Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

SIFILIS

Disusun Oleh :
Dewi Kholifatul Ummah

Dokter Pembimbing :
dr. Buih Amartiwi Sp.K

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
RSUD BANGIL - PASURUAN
2018

1
PEMERINTAH KABUPATEN PASURUAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGIL
JL. Raya Raci – Bangil, Telp.(0343) 744900 Fax.(744940)
PASURUAN

LEMBAR PENGESAHAN
Kepanitraan klinik FK-UWKS

RSUD BANGIL KABUPATEN PASURUAN

Telah dipresentasikan di :

Bangil,

Stase : ILMU KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing :

dr. Buih Amartiwi Sp.KK

NIP. ................................................................................

Mengatahui,

Kepala SMF/Sub Koordinator

dr. Buih Amartiwi Sp.KK

NIP...................................................................................

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadiran Allah swt, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya-lah
saya dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Sifilis”.
Penulisan Referat ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam meyelesaikan
pendidikan profesi dokter kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSUD
Bangil Pasuruan. Untuk itu tak lupa pula saya mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dokter Pembimbing Yth. dr. Buih Amartiwi Sp.KK yang telah membimbing saya
untuk menyelesaikan Referat ini.
2. Kepada Kedua Orang tua saya yang telah memberikan support terhadap penyelesaian
Referat ini.
3. Kepada seluruh staf pembimbing SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
4. Serta tak lupa saya sampaikan terimakasih untuk semua pihak yang turut membantu
hingga selesainya tugas Referat ini. Tanpa bantuan, kontribusi, dan toleransi mereka,
Referat ini mungkin tidak akan pernah dapat terselesaikan.

Saya menyadari Referat ini masih sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu saya
sangat mengharapkan kritik dan saran yang mendukung untuk Referat ini.
Akhir kata, semoga Allah swt selalu melimpahkan berkat rahmat-Nya kepada kita
semua dalam belajar, menuntut ilmu, dan dalam setiap kegiatan yang kita jalani, Amin.

Bangil, 24 Mei 2018

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Menular Seksual (PMS) sampai saat ini masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat terbesar. Penyakit Sifilis merupakan salah satu penyakit menular
Seksual yang disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema Pallidum yang bersifat akut dan
kronis. Jalan utama penularannya melalui kontak seksual. Infeksi ini juga dapat ditularkan
dari ibu ke janin selama kehamilan atau saat kelahiran, yang menyebabkan terjadinya sifilis
kongenital. Jika cepat terdeteksi dan diobati, sifilis dapat disembuhkan dengan antibiotika.
Tetapi jika tidak diobati, sifilis dapat berkembang ke fase selanjutnya dan meluas ke bagian
tubuh lain di luar alat kelamin.

Secara Global Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa pada Tahun
1999 Jumlah kasus baru sifilis di dunia adalah sebesar 12 juta kasus. Di Amerika Latin dan
Karibia pertambahan jumlah kasus baru diperkirakan 3 juta jiwa. Pada beberapa studi, kasus
Sifilis saat ini mulai banyak ditemukan pada kelompok Transgender. Studi pada kelompok
Transgender muda di Chicago menyebutkan terjadi peningkatan 1,3% (2005-2008) menjadi
10,1% pada Tahun 2009.1 Kejadian penyakit sifilis di Amerika Serikat terdapat lebih dari
36.000 kasus sifilis pada tahun 2010, termasuk 9.756 kasus sifilis primer dan sekunder.
Sebagian besar kasus tersebut terjadi pada pasien berusia 20 sampai 39 tahun. Insiden sifilis
pada wanita tertinggi pada usia 20 sampai 24 tahun dan pada laki-laki 35 sampai 39 tahun.
Sementara kasus sifilis kongenital pada bayi baru lahir meningkat dari 2009 sampai 2010,
dari 339 kasus baru yang dilaporkan pada tahun 2009 menjadi 349 kasus pada tahun 2010.
Pada tahun 2010 tercatat 64% dari kasus sifilis dilaporkan terjadi pada pria yang
berhubungan seks dengan pria (World Health Organization, 2010).

Menurut Kementrian Kesehatan RI (2012) melalui Surveilans Terpadu Biologis dan


Perilaku (STBP) bahwa pada tahun 2011 mendapatkan angka kejadian sifilis di Indonesia
diderita oleh waria sebesar 25%, pekerja seks langsung sebesar 10%, pria yang berhubungan
seks sesama pria sebesar 10%, pekerja seks tidak langsung sebesar 3% dan narapidana
sebesar 3%.2 Jika tidak diobati, angka mortalitas mencapai 8% hingga 58%, dengan angka
kematian lebih tinggi ada laki-laki. Keparahan gejala sifilis berkurang selama abad ke-19 dan
20, sebagian karena semakin banyaknya ketersediaan pengobatan efektif dan karena
penurunan virulens dari spirochaete. Dengan pengobatan dini, komplikasi lebih sedikit. Sifilis

4
meningkatkan risiko penularan HIV dua hingga lima kali, dan infeksi lainnya juga banyak
terjadi.

