktikan bahwa anak-
anak yang tumbuh dari keluarga yang Biasa dengan kekerasan terhadap perempuan atau
juga terhadap anak, akan melakukan perbuafan yang sama pada saat mereka menjadi
dewasa dan berumahtangga sendiri. Anak laki-laki yang belajar dari kekerasan terhadap
kekerasan terhadap anak perempuan, sedangkan anak perempuan yang belajar dari
ibunya untuk menjadi korban kekerasan. Menerima teori bahwa perilaku adalah perilaku
yang diperoleh dari belajar dan bersifat siklik

Aspek Forensik
 Visum et Repertum sangat penting sekali dalam pembuktian tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga karena dengan adanya visum tersebut maka perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa dapat terbukti dan terdakwa dapat dihukum karena perbuatannya tersebut. Biasanya
korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga akan terlihat lebam atau pun luka di
tubuhnya. Luka tersebut kemudian akan diperiksa oleh pihak rumah sakit yang akan
mengeluarkan visum nantinya. Pada pemeriksaan kasus perlukaan atau korban yang mengalami
kekerasan fisik, maka dokter akan menentukan jenis luka yang ada pada tubuh korban, dan dari
jenis luka tersebut maka dokter kemudian dapat mengetahui jenis kekerasan yang menyebabkan
luka atau alat apa yang digunakan oleh pelaku. Setelah melakukan pemeriksaan terhadap korban
yang mengalami kekerasan fisik maka dalam rangka membuat kesimpulan mengenai hasil visum
tersebut dokter harus memperhatikan terlebih dahulu kualifikasi luka yang ada.
 Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang aspek-aspek kekerasan yang terjadi pada
jaringan tubuh manusia yang masih hidup yang berguna untuk kepentingan pengobatan ataupun
membantu penegak hukum untuk memecahkan sebuah kasus pidana. Dalam kaitannya dengan
forensik, traumatologi dapat digunakan untuk menentukan jenis penyebab trauma, waktu
terjadinya, cara melakukannya, akibatnya, dan kontek peristiwa penyebab trauma. Kekerasan
yang terjadi pada tubuh seseorang dapat memberikan dampak pada fisik ataupun psikisnya.
Dampak pada fisik bila diperiksa dengan teliti akan dapat diketahui jenis penyebabnya.
 Karakteristik Kasus dan Korban KDRT
Korban biasanya tampak depresi, sangat takut pengunjung/pasien lainnya dan yang merawatnya,
temasuk pegawai rumah sakit. Perhatikan perubahan sikap korban. Mereka akan cenderung
menarik diri dari lingkungan sosialnya. Mereka pada umumnya tak ingin orang sekitarnya
melihat tanda-tanda kekerasan. Korban juga akan mencoba untuk menyembunyikan atau
menutupi luka-lukanya dengan memakai riasan wajah tebal, leher baju yang tinggi, rambut palsu
atau perhiasan.
 Karakteristik Luka pada Korban KDRT
Orang yang mendapat siksaan fisik dari pasangannya tak jarang mengalami cedera. Hanya saja
mereka cenderung menutupinya dengan mengatakan bahwa luka tersebut akibat terjatuh ,atau
kecelakaan umum. Untuk membedakannya ,perlu diketahui ciri-ciri khusus luka akibat kekerasan
yang dilakukan dalam rumah tangga.
Karakteristik luka yang disebabkan oleh adanya KDRT, biasanya menunjukkan gambaran
sebagai berikut :
 Luka bilateral, terutama pada ekstremitas
 Luka pada banyak tempat
 Kuku yang tergores, luka bekas sundutan rokok yang terbakar, atau bekas tali yang
terbakar
 Luka lecet, luka gores minimal
 Perdarahan subkonjungtiva yang diduga karena adanya pukulan pada bagian mata
sehingga melukai struktur dalam mata, bisa juga terjadi jika berlaku perlawanan yang
kuat antara korban dengan pelaku sehingga secara tidak sengaja melukai korban
 Adanya bentukan luka memberi kesan adanya kekerasan. Bentukan luka merupakan tanda,
cetakan atau pola yang timbul dengan segera di bawah epitel oleh senjata penyebab luka. Bentuk
luka dapat karena benda tumpul, benda tajam (goresan atau tikaman) atau karena panas
 Kekerasan Tumpul : Kekerasan yang melukai kulit merupakan luka yag paling sering
terjadi, berupa luka memar, lecet dan luka goresan. Adanya luka memar yang sirkuler
ataupun yang linier memberi kesan adanya penganiyaan. Luka memar pararel dengan
sentral yang bersih memberi kesan adanya penganiayaan dari objek linear Adanya bekas
tamparan dengan bentukan jari juga harus dicatat. Luka memar sirkuler dengan diameter
1-1,5 cm dengan tekanan ujung jari mungkin terlihat sama dengan bentuk penjambretan.
Bentukan-bentukan tersebut sering tampak pada lengan atas bagian dalam dan area-area
yang tidak terlihat waktu pemeriksaan fisik. Penganiayaan dengan menggunakan ikat
pinggang atau kawat menyebabkan luka memar yang datar, dan penganiayaan dengan sol
atau hak sepatu akan menyebabkan luka memar pada korban yang ditendang
 Memar : Beberapa faktor mempengaruhi perkembangan luka memar, meliputi kekuatan
kekerasan tumpul yang diterima oleh kulit, kepadatan vaskularisasi jaringan, kerapuhan
pembuluh darah, dan jumlah darah yang keluar kedalam jaringan sekitar. Luka memar
yang digunakan untuk identifikasi umur dan penyebab luka, tidak selalu menunjukkan
kesamaan warna pada tiap orang dan tidak dapat berubah dalam waktu yang sama antara
satu orang dengan orang lain. Beberapa petunjuk dasar tentang penampakkan luka memar
sebagai berikut. a) Waktu merah, biru, ungu atau hitam dapat terjadi kapan saja dalam
waktu 1 jam setelah trauma sebagai resolusi memar. Gambaran warna merah tidak dapat
digunakan untuk memperkirakan umur memar. b) Memar dengan gradasi warna kuning
umurnya lebih dari 18 jam. c) Meskipun warna memar kuning, coklat, atau hijau
merupakan indikasi luka yang spesifik sulit
 Bekas Gigitan : Merupakan bentuk luka lain yang sering ada pada domestik violence.
Beberapa gigitan ini sulit untuk dikenali, misalnya penampakkan memar semisirkuler
yang non spesifik, luka lecet, atau luka lecet memar, dan masih banyak lagi gambaran
yang dapat dikenali karena lokasi anatomi dari gigitan dan pergerakan tidak tetap pada
kulit
 Bekas Kuku : Ada 3 macam tanda bekas kuku yang mungkin terjadi, bisa tunggal atau
kombinasi, yaitu sebagai berikut : a) Impression marks bentukan ini merpakan akibat
patahnya kuku pada kulit. Bentuknya seperti koma atau setengah lingkaran. b) Scratch
marks bentuk ini superficial dan memanjang, kedalamannya sama dengan kedalaman
kuku. Bentukan ini terjadi terjadi karena wanita yang menjadi korban berkuku panjang. c)
Claw mark Bentukan ini terjadi ketika kulit terkoyak, dan tampak lebih menyeramkan