Meskipun kejadian sifilis sudah menurun, penyakit ini harus mendapat perhatian.
Hampir semua system dalam tubuh dapat diserang termasuk system kardiovaskuler dan saraf.
Selain itu wanita hamil dapat menularkan pada janinnya sehingga menyebabkan sifilis
congenital yang dapat mengakibatkan kelainan bawaan dan kematian.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum
yang sangat kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir
seluruh alat tubuh, dapat mnyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten dan
dapat ditularkan dari ibu ke janin.4
B. Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman
ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia
Spirochaetaceae, dan genus Treponema. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya
antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri atas delapan sampai dua puluh empat lekukan.
Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol.
Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh
jam. Pembiakan pada umumya tidak dapat dilakukan diluar badan. Diluar badan
kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfusi dapat hidup tujuh
puluh dua jam.4

6
C. Klasifikasi
Sifilis dibagi menjadi:
1.Sifilis kongenital
a. Dini : Sebelum 2 tahun
b. Lanjut: Sesudah 2 tahun
c.Stigmata
2. Sifilis Akuisita (didapat): Sifilis akuisita dapat dibagi menurut dua
cara:
a. Secara klinis dibagi menjadi tiga stadium:
1.Stadium I (SI)
2.Stadium II (SII)
3.Stadium III (SIII)
b. Secara epidemiologi menurut WHO dibagi menjadi:
1.Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak
infeksi): terdiri atas SI, SII, Stadium rekuren dan
stadium laten dini.
2.Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak
infeksi), tediri atas stadium laten lanjut dan SIII.2
D. Patogenesis
1. Stadium Dini
T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput
lendir, biasanya melalui sanggama. Kuman tersebut membiak jaringan
bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan
sel- sel plasma, terutama di perivaskular, pembuluh- pembuluh darah kecil
berproliferasi di kelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel radang. Treponema
tersebut terletak di antara endotelium kapiler dan jaringan perivaskular
disekitarnya. Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi, pada
pemeriksaan klinis tampak sebagai S1. Sebelum S1 terlihat, kuman telah
mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan membiak.
Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen dan menyebar kesemua
jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak kemudian.2
Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai SII, yang terjadi
enam sampai delapan minggu sesudah S1. S1 akan sembuh perlahan-lahan
karena kuman di tempat tersebut jumlahnya berkurang, kemudian
7
terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatriks. SII
juga mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang. Tibalah
stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif masih
terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan
bayi dengan sifilis kongenital. Kadang-kadang proses imunitas gagal
mengontrol infeksi sehingga T.pallidum membiak lagi pada tempat S I
dan menimbulkan lesi rekuren atau kuman tersebut menyebar melalui
jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi rekuren S II, yang
terakhir ini lebih sering terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular
tersebut dapat timbul berulang-ulang, tetapi pada umumnya tidak melebihi
2 tahun.2
2. Stadium Lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun dan keadaan
treponema dalam keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada
dalam serum penderita. Keseimbangan antara treponema dan jaringan
dapat berubah karena sebabnya belum jelas, kemungkinan trauma
merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat itu munculah S III
berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan T.
pallidum namun reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan
berlangsung bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang
bervariasi guma tersebut timbul di tempat-tempat lain. Treponema
mencapai sistem kardiovaskular dan sistem saraf pada waktu dini, tetapi
kerusakan menjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-
tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan guma biasanya
tidak mendapat gangguan saraf dan kardiovaskular, demikian pula
sebaliknya. Kira-kira dua pertiga kasus dengan stadium laten tidak
memberi gejala.2
E. Manifestasi Klinis
1. Sifilis Akuisita
a) Sifilis Dini
1) Sifilis Primer (SI)
Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tunggal
(disebut chancre), tetapi bisa juga terdapat tukak lebih dari satu.
Tukak dapat terjadi dimana saja di daerah genitalia eksterna
8
yaitu 3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya berupa papul
yang mengalami erosi, teraba keras karena terdapat indurasi.
Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi.
Ukurannya bervariasi dari beberapa mm sampai dengan 1-2
cm. Bagian yang mengelilingi lesi meninggi dan keras. Bila
tidak disertai infeksi bakteri lain, maka akan berbentuk khas
dan hampir tidak ada rasa nyeri. Kelainan tersebut dinamakan
afek primer. Pada pria tempat yang sering dikenai ialah sulkus
koronarius, sedangkan pada wanita di labia minor dan mayor.
Selain itu juga dapat di ekstragenital, misalnya di lidah, tonsil,
dan anus. Pada pria selalu disertai pembesaran kelenjar limfe
inguinal medial unilateral/bilateral. Seminggu setelah afek
primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah bening
regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut
kompleks primer. Kelenjar tersebut solitar, indolen, tidak
lunak, besarnya biasanya lentikular, tidak supuratif, dan tidak
terdapat periadenitis. Kulit di atasnya tidak menunjukkan
tanda-tanda radang akut. Afek primer tersebut sembuh sendiri
antara tiga sampai sepuluh minggu. Istilah syphilis d'emblee
dipakai, jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk ke
jaringan yang lebih dalam, misalnya pada transfuse darah atau
suntikan.2