6. Kesimpulan
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap
perempuan karena korban KDRT pada umumnya adalah perempuan. Kekerasan terhadap perempuan
berarti kekerasan yang melanggar hak asasi perempuan berarti kekerasan yang melanggar hak asasi
manusia. Dengan dikeluarkannya UU PKDRT No.23 Tahun 2004, masalah KDRT tidak lagi menjadi
masalah privat tetapi sudah menjadi masalah publik. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan fisik, seksual, psikologisdan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara hukum dalam lingkup
rumah tangga. Bentuk-bentuk KDRT tidak hanya terbatas pada kekerasan fisik saja, namun dapat
berupa kekerasan psikis, seksual, dan penelantaran. Aspek hukum terkait dengan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga ini yaitu UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah.

7. Referensi

a. Afandi D. Visum Et Repertum Tatalaksana dan Teknik Pembuatan. Ed 2. Riau: Fakultas


Kedokteran Universitas Riau. 2017
b. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
c. Pangemaran Diana Ribka, Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga, Hasil
Penelitian di Jakarta, Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pasca Sarjana Universitas
Indonesia. 1998
d. Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan
Jender dengan PSP
e. Budiyanto A, et al. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik Edisi 1. Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
f. Fiely dkk. 2010. Refarat Aspek Medokolegal Kekerasan Dalam Rumah Tangga. BAgian
Kedoktera Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang

REFLEKSI KASUS HIDUP

Pembimbing :
dr. Martiana Suciningtyas TA, Sp.F.M
Disusun Oleh :
Sri Indah Kemala
030001700156

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 19 APRIL 2021 - 14 MEI 2021
YOGYAKARTA 2021

TUGAS REFLEKSI KASUS HIDUP

Nama : Sri Indah Kemala

NIM : 030001700156

Kelompok : USAKTI

Periode : 19 April – 14 Mei 2021

Pembimbing : dr. Martiana Suciningtyas TA, Sp.FM (K)

Identitas pasien

Nama : Nn.L

Jenis kelamin : perempuan

Usia : 13 tahun

Tinggi badan : 172 cm

Berat badan : 65 kg

Agama : -

Pekerjaan : -

Alamat : -

Pendidikan : -

Tanggal pemeriksaan : 26 April 2021

1. Kronologi Kasus
Nn.L, Pelajar SMP berusia 13 tahun disetubuhi oleh kakak kelasnya di sekolah pada hari Sabtu
malam. Dia melapor ke polisi bersama kakaknya pada hari Senin sore dan segera dilakukan pemeriksaan
untuk penyusunan Visum et Repertum.
2. Positif dan negatif yang dirasa dalam kasus
 Positif : melaporkan kejadian ke polisi, korban diantar untuk pemeriksaan dengan kakaknya dan
polisi sehingga dapat langsung dilakukan pemeriksaan/tindakan, korban terlihat cukup koopratif
saat pemeriksaan
 Negatif : korban tidak segera melapor setelah kejadian, tidak diketahui apakah korban sudah
membersihkan diri mengingat hari kejadian dengan waktu melapor ke polisi yaitu selang sekitar
2 hari, korban datang dengan kakak nya tidak dengan orangtua nya.
3. Masalah yang akan dibahas dalam kasus
- Anamnesis terkait untuk melengkapi data, pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan, pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan
- Membuktikan apakah benar terdapat tanda persetubuhan pada korban. Pada tindak pidana kejahatan
seksual perlu dibuktikan apakah persetubuhan telah terjadi atau tidak yaitu dengan melakukan
pemeriksaan
- Pada korban di dapatkan adanya beberapa tanda-tanda bekas kekerasan yaitu terdapat luka memar
berwarna kebiruan pada lengan bawah kanan bangian depan, lengan atas kanan bagian depan, dan
lengan kanan atas bagian belakang
- Dasar hukum yang dapat dikenakan pada pelaku apabila korban ingin menuntut pelaku
4. Analisis/pembahasan
 Anamnesis umum : pengumpulan data tentang umur, tempat & tanggal lahir, status perkawinan,
siklus haid, riwayat penyakit kelamin, riwayat penyakit kandungan, riwayat penyakit lain nya
(seperti : epilepsy, katalepsi, syncope), riwayat hubungan seksual (apakah pernah bersetubuh,
persetubuhan yang terakhir, alat pengaman ex: kondom)
 Anamnesis khusus : waktu kejadian (tanggal dan jam) bila waktu antara kejadian dan
pelaporan kepada yang berwajib berselang beberapa hari/minggu perlu ditanyakan alasannya
(cemas akan hamil/ketakutan bahwa telah disetubuhi dengan paksa/korban diancam), tempat
terjadinya (petunjuk dalam pencarian trace evidence yg berasal dari tempat kejadian ex : tanah,
rumput, dll yang mungkin melekat pada pakaian atau tubuh korban), tanyakan apakah ada
perlawanan dari korban (pada pakaian mungkin ditemukan robekan, pada tubuh korban mungkin
ditemukan tanda-tanda kekerasan, dan pada alat kelamin mungkin terdapat bekas perlawanan),
apakah korban tidak sadarkan diri (kecurigaan pingsan karena ketakutan, dilakukan kekerasan,
diberikan obat bius atau tidur), apakah terjadi penetrasi pada dan ejakulasi, apakah ada
perdarahan melalui vagina setelah kejadian, apakah ada oral atau anal sex, apakah setelah
kejadian korban mencuci pakaian, mandi, dan mengganti pakaiannya.
 Pemeriksaan pada kasus