Ulkus Durum
2) Sifilis Sekunder (SII)
Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan
minggu sejak S I dan sejumlah sepertiga kasus masih disertai S
9
I. Lama S II dapat sampai sembilan bulan. Berbeda dengan S I
yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada S II dapat disertai
gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejalanya
umumnya tidak berat, berupa anoreksia, turunnya berat badan,
malaise, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan artralgia.
Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam
pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh serta dapat disertai
demam dan malaise. Juga adanya kelainan kulit dan selaput
lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan
serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa
makula, papul, folikulitis, papula skuomosa, dan pustule, jarang
dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan
pada sifilis kongenital. Kelainan kulit dapat menyerupai
berbagai penyakit kulit sehingga disebut the great imitator.
Selain memberi kelainan pada kulit, SII dapat juga memberi
kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar,
tulang, dan saraf. Gejala lainnya adalah merasa tidak enak
badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah, demam
dan anemia.2

Bercak eritem pada SII


Bentuk Lesi
1. Roseola
Roseola ialah eritema makular, berbintik-bintik atau berbercak-
bercak, warna merah tembaga, berbentuk bulat atau lonjong, diameter
0,5-2 cm. Roseola biasanya merupakan kelainan kulit yang pertama

10
terlihat pada S II dan disebut roseola sifilitika. Karena efloresensi
tersebut merupakan kelainan S II dini,maka seperti telah dijelaskan,
lokalisasinya generalisata dan simetrik, telapak tangan dan kaki ikut
dikenai. Disebut pula eksantema karena timbulnya cepat dan
menyeluruh. Roseola akan menghilang dalam beberapa hari atau
minggu, dapat pula bertahan hingga beberapa bulan. Kelainan tersebut
dapat residif, jumlahnya menjadi lebih sedikit, lebih lama bertahan,
dapat anular, dan bergerombol. Jika menghilang, umumnya tampak
bekas, kadang kala dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi dan
disebut leukoderma sifilitikum. Jika roseola terjadi pada kepala yang
berambut, dapat menyebabkan rontoknya rambut.2

Roseola Sifilitika

2. Papul
Bentuk ini merupakan bentuk yang paling sering terlihat pada S II.
Bentuknya bulat, ada kalanya terdapat bersama dengan roseola. Papul
tersebut dapat berskuama yang terdapat di pinggir (koleret) dan disebut
papulo-skuamosa. Skuama dapat pula menutupi permukaan papul
sehingga mirip psoriasis, oleh karena itu dinamakan psoriasiformis. Jika
papul-papul tersebut menghilang dapat meninggalkan bercak
hipopigmentasi dan disebut leukoderma sifilitika, yang akan menghilang
perlahan-lahan. Pada S II dini, papul generalisata dan simetrik, sedangkan
pada yang lanjut bersifat setempat dan tersusun secara teratur, arsinar,
sirsinar, polisiklik, dan korimbiformis. Papul-papul tersebut juga dapat
dilihat pada sudut mulut, ketiak, di bawah mammae, dan alat genital. 2
3. Pustul

11
Bentuk ini jarang terdapat. Mula-mula terbetuk banyak papul yang
menjadi vesikel dan kemudian terbentuk pustul, sehingga di samping
pustul masih pula terlihat papul. Timbulnya banyak pustul ini sering
disertai demam yang intermitten dan penderita tampak sakit lamanya
dapat berminggu-minggu. Kelaianan kulit demikian disebut sifilis
variseliformis karena menyerupai varisela.4
4. Bentuk lain
Kelainan lain yang dapat terlihat pada S II ialah banyak papul,
pustul, dan krusta yang berkonfluensi sehingga mirip impetigo, karena itu
disebut sifilis impetiginosa. Dapat pula timbul berbagai ulkus yang
tertutupi krusta yang disebut ektima sifilitikum. Bila krustanya tebal
disebut rupia sifilitika. Disebut sifilis ostrasea jika ulkus meluas ke perifer
sehingga berbentuk seperti kulit kerang. Sifilis yang berupa ulkus-ulkus
yang terdapat di kulit dan mukosa disertai demam dan keadaan umum
buruk disebut sifilis maligna yang dapat menyebabkan kematian. Pada S
II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya bersifat
difus dan tidak khas, disebut alopecia difusa. Pada S II yang lanjut dapat
terjadi kerontokan setempat setempat, tampak sebagai bercak yang
ditumbuhi oleh rambut yang tipis, jadi tidak botak seluruhnya, seolah-
olah seperti digigit ngengat dan disebut alopesia areolaris. Gejala dan
tanda sifilis sekunder dapat hilang tanpa pengobatan, tetapi bila tidak
diobati,infeksi akan berkembang menjadi sifilis laten atau sifilis stadium
lanjut.4

S II pada wajah S II pada mulut

12
Alopecia Areolaris Sifilitika
3) Sifilis Laten Dini
Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan, termasuk alat-
alat dalam, tetapi infeksi masih ada dan aktif. Tes serologik darah positif,
sedangkan tes likuorserebrospinal negatif. Tes yang dianjurkan ialah
VDRL dan TPHA. Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala
klinis, akan tetapi pemeriksaan serologis reaktif. Dalam perjalanan
penyakit sifilis selalu melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau
seumur hidup. Akan tetapi bukan berarti penyakit akan berhenti pada
tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi sifilis lanjut, berbentuk gumma,
kelainan susunan syaraf pusat dan kardiovaskuler. Fase ini bisa
berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau bahkan
sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang
infeksius kembali muncul.4
4) Stadium Rekuren
Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit mirip
SII, maupun serologik yang telah negatif menjadi positif terutama pada
sifilis yang tidak diobati atau yang mendapat pengobatan tidak cukup.
Umumnya bentuk relaps ialah SII, kadang-kadang SI. Kadang-kadang
relaps terjadi pada tempat afek primer dan disebut monorecidive.4

b) Sifilis Lanjut
1) Sifilis Laten Lanjut
Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan tes serologik. Lama masa laten beberapa tahun
hingga bertahun-tahun, bahkan dapat seumur hidup. Likuor
serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk menyingkirkan
13
neurosifilis asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta untuk
melihat, apakah ada orititis.4
2) Sifilis Tersier (SIII)
Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai
sepuluh tahun setelah S I. Kelainan yang khas ialah guma, yakni
infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya melunak, dan destruktif.
Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar telur
ayam. Kulit diatasnya mula-mula tidak menunjukkan tanda-
tanda radang akut dan dapat digerakkan. Setelah beberapa bulan
mulai melunak, biasanya mulai dari tengah, tanda-tanda radang
mulai tampak, kulit menjadi eritematosa dan livid serta melekat
terhadap guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan
keluarlah cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen. Pada
beberapa kasus disertai jaringan nekrotik. Tempat perforasi
akan meluas menjadi ulkus, bentuknya lonjong/bulat,
dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke luar.
Beberapa ulkus berkonfluensi sehingga membentuk pinggir
yang polisiklik. Jika telah menjadi ulkus, maka infiltrat yang
terdapat di bawahnya yang semula sebagai benjolan menjadi
datar. Tanpa pengobatan guma tersebut akan bertahan beberapa
bulan hingga beberapa tahun. Biasanya guma solitar, tetapi
dapat pula multipel, umumnya asimetrik. Gejala umum
biasanya tidak terdapat, tetapi jika guma multipel dan
perlunakannya cepat, dapat disertai demam. Selain guma,
kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula-mula dikutan
kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni
beberapa minggu/bulan dan umumnya meninggalkan sikatriks
yang hipotrofi. Nodus tersebut dalam perkembangannya mirip
guma, mengalami nekrosis di tengah dan membentuk ulkus.
Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik. Perbedaannya
dengan guma, nodus lebih superfisial dan lebih kecil (miliar
hingga lentikular), lebih banyak, mempunyai kecenderungan
untuk bergerombol atau berkonfluensi; selain itu tersebar
(diseminata). Warnanya merah kecoklatan. Nodus-nodus yang
14
berkonfluensi dapat tumbuh terus secara serpiginosa. Bagian
yang belum sembuh dapat tertutup skuama seperti lilin dan
disebut psoriasiformis. Kelenjar getah bening regional tidak
membesar. Kelainan yang jarang ialah yang disebut nodositas
juxta articularis berupa nodus-nodus subkutan yang fibrotik,
tidak melunak, indolen, biasanya pada sendi besar.4

Guma Pada S III

SIII pada Mukosa


Guma juga ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau menyebar.
Yang setempat biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi. Seperti
biasanya akan melunak dan membentuk ulkus, bersifat destruktif jadi dapat
merusak tulang rawan septum nasi atau palatum mole hingga terjadi
perforasi. Pada lidah yang tersering ialah guma yang nyeri dengan fisur-fisur
tidak teratur serta leukoplakia
SIII pada Tulang
Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula, dan
humerus. Gejala nyeri, biasanya pada malam hari. Terdapat dua bentuk,
yakni periostitis gumatosa dan osteitis gumatosa, kedua-duanya dapat
didiagnosis dengan sinar-X
SIII pada Alat Dalam
Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering
diserang.Guma bersifat multipel, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar
mengalami retraksi, membentuk lobus-lobus tidak teratur yang disebut hepar

15
lobatum. Esofagus dan lambung dapat pula dikenai, meskipun jarang. Guma
dapat menyebabkan fibrosis. Pada paru juga jarang, guma solitar dapat
terjadi di dalam atau di luar bronkus; jika sembuh terjadi fibrosis dan
menyebabkan bronkiektasi. Guma dapat menyerang ginjal, vesika urinaria,
dan prostat, meskipun jarang. S III pada ovarium jarang, pada testis kadang-
kadang berupa guma atau fibrosis interstisial, tidak nyeri, permukaannya rata
dan unilateral. Kadang kadang memecah ke bagian anterior skrotum

2. Sifilis Kardiovaskuler
Sifilis kardiovaskular bermanifestasi pada S III, dengan masa laten 15-
30 tahun. Umumnya mengenai usia 40-50 tahun. Insidens pada pria lebih
banyak tiga kali daripada wanita. Biasanya disebabkan karena nekrosis aorta
yang berlanjut ke arah katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah
insufisiensi aorta atau aneurisma, berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila
komplikasi ini telah lanjut, akan sangat mudah dikenal. Secara teliti harus
diperiksa kemungkinan adanya hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung
rematik sebelumnya. Aneurisma aorta torakales merupakan tanda sifilis
kardiovaskuler. Bila ada insufisiensi aorta tanpa kelainan katup pada
seseorang yang setengah umur disertai pemeriksaan serologis darah reaktif,
pada tahap pertama harus diduga sifilis kardiovaskuler, sampai dapat
dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan serologis umumnya menunjukkan
reaktif.4