- TB : 172 cm
- BB : 65 kg
- Vital sign : dbn
- Luka memar berwarna kebiruan : lengan bawah kanan bagian depan berbatas tidak egas dengan
ukuran 1x1 cm, lengan atas kanan bagian depan berbatas tidak tegas dengan ukuran 3x2 cm, lengan
atas kanan bagian belakang berbatas tidak tegas dengan ukuran 2x4 cm.

- Pemeriksaan bagian oral dan gigi geligi : ejakulat (-), molar 3 belom tumbuh

- Pemeriksaan pada vagina & swab vagina tanpa speculum : terlihat ada robekan selaput dara pada
arah jam 4
 Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada kasus kejahatan seksual :
a. Pemeriksaan pakaian : Robekan pada pakaian (lama/baru, sepanjang jahitan/melintang),
kancing terputus akibat tarikan, bercak darah, air mani, lumpur dsb yg berasal dari tempat
kejadian, pakaian rapih atau tidak
 Pada kasus waktu kejadian dan pemeriksaan terdapat selang waktu 2 hari ada
kemungkinan pasien datang saat pemeriksaan dengan baju yang berbeda saat kejadian
b. Pemeriksaan tubuh korban
1) Pemeriksaan Umum : penampilan (rambut dan wajah : rapih/kusut), keadaan emosional
(tenang/sedih/gelisah), tanda bekas kehilangan kesadaran atau diberikan obat tidur/bius,
needle marks, tanda bekas kekerasan (memar atau luka lecet pada daerah mulut, leher,
pergelangan tangan, lengan, paha bagian dalam dan pinggang), apakah ada trace
evidence di tubuh korban, pemeriksaan tanda vital dan antropometri, pemeriksaan fisik
jantung, paru dan abdomen, tanda perkembangan alat kelamin sekunder, pupil, reflex
cahaya, pemeriksaan gigi geraham belakang ke-2 (molar 2) sudah tumbuh (pada usia
kira2 12 tahun), molar 3 muncul usia 17-21 tahun atau lebih.
2) Pemeriksaan khusus (daerah genitalia) :
 Rambut kemaluan : ada tidaknya rambut kemaluan yang saling melekat menjadi satu
karena air mani yang mengering (jika ada, digunting untuk px lab)
 Bercak air mani di sekitar alat kelamin (jika ada, kerok dengan sisi tumpul skapel
atau swab dengan kapas lidi yang dibasahi larutan garam fisiologis)
 Pemeriksaan vulva : tanda-tanda bekas kekerasan (hiperemis, edema, memar dan
luka lecet (goresan kuku), pada introitus vagina (hiperemi/edema), pengambilan
bahan untuk pemeriksaan sperma dari vestibulum dengan kapas lidi.
 Selaput dara/ hymen  apakah rupture/ tidak, jika ada tentukan : apakah rupture
lama/ baru, lokasi rupture ada di jam berapa, apakah sampai ke dasar/ insersionya,
diameter/ lebar lubang (dengan memasukan jari kelingking/ telunjuk/ 2 jari ke dalam
hymen; pada seorang perawan ukurannya sekitar 2,5 cm sedangkan pada
kemungkinan persetubuhan adalah minimal 9 cm).
Catatan : persetubuhan tidak selalu disertai rupture hymen. Apabila rupture sampai
ke dasar maka akan terdapat jaringan parut pada fase penyembuhan, bila tidak
mencapai dasar maka tidak ada jaringan parut sehingga sulit untuk dikenali. Ruptur
akibat persetubuhan biasanya ditemukan di bagian posterior kanan atau kiri (asumsi
persetubuhan dilakukan dengan posisi saling berhadapan)
 Frenulum labiorum pudenda dan commisura labiorum posterior : utuh/ tidak
 Apakah terdapat robekan/ memar pada struktur urogenitalia lain (seperti periuretral,
fossa navicularis)
 Pemeriksaan vagina dan serviks : dengan speculum, apakah ada tanda trauma/
laserasi, apakah ada tanda-tanda penyakit kelamin
Catatan : apabila pada korban yang belum pernah melakukan persetubuhan maka
hanya dilakukan pemeriksaan rectal toucher (mengangkat dinding vagina) untuk
melihat serviks dan vagina lebih jelas.
 Pemeriksaan dubur  apakah terdapat fissura, dilatasi anal, perubahan lipatan pada
dubur, kongesti vena pada dubur. Pada pasien yang sudah sering mendapat perlakuan
sodomi, dubur terlihat berbentuk corong.
c. Pemeriksaan penunjang (laboratorium)
- Pemeriksaan cairan mani dan sel mani dalam lendir vagina menngunakan pipet pasteur atau