3. Neurosifilis
Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat asimtomatik dan sangat
jarang terjadi dalam bentuk murni. Pada semua jenis neurosifilis terjadi
perubahan berupa endarteritis obliterans pada ujung pembuluh darah disertai
degenerasi parenkimatosa yang mungkin sudah atau belum menunjukkan
gejala pada saat pemeriksaan.6

4. Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama
sifilis dini sebab banyak T. pallidum beredar dalam darah. treponema masuk
secara hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat
16
masa kehamilan 10 minggu. Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya
ringan. Pada tahun I setelah infeksi yang tidak diobati terdapat kemungkinan
penularan sampai 90%. Jika ibu menderita sifilis laten dini, kemungkinan bayi
sakit 80%, bila sifilis lanjut 30 %.Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin
pada kehamilan yang kemudian menjadi berkurang. Misalnya pada hamil
pertama akan terjadi abortus pada bulan kelima, berikutnya lahir mati pada
bulan kedelapan, berikutnya janin dengan sifilis congenital yang akan
meninggal dalam beberapa minggu, diikuti oleh dua sampai tiga bayi yang
hidup dengan sifilis kongenital. Akhirnya akan lahir seorang atau lebih bayi
yang sehat. Keadaan ini disebut hukum Kossowitz. Gambaran klinis dapat
dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks), sifilis congenital lanjut
(tarda), dan stigmata. Batas antara dini dan lanjut ialah dua tahun. Yang dini
bersifat menular, jadi menyerupai S II, sedangkan yang lanjut berbentuk guma
dan tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau deformitas akibat
penyembuhan kedua stadium tersebut.2

a) Sifilis Kongenital Dini


Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah
bula bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-
kadang pada tempat lain di badan. Cairan bula mengandung banyak T.
pallidum. Bayi tampak sakit. Bentuk ini ada kalanya disebut pemfigus
sifilitika. Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur
beberapa minggu dan mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk
papul atau papulo-skuamosa yang simetris dan generalisata. Dapat
tersusun teratur, misalnya anular. Pada tempat yang lembab papul
dapat mengalami erosi seperti kondilomata lata. Ragades merupakan
kelainan umum yang terdapat pada sudut mulut, lubang hidung, dan
anus; bentuknya memancar (radiating). Wajah bayi berubah seperti
orang tua akibat turunnya berat badan sehingga kulit berkeriput.
Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan belakang kepala.
Kuku dapat terlepas akibat papul di bawahnya; disebut onikia sifilitika.
Kelenjar getah bening dapat membesar, generalisata, tetapi tidak
sejelas pada S II. Hepar dan lien membesar akibat invasi T. pallidum
sehingga terjadi fibrosis yang difus. Dapat terjadi udema dan sedikit
17
ikterik (fungsi hepar terganggu). Ginjal dapat diserang, pada urin dapat
terbentuk albumin, hialin, dan granular cast. Pada umumnya kelainan
ginjal ringan. Pada paru kadang-kadang terdapat infiltrasi yang disebut
"pneumonia putih". Tulang sering diserang pada waktu bayi berumur
beberapa minggu. Osteokondritis pada tulang panjang umumnya
terjadi sebelum berumur enam bulan dan memberi gambaran khas pada
waktu pemeriksaan dengan sinar-X. 4
b) Sifilis Kongenital Lanjut

Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahun.


Guma dapat menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan organ dalam.
Yang khas ialah guma pada hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di
septum nasi akan terjadi perforasi, bila meluas terjadi destruksi
seluruhnya hingga hidung mengalami kolaps dengan deformitas.
Periostitis sifilitika pada tibia umumnya mengenai sepertiga tengah
tulang dan menyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia. Keratitis
interstisial merupakan gejala yang paling umum, biasanya terjadi
antara umur tiga sampai tiga puluh tahun, insidensnya 25% dari
penderita dengan sifilis kongenital dan dapat menyebabkan kebutaan.
Akibat diserangnya nervus VIII terjadi ketulian yang biasanya
bilateral. 4

Sabre Tibia Sifilis Kongenital

18
5. Stigmata
Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh serta meninggalkan
parut dan kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian merupakan
stigmata sifilis kongenital,akan tetapi hanya sebagian penderita yang
menunjukkan gambaran tersebut.
1) Stigmata Lesi Dini
a. Facies : Gangguan pertumbuhan septum nasi, depresi jembatan
hidung (saddlenose), maksila tumbuh abnormal lebih kecil dari
mandibula (bulldog jaw) menunjukkan saddlenose.
b. Gigi menunjukkan gigi hutchinson, pada gigi insisi permanen
lebih kecil dari normal dengan bagian sisi konveks dan daerah
untuk menggigit konkav. Moon’smolar atau mulbery molar
yaitu permukaan gigi molar berbintil bintil.

c. Kuku : onikia akan merusak dasar kuku.


2) Stigmata Lesi Lanjut
a. Lesi pada kornea: kekaburan kornea sebagai akibat ghost
vessels
b. Lesi tulang: Osteoporosis gumatosa meninggalkan deformitas
sebagai sabre tibia. Frontal bossing, saddle nose dan buldog
jaw.
c. Trias hutchinson: terdiri dari keratitis intertisialis, gigi
hutchinson, tuli nervus VIII.4

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis sifilis ada 3 :
1. Pemeriksaan T.Pallidum

19
Cara pemeriksaan adalah dengan mengambil serum dari lesi
kulit dan dilihat bentuk dan pergerakannya dengan microskop lapangan
gelap. Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut. Jika hasil pada
hari I dan II negatif. Sementara itu lesi dikopres dengan larutan garam
faal. Bila negatif bukan selalu berarti diagnosisnya bukan sifilis,
mungkin kumannya terlalu sedikit. Treponema tampak berwarna putih
pada latar belakang gelap. Pergerakannya memutar terhadap
sumbunya, bergerak perlahan-lahan melintasi lapangan pada
pandangan, jika tidak bergerak cepat seperti Borrelia vincentii
penyebab stomatitis. Pemeriksaan lain dengan pewarna menurut Buri,
tidak dapat dilihat pergerakannya karena treponema tersebut telah
mati, jadi hanya tampak bentuknya saja. Sementara itu lesi dikompres
dengan larutan garam faal setiap hari. 4,6
2. Tes Serologik Sifilis (TSS)
T.S.S. atau Serologic Tests for Sypilis (S.T.S) merupakan
pembantu diagnosis yang penting bagi sifilis. S I pada mulanya
memberi hasil T.S.S. negatif (seronegatif), kemudian menjadi positif
(seropositif) dengan titer rendah, jadi positif lemah. Pada S II yang
masih dinireaksi menjadi positif agak kuat, yang akan menjadi sangat
kuat pada S II lanjut. PadaS III reaksi menurut lagi menjadi positif
lemah atau negatif. T.S.S. dibagi menjadi dua berdasarkan antigen
yang dipakai, yaitu :
a) Nontreponemal (Tes Reagin)
Pada tes ini digunakan antigen tidak spesifik yaitu
kardiolipin yang dikombinasikan dengan lesitin dan kolestrol,
karena itu tes ini dapat memberi Reaksi Biologik Semu (RBS)
atau Biologic Fase Positive (BFP). Antibodinya disebut reagin,
yang terbentuk setelah infeksi dengan T.pallidum, tetapi zat
tersebut terdapat pula pada berbagai penyakit lain dan selama
kehamilan. Reagin ini dapat bersatu dengan suspensi ekstrak
lipid dari binatang atau tumbuhan, menggumpal membentuk
masa yang dapat dilihat pada tesflokulasi. Massa tersebut juga
dapat bersatu dengan komplemen yang merupakan dasar bagi
tes ikatan komplemen.
20
Contoh tes nontreponemal:
1) Tes fiksasi komplemen : Wasserman (WR), Kolmer.
2) Tes flokulasi : VDRL (Venereal Disease Research
Laboratories), Kahn, RPR (Rapid Plasma Reagin), ART
(Automated Reagin Test), dan RST (Reagin Screen
Test).
b) Tes Treponemal
Tes ini bersifat spesifik karena antigennnya ialah
treponema atau ekstraknyadan dapat digolongkan menjadi
empat kelompok :
1) Tes Imobilisasi : TPI (Treponemal pallidum
Imobilization Test).
2) Tes fiksasi komplemen : RPCF (Reiter Protein
Complement FixationTest).
3) Tes Imunofluoresen : FTA-Abs (Fluorecent Treponemal
Antbody Absorption Test), ada dua : lgM, lgG; FTA-
Abs DS (FluorescentTreponemal Antibody-Absorption
Double Staining).
4) Tes hemoglutisasi : TPHA (Treponemal pallidum
Haemoglutination Assay), 19SlgM SPHA (Solid-phase
Hemabsorption Assay), HATTS (Hemagglutination
Treponemal Test for Syphilis), MHA-TP
(Microhemagglutination Assay for Antibodies to
Treponema pallidum).
TPI merupakan tes yang paling spesifik, tetapi
mempunyai kekurangan : biasanya mahal, teknis sulit,
membutuhkan waktu banyak. Selain itu juga reaksinya lambat ,
baru positif pada akhir stadium primer, tidak dapat digunakan
untuk menilai hasil pengobatan, hasil dapat negatif pada sifilis
dini dan sangat lanjut. RPCF sering digunakan untuk tes
screening karena biayanya murah; kadang-kadang didapatkan
reaksi positif semu. FTA-Abs paling sensitif (90%), terdapat
dua macam yaitu untuk lgM dan lgG sudah positif pada waktu
timbuk kelainan S I. lgM sangat reaktif pada sifilis dini, pada
21
terapi yang berhasil titer lgM cepat turun, sedangkan lgG
lambat. lgM penting untuk mendiagnosis sifilis kongenital.
TPHA merupakan tes treponemal yang dianjurkan karena teknis
dan pembacaan hasilnya mudah, cukup spesifik dan sensitif,
menjadi reaktifnya cukup dini. Kekurangannya tidak dapat
dipakai untuk menilai hasil terapi, karena tetap reaktif dalam
waktu yang lama. Tes ini sudah dapat dilakukan di Indonesia.
Bila hasil tes serologik tidak sesuai dengan klinis, tes tersebut
peru diulangi, karena mungkin terjadi kesalahan teknis. Kalau
perlu di laboratorium lain. Demikian pula jika hasil tes yang
satu dengan yang lain tidak sesuai, misalnya titer VDRL rendah
(1/4), sedangkan titer TPHA tinggi (1/1024) Pemeriksaan
mikroskopis lapangan gelap terhadap lesi kulit, merupakan
pemeriksaan yang paling spesifik untuk diagnosis sifilis.
Kuman spirochaeta hidup berbentuk khas seperti sekrup, dapat
terlihat pada pemeriksaan slide eksudat secara mikroskopis. Uji
absorpsi antibodi treponema menggunakan fluoresensi akan
mendeteksi antigen T.pallidum yang terdapat pada jaringan,
cairan mata, LCS, secret trakeobronkial dan eksudat pada lesi.
Pemeriksaan ini sangat sensitif untuk mendeteksi sifilis pada
berbagai tahap. Sekali reaktif, ia akan tetap reaktif. 4,6