diambil dengan ose batang gelas, atau swab. Lokasi : bahan diambil dari forniks posterior
- Kerokan kuku : mungkin menunjukkan adanya sel-sel epitel kulit dan darah yang berasal dari pelaku
- Pemeriksaan toksikologi (urine dan darah) bila ada indikasi
- Pemeriksaan kuman N.gonorrhoea
- Swab (laring dan tonsil) : pemeriksaan mikrobiologi (curiga ims), pemeriksaan sperma dan cairan
mani
d. Pemeriksaan pria tersangka
- Pemeriksaan pakaian  adanya bercak air mani dan darah. Darah memiliki nilai penting karena
kemungkinan berasal dari robekan hymen (di periksa golongan darahnya)
- Tanda bekas kekerasan  perlawanan dari korban
- Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan, dapat dilakukan pemeriksaan
ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis dengan menekankan gelas objek ke glans penis lalu
preparat diwarnai dengan meletakkannya secara terbalik di atas larutan lugol. Hasil positif apabila
gelas objek terwarnai coklat tua.
 Undang-undang mengenai kejahatan seksual
- KUHP 285 : Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang
bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
- KUHP 286 : Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, tidak diketahui
bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun.
- KUHP 287 pemerkosaan terhadap anak yang belum berumur 15 tahun :
1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umumnya tidak
jelas, bahwa waktunya belum untuk dikawin, diancam dengan penjara paling lama sembilan
tahun.
2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas
tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.
- KUHP 291 :
1) Bila salah satu kejahatan seperti tersebut dalam pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan
luka-luka berat, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun
2) Bila salah satu kejahatan seperti tersebut dalam pasal 285, 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan
kematian, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
- KUHP 294 : Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya,
anak yang di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa
yang diserahkan kepadanya untuk dipelihara, dididik atau dijaga, ataupun dengan pembantunya atau
bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
5. Kesimpulan
Pemeriksaan secara meyeluruh meliputi dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
sangat diperlukan supaya menemukan bukti pada kasus kejahatan seksual. Dua aspek penting pada
kasus kejahatan seksual yaitu mengumpulkan bukti-bukti persetubuhan, dan mencari tanda-tanda
kekerasan. Pemeriksaan kasus-kasus kejahatan seksual yang merupakan tindak pidana, hendaknya
dilakukan dengan teliti dan waspada karena tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan
pemeriksaan ulang guna memperoleh lebih banyak bukti dan dalam melaksanakan kewajiban tsb
dokter jangan sampai meletakkan kepentingan korban dibawah kepentingan pemeriksaan. Setiap
pemeriksaan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik yg berwenang,
dan korban harus diantar oleh polisi. Sebelum melakukan pemeriksaan dilakukan informed consent
terlebih dahulu pada pasien. Pada kasus ini untuk membuktikan ada nya persetubuhan dilakukan
swab vagina guna melihat apakah terdapat spermatozoa atau tidak, akan tetapi mengingat terdapat
selang 2 hari dari kejadian dan waktu pemeriksaan dan kemungkinan dalam waktu tersebut pasien
sudah membersihkan diri sebelumnya, sehingga akan ada kendala dalam membuktikannya.
6. Referensi
- Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian
Kedokteran Forensik FKUI.
- Afandi D. Visum Et Repertum Tatalaksana dan Teknik Pembuatan. Ed 2. Riau: Fakultas Kedokteran
Universitas Riau. 2017

Anda mungkin juga menyukai