G. Penatalaksanaan
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan
selama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedini
mungkin, makin dini hasilnya makin baik. Pada sifilis laten terapi bermaksud
mencegah proses lebih lanjut. Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik
lain.
1. Penisilin
Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat
menembus placenta sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat
menyembuhkan janin yang terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis. Kadar
yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan kurang dari0,03

22
unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut hares bertahan dalam serum selama
sepuluh sampai empat belas hari untuk sifilis dini dan lanjut, dua puluh sate
hari untuk neurosifilis dan sifilis kardiovaskular. Jika kadarnya kurang dari
angka tersebut, setelah lebih dari dua puluh empat sampai tiga puluh jam,
maka kuman dapat berkembang biak.
Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:
a) Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh
empat jam, jadi bersifat kerja singkat.
b) Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium
monostearat (PAM), lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat
kerja sedang.
c) Penisilin G benzatin, dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan
dalam serum dua sampai tiga minggu, bersifat kerja lama.
Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per oral
tidak dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan
dengan suntikan.
Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja masing-
masing yang pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari, dan
yang ketiga biasanya setiap minggu. Penisilin G benzatin karena bersifat kerja
lama, maka kadar obat dalam serum dapat bertahan lama dan lebih praktis,
sebab penderita tidak perlu disuntik setiap hari seperti pada pemberian
penisilin G prokain dalam akua. Obat ini mempunyai kekurangan, yakni tidak
dianjurkan untuk neurosifilis karena sukar masuk ke dalam darah di otak,
sehingga yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua. Karena
penisilin G benzatin memberi rasa nyeri pada tempat suntikan, ada yang tidak
menganjurkan pemberiannya kepada bayi. Demikian pula PAM memberi rasa
nyeri pada tempat suntikan dan dapat mengakibatkan abses jika suntikan
kurang dalam; obat ini kini jarang digunakan. Pada sifilis kardiovaskular
terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G benzatin 9,6 juta unit,
diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval seminggu. Untuk neurosifilis
terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua 18-24 jutaunit
sehari, diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari. Pada sifilis
kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain dalam akua100.000-

23
150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan 50.000 unit/kg B.B.,
i.m.,setiap hari selama 10 hari.4

Reaksi Jarish-Herxheimer
Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish-
Herxheimer. Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin
disebabkan oleh hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak
T. Pallidum yang mati. Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini. Pada
sifilis dini dapat terjadi setelah enam sampai dua belas jam pada suntikan
penisilin yang pertama. Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala
umum biasanya hanya ringan berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula
berat: demam yang tinggi, nyeri kepala, artralgia, malese, berkeringat, dan
kemerahan pada muka. Gejala lokal yakni afek primer menjadi bengkak
karena edema dan infiltrasi sel, dapat agak nyeri. Reaksi biasanya akan
menghilang setelah sepuluh sampai dua belas jam tanpa merugikan penderita
pada S I. Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya:
edema glotis pada penderita dengan guma di laring, penyempitan arteria
koronaria pada muaranya karena edema dan infiltrasi, dan trombosis serebral.
Selain itu juga dapat terjadi ruptur aneurisma atau ruptur dinding aorta yang
telah menipis yang disebabkan oleh terbentuknya jaringan fibrotik yang
berlebihan akibat penyembuhan yang cepat. Pengobatan reaksi Jarish-
Herxheimer ialah dengan kortikosteroid, contohnya dengan prednison 20-40
mg sehari. Obat tersebut juga dapat digunakan sebagai pencegahan, misalnya
pada sifilis lanjut, terutama pada gangguan aorta dan diberikan dua sampai
tiga hari sebelum pemberian penisilin serta dilanjutkan dua sampai tiga hari
kemudian.4
2. Antibiotika Lain
Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan
sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin. Bagi yang alergi
terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, atau eritromisin 4 x
500 mg/hri, atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama pengobatan15 hari bagi S
I dan S II dan 30 hari bagi stadium laten. Eritromisin bagi yang hamil,
efektivitasnya meragukan. Doksisiklin absorbsinya lebih baik dari pada
tetrasiklin,yakni 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%. Pada
24
penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau eritromisin yang
diberikan sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari, menunjukkan perbaikan.
Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x 500
mgsehari selama 15 hari. Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis tunggal i.m.
atau i.v.selama 15 hari. Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S 11,
terutama di negara yang sedang berkembang untuk menggantikan penisilin.
Dosisnya 500 mg sehari sebagai dosis tunggal. Lama pengobatan 10 hari.4
H. Tindak Lanjut
Evaluasi T.S.S. (V.D.R.L) sebagai berikut:
1. 1 bulan sesudh pengobatan selesai T. S. S diulang:
a) Titer ↓ : tidk diberikan pengobatan lagi.
b) Titer ↑: pengobatan ulang
c) Titer menetap : tunggu 1 bulan lagi
2. 1 bulan sesudah c:
a) Titer ↓ : tidak diberikan pengobatan
b) Titer ↑ atau tetap : pengobatan ulang
Kriteria sembuh, jika lesi telah menghilang, kelenjar getah bening tidak teraba
lagi dan V.D.R.L negatif. Pada sifillis dini yang diobati T.S.S (VDRL/RPR) akan
menjadi negative dalam3-6 bulan. Pada 16% kasus tetap positif dengan titer rendah
selama setahun atau lebih, tetapi akan menjadi neatif setelah 2 tahun. Tindak lanjut
dilakukan sesudah 3,6 dan 12 bulan sejak selesai pengobatan. Setelah setahun
diperiksa liquor serebrospinal. Kasus yang mengalami kambuh serologic atau klinis
diberikan terapi ulang dengan dosis dua kali lebih banyak. Terapi ulang juga untuk
kasus seroresisten yang tidak terjadi penurunan titer serologic setelah 6-12 bulan
setelah terapi. Pada sifilis laten tindak lanjut dilakukan selama 2 tahun. Penderita
sifilis kardiovaskuler dan neurosifilis yang telah diobti hendaknya ditindaklanjuti
selama bertahun-tahun.4
I. Prognosa
Dengan ditemukannya penisilin, maka prognosis sifilis menjadi lebih baik.
Untuk menentukan penyembuhan mikrobiologik, yang berarti bahwa semua
T.pallidum di badan terbunuh tidaklah mungkin. Penyembuhan berarti sembuh klinis
seumur hidup, tidak menular keorang lain, T.S.S pada darah dan likuor
serebrospinalis selalu negative. Jika sifilis tidak diobati, maka hampir seperempatnya
akan kambuh,5% akan mendapat S III, 10% mengalami sifilis kardiovaskular,
25
neurosifilis pada pria 9% dan pada wanita 5%, 23% akan meninggal. Pada sifilis dini
yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%. Kelainan kulit akan sembuh dalam
7-14 hari. Pembesaran kelenjar getah bening akan menetap berminggu-minggu.
Kegagalan terapi sebanyak 5% pada S I dan S II. Kambuh klinis umumnya terjadi 30
setahun sesudah terapi, berupa lesi menular pada mulut, tenggorok, dan region
perianal. Disamping itu dikenal pula kambuh serologic, yang berarti T.S.S yang
negative menjadi positif atau yang telah positif menjadi makin positif. Rupanya
kambuh serologic ini mendahului kambuh klinis. Kambuh klinis pada wanita juga
dapat bermanifestasi pada bayi berupa sifilis kongenital. Pada sifilis laten lanjut
prognosisnya baik, prognosis pada sifilis gumatosa bergantung pada alat yang dikenai
dan banyaknya kerusakan. Prognosis neurosifilis bergantung pada tempat dan derajat
kerusakan. Sel saraf yang rusak bersifat irreversible. Prognosis neurosifilis dini baik,
angka penyembuhan dapat mencapai 100%, neurosifilis asimptomatik pada stadium
lanjut prognosisnya juga baik, kurang dari 1% memerlukan terapi ulang. 2

26
BAB III
KESIMPULAN

Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh
bakteri Treponema pallidum, sangat kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya
dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit,
mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin. Contohnya Gumma,
gigi hutchinson dan snuffle nose merupakan salah satu dari manifestasi kelainan pada
gigi dan mulut yangdisebabkan oleh penyakit sifilis. T.pallidum penyebab sifilis dapat
ditularkan dari satu orang ke orang yang lain melalui hubungan genito-genital
(kelamin-kelamin) maupun oro-genital (seks oral). Infeksi ini juga dapat ditularkan
oleh seorang ibu kepada bayinya selama masa kehamilan. Jika tidak diobati, maka
hampir seperempatnya akan kambuh, pada sifilis dini yang diobati, angka
penyembuhan mencapai 95%. Kegagalan terapi sebanyak 5% pada S I danS II.
Kambuh klinis umumnya terjadi setahun sesudah terapi, berupa lesi menular pada
mulut, tenggorok, dan regio perianal. Diagnosis ditegakkan secara sempurna dari
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti Serologi Tes Sifilis (STS)
sehingga dapat diberikan antibiotik yang sesuai dan tepat. Antibiotik yang biasa
dipakai dalam penatalaksanaan Sifilis ialah Penisilin.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta: FKUI. 2010
2. Sandoz A, Koenig T, Kusnir D, Tausk F. Psychocutaneous Diseases. In: Wolff K,
GoldsmithLA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology InGeneral Medicine. 7 th ed. USA: McGraw-Hill; 2008
3. World Health Organization, The sexually transmitted diseases diagnostics initiative
(SDI). The use of rapid syphilis tests. 2007.
4. James WD, Berger TG, Elston DM. Neurocutaneous Dermatoses. In:
Andrew’s Diseases of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Canada: Saunders
Elsevier, 2006
5. Khana, N. Illustrated Synopsis of Dermatology and Sexually Transmitted Disease. 3th
ed. Canada: Saunders Elsevier, 2009
6. Thappa D.M. Wood’s Light Examination, in Textbook of Dermatology, Leprology&
Venereology, 3rd Edition. Elsevier.Haryana. 2009.

28

Anda mungkin juga menyukai